Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu masalah yang kompleks di bidang kedokteran gigi ialah

penatalaksanaan infeksi maksilofasiaI. Infeksi ini berkisar dari derajat rendah

sampai derajat tinggi, dan dapat mengancam nyawa. Walaupun umumnya

infeksi tipe ini dapat ditatalaksanakan dengan mudah tetapi dokter gigi harus

tetap waspada karena infeksi maksilofasial dapat menjadi fatal dalam waktu

singkat dan tidak terduga.

Manusia biasanya hidup berdampingan secara mutualistik dengan

mikrobiota rongga mulut. Gigi dan mukosa yang utuh merupakan pertahanan

pertama yang hampir tidak tertembus apabila sistem kekebalan hospes dan

pertahanan selular berfungsi dengan baik. Apabila sifat mikroflora berubah,

baik kualitas maupun kuantitasnya, apabila mukosa mulut dan pulpa

terpenetrasi, atau apabila sistem kekebalan dan pertahanan selular terganggu

maka infeksi dapat terjadi.

Ada banyak manusia yang mengalami infeksi, seperti infeksi akut

yang menyebabkan abses. Abses adalah pengumpulan nanah secara lokal

dalam suatu kavitas yang terjadi karena hancurnya suatu jaringan biasanya

disebabkan oleh kuman-kuman piogenik. Pada umumnya abses tersebut

disebabkan oleh infeksi pada jaringan sekitar dan infeksi dapat juga berasal

dari gigi. Seperti yang kita ketahui juga ada banyak manusia yang terkena

abses oromaksilofasial yang disebabkan oleh infeksi odontogenik seperti

abses periapikal, abses perikoronal dan abses periodontal.

Infeksi dapat bersifat akut atau kronis. Suatu kondisi dikatakan akut

biasanya disertai dengan pembengkakan dan rasa sakit yang hebat dengan

manifestasi sistemik yaitu malaise dan demam berkepanjangan


Bentuk kronis bisa berkembang dari penyembuhan sebagian

keadaan akut, serangan yang lemah atau pertahanan yang kuat. Infeksi kronis

sering ditandai dengan ketidaknyamana dalam berbagai tingkatan dan

bukannya rasa sakit, serta reaksi ringan dari jaringan sekitarnya misalnya

edema, kemerahan, rasa sakit tekan, nanah dan drainase dengan

pembentukan fistula, kematian jaringan, nekrosis, dan manifestasi sistemik

episodik yaitu demam ringan, alergi dan lemah badan.

Infeksi odontogenik adalah salah satu infeksi yang paling umum

terjadi dari rongga mulut. Dapat disebabkan oleh karies gigi. Dalam semua

kasus infeksi tersebut berasal dari mikroba mulut. Tergantung pada jenis,

jumlah dan virulensi dari mikroorganisme yang dapat menyebar ke jaringan

lunak, keras dan sekitarnya. Infeksi odontogenik selalu berasal dari berbagai

macam mikroba seperti bakteri aerob dan anaerob fakultatif. Adapun

penyebab dari infeksi odontogenik Infeksi odontogenik biasanya juga

penyebab paling sering terjadi dari kondisi peradangan di wilayah

servikofasial.

Penyebaran infeksi odontogenik akan melalui tiga tahap yaitu tahap

abses dentoalveolar, tahap yang menyangkut spasium dan tahap lebih lanjut

yang merupakan tahap komplikasi. Suatu abses akan terjadi bila bakteri dapat

masuk ke jaringan melalui suatu luka ataupun melalui folikel rambut. Pada

abses rahang dapat melalui foramen apikal atau marginal gingival.

Penyebaran infeksi melalui foramen apikal berawal dari kerusakan

gigi atau karies, kemudian terjadi proses inflamasi di sekitar periapikal di

daerah membran periodontal berupa suatu periodontitis apikalis. Rangsangan

yang ringan dan kronis menyebabkan membran periodontal di apikal

mengadakan reaksi membentuk dinding untuk mengisolasi penyebaran

infeksi. Respon jaringan periapikal terhadap iritasi tersebut dapat berupa

periodontitis apikalis yang supuratif atau abses dentoalveolar.


Umumnya, di wilayah oromaksilofasial kebanyakan bakteri infeksi

melibatkan gangguan dari flora normal, di mana mereka biasanya tidak

terlihat. Mereka dapat berkisar dari periapikal abses, infeksi superfisial dan

dalam di leher.

Reaksi infeksi biasanya didapatkan dari reaksi inflamasi lokal

ditandai dengan peningkatan aliran darah awal ke lokasi cedera,

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, dan akumulasi selektif sel

efektor yang berbeda dari darah perifer ke daerah luka. Cedera sel dapat

terjadi karena trauma, kerusakan genetik, agen fisik dan kimia, nekrosis

jaringan, agen tubuh asing, reaksi imun dan infeksi. Sehingga inflamasi dapat

cepat diperluas dari periodontum kepala dan leher tertentu dan dapat

menyebar lebih jauh, melintasi membran fasia yang memisahkan mereka. Jika

tidak diobati, mereka umumnya menyebar ke ruang fasia yang saling

berdekatan misalnya masseter, sublingual, submandibula, temporal, bukal,

kaninus dan parapharyngeal dan dapat menyebabkan komplikasi tambahan.5

Inflamasi dapat membesar dari kedua submaxillary dan ruang sublingual

(Ludwig angina) adalah salah satu komplikasi lebih berbahaya yang dapat

menyebabkan saluran udara obstruksi akut yang memerlukan trakeostomi.6

Pengobatan infeksi odontogenik melibatkan terapi medis, bedah,

atau kombinasinya. Infeksi asal gigi memerlukan pengobatan definitif jika

sumber infeksinya dari gigi yang terkena maka harus dihilangkan. Setelah gigi

telah diidentifikasi, menghilangkan endodontik pulpa yang terinfeksi, skeling

periodontal dalam, atau ekstraksi harus dilakukan. Metode pengobatan gigi

ditentukan oleh faktor-faktor seperti tingkat infeksi, status kesehatan umum

pasien, tingkat trismus, dan kebutuhan biomekanik mempertahankan gigi.

Bagaimana pernah, faktor terakhir tidak harus bergoyang penilaian ahli bedah

untuk merugikan kesejahteraan pasien. Ketika mendiagnosis penyakit gigi

para dokter harus lebih teliti karena dapat memiliki konsekuensi serius jika
infeksi besar hadir. Ekstraksi melibatkan gigi adalah metode yang paling cepat

membangun drainase sekaligus menghilangkan nodus mikroorganisme dalam

ruang pulpa dan kanal. Atau, terapi endodontik dapat digunakan untuk

menghilangkan sumber infeksi.

Infeksi ondotogenik pada region maksilofasial sampai saat ini masih

menduduki peringkat atas diantara kelainan-kelainan region tersebut. Sebagai

seorang dokter gigi, kasus-kasus infeksi merupakan kasus sehari-hari yang

ditemui baik infeksi ringan sampai dengan infeksi serius yang dapat berakibat

fatal. Infeksi pada region maksilofasial mempunyai beberapa karakteristik

tertentu karena adanya gigi geligi sebagai sumber infeksi, struktur anatomis

region tersebut dan lokasinya yang berdekatan dengan saluran napas bagian

atas. Oleh karena itu pada kasus-kasus infeksi region maksilofasial yang berat

apalagi diserta dengan adanya factor-faktor penyulit seperti adanya kelainan

sistemik harus ditangani secara cepat dan tepat agar tidak terjadi komplikasi

yang berakibat fatal.

Terapi infeksi oro maksilofasial sangat ditentukan oleh pemahaman

yang jelas tentang bakteri penyebab infeksi, riwayat pathogenesis infeksi dan

prinsip-prinsip penatalaksanaan infeksi oro maksilofasial pada tahap dini untuk

mencegah infeksi yang lebih lanjut. Pada makalah ini ini akan dibahas secara

komprehensif tentang diagnosis dan penatalaksanaan abses regio

maksilofasial yang dapat dilakukan oleh dokter gigi umum.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, didapatkan

rumusan masalah yaitu Bagaimana diagnosa dan penatalaksanaan abses

regio maksilofasial?
C. Tujuan

Untuk mengetahui diagnosa dan penatalaksanaan abses regio

maksilofasial.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Maksilofasial

1. Anatomi Maksilofasial

Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama

dan kedua setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya.

Pada anak usia 4-5 tahun, besar kranium sudah mencapai 90% kranium

dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara

baik dalam membentuk wajah manusia (Pappachan, 2012 ).

Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama

adalah wajah bagian atas, di mana patah tulang melibatkan daerah frontal

dan sinus. Bagian kedua adalah midface. Midface dibagi menjadi bagian

atas dan bawah. Para midface atas adalah di rahang atas dimana fraktur Le

Fort II dan III terjadi.Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah wajah

yang lebih rendah, di mana patah tulang yang terisolasi ke rahang bawah (

Pappachan, 2012 ).

Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari

tengkorak otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang

membentuk rongga mulut, rongga hidung dan rongga mata ( Pappachan,

2012 ).

2. Etiologi Infeksi Maksilofasial

Etiologi infeksi maksilofasial dapat bermacam-macam bisa berasal

dari gigi, trauma, luka tembak, dan sebagainya. Penyebab paling sering

adalah dari gigi (infeksi odontogenik) yang dikarenakan oleh penyakit

periapikal dan penyakit periodontal.


Penjalaran infeksi sampai ke struktur jaringan sekitarnya dapat

terjadi secara perconinuitatum (melalui jaringan ikat jarang atau pat space)

dan hematogen (terjadi septicemia).

Gigi karies >> nekrosis pulpa >> abses dentoalveolar >> menjalar

ke tulang tergantung locus minores resistensiae >> dapat ke arah buka

atau palatal >> jika daya tahan jaringan setempat rendah semua >> abses

menjalar ke seluruh jaringan tulang >> osteomyelitis >> setelah sampai ke

periosteum >> infeksi menyebar >> jaringan lunak >> tergantung potensial

space, perlekatan otot, dan sebagainya.

Yang mempengaruhi penjalaran infeksi dari gigi tertentu adalah :

1. Ketebalan tulang yang mengelilingi apeks gigi.

2. Hubungan perforasi tulang ke perlekatan otot di mandibula atau

maksila.

3. Patogenesis Infeksi Oromaksilofasial

Mikroorganisme yang tersering dijumpai pada infeksi

oromaksilofasial adalah bakteri gram positif aerob serta gram negative

anaerob. Infeksi oromaksilofasial umumnya berasal dari infeksi ondotogenik

yang berasal dari daerah periapeks dan periodontium. Dari kedua

penyebab ini yang berasal dari periapeks adalah yang paling sering. Pulpa

gigi yang nekrosis akibat karies profunda member jalan bagi bakteri untuk

masuk ke dalam jaringan periapeks. Bila jaringan periapeks telah

mengalami inokulasi dengan bakteri, terjadilah suatu inffeksi yang aktif

yang akan menyebar ke berbagai arah terutama ke daerah yang

mempunyai resistensi minimal. Infeksi akan menyebar ketulang cancellous

menuju plat kortikal. Bila plat kortikal ini tipis, infeksi akan mengerosi tulang

dan masuk ke dalam jaringan lunak, selanjutnya pada jaringan lunak

penyebaran tergantung pada potensial space dan origo serta insersi otot-

otot pada daerah maskila dan mandibula.


4. Penyebaran Infeksi Oromaksilofasial

Infeksi oromaksilofasial menyebar melalui beberapa cara :

a. Perkomtinuitatum yaitu penyebaran infeksi langsung dari jaringan

menjalar ke jaringan di sekitarnya.

b. Limfogen yaitu melalui pembuluh limfe ke kelenjar limfe regional. Bila

infeksi terjadi pada kelenjar limfe, maka akan menyebabkan infeksi

sekunder disitu dan menyebar pula ke jaringan di sekitarnya.

c. Hematogen yaitu melalui pembuluh darah. Penyebaran melalui cara ini

relative jarang.

5. Diagnosis Infeksi Oromaksilofasial

Diagnosis perlu di tegakan agar penatalaksanaan infeksi

oromaksilofasial dapar dilakukan secara cepat dan tepat. Untuk

mendapatkan diagnosis yang tepat maka perlu melakukan :

1. Anamnesa mengenai mulai terjadinya penyakit,lamanya, kemungkinan

lokasi infeksi primer, intensitas penyakit, adanya kambuh ulang dari

penyaki serupa serta perawatan yang telah di dapat. Perlu juga di

tanyakan kemungkinan adanya gejala sistemik, pyrexia, malaise,

kesulitan menelan, kesulitan bernafas. Kemungkinan adanya penyakit

sistemik yang dapat memperberat infeksi dan yang dapat mempengaruhi

perawatannya.

2. Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan umum, pemeriksaan ekstra

oral, dan intra oral. Pemriksaan keadaan umum pasien meliputi

pemeriksaan tensu, suhu, nadi dan pernafasan untuk mengetahui

apakah ada penyebaran atau komplikasi infeksi oromaksilofasial ke

bagian tubuh lain. Dalam pemeriksaan ekstra oral diperhatikan adanya

pembengkakan, lokasi, luas dan besarnya, cardinal signs, fluktuasi,

limfadenopati pada kelenjar limfe regional, adanya trismus, sinus tract

atau fistula. Pada pemeriksaan intra oral perlu diperhatikan keadaan gigi
geligi, adanya karies, gigi non vital, nyeri tekan dan mobilitas gigi.

Kemudian dilihat pula apakah ada proses supurasi pada jaringan lunak di

dasar mulut, vestibulum, pipi, palatum dan daerah orofaring.

3. Pemeriksaan radiografik. Pada sebagian besar infeksi jenis ini perlu

dilakukan pemeriksaan radiografik dalam hal ini foto panoramic, untuk

mengetahui gigi penyebab dan mengevaluasi perluasan dan intensitas

kerusakan tulang. Apabila infeksi sudah lebih lanjut perlu pula dilakukan

foto toraks.

4. Pemeriksaan laboratorik. Pada kasus infeksi yang berat atau berpotensi

berat, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorik (darah dan urin), serta

identifikasi kuman penyebab dan test resistensi kuman.

6. Penatalaksanaan Infeksi Oromaksilofasial

Penatalaksanaan infeksi oromaksilofasial meliputi :

a. Perawatan medikamentosa. Pada perawatan ini perlu diberikan antibiotic

yang tepat dan adekuat yang meredakan infeksinya. Antibiotik yang

efektif untuk infeksi oromaksilofasial adalah golongan penisilin,

eritromisin, klindamisin, cefadroxil, metronidazole dan tetrasiklin. Bila

dicurigai kemungkinan adanya kuman penyebab yang resisten terhadap

penisilin, atau adanya kuman opportunistic atau anaerob maka perlu

dipertimbangkan penggunaan antibiotic bukan golongan penisilin. Pada

infeksi odontogenik yang berat, disarankan untuk pemberian antibiotik

bakterisid dosis tinggi secara parenteral bila perlu dilakukan kultur bakteri

dan tes resistensi. Analgetik dan antipiretik untuk mengurangi rasa sakit

dan demamnya. Perlu juga diberikan terapi suportif seperti pemberian

roborantia dan makanan yang tinggi kalori dan tinggi protein untuk

meningkatkan daya tahan tubuh. Hospitalisasi dan konsultasi medik

perlu dilakukan sesuai indikasi. Perbaikan jalan napas dan dehidrasi bila

ada.
b. Perawatan pembedahan. Pengeluaran pus dengan cara insisi dan

drainase merupakan tindakan yang sangat penting dalam perawatan

abses oromaksilofasial, hal ini dapat mengurangi rasa sakit dan

mempercepat proses penyembuhan. Inisisi dapat dilakukan bila pus

telah terlokalisir di daerah permukaan, sudah ada fluktuasi. Misalnya

pada daerah intra oral telah mencapai daerah subkutan dan ada

fluktuasi. Dalam melakukan inisisi dan drainase perlu

mempertimbangkan waktu yang tepat.

c. Perawatan gigi penyebab. Gigi penyebab perlu dilakukan ekstraksi bila

tidak mungkin lagi dirawat secara endodonsia. Ekstraksi gigi dilakukan

setelah tanda-tanda infeksi reda, karena bila dilakukan pada saat fase

akut, maka dikhawatirkan akan terjadi penyebaran infeksi, selain itu

anestesi local menjadi kurang efektif sehingga menimbulkan rasa sakit

yang akan menambah penderitaan pasien

d. Bila kasus infeksi terus berlanjut secara cepat dan progresis, penjalaran

infeksi telah mencapai ruang fascia, pasien sulit bernafas dan menelan,

suhu meningkat dan terdapat trismus kurang dari 1 cm, maka dokter gigi

umum harus segera merujuk ke dokter gigi spesialis bedah mulut.

7. Faktor Yang Mempengaruhi Infeksi Regio Maksilofasial

Infeksi adalah suatu keadaan sakit yang disebabkan oleh proses

masuk dan berkembang-biaknya mikroorganisme pathogen ke dalam

mulut. Infeksi pada bagian maksilofasial merupakan infeksi yang sering

terjadi di Kedokteran Gigi dan dapat berakibat fatal apabila tidak ditangani

dengan tepat dan cepat.

Infeksi pada regio maksilofasial dapat bersifat spesifik dan non-

spesifik. Infeksi spesifik adalah infeksi yang disebabkan oleh

mikroorganisme yang spesifik dan menunjukkan tanda dan gejala yang

khas, contohnya adalah lues, tetanus, tuberkulosis, actinomycosis.


Sedangkan infeksi non-spesifik merupakan masalah yang cukup sering

terjadi dalam kedokteran gigi. Disebut non-spesifik adalah karena

penyebabnya bisa karena berbagai macam mikroorganisme pathogen,

serta tidak menimbulkan gejala-gejala yang spesifik.

Ada 3 faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi pada regio

maksilofasial yaitu daya tahan tubuh yang menurun, mikroorganisme

pathogen yang aktif, serta faktor anatomis. Dalam keadaan normal,

terdapat keseimbangan antara faktor host (penderita) dengan faktor

mikroorganisme. Bila terjadi infeksi, keseimbangan bergeser, berat

ringannya infeksi terganung dari keseimbangan host dan mikroorganisme.

a. Faktor daya tahan tubuh

Dalam melihat daya tahan tubuh, kita mempertimbangkannya

secara umum dan lokal. Secara umum daya tahan tubuh memiliki first

line defense yang dilakukan oleh sel-sel PMN, leukosit, fagosit, dan

sebagainya dan second line defense yang dilakukan oleh sistem

imunologi (immunoglobulin, sistem komplemen, dan sebagainya).

Adanya penyakit yang mengganggu sistem pertahanan tubuh seperti

AIDS juga harus menjadi faktor pertimbangan.

Yang dimaksud dengan daya tahan tubuh secara lokal adalah

adanya locus minorus resistensiae atau tahanan jaringan lokal yang

menunjukkan bahwa adanya kerentanan yang berbeda dari jaringan dan

anatomi tubuh saat menghadapi infeksi. Infeksi akan mudah terjadi pada

daerah yang cenderung lemah pada saat itu.

b. Faktor mikroorganisme

Faktor mikroorganisme ini dipengarui oleh jenis, jumlah, dan

virulensi dari mikroorganisme pathogen. Ada kemungkinan infeksi

disebabkan oleh lebih dari satu mikroorganisme pathogen (mixed

infection) atau dapat juga terjadi infeksi oleh mikroorganisme anaerob.


Virulensi dari mikroorganisme semakin tinggi, infeksi akan semakin

berat. Saat terjadi infeksi, terkadang kita membutuhkan identifikasi

kuman apabila host (pasien) sudah memiliki resistensi pada antibiotik

tertentu).

c. Faktor anatomis

Ada beberapa faktor anatomis yang mendukung terjadinya

infeksi yaitu parential space (celah atau ruang di antara jaringan yang

mempunyai potensi sebagai tempat berkumpulnya pus), perlekatan otot

tulang rahang, bentuk tulang rahang, serta kepadatan tulang. Tulang

yang lebih padat, seperti pada mandibula, memiliki vaskularisasi yang

sedikit sehingga lebih rentan terjadi infeksi.

B. Infeksi Ondotogenik

1. Pengertian Infeksi Ondotogenik

Istilah infeksi didefinisikan sebagai kolonisasi merugikan dari

organisme inang oleh mikroorganisme asing. Peradangan adalah istilah

yang menggambarkan respon host terhadap rangsangan termasuk infeksi.

Timbulnya infeksi tergantung pada keseimbangan antara virulensi

mikroorganisme dan defenses. Infeksi host dihasilkan dari mikroorganisme

menyerang dari luar host disebut sebagai "infeksi eksogen" sementara

infeksi disebabkan oleh mikroorganisme yang sudah berada dalam tubuh

disebut "infeksi endogen". Infeksi mulut dan maksilofasial umumnya

memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) sebagian besar adalah endogen, dan

umumnya melibatkan mikroorganisme yang berada di mulut; (2) infeksi

yang sering berasal dari penyakit gigi dan periodontal yang ada.

infeksi merupakan akibat dari invasi mikroorganisme patogen ke

dalam tubuh dan reaksi jaringan yang terjadi pada penjamu terhadap

organisme dan toksinnya. sebenarnya hanya ada beberapa dari beribu-ribu


mikroorganisme di alam ini yang bersifat patogen terhadap manusia.

organisme patogen berperan sebagai flora normal dan mereka ini

menimbulkan daya tahan tubuh alamiah terhadap invasi mikroorganisme

Tanda klinis dari infeksi adalah kemerahan, bengkak, panas dan

nyeri. Fungsi yang hilang merupakan tanda klinis lain yang juga sering

terlihat. Tanda-tanda yang tidak spesifik lain termasuk demam, takikardi

dan juga menggigil. Leukositosis merupakan bukti adanya infeksi secara

laboratorium. Hitung jenis sel darah putih umumnya menunjukkan

pergeseran ke kiri dimana 85% sel darah putih yang terlihat pada sediaan

hapus darah tepi adalah sel-sel granulosit imatur.

Perubahan hemo dinamik dimulai segera setelah cedera dan

kemajuan pada tingkat yang berbeda-beda, sesuai dengan tingkat cedera.

Mereka mulai dengan pelebaran arteriol dan pembukaan kapiler baru dan di

daerah persinggahan venular. Hal ini menyebabkan aliran darah

dipercepat, akuntansi untuk tanda-tanda panas dan kemerahan.

Selanjutnya mengikuti meningkatnya permeabilitas mikrosirkulasi, yang

memungkinkan kebocoran protein kaya cairan keluar dari pembuluh darah

kecil dan masuk ke kompartemen cairan ekstravaskuler, akuntansi untuk

edema inflamasi.

Eksudat adalah cairan ektraselular yang umumnya mengumpul

dan menandakan adanya infeksi. Cairan ini harus diperiksa oleh dokter,

baik warna, bau, konsistensinya, dan ciri-ciri lain yang dapat membantu

menggologkan organisme penyebab. Sebagai tambahan, pewarnaan gram

terhadap eksudat adalah prosedur yang harus dikerjakan untuk mendapat

terapi yang sesuai. Pada beberapa kasus infeksi, biopsi jaringan akan

diperlukan untuk kepentingan diagnosis.

Infeksi odontogenik merupakan salah satu diantara beberapa infeksi

yang paling sering kita jumpai pada manusia. Pada kebanyakan pasien
infeksi ini bersifat minor atau kurang diperhitungkan dan seringkali ditandai

dengan drainase spontan di sepanjang jaringan gingiva pada gigi yang

mengalami gangguan.

Fistula Bakteremie-Septikemie

Selulitis Acute-Chronic Infeksi Spasium


Periapikal Infection yang dalam

Abses intra oral Osteomielitis Ke spasium yang lebih


Atau jaringan lunak-kutis tinggi infeksi serebral

Gambar 2.1 : Arah Penyebaran Infeksi odontogenik


Sumber : Oral and Maxillofacial Infection, Topazian Richard G, Morton H
Goldberg, James R hupp. 4th ed;Philadelphia, W.B.Saunders Co.

Infeksi odontogenik merupakan infeksi rongga mulut yang paling

sering terjadi. Infeksi odontogenik dapat merupakan awal atau kelanjutan

penyakit periodontal, perikoronal, trauma, atau infeksi pasca pembedahan. 5

Infeksi odontogenik juga lebih sering disebabkan oleh beberapa jenis

bakteri seperti streptococcus. Infeksi dapat terlokalisir atau dapat menyebar

secara cepat ke sisi wajah lain.

2. Klasifikasi Infeksi odontogenik

a. Berdasarkan organisme penyebab Infeksi

Bakteri

Virus

Parasit

Mikotik
b. Berdasarkan Jaringan

Odontogenik

Non-odontogenik

c. Berdasarkan lokasi masuknya

Pulpa

Periodontal

Perikoronal

Fraktur

Tumor

Oportunistik

d. Berdasarkan tinjauan klinis

Akut

Kronik

e. Berdasarkan spasium yang terkena

Spasium kaninus

Spasium bukal

Spasium infratemporal

Spasium submental

Spasium sublingual

Spasium submandibula

Spasium masseter

Spasium pterigomandibular

Spasium temporal

Spasium Faringeal lateral

Spasium retrofaringeal

Spasium prevertebral
3. Faktor-faktor yang berperan terjadinya infeksi

a. Virulensi dan Quantity

Di rongga mulut terdapat bakteri yang bersifat komensalis. Apabila

lingkungan memungkinkan terjadinya invasi, baik oleh flora normal

maupun bakteri asing, maka akan terjadi perubahan dan bakteri bersifat

patogen. Patogenitas bakteri biasanya berkaitan dengan dua faktor

yaitu virulensi dan quantity. Virulensi berkaitan dengan kualitas dari

bakteri seperti daya invasi, toksisitas, enzim dan produk-produk lainnya.

Sedangkan Quantity adalah jumlah dari mikroorganisme yang dapat

menginfeksi host dan juga berkaitan dengan jumlah faktor-faktor yang

bersifat virulen.

b. Pertahanan Tubuh Lokal

Pertahanan tubuh lokal memiliki dua komponen. Pertama barier

anatomi, berupa kulit dan mukosa yang utuh, menahan masuknya

bakteri ke jaringan di bawahnya. Pembukaan pada barier anatomi ini

dengan cara insisi poket periodontal yang dalam, jaringan pulpa yang

nekrosis akan membuka jalan masuk bakteri ke jaringan di bawahnya.

Gigi-gigi dan mukosa yang sehat merupakan pertahanan tubuh lokal

terhadap infeksi. Adanya karies dan saku periodontal memberikan jalan

masuk untuk invasi bakteri serta memberikan lingkungan yang

mendukung perkembangbiakan jumlah bakteri.

Mekanisme pertahanan lokal yang kedua adalah populasi bakteri

normal di dalam mulut, bakteri ini biasanya hidup normal di dalam tubuh

host dan tidak menyebabkan penyakit. Jika kehadiran bateri tersebut

berkurang akibat penggunaan antibiotik, organisme lainnya dapat

menggantikannya dan bekerjasama dengan bakteri penyebab infeksi

mengakibatkan infeksi yang lebih berat.


c. Pertahanan Humoral

Mekanisme pertahanan humoral, terdapat pada plasma dan cairan

tubuh lainnya dan merupakan alat pertahanan terhadap bakteri. Dua

komponen utamanya adalah imunoglobulin dan komplemen.

Imunoglobulin adalah antibodi yang melawan bakteri yang menginvasi

dan diikuti proses fagositosis aktif dari leukosit. Imunoglobulin

diproduksi oleh sel plasma yang merupakan perkembangan dari limfosit

B.Terdapat lima tipe imunoglobulin, 75 % terdiri dari Ig G merupakan

pertahanan tubuh terhadap bakteri gram positif. Ig A sejumlah 12 %

merupakan imunoglobulin pada kelenjar ludah karena dapat ditemukan

pada membran mukosa. Ig M merupakan 7 % dari imunoglobulin yang

merupakan pertahanan terhadap bakteri gram negatif. Ig E terutama

berperan pada reaksi hipersensitivitas. Fungsi dari Ig D sampai saat ini

belum diketahui.

Komplemen adalah mekanisme pertahanan tubuh humoral

lainnya, merupakan sekelompok serum yang di produksi di hepar dan

harus di aktifkan untuk dapat berfungsi. Fungsi dari komplemen yang

penting adalah yang pertama dalam proses pengenalan bakteri, peran

kedua adalah proses kemotaksis oleh polimorfonuklear leukosit yang

dari aliran darah ke daerah infeksi. Ketiga adalah proses opsonisasi,

untuk membantu mematikan bakteri. Keempat dilakukan fagositosis.

Terakhir membantu munculnya kemampuan dari sel darah putih untuk

merusak dinding sel bakteri.

d. Pertahanan Seluler

Mekanisme pertahanan seluler berupa sel fagosit dan limfosit. Sel

fagosit yang berperan dalam proses infeksi adalah leukosit

polimorfonuklear. Sel-sel ini keluar dari aliran darah dan bermigrasi e

daerah invasi bakteri dengan proses kemotaksis. Sel-sel ini melakukan


respon dengan cepat, tetapi sel-sel ini siklus hidupnya pendek, dan

hanya dapat melakukan fagositosis pada sebagian kecil bakteri. Fase

ini diikuti oleh keluarnya monosit dari aliran darah ke jaringan dan

disebut sebagai makrofag. Makrofag berfungsi sebagai fagositosis,

pembunuh dan menghancurkan bakteri dan siklus hidupnya cukup lama

dibandingkan leukosit polimorfonuklear. Monosit biasanya terlihat pada

infeksi lanjut atau infeksi kronis.

Komponen yang kedua dari pertahanan seluler adalah populasi

dari limfosit, seperti telah di sebutkan sebelumnya limfosit B akan

berdifernsiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi yang

spesifik seperti Ig G. Limfosit T berperan pada respon yang spesifik

seperti pada rejeksi graft (penolakan cangkok) dan tumor suveillance

(pertahanan terhadap tumor).

4. Tahapan Infeksi

Infeksi odontogenik umumnya melewati tiga tahap sebelum mereka

menjalani resolusi:

1. Selama 1 sampai 3 hari - pembengkakan lunak, ringan, lembut, dan

adonannya konsisten.

2. Antara 5 sampai 7 hari tengahnya mulai melunak dan abses merusak

kulit atau mukosa sehingga membuatnya dapat di tekan. Pus mungkin

dapat dilihat lewat lapisan epitel, membuatnya berfluktuasi.

3. Akhirnya abses pecah, mungkin secara spontan atau setelah

pembedahan secara drainase. Selama fase pemecahan, regio yang

terlibat kokoh/tegas saat dipalpasi disebabkan oleh proses pemisahan

jaringan dan jaringan bakteri.


5. Patogenesis

Penyebaran infeksi odontogenik akan melalui tiga tahap yaitu

tahap abses dentoalveolar, tahap yang menyangkut spasium dan tahap

lebih lanjut yang merupakan tahap komplikasi. Suatu abses akan terjadi bila

bakteri dapat masuk ke jaringan melalui suatu luka ataupun melalui folikel

rambut. Pada abses rahang dapat melalui foramen apikal atau marginal

gingival.

Penyebaran infeksi melalui foramen apikal berawal dari kerusakan

gigi atau karies, kemudian terjadi proses inflamasi di sekitar periapikal di

daerah membran periodontal berupa suatu periodontitis apikalis.

Rangsangan yang ringan dan kronis menyebabkan membran periodontal di

apikal mengadakan reaksi membentuk dinding untuk mengisolasi

penyebaran infeksi. Respon jaringan periapikal terhadap iritasi tersebut

dapat berupa periodontitis apikalis yang supuratif atau abses dentoalveolar.

6. Macam-macam Infeksi odontogenik

Macam-macam infeksi odontogenik dapat berupa : infeksi

dentoalveolar, infeksi periodontal, infeksi yang menyangkut spasium,

selulitis, flegmon, osteomielitis, dan infeksi yang merupakan komplikasi

lebih lanjut.

7. Tanda dan Gejala Infeksi odontogenik

a. Adanya respon Inflamasi

Respon tubuh terhadap agen penyebab infeksi adalah inflamasi.

Pada keadaan ini substansi yang beracun dilapisi dan dinetralkan. Juga

dilakukan perbaikan jaringan, proses inflamasi ini cukup kompleks dan

dapat disimpulkan dalam beberapa tanda :


1) Hiperemi yang disebabkan vasodilatasi arteri dan kapiler dan

peningkatan permeabilitas dari venula dengan berkurangnya aliran

darah pada vena.

2) Keluarnya eksudat yang kaya akan protein plasma, antiobodi dan

nutrisi dan berkumpulnya leukosit pada sekitar jaringan.

3) Berkurangnya faktor permeabilitas, leukotaksis yang mengikuti

migrasi leukosit polimorfonuklear dan kemudian monosit pada

daerah luka.

4) Terbentuknya jalinan fibrin dari eksudat, yang menempel pada

dinding lesi.

5) Fagositosis dari bakteri dan organisme lainnya

6) Pengawasan oleh makrofag dari debris yang nekrotik

b. Adanya gejala infeksi

Gejala-gejala tersebut dapat berupa : rubor atau kemerahan terlihat

pada daerah permukaan infeksi yang merupakan akibat vasodilatasi.

Tumor atau edema merupakan pembengkakan daerah infeksi. Kalor atau

panas merupakan akibat aliran darah yang relatif hangat dari jaringan

yang lebih dalam, meningkatnya jumlah aliran darah dan meningkatnya

metabolisme. Dolor atau rasa sakit, merupakan akibat rangsangan pada

saraf sensorik yang di sebabkan oleh pembengkakan atau perluasan

infeksi. Akibat aksi faktor bebas atau faktor aktif seperti kinin, histamin,

metabolit atau bradikinin pada akhiran saraf juga dapat menyebabkan

rasa sakit. Fungsio laesa atau kehilangan fungsi, seperti misalnya

ketidakmampuan mengunyah dan kemampuan bernafas yang

terhambat. Kehilangan fungsi pada daerah inflamasi disebabkan oleh

faktor mekanis dan reflek inhibisi dari pergerakan otot yang disebabkan

oleh adanya rasa sakit.


c. Limphadenopati

Pada infeksi akut, kelenjar limfe membesar, lunak dan sakit. Kulit di

sekitarnya memerah dan jaringan yang berhubungan membengkak.

Pada infeksi kronis perbesaran kelenjar limfe lebih atau kurang keras

tergantung derajat inflamasi, seringkali tidak lunak dan pembengkakan

jaringan di sekitarnya biasanya tidak terlihat. Lokasi perbesaran kelenjar

limfe merupakan daerah indikasi terjadinya infeksi. Supurasi kelenjar

terjadi jika organisme penginfeksi menembus sistem pertahanan tubuh

pada kelenjar menyebabkan reaksi seluler dan memproduksi pus.

Proses ini dapat terjadi secara spontan dan memerlukan insisi dan

drainase.

8. Definisi Abses Odontogenik

Abses adalah infeksi akut yang terlokalisir pada rongga yang

berdinding tebal, manifestasinya berupa keradangan, pembengkakan yang

nyeri jika ditekan, dan kerusakan jaringan setempat.

Abses rongga mulut adalah suatu infeksi pada mulut, wajah,

rahang, atau tenggorokan yang dimulai sebagai infeksi gigi atau karies gigi.

Kehadiran abses dentoalveolar sering dikaitkan dengan kerusakan yang

relatif cepat dari alveolar tulang yang mendukung gigi. Jumlah dan rute

penyebaran infeksi tergantung pada lokasi gigi yang terkena serta

penyebab virulensi organisme.

9. Macam-macam Abses Odontogenik

a. Abses periapikal

Abses periapikal sering juga disebut abses dento-alveolar, terjadi

di daerah periapikal gigi yang sudah mengalami kematian dan terjadi

keadaan eksaserbasi akut. Mungkin terjadi segera setelah kerusakan

jaringan pulpa atau setelah periode laten yang tiba-tiba menjadi infeksi
akut dengan gejala inflamasi, pembengkakan dan demam. Mikroba

penyebab infeksi umumnya berasal dari pulpa, tetapi juga bisa berasal

sistemik (bakteremia).

Gambar 2.2 : Abses periapikal

b. Abses subperiosteal

Gejala klinis abses subperiosteal ditandai dengan selulitis

jaringan lunak mulut dan daerah maksilofasial. Pembengkakan yang

menyebar ke ekstra oral, warna kulit sedikit merah pada daerah gigi

penyebab. Penderita merasakan sakit yang hebat, berdenyut dan dalam

serta tidak terlokalisir. Pada rahang bawah bila berasal dari gigi premolar

atau molar pembengkakan dapat meluas dari pipi sampai pinggir

mandibula, tetapi masih dapat diraba. Gigi penyebab sensitif pada

sentuhan atau tekanan.

Gambar: a. Ilustrasi gambar Abses subperiosteal dengan lokalisasi di


daerah lingual
b. Tampakan Klinis Abses Subperiostea
c. Abses submukosa

Abses ini disebut juga abses spasium vestibular, merupaan

kelanjutan abses subperiosteal yang kemudian pus berkumpul dan

sampai dibawah mukosa setelah periosteum tertembus. Rasa sakit

mendadak berkurang, sedangkan pembengkakan bertambah besar.

Gejala lain yaitu masih terdapat pembengkakan ekstra oral kadang-

kadang disertai demam.lipatan mukobukal terangkat, pada palpasi lunak

dan fluktuasi podotip. Bila abses berasal darigigi insisivus atas maka

sulkus nasolabial mendatar, terangatnya sayap hidung dan kadang-

kadang pembengkakan pelupuk mata bawah. Kelenjar limfe

submandibula membesar dan sakit pada palpasi.

a b
Gambar: a. Ilustrasi gambar Abses Submukosa dengan lokalisasi
didaerah bukal.
b. Tampakan klinis Abses Submukosa

d. Abses fosa kanina

Fosa kanina sering merupakan tempat infeksi yang bersal dari

gigi rahang atas pada regio ini terdapat jaringan ikat dan lemak, serta

memudahkan terjadinya akumulasi cairan jaringan. Gejala klinis ditandai

dengan pembengkakan pada muka, kehilangan sulkus nasolabialis dan

edema pelupuk mata bawah sehingga tampak tertutup. Bibir atas


bengkak, seluruh muka terasa sakit disertai kulit yang tegang berwarna

merah.

a b
Gambar : a. Ilustrasi abses Fossa kanina
b. Tampakan klinis Abses Fossa kanina

e. Abses spasium bukal

Spasium bukal berada diantara m. masseter ,m. pterigoidus

interna dan m. Businator. Berisi jaringan lemak yang meluas ke atas ke

dalam diantara otot pengunyah, menutupi fosa retrozogomatik dan

spasium infratemporal. Abses dapat berasal dari gigi molar kedua atau

ketiga rahang atas masuk ke dalam spasium bukal.

Gejala klinis abses ini terbentuk di bawah mukosa bukaldan

menonjol ke arah rongga mulut. Pada perabaan tidak jelas ada proses

supuratif, fluktuasi negatif dan gigi penyebab kadang-kadang tidak jelas.

Masa infeksi/pus dapat turun ke spasium terdekat lainnya. Pada

pemeriksaan estraoral tampak pembengkakan difus, tidak jelas pada

perabaan.
a b

Gambar: a. Ilustrasi gambar memperlihatkan penyebaran abses


lateral ke muskulus buccinator
b. Tampakan Klinis

f. Abses spasium infratemporal

Abses ini jarang terjadi, tetapi bila terjadi sangat berbahaya dan

sering menimbulkan komplikasi yang fatal. Spasium infratemporal

terletak di bawah dataran horisontal arkus-zigomatikus dan bagian lateral

di batasi oleh ramus mandibula dan bagian dalam oleh m.pterigoid

interna. Bagian atas dibatasi oleh m.pterigoid eksternus. Spasium ini

dilalui a.maksilaris interna dan n.mandibula,milohioid,lingual,businator

dan n.chorda timpani. Berisi pleksus venus pterigoid dan juga

berdekatan dengan pleksus faringeal.


Gambar : a. Ilustrasi gambar penyebaran abses ke rongga
infratemporal
b. Tampakan klinis

g. Abses spasium submasseter

Spasium submasseter berjalan ke bawah dan ke depan

diantara insersi otot masseter bagian superfisialis dan bagian dalam.

Spasium ini berupa suatu celah sempit yang berjalan dari tepi depan

ramus antara origo m.masseter bagian tengah dan permukaan tulang.

Keatas dan belakang antara origo m.masseter bagian tengah dan bagian

dalam. Disebelah belakang dipisahkan dari parotis oleh lapisan tipis

lembar fibromuskular. Infeksi pada spasium ini berasal dari gigi molar

tiga rahang bawah, berjalan melalui permukaan lateral ramus ke atas

spasium ini.

Gejala klinis dapat berupa sakit berdenyut diregio ramus

mansibula bagian dalam, pembengkakan jaringan lunak muka disertai

trismus yang berjalan cepat, toksik dan delirium. Bagian posterior ramus

mempunyai daerah tegangan besar dan sakit pada penekanan.


a b

Gambar : a. Ilustrasi gambar menunjukkan penyebaran abses ke


daerah submasseter
b. Tampakan klinis

h. Abses spasium submandibula

Spasium ini terletak dibagian bawah m.mylohioid yang

memisahkannya dari spasium sublingual. Lokasi ini di bawah dan medial

bagian belakang mandibula. Dibatasi oleh m.hiooglosus dan

m.digastrikus dan bagian posterior oleh m.pterigoid eksternus. Berisi

kelenjar ludah submandibula yang meluas ke dalam spasium sublingual.

Juga berisi kelenjar limfe submaksila. Pada bagian luar ditutup oleh fasia

superfisial yang tipis dan ditembus oleh arteri submaksilaris eksterna.

Infeksi pada spasium ini dapat berasal dari abses

dentoalveolar, abses periodontal dan perikoronitis yang berasal dari gigi

premolar atau molar mandibula.


a b

Gambar 2.9 : a. Ilustrasi gambar penyebaran dari abses ke daerah


submandibular di bawah muskulus mylohyoid
b. Tampakan klinis
i. Abses sublingual

Spasium sublingual dari garis median oleh fasia yang tebal ,

teletek diatas m.milohioid dan bagian medial dibatasi oleh m.genioglosus

dan lateral oleh permukaan lingual mandibula.

Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan daasarr mulut dan

lidah terangkat, bergerser ke sisi yang normal. Kelenjar sublingual aan

tampak menonjol karena terdesak oleh akumulasi pus di bawahnya.

Penderita akan mengalami kesulitan menelen dan terasa sakit.

Gambar : a. Perkembangan abses di daerah sublingual


b. Pembengkakan mukosa pada dasar mulut dan elevasi
lidah ke arah berlawanan
j. Abses spasium submental

Spasium ini terletak diantara m.milohioid dan m.plastima. di

depannya melintang m.digastrikus, berisi elenjar limfe submental.

Perjalanan abses kebelakang dapat meluas ke spasium mandibula dan

sebaliknya infesi dapat berasal dari spasium submandibula. Gigi

penyebab biasanya gigi anterior atau premolar.

Gejala klinis ditandai dengan selulitis pada regio submental.

Tahap akhir akan terjadi supuratif dan pada perabaan fluktuatif positif.

Pada npemeriksaan intra oral tidak tampak adanya pembengkakan.

Kadang-kadang gusi disekitar gigi penyebab lebih merah dari jaringan

sekitarnya. Pada tahap lanjut infeksi dapat menyebar juga kearah

spasium yang terdekat terutama kearah belakang.

Gambar : a. Ilustrasi penyebaran abses ke daerah submental


b. Tampakan klinis

k. Abses spasium parafaringeal

Spasium parafaringeal berbentuk konus dengan dasar kepala

dan apeks bergabung dengan selubung karotid. Bagian luar dibatasi oleh

muskulus pterigoid interna dan sebelah dalam oleh muskulus kostriktor.

sebelah belakang oleh glandula parotis, muskulus prevertebalis dan

prosesus stiloideus serta struktur yang berasal dari prosesus ini.

Kebelakang dari spasium ini merupakan lokasi arteri karotis, vena


jugularis dan nervus vagus, serta sturktur saraf spinal, glosofaringeal,

simpatik, hipoglosal dan kenjar limfe.

Infeksi pada spasium ini mudah menyebar keatas melalui

berbagai foramina menuju bagian otak. Kejadian tersebut dapat

menimbulkan abses otak, meningitis atau trombosis sinus. Bila infeksi

berjalan ke bawah dapat melalui selubung karotis sampai mediastinuim.

10. Penatalaksanaan Abses Odontogenik

Perawatan abses odontogenik dapat dilakukan secara

lokal/sitemik. Perawatan lokal meliputi irigasi, aspirasi, insisi dan drainase,

sedangkan perawatan sistemik terdiri atas pengobatan untuk

menghilangkan rasa sakit, terapi antibiotik, dan terapi pendukung.

Walaupun kelihatannya pasien memerlukan intervensi lokal dengan

segera, tetapi lebih bijaksana apabila diberikan antibiotik terlebih dahulu

untuk mengurangi kemungkinan terjadinya bakterimia dan difusi lokal

(inokulasi) sebagai akibat sekunder dari manipulasi (perawatan) yang

dilakukan.

Abses periodontal dan perikoronal sering disertai pernanahan

(purulensi), yang bisa dijadikan sampel untuk kultur sebelum dilakukan

tindakan lokal. Apabila abses mempunyai dinding yang tertutup, yang

merupakan ciri khas dari lesi periapikal, maka palpasi digital yang

dilakukan perlahan-lahan terhadap lesi yang teranestesi bisa

menunjukkan adanya fluktuasi yang merupakan bukti adanya pernanahan.

Abses perikoronal dan periodontal superfisial yang teranestesi

bisa diperiksa/dicari dengan menggeser jaringan yang menutupinya yaitu

papila interdental atau operkulum. Pada daerah tersebut biasanya juga

terdapat debris makanan, yang merupakan benda asing yang dapat

mendukung proses infeksi.


a. Alat dan Bahan

1. Jarum 18 atau 20 gauge

2. Spoit disposibel 3ml

b. Insisi dan Drainase

Abses fluktuan dengan dinding yang tertutup, baik abses

periodontal maupun periapikal, dirawat secara lokal yaitu insisi dan

drainase, maka anestesi yang dilakukan sebelumnya yaitu pada waktu

sebelum aspirasi sudah dianggap cukup untuk melanjutkan tindakan ini.

Lokasi standar untuk melakukan insisi abses adalah daerah yang paling

bebas, yaitu daerah yang paling mudah terdrainase dengan

memanfaatkan pengaruh gravitasi. Seperti pada pembuatan flap,

biasanya kesalahan yang sering dilakukan adalah membuat insisi yang

terlalu kecil. Insisi yang agak lebih besar mempermudah drainase dan

pembukaannya bisa bertahan lebih lama. Drain yang dipakai adalah

suatu selang karet dan di pertahankan pada posisinya dengan jahitan.

Gambar: Ilustrasi gambar untuk insisi Abses

Gambar: Ilustrasi gambar setelah dilakukan insisi Abses


c. Perawatan Pendukung

Pasien diberi resep antibiotik (Penicillin atau erythromycin)

dan obat-obatan analgesik (kombinasi narkotik/non-narkotik). Perlu di

tekankan kepada pasien bahwa mereka harus makan dan minum yang

cukup. Apabila menganjurkan kumur dengan larutan saline hangat,

onsentrasinya 1 sendok teh garam dilarutkan dalam 1 gelas air, dan

dilaukan paling tidak seiap selesai makan. Pasien dianjurkan untuk

memperhatikan timbulnya gejala-gejala penyebaran infeksi yaitu

demam, meningkatnya rasa sakit dan pembengkakan, trismus/disfagia.


BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Infeksi maksilofasial merupakan kasus yang sering di jumpai sehari-hari, baik

di rumah sakit maupun di tempat prakter dokter gigi. Sumber infeksi region ini

adalah gigi geligi yang umumnya merupakan infeksi ringan dan mudah di

terapi dengan antibiotic. Namun apabila penanganannya kurang tepat dan

cepat maka akan menyebabkan kasus infeksi menjadi lebih berat dan

kompleks sehingga membutuhkan perawatan lebih lanjut dan tidak jarang

akhirnya membutuhkan hospitalisasi.

B. Saran

1. Dokter gigi hendaknya mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai

infeksi maksilofasial yang disebakan oleh infeksi odontogen terkhusus

klasifikasi infeksi oromaksilofasial berdasarkan spasium yang terkena,

dikarenakan anatomi dari abses leher dalam sangat kompleks dan tertutupi

oleh beberapa jaringan lunak sehingga sulit menentukan lokasi abses.

2. Hendaknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai prevalensi infeksi

oromaksilofasial yang disebabkan oleh infeksi odontogen, agar dapat

menambah wawasan yang lebih dalam dalam bidang bedah mulut.


DAFTAR PUSTAKA

Daud ME.,Karasutisna T. 2001. Infeksi odontogenik 1thed. Bandung. Bagian


Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Unpad. p.1-12.

Gordon WP. 1996. Buku ajar praktis bedah mulut. Alih bahasa : purwanto,
basoeseno. Philadelphia. Jakarta: EGC.

Harti FJ, Ogston R. 1995. Kamus kedokteran gigi (concise illustrated dental
dictionary). Alih bahasa, Narlan S. Jakarta: EGC.

Karasutisna, Tis dkk. 2001. Buku Ajar Ilmu Bedah Mulut. Infeksi Odontogenik.
Bandung: FKG Universitas Padjadjaran.

Roeslan BoediOetomo .2002. Respon Imun di Dalam Rongga Mulut, Majalah


Ilmiah Kedokteran Gigi, Scientific Journal in Dentistry No.49 Tahun 17

Ruslin,Muhammad dkk.2012. Modul Pendidikan dan Pelatihan Profesionalisme


Kedokteran Gigi Berkelanjutan Bidang Bedah Mulut. Makassar ; Pengwil
Pabmi Sulawesi

Soemartono. 2000. Majalah Kedokteran Gigi; Edisi Khusus Temu Ilmiah Nasional
III:323.

Anda mungkin juga menyukai