Anda di halaman 1dari 191

DRAF PEDOMAN UMUM

AKUNTANSI UNTUK TUJUAN PAJAK

BIDANG PENGEMBANGAN PEDOMAN AKUNTANSI PERPAJAKAN

KOMPARTEMEN AKUNTAN PAJAK

IKATAN AKUNTAN INDONESIA

FEBRUARI 2017
KATA PENGANTAR

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pajak


(selanjutnya disebut Ketentuan Pajak), Wajib Pajak Badan, Bentuk Usaha Tetap
(BUT), dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu diwajibkan untuk
menyelenggarakan pembukuan. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan
yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi
keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta
ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba
rugi untuk periode yang bersangkutan.

Berdasarkan pengertian pembukuan di atas, pembukuan sekurang-


kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan
dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya
pajak yang terutang dalam konteks Pajak Penghasilan (PPh). Selain untuk
menghitung PPh, pembukuan juga dimaksudkan untuk menghitung Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPn BM).
Dengan demikian, pembukuan untuk tujuan pajak tidak hanya menjadi dasar
penghitungan PPh, tetapi juga menjadi dasar penghitungan PPN dan PPn BM.

Terkait penyelenggaraan pembukuan untuk tujuan pajak, Ketentuan


Pajak menegaskan bahwa pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau
sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar
Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan pajak menentukan lain.

Secara umum, pelaksanaan pembukuan untuk tujuan pajak tetap berasal


dari transaksi yang dibukukan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan.
Namun, untuk menghitung PPh serta PPN dan PPn BM perlu dilakukan
penyesuaian berdasarkan Ketentuan Pajak yang berlaku. Penyesuaian tersebut

i
perlu dilakukan karena antara Standar Akuntansi Keuangan dan Ketentuan
Pajak memiliki beberapa perbedaan terkait dengan: (i) konsep dasar
penyusunannya, (ii) perlakuan atas penghasilan dan biaya, (iii) perlakuan atas
akun-akun posisi keuangan, serta (iv) pengungkapan khusus untuk akun-akun
tertentu.

Dalam praktik, sering terdapat perbedaan interpretasi antara otoritas


pajak dan Wajib Pajak terkait dengan perhitungan dan pengungkapan PPh dan
PPN dan PPn BM. Oleh karena itu, perlu dibuat suatu pedoman umum
pembukuan untuk tujuan pajak yang dimaksudkan untuk menjadi panduan
perhitungan dan pengungkapan PPh serta PPN dan PPn BM. Akan tetapi, dalam
pedoman ini, yang dibahas hanya terkait dengan pedoman umum pembukuan
untuk tujuan perhitungan Penghasilan Kena Pajak (Dasar Pengenaan PPh)
beserta penyajian, pengungkapan, dan keterkaitan akun-akun yang terdapat di
Laporan Rugi Laba dan Posisi Keuangan terhadap implikasi PPh-nya. Adapun
terkait dengan pembukuan untuk tujuan pajak yang lebih khusus dan terperinci,
perlakuan pembukuannya akan dijabarkan dalam bentuk Pedoman Khusus
Akuntansi Pajak. Berdasarkan alasan di atas, pedoman yang terdapat dalam
buku ini dinamai dengan Pedoman Umum Akuntansi untuk Tujuan Pajak
(selanjutnya disebut Buku Pedoman Umum).

Seperti yang telah disebutkan di atas, Buku Pedoman Umum ini disusun
dengan tujuan utama sebagai jembatan untuk melakukan Koreksi atau
Penyesuaian Fiskal dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak. Selain
itu, Buku Pedoman Umum ini juga memberikan panduan dalam menyusun
Laporan Posisi Keuangan untuk tujuan pajak serta Pengungkapan Khusus yang
harus dipenuhi sebagai satu kesatuan untuk penyusunan Surat Pemberitahuan
(SPT) Tahunan PPh yang benar, jelas, dan lengkap.

Pendekatan yang digunakan dalam Buku Pedoman Umum ini adalah


berdasarkan Ketentuan Pajak, dan jika tidak diatur khusus maka diterapkan
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku. Buku Pedoman Umum ini terbagi ke

ii
dalam empat bab yang masing-masing akan membahas tentang: (i) Konsep
Dasar Akuntansi untuk Tujuan Pajak, (ii) Laporan Rugi Laba untuk Tujuan Pajak,
(iii) Laporan Posisi Keuangan untuk Tujuan Pajak, serta (iv) Pengungkapan
Khusus untuk Tujuan Pajak.

Akhir kata kami berharap bahwa Buku Pedoman Umum ini dapat
bermanfaat dalam pengembangan akuntansi pajak di Indonesia. Semoga dengan
hadirnya Buku Pedoman Umum ini dapat membantu menghitung Penghasilan
Kena Pajak beserta penyajian dan pengungkapannya secara benar, lengkap, dan
jelas.

Jakarta, Februari 2017

Bidang Pengembangan Pedoman Akuntansi Perpajakan

Ikatan Akuntan Indonesia

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL.................................................................................................. viii
DAFTAR ILUSTRASI.......................................................................................... x

BAB 1 KONSEP DASAR AKUNTANSI TUJUAN PAJAK............................. 1

A. LATAR BELAKANG................................................................................. 1
B. HUBUNGAN ANTARA AKUNTANSI KEUANGAN DAN PAJAK..... 5
C. ASUMSI DASAR AKUNTANSI UNTUK TUJUAN PAJAK................. 9
C.1. Pengungkapan Penuh.......................................................................... 9
C.2. Unit Moneter........................................................................................... 9
C.3. Entitas Terpisah..................................................................................... 9
C.4. Kelangsungan Usaha............................................................................ 10
C.5. Basis Kas dan Akrual............................................................................ 10
C.6. Konsistensi............................................................................................... 10
C.7 Perioderisasi............................................................................................ 11
C.8 Realisasi..................................................................................................... 11
C.9 Materialitas.............................................................................................. 12
C.10. Konservatisme........................................................................................ 12
D. KARAKTERISTIK KUALITATIF............................................................ 13
D.1. Relevan....................................................................................................... 14
D.2. Netral.......................................................................................................... 14
D.3. Benar........................................................................................................... 14
D.4. Lengkap..................................................................................................... 15
D.5. Jelas.............................................................................................................. 15
E. KONSEP DASAR ATAS PENGAKUAN, PENGUKURAN,
PENYAJIAN, SERTA PENGUNGKAPAN PENGHASILAN DAN
BIAYA.......................................................................................................... 15
E.1. Pengakuan, Pengukuran, Penyajian, dan Pengungkapan
Penghasilan.............................................................................................. 15
E.2. Pengakuan, Pengukuran, Penyajian, dan Pengungkapan
Biaya............................................................................................................ 16

iv
F. KONSEP DASAR ATAS TAHUN PAJAK DAN METODE
PEMBUKUAN............................................................................................. 17
F.1. Tahun Pajak............................................................................................. 17
F.2. Metode Pembukuan.............................................................................. 18

BAB 2 LAPORAN RUGI LABA UNTUK TUJUAN PAJAK......................... 20

A. ELEMEN LAPORAN RUGI LABA UNTUK TUJUAN PAJAK............. 20


A.1. Penghasilan.............................................................................................. 20
A.1.1. Penghasilan yang Merupakan Objek Pajak............. 22
A.1.2. Penghasilan yang Dikenakan Tarif Bersifat
Final.......................................................................................... 38
A.1.3. Penghasilan yang Bukan Merupakan Objek
Pajak......................................................................................... 51
A.2. Biaya............................................................................................................ 55
A.2.1. Biaya yang Boleh Dikurangkan.................................... 56
A.2.2. Biaya yang Tidak Boleh Dikurangkan....................... 87
B. FORMAT LAPORAN RUGI LABA UNTUK TUJUAN PAJAK............ 89
B.1. Peredaran Usaha.................................................................................... 89
B.2. Harga Pokok Penjualan....................................................................... 91
B.3. Biaya Usaha Lainnya............................................................................ 93
B.4. Penghasilan Neto Usaha..................................................................... 93
B.5. Penghasilan Neto Luar Usaha.......................................................... 93
B.6. Biaya dari Luar Usaha.......................................................................... 93
B.7. Penghasilan Neto Luar Negeri.......................................................... 93
B.8. Penyesuaian Fiskal Positif.................................................................. 94
B.9. Penyesuaian Fiskal Negatif................................................................ 96
B.10. Fasilitas Penanaman Modal............................................................... 98
B.11. Penghasilan Neto Fiskal...................................................................... 98
B.12 Kompensasi Kerugian.......................................................................... 98
B.13. Penghasilan Kena Pajak...................................................................... 99
B.14. Pajak Penghasilan.................................................................................. 99
Format Laporan Rugi Laba untuk Tujuan Pajak....................................... 101

BAB 3 LAPORAN POSISI KEUANGAN UNTUK TUJUAN PAJAK............ 103

A. HARTA......................................................................................................... 103
A.1. Harta Lancar............................................................................................ 104
A.1.1. Kas dan Setara Kas............................................................. 105

v
A.1.2. Investasi Sementara.......................................................... 105
A.1.3. Piutang Usaha....................................................................... 107
A.1.4. Piutang Lain-Lain................................................................ 108
A.1.5. Piutang dalam Hubungan Istimewa........................... 109
A.1.6. Persediaan............................................................................. 109
A.1.7. Piutang Pajak........................................................................ 111
A.1.8. Pajak Dibayar Dimuka...................................................... 113
A.1.9 Biaya Dibayar Dimuka...................................................... 116
A.2. Harta Tidak Lancar............................................................................... 116
A.2.1. Investasi Jangka Panjang................................................. 117
A.2.2. Harta Tetap........................................................................... 119
A.2.3. Harta Tak Berwujud.......................................................... 123
A.2.4. Aset pajak Tangguhan...................................................... 126
A.2.5. Harta Lain-Lain.................................................................... 128
B. UTANG......................................................................................................... 128
B.1. Utang Jangka Pendek........................................................................... 129
B.1.1. Utang Usaha.......................................................................... 130
B.1.2. Utang Sewa............................................................................ 130
B.1.3. Utang dalam Hubungan Istimewa............................... 131
B.1.4. Wesel Bayar.......................................................................... 131
B.1.5. Utang Bank Jangka Pendek............................................. 132
B.1.6. Utang Jangka Panjang....................................................... 132
B.1.7. Pendapatan Diterima Dimuka....................................... 132
B.1.8. Biaya yang Masih Harus Dibayar................................. 132
B.1.9. Utang Pajak............................................................................ 133
B.1.10. Kewajiban Imbalan Kerja................................................ 135
B.1.11. Utang Dividen....................................................................... 136
B.2. Utang Jangka Panjang.......................................................................... 136
B.2.1. Utang Obligai........................................................................ 137
B.2.2. Utang Subordinasi.............................................................. 138
B.2.3. Kewajiban Pajak Tangguhan......................................... 138
B.2.4. Utang Lain-Lain................................................................... 139
C. MODAL........................................................................................................ 140
C.1 Modal Saham........................................................................................... 140
C.2. Tambahan Modal Disetor................................................................... 142
C.3. Laba Ditahan............................................................................................ 142
C.4. Selisih Penilaian Kembali Harta Tetap......................................... 143
C.5. Saham Treasuri....................................................................................... 143
Format laporan Posisi Keuangan untuk Tujuan Pajak........................... 146

vi
BAB 4 PENGUNGKAPAN KHUSUS AKUNTANSI UNTUK TUJUAN
PAJAK.................................................................................................................... 147

BAGIAN 1 EKUALISASI PPh BADAN DAN EKUALISASI PPN


A. EKUALISASI OBJEK PPh BADAN DAN OBJEK PPN DALAM 147
NEGERI........................................................................................................
B. EKUALISASI PPh BADAN DAN OBJEK PEMOTONGAN PPh......... 150

BAGIAN 2 PENGUNGKAPAN TRANSAKSI HUBUNGAN ISTIMEWA.. 155


A. KONSEP HUBUNGAN ISTIMEWA........................................................ 154
B. DOKUMEN PENENTUAN HARGA TRANSFER................................... 156
B.1. Dokumen Induk (Master File).......................................................... 158
B.2. Dokumen Lokal (Local File).............................................................. 161
B.3. Laporan per Negara (Country by Country Reporting)............ 164
C. PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA........................... 165
D. ANALISIS KESEBANDINGAN DAN PENENTUAN PEMBANDING.. 166
D.1. Analaisis Fungsional............................................................................. 166
D.2. Analisis Kesebandingan...................................................................... 167
D.3. Menentukan Pembanding.................................................................. 169
E. METODE PENENTUAN HARGA TRANSFER...................................... 170
E.1. Metode Perbandingan Harga (Comparable Uncontrolled
Price)........................................................................................................... 171
E.2. Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method).... 172
E.3. Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method)......................................... 173
E.4. Metode Pembagian Laba (Profit Split Method)......................... 173
E.5 Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net
Margin Method)...................................................................................... 175
F. PELAPORAN PIHAK-PIHAK YANG MEMILIKI HUBUNGAN
ISTIMEWA.................................................................................................. 176

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Perbedaan antara Subjek Pajak Dalam negeri dan


Subjek Pajak Luar Negeri............................................................... 2

Tabel 2.1 Perhitungan Penghasilan Neto Komersial.............................. 26


Tabel 2.2 Tarif PPh Final atas Bunga Deposito dan Tabungan
Lainnya.................................................................................................. 39
Tabel 2.3 Tarif PPh Final atas Bunga Obligasi.......................................... 40
Tabel 2.4 Tarif PPh Final atas Bunga Simpanan Koperasi.................... 41
Tabel 2.5 Tarif PPh Final atas Jasa Konstruksi dengan Klasifikasi
Usaha...................................................................................................... 46
Tabel 2.6 Tarif PPh Final atas Jasa Konstruksi tanpa Klasifikasi
Usaha...................................................................................................... 46
Tabel 2.7 Tarif PPh Final atas Uang Pesangon........................................... 48
Tabel 2.8 Tarif PPh Final atas Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan
Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua................................................. 48
Tabel 2.9 Tarif PPh atas Uang Pesangon yang Dialihkan kepada
Pengelola Dana Pesangon.............................................................. 48
Tabel 2.10 Penentuan Masa Manfaat dan Tarif Penyusutan.................. 63
Tabel 2.11 Jenis Harta Berwujud Kelompok 1............................................. 64
Tabel 2.12 Jenis Harta Berwujud Kelompok 2............................................. 65
Tabel 2.13 Jenis Harta Berwujud Kelompok 3............................................. 67
Tabel 2.14 Jenis Harta Berwujud Kelompok 4............................................. 69
Tabel 2.15 Penentuan Masa Manfaat dan Tarif Amortisasi Harta
Tak Berwujud...................................................................................... 70
Tabel 2.16 Penentuan Masa Manfaat atas Penyusutan yang
Dipercepat............................................................................................ 71
Tabel 2.17 Penentuan Masa Manfaat atas Amostisasi yang
Dipercepat............................................................................................ 72
Tabel 2.18 Cadangan Piutang untuk Perbankan Konvensional dan
Syariah................................................................................................... 77
Tabel 2.19 Cadangan Piutang untuk Bank Perkreditan Rakyat
Konvensional dan Syariah............................................................. 77
Tabel 2.20 Cadangan Penyisihan Pembiayaaan Koperasi Simpan
Pinjam.................................................................................................... 78

viii
Tabel 2.21 Cadangan Penyisihan Pembiayaaan PT Permodalan
Nasional Madani................................................................................ 78
Tabel 2.22 Cadangan Piutang Tak Tertagih Lembaga Pembiayaan
Ekspor Indonesia dan Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur....................................................................................... 79
Tabel 2.23 Cadangan Piutang Tak Tertagih PT Perusahaan
Pengelola Aset.................................................................................... 79

Tabel 3.1 Perbandingan Akuntansi Keuangan dan Ketentuan


Pajak atas Persediaan...................................................................... 111
Tabel 3.2 Jenis Investasi atas Modal.............................................................. 118
Tabel 3.3 Penyajian bagian Modal dalam Laporan Posisi
Keuangan.............................................................................................. 145

Tabel 4.1 Ekualisasi Objek PPh Badan dan Objek PPN Dalam
Negeri..................................................................................................... 148
Tabel 4.2 Ekualisasi Pos-Pos PPh Badan dan Objek Pemotongan
PPh........................................................................................................... 151

ix
DAFTAR ILUSTRASI

Ilustrasi 1.1 Hubungan Akuntansi Keuangan dan Pajak............................. 7


Ilustrasi 1.2 Penentuan Tahun Pajak sama dengan Tahun Kalender.... 17
Ilustrasi 1.3 Penentuan Tahun Pajak tidak sama dengan Tahun
Kalender................................................................................................ 18
Ilustrasi 1.4 Penentuan Tahun Pajak tidak sama dengan Tahun
Kalender................................................................................................ 18

Ilustrasi 2.1 Penentuan Harga Pokok Penjualan untuk Bidang Usaha


Tertentu................................................................................................ 92

x
BAB 1
KONSEP DASAR
AKUNTANSI UNTUK TUJUAN PAJAK

A. LATAR BELAKANG

01. Ketentuan peraturan perundang-undangan pajak (selanjutnya


disebut dengan Ketentuan Pajak) menyebutkan bahwa pajak penghasilan
dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
dalam suatu Tahun Pajak. Subjek Pajak adalah pihak yang dimaksudkan (taxable
unit) untuk melaksanakan hak dan kewajiban pajak sebagaimana yang diatur
dalam Ketentuan Pajak.
02. Subjek Pajak sebagaimana disebutkan dalam Ketentuan Pajak,
meliputi:
(i) - Orang Pribadi;
- Warisan yang belum terbagi, sebagai satu kesatuan yang merupakan
subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak, yaitu ahli
waris;
(ii) Badan yaitu sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak, yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
perkumpulan, yayasan, lembaga, dan lain sebagainya; serta
(iii) Bentuk usaha tetap yang perlakuan pajaknya dipersamakan dengan
subjek pajak badan.
03. Subjek pajak dibedakan menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN)
dan Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN). Berikut ini dijelaskan perbedaan antara
Subjek Pajak Dalam Negeri dengan Subjek Pajak Luar Negeri:

1
Tabel 1.1 Perbedaan antara Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek
Pajak Luar Negeri

Subjek Pajak Dalam Negeri Subjek Pajak Luar Negeri


Orang pribadi yang bertempat Orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia; tinggal di Indonesia;
Orang pribadi yang berada di Orang pribadi yang berada di Indonesia
Indonesia lebih dari 183 hari dalam tidak lebih dari 183 hari dalam jangka
jangka waktu 12 bulan; waktu 12 bulan;
Orang Pribadi yang dalam suatu Badan yang tidak didirikan atau tidak
Tahun Pajak berada di Indonesia berkedudukan di Indonesia, yang
dan mempunyai niat untuk tinggal menjalankan kegiatan usaha melalui
di Indonesia; bentuk usaha tetap di Indonesia;
Badan yang didirikan atau Badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di bertempat kedudukan di
Indonesia; dan Indonesia,yang yang dapat menerima
atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia bukan dari menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia;
Warisan yang belum terbagi
sebagai satu kesatuan,
menggantikan yang berhak.

04. Subjek pajak orang pribadi dan badan yang telah memenuhi
kewajiban subjektif dan objektif disebut sebagai Wajib Pajak. Wajib Pajak
dibedakan antara Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) dan Wajib Pajak Luar
Negeri (WPLN).
05. Wajib Pajak Dalam Negeri dikenakan pajak penghasilan (PPh) atas
dasar penghasilan yang bersumber dari Indonesia dan dari luar negeri
(worldwide income principle). Pemenuhan kewajiban PPh untuk Wajib Pajak
Dalam Negeri dilakukan dengan mekanisme self assessment, yaitu menghitung,
memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban PPh yang
terutang melalui sarana Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh.
06. Wajib Pajak Luar Negeri dikenakan PPh hanya atas dasar
penghasilan yang bersumber dari Indonesia (territorial income principle).
Pengenaan pajak penghasilan bagi Wajib Pajak Luar Negeri harus didasarkan
atas ketentuan dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara

2
Indonesia dengan Negara Mitra penerima penghasilan berdomisili. P3B
mempunyai kedudukan hukum yang lebih tinggi daripada Ketentuan Pajak (lex
specialis derogat legi generali). Pemenuhan kewajiban PPh untuk Wajib Pajak
Luar Negeri Negeri melalui mekanisme Pemotongan (withholding) oleh pihak
yang memberikan penghasilan.
07. Wajib Pajak dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh selama satu Tahun Pajak. Ketentuan Pajak memberikan definisi
terkait Tahun Pajak, yaitu jangka waktu satu tahun kalender kecuali Wajib Pajak
menggunakan Tahun Buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
08. Definisi penghasilan sesuai dengan Ketentuan Pajak adalah setiap
tambahan kemampuan ekonomis, yang berarti pengenaan pajak atas dasar basis
neto yang disebut sebagai Penghasilan Kena Pajak (Dasar Pengenaan PPh). Atas
Penghasilan Kena Pajak yang didapat dikalikan dengan tarif yang berlaku untuk
mendapat jumlah PPh yang terutang. Tidak seluruh penghasilan dikenakan
pajak atas dasar basis neto. Berdasarkan pertimbangan tertentu, beberapa
penghasilan diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya, yaitu
pengenaan pajak yang bersifat final dengan basis bruto.
09. Untuk dapat melakukan perhitungan Penghasilan Kena Pajak perlu
dilakukan suatu pembukuan. Ketentuan Pajak memberikan definisi tentang
pembukuan yaitu suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan
barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa
neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
10. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu dan Wajib Pajak
Badan harus melaksanakan pembukuan sesuai dengan Ketentuan Pajak.
Pembukuan berfungsi untuk menyajikan informasi yang benar dan lengkap
tentang penghasilan Wajib Pajak untuk dapat mengenakan pajak secara adil dan
wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Dengan demikian,
Buku Pedoman Umum ini berfungsi sebagai panduan untuk menghitung
Penghasilan Kena Pajak.
11. Pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang
lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan,
kecuali peraturan pajak menentukan lain. Hal ini berarti bahwa sepanjang tidak
diatur khusus dalam Ketentuan Pajak maka metode pembukuan menggunakan
sistem yang lazim di Indonesia, misalnya Standar Akuntansi Keuangan. Namun,

3
Standar Akuntansi Keuangan maupun Ketentuan Pajak dapat saja memiliki
beberapa perbedaan, sehingga dalam beberapa hal menghasilkan
ketidakselarasan antara keduanya. Hal tersebut dapat menyebabkan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku tidak dapat digunakan untuk menentukan
Penghasilan Kena Pajak.
12. Perbedaan antara Ketentuan Pajak dan Standar Akuntansi Keuangan
diantaranya dilihat dari tujuan penyusunan Laporan Keuangan. Dari sudut
pandang akuntansi keuangan, Laporan Keuangan disusun dan disajikan untuk
memenuhi kebutuhan sejumlah besar pengguna, diantaranya investor sekarang
dan investor potensial, karyawan, pemberi pinjaman, pemasok dan kreditor
usaha lainnya, pelanggan, pemerintah dan masyarakat. Dari sudut pandang
pajak, Laporan Keuangan untuk tujuan pajak digunakan untuk menentukan
Penghasilan Kena Pajak. Selain itu, Laporan Keuangan untuk tujuan pajak yang
disusun digunakan juga untuk mengetahui dan menilai tingkat kepatuhan Wajib
Pajak dalam aktivitas pemeriksaan dan penyidikan pajak. Hal ini dikaitkan
dengan sistem self assessment yang dianut oleh Indonesia di mana Wajib Pajak
diberikan kewenangan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan
melaporkan sendiri kewajiban pajaknya melalui sarana SPT Tahunan PPh. Oleh
karena itu, pembukuan harus dilakukan dan dilampirkan dalam SPT Tahunan
PPh sebagai dasar dalam perhitungan Penghasilan Kena Pajak dan untuk dapat
diuji kebenarannya.
13. Selain berbeda dalam tujuannya, perbedaan kedua antara Ketentuan
Pajak dengan standar akuntansi keuangan juga terdapat pada masing-masing
sifat aturan. Standar akuntansi keuangan yang mengacu pada International
Financial Reporting Standard (IFRS) membutuhkan keterampilan dan penilaian
profesional (professional judgement) untuk melakukan interpretasi, karena
Standar Akuntansi Keuangan yang disusun tidak berdasar pada aturan. Oleh
karena itu, standar akuntansi keuangan lebih bersifat principle base. Hal ini
berbeda dengan Ketentuan Pajak yang merupakan aturan mengikat yang
dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan bersifat rule base.
14. Adanya perbedaan landasan tersebut, mengakibatkan penghitungan
Penghasilan Kena Pajak tidak dapat mengikuti sepenuhnya ketentuan dalam
Standar Akuntansi Keuangan.
15. Pedoman akuntansi untuk tujuan pajak disusun berdasarkan
Ketentuan Pajak yang meliputi Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan
Nilai (PPN), dan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

4
16. Implikasi dari perbedaan antara Standar Akuntansi Keuangan dan
Ketentuan Pajak, menjadikan perhitungan laba rugi dan penyusunan posisi
keuangan untuk tujuan pajak harus dilakukan Koreksi Fiskal atau Penyesuaian
Fiskal. Implikasi Penyesuaian Fiskal ini bisa menambah jumlah Penghasilan
Kena Pajak yang disebut dengan Penyesuaian Fiskal Positif atau mengurangi
jumlah Penghasilan Kena Pajak yang disebut dengan Penyesuaian Fiskal Negatif.
Sifat dari penyesuaian atau Penyesuaian Fiskal tersebut bisa bersifat beda tetap
maupun beda temporer.

B. HUBUNGAN ANTARA AKUNTANSI KEUANGAN DAN PAJAK

17. Hubungan antara akuntansi keuangan sesuai International Financial


Reporting Standards (IFRS) dan pajak menjadi isu yang hangat dibicarakan di
banyak negara. Berlakunya IFRS pada Standar Akuntansi Keuangan,
memberikan dampak bagi penentuan Penghasilan Kena Pajak yang dihasilkan
dari penyusunan Laporan Keuangan yang diselenggarakan berdasarkan Standar
Akuntansi Keuangan.
18. PPh lebih menekankan pada tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak dalam suatu Tahun Pajak, sehingga
berorientasi pada pengukuran Penghasilan Kena Pajak yang menjadi dasar
untuk menghitung PPh yang terutang. Sedangkan Standar Akuntansi Keuangan
yang mengacu pada IFRS, lebih berorientasi pada pengukuran kinerja masa
depan perusahaan dan menghasilkan informasi yang relevan untuk pasar
keuangan.
19. Tujuan Laporan Keuangan adalah menyediakan informasi yang
menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu
entitas yang bermanfaat bagi sejumlah besar pengguna dalam pengambilan
keputusan ekonomi. Oleh karena itu, akuntansi keuangan menganut pendekatan
aset-liabilitas, yang menganggap bahwa elemen posisi keuangan berupa aset,
liabilitas, dan ekuitas adalah sesuatu yang benar-benar ada pada perusahaan
dan elemen laporan laba rugi yang berupa penghasilan dan beban merupakan
hasil atau kinerja yang telah dicapai oleh perusahaan.
20. Akuntansi untuk tujuan pajak digunakan untuk menentukan
besarnya Penghasilan Kena Pajak. Akuntansi untuk tujuan pajak menganut
pendekatan penghasilan-biaya, yang mana penghasilan dan biaya serta untung
dan rugi adalah sesuatu yang sebenarnya ada pada perusahaan, dan
menganggap bahwa aktiva dan utang adalah penghasilan, biaya, keuntungan

5
atau kerugian yang ditunda atau ditangguhkan pengakuannya atau belum tiba
saatnya untuk diakui sebagai penghasilan atau biaya dan keuntungan atau
kerugian.
21. Secara umum, pajak tidak dapat dipisahkan dengan aktivitas
akuntansi keuangan. Sesuai dengan Ketentuan Pajak, PPh dikenakan atas
tambahan kemampuan ekonomis yang salah satunya dihasilkan dari kegiatan
atau aktivitas bisnis yang dijalankan oleh Wajib Pajak.
22. Secara umum, penentuan Penghasilan Kena Pajak erat kaitannya
dengan perhitungan laba akuntansi keuangan. Derajat hubungan antara
akuntansi keuangan dan pajak secara garis besar terbagi menjadi dua sistem,
yaitu (i) sistem dependen dan (ii) sistem independen. Dalam sistem dependen,
Laporan Keuangan disusun berdasarkan kerangka dasar akuntansi keuangan
yang telah mengakomodasi Ketentuan Pajak yang berlaku. Oleh karena itu,
dalam sistem ini, laba kena pajak sama dengan laba secara akuntansi.
Sedangkan dalam sistem independen, penentuan laba kena pajak tidak
mengikuti standar akuntansi keuangan yang berlaku karena memiliki tujuan
yang berbeda. Selain kedua sistem tersebut, terdapat pendekatan di mana
penentuan laba kena pajak dihasilkan dari laba akuntansi keuangan dengan
penyesuaian terhadap Ketentuan Pajak.
23. Pendekatan derajat hubungan antara akuntansi keuangan dan
akuntansi untuk pajak dibagi menjadi 3 jenis, yaitu: (i) practically formal
dependence, (ii) material dependence, dan (iii) material independence. Ketiga
pendekatan ini dapat dilihat dalam Ilustrasi 1.1.
24. Practically formal dependence merupakan suatu pendekatan yang
tidak membedakan antara akuntansi untuk pajak dan akuntansi keuangan.
Dengan demikian, akuntansi keuangan disusun berdasarkan Standar Akuntansi
Keuangan yang telah mengakomodasi Ketentuan Pajak.
25. Material dependence merupakan suatu pendekatan akuntansi pajak
yang secara umum didasarkan atas akuntansi keuangan, kecuali jika akuntansi
pajak mengatur secara khusus. Dengan demikian, Penghasilan Kena Pajak
dihitung berdasarkan laba akuntansi keuangan dengan penyesuaian terhadap
Ketentuan Pajak yang berlaku.
26. Material independence merupakan suatu pendekatan akuntansi
pajak yang semata-mata didasarkan atas Ketentuan Pajak, pendekatan ini
dikenal dengan nama good business practice. Akan tetapi, akuntansi keuangan
tetap digunakan sebagai titik awal penentuan Penghasilan Kena Pajak dengan
pemisahan akun yang digunakan.

6
Ilustrasi 1.1 Hubungan antara Akuntansi Keuangan dan Pajak

SAK

Pajak

Adjustment

Practically Material Material


Formal Dependence Independence
Dependence

27. Derajat hubungan antara akuntansi keuangan dan akuntansi pajak


yang diterapkan memiliki beberapa keunggulan dan keterbatasan dari masing-
masing pendekatan tersebut. Pendekatan dependen memiliki keunggulan dalam
hal biaya kepatuhan yang rendah, karena Laporan Keuangan yang disusun dapat
digunakan untuk tujuan akuntansi keuangan maupun untuk tujuan akuntansi
pajak. Kelemahannya, penyusunan Laporan Keuangan menggunakan prinsip
atau metode konsolidasi antara ketentuan akuntansi keuangan dan Ketentuan
Pajak, sehingga Standar Akuntansi Keuangan harus disusun untuk
mengakomodasi kedua ketentuan tersebut. Apabila Standar Akuntansi
Keuangan tersebut diterapkan maka tidak berlaku Standar Akuntansi Keuangan
yang merujuk kepada IFRS, sehingga untuk kebutuhan kesebandingan dalam
kondisi ekonomi terbuka, Laporan Keuangan yang disusun tidak memiliki
keseragaman.
28. Pendekatan independen memiliki kelemahan dalam hal biaya
kepatuhan yang tinggi, karena Wajib Pajak harus menyusun dua jenis Laporan
Keuangan untuk tujuan yang berbeda. Namun, dilihat berdasarkan tujuannya,
penggunaan sistem independen memiliki keunggulan dalam hal Laporan
Keuangan yang dihasilkan dapat merepresentasikan nilai laba bersih maupun
Penghasilan Kena Pajak berdasarkan ketentuan masing-masing.
29. Sesuai dengan Ketentuan Pajak, pembukuan diselenggarakan
dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya Standar
Akuntansi Keuangan, kecuali Ketentuan Pajak menentukan lain. Hal ini
menunjukkan bahwa hubungan antara akuntansi keuangan dan akuntansi pajak
yang diterapkan di Indonesia adalah sistem material dependence. Laporan

7
Keuangan untuk tujuan pajak dihasilkan dari laba akuntansi keuangan dengan
melakukan Penyesuaian Fiskal terhadap penghasilan maupun biaya yang tidak
sesuai dengan Ketentuan Pajak. Untuk melihat dampak atas perbedaan yang
bersifat temporer antara ketentuan akuntansi keuangan dan pajak, Standar
Akuntansi Keuangan telah mengatur tentang dampak tersebut dalam PSAK 46
tentang PPh.
30. PSAK 46 mengatur perlakuan akuntansi keuangan untuk PPh dalam
mempertanggungjawabkan konsekuensi pajak berupa pemulihan
(penyelesaian) jumlah tercatat aset (liabilitas) masa depan yang diakui pada
Laporan Posisi Keuangan Wajib Pajak, dan transaksi atau kejadian lain pada
periode kini yang diakui pada Laporan Posisi Keuangan Wajib Pajak. Selain itu,
PSAK 46 juga mengatur tentang pengakuan aset pajak tangguhan yang berasal
dari sisa rugi yang dapat dikompensasikan ke tahun berikutnya.
31. PSAK 46 juga menjelaskan mengenai konsekuensi pajak yaitu
berupa efek dari suatu transaksi atau kejadian terhadap beban pajak atau PPh.
Aset pajak tangguhan adalah jumlah pajak PPh yang dapat dipulihkan pada
periode masa depan sebagai akibat adanya perbedaan temporer yang boleh
dikurangkan, akumulasi rugi pajak belum dikompensasi, dan akumulasi kredit
pajak belum dimanfaatkan dalam hal Ketentuan Pajak mengizinkan. Di sisi lain,
kewajiban pajak tangguhan adalah jumlah PPh terutang pada periode masa
depan sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena pajak.
32. Perbedaan temporer adalah perbedaan antara jumlah tercatat aset
atau liabilitas dalam Laporan Posisi Keuangan dan dasar pengenaan pajaknya.
Perbedaan temporer dapat berupa perbedaan temporer kena pajak dan
perbedaan temporer dapat dikurangkan. Perbedaan temporer kena pajak
merupakan perbedaan temporer yang menimbulkan jumlah kena pajak dalam
penghitungan laba kena pajak (rugi pajak) periode mendatang ketika jumlah
tercatat aset atau liabilitas dipulihkan atau diselesaikan. Sedangkan perbedaan
temporer yang dapat dikurangkan adalah perbedaan temporer yang
menimbulkan jumlah yang dapat dikurangkan dalam penghitungnan laba kena
pajak (rugi pajak) periode mendatang ketika jumlah tercatat aset atau liabilitas
dipulihkan atau diselesaikan.

8
C. ASUMSI DASAR AKUNTANSI UNTUK TUJUAN PAJAK

33. Asumsi dasar yang digunakan dalam Pedoman Umum Akuntansi


untuk Tujuan Pajak ini merujuk pada asumsi dasar yang digunakan dalam
Standar Akuntansi Keuangan yang disesuaikan dengan Ketentuan Pajak.
34. Berikut asumsi dasar akuntansi untuk tujuan pajak sebagaimana
telah disesuaikan dengan Ketentuan Pajak.
C.1. Pengungkapan Penuh
35. Konsep pengungkapan penuh menuntut pelaporan informasi
keuangan yang cukup bagi pembacanya. Pengertian cukup dalam hal ini tidak
saja mengandung arti dapat diterima dan dimengerti, tetapi juga bermakna
Laporan Keuangan yang disajikan menggambarkan apa yang sebenarnya
terjadi. Ketentuan Pajak menyebutkan bahwa pembukuan harus
diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan
keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
C.2. Unit Moneter
36. Konsep unit moneter adalah satuan hitung dalam sistem moneter
untuk menyatakan nilai uang dalam satuan mata uang. Satuan mata uang
merupakan alat pengukur yang sangat penting dalam dunia usaha dan
akuntansi. Agar harta dapat dijumlahkan, membutuhkan alat pengukur yaitu
mata uang sebagai denominator. Dengan alat pengukur ini dapat diukur secara
jelas besarnya harta, kewajiban, modal, serta penghasilan dan biaya. Unit
moneter diperlukan untuk mencatat setiap transaksi yang terjadi.
37. Ketentuan Pajak mewajibkan agar pembukuan atau pencatatan
diselenggarakan dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, dan satuan mata
uang Rupiah. Sedangkan untuk pembukuan yang dilakukan dalam mata uang
selain Rupiah dan bahasa asing harus terlebih dahulu mendapat izin dari
Menteri Keuangan.
C.3. Entitas Terpisah
38. Konsep entitas terpisah mengaskan bahwa suatu badan usaha
merupakan entitas yang terpisah dari pemiliknya, sehingga menuntut
pemisahan antara kegiatan pemilik dengan unit bisnis. Oleh karenanya, harta
perusahaan bukanlah kepunyaan pemilik dan kewajiban perusahaan bukan
merupakan kewajiban pemilik.
39. Ketentuan Pajak mengatur bahwa untuk menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Badan tidak boleh dikurangkan

9
dengan biaya yang dibebankan atau dikeluakan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham dan sekutu atau anggota. Ketentuan tersebut menegaskan
bahwa asumsi entitas terpisah digunakan dalam akuntansi untuk tujuan pajak.
C.4. Kelangsungan Usaha
40. Konsep kelangsungan usaha menyatakan bahwa suatu perusahaan
diasumsikan tidak bermaksud atau berkeinginan melikuidasi atau mengurangi
secara material skala usahanya. Asumsi kelangsungan usaha dalam Ketentuan
Pajak juga berlaku, misalnya dalam hal kompensasi kerugian fiskal, penyusutan
dan amortisasi, serta cara menentukan angsuran pajak dalam tahun berjalan.
Sebagai contoh, apabila terdapat kerugian fiskal maka kerugian fiskal tersebut
dapat dikompensasikan dengan laba fiskal tahun berikutnya selama lima tahun
berturut-turut.
41. Selain contoh di atas, Ketentuan Pajak juga mengatur bahwa
besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan untuk Tahun Pajak berikutnya
yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setiap bulannya adalah sebesar PPh
terutang menurut SPT PPh Tahunan Tahun Pajak yang lalu dibagi 12 bulan.
42. Ketentuan tentang penyusutan, kompensasi kerugian fiskal, dan
penghitungan angsuran pajak untuk Tahun berikutnya mengindikasikan
diterapkannya asumsi kelangsungan usaha dalam akuntansi untuk tujuan pajak.
C.5. Basis Kas dan Akrual
43. Metode yang dapat digunakan untuk menyusun Laporan Keuangan
untuk tujuan pajak adalah stelsel kas dan stelsel akrual. Stelsel akrual adalah
metode perhitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan diakui pada
waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Stelsel kas adalah
metode perhitungan didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang
dibayar secara tunai. Stelsel kas yang diperkenankan untuk tujuan pajak adalah
stelsel kas campuran. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari pengaturan
besarnya penghasilan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas.
C.6. Konsistensi
44. Konsep konsistensi mengimplikasikan bahwa metode yang
digunakan dalam Laporan Keuangan secara konsisten digunakan dalam setiap
periode akuntansi antar waktu. Ketentuan Pajak menyebutkan bahwa
pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas, yaitu prinsip yang sama
digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk
mencegah pergeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode
pembukuan untuk tujuan pajak, misalnya dalam penerapan: stelsel pengakuan

10
penghasilan, tahun buku, metode penilaian persediaan, atau metode
penyusutan dan amortisasi. Dalam hal terdapat perubahan terhadap metode
pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur
Jenderal Pajak untuk menjaga prinsip taat asas.
45. Wajib Pajak yang ingin melakukan perubahan metode pembukuan
harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak
dengan menyampaikan surat permohonan perubahan metode dan tahun buku
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak di mana Wajib Pajak terdaftar dengan
menyebutkan identitas Wajib Pajak, perubahan metode pembukuan atau tahun
buku untuk yang keberapa disertai dengan alasan permohonan dan
maksud/tujuan perubahan tersebut.
46. Penerapan prinsip konsistensi dalam penyusunan Laporan Keuangan
untuk tujuan pajak meliputi: metode pembukuan yang dipilih mengenai
penentuan stelsel pengakuan penghasilan, pemilihan tahun buku, pemilihan
metode penyusutan dan amortisasi menggunakan garis lurus maupun saldo
menurun, pemilihan metode perhitungan persediaan berupa metode rata-rata
maupun metode yang diperoleh pertama (First-In First-Out, FIFO).
C.7. Perioderisasi
47. Konsep perioderisasi akuntansi adalah jangka waktu tertentu yang
digunakan sebagai dasar untuk menghitung posisi keuangan suatu perusahaan.
Periode akuntansi dibutuhkan sesuai dengan konsep kesinambungan.
Perioderisasi menuntut laporan keuangan dapat disajikan secara berkala, yaitu
tahunan.
48. Ketentuan Pajak memberikan definisi terkait Tahun Pajak yaitu sama
dengan tahun kalender kecuali Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang
tidak sama dengan tahun kalender. Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun
buku yang tidak sama dengan tahun kalender, penyebutan Tahun Pajak yang
bersangkutan menggunakan tahun yang di dalamnya termasuk 6 (enam) bulan
atau lebih.

C.8. Realisasi
49. Konsep realisasi menyatakan bahwa penghasilan hanya dilaporkan
jika telah terjadi transaksi penjualan. Kekayaan atau penghasilan yang masih
dalam bentuk potensi tidak dapat dicatat sebagai penghasilan. Potensi tersebut
dapat beralih menjadi penghasilan hanya jika telah terjual.

11
50. Objek Pajak adalah tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
(cash basis) atau diperoleh (accrual basis) oleh Wajib Pajak. Kata-kata diterima
dan diperoleh menunjukkan penerapan konsep realisasi dalam akuntansi
untuk tujuan pajak. Selain itu, dari segi biaya, Ketentuan Pajak menyaratkan
bahwa piutang tak tertagih yang dapat dikurangkan dari laba bruto adalah yang
nyata-nyata tidak tertagih. Hal tersebut sejalan dengan konsep realisasi.
51. Konsep biaya berdasarkan Ketentuan Pajak mensyaratkan bahwa
transaksi bisnis harus dicatat berdasarkan harga pada saat pertukaran.
Berdasarkan konsep ini, harta yang ada dalam Laporan Posisi Keuangan tidak
boleh dinilai dengan harga pasar, tetapi dengan harga perolehannya. Oleh
karenanya, harta akan dicatat sebesar uang yang sebenarnya dibayarkan
walaupun ternyata pada beberapa tahun kemudian harga dari harta tersebut
sudah menjadi lebih tinggi. Ketentuan Pajak lain yang mendukung konsep
realisasi tersebut dapat juga dilihat dari ketentuan tentang penilaian persediaan
yang harus dinilai berdasarkan harga perolehan
52. Penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian hanya dapat
dilakukan apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan
penghasilan karena perkembangan harga. Ketentuan Pajak memberi peluang
atas aktiva untuk dicatat dengan menggunakan nilai lain selain nilai historis
apabila memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan Ketentuan Pajak.
Ketentuan ini merupakan ketentuan pengecualian.
C.9. Materialitas
53. Konsep materialitas dalam akuntansi keuangan tercermin dalam
beberapa hal, misalnya terkait dengan pengakuan aset tetap dan pengakuan
biaya. Sebagai contoh, menurut standar akuntansi keuangan semua aset tetap
yang jangka waktu penggunaannya lebih dari satu tahun harus disusutkan.
Namun, pada praktiknya, meskipun suatu aset tetap dapat digunakan lebih dari
satu tahun, apabila nilai perolehannya tidak signifikan maka aset tetap tersebut
tidak perlu dikapitalisasi dan pembebanannya sebagai biaya tidak melalui
penyusutan.
54. Berbeda dengan akuntansi keuangan, akuntansi untuk tujuan pajak
tidak mengenal prinsip materialitas. Berapapun nilai transaksi keuangan yang
terjadi akan berdampak kepada perhitungan jumlah pajak penghasilan yang
terutang.

12
C.10. Konservatisme
55. Konsep konservatisme ini digunakan dalam pengakuan penghasilan
yang harus didasarkan pada kepastian akan diterimanya penghasilan tersebut,
mengingat bahwa dalam aktivitas bisnis terdapat ketidakpastian yang terjadi.
Asumsi ini juga erat kaitannya dengan matching concept, pengakuan biaya harus
diasosiasikan dengan penghasilan yang akan diterima dari pengorbanan
tersebut. Terdapat tiga pendekatan pengaitan beban dengan penghasilan
(matching concept), yaitu sebab-akibat (kausalitas), alokasi sistematis dan
rasional, serta pengakuan segera.
56. Prinsip kehati-hatian merupakan paham konservatisme, yaitu
pendekatan untuk menghindari kelebihan pencatatan harta bersih maupun laba
bersih ketika jumlahnya tidak pasti. Prinsip kehati-hatian dalam akuntansi
keuangan lebih menekankan pada pengakuan penghasilan. Sedangkan dalam
pajak, prinsip kehati-hatian diterapkan dalam hal pengakuan biaya sebagai
pengurang Penghasilan Kena Pajak.
57. Ketentuan lainnya yang menunjukkan bahwa prinsip kehati-hatian
diterapkan dalam penentuan biaya yang boleh dikurangkan dengan penghasilan
adalah ketentuan tentang pengakuan piutang tak tertagih. Standar Akuntansi
Keuangan mensyaratkan dalam pencatatan piutang berdasarkan nilai realisasi,
yaitu nilai bersih yang diharapkan akan diterima. Oleh karena itu, pencadangan
piutang tak tertagih dapat dilakukan untuk melakukan estimasi nilai piutang
bersih yang dapat diterima atau direalisasikan. Berbeda dengan akuntansi
keuangan, pengakuan piutang tak tertagih yang boleh dibebankan sebagai biaya
menurut akuntansi untuk tujuan pajak harus memenuhi syarat, berupa:
(i) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
(ii) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
(iii) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah.
58. Ketentuan pajak hanya mengizinkan pencadangan piutang tak
tertagih untuk usaha tertentu seperti perbankan dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan
konsumen, dan perusahaan anjak piutang. Berdasarkan penjelasan tersebut,
dapat dikatakan bahwa Ketentuan Pajak mengakui prinsip konservatisme
dengan suatu persyaratan tertentu.

13
D. KARAKTERISTIK KUALITATIF

59. Karakteristik kualitatif merupakan ciri khas yang menjadikan


Laporan Keuangan berguna bagi pemakai Laporan Keuangan. Penentuan
karakteristik kualitatif berkaitan dengan fungsi Laporan Keuangan sebagai alat
untuk membuat keputusan investasi. Agar Laporan Keuangan dapat digunakan
sebagai alat pembuat keputusan, Laporan Keuangan harus memiliki nilai
relevansi dan disajikan secara jujur atau yang sebenarnya menggambarkan
kondisi Wajib Pajak yang bersangkutan.
60. Untuk dapat digunakan sebagai dasar penghitungan Penghasilan
Kena Pajak, Laporan Keuangan untuk tujuan pajak harus memiliki karakteristik
kualitatif berupa:
D.1. Relevan
61. Laporan Keuangan yang dibuat oleh Wajib Pajak harus dapat
digunakan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Selain itu, tentu
dapat juga dipergunakan sebagai dasar perhitungan objek pemotongan dan
pemungutan PPh, PPN, PPn BM, harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga
jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan PPn BM,
jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari
luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.
D.2. Netral
62. Laporan Keuangan untuk tujuan pajak harus memiliki sifat netral,
baik dari sisi Wajib Pajak maupun dari sisi otoritas pajak. Netralitas
dicerminkan dari pembukuan yang dilakukan berdasarkan itikad baik dan
mencerminkan keadaan yang sesungguhnya, sehingga dapat dijadikan acuan
oleh kedua belah pihak.

D.3. Benar
63. SPT Tahunan PPh harus diisi secara benar, yaitu benar dalam
perhitungan, termasuk dalam penerapan ketentuan perpajakan, dalam
penulisannya, dan sesuai dengan keadaaan yang sebenarnya.
64. Selain itu, terdapat sanksi bagi Wajib Pajak yang melakukan
kesalahan dalam pencatatan atau pembukuan yang mengakibatkan pajak yang
terutang dalam jumlah berapapun tidak benar atau tidak sesuai dengan
Ketentuan Pajak atau tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

14
65. Berbeda dengan konsep materialitas dalam akuntansi keuangan.
Materialitas dinilai sebagai suatu ukuran di mana saat terjadi salah saji dalam
Laporan Keuangan dapat memengaruhi keputusan ekonomi dari para pengguna
Laporan Keuangan. Dalam akuntansi keuangan, Laporan Keuangan harus bebas
dari kesalahan dalam tingkat materialitas tertentu. Hal ini dikarenakan, Laporan
Keuangan digunakan untuk menilai kewajaran transaksi Wajib Pajak.
Sedangkan Laporan Keuangan untuk tujuan pajak disusun untuk dapat
mengenakan pajak secara adil berapun jumlahnya sesuai dengan kemampuan
ekonomis Wajib Pajak.
D.4. Lengkap
66. Lengkap berarti memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan
Objek Pajak dan unsur-unsur lain harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh.
Laporan Keuangan yang disusun oleh Wajib Pajak harus dilampirkan dalam SPT
Tahunan PPh, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Apabila
SPT Tahunan PPh yang disampaikan tidak dilampiri keterangan dan/atau
dokumen sesuai dengan Ketentuan Pajak maka SPT Tahunan PPh dianggap
tidak disampaikan.

D.5. Jelas
67. Wajib Pajak wajib mengisi SPT Tahunan PPh secara jelas, yang
artinya harus melaporkan asal-usul atau sumber dari Objek Pajak dan unsur-
unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan .

E. KONSEP DASAR ATAS PENGAKUAN, PENGUKURAN, PENYAJIAN, DAN


PENGUNGKAPAN PENGHASILAN DAN BIAYA

E.1. Pengakuan, Pengukuran, Penyajian, dan Pengungkapan Penghasilan


68. Pengakuan penghasilan dalam Ketentuan Pajak dapat menggunakan
stelsel akrual atau stelsel kas. Stelsel akrual adalah metode perhitungan
penghasilan diakui pada waktu penghasilan diperoleh dan tidak tergantung
kapan penghasilan tersebut diterima secara tunai. Sedangkan dalam stelsel kas,
penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-benar telah
diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu. Untuk perhitungan
Penghasilan Kena Pajak, penggunaan stelsel kas harus memperhatikan bahwa
jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik
yang dilakukan secara tunai maupun yang bukan dan penerapannya harus
dilakukan secara taat asas. Penerapan prinsip akrual dalam akuntansi keuangan
dalam hal pengakuan pendapatan, yang merupakan komponen penghasilan,

15
diatur dalam PSAK 23. PSAK 23 menyebutkan bahwa pendapatan diakui saat
terdapat kenaikan manfaat ekonomi di masa depan yang berkaitan dengan
kenaikan aset atau penurunan liabilitas telah terjadi dan dapat diukur dengan
andal. Dengan demikian, untuk dapat menerapkan prinsip akrual dalam
pengakuan pendapatan dapat merujuk pada PSAK 23.
69. Dalam hal pengukuran penghasilan, Ketentuan Pajak memberikan
penjelasan bahwa penghasilan harus diukur sesuai dengan nilai yang
sebenarnya diterima. Sedangkan untuk penyajiannya, penghasilan disajikan
dalam Laporan Rugi Laba dan pengungkapannya harus memenuhi ketentuan
pengisian SPT Tahunan PPh secara benar, lengkap dan jelas.
E.2. Pengakuan, Pengukuran, Penyajian, dan Pengungkapan Biaya
70. Pengakuan biaya dalam Ketentuan Pajak dapat menggunakan stelsel
akrual atau stelsel kas. Stelsel akrual adalah metode perhitungan biaya di mana
biaya diakui saat biaya terutang dan tidak tergantung pada kapan biaya dibayar
secara tunai. Sedangkan dalam stelsel kas, biaya baru dianggap sebagai biaya
apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu periode tertentu.
Untuk perhitungan Penghasilan Kena Pajak dengan memakai stelsel kas, harga
pokok penjualan harus memperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan
serta penerapannya harus dilakukan secara taat asas.
71. Biaya yang berkaitan dengan objek Pemotongan PPh atas
penghasilan pekerjaan yang dibayarkan atau terutang kepada Wajib Pajak
Orang Pribadi dibukukan pada saat terjadinya pembayaran atau terutangnya
penghasilan yang bersangkutan tergantung peristiwa mana yang terjadi lebih
dahulu. Untuk pengakuan biaya yang berkaitan dengan objek PPh yang dipungut
oleh Badan Pemungut dibukukan pada saat pembayaran atau saat tertentu
lainnya yang diatur oleh Menteri Keuangan. Sedangkan untuk biaya yang
berkaitan dengan objek Pemotongan PPh atas penghasilan tertentu yang
diberikan kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Badan atau Wajib Pajak Luar Negeri
Badan dilakukan pada (i) saat dibayarkannya penghasilan, (ii) disediakan untuk
dibayarkan, atau (iii) jatuh temponya pembayaran penghasilan yang
bersangkutan tergantung peristiwa mana yang lebih dahulu.
72. Berdasarkan paragraf di atas, dapat disimpulkan bahwa pengakuan
biaya didasarkan pada stelsel kas dan stelsel akrual dilihat dari peristiwa mana
yang terjadi terlebih dahulu. Biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek
Pajak diukur berdasarkan jumlah yang sebenarnya. Dalam hal penyajiannya,
biaya harus disajikan dalam Laporan Rugi Baba Fiskal. Sedangkan untuk

16
pengungkapan, harus memenuhi ketentuan pengisian SPT Tahunan PPh, yaitu
diungkapkan secara benar, lengkap, dan jelas.

F. KONSEP DASAR ATAS TAHUN PAJAK DAN METODE PEMBUKUAN

F.1. Tahun Pajak


73. Konsep periode waktu digunakan pada praktik akuntansi keuangan
untuk memberikan gambaran kepada manajemen maupun pengguna Laporan
Keuangan dalam menilai kinerja Wajib Pajak yang diukur melalui laba bersih.
Untuk dapat memudahkan pengukuran, Wajib Pajak membagi aktivitas
bisnisnya ke dalam rentang waktu yang biasanya meliputi jangka waktu 12
bulan. Dalam sudut pandang pajak, periode waktu atau disebut dengan Tahun
Pajak juga digunakan sebagai rentang waktu untuk menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak.
74. PPh dikenakan atas penghasilan neto yang diterima selama suatu
periode tertentu. Untuk mengalokasikan penghasilan maupun biaya dalam
suatu periode ditentukan terlebih dahulu Tahun Pajak yang digunakan. Tahun
Pajak merupakan jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. Atas definisi
tersebut, Tahun Pajak meliputi jangka waktu 12 bulan.
75. Ketentuan di atas secara jelas memberikan pilihan bagi Wajib Pajak
untuk menentukan Tahun Pajak baik berdasarkan satu tahun kalender maupun
sesuai dengan tahun buku akuntansi keuangan apabila tidak sama dengan tahun
kalender. Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama
dengan tahun kalender, penyebutan Tahun Pajak yang bersangkutan
menggunakan tahun yang di dalamnya termasuk 6 (enam) bulan atau lebih.
Apabila terdapat perubahan Tahun Pajak yang digunakan harus terlebih dahulu
meminta persetujuan dari Direktur Jendral Pajak untuk menjaga konsistensi
pembukuan yang dilakukan.

Ilustrasi 1.1
Penentuan Tahun Pajak Sama Dengan Tahun Kalender

1 Januari 2016 31 Desember 2016

17
76. Untuk ilustrasi 1.2, pembukuan dilaksanakan sama dengan satu
tahun kalender yang dimulai pada tanggal 1 Januari 2016 dan berakhir pada 31
Desember 2016, sehingga Tahun Pajak yang berlaku adalah tahun 2016. Untuk
jatuh tempo pembayaran PPh Tahunan PPh dan pelaporan SPT Tahunan PPh
untuk Wajib Pajak Badan adalah pada tanggal 31 April 2017. Sedangkan jatuh
tempo pembayaran dan pelaporan SPT Tahunan PPh untuk Wajib Pajak Orang
Pribadi yang melakukan kegiatan usaha adalah pada tanggal 31 Maret 2017.

Ilustrasi 1.2
Penentuan Tahun Pajak Tidak Sama Dengan Tahun Kalender

1 April 2016 Des 2016 31 Maret 2017

77. Untuk ilustrasi 1.3, pembukuan dilakukan tidak sama dengan tahun
kalender yang dimulai pada tanggal 1 April 2016 dan berakhir pada 31 Maret
2017 merupakan Tahun Pajak 2016 karena bagian tahun 2016 melebihi masa 6
bulan. Sehingga, jatuh tempo pembayaran PPh Tahunan PPh dan pelaporan SPT
Tahunan PPh untuk Wajib Pajak Badan adalah tanggal 31 Juli 2017, dan untuk
Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha adalah tanggal 30
Juni 2017.

Ilustrasi 1.3
Penentuan Tahun Pajak Tidak Sama Dengan Tahun Kalender

1 Agustus 2016 Des 2016 31 Juli 2017


2015

78. Pada ilustrasi 1.4, pembukuan dilaksanakan untuk periode 1 Agustus


2016 sampai 31 Juli 2017, sehingga Tahun Pajak yang berlaku untuk kasus ini
adalah Tahun Pajak 2017 yang di dalamnya mencakup lebih dari 6 bulan. Dalam
kasus ini, jatuh tempo pembayaran PPh Tahunan dan pelaporan SPT Tahunan
PPh untuk Wajib Pajak Badan adalah tanggal 30 November 2017, sedangkan
jatuh tempo untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha
adalah tanggal 31 Oktober 2017.

18
F.2. Metode Pembukuan
79. Seperti yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya, metode
pembukuan yang dilakukan didasarkan pada Standar Akuntansi Keuangan,
selama tidak diatur lain oleh Ketentuan Pajak. Oleh sebab itu, metode
pembukuan yang diterapkan harus dapat merefleksikan perhitungan
Penghasilan Kena Pajak, menyajikan Laporan Posisi Keuangan untuk tujuan
pajak, serta mengungkapkan hal-hal khusus yang diminta oleh Ketentuan Pajak,
seperti pengungkapan terkait dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa.

19
BAB 2
LAPORAN RUGI LABA
UNTUK TUJUAN PAJAK

01. Laporan Rugi Laba untuk tujuan pajak disusun untuk menentukan
besarnya Penghasilan Kena Pajak, sehingga penyusunannya didasarkan pada
Ketentuan Pajak. Sedangkan untuk hal-hal yang tidak diatur khusus,
ketentuannya mengikuti Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku.

A. ELEMEN LAPORAN RUGI LABA UNTUK TUJUAN PAJAK

02. Elemen utama yang terdapat dalam Laporan Rugi Laba untuk tujuan
pajak adalah penghasilan dan biaya. Dalam Ketentuan Pajak, penghasilan dan
biaya memiliki ketentuan khusus sebagaimana dijelaskan berikut ini:
A.1. Penghasilan
03. Penghasilan menurut Standar Akuntansi Keuangan terdiri atas (i)
pendapatan, yang timbul dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan yang biasa,
meliputi penjualan, penghasilan jasa, bunga, dividen, royalti dan sewa, serta (ii)
keuntungan. Pendapatan sebagaimana dijelaskan dalam PSAK 23 adalah arus
masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal entitas
selama suatu periode jika arus masuk tersebut mengakibatkan kenaikan ekuitas
yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. Sementara itu, dalam
Ketentuan Pajak menganut pengertian penghasilan yang luas di mana semua
jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak
digabungkan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak yang selanjutnya
dikenakan dengan tarif umum untuk mendapatkan jumlah PPh yang terutang.
Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif
final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak
digabungkan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak yang akan dikenakan
dengan tarif umum.

20
04. Dalam konteks akuntansi untuk tujuan pajak, menggunakan
terminologi penghasilan untuk mencakup terminologi pendapatan.
05. Ketentuan Pajak mengatur bahwa penghasilan adalah tambahan
kemampuan ekonomis yang mengalir kepada Wajib Pajak. Dilihat dari
mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan
dapat dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu:
(i) Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas;
06. Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan merupakan penggantian
atau imbalan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi
sebagai imbalan atas pekerjaan atau jasa yang dilakukan, yang dapat berupa gaji,
upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau
imbalan dalam bentuk lainnya. Sedangkan penghasilan dari pekerjaan bebas
adalah penghasilan dari pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang
mempunyai keahlian khusus sebagai pengusaha untuk memperoleh
penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja, seperti penghasilan
dari praktik dokter, akuntan, notaris, pengacara, dan sebagainya.
(ii) Penghasilan dari usaha dan kegiatan;
07. Penghasilan yang berasal dari usaha atau kegiatan dapat berupa laba
usaha.
(iii) Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak;
08. Penghasilan dari modal dapat berupa bunga, dividen, royalti, sewa,
dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha.
(iv) Penghasilan lain-lain.
09. Penghasilan lain-lain merupakan penghasilan yang tidak termasuk
dalam ketiga kelompok di atas, seperti keuntungan pembebasan utang, hadiah,
dan lain-lain.
10. Mekanisme pengenaan pajak untuk masing-masing kelompok di atas
didasarkan pada: (i) mekanisme pemotongan atau pemungutan pajak; dan (ii)
mekanisme self assessment, yaitu melakukan penghitungan sendiri atas pajak
yang terutang berdasarkan tarif yang berlaku umum. Mekanisme pemotongan
atau pemungutan berlaku atas penghasilan berupa penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan dan pekerjaan bebas, penghasilan dari modal, serta
penghasilan dari usaha yang diatur khusus seperti usaha jasa konstruksi.
Sedangkan mekanisme self assessment dilakukan terhadap penghasilan yang

21
berasal dari usaha atau kegiatan, keuntungan pembebasan utang, imbalan
bunga, penerimaan kembali pembayaran pajak, dan sebagainya.
11. Berdasarkan perlakuan pajaknya, penghasilan dikelompokan
menjadi 3 jenis, yaitu: (i) penghasilan yang merupakan Objek Pajak, (ii)
penghasilan yang dikenakan tarif bersifat final, dan (iii) penghasilan yang bukan
merupakan Objek Pajak.
A.1.1. Penghasilan yang Merupakan Objek Pajak
12. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak dalam ketentuan Pajak
adalah sebagai berikut:
Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
13. Berdasarkan ketentuan di atas, maka penghasilan yang diakui
sebagai Objek Pajak memiliki unsur-unsur yang meliputi:
(i) Tambahan kemampuan ekonomis
14. Arti kata tambahan memiliki makna bahwa penghasilan yang
dikenakan pajak merupakan jumlah neto, yaitu jumlah penghasilan atau
penerimaan bruto yang dikurangkan dengan biaya-biaya yang digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Pengecualian terhadap
konsep pengenaan pajak secara neto adalah pengenaan pajak yang bersifat final.
(ii) Yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
15. Kata yang diterima atau diperoleh menggambarkan penerapan
prinsip basis kas dan basis akrual. Dengan demikian, penghasilan yang
merupakan Objek Pajak diakui berdasarkan basis kas dan basis akrual.
(iii) Berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia
16. Unsur ini menjelaskan bahwa Indonesia menerapkan konsep
pengenaan pajak atas penghasilan yang bersumber dari seluruh dunia
(worldwide income) terhadap Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN). Sistem
pengenaan pajak seperti ini disebut juga pengenaan pajak atas asas
domisili. Sedangkan terhadap Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) hanya
dikenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia saja
(territorial income).

22
(iv) Dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak
17. Penghasilan yang dikenakan pajak sebagaimana diatur dalam
ketentuan PPh tidak memandang penggunaannya, melainkan fokus terhadap
tambahan kemampuan ekonomis.
(v) Dengan nama dan dalam bentuk apa pun
18. Unsur terakhir menjelaskan bahwa pengenaan penghasilan
mengikuti konsep hakekat ekonomis penghasilan atau dalam akuntansi dikenal
sebagai konsep substansi mengungguli bentuk (substance over form). Konsep
hakekat ekonomis ini juga dinyatakan dalam Ketentuan Pajak, yaitu pengakuan
penghasilan yang diterima atau diperoleh tidak hanya mengacu pada
penghasilan, melainkan segala bentuk penerimaan yang sifatnya menambah
kemampuan ekonomis bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
19. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak adalah sebagai berikut, dan
tidak terbatas atas atas jenis penghasilan berikut ini mengingat Ketentuan Pajak
memberikan pengertian yang luas terhadap definisi penghasilan:
1. Penggantian atau imbalan yang berkenaan dengan pekerjaan dan
jasa
20. Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan,
seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar
oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya, termasuk dalam bentuk
natura pada hakikatnya merupakan penghasilan dan merupakan Objek Pajak.
21. Berkaitan dengan pembayaran dari perusahaan asuransi jiwa kepada
orang pribadi dikecualikan sebagai Objek Pajak, namun dalam produk asuransi
dimungkinkan adanya kombinasi unsur risiko dan unsur tabungan. Atas
kombinasi tersebut, pembayaran dari perusahaan asuransi jiwa dapat terdiri
dari pembayaran manfaat risiko dan manfaat tabungan. Pembayaran manfaat
tabungan dilakukan pada akhir masa pertanggungan. Dengan demikian, atas
pembayaran akibat penutupan asuransi yang mengandung unsur tabungan,
selisih lebih manfaat tabungan yang diterima dengan premi yang telah
dibayarkan bukan merupakan Objek Pajak penghasilan final, melainkan
dikenakan tarif pajak yang berlaku umum.
22. Pajak penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan
yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi adalah pajak atas penghasilan
berupa gaji, upah, honorarium tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama
dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan

23
kegiatan yang dilakukan. PPh tersebut dikenakan melalui mekanisme
pemotongan.
23. Pihak yang memotong pajak atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan, termasuk
bentuk usaha tetap yang meliputi pemberi kerja, bendarahara atau pemegang
kas pemerintah, dana pensiun maupun badan penyelenggara jaminan sosial
tenaga kerja, orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas dan badan yang membayar honorarium, komisi atau fee, serta
penyelenggara kegiatan.
24. Pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan
kegiatan yang dilakukan oleh Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dikenakan
kepada pegawai, penerima uang pesangon, uang pensiun atau uang manfaat
pensiun, bukan pegawai, anggota dewan komisaris, mantan pegawai, peserta
kegiatan. Termasuk pula sebagai penghasilan yang pajak atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan adalah penghasilan dalam
bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diberikan oleh Wajib Pajak yang
dikenakan PPh yang bersifat final atau Wajib Pajak yang dikenakan PPh
berdasarkan norma perhitungan khusus (deemed profit).
25. Dasar pengenaan dan pemotongan pajak atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang berlaku bagi pegawai
tetap, penerima pensiun berkala, pegawai tidak tetap yang penghasilannya
dibayar bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan dalam satu bulan melebihi
jumlah yang ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan, serta bukan pegawai
adalah sebesar Penghasilan Kena Pajak (PKP). Penghasilan Kena Pajak
diperoleh dari jumlah penghasilan bruto yang dikurangi dengan Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) sesuai dengan ketentuan dalam ketentuan PPh yang
disesuaikan dari waktu ke waktu. Dasar Pengenaan Pajak bagi pegawai tidak
tetap yang menerima penghasilan sebulan tidak melebihi jumlah yang
ditetapkan ketentuan PPh adalah sebesar penghasilan yang melebihi jumlah
yang ditetapkan ketentuan PPh sehari. Dalam hal penerima penghasilan bukan
pegawai yang menerima penghasilan yang tidak berkesinambungan, Dasar
Pengenaan Pajaknya adalah 50% dari jumlah bruto. Sedangkan untuk
penghasilan yang diterima selain memenuhi kriteria di atas, dasar pengenaan
pajaknya adalah jumlah penghasilan bruto yang diterima sehubungan dengan
jasa, pekerjaan, dan kegiatan.

24
26. Tarif pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan merupakan tarif pajak normal sebagaimana diatur
dalam ketentuan PPh dikalikan Penghasilan Kena Pajak yang dikenakan
terhadap pegawai tetap, penerima pensium berkala yang dibayarkan secara
bulanan, dan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang dibayarkan
secara bulanan. Sedangkan pengenaan pajak atas uang pesangon dan manfaat
pensiun yang diterima oleh mantan pegawai dikenakan tarif yang bersifat final.
27. Bagi Subjek Pajak Luar Negeri yang menerima penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukannya di
Indonesia terutang PPh dengan tarif final sebagaimana diatur dalam ketentuan
PPh maupun tarif sesuai dengan yang tercantum dalam Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara mitra
pihak penerima penghasilan berdomisili.
28. Saat terutangnya pajak bagi penerima penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan adalah pada saat dilakukan pembayaran
atau pada saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung
peristiwa mana yang terjadi lebih dahulu. Bagi penerima penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dipotong pajak diberikan
bukti potong.
29. Pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
kegiatan yang dipotong oleh pihak pemotong pajak harus disetorkan ke kas
negara paling lambat 10 hari setelah Masa Pajak berakhir. Pemotongan pajak
yang telah dilakukan wajib dilaporkan pada SPT Masa paling lambat 20 hari
setelah Masa Pajak berakhir.
2. Hadiah dan penghargaan
30. Pengertian hadiah berdasarkan Ketentun Pajak dibedakan menjadi:
(i) hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diberikan melalui undian, (ii) hadiah sehubungan dengan pekerjaan atau
kegiatan adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan
sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh penerima
hadiah, dan (iii) hadiah atau penghargaan perlombaan adalah hadiah atau
penghargaan yang diberikan melalui suatu perlombaan atau adu ketangkasan.
31. Selain itu, penghargaan yang dimaksud dalam Ketentuan Pajak
adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan prestasi dalam kegiatan
tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan
benda-benda purbakala.

25
32. Atas hadiah sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan, hadiah
atau penghargaan perlombaan, serta penghargaan yang diterima oleh Wajib
Pajak dikenakan tarif pemotongan sebagaimana yang diatur dalam Ketentuan
Pajak dari jumlah penghasilan bruto yang diterima. Sedangkan pengenaan pajak
untuk hadiah undian dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final sesuai
dengan Ketentuan Pajak.
33. Pemotongan pajak penghasilan tidak berlaku untuk hadiah langsung
dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada semua pembeli
tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima langsung pada saat pembelian barang
atau jasa. Namun, atas hadiah yang diterima oleh Wajib Pajak berupa hadiah
langsung dalam penjualan barang merupakan objek PPh yang wajib dilaporkan
dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak yang bersangkutan.
34. Saat terutangnya PPh atas hadiah dan penghargaan adalah pada akhir
bulan dilakukannya pembayaran atau diserahkannya hadiah tergantung mana
yang terjadi lebih dulu. Penyelenggara melakukan pemotongan PPh sebelum
hadiah atau penghargaan diserahkan kepada yang berhak dan wajib membuat
bukti pemotongan PPh atas hadiah atau undian. Selain itu, penyelenggara wajib
untuk melakukan penyetoran PPh yang telah dipotong paling lambat pada
tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan terutangnya pajak dan wajib
menyampaikan SPT Masa Pemotongan PPh paling lambat tanggal 20 bulan
takwim berikutnya setelah terutangnya pajak.
3. Laba usaha atau penghasilan neto komersial
35. Laba usaha atau penghasilan neto komersial untuk Wajib Pajak badan
adalah jumlah laba usaha yang didapat melalui formula perhitungan
sebagaimana terdapat dalam Tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1 Perhitungan Penghasilan Neto Komersial

No Uraian Rupiah

1 Penghasilan Neto Komersial Dalam Negeri xxx


a. Peredaran Usaha xxx
b. Harga Pokok Penjualan xxx
c. Biaya Usaha Lainnya xxx
d. Penghasilan Neto dari Usaha (1a - 1b - 1c) xxx
e. Penghasilan dari Luar Usaha xxx
f. Biaya dari Luar Usaha xxx
g. Penghasilan Neto dari Luar Usaha (1e 1f) xxx

26
h. Jumlah (1d + 1g) xxx
2 Penghasilan Neto Komersial Luar Negeri xxx
3 Jumlah Penghasilan Neto Komersial (1h + 2) xxx

36. Dalam hal laba usaha atas Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT),
Ketentuan Pajak mengatur khusus tentang penghasilan yang harus
diperhitungkan sebagai laba BUT. Penghasilan tersebut meliputi penghasilan
kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di
Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di
Indonesia, dan penghasilan yang diterima atau diperoleh kantor pusat,
sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan
yang memberikan penghasilan dimaksud. Akan tetapi, apabila BUT tersebut
berasal dari negara yang mempunyai P3B dengan Indonesia maka disesuaikan
dengan ketentuan P3B yang dimaksud.
4. Keuntungan karena penjualan dan pengalihan harta
37. Wajib Pajak yang menjual harta dengan harga penjualan atau harga
pengalihan yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau
nilai perolehan, selisih harga tersebut merupakan keuntungan dan dikenakan
PPh. Keuntungan akibat pengalihan harta dapat terjadi pada kegiatan seperti
berikut ini, yaitu:
(i) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
(ii) Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
karena pengalihan harta pemegang saham, sekutu, atau anggota;
(iii) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan atau pengambilalihan usaha;
(iv) Keuntungan karena pengambilalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan; dan
(v) Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan
dalam perusahaan pertambangan.
38. Harga penjualan yang dimaksud adalah jumlah yang sesungguhnya
diterima atau dalam hal transaksi dipengaruhi oleh Hubungan Istimewa maka
harga penjualan adalah jumlah yang seharusnya diterima berdasarkan harga

27
pasar. Sedangkan untuk harga pengalihan dalam rangka likuidasi,
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha,
jumlah yang seharusnya diterima berdasarkan harga pasar atau berdasarkan
nilai buku bagi. Untuk dapat menggunakan nilai buku, Wajib Pajak mengajukan
permohonan kepada Direktur Jendral Pajak. Permohonan penggunaan nilai
buku dilakukan dengan melampirkan alasan dan tujuan melakukan merger dan
pemekaran usaha, melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang
terkait, dan memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test).
39. Keuntungan dari penjualan dan pengalihan harta termasuk dalam
perhitungan laba rugi Wajib Pajak, sehingga termasuk dalam komponen PPh
Badan yang dikenakan tarif umum sesuai Ketentuan Pajak. Pengecualian untuk
keuntungan pengalihan harta atas tanah dan/atau bangunan dikenakan pajak
penghasilan yang bersifat final.
40. Standar Akuntansi Keuangan yang mengatur tentang hal serupa salah
satunya adalah PSAK 16 tentang Aset Tetap. Dalam PSAK 16 disebutkan bahwa
keuntungan yang timbul dari penghentian pengakuan aset tetap diakui pada
saat aset tersebut dihentikan pengakuannya, dan keuntungan yang dihasilkan
tidak boleh diklasifikasikan dalam pendapatan, melainkan keuntungan.
Keuntungan yang diakui sebagai penghasilan adalah sebesar selisih antara
jumlah hasil pelepasan neto dan jumlah tercatatnya.
41. PSAK 30 mengatur tentang sewa juga menjelaskan mengenai
perlakuan keuntungan yang berasal dari transaksi jual dan sewa-balik.
Dijelaskan lebih lanjut dalam ISAK 8 tentang penentuan perjanjian yang
mengandung sewa, yaitu dapat dilihat pada apakah suatu perjanjian
memberikan hak kepada pihak lain untuk menggunakan aset tersebut
bersamaan dengan pemberian jasa terkait. Keuntungan yang diakui sebagai
penghasilan adalah keuntungan yang berasal dari transaksi jual dan sewa-balik
yang menghasilkan sewa operasi yang terjadi pada nilai wajar dan diakui segera.
Sedangkan atas keuntungan yang berasal dari transaksi jual dan sewa-balik
menghasilkan sewa pembiayaan tidak diakui sebagai keuntungan, melainkan
ditangguhkan pengakuannya dan diamortisasi selama masa sewa.
42. Keuntungan dari penjualan dan pengalihan harta lainnya berasal dari
penjualan harta tak berwujud yang ditentukan sebesar selisih antara hasil neto
pelepasan dan jumlah tercatat aset. Pengakuan keuntungan tersebut diakui
pada saat aset tersebut dihentikan pengakuannya. Sedangkan berdasarkan
Ketentuan Pajak, keuntungan yang berasal dari transaksi jual dan sewa balik
diakui sesuai dengan basis akrual atau basis kas.

28
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak
43. Apabila Wajib Pajak telah melakukan pembayaran pajak dan ternyata
ditemukan kelebihan pembayaran, maka atas kelebihan tersebut dapat
dilakukan restitusi atau pengembalian. Atas pengembalian pajak yang telah
dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak
merupakan penghasilan yang termasuk Objek Pajak yang dikenakan tarif umum.
Penghasilan yang berasal dari penerimaan kembali pembayaran pajak
dimasukkan dalam komponen penghasilan lain-lain dalam menghitung
penghasilan kena pajak dan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh.
44. Termasuk dalam penerimaan kembali pembayaran pajak yang dapat
diakui sebagai penghasilan yang merupakan Objek Pajak adalah pembayaran
pajak yang boleh dikurangkan atas penghasilan bruto, yang meliputi Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) dan Bea Materai. Selama pembayaran pajak yang boleh
dikurangkan telah dibebankan sebagai pengurang dalam menghitung
Penghasilan Kena Pajak, maka atas pengembaliannya dapat diakui sebagai
penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan jaminan
pengembalian utang
45. Bunga dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan,
disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh
badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggarakan
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
kepada Wajib Pajak dalam negeri atau BUT, dipotong pajak oleh pihak yang
wajib membayarkan sebesar 15% dari jumlah bruto. Dalam pengertian bunga
termasuk pula premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang.
46. Atas penghasilan bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang yang dibayarkan kepada
Wajib Pajak Luar Negeri selain BUT di Indonesia dipotong pajak sebesar 20%
atau sesuai dengan tarif dalam P3B dari jumlah bruto oleh pihak yang
membayarkan penghasilan tersebut.
47. Saat terutangnya pemotongan PPh atas bunga, premium, dan
diskonto adalah pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan
terutangnya penghasilan tergantung mana kejadian yang lebih dulu. Penyetoran
atas pajak yang telah dipotong dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan takwim
setelah bulan terutangnya pajak. Sedangkan pelaporan dilakukan melalui SPT
Masa paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.

29
48. Penghasilan bunga yang dikecualikan dari pengenaan pajak untuk
Wajib Pajak Dalam Negeri maupun bagi Wajib Pajak Luar Negeri adalah
penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi, dan
surat utang negara, serta bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi
kepada anggota koperasi orang pribadi dikenakan pajak penghasilan yang
bersifat final.
7. Dividen
49. Dividen yang dimaksud adalah dividen dengan nama dan dalam
bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang
polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. Dividen yang merupakan objek
Pajak meliputi:
(i) Pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan
nama dan dalam bentuk apapun;
(ii) Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang
disetor;
(iii) Pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk
saham bonus yang berasal dari kapotalisasi agio saham;
(iv) Pembagian laba dalam bentuk saham;
(v) Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
(vi) Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau
diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh
perseroan yang bersangkutan;
(vii) Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang
disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan,
kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal
dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
(viii) Pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang
diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
(ix) Bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
(x) Bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
(xi) Pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
(xii) Pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang
dibebankan sebagai biaya perusahaan.

30
50. Dividen yang dibayarkan kepada Wajib Pajak badan dalam negeri
atau BUT dipotong PPh sebesar 15% dari penghasilan bruto, sepanjang bukan
berupa dividen yang berasal dari cadangan laba ditahan dan kepemilikan saham
pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal
yang disetor.
51. Dividen yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Luar Negeri selain BUT
dipotong pajak sebesar 20% dari jumlah bruto, dengan memperhatikan
ketentuan dalam P3B yang berlaku. Sedangkan untuk dividen yang dibayarkan
kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Orang Pribadi dikenakan tarif yang bersifat
final.
52. Wajib Pajak badan wajib melakukan pemotongan dan penyetoran
PPh atas pembayaran dividen paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir, serta melaporkannya paling lambat pada tanggal 20
setelah Masa Pajak berakhir. Atas kewajiban tersebut, Wajib Pajak badan harus
menyediakan data dan informasi mengenai dividen yang dilaporkan dalam
laporan keuangan untuk periode Tahun Pajak.
53. Saat terutangnya pajak atas dividen adalah pada saat disediakan
untuk dibayarkan, yang meliputi saat pembagian dividen diumumkan atau
ditentukan dalam RUPS Tahunan termasuk pembagian dividen sementara
(interim) bagi perusahaan yang tidak go public, dan pada tanggal penentuan
kepemilikan pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date) bagi
perusahaan go public.
54. Termasuk dalam dividen adalah penghasilan kena pajak sesudah
dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia yang tidak
ditanamkan kembali di Indonesia. Atas penghasilan yang tidak ditanamkan
kembali di Indonesia dikenai tambahan pajak dengan tarif 20%, yang disebut
branch profit tax. Pengecualian pengenaan branch profit tax atas BUT apabila
dilakukan penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk:
(i) Penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta sendiri;
(ii) Penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham;
(iii) Pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh BUT untuk menjalankan
usaha BUT atau melakukan kegiatan BUT di Indonesia; atau
(iv) Investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh BUT untuk menjalankan
usaha BUT atau melakukan kegiatan BUT di Indonesia.

31
8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak
55. Termasuk dalam pengertian royalti adalah imbalan yang dibayarkan
secara berkala maupun tidak yang berkaitan dengan:
(i) Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta;
(ii) Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial,
komersial atau ilmiah;
(iii) Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal,
industri, atau komersial;
(iv) Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan poin
(i) sampai (iii), yang berupa:
a. Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar dan/atau
rekaman suara yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit,
kabel, serat optik, atau teknologi serupa;
b. Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar dan/atau
rekaman suara untuk siaran televisi atau radio yang
disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau
teknologi serupa;
c. Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh
spektrum radio komunikasi;
(v) Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup, film atau pita
video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio;
(vi) Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak berkenaan dengan penggunaan
atau pemberian hak kekayaan intelektual/industri atau hak-hak lainnya.
56. Atas penghasilan royalti dengan nama dan dalam bentuk apapun,
yang dibayarkan dan disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggarakan kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak Dalam Negeri atau BUT, dipotong pajak
oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% dari jumlah bruto. Apabila
diberikan kepada Wajib Pajak Luar Negeri dipotong PPh sebesar 20% dari
jumlah bruto atau berdasarkan tarif yang diatur dalam P3B jika diberikan
kepada Wajib Pajak dari negara yang memiliki P3B dengan Indonesia.
57. Saat terutangnya pajak adalah pada akhir bulan dilakukannya
pembayaran, disediakan untuk dibayar, atau telah jatuh tempo pembayarannya,

32
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu. Sedangkan penyetoran oleh
Pemotong Pajak dilakukan paling lambat pada tanggal 10 bulan berikutnya
setelah masa pajak berakhir, dan penyampaian SPT Masa dilaporkan paling
lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir. Atas pemotongan PPh atas
penghasilan berupa royalti atau imbalan atas penggunaan hak, pemotong pajak
harus memberikan Bukti Pemotongan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi atau
Badan yang menerima penghasilan.
58. Sedangkan bagi penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak
luar negeri selain bentuk usaha tetap dipotong pajak sebesar 20% atau tarif P3B
dari jumlah bruto oleh pihak yang membayarkannya dan terutang pajak. PPh
terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan
terutangnya penghasilan, tergantung yang mana yang terjadi terlebih dahulu.
Dalam hal penyetoran atas pemotongan pajak bagi Wajib Pajak Luar Ngeri.
dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya, dan wajib dilaporkan pada
SPT Masa paling lambat tanggal 20 setelah berakhirnya Masa Pajak.
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
59. Pengertian sewa termasuk di dalamnya imbalan yang diterima atau
diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan
penggunaan harta gerak atau harta tak gerak. Lebih lanjut, sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta adalah penghasilan
yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan kesepakatan untuk
memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu baik dengan
perjanjian tertulis maupun tidak tertulis, sehingga harta tersebut hanya dapat
digunakan oleh penerima hak selama jangka waktu yang telah disepakati.
60. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang
Pribadi atau Badan dari persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah,
rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, rumah
kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri, wajib dibayar PPh yang bersifat
final. Dalam hal pembayaran sewa diperoleh dari penyewa yang bertindak
sebagai Pemotong Pajak, PPh dipotong oleh penyewa. Sedangkan jika penyewa
bukan sebagai Pemotong Pajak, PPh yang terutang wajib dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak Orang Pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh
penghasilan.
61. Penghasilan yang diterima oleh pihak yang memberikan jasa sewa
(lessor) adalah sebagian dari pembayaran sewa guna usaha dengan hak opsi
berupa imbalan jasa sewa guna usaha. Selain itu, dalam transaksi sewa guna

33
usaha tanpa hak opsi, penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan adalah
seluruh pembayaran yang diterima atau diperoleh lessor.
62. Sewa dan penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta selain
sewa tanah dan/atau bangunan dikenakan pajak sebesar 2% dari jumlah bruto.
Yang dimaksud jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang
dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, Subjek Pajak Dalam Negeri,
penyelenggara kegiatan, BUT, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
kepada Wajib Pajak Dalam Negeri dan BUT.
63. Saat terutangnya PPh adalah pada akhir bulan dilakukannya
pembayaran, disediakan untuk dibayar, atau telah jatuh tempo pembayarannya
tergantung mana peristiwa yang terjadi terlebih dahulu. pajak yang telah
dipotong wajib disetorkan oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal 10 bulan
takwim berikutnya setelah bulan terutangnya pajak. Atas pemotongan PPh dan
penyetoran tersebut wajib dilaporkan pada SPT Masa paling lambat tanggal 20
bulan takwim berikutnya setelah bulan terutangnya pajak.
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
64. Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya alimentasi atau
tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu
tertentu. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala yang diterima oleh
Wajib Pajak dilaporkan dan diperhitungkan dalam SPT Tahunan PPh sebagai
penghasilan lain-lain yang dikenakan tarif yang berlaku umum.
11. Keuntungan pembebasan utang
65. Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai
penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang
berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Keuntungan pembebasan utang
dapat diakui sebagai penghasilan yang merupakan Objek Pajak maupun
penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak. Keuntungan pembebasan
utang yang bukan merupakan Objek Pajak adalah keuntungan pembebasan
utang debitur kecil.
66. Keuntungan pembebasan utang yang tidak termasuk sebagai Objek
Pajak adalah keuntungan pembebasan utang debitur kecil. Utang debitur kecil
adalah utang usaha yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 350.000.000, termasuk
kredit usaha keluarga prasejahtera, kredit usaha tani, kredit pemilikan rumah
sangat sederhana, kredit usaha kecil, kredit kecil lainnya dalam rangka

34
kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan
koperasi dengan jumlah utang yang tidak lebih dari Rp 350.000.000.
67. Keuntungan pembebasan utang yang termasuk Objek Pajak adalah
penghasilan yang diperoleh debitur berupa keuntungan karena pembebasan
selain utang debitur kecil dari bank atau lembaga pembiayaan, yang meliputi
Kredit Usaha Keluarga Sejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit
Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), Kredit Usaha Kecil (KUK), dan
kredit kecil lainnya dalam rangka pengembangan usaha kecil dan koperasi.
68. Pengecualian terhadap Objek Pajak atas pembebasan utang debitur
kecil hanya dapat digunakan oleh Wajib Pajak satu kali dalam satu Tahun Pajak.
Selebihnya, pembebasan utang yang diterima oleh debitur kecil termasuk Objek
Pajak. Atas penghasilan berupa keuntungan pembebasan utang yang diterima
oleh Wajib Pajak dilaporkan dan diperhitungkan dalam SPT Tahunan PPh
sebagai penghasilan lain-lain dan dikenakan tarif umum.
12. Keuntungan selisih kurs
69. Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing
diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat
asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia,
yaitu PSAK 10. Berdasarkan penjelasan tersebut, keuntungan selisih kurs diakui
jika Wajib Pajak secara akuntansi keuangan telah mencatat keuntungan atas
kenaikan nilai mata uang yang terjadi. Ketentuan ini merupakan pengecualian
dari konsep realisasi atas pengakuan penghasilan sebagai Objek Pajak.
70. Ketentuan Pajak secara umum atas keuntungan selisih kurs dapat
dibagi menjadi dua kategori, yaitu sebagai berikut: (i) keuntungan selisih kurs
mata uang asing yang berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang
dikenakan PPh yang bersifat final atau tidak termasuk Objek Pajak tidak diakui
sebagai penghasilan, (ii) keuntungan selisih kurs mata uang asing yang tidak
berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang dikenakan PPh yang bersifat
final atau tidak termasuk Objek Pajak diakui sebagai penghasilan.
71. Ketentuan Pajak atas keuntungan selisih kurs dari kegiatan usaha
jasa konstruksi termasuk dalam perhitungan nilai kontrak jasa konstruksi yang
dikenakan PPh yang bersifat final. Untuk keuntungan selisih kurs mata uang
asing yang terjadi akibat fluktuasi nilai Rupiah pada perkiraan utang kepada
kantor pusat suatu BUT tidak diakui sebagai penghasilan bagi BUT tersebut.
72. Atas penghasilan berupa keuntungan selisih kurs dikenakan PPh
dengan tarif yang berlaku umum. Untuk tujuan pelaporan, keuntungan selisih

35
kurs dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh sebagai komponen penghasilan lain-
lain.
13. Selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap
73. Selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai
sisa buku fiskal semula dikenakan PPh yang bersifat final (dijelaskan lebih lanjut
pada bagian A.1.2).
14. Premi asuransi
74. Premi yang diterima oleh Wajib Pajak Badan asuransi atas
pembayaran yang dilakukan oleh nasabah termasuk Objek Pajak bagi Wajib
Pajak Badan tersebut. Perlakuan pajak atas penghasilan yang diterima terkait
premi asuransi diberlakukan serupa dengan penghasilan yang diterima oleh
Wajib Pajak Badan lainnya dan dikenakan tarif yang berlaku umum. Atas
penghasilan premi asuransi wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh sebagai
komponen peredaran bruto.
15. Iuran anggota
75. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya
yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
merupakan Objek Pajak. Atas penghasilan yang berasal dari iuran anggota
dikenakan tarif pajak penghasilan yang berlaku umum serta wajib dilaporkan
dalam SPT Tahunan PPh sebagai komponen penghasilan lain-lain.
16. Tambahan kekayaan neto
76. Tambahan kekayaan neto merupakan akumulasi penghasilan yang:
(i) telah dikenakan pajak, (ii) bukan Objek Pajak, serta (iii) yang belum
dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang
melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan
Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.
Tambahan kekayaan neto dikenakan pajak penghasilan dengan tarif yang
berlaku umum dan wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan
maupun Orang Pribadi.
17. Penghasilan usaha berbasis syariah
77. Kegiatan usaha yang berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang
berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun,
penghasilan yang diterima atau diperoleh kegiatan usaha berbasis syariah
tersebut tetap merupakan Objek Pajak menurut Ketentuan Pajak. Atas
penghasilan yang diterima oleh usaha berbasis syariah dikenakan pajak dengan

36
tarif yang belaku umum dan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh sebagai
komponen penghasilan bruto.
18. Imbalan bunga
78. Imbalan bunga dapat diberikan kepada Wajib Pajak yang mempunyai
kelebihan pembayaran pajak, baik yang berupa PPh, PPN, maupun PPnBM,
dalam hal terdapat beberapa kondisi sebagai berikut:
(i) Keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak setelah jangka
waktu satu bulan;
(ii) Keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sesuai
dengan Ketentuan Pajak;
(iii) Kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan, banding, atau
permohonan peninjauan kembali, terkait dengan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat
Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang
dikabulkan sebagian atau seluruhnya sesuai dengan Ketentuan Pajak;
(iv) Kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak yang mengabulkan sebagain atau seluruh
permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Ketentuan Pajak,
kecuali untuk kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan
Pembetulan yang terkait dengan Persetujuan Bersama, atau kelebihan
pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak
sesuai dengan Ketentuan Pajak;
(v) Kelebihan pembayaran sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga
sebagaimana dimaksud dalam Ketentuan Pajak karena Surat Keputusan
Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan
Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang
mengabulkan sebagian taua seluruh permohonan Wajib Pajak sesuai
dengan Ketentuan Pajak.
79. Atas penghasilan berupa imbalan bunga diakui sebagai penghasilan
yang dikenakan tarif yang berlaku umum dan wajib dilaporkan dalam SPT
Tahunan PPh sebagai penghasilan lain-lain.

37
19. Surplus Bank Indonesia
80. Surplus Bank Indonesia adalah surplus yang menurut laporan
keuangan audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setelah
dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan UU PPh dengan
memperhatikan karakteristik Bank Indonesia. Karakteristik Bank Indonesia
yang dimaksud adalah karakteristik Bank Indonesia dalam rangka menetapkan
dan melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran dan stabilitas sistem keuangan, terkait:
(i) Pengakuan keuntungan atau kerugian selisih kurs
81. Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing diakui
sebagai penghasilan atau biaya dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena
Pajak berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat
asas sesuai dengan Kebijakan Akuntansi Keuangan Bank Indonesia.
(ii) Pengakuan biaya penyisihan aktiva
82. Penyisihan aktiva dilakukan terhadap aset yang keuangan yang
diukur pada biaya perolehan diamortisasi berdasarkan sistem pembukuan yang
dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Kebijakan Akuntansi
Keuangan Bank Indonesia, dengan cara membentuk cadangan penyisihan
aktiva.
(iii) Pengakuan biaya penurunan nilai aktiva secara langsung
83. Dalam hal terdapat selisih lebih atas pemulihan nilai aktiva yang telah
diakui biaya penurunannya, diperhitungkan sebagai penghasilan pada Tahun
Pajak terjadinya pemulihan nilai aktiva tersebut.
(iv) Penyusutan aktiva tetap
84. Penyusutan aktiva tetap diakui sebagai biaya yang boleh dikurangkan
terhadap penghasilan bruto.
85. Pada dasarnya, surplus Bank Indonesia merupakan laba yang
diterima oleh Bank Indonesia sebagai Wajib Pajak badan. Oleh karenanya, atas
selisih kurs tersebut diakui sebagai penghasilan usaha yang dikenakan tarif
yang berlaku umum dan wajib dilaporkan dan diperhitungkan dalam SPT
Tahunan PPh Wajib Pajak Badan sebagai unsur penghasilan bruto.
A.1.2. Penghasilan yang dikenakan tarif bersifat final
86. Pada dasarnya, penghasilan yang dikenakan tarif bersifat final
merupakan Objek Pajak, namun karena pertimbangan tertentu perlu diberikan

38
perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya yang diatur secara khusus
melalui suatu Ketentuan Pajak. Pertimbangan yang dimaksud diantaranya
adalah:
(i) Perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan
tabungan masyarakat;
(ii) Kesederhanaan dalam pemungutan pajak;
(iii) Berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun
Direktorat Jendral Pajak;
(iv) Pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan
(v) Memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter.
87. Atas penghasilan final yang telah dipotong, dipungut atau dibayar
sendiri, dalam rangka penghitungan Penghasilan Kena Pajak tidak perlu
digabungkan dengan penghasilan lainnya, namun tetap dilaporkan dalam SPT
Tahunan PPh. PPh yang telah dipotong, dipungut atau dibayar sendiri, dari suatu
transaksi yang dikenakan PPh bersifat final tidak dapat diperlakukan sebagai
kredit pajak, namun tetap dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh.
88. Penghasilan yang dikenakan tarif bersifat final adalah sebagai
berikut.
1. Penghasilan berupa bunga
89. Penghasilan berupa bunga yang dikenakan pajak bersifat final adalah
bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara,
dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi.
90. Terkait pengenaan pajak atas bunga deposito dan tabungan lainnya
berlaku ketentuan dan tarif sebagaimana terdapat dalam Tabel 2.2 di bawah ini.
Tabel 2.2 Tarif PPh Final atas Bunga Deposito dan Tabungan Lainnya
Kriteria Tarif
Bunga Deposito dalam mata uang dolar Amerika Serikat yang bersumber dari
Devisa Hasil Ekspor:
Jangka waktu 1 bulan 10%
Jangka waktu 3 bulan 7.5%
Jangka waktu 6 bulan 2.5%
Jangka waktu lebih dari 6 bulan 0%

39
Bunga deposito dalam mata uang Rupiah yang bersumber dari Devisa Hasil
Ekspor:
Jangka waktu lebih dari 1 bulan 7.5%
Jangka waktu lebih dari 3 bulan 5%
Jangka waktu lebih dari 6 bulan 2.5%
Bunga dari tabungan dan diskonto SBI:
Bagi WP dalam negeri dan BUT 20%
Bagi WP luar negeri 20% atau tarif P3B

91. Atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak


berupa bunga obligasi dikenai pemotongan pajak penghasilan yang bersifat
final, kecuali untuk Wajib Pajak dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan serta Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau
cabang bank luar negeri di Indonesia. Ketentuan Pajak terkait dengan
pengenaan tarif PPh final atas bunga obligasi dapat dilihat dalam Tabel 2.3
berikut ini:
Tabel 2.3 Tarif PPh Final atas Bunga Obligasi

Kriteria Tarif
Bunga dan diskonto dari obligasi dengan kupon, serta diskonto dari obligasi
tanpa bunga:
Bagi WP dalam negeri dan BUT 15%
Bagi WP luar negeri selain BUT 20%
Bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang diperoleh WP Reksadana yang
terdaftar pada OJK:
Bagi WP dalam negeri dan BUT 5%
Bagi WP luar negeri selain BUT 10% atau tarif P3B
92. Terkait dengan penghasilan berupa bunga simpanan yang
dibayarkan oleh koperasi yang didirikan di Indonesia kepada anggota koperasi
orang pribadi dikenai pajak penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar
0% untuk penghasilan bunga simpanan sampai dengan Rp 240,000 per bulan
atau 10% untuk penghasilan lebih dari Rp 240.000 per bulan sebagaimana
dapat dilihat dalam Tabel 2.4 berikut ini:

40
Tabel 2.4 Tarif PPh Final atas Bunga Simpanan Koperasi

Jumlah Penghasilan Tarif


Sampai dengan Rp 240.000 per bulan 0%
Di atas Rp 240.000 per bulan 10%

2. Penghasilan berupa hadiah undian


93. Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan bentuk apapun yang
diberikan melalui undian. Atas hadiah undian dipotong pajak penghasilan yang
bersifat final sebesar 25% dari jumlah bruto hadiah atau nilai pasar hadiah
berupa natura dipotong oleh penyelenggara undian.
94. PPh atas hadiah undian terutang pada akhir bulan dilakukannya
pembayaran atau diserahkannya hadiah tergantung peristiwa yang terjadi
terlebih dahulu. Penyelenggara memotong PPh sebelum hadiah diserahkan
kepada pihak yang berhak. Atas pemotongan PPh atas hadiah undian, pihak
penyelenggara wajib melakukan penyetoran kepada kas negara paling lambat
tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan terutangnya pajak, dan wajib
melaporkan pada SPT Masa paling lambat tanggal 20 bulan takwim berikutnya
setelah bulan terutangnya pajak.
95. Dalam hal hadiah undian yang diterima berupa barang, maka
mekanisme pemotongan tidak dapat dilakukan terhadap hadiah undian
tersebut. PPh Final yang terutang atas hadiah undian yang berupa barang
dilakukan dengan cara menyetorkan sendiri pajaknya ke kas negara oleh pihak
yang menerima hadiah. Dasar pengenaan pajak yang ditetapkan atas hadiah
berupa barang tersebut adalah sejumlah harga pasar barang yang bersangkutan.
Atas penyetoran PPh Final yang dilakukan sendiri wajib dilaporkan paling
lambat tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah bulan terutangnya pajak.
3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya
96. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang
Pribadi atau Badan dari transaksi penjualan saham di bursa efek dikenakan PPh
sebesar 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham. Pemilik saham
pendiri dikenakan tambahan PPh yang bersifat final sebesar 0,5% dari nilai
saham.
97. PPh dikenakan dengan cara pemotongan pajak yang dilakukan oleh
penyelenggara bursa efek melalui perantara pedagang efek pada saat pelunasan
transaksi penjualan saham. Atas pemotongan pajak tersebut penyelenggara

41
bursa efek wajib menyetorkan pajak yang dipotong tersebut kepada bank
persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 20 setiap bulan atas
transaksi penjualan saham yang dilakukan pada bulan sebelumnya. Dalam hal
pelaporan pajak penghasilan yang dipotong dilakukan dengan menyampaikan
laporan pemotongan dan penyetoran pajak penghasilan kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak setempat paling lambat tanggal 25 pada bulan yang sama
dengan bulan penyetoran.
98. Dalam hal penyetoran tambahan pajak penghasilan dilakukan oleh
emiten atas nama pemilik saham sendiri ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan
Giro.
4. Penghasilan dari transaksi penjualan saham atau pengalihan saham
penyertaan modal yang diterima perusahaan modal ventura
99. Atas penghasilan perusahaan modal ventura yang berasal dari
transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan
pasangan usaha dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final dengan tarif
0,1% dari jumlah bruto nilai transaksinya.
100. Perusahaan pasangan usaha adalah perusahaan yang memenuhi
syarat berupa perusahaan kecil, menengah atau yang melakukan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang ditetapkan Menteri Keuangan dan sahamnya tidak
diperdagangkan di bursa efek Indonesia.
101. Transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal yang
dilakukan melalui bursa efek disetarakan dengan penghasilan dari transaksi
saham dan sekuritas lainnya.
102. Wajib Pajak perusahaan modal ventura yang melakukan penjualan
saham atau pengalihan penyertaan modal yang dilakukan melalui bursa efek
maupun tidak wajib dilakukan pencatatan secara terpisah.
5. Penghasilan dari transaksi pengalihan tanah dan/atau bangunan
dan usaha real estate
103. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang
Pribadi atau Badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib
dibayar pajak penghasilan yang bersifat final. Pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan adalah:
(i) Penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak,
penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang disepakati dengan pihak
lain selain Pemerintah;

42
(ii) Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak atau cara lain
yang disepakati dengan Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan,
termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak
memerlukan persyaratan khusus;
(iii) Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain
kepada Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum yang memerlukan persyaratan khusus.
104. Tarif pajak yang dikenakan atas penghasilan pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan adalah sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan,
yaitu nilai tertinggi antara nilai berdasarkan akta pengalihan hak dengan Nilai
Jual Objek Pajak (NJOP) tanah dan/atau bangunan. Pengecualian untuk
pengalihan hak kepada pemerintah, berlaku nilai berdasarkan keputusan
pejabat yang bersangkutan, dan dalam hal pengalihan hak sesuai dengan
peraturan lelang menggunakan nilai menurut risalah lelang. NJOP yang berlaku
adalah NJOP menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan
Bangunan (SPPT PBB) atau menggunakan SPPT PBB tahun sebelumnya jika
belum terbit. Untuk tanah dan/atau bangunan yang belum terdaftar, digunakan
NJOP menurut surat keterangan yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan
Pajak setempat.
105. Saat terutangnya pajak penghasilan atas pengalihan tanah dan/atau
bangunan adalah saat diterima atau diperolehnya penghasilan yang berasal dari
pengalihan tanah dan/atau bangunan. Dalam hal penghasilan diterima secara
angsuran, maka pajak penghasilan terutang pada setiap saat pembayaran
angsuran. Pajak penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima
secara angusran, berlaku tarif PPh Final berdasarkan jumlah pembayaran
angsuran termasuk uang muka, bunga, pungutan dan pembayaran tambahan
lainnya yang dipenuhi oleh pembeli sehubungan dengan pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan tersebut.
106. Bagi Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan berupa pengalihan hak atas rumah sederhana
dan rumah susun sederhana wajib membayar pajak penghasilan yang bersifat
final sebesar 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan, yaitu nilai tertinggi antara
nilai berdasarkan akta pengalihan hak dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
tanah dan/atau bangunan.
107. Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib menyetor sendiri PPh yang
terutang ke kas negara sebelum akta, keputusan perjanjian, kesepakatan atau

43
risalah lelang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. Ketentuan lebih
lanjut bagi Orang Pribadi dengan nilai pengalihan tidak lebih dari Rp 60.000.000
tetapi penghasilan lainnya dalam satu Tahun Pajak melebihi PTKP, maka
penyetoran PPh selambat-lambatnya pada akhir Tahun Pajak yang
bersangkutan. Dalam hal transaksi pengalihan dilakukan kepada Pemerintah,
maka bendahara pemerintah atau pejabat yang melakukan pembayaran atau
pejabat yang menyetujui tukar-menukar, wajib memungut PPh yang terutang
dan menyetorkannya ke kas negara sebelum pembayaran atau tukar-menukar
dilaksanakan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan.
6. Penghasilan dari usaha jasa konstruksi
108. Pengakuan penghasilan jasa konstruksi dalam Standar Akuntansi
Keuangan diatur dalam PSAK 34 tentang Kontrak Konstruksi. Berdasarkan
PSAK 34, kontrak konstruksi adalah suatu kontrak yang dinegosiasikan secara
khusus untuk konstruksi suatu aset atau suatu kombinasi aset yang
berhubungan erat satu sama lain atau saling tergantung dalam hal rancangan,
teknologi, dan fungsi atau tujuan pokok penggunaan.
109. Beberapa definisi terkait cakupan jasa konstruksi yang dikenakan
pajak bersifat final yang diatur dalam Ketentuan Pajak, yaitu:
(i) Jasa konstruksi yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan
konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan
jasa konsultasi pengawasan konstruksi;
(ii) Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian
kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang
mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata
lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan
suatu bangunan atau bentuk fisik lain;
(iii) Perencanaan kostruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau
badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa
konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen
perencanaan bangunan fisik lain;
(iv) Pelaksanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau
badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa
konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk
mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau
bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi
yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan

44
perencanaan, pengadaan, dan pembangunan serta model penggabungan
perencanaan dan pembangunan;
(v) Pengawasan konstruksi yaitu pemberian jasa oleh orang pribadi atau
badan yang dinyatakan ahli yang profesional dalam bidang pengawasan
jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak
awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi samoai selesai dan
diserahterimakan.
110. Pengenaan pajak atas penghasilan usaha jasa konstruksi dibedakan
menurut klasifikasi usahanya. Usaha jasa konstruksi yang tergolong sebagai
usaha kecil meliputi perusahaan jasa konstruksi yang memiliki kekayaan bersih
lebih dari 50 juta Rupiah sampai dengan 500 juta Rupiah. Untuk usaha jasa
konstruksi yang digolongkan dalam kelompok usaha menengah harus memiliki
kekayaan bersih lebih dari 500 juta Rupiah sampai dengan 10 milyar Rupiah.
Sedangkan usaha jasa konstruksi yang digolongkan sebagai usaha besar adalah
perusahaan jasa konstruksi dengan harta bersih lebih dari 10 milyar Rupiah
sampai tak terbatas. Klasifikasi usaha ditentukan berdasarkan sertifikat yang
dikeluarkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK). Bagi
perusahaan jasa konstruksi yang tidak memiliki sertifikat klasifikasi usaha aka
tergolong sebagai perusahaan jasa konstruksi yang tidak memiliki kualifikasi.
111. Bagi pengusaha jasa konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha
dikenakan tarif sesuai yang tertera pada Tabel 2.5, sedangkan pengusaha jasa
konstruksi yang tidak memiliki kualifikasi usaha dikenakan tarif pajak
penghasilan sesuai dengan yang tertera pada Tabel 2.6. Dasar pengenaan pajak
atas penghasilan jasa konstruksi adalah jumlah pembayaran atau jumlah
penerimaan pembayaran yang merupakan bagian dari Nilai Kontrak Jasa
Konstruksi, tidak termasuk PPN.
112. Pengenaan pajak penghasilan yang bersifat final untuk penghasilan
jasa konstruksi sesuai yang tertera pada Tabel 2.5 dan Tabel 2.6 berlaku untuk
kontrak jasa konstruksi yang ditandatangani setelah tanggal 1 Agustus 2008.
Sedangkan untuk kontrak jasa konstruksi yang ditandatangani sebelum tanggal
1 Agustus 2008, atas penghasilan jasa konstruksi tersebut dikenakan tarif yang
berlaku umum.

45
Tabel 2.5 Tarif PPh Final atas Pajak Jasa Konstruksi Dengan Klasifikasi
Usaha

Bentuk Pekerjaan Klasifikasi Usaha Tarif

Kecil 2%
Pelaksanaan Konstruksi
Menengah & Besar 3%
Perencanaan dan Pengawasan Kecil, Menengah & Besar 4%

Tabel 2.6 Tarif PPh Final atas Jasa Konstruksi Tidak Memiliki
Kualifikasi Usaha

Bentuk Pekerjaan Tarif


Pelaksanaan Konstruksi 4%
Perencanaan dan Pengawasan Konstruksi 6%

113. PPh Final bagi pengguna jasa berupa badan pemerintah, subjek pajak
badan dalam negeri, bentuk usaha tetap atau Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jendral Pajak dilakukan oleh pengguna jasa
saat pembayaran uang muka dan termin. Pengguna jasa selain yang telah
disebutkan tersebut, PPh wajib disetor sendiri oleh penerima penghasilan saat
pembayaran uang muka dan termin.
114. Untuk penyetoran pajak penghasilan yang dipotong oleh pengguna
jasa dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak
berakhir. Sedangkan untuk penyetoran yang dilakukan sendiri paling lambat
tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Atas pajak
penghasilan yang telah disetorkan wajib dilaporkan dalam SPT Masa paling
lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir.
7. Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan
115. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang
Pribadi atau Badan dari persewaan tanah dan/atau bangunan wajib dipotong
PPh oleh penyewa yang bertindak atau ditunjuk sebagai pemotong pajak,
apabila penyewa bukan sebagai Pemotong Pajak, maka pajak penghasilan harus
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan
tersebut. Termasuk dalam cakupan tanah dan/atau bangunan yang dimaksud
meliputi tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung
perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri.

46
116. Besarnya tarif yang dikenakan atas penghasilan dari persewaan
tanah dan/atau bangunan adalah sebesar 10% dari jumlah bruto nilai
persewaan tanah dan/atau bangunan. Jumlah bruto nilai persewaan yang
dimaksud adalah semua jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh pihak yang
menyewa, termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan dan
service charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang
disatukan dengan perjanjian persewaan yang bersangkutan.
117. Dalam hal PPh dipotong oleh pihak pemotong, saat pemotongan PPh
yang terutang adalah saat pembayaran atau saat terutangnya sewa tergantung
peristiwa mana yang terlebih dahulu. PPh yang terutang disetorkan ke Bank
Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat pada tanggal 10 bulan
berikutnya setelah pembayaran atau terutangnya sewa. Pelaporan pemotongan
dan pembayaran PPh terutang dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling
lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah pembayaran atau terutangnya sewa.
118. Untuk PPh yang dibayar sendiri oleh pihak yang menyewa dilakukan
dengan menyetorkan pajak penghasilan terutang ke Bank Persepsi atau Kantor
Pos dan Giro paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah pembayaran
atau terutangnya sewa. PPh yang telah disetorkan dilaporkan ke Kantor
Pelayanan Pajak paling lambat 20 hari bulan berikutnya setelah pembayaran
atau terutangnya sewa.
8. Penghasilan uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari
tua, dan jaminan hari tua
119. Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun,
tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus dikenakan
pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan dengan
tarif yang bersifat final. Uang pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan
oleh pemberi kerja termasuk pengelola dana pesangon kepada pegawai
sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan
kerja yang termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
120. Uang manfaat pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun
yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus
oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
Tunjangan hari tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan
penyelenggara tunjangan hari tua kepada Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah
mencapai usia pensiun. Sedangkan jaminan hari tua adalah penghasilan yang
dbayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja

47
kepada Wajib Pajak Orang Pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah
ditentukan.
121. Tarif PPh Final yang berlaku atas penghasilan berupa uang pesangon,
uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua serta jaminan hari tua dapat dilihat
pada Tabel 2.7 dan Tabel 2.8.
Tabel 2.7 Tarif PPh Final atas Uang Pesangon

Kriteria Tarif
Sampai dengan Rp 50.000.000,00 0%
Di atas Rp 50.000.000,00 Rp 100.000.000,00 5%
Di atas Rp 100.000.000,00 Rp 500.000.000,00 15%
Di atas Rp 500.000.000,00 25%

Tabel 2.8 Tarif PPh Final atas Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua, atau Jaminan Hari Tua

Kriteria Tarif
Sampai dengan Rp 50.000.000,00 0%
Di atas Rp 50.000.000,00 5%

122. Dalam hal uang pesangon dialihkan kepada pengelola dana pesangon
dan saat pembayaran pesangon dilakukan sekaligus oleh pengelola dana
pesangon, pemberi kerja wajib melakukan pemotongan PPh atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan sesuai dengan ketentuan dalam Tabel 2.7.
Sedangkan atas bunga tabungan uang pesangon yang diberikan oleh pengelola
dana tenaga kerja kepada karyawan dipotong PPh sesuai ketentuan dalam Tabel
2.9.
Tabel 2.9 Tarif PPh atas Uang Pesangon yang Dialihkan kepada
Pengelola Dana Pesangon

Kriteria Jenis PPh Tarif


Pengelola dana pesangon bukan bank PPh Pasal 23 15%
Pengelola dana pesangon bank Pasal 4 ayat (2) Final 15%

48
9. Penghasilan dengan peredaran bruto tertentu
123. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dikenakan pajak yang bersifat
final. Kriteria Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu adalah:
(i) Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan tidak termasuk BUT;
(ii) Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak lebih
dari 4.8 miliar Rupiah dalam satu Tahun Pajak.
124. Penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak dengan kriteria yang
telah disebutkan di atas dikenakan pajak dengan tarif 1% yang didasarkan pada
peredaran bruto dalam satu tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun
Pajak yang bersangkutan.
10. Penghasilan atas diskonto Surat Perbendaharaan Negara
125. Termasuk dalam penghasilan tertentu lainnya yang dikenakan PPh
bersifat final adalah penghasilan atas diskonto surat perbendaharaan negara.
Diskonto Surat Perbendaharaan Negara adalah selisih lebih antara nilai nominal
pada saat jatuh tempo dengan harga perolehan di Pasar Perdana atau di Pasar
Sekunder, atau harga jual di Pasar Sekunder dengan harga perolehan di Pasar
Perdana atau di Pasar Sekunder, tidak termasuk PPh yang dipotong. Atas
penghasilan diskonto Surat Perbendaharaan Negara dikenakan pajak sebesar
20% bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan BUT, dan 20% atau sesuai tarif dalam
P3B yang berlaku bagi Wajib Pajak Luar Negeri.
11. Dividen kepada Wajib Pajak Orang Pribadi
126. Dividen yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi dalam
negeri dikenakan PPh sebesar 10% dari jumlah bruto dan bersifat final.
Pengenaan PPh tersebut dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang
membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen. Pihak yang
membayar dividen harus memberikan bukti pemotongan PPh Final kepada
Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang dipotong PPh setiap melakukan
pemotongan.
12. Selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap
127. Selisih penilaian kembali aktiva tetap dikenakan tarif pajak
tersendiri, sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi berdasarkan Ketentuan
Pajak. Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan yang
dilakukan terhadap seluruh aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang

49
berstatus hak milik atau hak guna bangunan atau terhadap seluruh aktiva tetap
berwujud tidak termasuk tanah yang terletak atau berada di Indonesia
dikenakan tarif yang bersifat final sebesar 10%.
128. Untuk penilaian kembali aktiva tetap yang diajukan Tahun 2015 dan
Tahun 2016 diatur khusus melalui Ketentuan Pajak tentang Penilaian Kembali
Aktiva Tetap untuk Tujuan Perpajakan bagi Permohonan yang Diajukan pada
Tahun 2015 dan Tahun 2016. Ketentuan Pajak tersebut mengatur bahwa bagi
Wajib Pajak yang melakukan penilaian kembali aktiva tetap untuk tujuan
perpajakan mendapatkan perlakuan khusus, berupa penurunan tarif pajak
penghasilan final sebesar:
(i) 3% untuk permohonan yang diajukan sampai dengan tanggal 31
Desember 2015;
(ii) 4% untuk permohonan yang diajukan sejak 1 Januari 2016 sampai dengan
30 Juni 2016; atau
(iii) 6% untuk permohonan yang diajukan sejak 1 Juli 2016 sampai dengan 31
Desember 2016.
129. Selain memberikan fasilitas berupa penurunan tarif PPh Final,
Ketentuan Pajak tersebut juga memberikan keringanan dalam hal penurunan
kembali aktiva tetap dapat dilakukan hanya terhadap sebagian atau seluruh
aktiva tetap berwujud yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan
dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
merupakan Objek Pajak.
13. Penghasilan usaha pelayaran dalam dan/atau luar negeri
130. Pengenaan PPh yang bersifat final dikenakan pula untuk penghasilan
usaha pelayaran dalam negeri dan usaha pelayaran dan/atau penerbangan luar
negeri. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak perusahaan
pelayaran dalam negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat
dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di
Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya dikenakan PPh yang
bersifat final sebesar 1,2%.
131. Sedangkan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib
Pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri dari
pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke
pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan Indonesia ke pelabuhan di
luar negeri dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 2,64%.

50
14. Penghasilan atas kerja sama perjanjian Bangun Guna Serah
132. Perlakuan PPh terhadap pihak-pihak yang melakukan kerjasama
dalam bentuk perjanjian bangun guna serah (built operate and transfer/BOT).
Bangun guna serah yang dimaksud adalah bentuk perjanjian kerja sama yang
dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan
bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk
mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah, dan
mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah
selama masa bangun guna serah berakhir.
133. Atas penyerahan bangunan pada akhir masa bangun guna serah
merupakan penghasilan bagi pemilik hak atas tanah yang bersangkutan dan
dikenakan PPh yang bersifat final dengan tarif sebesar 25% dari jumlah bruto
tertinggi antara nilai pasar dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bangunan yang
bersangkutan sesuai dengan ketentuan dalam UU PBB. Ketentuan tersebut
berlaku untuk penyerahan bangunan kepada pemilik hak atas tanah yang
merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi. Apabila pemilik hak atas tanah
merupakan Wajib Pajak Badan, PPh yang terutang tersebut dipersamakan
sebagai pembayaran angsuran pajak yang dapat diperhitungkan dengan PPh
terutang untuk Tahun Pajak bersangkutan.
134. Dalam hal investor menerima penggantian sehubungan dengan
pelaksanaan bangun guna serah, maka atas imbalan atau penggantian tersebut
merupakan penghasilan bagi investor pada tahun diterimanya hak penggantian
atau imbalan tersebut.
A.1.3. Penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak
135. Penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak dan harus
dikeluarkan dalam perhitungan Penghasilan Kena Pajak adalah sebagai berikut.
1. Bantuan atau sumbangan, zakat, serta harta hibahan
136. Bantuan atau sumbangan termasuk zakat atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib yang dikecualikan dari Objek Pajak sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan. Zakat atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib, yang dikecualikan sebagai Objek Pajak adalah zakat atau
sumbangan keagamaan lainnya yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga keagamaan yang dibentuk dan disahkan oleh Pemerintah, atau
penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang berhak.

51
137. Harta hibah, bantuan atau sumbangan dianggap bukan merupakan
Objek Pajak selama yang menerima penghasilan tersebut adalah keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan dan koperasi, atau orang pribadi
yang menjalankan usaha mikro dan kecil. Penghasilan berupa harta hibah,
bantuan atau sumbangan dapat menjadi Objek Pajak apabila pihak pemberi
mempunyai hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan dengan
penerima hibah, bantuan atau sumbangan tersebut.
138. Termasuk dalam pengertian keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat adalah orang tua dan anak kandung. Badan
keagamaan, badan pendidikan, dan badan sosial yang dimaksud adalah badan
yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan kegiatan keagamaan,
pendidikan maupun kegiatan sosial yang tidak mencari keuntungan. Sedangkan
Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha mikro dan usaha kecil
adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha produktif dengan
kekayaan bersih paling banyak 500 juta Rupiah tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak
2,5 miliar Rupiah.
2. Warisan
139. Warisan yang diterima ahli waris bukan merupakan Objek Pajak.
Namun, untuk warisan yang belum terbagi, atas warisan tersebut terdapat
penghasilan yang merupakan Objek Pajak. Warisan yang belum terbagi sebagai
satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti menggantikan mereka yang
berhak, yaitu ahli waris.
3. Harta termasuk setoran tunai
140. Harta termasuk setoran tunai yang diterima sebagai penyertaan
modal kepada badan sebagai pengganti saham dikecualikan dari Objek Pajak.
Hal ini karena penyerahan harta maupun setoran tunai tersebut merupakan
penyertaan modal bukan sebagai penghasilan.
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
141. Penggantian atau imbalan bukan termasuk Objek Pajak jika diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang
dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma
perhitungan khusus (deemed profit) sebagaimana diatur dalam Ketentuan Pajak.

52
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi (klaim asuransi)
142. Pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan asuransi dalam rangka
pelunasan klaim asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa dikecualikan dari Objek Pajak. Hal ini
dilakukan karena saat penerimaan premi asuransi dari peserta telah dikenakan
pajak, sehingga tidak terjadi pengenaan pajak berganda.
6. Dividen tertentu
143. Dividen tertentu yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah dividen
atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak Dalam Negeri, koperasi, badan usaha milik negara atau badan usaha milik
daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat: (i) dividen berasal dari cadangan laba
ditahan dan (ii) bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima
dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% dari jumlah modal yang disetor.
7. Iuran yang diterima dana pensiun
144. Iuran yang diterima dari peserta dana pensiun, baik atas beban
sendiri maupun yang ditanggung oleh pemberi kerja dikecualikan dari Objek
Pajak. Pengenaan pajak baru dilakukan pada saat manfaat dana pensiun
dibayarkan oleh perusahaan dana pensiun kepada anggota sesuai dengan
ketentuan terkait pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
dan kegiatan.
8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun
145. Iuran yang diterima dana pensiun yang pendirinya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan dari penanaman modal berupa:
(i) Bunga, diskonto, dan imbalan dari deposito sertifikat deposito, dan
tabungan pada bank di Indonesia yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah serta Sertifikat
Bank Indonesia;
(ii) Bunga, diskonto dan imbalan dari obligasi, obligasi syariah (sukuk), Surat
Berharga Syariah Negara, dan Surat Perbendaharaan Negara, yang
diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek di
Indonesia; atau
(iii) Dividen dari saham pada perseroan terbatas yang tercatat pada bursa efek
di Indonesia.

53
146. Penanaman modal dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan
dana untuk pembayaran di kemudian hari, sehingga penanaman modal
diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang berisiko
tinggi. Oleh karena itu, penghasilan yang berasal dari penanaman modal
tertentu dikecualikan dari Objek Pajak.
9. Bagian laba yang diterima oleh anggota dari bentuk usaha yang
modalnya terbagi atas saham
147. Badan-badan yang merupakan himpunan para anggotanya dikenai
pajak pada tingkat badan tersebut, sehingga pembagian laba yang diterima oleh
para angota badan bukan lagi merupakan Objek Pajak, untuk menghindari
pengenaan pajak berganda. Badan atau bentuk usaha yang dimaksud
diantaranya adalah perseroan komaditer (CV), persekutuan, firma, kongsi, dan
kontrak investasi kolektif (KIK).
10. Penghasilan modal ventura
148. Penghasilan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan
usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan
syarat badan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan mikro, kecil,
menengah atau menjalankan kegiatan dalam sektor usaha yang diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan sahamnya tidak
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
11. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu
149. Beasiswa bukan sebagai Objek Pajak adalah beasiswa yang diterima
atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi beasiswa
dalam rangka mengikuti pendidikan formal dan/atau pendidikan nonformal
yang dilaksanakan di dalam dan/atau di luar negeri. Apabila penerima beasiswa
memiliki Hubungan Istimewa dengan pemilik, komisaris, direksi atau pengurus
dari Wajib Pajak pemberi beasiswa, maka beasiswa yang diterima merupakan
Objek Pajak.
12. Sisa lebih yang diterima badan/lembaga nirlaba dalam bidang
pendidikan dan penelitian
150. Sisa lebih yang diterima badan/lembaga nirlaba dalam bidang
pendidikan dan penelitian kecualikan dari Objek Pajak. Sisa lebih adalah selisih
dari seluruh penerimaan yang merupakan Objek Pajak selain penghasilan yang
dikenakan PPh tersendiri dikurangi dengan biaya operasional sehari-hari, yaitu
biaya yang memiliki hubungan langsung dan tidak langsung dengan kegiatan
usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan

54
yang merupakan Objek Pajak selain penghasilan yang dikenakan pajak
penghasilan tersendiri.
151. Atas selisih lebih yang ditanamkan kembali dalam bentuk
pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka
kepada pihak manapun dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang
membidanginya, dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sejak diperolehnya
sisa lebih tersebut dikecualikan dari Objek Pajak.
13. Bantuan/santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu
152. Wajib Pajak tertentu yang dimaksud adalah Wajib Pajak atau
masyarakat yang tidak mampu yang hidup di bawah garis kemiskinan, Wajib
Pajak atau masyarakat yang sedang mengalami bencana alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan
tanah longsor, serta Wajib Pajak yang tertimpa musibah berupa kecelakaan yang
tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan membahayakan atau mengancam
keselamatan jiwa.
153. Bagi Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tersebut, atas penghasilan
berupa bantuan/santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial bukan merupakan objek Pajak.
A.2. Biaya
154. Biaya didefinisikan sebagai penurunan manfaat ekonomi selama
suatu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau berkurangnya aset atau
terjadinya liabilitas yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak
menyangkut pembagian kepada penanam modal.
155. Pengakuan biaya didasarkan pada metode pencatatan pembukuan
yang diberlakukan oleh Wajib Pajak Pengukuran biaya dilakukan dengan
mengalokasikan biaya terhadap periode terjadinya biaya tersebut. Dalam
Standar Akuntansi Keuangan, biaya diakui dalam laporan laba rugi berdasarkan
basis alokasi langsung antara biaya yang dikeluarkan dengan penghasilan yang
diterima (matching concept).
156. Pengakuan dan pengukuran biaya untuk tujuan pajak merujuk pada
Ketentuan Pajak. Dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak, biaya yang
dikeluarkan dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu:
(i) Dapat dibebankan sepenuhnya pada periode pengeluaran;

55
(ii) Hanya dapat dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi serta
alokasi;
(iii) Dapat dibebankan apabila memenuhi persyaratan; atau
(iv) Tidak dapat dibebankan atau tidak dapat dibebankan sebagai pengurang
penghasilan bruto.
A.2.1. Biaya pengurang Penghasilan Kena Pajak
157. Seluruh pengeluaran, biaya, dan kerugian untuk dapat diakui sebagai
biaya yang boleh dikurangkan terhadap Penghasilan Kena Pajak harus
memenuhi kriteria berupa:
(i) Diotorisasi oleh Ketentuan Pajak;
(ii) Bukan merupakan pengeluaran pribadi;
(iii) Merupakan pengeluaran untuk mendapatkan penghasilan, penyusutan
dan/atau amortisasi pengeluaran modal;
(iv) Merupakan pengeluaran yang bersifat rutin, diperlukan, dan wajar
jumlahnya;
(v) Merupakan biaya usaha, alokasi atau amortisasi biaya terkait dengan
investasi;
(vi) Merupakan kerugian yang sesungguhnya terjadi;
(vii) Merupakan kewajiban bagi Wajib Pajak; dan
(viii) Didukung oleh dokumentasi yang memadai.
158. Biaya yang boleh dikurangkan sebagai pengurang penghasilan bruto
bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan BUT adalah biaya langsung atau tidak
langsung untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara Penghasilan Kena
Pajak. Dalam standar akuntansi keuangan, biaya yang dikeluarkan untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan merupakan biaya yang
termasuk kategori pengeluaran pendapatan (revenue expenditures). Pada
dasarnya, pengeluaran yang boleh dikurangkan sebagai biaya dalam
menghitung Penghasilan Kena Pajak merupakan biaya untuk mendapatkan
penghasilan yang merupakan Objek Pajak. Sedangkan biaya yang berkaitan
dengan penghasilan yang bersifat final maupun penghasilan yang bukan
merupakan Objek Pajak tidak boleh dikurangkan dalam menghitung
penghasilan kena pajak.

56
159. Biaya-biaya yang boleh dikurangkan sesuai dengan Ketentuan Pajak
adalah sebagai berikut:
1. Biaya pembelian bahan
160. Dalam Standar Akuntansi Keuangan, biaya pembelian dijelaskan
dalam PSAK 14 tentang Persediaan, yaitu meliputi harga beli, bea impor, pajak
lainnya (kecuali yang kemudian ditagihkan kembali oleh Wajib Pajak kepada
otoritas pajak), biaya pengangkutan, biaya penanganan, dan biaya lainnya yang
secara langsung dapat diatribusikan terhadap perolehan barang jadi, bahan, dan
jasa.
2. Biaya berkenaan dengan pekerjaan dan jasa
161. Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa dapat berupa
pembayaran imbalan, upah atau gaji kepada karyawan maupun pembayaran
atas penyediaan jasa yang dilakukan oleh pihak lain. Sedangkan biaya bunga,
sewa, royalty, dan biaya administrasi yang dibayarkan terkait dengan kegiatan
usaha Wajib Pajak termasuk dalam kategori biaya yang boleh dikurangkan
terhadap penghasilan bruto.
162. Saat pengakuan biaya sehubungan dengan pekerjaan dan jasa
ditentukan berdasarkan saat terutangnya pajak atas penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan, yaitu pada saat dilakukan pembayaran
atau pada saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan sesuai dengan
prinsip basis kas dan basis akrual. Dalam hal penyajian, biaya bekenaan dengan
pekerjaan dan jasa disajikan berupa biaya gaji, upah, dan tunjangan lainnya.
Biaya gaji, upah, dan tunjangan lainnya tersebut Wajib Pajak harus melakukan
pengungkapan yang dapat berisi:
(i) Daftar rincian gaji yang dibayarkan kepada karyawan dengan jumlah yang
sesuai dalam kontrak kerja;
(ii) Daftar rincian laporan produksi yang dihasilkan oleh karyawan dengan
upah satuan;
(iii) Daftar rincian upah lembur yang dilengkapi dengan daftar hadir/kartu
jam kerja dengan tarif upah lembur yang sesuai dengan yang ditetapkan
oleh Pemerintah;
(iv) Daftar rincian berupa laporan penjualan terkait dengan komisi yang
dibayarkan kepada salesman.

57
3. Biaya bunga, sewa, dan royalti
163. Biaya bunga, sewa dan royalti yang dapat dibebankan sebagai biaya
adalah bunga, sewa, dan royalti yang berkaitan langsung untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan. Sebagai contoh, dalam melakukan
pembelian bahan baku, perusahaan meminjam uang kepada bank. Atas beban
bunga yang timbul merupakan biaya yang berkaitan langsung dengan harga
pembelian, sehingga boleh dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena
pajak. Sedangkan biaya bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli
saham tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang penghasilan dividen
dari saham yang diterimanya bukan merupakan Objek Pajak, namun dapat
dikapitalisasi sebagai harga perolehan saham. Untuk pembayaran bunga atas
pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam dikecualikan
dari biaya yang boleh dikurangkan.
164. Terkait dengan biaya bunga dan biaya overhead yang terjadi dalam
masa konstruksi, pinjaman yang digunakan untuk mebiayai pembangunan
pabrik atau bangunan lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu
tahun, biaya bunga yang timbul dikapitalisir ke harga perolehan
pabrik/bangunan lainnya yang dibebankan melalui penyusutan. Dalam hal
suatu pinjaman digunakan untuk membiayai pembelian tanah, biaya bunga
dikapitalisasi ke dalam harga perolehan tanah tetapi tidak dapat dibebankan
sebagai biaya penyusutan.
165. Selain itu, atas pinjaman yang digunakan untuk membiayai
pembangunan pabrik dan pembelian tanah serta aktiva lainnya yang tidak
dipisah perhitungan kapitalisasinya ke dalam masing-masing aktiva tersebut
dapat dilakukan secara prorata. Atas biaya ovehead, yang meliputi biaya
gaji/tunjangan, biaya perjalanan dan biaya lain-lain, yang berkaitan dengan
pembangunan pabrik atau bangunan lainnya yang timbul selama masa
konstruksi harus dikapitalisir ke harga perolehan pabrik/bangunan lainnya
tersebut yang pembebanannya melalui biaya penyusutan. Dalam hal biaya
overhead tidak dapat dipisahkan maka perhitungan kapitalisasi dilakukan
secara prorata. Terkait hal ini, pengaturan dalam Ketentuan Pajak selaras
dengan perlakuan biaya bunga dan biaya overhead yang diatur dalam PSAK 26.
166. Biaya bunga pinjaman yang dibayar atau terutang atas pinjaman
yang dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak adalah
sebesar biaya pinjaman sesuai dengan perbandingan antara utang dan modal,
yaitu sebesar 4 banding 1. Apabila Wajib Pajak memiliki saldo ekuitas nol atau

58
kurang dari nol, maka seluruh biaya bunga pinjaman tidak dapat diperhitungkan
sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak.
167. Atas biaya bunga pinjaman yang dipakai untuk pembangunan dan
pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengambangan yang terutang atau dibayarkan setelah selesainya proses
pembangunan dan pengaduan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan dapat dibebankan sebagai biaya badan
atau lembaga nirlaba.
168. Biaya yang dikeluarkan untuk penghasilan yang besifat final dan
tidak final maupun penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak yang tidak
dapat dipisahkan pembebanannya dialokasikan secara proporsional. Apabila
jumlah rata-rata pinjaman sama besar atau lebih kecil dari jumlah rata-rata dana
yang ditempatkan pada deposito atau tabungan lainnya, bunga yang dibayar
atau terutang atas pinjaman tersebut seluruhnya tidak dapat dibebankan
sebagai biaya. Sedangkan apabila jumlah rata-rata pinjaman lebih besar dari
jumlah rata-rata dana yang ditempatkan pada deposito atau tabungan lainnya,
maka bunga pinjaman yang boleh dibebankan sebagai biaya adalah bunga yang
dibayar atau terutang atas rata-rata pinjaman yang melebihi jumlah rata-rata
dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan lainnya.
169. Atas bunga pinjaman dari pihak ketiga dapat dibebankan sebagai
biaya dalam hal dana pinjaman tersebut disimpan/ditempatkan dalam bentuk
rekening giro yang atas jasanya dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final,
adanya keharusan untuk menempatkan dana dalam jumlah tertentu pada suatu
bank dalam bentuk deposito berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku,
sepanjang jumlah deposito dan tabungan tersebut semata-mata untuk
memenuhi keharusan tersebut, dan dapat dibuktikan bahwa penempatan
deposito atau tabungan tersebut dananya berasal dari tambahan modal dan sisa
laba setelah kena pajak.
170. Terkait dengan biaya sewa, biaya sewa yang dibayarkan atau yang
terutang oleh pihak yang menyewa merupakan biaya yang dapat dikurangkan
dari laba bruto.
4. Biaya perjalanan
171. Biaya perjalanan dinas yang dilakukan oleh karyawan yang
berkaitan dengan kegiatan usaha perusahaan dapat dilakukan pengurangan
dari laba bruto. Perjalanan dinas dibagi menjadi dua jenis yaitu perjalanan dinas
jabatan dan perjalanan dinas pindah. Biaya yang termasuk ke dalam biaya
perjalanan dinas jabatan diantaranya: uang harian, biaya transpor, biaya

59
penginapan, uang representasi, sewa kendaraan dalam kota, dan/atau biaya
menjemput/mengantar jenazah. Sedangkan biaya yang termasuk ke dalam
biaya perjalanan dinas pindah adalah: biaya transport pegawai, biaya transport
keluarga, biaya pengepakan dan angkut barang, dan/atau uang harian. Cara
pembayaran biaya perjalanan dinas dapat dilakukan dengan mekanisme Lump
Sum (LS), yaitu jumlah yang telah dihitung terlebih dahulu yang dibayarkan
sekaligus, dan mekanisme Uang Persediaan (UP) yaitu uang muka kerja dalam
jumlah tertentu yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk
membiayai kegiatan operasional sehari-hari satuan kerja, yang tidak mungkin
dilakukan melalui mekanisme pembayaran langsung.
5. Biaya pengolahan limbah
172. Pengolahan limbah merupakan kegiatan yang wajib dilakukan
sebagai tanggung jawab sosial Wajib Pajak. Dengan demikian, atas pengeluaran
yang dilakukan berkaitan dengan pengolahan limbah boleh dikurangkan dalam
menghitung Penghasilan Kena Pajak.
6. Premi asuransi
173. Pembayaran premi asuransi atas nama perusahaan, dapat
diperlakukan sebagai biaya yang boleh dikurangkan karena merupakan biaya
yang berkaitan dengan usahanya. Dalam hal pembayaran premi asuransi oleh
pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya
perusahaan, bagi pegawai yang bersangkutan pembayaran premi asuransi
tersebut merupakan penghasilan.
7. Biaya promosi dan penjualan
174. Biaya promosi dan penjualan adalah bagian dari biaya penjualan
yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak dalam rangka memperkenalkan dan/atau
menganjurkan pemakaian suatu produk baik langsung maupun tidak langsung
untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan penjualan. Besarnya biaya
promosi yang dapat dikurangkan dari laba bruto adalah akumulasi dari:
(i) Jumlah biaya periklanan di media elektronik, media cetak, dan/atau media
lainnya;
(ii) Biaya pameran produk;
(iii) Biaya pengenalan produk baru; dan/atau
(iv) Biaya sponsorship yang berkaitan dengan promosi produk.
175. Biaya promosi yang tidak termasuk dalam ketentuan di atas adalah
pemberian imbalan berupa uang dan/atau fasilitas, dengan nama dan dalam

60
bentuk apapun, kepada pihak lain yang tidak berkaitan langsung dengan
penyelenggaraan kegiatan promosi maupun biaya promosi yang digunakan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan
merupakan objek pajak dan yang telah dikenakan pajak bersifat final.
Sedangkan biaya promosi yang diberikan dalam bentuk sample produk,
besarnya biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar
harga pokok sample produk yang diberikan, sepanjang belum dibebankan dalam
perhitungan harga pokok penjualan.
176. Atas pengeluaran biaya promosi tersebut kepada pihak lain harus
dibuat daftar nominatif yang sesuai dengan format yang telah ditentukan, yang
sedikitnya memuat data penerima berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak,
alamat, tanggal, bentuk dan jenis biaya, besarnya biaya, nomor bukti
pemotongan dan besarnya PPh yang dipotong (jika biaya promosi merupakan
objek pemotongan PPh). Daftar nominatif tersebut harus dilampirkan dalam
SPT Tahunan PPh Badan, jika tidak dilampirkan maka biaya promosi tidak dapat
dikurangkan dari laba bruto.
8. Biaya administrasi
177. Biaya administrasi merupakan biaya rutin yang dikeluarkan untuk
membiayai jalannya perusahaan. Biaya administrasi dapat dibedakan menurut
masa manfaatnya, yaitu:
(i) Biaya administrasi dengan masa manfaat lebih dari satu tahun, yang
meliputi biaya pendirian perusahaan maupun biaya pengurusan izin
kegiatan; dan
(ii) Biaya administrasi dengan masa manfaat kurang dari satu tahun yang
meliputi biaya administrasi bank, maupun biaya administrasi lainnya.
178. Untuk biaya administrasi dengan masa manfaat lebih dari satu tahun,
pembebanannya dilakukan dalam bagian yang sama besar melalui penyusutan
atau amortisasi. Sedangkan untuk biaya administrasi dengan masa manfaat
kurang dari satu tahun maka pembebanannya dilakukan sekaligus.
9. Beban pajak selain PPh
179. Beban pajak yang ditanggung perusahaan yang berkaitan dengan
usahanya selain PPh dapat diakui sebagai biaya pengurang penghasilan bruto.
Beban pajak yang dimaksud misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
termasuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Bea Materai
(BM), dan lain-lain.

61
180. BPHTB atas hak atas tanah yang dipergunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan sebagai biaya melalui
amortisasi sepanjang hak atas tanah dapat diamortisasi. Sedangkan BPHTB atas
hak atas bangunan dapat dikurangkan sebagai biaya melalui penyusutan. Untuk
PBB atas tanah dan bangunan yang dimiliki dan dipergunakan dalam
perusahaan atau dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan dapat dikurangkan sekaligus sebagai biaya dalam penghitungan
Penghasilan Kena Pajak.
10. Penyusutan dan amortisasi
181. Pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan
atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang mempunyai masa manfaat
lebih dari satu tahun pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau
melalaui amortisasi. Metode penyusutan yang diperkenankan untuk tujuan
pajak adalah sebagai berikut:
(i) Metode garis lurus, dengan membagi total pengeluaran untuk
memperoleh harta berwujud ke dalam bagian-bagian yang sama besar
selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut dengan
cara menerapkan tarif penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh
harta berwujud; atau
(ii) Metode saldo menurun (double declining), dengan membagi total
pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud ke dalam bagian yang
menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan
tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai
sisa buku disusutkan sekaligus.
182. Ketentuan lainnya yang berkaitan dengan penyusutan adalah
sebagai berikut:
(i) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk
harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutan dimulai pada
bulan selesainya pengerjaan harta tersebut;
(ii) Wajib Pajak dapat melakukan penyusutan pada bulan harta digunakan
atau pada bulan harta mulai menghasilkan penghasilan dengan
persetujuan Direktur Jendral Pajak;
(iii) Apabila dilakukan penilaian kembali aktiva, dasar penyusutan atas harta
adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut;

62
(iv) Apabila terjadi pengalihan harta yang menghasilkan penghasilan yang
termasuk Objek Pajak, maka jumlah nilai sisa buku sampai dengan bulan
sebelum dilakukan pengalihan, dibebankan sebagai kerugian dan jumlah
harga jual atau penggantian asuransi yang diterima dibukukan sebagai
penghasilan pada tahun terjadinya penarikan harta;
(v) Apabila pengalihan atau penarikan harta dilakukan dalam hal bantuan,
sumbangan atau hibah, maka jumlah nilai sisa buku tidak boleh
dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan;
(vi) Penentuan masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan
pada Tabel 2.10.
183. Penentuan jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan untuk
keperluan penyusutan diatur seperti yang tertera pada Tabel 2.11 sampai Tabel
2.14. Untuk jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan yang tidak terdapat
dalam daftar pada Tabel 2.11 sampai Tabel 2.14, digunakan masa manfaat dalam
Kelompok 3.
Tabel 2.10 Penentuan Masa Manfaat dan Tarif Penyusutan
Harta Berwujud

Kelompok Harta Masa Tarif Penyusutan


Berwujud Manfaat Garis Lurus Saldo Menurun
Bukan Bangunan
Kelompok 1 4 Tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 Tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 Tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 Tahun 5% 10%
Bangunan
Permanen 20 Tahun 5%
Tidak Permanen 10 Tahun 10%

184. Berdasarkan ketentuan di atas, yang termasuk dalam kelompok


bangunan tidak permanen adalah bangunan yang bersifat sementara dan
terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-
pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 tahun, misalnya barak
atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.
185. Terkait dengan perlakuan PPh atas biaya pemakaian telepon seluler
dan kendaraan perusahaan, pembebanan melalui penyusutan terkait harta yang

63
dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan
atau pekerjaannya dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50%
dari jumlah biaya perolehan atau pembelian. Ketentuan tersebut berlaku untuk
penyusutan aktiva tetap berupa telepon seluler termasuk biaya berlangganan
atau pengisian pulsa dan perbaikan telepon seluler dapat dibebankan sebagai
biaya perusahaan. Selain itu, berlaku juga bagi biaya perolehan atau pembelian
atau perbaikan besar kendaraan sedan yang digunakan oleh pegawai terkait
dengan jabatannya serta atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin
kendaraan dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50%-nya.
Tabel 2.11 Jenis Harta Berwujud Kelompok 1

No Jenis Usaha Jenis Harta


1. Semua jenis usaha a. Mebel dan peralatan dari kayu atau
rotan termasuk meja, bangku, kursi,
almari dan sejenisnya yang bukan
bagian dari bangunan.
b. Mesin kantor seperti mesin tik, mesin
hitung, duplikator, mesin fotokopi,
mesin akunting/pembukuan,
komputer, printer, scanner dan
sejenisnya.
c. Perlengkapan lainnya seperti
amplifier, tape/cassette, video
recorder, televisi dan sejenisnya.
d. Sepeda motor, sepeda dan becak.
e. Alat perlengkapan khusus (tools)
bagi industri/jasa yang
bersangkutan.
f. Alat dapur untuk memasak, makanan
dan minuman.
g. Dies, jigs, dan mould.
2. Pertanian, perkebunan, Alat yang digerakkan bukan dengan
kehutanan, perikanan mesin
3. Industri makanan dan Mesin ringan yang dapat dipindah-
minuman pindahkan seperti, huller, pemecah kulit,
penyosoh, pengering, pallet, dan
sejenisnya.

64
4. Perhubungan pergudangan Mobil taksi, bus dan truk yang digunakan
dan komunikasi sebagai angkutan umum.
5. Industri semi konduktor Falsh memory tester, writer machine,
biporar test system, elimination (PE8-1),
pose checker.

Tabel 2.12 Jenis Harta Berwujud Kelompok 2

No Jenis Usaha Jenis Harta


1. Semua jenis usaha a. Mabel dan peralatan dari logam
temasuk meja, bangku, kursi, almari
dan sejenisnya yang bukan
merupakan bagian dari bangunan.
Alat pengatur udara seperti AC, kipas
angin dan sejenisnya.
b. Mobil, bus, truk speed boat dan
sejenisnya.
c. Container dan sejenisnya.
2. Pertanian, perkebunan, a. Mesin pertanian/perkebunan seperti
kehutanan, perikanan traktor dan mesin bajak,
zzzpenggaruk, penanaman, penebar
benih dan sejenisnya.
b. Mesin yang mengolah atau
menghasilkan atau memproduksi
bahan atau barang pertanian,
kehutanan, perkebunan, dan
perikanan.
3. Industri makanan dan a. Mesin yang mengolah produk asal
minuman binatang, unggas dan perikanan,
misalnya pabrik susu, pengalengan
ikan.
b. Mesin yang mengolah produk nabati,
misalnya mesin minyak kelapa,
magarine, penggilingan kopi,
kembang gula, mesin pengolah biji-
bijian seperti penggilingan beras,
gandum, tapioka.

65
c. Mesin yang menghasilkan/
memproduksi minuman dan bahan-
bahan minuman segala jenis.
d. Mesin yang menghasilkan/
memproduksi bahan-bahan makanan
dan makanan segala jenis.
4. Industri mesin Mesin yang menghasilkan/
memproduksi mesin ringan (misalnya
mesin jahit, pompa air).
5. Perkayuan Mesin dan peralatan penebangan kayu.
6. Konstruksi Peralatan yang dipergunakan seperti
truk berat, dump truck, crane buldozer
dan sejenisnya.
7. Perhubungan, pergudangan a. Truck kerja untuk pengangkutan dan
dan komunikasi bongkar muat, truck peron, truck
ngangkang, dan sejenisnya;
b. Kapal penumpang, kapal barang,
kapal khusus dibuat untuk
pengangkutan barang tertentu
(misalnya gandum, batu - batuan, biji
tambang dan sebagainya) termasuk
kapal pendingin, kapal tangki, kapal
penangkap ikan dan sejenisnya, yang
mempunyai berat sampai dengan 100
DWT;
c. Kapal yang dibuat khusus untuk
menghela atau mendorong kapal-
kapal suar, kapal pemadam
kebakaran, kapal keruk, keran
terapung dan sejenisnya yang
mempunyai berat sampai dengan 100
DWT;
d. Perahu layar pakai atau tanpa motor
yang mempunyai berat sampai
dengan 250 DWT;
e. Kapal balon
8. Telekomunikasi a. Perangkat pesawat telepon;

66
b. Pesawat telegraf termasuk pesawat
pengiriman dan penerimaan radio
telegraf dan radio telepon
9. Industri semi konduktor Auto frame loader, automatic logic
handler, baking oven, ball shear tester,
bipolar test handler (automatic),
cleaning machine, coating machine,
curing oven, cutting press, dambar cut
machine, dicer, die bonder, die shear test,
dynamic burn-in system oven, dynamic
test handler, eliminator (PGE-01), full
automatic handler, full automatic mark,
hand maker, individual mark, inserter
remover machine, laser marker (FUM A-
01), logic test system, marker (mark),
memory test system, molding, mounter,
MPS automatic, MPS manual, O/S tester
manual, pass oven, pose checker, re-form
machine, SMD stocker, taping machine,
tiebar cut press, trimming/forming
machine, wire bonder, wire pull tester.

Tabel 2.13 Jenis Harta Berwujud Kelompok 3

No Jenis Usaha Jenis Harta


1. Pertambangan selain Mesin-mesin yang dipakai dalam bidang
minyak dan gas pertambangan, termasuk mesin - mesin
yang mengolah produk pelikan.
2. Permintalan, pertenunan a. Mesin yang mengolah / menghasilkan
dan pencelupan produk-produk tekstil (misalnya kain
katun, sutra, serat-serat buatan, wol
dan bulu hewan lainnya, lena rami,
permadani, kain-kain bulu, tule).
b. Mesin untuk yang preparation,
bleaching, dyeing, printing, finishing,
texturing, packaging dan sejenisnya.
3. Perkayuan a. Mesin yang mengolah/menghasilkan
produk - produk kayu, barang-barang

67
dari jerami, rumput dan bahan
anyaman lainnya.
b. Mesin dan peralatan penggergajian
kayu.
4. Industri kimia a. Mesin peralatan yang
mengolah/menghasilkan produk
industri kimia dan industri yang ada
hubungannya dengan industri kimia
(misalnya bahan kimia anorganis,
persenyawaan organis dan anorganis
dan logam mulia, elemen radio aktif,
isotop, bahan kimia organis, produk
farmasi, pupuk, obat celup, obat
pewarna, cat, pernis, minyak eteris
dan resinoidaresinonida wangi-
wangian, obat kecantikan dan obat
rias, sabun, detergent dan bahan
organis pembersih lainnya, zat
albumina, perekat, bahan peledak,
produk pirotehnik, korek api, alloy
piroforis, barang fotografi dan
sinematografi.
b. Mesin yang mengolah/menghasilkan
produk industri lainnya (misalnya
damar tiruan, bahan plastik, ester dan
eter dari selulosa, karet sintetis, karet
tiruan, kulit samak, jangat dan kulit
mentah)
5. Industri mesin Mesin yang menghasilkan/memproduksi
mesin menengah dan berat (misalnya
mesin mobil, mesin kapal)
6. Perhubungan, dan a. Kapal penumpang, kapal barang,
komunikasi kapal khusus dibuat untuk
pengangkutan barang-barang
tertentu (misalnya gandum,
batubatuan, biji tambang dan
sejenisnya) termasuk kapal
pendingin dan kapal tangki, kapal
penangkapan ikan dan sejenisnya,

68
yang mempunyai berat di atas 100
DWT sampai dengan 1.000 DWT.
b. Kapal dibuat khusus untuk mengela
atau mendorong kapal, kapal suar,
kapal pemadam kebakaran, kapal
keruk, keran terapung dan
sejenisnya, yang mempunyai berat di
atas 100 DWT sampai dengan 1.000
DWT.
c. Dok terapung.
d. Perahu layar pakai atau tanpa motor
yang mempunyai berat di atas 250
DWT.
e. Pesawat terbang dan helikopter-
helikopter segala jenis
7. Telekomunikasi Perangkat radio navigasi, radar dan
kendali jarak jauh.

Tabel 2.14 Jenis Harta Berwujud Kelompok 4

No Jenis Usaha Jenis Harta


1. Konstruksi Mesin berat untuk konstruksi
2. Perhubungan dan a. Lokomotif uap dan tender atas rel.
komunikasi b. Lokomotif listrik atas rel, dijalankan
dengan batere atau dengan tenaga
listrik dari sumber luar.
c. Lokomotif atas rel lainnya.
d. Kereta, gerbong penumpang dan
barang, termasuk kontainer khusus
dibuat dan diperlengkapi untuk
ditarik dengan satu alat atau
beberapa alat pengangkutan.
e. Kapal penumpang, kapal barang,
kapal khusus dibuat untuk
pengangkutan barang-barang
tertentu (misalnya gandum, batu-
batuan, biji tambang dan sejenisnya)
termasuk kapal pendingin dan kapal

69
tangki, kapal penangkap ikan dan
sejenisnya, yang mempunyai berat di
atas 1.000 DWT.
f. Kapal dibuat khusus untuk menghela
atau mendorong kapal, kapal suar,
kapal pemadam kebakaran, kapal
keruk, kerankeran terapung dan
sebagainya, yang mempunyai berat di
atas 1.000 DWT.
g. Dok-dok terapung.

186. Pembebanan biaya atas harta tak berwujud yang mempunyai masa
manfaat lebih dari satu tahun dilakukan dengan amortisasi. Pengeluaran yang
dilakukan untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya
termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai,
dan muhibah (goodwill), dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas
pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat
diamortisasi sekaligus. Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi dapat
dilihat pada Tabel 2.15.
187. Amortisasi dimulai pada saat bulan pengeluaran dilakukan, kecuali
untuk bidang usaha tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan. Dalam hal pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial
berjalan, maka atas biaya tersebut dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi
sesuai tarif yang berlaku setelah berjalannya operasi komersial. Sedangkan
dalam hal pengeluaran yang dilakukan untuk biaya pendirian dan biaya
perluasan modal dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau
amortisasi sesuai dengan ketentuan amortisasi pada Tabel 2.15.
Tabel 2.15 Penentuan Masa Manfaat dan Tarif Amortisasi
Harta Tak Berwujud

Kelompok Harta Tak Masa Tarif Amortisasi


Berwujud Manfaat Garis Lurus Saldo Menurun
Kelompok 1 4 Tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 Tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 Tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 Tahun 5% 10%

70
188. Dalam hal pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran
lain di bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan
menggunakan metode satuan produksi. Metode satuan produksi dilakukan
dengan menerapkan presentase amortisasi yang besarnya sama setiap
tahunnya, yaitu persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak
dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh
kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut.
189. Amortisasi atas hak penambangan lain selain minyak dan gas bumi,
diantaranya adalah hak penguasahaan hutan, hak pengelolaan hutan, hak
penguasaan hasil lautdan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam
lainnya, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi setinggi-
tingginya 20% setahun dari seluruh pengeluaran untuk mendapatkan hak
pengelolaan tersebut.
190. Apabila terjadi pengalihan harta maka nilai sisa buku harta atau hak-
hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai
penggantian diakui sebagai penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan.
Apabila terjadi pengalihan harta dalam hal sumbangan, bantuan maupun hibah,
maka jumlah nilai sisa buku tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak
yang mengalihkan.
191. Dalam hal Wajib Pajak melakukan penanaman modal di bidang-
bidang usaha tertentu dan/atau di daerah tertentu diberikan fasilitas berupa
penyusutan yang dipercepat atas aktiva berwujud dan amortisasi atas aktiva
tidak berwujud yang diperoleh dalam rangka penanaman modal baru dan/atau
perluasan usaha, dengan masa manfaat dan tarif sebagaimana terlihat dalam
Tabel 2.16 berikut ini:
Tabel 2.16 Penentuan Masa Manfaat atas Penyusutan yang Dipercepat

Kelompok Harta Masa Tarif Penyusutan


Berwujud Manfaat Garis Lurus Saldo Menurun
Bukan Bangunan
Kelompok 1 2 Tahun 50% 100%
Kelompok 2 4 Tahun 25% 50%
Kelompok 3 8 Tahun 12,5% 25%
Kelompok 4 10 Tahun 10% 20%
Bangunan
Permanen 10 Tahun 10%
Tidak Permanen 5 Tahun 20%

71
Tabel 2.17 Penentuan Masa Manfaat atas Amortisasi yang Dipercepat

Kelompok Harta Tak Masa Tarif Amortisasi


Berwujud Manfaat Garis Lurus Saldo Menurun
Kelompok 1 2 Tahun 50% 100%
Kelompok 2 4 Tahun 25% 50%
Kelompok 3 8 Tahun 12,5% 25%
Kelompok 4 10 Tahun 10% 20%

11. Iuran kepada dana pensiun


192. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran kepada
dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan tidak boleh
dibebankan sebagai pengurang laba bruto.
12. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta
193. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut
tujuan semula tidak untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari laba bruto. Kerugian karena
penjualan atau pengalihan harta diakui pada saat tahun terjadinya penjualan
atau pengalihan hara tersebut.
13. Kerugian selisih kurs
194. Kerugian selisih kurs mata uang asing diakui sebagai biaya
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas
sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. Kerugian
selisih kurs yang tidak berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang
dikenakan PPh yang bersifat final atau tidak termasuk Objek Pajak diakui
sebagai biaya sepanjang biaya tersebut dipergunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan.
195. Pembebanan kerugian selisih kurs dilakukan berdasarkan
pembukuan dengan menggunakan kurs tetap (kurs historis) maupun
pembukuan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia dan diterapkan secara
taat asas. Pembukuan berdasarkan kurs tetap (kurs historis) pengakuan
kerugian selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya realisasi atas perkiraan
mata uang asing tersebut. Dalam hal ini, pengakuan kerugian saat telah terjadi
transaksi penjualan mata uang asing. Sedangkan pembukuan yang berdasarkan

72
kurs tengah Bank Indonesia, kerugian selisih kurs diakui pada akhir tahun baik
sudah direalisasi maupun belum direalisasi.
196. Kerugian selisih kurs yang dikecualikan sebagai biaya pengurang
laba bruto adalah kerugian yang terjadi akibat fluktuasi nilai Rupiah pada
perkiraan utang kepada modal kantor pusat suatu BUT.
14. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan
197. Biaya penelitian dan pengembangan yang dimaksud adalah biaya
yang nyata-nyata dikeluarkan untuk pengembangan produksi (product
development), serta biaya untuk meningkatkan efisiensi perusahaan termasuk
teknologi untuk pengembangan proses (process technology). Pembebanan biaya
penelitian dan pengembangan harus dikategorikan sebagai berikut:
(i) Biaya yang dikeluarkan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun harus
disusutkan/diamortisasi;
(ii) Biaya yang dikekeluarkan dalam rangka penelitian dan pengembangan
yang menurut Ketentuan Pajak merupakan biaya usaha sehari-hari,
dibebankan dalam biaya dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, yang
merupakan biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan
dengan kegiatan usaha;
(iii) Biaya di luar biaya di atas, seperti biaya konsultan, perlakuan pajak
disesuaikan dengan standar akuntansi yang berlaku. Dalam hal biaya
konsultan tersebut memiliki jumlah yang material, yang akan
berpengaruh terhadap pembentukan harga pokok penjualan,
pembebanan biaya dapat dilakukan melalui amortisasi.
15. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan
198. Seluruh biaya yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk keperluan
penyelenggaraan program latihan karyawan, program pemagangan, dan
pemberian beasiswa dengan ikatan kontrak kerja merupakan biaya yang dapat
dikurangkan dari laba bruto dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak.
199. Biaya latihan yang dimaksud meliputi biaya-biaya untuk
memberikan latihan kepada karyawan, baik yang diselenggarakan sendiri oleh
Wajib Pajak maupun yang diselenggarakan oleh pihak lain, baik di dalam
maupun di luar negeri. Biaya penyelenggaraan program pemagangan meliputi
biaya-biaya untuk penyelenggaraan pemagangan dalam rangka penerimaan
tenaga baru (recruitment) maupun dalam rangka memenuhi anjuran

73
Pemerintah untuk melaksanakan program pemagangan. Sedangkan biaya
pemberian beasiswa meliputi biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memberikan
tugas belajar kepada karyawan dan calon karyawan yang diikat dengan kontrak
kerja dengan Wajib Pajak pada semua jenjang pendidikan di bidang pendidikan
umum, kejuruan dan professional di dalam maupun di luar negeri.
200. Pemberian beasiswa kepada karyawan atau calon karyawan
diperlakukan sebagai tambahan gaji dan/atau imbalan lain maupun
honorarium. Atas uang saku dan imbalan lain yang dibayarkan secara bulanan
maupaun harian perlakuan pajaknya disamakan dengan penghasilan yang
dibayarkan secara bulanan maupun harian. Sedangkan atas tunjangan pajak
yang diterima oleh penerima beasiswa merupakan biaya bagi pemberi kerja.
16. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
201. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih adalah piutang yang
timbul dari transaksi bisnis yang wajar sesuai dengan bidang usahanya, yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun telah dilakukan upaya-upaya
penagihan yang maksimal atau terakhir oleh Wajib Pajak.
202. Piutang yang tidak dapat ditagih yang dapat dibebankan sebagai
pengurang laba bruto harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
(i) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan rugi laba komersial
203. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang telah dilaporkan
dalam laporan rugi laba komersial telah memenuhi konsep realisasi. Oleh
karenanya, atas kerugian tersebut dapat dikurangkan sebagai biaya dalam
menghitung Penghasilan Kena Pajak.
(ii) Menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
204. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat
ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak dengan mencantumkan identitas
debitur berupa nama, NPWP, alamat, jumlah plafon utang yang diberikan, dan
jumlah piutang yang tidak dapat tertagih. Daftar ini dapat diserahkan dalam
bentuk hard copy maupun soft copy.
(iii) Telah diserahkan perkara penagihannya
205. Piutang yang tidak dapat ditagih tersebut telah diserahkan perkara
penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang
menangani piutang negara, terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan
antara kreditur dan debitur atas piutang tersebut, telah dipublikasikan dalam
penerbitan umum atau khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa

74
utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu. Ketentuan poin ini
tidak berlaku untuk debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp 100 juta,
dan debitur kecil lainnya dengan jumlah tidak melebihi Rp 500 juta.
206. Pemenuhan ketentuan ini dilakukan dengan cara melampirkan: (i)
fotokopi bukti penyerahanperkara penagihan, (ii) fotokopi perjanjian tertulis
mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang usaha yang telah dilegalisir
oleh notaris, (iii) fotokopi bukti publikasi dalam penerbitan umum atau
penerbitan khusus, atau (iv) surat yang berisi pengakuan dari debitur bahwa
utangnya telah dihapuskan dan disetujui oleh kreditur tentang penghapusan
piutang untuk jumlah tertentu yang disetujui oleh kreditur.
(iv) Daftar piutang yang tidak dapat tertagih dan bukti/dokumen harus
disampaikan bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh.
207. Daftar piutang sebagaimana dijelaskan dalam poin (ii) beserta
dokumen lainnya harus dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh sebagai bukti
pengakuan biaya yang terjadi berupa piutang yang nyata-nyata tidak dapat
dapat ditagih.
17. Sumbangan dan Biaya Pembangunan Infrastruktur
208. Jenis sumbangan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
diantaranya:
(i) Pengeluaran yang termasuk ke dalam sumbangan dalam rangka
penanggulangan bencana nasional adalah sumbangan untuk korban
bencana nasional yang disampaikan secara langsung melalui badan
penanggulangan bencana atau disampaikan secara tidak langsung melalui
lembaga atau pihak yang telah mendapat izin dari instansi/lembaga yang
berwenang untuk pengumpulan dana penanggulangan bencana;
(ii) Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan merupakan
sumbangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia yang
disampaikan melalui lembaga penelitian dan pengembangan;
(iii) Sumbangan fasilitas pendidikan yang merupakan sumbangan berupa
fasilitas pendidikan yang disampaikan melalui lembaga pendidikan;
(iv) Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang merupakan
sumbangan untuk membina, mengembangkan dan mengoordinasikan
suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi yang
disampaikan melalui lembaga pembinaan olahraga; dan

75
(v) Biaya pembangunan infrastruktur sosial merupakan biaya yang
dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan prasarana untuk
kepentingan umum dan bersifat nirlaba.
209. Sumbangan dan biaya sebagaimana disebutkan di atas dapat
dibebankan sebagai pengurang penghasilan apabila memenuhi syarat sebagai
berikut:
(i) Wajib Pajak memiliki penghasilan neto fiskal berdasarkan SPT PPh Tahun
Pajak sebelumnya;
(ii) Pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada
Tahun Pajak sumbangan diberikan;
(iii) Didukung oleh bukti yang sah; dan
(iv) Lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai Subjek Pajak.
210. Besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan
untuk satu tahun dibatasi tidak melebihi 5% dari Penghasilan Neto Fiskal Tahun
Pajak sebelumnya. Sumbangan yang diberikan dapat berupa uang maupun
barang. Untuk penentuan nilai sumbangan yang berbentuk barang ditentukan
berdasarkan nilai perolehan untuk barang belum disusutkan, nilai buku fiskal
untuk barang yang telah disusutkan, atau harga pokok penjualan untuk barang
yang merupakan barang produksi sendiri.
211. Sumbangan yang telah dibebankan sebagai biaya wajib dicatat sesuai
dengan peruntukannya oleh pemberi sumbangan. Bukti penerimaan
sumbangan wajib dilampirkan oleh Wajib Pajak pada SPT Tahunan PPh dengan
menggunakan formulir penerimaan sumbangan sesuai format yang telah
ditentukan. Untuk sumbangan dan/atau biaya yang dikeluarkan tidak dapat
dikurangkan dari laba bruto jika diberikan kepada pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa.
18. Pembentukan dan pemupukan dana cadangan untuk usaha tertentu
212. Pembentukan dana cadangan yang dapat dibebankan sebagai
pengurang laba bruto diperkenankan untuk beberapa bidang usaha tertentu,
seperti:
(i) Usaha perbankan
213. Cadangan piutang tak tertagih untuk bidang usaha perbankan
meliputi cadangan piutang tak tertagih untuk bank umum yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional, bank umum yang melaksanakan kegiatan

76
usaha berdasarkan prinsip syariah, serta bank perkreditan rakyat yang
melaksanakan kegiatan usaha konvensional dan berdasarkan prinsip syariah.
214. Cadangan piutang untuk bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional maupun secara prinsip syariah dapat dilihat pada
Tabel 2.18 setelah dikurangi dengan nilai agunan. Sedangkan nilai agunan yang
dapat diperhitungkan sebagai pengurang cadangan piutang paling tinggi
sebesar 100% dari nilai agunan yang bersifat likuid dan 75% dari nilai agunan
lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai.
Tabel 2.18 Cadangan Piutang untuk Perbankan Konvensional
dan Syariah
Klasifikasi Kredit Jumlah Cadangan
Lancar 1%
Perhatian khusus 5%
Kurang lancar 15%
Diragukan 50%
Macet 100%

215. Cadangan piutang untuk bank perkreditan rakyat yang menjalankan


kegiatan usaha berdasarakan prinsip konvensional maupun berdasarkan
prinsip syariah ditetapkan sebesar nilai pada Tabel 2.19 setelah dikurangi
dengan nilai agunan. Besarnya agunan yang dapat dikurangkan dari cadangan
piutang adalah sebesar 100% dari nilai agunan yang bersifat likuid dan 75% dari
nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai.
Tabel 2.19 Cadangan Piutang untuk Bank Perkreditan Rakyat
Konvensional dan Syariah

Klasifikasi Kredit Jumlah Cadangan


Lancar 0,5%
Kurang lancar 10%
Diragukan 50%
Macet 100%

(ii) Lembaga Keuangan


216. Cadangan piutang tak tertagih yang dilakukan oleh badan usaha lain
yang menyalurkan kredit selain bank umum dan bank perkreditan rakyat yang

77
menyalurkan kredit kepada masyarakat yang meliputi koperasi simpan pinjam,
PT Permodalan Nasional Madani (Persero), Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia, perusahaan pembiayaan infrastruktur dengan pembiayaan berupa
penyediaan dana pada proyek infrastruktur, dan PT Perusahaan Pengelola Aset.
217. Cadangan piutang tak tertagih untuk koperasi simpan pinjam
ditetapkan sebesar yang tertera dalam Tabel 2.20 setelah dikurangi dengan nilai
agunan. Sedangkan besarnya nilai agunan yang dapat dikurangkan pada
cadangan penyisihan adalah sebesar 100% dari nilai agunan yang bersifat
likuid, dan 75% dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan
perusahaan penilai.
Tabel 2.20 Cadangan Penyisihan Pembiayaan Koperasi Simpan Pinjam

Klasifikasi Kredit Jumlah Cadangan


Lancar 0,5%
Kurang lancar 10%
Diragukan 50%
Macet 100%

218. Cadangan piutang tak tertagih untuk PT Permodalan Nasional


Madani (Persero) adalah sebesar yang tertera pada tabel 2.21 setelah dikurangi
dengan nilai agunan. Besarnya nilai agunan yang dapat dikurangkan dari
cadangan penyisihan adalah sebesar 100% dari nilai agunan yang bersifat
lancar dan 75% dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditentukan oleh
perusahaan penilai.
Tabel 2.21 Cadangan Penyisihan Pembiayaan
PT Permodalan Nasional Madani

Klasifikasi Kredit Jumlah Cadangan


Perhatian khusus 2,5%
Kurang lancar 5%
Diragukan 50%
Macet 100%

219. Cadangan piutang tak tertagih yang dilakukan oleh Lembaga


Pembiayaan Ekspor Indonesia dan perusahaan pembiayaan infrastruktur
ditetapkan sebagaimana tertera dalam Tabel 2.22 setelah dikurangi dengan nilai

78
agunan. Sedangkan untuk besarnya nilai agunan yang diperhitungkan sebagai
pengurang pada cadangan piutang adalah sebesar 100% dari nilai agunan yang
bersifat likuid dan 75% dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang
idtetntukan oleh perusahaan penilai.
Tabel 2.22 Cadangan Piutang Tak Tertagih Lembaga Pembiayaan
Ekspor Indonesia dan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur

Klasifikasi Kredit Jumlah Cadangan


Lancar 1%
Perhatian khusus 5%
Kurang lancar 15%
Diragukan 50%
Macet 100%

220. Cadangan piutang tak tertagih untuk PT Perusahaan Pengelola Aset


ditetapkan sebagaimana tertera pada Tabel 2.23 setelah dikurangi dengan nilai
agunan. Sedangkan untuk nilai agunan yang dapat dikurangkan sebagai
pengurang cadangan piutang adalah sebesar 100% dari nilai agunan yang
bersifat lancar dan 75% dari nilai agunan lainnya atau sebesar yang ditetapkan
oleh perusahaan penilai.
Tabel 2.23 Cadangan Piutang Tak Tertagih
PT Perusahaan Pengelola Aset

Klasifikasi Kredit Jumlah Cadangan


Kurang lancar 15%
Diragukan 50%
Macet 100%

(iii) Sewa guna usaha dengan hak opsi


221. Cadangan piutang yang dilakukan oleh badan usaha sewa guna usaha
dengan hak opsi merupakan cadangan piutang tak tertagih untuk kegiatan
pembiayaan dengan menyediakan barang modal untuk digunakan oleh
penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan kontrak
pembayaran secara angsuran dengan hak opsi (finance lease). Besarnya
cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan sewa guna usaha dengan hak
opsi ditetapkan paling tinggi adalah sebesar 2,5% dari rata-rata saldo awal dan
saldo akhir piutang.

79
222. Dalam hal cadangan piutang yang telah disisihkan tidak mencukupi
untuk menutup kerugian karena piutang sewa guna usaha yang nyata-nyata
tidak dapat ditagih, kekurangannya dapat dibebankan sebagai biaya yang
dikurangkan dari laba bruto. Namun, apabila cadangan piutang yang telah
disisihkan tidak atau tidak sepenuhnya dibebankan untuk menutupi kerugian
piutang sewa guna usaha, maka sisanya dihitung sebagai penghasilan Wajib
Pajak.
(iv) Usaha pembiayaan konsumen
223. Perusahaan pembiayaan konsumen adalah perusahaan yang
melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan
kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran. Pencadangan
piutang tak tertagih untuk usaha pembiayaan konsumen yang boleh
dikurangkan paling tinggi sebesar 5% dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir
piutang.
(v) Usaha anjak piutang
224. Perusahaan anjak piutang adalah perusahaan yang melakukan
kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek
suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut. Pencadanganan
piutang tak tertagih untuk perusahaan anjak piutang yang boleh dikurangkan
sebagai biaya paling tinggi sebesar 5% dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir
piutang.
(vi) Usaha asuransi
225. Cadangan untuk usaha asuransi meliputi cadangan premi
tanggungan sendiri dan klaim tanggungan sendiri untuk perusahaan asuransi
kerugian, atau cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa. Untuk
perusahaan asuransi kerugian, cadangan premi tanggungan sendiri adalah
sebesar 40% dari jumlah premi tanggungan sendiri yang diterima atau
diperoleh dalam Tahun Pajak yang bersangkutan. Cadangan klaim tanggungan
sendiri yang boleh dicadangkan adalah sebesar 100% dari jumlah klaim yang
sudah disepakati tetapi belum dibayar dan klaim yang sudah dilaporkan dan
sedang dalam proses, tetapi tidak termasuk klaim yang belum dilaporkan.
226. Untuk perusahaan asuransi jiwa, cadangan premi yang boleh
dicadangkan ditentukan sesuai dengan penghitungan aktuaria yang telah
mendapat pengesahan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan, atau sekarang dijalankan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

80
(vii) Usaha penjamin simpanan
227. Cadangan peminjaman untuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
adalah cadangan penjaminan untuk lembaga yang berfungsi menjamin
simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memeilihara stabilitas
sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Cadangan penjaminan untuk
LPS yang boleh dikurangkan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak adalah
sebesar 80% dari surplus yang diperoleh LPS dari kegiatan operasional selama
1 tahun yang diakumulasikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.
(viii) Usaha pertambangan
228. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan merupakan
cadangan biaya untuk kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata
kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha penambangan
agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. Cadangan biaya
reklamasi untuk usaha pertambangan adalah yang sebenarnya dibebankan pada
perkiraan cadangan biaya reklamasi yang dihitung berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan energi dan sumber
daya mineral.
(ix) Bidang usaha kehutanan
229. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan
merupakan biaya penanaman kembali bagi perusahaan yang diwajibkan
melakukan penanaman kembali atas hutan yang telah dieksploitasi untuk usaha
yang terkait dengan sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Cadangan
biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan yang dapat dikurangkan
dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak adalah sebesar yang sebenarnya
dibebankan pada perkiraan cadangan biaya penanaman kembali yang dihitung
berdasarkan dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang
kehutanan.
(x) Bidang usaha pengolahan limbah industri
230. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan
limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri adalah cadangan
berupa biaya penutupan dan pemeliharaan bagi perusahaan yang menjalankan
usaha dalam bidang pengolahan limbah industri yang mencakup kegiatan
penyipanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan limbah
industri dan penimbunan hasil pengolahan limbah industri. Cadangan biaya

81
penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri yang boleh
dikurangkan sebagai biaya dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak adalah
sebesar yang sebenarnya dibebankan pada perkiraan cadangan biaya
penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah yang dihitung
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan
hidup.
19. Premi asuransi
231. Ketentuan Pajak menjelaskan bahwa dalam menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak, laba bruto todak boleh dikurangkan dengan premi
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa yang dibayarkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, kecuali jika
dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan
bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
232. Namun, apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung
oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh
dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan
penghasilan yang merupakan Objek Pajak. Dalam hal premi asuransi belum
dibebankan sebagai biaya oleh Wajib Pajak.
20. Penyediaan makanan dan minuman, serta imbalan dalam bentuk
natura
233. Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari laba
bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi Pegawai yang
menerimanya adalah:
(i) Pemberian atau penyediaan makanan dan/atau minuman
234. Pemberian makanan dan/atau minuman bagi seluruh pegawai yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, meliputi pemberian makanan
dan/atau minuman yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja, atau
pemberian kupon makanan dan/atau minuman bagi pegawai yang karena
sifatnya tidak dapat memanfaatkan pemberian untuk pegawai bagian
pemasaran, transportasi, dan dinas luar lainnya.
235. Pemberian kupon makanan dan/atau minuman yang dapat
dikurangkan dari laba bruto pemberi kerja sesuai dengan nilai kupon yang
wajar, yaitu nilai yang tidak melebihi pengeluaran penyediaan makanan
dan/atau minuman per pegawai yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat
kerja.

82
(ii) Natura yang diberikan berkenaan pekerjaan di daerah tertentu
236. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan
yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu
dalam rangka menungjang kebijakan pemerintah untuk mendorong
pembangunan di daerah tersebut. Natura yang diberikan berupa sarana dan
fasilitas di lokasi kerja berupa tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan,
peribadatan, pengangkutan, dan olahraga yang tidak termasuk golf, power
boating, pacuan kuda, dan terbang layang, sepanjang sarana dan fasilitas
tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus menyediakan sendiri.
237. Daerah tertentu yang dimaksud adalah daerah yang secara ekonomis
mempunyai potensi yang layak dikembangkan, tetapi keadaan prasarana
ekonomi kurang memadai dan sulit dijangkau, sehingga untuk mengubah
potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi nyata, penanaman modal yang
menanggung risiko tinggi dan pengembalian yang lama, termasuk daerah
perairan laut dengan kedalaman lebih dari 50 meter yang dasar lautnya
memiliki cadangan mineral. Penentuan daerah tertentu dilakukan dengan
mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak yang membawahi KPP tempat Wajib Pajak Terdaftar.
238. Pengeluaran untuk membangun sarana dan fasilitas dengan masa
manfaat lebih dari satu tahun disusutkan sesuai dengan Ketentuan Pajak.
(iii) Pemberian natura yang merupakan keharusan dalam pekerjaan
239. Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan
dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena
sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya, meliputi pakaian dan peralatan
untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), sarana
antar jemput pegawai, serta penginapan untuk awak kapal dan sejenisnya.
21. Biaya Entertainment
240. Biaya entertainment, representasi, jamuan tamu dan sejenisnya
untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto, dengan syarat Wajib Pajak dapat membuktikan bahwa
biaya-biaya tersebut telah benar-benar dikeluarkan dan benar ada
hubungannya dengan kegiatan perusahaan untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan perusahaan (materiil).
241. Atas biaya yang telah dikeluarkan agar dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto Wajib Pajak harus melampirkan daftar nominatif pada SPT,
yang berisi:

83
(i) Nomor urut;
(ii) Tanggal entertainment dan sejenisnya diberikan;
(iii) Nama/tempat entertainment dan sejenisnya diberikan, termasuk alamat,
jenis, dan jumlah;
(iv) Relasi usaha yang diberikan entertainment dan sejenisnya, yang berisi:
nama, posisi, nama perusahaan, dan jenis usaha.
242. Untuk dapat mengakui biaya entertainment Wajib Pajak harus dapat
membutkikan bahwa biaya-biaya tersebut telah benar-benar dikeluarkan
(formal) dan benar ada hubungannya dengan kegiatan usaha untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara Penghasilan Kena Pajak.
22. Biaya berkaitan dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
243. Biaya berkaitan dengan PPN yang boleh dikurangkan dalam
menghitung Penghasilan Kena Pajak adalah selisih antara pajak keluaran
dengan pajak masukan, serta Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
244. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan terhadap pajak
keluaran antara lain:
(i) Perolehan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) sebelum
pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP);
(ii) Perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan kegiatan usaha;
(iii) Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan dan station
wagon, kecuali sebagai barang dagangan atau untuk disewakan;
(iv) Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah
pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP;
(v) Perolehan BKP atau JKP yang bukti pungutan pajaknya berupa Faktur
Pajak Sederhana;
(vi) Perolehan BKP atau JKP dengan faktur pajak yang tidak lengkap atau tidak
memuat ketentuan berikut:
a. Nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP;
b. Nama, alamat, NPWP pembeli BKP atau JKP;
c. Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian dan
potongan harga;

84
d. PPN yang dipungut;
e. PPn BM yang dipungut;
f. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan faktur pajak;
g. Nama jabatan dan tanda tangan pihak yang berhak menandatangani
faktur pajak.
(vii) Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah
pabean yang faktur pajaknya tidak lengkap;
(viii) Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya ditagih dengan
penerbitan ketetapan pajak;
(ix) Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya tidak dilaporkan dalam
SPT Masa PPN yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
23. Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
245. Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi zakat atas penghasilan yang
dibayarkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh
Wajib Pajak Dalam Negeri Badan yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam
kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan
oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib
Pajak Orang Pribadi atau Badan yang dimiliki oleh pemeluk agama selain Islam
yang diakui di Indonesia kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah.
246. Dalam hal pengeluaran untuk zakat atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib tidak dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga
amil zakat, atau lembaga keagamaan, maka atas pengeluaran tersebut tidak
dapat dikurangkan dari laba bruto.
247. Badan/lembaga sebagai penerima zakat atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib dan dapat dikurangkan dari laba bruto adalah
badan/lembaga yang dibentuk/disahkan oleh Pemerintah, yaitu:
(i) Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS);
(ii) Lembaga Amil Zakat (LAZ), diantaranya: Dompet Dhuafa, Yayasan
Amanah Takaful, Yayasan Baitulmaal Muamalat, Baitul Maal Hidayatullah,
dan lain-lain;

85
(iii) Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (LAZIS), yaitu: LAZIS
Muhammadiyah, LAZIS Nahdlatul Ulama, LAZIS Ikatan Persaudaraan Haji
Indonesia;
(iv) Lembaga Sumbangan Agama Kristen Indonesia (LEMSAKTI); dan
(v) Badan Dharma Dana Nasional Yayasan Adikara Dharma Parisad (BDDN
YADP).
24. Kompensasi Kerugian
248. Ketentuan Pajak menyebutkan bahwa apabila dalam penghitungan
penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang boleh dikurangkan
terdapat kerugian, kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan
penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5
tahun.
249. Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang
usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu, mendapat fasilitas pajak
penghasilan berupa kompensasi kerugian yang lebih lama dari lima tahun
namun tidak lebih dari sepuluh tahun, dengan ketentuan berupa:
(i) Tambahan 1 tahun untuk Penanaman Modal baru pada bidang usaha
dilakukan di kawasan industri dan/atau kawasan berikat;
(ii) Tambahan 1 tahun untuk Penanaman Modal baru yang mengeluarkan
biaya infrastruktur ekonomi dan/atau sosial di lokasi usaha paling sedikit
sebesar Rp 10.000.000.000;
(iii) Tambahan 1 tahun apabila menggunakan bahan baku dan/atau
komponen hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% sejak tahun ke
empat;
(iv) Tambahan 1 tahun apabila mempekerjakan sekurangnya 500 orang
tenaga kerja Indonesia selama 5 tahun berturut-turut;
(v) Tambahan 2 tahun apabila mempekerjaan sekurangnya 1000 orang
tenaga kerja Indonesia selama 5 tahun berturut-turut;
(vi) Tambahan 2 tahun apabila mengeluarkan biaya penelitian adn
pengembangan di dalam negeri dalam pengembangan produk atau
efisiensi produksi paling sedikit 5% dari jumlah penanaman modal dalam
jangka waktu 5 tahun;
(vii) Tambahan 2 tahun apabila penanaman modal berupa perluasan dari
usaha yang telah ada pada bidang-bidang usah tertentu dan/atau daerah-

86
daerah tertentu, sebagian sumber pembiayaannya berasal dari laba
setelah pajak Wajib Pajak pada satu tahun sebelum tahun diterbitkannya
izin prinsip perluasan penanaman modal; dan/atau
(viii) Tambahan 2 tahun apabila melakukan ekspor paling sedikit 30% dari nilai
total penjualan, untuk penanaman modal pada bidang-bidang usaha yang
dilakukan di luar kawasan berikat.
A.2.2. Biaya yang tidak boleh dikurangkan
250. Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan merupakan
bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap termasuk biaya yang
digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
bukan merupakan Objek Pajak, pengenaan pajaknya bersifat final maupun
dikenakan pajak berdasarkan norma penghitungan khusus, serta PPh yang
ditanggung oleh pemberi penghasilan.
1. Pembagian laba dalam bentuk apapun
251. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya karena pembagian
laba berasal dari penghasilan badan tersebut yang merupakan Objek Pajak dan
akan dikenakan pajak.
2. Biaya untuk kepentingan pribadi
252. Pembayaran yang dibayarkan perusahaan untuk kepentingan
pribadi pemilik saham, anggota, maupun sekutu merupakan biaya yang tidak
boleh dikurangkan karena tidak berhubungan dengan kegiatan untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan Wajib Pajak badan yang
bersangkutan. Beberapa contoh yang termasuk biaya untuk kepentingan
pribadi adalah biaya perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan non dinas, biaya
premi asuransi untuk kepentingan pribadi atau keluarganya.
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan
253. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan tidak diperkenankan
sebagai pengurang laba bruto karena sifatnya yang belum terealisasi. Untuk
Wajib Pajak yang menjalankan usaha dengan risiko kredit maupun risiko biaya
yang rendah maka atas biaya yang mungkin timbul tidak diperkenankan untuk
dicadangkan. Lain halnya dengan Wajib Pajak yang menjalankan usaha dengan
risiko biaya yang tinggi seperti bidang usaha perbankan atau keuangan,
pertambangan, industri dan kehutanan. Termasuk dalam pembentukan atau

87
pemupukan dana cadangan yang tidak boleh dikurangkan adalah garansi,
persediaan yang usang, serta pencadangan biaya pensiun.
4. Premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi
254. Premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi bukan
merupakan biaya bagi perusahaan karena bukan merupakan tanggungan atau
kewajiban perusahaan. Lain halnya dengan premi asuransi yang dibayarkan
oleh pemberi kerja dan atas premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi
Wajib Pajak Orang Pribadi yang bersangkutan.
5. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura
255. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan bukan merupakan biaya
yang boleh dikurangkan dari laba bruto, karena atas penggantian atau imbalan
tersebut dianggap bukan merupakan Objek Pajak bagi pihak yang menerimanya.
6. Jumlah yang melebihi kewajaran
256. Pembayaran yang dilakukan kepada pemegang saham atau kepada
pihak yang memiliki Hubungan Istimewa yang merupakan pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara Penghasilan Kena Pajak boleh
dikurangkan jika jumlahnya wajar dan sesuai dengan kelaziman usaha.
257. Sebagai contoh, atas transaksi penjualan yang dilakukan kepada
pihak yang memiliki Hubungan Istimewa yang dibayar di atas harga wajar, maka
atas selisih harga yang berlaku tidak boleh dikurangkan sebagai biaya untuk
menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak.
7. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan
258. Harta hibahan, bantuan atau sumbangan dan warisan yang diberikan
oleh perusahaan tidak boleh dikurangkan sebagai biaya karena dari sisi
penerima harta tersebut bukan merupakan Objek Pajak.
259. Dikecualikan dari ketentuan ini adalah zakat maupun sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia,
yang diterima oleh lembaga keagamaan yang disahkan oleh pemerintah bukan
merupakan Objek Pajak bagi lembaga keagamaan namun boleh dikurangkan
sebagai biaya dari sisi yang membayarkan.
8. Pajak penghasilan
260. Pajak penghasilan yang dimaksud adalah pajak penghasilan yang
terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Atas pajak penghasilan tersebut

88
tidak boleh dikurangkan sebagai biaya untuk menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak.
9. Biaya untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau tanggungannya
261. Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau
orang yang menjadi tanggungannya merupakan penggunaan penghasilan dari
Wajib Pajak yang bersangkutan, sehingga bukan merupakan biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan Wajib Pajak badan yang
bersangkutan.
10. Gaji yang dibayar kepada anggota yang modalnya tidak terbagi atas
saham
262. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma atau
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham bukan
merupakan biaya bagi Wajib Pajak badan yang bersangkutan. Anggota
persekutuan, firma maupun perseroan komanditer diperlakukan sebagai
kesatuan usaha, sehingga tidak diakui adanya pembayaran imbalan berupa gaji
kepada anggota-anggotanya.
11. Sanksi administrasi perpajakan
263. Sanksi administrasi yang dapat berupa bunga, denda, dan kenaikan
serta sanksi pidana denda yang berkenaan dengan pelaksanaan Ketentuan Pajak
tidak boleh dikurangkan sebagai biaya karena bukan merupakan biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara Penghasilan Kena Pajak.

B. FORMAT LAPORAN RUGI LABA UNTUK TUJUAN PAJAK

264. Format Laporan Rugi Laba untuk tujuan pajak yang terdapat dalam
Buku Pedoman Umum ini disusun berdasarkan Petunjuk Pengisian Surat
Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh Wajib Pajak Badan.
B.1. Peredaran usaha
265. Peredaran usaha merupakan jumlah penerimaan/perolehan bruto
dari kegiatan usaha di Indonesia, setelah dikurangi dengan retur dan
pengurangan penjualan serta potongan penjualan dalam Tahun Pajak yang
bersangkutan bagi perusahaan dagang dan perusahaan industri.
Penerimaan/perolehan yang berasal dari kegiatan usaha dapat berupa
penyerahan barang hasil produksi atau barang dagangan, maupun penyerahan
jasa.

89
266. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa untuk dapat
mengakuai suatu penghasilan atau pendapatan dapat merujuk pada ketentuan
akuntansi dalam PSAK 23 terkait pengakuan berdasarkan prinsip akrual,
maupun kas basis. Lebih lanjut, PSAK 23 memberikan kriteria khusus untuk
pengakuan pendapatan yang berasal dari penjualan barang, penjualan jasa
maupun penggunaan aset Wajib Pajak oleh pihak lain.
267. Dalam hal penjualan barang, kriteria yang harus dipenuhi untuk
mengakui pendapatan berdasarkan prinsip akrual dapat mengikuti PSAK 23,
kecuali untuk kriteria pemindahan risiko dan manfaat kepemilikan secara
signifikan kepada pembeli dan kriteria entitas tidak lagi melanjutkan
pengelolaan terkait kepemilikan barang atau melakukan pengendalian efektif
atas barang yang dijual tidak diperkenankan untuk tujuan pajak. Dengan
demikian, kriteria pengakuan pendapatan yang berasal dari penjualan barang
menjadi sebagai berikut:
(i) Jumlah pendapatan dapat diukur secara andal;
(ii) Kemungkinan besar manfaat ekonomi akan mengalir ke Wajib Pajak; dan
(iii) Biaya yang terjadi atau akan terjadi sehubungan dengan transaksi dapat
diukur secara andal.
268. Untuk transaksi penjualan jasa, pendapatan dapat diakui jika
pendapatan dapat diestimasi secara andal dengan mengacu pada tingkat
penyelesaian dari transaksi pada akhir periode pelaporan. Untuk dapat
melakukan estimasi secara andal harus memenuhi seluruh kondisi berikut:
(i) Jumlah pendapatan dapat diukur secara andal;
(ii) Kemungkinan besar manfaat ekonomi akan mengalir ke Wajib Pajak;
(iii) Tingkat penyelesaian suatu transaksi pada akhir periode dapat diukur
secara andal; dan
(iv) Biaya yang timbul untk transaksi dan biaya untuk menyelesaikan
transaksi tersebut dapat diukur secara andal.
269. Potongan penjualan atau diskon meliputi potongan harga yang
berasal dari pelunasan dalam jangka waktu kredit, potongan penjualan dalam
rangka promosi, dan kondisi lainnya yang menyebabkan berkurangnya jumlah
peredaran usaha. Atas biaya yang timbul dari pemberian potongan penjualan
dalam rangka promosi diakui sebagai pengurang Peredaran Usaha. Sedangkan
biaya promosi lainnya yang pengeluarannya tidak berkaitan langsung dengan
penjualan diakui dalam Biaya dari Luar Usaha.

90
270. Dalam komponen Peredaran Usaha harus diungkapkan unsur-unsur
penjualan secara rinci untuk transaksi retur penjualan dan potongan penjualan,
diungkapkan pula penjualan Barang Kena Pajak (BKP) maupun Jasa Kena Pajak
(JKP) dengan non BKP dan non JKP, serta pengungkapan penjualan yang
merupakan objek PPN dengan penjualan yang bukan merupakan Objek PPN.
271. Peredaran Usaha yang diakui dalam tahun berjalan harus didasarkan
dengan bukti yang cukup. Untuk usaha penjualan barang, pengakuan penjualan
adalah pada saat terjadi perpindahan hak kepemilikan barang sesuai dengan
syarat penjualan yang dapat dibuktikan melalui dokumen berupa surat perintah
pengeluaran/penyerahan barang, tanda terima barang, atau dokumen lain
sesuai dengan syarat penjualan. Sedangkan untuk usaha jasa, penjualan atau
penghasilan diakui pada saat jasa telah dilakukan dan dapat ditagih kecuali
untuk jasa konstruksi. Dokumen pendukung yang dapat digunakan untuk
mengakui penjualan jasa diantaranya berupa berita acara
pelaksanaan/penerimaan jasa atau sesuai perjanjian atau faktur tagihan apabil
atidak ada dokumentasi lain yang lebih objektif. Untuk usaha jasa konstruksi,
penjualan atau penghasilan diakui berdasarkan metode persentase
penyelesaian pekerjaan, kecuali ditentukan lain oleh Menteri Keuangan. Apabila
penjualan dilakukan secara cicilan, penghasilan diakui pada saat transaksi
penjualan dilakukan sesuai dengan prinsip basis akrual, bukan berdasarkan
penerimaan kas yang terjadi.
272. Untuk penjualan yang dilakukan kepada pihak-pihak yang memiliki
Hubungan Istimewa, sesuai dengan prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha,
harga penjualan yang ditetapkan harus sesuai dengan harga yang ditetapkan
kepada pihak-pihak yang tidak memiliki Hubungan Istimewa. Nilai penjualan
yang dicatat dalam peredaran usaha tidak meliputi retur penjualan, PPN yang
dipungut dari pelanggan, serta potongan penjualan.
B.2. Harga Pokok Penjualan
273. Harga pokok penjualan merupakan biaya-biaya yang berhubungan
dengan kegiatan usaha Wajib Pajak. Untuk Wajib Pajak yang menjalankan usaha
di bidang industri maupun perdagangan, harga pokok penjualan meliputi harga
perolehan atau harga pokok produksi barang yang dijual. Dalam menentukan
harga pokok produksi, didalamnya termasuk biaya langsung maupun tidak
langsung yang digunakan dalam proses produksi.
274. Berbeda dengan Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang jasa
maupun bidang usaha tertentu seperti perbankan, perusahaan dana pensiun,
perusahaan reksadana, organisasi sosial, perkumpulan, dan sebagainya, yang

91
tidak melakukan proses produksi maupun penjualan barang dagang, tidak
terdapat pemisahan atau pengelompokan biaya untuk harga pokok penjualan.
Oleh karena itu, seluruh biaya yang berhubungan dengan penyediaan jasa
maupun pelaksanaan usaha dianggap sebagai Biaya Usaha Lainnya.
275. Komponen Harga Pokok Penjualan dapat disesuaikan dengan
ketentuan dalam petunjuk pengisian SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi, di
mana harga pokok penjualan disesuaikan dengan pembukuan Wajib Pajak, yaitu
sebagai berikut:
(i) Bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dagang, diisi dengan Harga Pokok
Penjualan usaha dagang selama Tahun Pajak yang bersangkutan;
(ii) Bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha di bidang industri, diisi dengan
Harga Pokok Penjualan usaha industri selama Tahun Pajak yang
bersangkutan;
(iii) Bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha di jasa, diisi dengan Harga Pokok
usaha jasa, yaitu jumlah biaya yang berhubungan langsung dengan
peredaran/penerimaan bruto selama Tahun Pajak yang bersangkutan.
276. Untuk lebih jelasnya, penentuan harga pokok penjualan bagi bidang
usaha tertentu dapat dilihat pada kotak di bawah ini:
Ilustrasi 2.1 Penentuan Harga Pokok Penjualan untuk Bidang Usaha
Tertentu

Wajib Pajak Usaha Jasa Konstruksi:


Yang menjadi Harga Pokok Penjualan adalah antara lain pembelian bahan
(material), gaji mandor dan upah pekerja, penyusutan peralatan dan
kendaraan operasional, dan sewa peralatan.

Wajib Pajak Usaha Jasa Rumah Sakit:


Yang menjadi Harga Pokok Penjualan adalah antara lain pembelian obat-
obatan, gaji paramedis, penyusutan peralatan dan gedung, beban listrik serta
sewa peralatan.

Wajib Pajak Usaha Jasa Pendidikan:


Yang menjadi Harga Pokok Penjualan adalah antara lain gaji tenaga pengajar,
alat bantu proses belajar-mengajar, penyusutan gedung dan peralatan proses
belajar-mengajar, dan sewa peralatan.

277. Dalam komponen harga pokok harus diungkapkan informasi berupa


akun-akun yang berhubungan dengan suatu kewajiban pajak direkonsiliasi

92
dengan SPT Tahunan PPh-nya, besarnya perbedaan penyusutan, biaya sewa,
dan biaya lainnya antara perhitungan komersial dengan perhitungan pajak,
serta besarnya tiap jenis penyimpangan selama tahun buku dan bagaimana
alokasinya. Selain itu, dalam akuntansi keuangan terdapat praktik bahwa atas
penjualan bahan baku sisa pakai dapat dikurangkan sebagai pengurang harga
pokok penjualan.
B.3. Biaya Usaha Lainnya
278. Yang termasuk dalam Biaya Usaha Lainnya adalah seluruh biaya
usaha yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh, menagih, dan memelihara
penghasilan, sebagai contoh adalah biaya penjualan, biaya umum dan
administrasi.
B.4. Penghasilan Neto Usaha
279. Penghasilan Neto Usaha merupakan jumlah Peredaran Usaha
dikurangi dengan Harga Pokok Penjualan dan Biaya Usaha Lainnya.
B.5. Penghasilan Neto Luar Usaha
280. Penghasilan Neto Luar Usaha adalah penghasilan bruto yang
diterima atau diperoleh dari luar kegiatan usaha, seperti penghasilan dari
penyertaan modal di Indonesia, penghasilan dari
penjualan/pengalihan/persewaan harta, serta penghasilan lainnya yang bukan
merupakan penghasilan dari kegiatan usaha atau tidak ada kaitannya dengan
kegiatan usaha. Berikut beberapa jenis penghasilan yang termasuk ke dalam
penghasilan di luar usaha, diantaranya:
(i) Bunga;
(ii) Dividen;
(iii) Royalti;
(iv) Sewa;
(v) Imbalan jasa.
B.6. Biaya dari Luar Usaha
281. Biaya dari Luar Usaha merupakan biaya-biaya langsung yang
dikelurkan terkait dengan penghasilan dari luar kegiatan usaha.
B.7. Penghasilan Neto Luar Negeri
282. Penghasilan neto luar negeri merupakan seluruh penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari luar negeri.

93
B.8. Penyesuaian Fiskal Positif
283. Penyesuaian fiskal positif adalah penyesuaian terhadap penghasilan
neto komersial, di luar unsur penghasilan yang dikenakan PPh Final dan yang
tidak termsuk Objek Pajak, dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak
berdasarkan Ketentuan Pajak, yang bersifat menambah penghasilan dan/atau
mengurangi biaya-biaya komersial.
284. Elemen-elemen yang termasuk dalam Penyesuaian Fiskal Positif
adalah:
1. Biaya untuk kepentingan pribadi
285. Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
sekutu atau anggota, pembentukan atau pemupukan dana cadangan,
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura, pembayaran yang melebihi
kewajaran, harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, PPh, gaji yang
dibayarkan kepada pemilik, sanksi administrasi, selisih penyusutan akuntansi
dan pajak, selisih amortisasi akuntansi dan pajak, biaya yang ditangguhkan
pengakuannya, serta penyesuaian fiskal positif lainnya.
286. Seluruh biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk kepentingan
pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota tidak dapat dibebankan sebagai
biaya. Biaya-biaya yang dimaksud meliputi pengeluaran untuk
pembelian/perbaikan rumah atau kendaraan pribadi, biaya perjalanan
pribadi/keluarga, biaya premi asuransi pribadi/keluarga, dan pengeluaran
lainnya.
2. Dana cadangan
287. Penyesuaian positif lainnya adalah pembentukan atau pemupukan
dana cadangan yang secara ketentuan pajak tidak dapat dibebankan sebagai
biaya perusahaan, kecuali untuk jenis-jenis usaha tertentu yang secara
ekonomis diperlukan adanya cadangan untuk menutup beban atau kerugian
yang akan terjadi dikemudian hari.
3. Penggantian dalam bentuk natura
288. Penyesuaian positif lainnya terkait dengan penggantian atau imbalan
yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan (benefit in-kind)
merupakan biaya yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan,
karena sesuai prinsip taxability and deductibility di sisi karyawan sebagai pihak
yang menerima penghasilan dalam bentuk natura bukan merupakan Objek
Pajak.

94
4. Pembayaran melebihi kewajaran
289. Jumlah yang melebihi kewajaran termasuk pembayaran gaji,
honorarium, dan imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan kepada pemegang saham atau pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa. Kewajaran diukur dengan standar yang berlaku umum untuk
pekerjaan dengan kualifikasi yang sama yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
5. Hibah, bantuan, dan sumbangan
290. Elemen biaya yang termasuk dalam penyesuaian positif adalah
bantuan atau sumbangan dan harta hibahan yang diterima oleh badan
keagamaan, pendidikan, sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi, bukan
merupakan penghasilan sepanjang tidak terdapat hubungan usaha, pekerjaan,
kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
6. Pajak penghasilan
291. PPh dan kredit pajak bukan merupakan biaya perusahaan. Oleh
karenanya, apabila secara akuntansi komponen tersebut diikutsertakan sebagai
komponen biaya pengurang penghasilan, maka harus dilakukan koreksi positif.
7. Gaji yang dibayarkan pada pemilik
292. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagiatas saham-saham, persekutuan,
perkumpulan, firma, dan kongsi bukan merupakan penghasilan.
8. Sanksi administrasi
293. Sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan serta sanksi
pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-
undangan di bidang perpajakan tidak dapat dikurangkan dengan penghasilan
bruto. Oleh sebab itu, atas pengembalian sanksi administrasi berdasarkan Surat
Keputusan Keberatan atau Putusan Banding atau Surat Keputusan Pengurangan
atau Penghapusan Sanksi Administrasi serta sanksi pidana berupa denda adalah
bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan dan tidak dapat diakui sebagai
penambah penghasilan bruto.
9. Selisih penyusutan komersial di atas penyusutan fiskal
294. Selisih penyusutan komersial di atas penyusutan fiskal terjadi
apabila secara akuntansi masa manfaat lebih pendek dibandingkan dengan
ketentuan pajak. Saat masa manfaat secara akuntansi lebih pendek maka beban
penyusutan yang dihasilkan akan lebih besar dibandingkan dengan beban

95
penyusutan secara fiskal. Kondisi tersebut menyebabkan beban penyusutan
harus dikoreksi positif.
10. Selisih amortisasi komersial di atas amortisasi fiskal
295. Sama hal dengan penyusutan, selisih amortisasi komersial di atas
amortisasi fiskal terjadi apabila secara ketentuan pajak harta tak berwujud yang
dimaksud masuk dalam kelompok harta dengan masa manfaat yang lebih
panjang dibanding dengan masa manfaat dalam kebijakan akuntansi. Hal ini
mengakibatkan atas beban amortisasi yang telah dicatat menggunakan
kebijakan akuntansi harus dikoreksi positif.
11. Biaya yang ditangguhkan pengakuannya
296. Pengakuan biaya dalam hal tertentu dan bagi Wajib Pajak tertentu
dapat dilakukan berdasarkan Ketentuan Pajak. Bagi debitur yang melakukan
penyesuaian saat pengakuan biaya bunga kredit non performing ditunda hingga
saat dibayarkannya biaya bunga setelah pelunasan pokok kredit.
12. Penyesuaian fiskal positif lainnya
297. Penyesuaian fiskal positif lainnya dapat terjadi saat terdapat
penghasilan yang tidak diakui secara komersial ,akan tetapi termasuk Objek
Pajak yang dikenai PPh tidak bersifat final, terdapat biaya-biaya perusahaan
lainnya atau kerugian yang diakui secara komersial, akan tetapi tidak dapat
diakui secara fiscal, serta terdapat kerugian usaha di luar negeri baik melalui
BUT ataupun bukan BUT setelah dilakukan Penyesuaian Fiskal Positif dan
negatif.
B.9. Penyesuaian Fiskal Negatif
298. Penyesuaian Fiskal Negatif adalah penyesuaian terhadap
penghasilan neto komersial, di luar unsur penghasilan yang dikenakan PPh Final
dan yang tidak termsuk Objek Pajak, dalam rangka menghitung Penghasilan
Kena Pajak, yang bersifat mengurangi penghasilan dan/atau menambah biaya-
biaya komersial. Elemen-elemen yang termasuk dalam Penyesuaian Fiskal
Negatif adalah:
1. Selisih penyusutan komersial di bawah penyusutan fiskal
299. Selisih penyusutan komersial di bawah penyusutan fiskal terjadi
apabila masa manfaat harta tetap secara akuntansi lebih lama dibanding dengan
ketentuan pajak. Sebagai contoh, secara akuntansi harta tetap memiliki masa
manfaat selama 6 tahun, namun dalam ketentuan pajak harta tetap yang
dimaksud masuk kedalam kelompok harta berwujud bukan bangunan

96
Kelompok 1 dengan masa manfaat 4 tahun. Atas kondisi tersebut, beban
penyusutan yang diaku secara ketentuan pajak memiliki nilai yang lebih tinggi,
sehingga beban penyusutan harus dikoreksi negatif.
2. Selisih amortisasi komersial di bawah penyusutan fiskal
300. Sama halnya dengan penyusutan yang dijelaskan dalam poin
pertama, saat secara akuntansi harta tak berwujud dikategorikan sebagai harta
tak berwujud dengan masa manfaat tak terbatas, sesuai dengan ketentuan
akuntansi atas harta tak berwujud tersebut tidak dilakukan amortisasi. Dalam
Ketentuan Pajak, harta tak berwujud dikelompokkan sama dengan harta
berwujud bukan bangunan. Atas kondisi tersebut, secara akuntansi selama
harta tak berwujud tidak terjadi penurunan nilai maka harta tersebut tidak
memiliki beban amortisasi, sedangkan dalam Ketentuan Pajak terdapat biaya
amortisasi sesuai dengan kriteria kelompok harta tak berwujud tersebut.
3. Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya
301. Pengakuan penghasilan atas pengalihan harta berupa tanah
dan/atau bangunan milik Wajib Pajak tertentu yang dilakukan oleh Badan
Penyehatan Perbankan Nasional ditunda sampai dengan pihak Badan
Penyehatan Perbankan Nasional mengalihkan harta tersebut kepada pembeli
yang sebenarnya. Wajib Pajak tertentu yang dimaksud adalah Bank Dalam
Penyehatan, perusahaan terafiliasi Bank Dalam Penyehatan, debitur yang
langsung atau tidak langsung mempunyai kewajiban pembayaran kepada Bank
Dalam Penyehatan, BPPN, dan/atau Perusahaan Terafiliasi Bank Dalam
Penyehatan atau BPPN, serta pemegang saham, direktur dan komisaris Bank
Dalam Penyehatan. Saat pengakuan penghasilan atas pengalihan agunan berupa
tanah dan/atau bangunan milik Wajib Pajak debitur/pemilik agunan pada bank
umum yang dilakukan oleh Bank Umum yang melaksanakan restrukturisasi
sesuai program Pemerintah ditunda sampai dengan pihak Bank Umum
mengalihkan agunan tersebut kepada pembeli yang sebenarnya.
302. Untuk debitur Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan perjanjian
restrukturisasi utang usaha dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN), saat pengakuan penghasilan atas keuntungan karena pembebasan
utang dapat dialokasikan dalam jangka waktu paling lama 5 tahun, yaitu dalam
jumlah bagian yang sama besarnya setiap tahun dan dimulai dari Tahun Pajak
saat diperolehnya pembebasan utang.
303. Untuk penghasilan bank berupa bunga kredit non-performing diakui
pada saat penghasilan bunga tersebut diterima oleh bank atau dengan kata lain
diakui secara basis kas. Dan apabila bank membukukan penerimaan kredit non-

97
performing sebagai pengurang pokok kredit, maka saat pengakuan penghasilan
ditunda hingga saat diterimanya penghasilan bunga setelah pelunasan pokok
kredit.
4. Penyesuaian Fiskal Negatif Lainnya
304. Penyesuaian yang dilakukan dalam hal terdapat biaya-biaya
perusahaan lainnya atau kerugian yang tidak diakui secara komersial namun
diakui secara fiskal.
B.10. Fasilitas Penanaman Modal
305. Wajib Pajak Badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbatas
dan koperasi yang melakukan penanaman modal, baik penanaman modal baru
maupun perluasan dari usaha yang telah ada pada bidang-bidang usaha tertentu
atau daerah tertentu dapat diberikan fasilitas PPh selama memenuhi kriteria
berupa:
(i) Memiliki nilai investasi yang tinggi atau untuk nilai ekspor;
(ii) Memiliki penyerapan tenaga kerja yang besar; atau
(iii) Memiliki kandungan lokal yang tinggi.
306. Bidang-bidang usaha tertentu adalah bidang usaha di sektor kegiatan
ekonomi yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional. Sedangkan
daerah-daerah tertentu yang dimaksud adalah daerah yang secara ekonomis
mempunyai potensi yang layak dikembangkan.
307. Fasilitas PPh yang diberikan salah satunya berupa pengurangan
penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah penanaman modal berupa aktiva
tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan utama usaha,
dibebankan selama 6 tahun masing-masing sebesar 5% pertahun yang dihitung
sejak saat mulai berproduksi secara komersial.
B.11. Penghasilan Neto Fiskal
308. Penghasilan Neto fiskal merupakan total dari penghasilan neto
komersial dikurangi dengan penghasilan yang dikenakan PPh bersifat final dan
yang tidak termasuk Objek Pajak ditambah dengan Penyesuaian Fiskal Positif
dikurangi dengan Penyesuaian Fiskal Negatif dan kompensasi kerugian
dikurangi dengan fasilitas penanaman modal.
B.12. Kompensasi Kerugian
309. Kompensasi kerugian timbul apabila untuk Tahun Pajak sebelumnya
terdapat kerugian fiskal yang terjadi karena penghasilan bruto dikurangi

98
dengan biaya yang diperbolehkan menurut Ketentuan Pajak mengalami
kerugian. Atas kerugian tersebut, Ketentuan Pajak memberikan kompensasi
untuk dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak di tahun selanjutnya.
Kerugian fiskal yang boleh dikurangkan hanya sampai dengan lima tahun
setelah periode kerugian yang dialami, kecuali untuk Wajib Pajak yang
melakukan penanaman modal di bidang tertentu.
B.13. Penghasilan Kena Pajak
310. Penghasilan Kena Pajak merupakan Laba Rugi setelah Penyesuaian
Fiskal dikurangi dengan fasilitas penanaman modal, zakat/sumbangan
keagaman yang bersifat wajib, dan kompensasi kerugian, jika ada.
B.14. Pajak Penghasilan (PPh)
311. PPh merupakan hasil dari penerapan Tarif dikalikan Penghasilan
Kena Pajak.
312. Bagi Wajib Pajak Badan yang berbentuk Perseroan Terbuka dapat
memperoleh penurunan tarif sebesar 5% dari tarif PPh Wajib Pajak Dalam
Negeri Badan. Untuk mendapatkan penurunan tarif tersebut, Wajib Pajak Badan
yang berbentuk Perseroan Terbuka harus memenuhi persyaratan berupa:
(i) Paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor dicatat
untuk diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan masuk dalam
penitipan kolektif di lembaga penyimpanan dan penyelesaian;
(ii) Saham yang dimaksud dalam poin (i) harus dimiliki oleh paling sedikit
300 pihak;
(iii) Masing-masing pihak hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% dari
keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh; dan
(iv) Ketentuan di atas harus dipenuhi dalam jangka waktu paling singkat 183
hari kalender dalam jangka waktu satu Tahun Pajak.
313. Selain itu, Wajib Pajak Dalam Negeri Badan dengan peredaran bruto
sampai dengan Rp 50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah) mendapat
fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif pajak yang berlaku
umum yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
314. Pengecualian terhadap tarif umum PPh berlaku bagi Wajib Pajak
yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi,
pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi
Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan,

99
PPh dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak sampai dengan
berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama tersebut.

100
Lampiran 2.1: Format Laporan Rugi Laba untuk Tujuan Pajak

PT XYZ
Laporan Rugi Laba untuk Tujuan Pajak
Tahun 201X

Uraian Rupiah
Penghasilan Neto Komersial Dalam Negeri
Peredaran Usaha xxx
Harga Pokok Penjualan xxx
Laba/Rugi Bruto Usaha xxx
Biaya Usaha xxx
Penghasilan Neto dari Usaha xxx
Penghasilan dari Luar Usaha xxx
Biaya dari Luar Usaha xxx
Penghasilan Neto dari Luar Usaha xxx
Penghasilan Neto Komersial Dalam Negeri xxx
Penghasilan Neto Komersial Luar Negeri xxx
Jumlah Penghasilan Neto Komersial Dalam dan Luar Negeri xxx
Penyesuaian Fiskal Positif:
Pembagian Laba dengan Nama Apapun xxx
Biaya Kepentingan Pribadi xxx
Dana Cadangan xxx
Natura xxx
Pembayaran Melebihi Kewajaran xxx
Hibah, Bantuan, dan Sumbangan xxx
Pajak Penghasilan xxx
Gaji kepada Pemilik xxx
Sanksi Administrasi xxx
Selisih Penyusutan Komersial di Atas Penyusutan Fiskal xxx
Selisih Amortisasi Komersial di Atas Penyusutan Fiskal xxx
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang dikenakan pajak final xxx
Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang tidak termasuk Objek Pajak xxx
Biaya yang Ditangguhkan Pengakuannya xxx
Penyesuaian Fiskal Positif Lainnya xxx

101
Jumlah Penyesuaian Fiskal Positif xxx
Penyesuaian Fiskal Negatif:
Penghasilan yang dikenakan Final xxx
Penghasilan yang tidak termasuk Objek Pajak xxx
Selisih Penyusutan Komersial di Bawah Penyusutan Fiskal xxx
Selisih Amortisasi Komersial di Bawah Penyusutan Fiskal xxx
Penghasilan yang Ditangguhkan Pengakuannya xxx
Penyesuaian Fiskal Negatif Lainnya xxx
Jumlah Penyesuaian Fiskal Negatif xxx
Laba/Rugi Setelah Penyesuaian Fiskal xxx
Fasilitas Penanaman Modal xxx
Penghasilan Neto Fiskal xxx
Zakat/Sumbangan Keagamaan yang Bersifat Wajib xxx
Kompensasi Kerugian xxx
Penghasilan Kena Pajak xxx
Pajak Penghasilan xxx
Laba Setelah Pajak xxx

102
BAB 3
LAPORAN POSISI KEUANGAN
UNTUK TUJUAN PAJAK

01. Laporan Posisi Keuangan untuk tujuan pajak disusun dengan


menggunakan pendekatan akuntansi keuangan dengan memperhatikan
Ketentuan Pajak yang berlaku untuk masing-masing elemen laporan posisi
keuangan. Untuk masing-masing elemen akan dijelaskan mulai dari definisi,
bagaimana pengakuan, pengukuran dan penyajian dalam laporan posisi
keuangan untuk tujuan pajak.
02. Elemen utama laporan posisi keuangan terdiri dari harta, utang, dan
modal. Masing-masing elemen tersebut akan dijelaskan lebih lanjut sebagai
berikut.

A. HARTA

03. Standar akuntansi keuangan tidak menggunakan istilah harta, tetapi


menggunakan istilah aset, yang didefinisikan sebagai sumber daya yang
dikuasai oleh perusahaan sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana
manfaat ekonomi di masa depan diharapkan akan diperoleh perusahaan.
Manfaat ekonomi yang terwujud dalam aset adalah potensi dari aset tersebut
untuk memberikan sumbangan, baik langsung maupun tidak langsung, arus kas
dan setara kas kepada perusahaan.
04. Berbeda dengan Ketentuan Pajak yang menggunakan terminologi
harta untuk menggantikan terminologi aset. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, arti kata harta adalah kekayaan, baik berupa uang atau sebagainya
yang berwujud maupun tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut hukum
dimiliki perusahaan. Kata aset menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
sesuatu yang mempunyai nilai tukar, modal atau kekayaan. Dari kedua
pengertian tersebut dan merujuk pada Ketentuan Pajak, dapat disimpulkan
bahwa harta merupakan aset yang dimiliki oleh perusahaan secara hukum yang
digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan,
sedangkan aset tidak memberikan persyaratan kepemilikan secara hukum.

103
05. Dalam Ketentuan Pajak menggunakan terminologi harta, yang berarti
penyajian harta berdasarkan aset yang dimiliki perusahaan secara hukum, yang
juga meliputi biaya-biaya yang pembebanannya tidak dilakukan sekaligus
sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali diatur khusus dalam
Ketentuan Pajak. Oleh karenanya, dalam menyajikan komponen harta dalam
pembukuan untuk tujuan pajak, aset yang berasal dari sewa guna usaha, tidak
diakui sebagai harta. Berbeda dengan Standar Akuntansi Keuangan yang
menggunakan terminologi aset, yang berarti seluruh sumber daya yang dikuasai
oleh perusahaan yang memiliki manfaat ekonomis di masa mendatang diakui
dalam pembukuan Wajib Pajak, termasuk didalamnya adalah aset yang berasal
dari sewa guna usaha dengan hak opsi.
06. Hubungan antara akuntansi dan pajak khususnya untuk komponen
harta memiliki keterikatan yang cukup erat. Oleh karena itu, pengakuan harta
untuk tujuan pajak dapat didasarkan pada Standar Akuntansi Keuangan, kecuali
untuk beberapa hal yang diatur khusus dalam ketentuan pajak.
07. Untuk penyajiannya, harta dikelompokkan berdasarkan urutan
likuiditasnya atau kemampuannya untuk dikonversi menjadi uang kas, yaitu
dikelompokkan sebagai (i) harta lancar dan (ii) harta tidak lancar.
A.1. Harta Lancar
08. Harta lancar merupakan kelompok harta dengan tingkat likuiditas
yang tinggi atau dengan kata lain mudah dikonversi menjadi uang kas, dijual,
dikonsumsi, atau digunakan untuk melunasi utang jangka pendek dalam satu
tahun atau dalam siklus operasi normal.
09. Pengklasifikasian harta lancar dalam laporan keuangan dilakukan
jika:
(i) Wajib Pajak memperkirakan akan merealisasikan harta atau bermaksud
untuk menjual atau menggunakannya dalam siklus operasi normal;
(ii) Wajib Pajak memiliki harta untuk tujuan diperdagangkan;
(iii) Wajib Pajak memperkirakan akan merealisasi harta dalam jangka waktu
dua belas bulan setelah periode pelaporan;
(iv) Kas atau setara kas, kecuali harta tersebut dibatasi penggunaannya untuk
menyelesaikan liabilitas sekurangnya dua belas bulan setelah periode
pelaporan.
10. Berikut klasifikasi harta lancar yang disajikan dalam Laporan Posisi
Keuangan untuk tujuan pajak.

104
A.1.1. Kas dan Setara Kas
11. Kas adalah alat pembayaran yang siap dan bebas digunakan untuk
membiayai kegiatan umum Wajib Pajak. Kas atau setara kas adalah alat
pembayaran yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan perusahaan,
yang dapat berupa uang kas, saldo rekening bank, maupun deposito berjangka
atau surat berharga lainnya yang dapat diuangkan dalam jangka waktu tiga
bulan.
12. Dalam hal yang material, perusahaan akan memisahkan akun kas
dengan akun kas untuk tujuan tertentu (restricted cash), sebagai contoh kas
kecil, gaji dan dividen. Bagi akun kas untuk tujuan tertentu yang disajikan dalam
kelompok harta lancar adalah kas yang akan dibayarkan kurang dari satu tahun
atau satu periode akuntansi keuangan.
13. Pengakuan akun kas dan setara kas dilakukan jika secara hukum
telah terdapat penambahan saldo berupa uang kas, saldo rekening bank,
deposito berjangka atau surat berharga lainnya. Sebaliknya, kas dan setara kas
dihentikan pengakuannya jika terdapat pengeluaran kas yang digunakan untuk
membiayai kegiatan usaha, investasi maupun pendanaan.
14. Akun kas dan setara kas diukur sebesar nilai nominal. Saldo kas dan
setara kas yang dimiliki dalam mata uang asing dilaporkan dengan
mengkonversi nominal mata uang asing yang dimiliki dengan nilai kurs yang
berlaku atau kurs tetap pada tanggal Laporan Posisi Keuangan. Akun kas dan
setara kas disajikan dalam Laporan Posisi Keuangan pada bagian harta lancar.
15. Dalam mencatat nilai kas dan setara kas termasuk rekening bank,
harus dilengkapi dengan bukti-bukti atau dokumen pendukung, sehingga,
apabila dilakukan pemeriksaan, bukti-bukti tersebut telah tersedia dan dapat
dijadikan dasar pengakuan dan pengukuran nilai akun kas dan setara kas.
A.1.2. Investasi Jangka Pendek
16. Investasi jangka pendek merupakan sekuritas yang diperdagangkan,
baik berupa investasi pada utang maupun investasi pada modal. Pengertian
investasi jangka pendek, termasuk instrumen keuangan yang dimiliki untuk
diperdagangkan atau yang tersedia untuk dijual, serta bagian dari investasi yang
dimiliki hingga jatuh tempo dalam satu tahun atau satu periode akuntansi.
17. Termasuk dalam komponen investasi yang diperdagangkan atau
tersedia untuk dijual adalah sekuritas atau surat berharga yang dimiliki untuk
dijual kembali dalam waktu dekat dengan tujuan menghasilkan keuntungan dari
perubahan harga yang terjadi. Contoh dari sekuritas yang diperdagangkan

105
adalah saham, derivatif, sekuritas jangka pendek, dan lain-lain. Investasi yang
dimiliki hingga jatuh tempo dapat berupa instrumen keuangan yang telah
mendekati jatuh tempo, telah memperoleh secara substansi seluruh jumlah
pokok aset keuangan sesuai jadwal pembayaran atau telah memperoleh
pelunasan yang dipercepat.
18. Investasi jangka pendek diakui pada laporan posisi keuangan jika dan
hanya jika Wajib Pajak menjadi salah satu pihak dalam ketentuan pada kontrak
instrumen tersebut melalui pembelian harta keuangan yang reguler pada
tanggal perdagangan. Tanggal perdagangan adalah tanggal pada saat
perusahaan berkomitmen untuk membeli dan menerima harta keuangan.
Sedangkan tanggal penyelesaian adalah tanggal di mana harta diserahkan
kepada perusahaan. Dalam hal penghentian pengakuan dilakukan jika dan
hanya jika hak kontraktual atas arus kas yang berasal dari harta keuangan
berakhir atau entitas mengalihkan asset keuangan yang memenuhi kriteria
penghentian pengakuan.
19. Berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, pengukuran
awal investasi atau harta keuangan dilakukan pada nilai wajar. Instrumen
keuangan yang termasuk dalam kategori tersedia untuk diperdagangkan diukur
berdasarkan nilai wajar melalui laba rugi. Untuk investasi yang tidak diukur
pada nilai wajar melalui laba rugi, nilai wajar instrumen tersebut sebesar harga
transaksi ditambah dengan biaya transaksi. Harga transaksi sendiri biasanya
bukan menunjukkan nilai wajar yang sebenarnya. Dalam kondisi tersebut, nilai
wajar dari instrumen keuangan tersebut diukur dari harga kuotasi pasar dengan
cara membandingkannya dengan instrumen keuangan lain yang serupa atau
dengan cara melakukan penilaian dengan observasi pasar.
20. Berdasarkan Ketentuan Pajak, harga perolehan harta diukur
berdasarkan jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan. Dengan demikian,
ketentuan ini berbeda dengan ketentuan akuntansi keuangan di mana penilaian
investasi diukur berdasarkan nilai wajar pada saat tanggal laporan posisi
keuangan. Oleh karenanya, investasi jangka pendek diukur berdasarkan harga
perolehan yang meliputi jumlah harga beli ditambah dengan biaya-biaya yang
berhubungan dengan transaksi pembelian. Untuk surat berharga lainnya,
diukur sebesar nilai yang tercantum dalam sertifikat deposito atau wesel tagih
yang dikeluarkan oleh pihak yang mengeluarkan surat berharga tersebut. Untuk
investasi jangka pendek yang dimiliki dalam mata uang asing, pengukuran harga
perolehan dilakukan dengan mengkonversi ke mata uang Rupiah dengan
menggunakan kurs yang berlaku pada akhir Tahun Pajak atau kurs tetap yang
dilakukan secara taat asas.

106
21. Dalam hal pengungkapan, Wajib Pajak harus menyusun daftar
investasi yang dimiliki dengan mencantumkan beberapa informasi yang
meliputi:
(i) Jenis investasi yang dimiliki;
(ii) Tingkat suku bunga yang berlaku;
(iii) Jumlah investasi pada awal tahun;
(iv) Penambahan selama tahun berjalan;
(v) Penjualan selama tahun berjalan;
(vi) Jumlah investasi pada akhir tahun;
(vii) Piutang pendapatan investasi pada awal tahun;
(viii) Pendapatan investasi yang dicatat dan diterima selama tahun berjalan;
(ix) Piutang pendapatan investasi pada akhir tahun
22. Perlu diperhatikan dalam mengakui investasi sementara, segala
kerugian maupun laba yang timbul dari transaksi tersebut telah diperhitungkan
dan diakui dalam laporan rugi laba, serta pengakuan pajak yang terkait
diantaranya PPh Final yang dilengkapi dengan Bukti Pemotongan Pajak.
A.1.3. Piutang Usaha
23. Piutang usaha merupakan piutang yang timbul dari penyerahan
barang atau jasa dalam rangka kegiatan usaha normal Wajib Pajak, termasuk
PPN dan pembebanan lain yang timbul langsung dalam hubungan dengan
penyerahan tersebut. Piutang usaha diakui saat terdapat transaksi penyerahan
barang atau jasa yang dilakukan secara kredit. Dalam hal terdapat piutang yang
tidak tertagih, saldo piutang disajikan setelah dikurangi dengan penghapusan
piutang yang tidak tertagih yang memenuhi persyaratan dalam Ketentuan Pajak.
24. Berdasarkan jenisnya, piutang dibagi menjadi dua, yaitu: (i) piutang
dagang dan (ii) wesel tagih. Piutang dagang adalah perjanjian lisan yang
dilakukan oleh pelanggan untuk membayar sejumlah uang atas barang atau jasa
yang dibelinya. Dalam menentukan harga pertukaran terdapat dua faktor yang
mempengaruhinya, yaitu ketersediaan potongan penjualan dan jangka waktu
antara tanggal transaksi dan tanggal pembayaran yang dilakukan oleh pembeli
(debitur). Setiap penjualan secara kredit memiliki kondisi seperti 2/10, n/30,
yang berarti untuk pembayaran dalam jangka waktu 10 hari dari tanggal
transaksi akan mendapatkan potongan harga sebesar 2%.

107
25. Dalam hal pengukuran nilai piutang dagang, Standar Akuntansi
Keuangan mengatur tentang pengukuran piutang berdasarkan nilai bersih yang
diharapkan akan diterima secara kas. Untuk menentukan nilai realisasi bersih
memperhatikan estimasi atas piutang yang tak tertagih, retur penjualan,
maupun potongan harga yang diberikan. Namun, secara ketentuan pajak tidak
diizinkan untuk melakukan pembentukan atau pemupukan dana cadangan
piutang tak tertagih. Oleh karena itu, penyesuaian piutang bersih dilakukan
dengan metode penghapusan langsung atas piutang yang nyata-nyata tidak
tertagih, kecuali untuk bidang usaha tertentu yang diperkenankan untuk
membentuk cadangan piutang tak tertagih.
26. Batas pencadangan piutang tak tertagih yang boleh dilakukan oleh
bank dan badan usaha lainnya sesuai dengan Ketentuan Pajak tentang
Pembentukan atau Pemupukan Dana Cadangan yang Boleh Dikurangkan
sebagai Biaya.
27. Piutang jenis kedua adalah wesel tagih, yaitu surat perjanjian tertulis
untuk membayar sejumlah uang di masa yang akan datang, termasuk pokok
piutang beserta bunga. Wesel tagih terkait dengan piutang usaha dapat timbul
pada saat periode kredit melebihi batas yang telah ditentukan. Pada saat debitur
tidak bisa memenuhi perjanjian kredit yang telah dibuat, biasanya penjual akan
menerbitkan wesel tagih yang berisi perjanjian pembayaran sejumlah pokok
piutang tertentu beserta tingkat bunga tertentu. Walaupun berbentuk surat
tagihan, namun wesel tagih dapat diperjualbelikan sehingga mudah dikonversi
menjadi kas. Terkait pengukuran awal wesel tagih, diukur berdasarkan nilai
wajar sesuai yang tertera dalam kontrak.
28. Untuk keperluan pengungkapan atas akun piutang usaha, Wajib Pajak
perlu membuat daftar rincian piutang usaha pada akhir tahun pajak dengan
informasi berupa nama debitur dan jumlah piutang yang meliputi jumlah
piutang usaha, PPN keluaran, serta umur piutang.
A.1.4. Piutang Lain-Lain
29. Piutang lain-lain merupakan jumlah tagihan piutang kepada
pelanggan atau pihak lain yang timbul dari transaksi di luar kegiatan usaha.
Piutang lain-lain dapat timbul karena perusahaan melakukan aktivitas
keuangan atau piutang atas pinjaman yang diberikan kepada pihak lain. Sama
halnya dengan piutang usaha, untuk tujuan pajak, piutang lain-lain diukur
sebesar nilai piutang setelah dikurangi dengan piutang yang nyata-nyata tidak
dapat tertagih sesuai Ketentuan Pajak.

108
30. Termasuk dalam piutang lain-lain adalah pinjaman, uang muka
kepada karyawan dan staf, uang muka kepada anak perusahaan, deposito untuk
menutupi kemungkinan kerugian dan kerusakan, piutang dividen, dan piutang
bunga.
31. Piutang lain-lain disajikan secara terpisah dengan piutang usaha
dengan tujuan untuk dapat memetakan besarnya piutang yang berasal dari
usaha maupun dari luar usaha. Sama halnya dengan piutang usaha, untuk
kepentingan pengungkapan, Wajib Pajak perlu membuat daftar rincian piutang
di luar usaha pada akhir Tahun Pajak.
A.1.5. Piutang dalam Hubungan Istimewa
32. Piutang dalam Hubungan Istimewa adalah saldo tagihan dari
transaksi yang dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa.
Standar Akuntansi Keuangan mendefinisikan Hubungan Istimewa sebagai orang
atau entitas yang berkaitan dengan entitas yang menyiapkan laporan
keuangannya, yang meliputi orang atau anggota keluarga dekatnya mempunyai
relasi dengan entitas pelapor jika orang tersebut memiliki pengendalian atau
pengendalian bersama atas entitas pelapor, memiliki pengaruh signifikan atas
entitas pelapor atau merupakan personil manajemen kunci entitas pelapor atau
entitas induk dari entitas pelapor. Selain itu entitas dianggap berelasi dengan
entitas pelapor diantaranya jika entitas dan entitas pelapor adalah anggota dari
kelompok usaha yang sama, entitas asosiasi atau ventura bersama, dan lain-lain.
33. Transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa harus diperhitungkan dengan harga atau laba
wajar. Harga wajar atau laba wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa dalam kondisi yang sebanding, atau harga atau laba yang ditentukan
sebagai harga atau laba yang memenuhi prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha.
34. Untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak
yang memiliki hubungan istimewa telah memenuhi prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha, harus diungkapkan dengan dokumen khusus berupa
Dokumen Penentuan Harga Transfer (ketentuan lebih lanjut dijelaskan dalam
Bab 4).
A.1.6. Persediaan
35. PSAK 14 mendefinisikan persediaan sebagai aset yang tersedia untuk
dijual dalam kegiatan usaha biasa, maupun dalam proses produksi untuk

109
penjualan tersebut atau dalam bentuk bahan atau perlengkapan untuk
digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa.
36. Pada umumnya, perusahaan mengakui persediaan pada saat barang
diterima. Namun, terdapat pengecualian untuk barang dalam perjalanan dan
barang konsinyasi. Penentuan kepemilikan untuk barang dalam perjalanan
ditentukan berdasarkan metode pengiriman barang yang disepakati. Apabila
metode pengiriman barang menggunakan metode f.o.b shipping point,
persediaan dapat diakui saat pemasok telah mengirimkan barang walaupun
belum diterima secara fisik. Jika menggunakan metode f.o.b destination point,
persediaan baru dapat diakui saat barang secara fisik telah diterima oleh Wajib
Pajak. Untuk penjualan secara konsinyasi, penjual perantara (consignee) tidak
mengakui barang sebagai persediaan, melainkan persediaan tetap dimiliki oleh
penjual (consignor).
37. Pengukuran persediaan dilakukan sesuai dengan Ketentuan Pajak,
yaitu hanya diperbolehkan menggunakan harga perolehan. Biaya persediaan
yang diakui meliputi semua biaya pembelian, biaya konversi, dan biaya lain yang
timbul sampai persediaan berada dalam kondisi saat ini. Termasuk dalam biaya
pembelian adalah harga beli, bea impor, pajak lain yang tidak dapat ditagih
kembali kepada otoritas pajak, biaya pengangkutan, biaya penanganan, dan
biaya langsung yang secara langsung dapat diatribusikan pada perolehan
barang jadi serta bahan dan jasa. Dalam hal terdapat diskon atau pengurangan
harga yang didapat, dikurangkan dari biaya pembelian. Biaya konversi yang
dimaksud adalah biaya yang secara langsung terkait dengan unit yang
diproduksi, sebagai contoh biaya tenaga kerja langsung, alokasi biaya overhead
tetap dan variabel yang timbul dalam mengkonversi barang menjadi barang jadi.
Biaya lainnya dapat diakui sebagai biaya persediaan sepanjang biaya timbul
persediaan berada dalam kondisi dan lokasi saat ini.
38. Bagi perusahaan yang bergerak di bidang jasa, dapat mengakui
persediaan, selama biaya persediaan diukur pada biaya produksinya. Biaya
persediaan yang dimaksud adalah biaya tenaga kerja dan biaya personalia
lainnya yang secara langsung menangani pemberian jasa, termasuk personalia
penyelia dan overhead yang dapat diatribusikan.
39. Dalam Tabel 3.1 terdapat perbedaan dalam hal pengukuran
persediaan pada ketentuan pajak dan PSAK 14, atas selisih antara biaya
perolehan dengan nilai realisasi bersih harus dikoreksi fiskal, yang akan
berakibat pada bagian penyesuaian fiskal dalam laporan rugi laba untuk tujuan
pajak.

110
Tabel 3.1 - Perbandingan Akuntansi Keuangan dan Ketentuan Pajak
atas Persediaan

Ketentuan Pajak PSAK 14

Metode Biaya perolehan atau nilai realisasi


Biaya perolehan
Pengukuran bersih yang lebih rendah
Cara Penilaian FIFO, Average FIFO, Average

40. Perhitungan biaya persediaan yang diatur dalam Ketentuan Pajak


dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau
dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama (FIFO). Metode
FIFO mengasumsikan persediaan yang pertama dibeli akan dijual atau
digunakan terlebih dahulu sehingga unit persediaan yang tertinggal dalam
persediaan akhir adalah yang dibeli atau diproduksi kemudian. Metode rata-rata
dilakukan dengan menghitung biaya setiap unit berdasarkan biaya rata-rata
dari unit yang serupa pada awal periode dan biaya unit yang serupa yang dibeli
atau diproduksi selama suatu periode.
A.1.7. Piutang Pajak
41. Piutang pajak adalah kelebihan pembayaran PPh dan PPN maupun
PPnBM oleh Wajib Pajak, yang sedang dalam proses pengembalian atas
kelebihan pembayaran pajak (restitusi). Kondisi yang menyebabkan terjadinya
kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang yang dapat
diajukan permohonan pengembalian dalam hal:
(i) Terdapat pembayaran pajak yang bukan merupakan Objek Pajak yang
terutang atau seharusnya tidak terutang
42. Kelebihan pembayaran pajak dalam kondisi ini dapat berupa
pembayaran pajak yang lebih besar dari pajak yang terutang, pembayaran pajak
atas transaksi yang dibatalkan, pembayaran pajak yang seharusnya tidak
dibayar, atau pembayaran pajak terkait dengan permintaan penghentian
penyidikan tindak pidana di bidang pajak yang tidak disetujui.
(ii) Terdapat kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang terkait
dengan pajak dalam rangka impor
43. Kelebihan pembayaran pajak dalam kondisi ini meliputi PPh yang
dipungut atas impor, PPN impor, dan PPnBM impor yang telah dibayar, yang
tercantum dalam:

111
a. SPTNP atau SPKTNP;
b. SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan keputusan
keberatan;
c. SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan keputusan
keberatan dan putusan banding;
d. SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan keputusan
keberatan, putusan banding, dan putusan peninjauan kembali;
e. SPKTNP yang telah diterbitkan putusan banding;
f. SPKTNP yang telah diterbitkan putusan banding dan putusan
peninjauan kembali; atau
g. Dokumen yang berisi pembatalan impor yang telah disetujui oleh
pejabat yang berwenang.
yang menyebabkan terjadinya kelebihan pembayaran pajak.

(iii) Terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan


pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang
seharusnya dipotong atau dipungut
44. Kelebihan pembayaran pajak atas kesalahan pemotongan atau
pemungutan pajak meliputi:
a. Pemotongan atau pemungutan PPh yang lebih besar dari yang
seharusnya;
b. Pemotongan atau pemungutan PPh atas penghasilan yang diterima
oleh bukan Subjek Pajak;
c. Pemungutan PPN kepada bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih
besar daripada yang seharusnya; atau
d. Pemungutan PPnBM yang lebih besar dari yang seharusnya.
(iv) Terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan
merupakan objek pajak
45. Kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan
objek pajak dapat berupa:
a. Pemotongan atau pemungutan PPh yang seharusnya tidak dipotong
atau tidak dipungut;
b. Pemungutan PPN yang seharusnya tidak dipungut; dan

112
c. PPnBM yang tidak seharusnya tidak dipungut.
(v) Terdapat kelebihan pemotongan PPh terkait penerapan P3B bagi Subjek
Pajak Luar Negeri.
46. Kelebihan pemotongan PPh terkait penerapan P3B dapat disebabkan
oleh kesalahan penerapan P3B, keterlambatanpemenuhan persyaratan
administratif untuk menerapkan P3B setelah terjadi pemotongan atau
pemungutan atau persetujuan bersama.
47. Atas kelebihan akibat pembayaran pajak tersebut dapat dilakukan
permohonan pengembalian pembayaran pajak dengan mengajukan
permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak yang dilengkapi dengan dokumen
pendukung, perhitungan pajak yang seharusnya terutang beserta alasan
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Permohonan tersebut
kemudian ditindaklanjuti oleh Direktur Jenderal Pajak dengan meneliti
kebenaran pembayaran pajak. Apabila setelah diteliti benar terdapat kelebihan
pembayaran yang telah dibayar ke kas negara, dan pajak yang telah dibayar
tidak dikreditkan dalam SPT, maka Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dan atas kelebihan pembayaran tersebut
dapat dikembalikan.
48. Piutang pajak diakui jika Wajib Pajak telah menerima SKPLB dari
Direktur Jenderal Pajak atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya
tidak terutang dan sedang dalam proses pengembalian kelebihan pembayaran
pajak tersebut. Dalam hal pengukuran, piutang pajak yang diakui dicatat sebesar
jumlah yang tercatat menurut SKPLB yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.
A.1.8. Pajak Dibayar di Muka
49. Pajak dibayar di muka adalah pajak yang telah dipotong atau
dipungut oleh pihak lain, termasuk didalamnya pemungutan PPN atau
pemotongan PPh, kredit pajak luar negeri, angsuran PPh di tahun berjalan. Pajak
dibayar dimuka dapat berasal dari pemotongan atau pemungutan pajak oleh
pihak lain (withholding tax) dan penyetoran yang dilakukan oleh Wajib Pajak
sendiri. Akun pajak di bayar di muka meliputi:
1. Pemotongan PPh atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang
kepada Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP)
50. Pemotongan PPh atas penghasilan yang diberikan kepada WPOP
merupakan pajak yang dipotong oleh pemberi kerja atau penyelenggara
kegiatan atas pembayaran penghasilan sehubungan dengan pelaksanaan

113
pekerjaan dan jasa yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi. Pemotongan
PPh atas penghasilan yang diberikan kepada WPOP diakui jika terdapat
penerimaan penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dan jasa berupa gaji,
upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lainnya.
51. Dalam hal pengakuan untuk tahun berjalan, harus dilengkapi dengan
Bukti Pemotongan PPh dengan rincian berupa:
(i) Nama, alamat dan NPWP pemotong;
(ii) Jumlah Objek Pajak;
(iii) Besarnya pajak yang terutang;
(iv) Tanggal pemotongan; serta
(v) Kode Nomor Tanda Penerimaan Negara (NTPN).
52. Dalam hal pengukuran, Pemotongan PPh atas penghasilan yang
diberikan kepada SPOP diukur sebesar jumlah yang tertera pada bukti potong
PPh.
2. PPh yang Dipungut oleh Pihak Pemungut
53. Pemungutan PPh adalah PPh yang dipungut oleh Bendaharawan
Pemerintah Pusat/Daerah berkenaan dengan penyerahan barang, oleh badan-
badan tertentu berkenaan dengan kegiatan impor barang atau kegiatan usaha di
bidang lain, dan oleh Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang
sangat mewah. Apabila perusahaan melakukan kegiatan penyerahan barang
dengan bendahharawan pemerintah atau melakukan kegiatan impor maupun
penjualan barang sangat mewah, maka atas transaksi tersebut dipungut PPh
oleh Pihak Pemungut dan atas pemungutan tersebut dapat diakui sebagai pajak
yang dibayar di muka. Untuk dapat mengakui Pemungutan PPh yang dibayar di
muka harus dilengkapi dengan daftar Pemungutan PPh oleh Pihak Pemungut
dengan rincian berupa:
(i) Nama, alamat dan NPWP pemotong;
(ii) Jumlah Objek Pajak;
(iii) Besarnya pajak;
(iv) Tanggal pemotongan; serta
(v) Kode Nomor Tanda Penerimaan Negara (NTPN).

114
54. Pemungutan PPh dalam hal pajak dibayar di muka dicatat sebesar
total jumlah yang tercatat dalam bukti Pemungutan PPh oleh Pihak Pemungut
pada akhir Tahun Pajak.
3. PPh atas jenis penghasilan tertentu yang dibayarkan atau terutang
kepada Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) Badan
55. PPh atas jenis penghasilan tertentu merupakan pajak yang dipotong
atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan
penghargaan selain yang telah dipotong dalam PPh atas penghasilan yang
diberikan kepada WPOP. Untuk dapat mengakui pemotongan PPh ini harus
dilengkapi dengan daftar pemotongan beserta jenis penghasilan yang
bersangkutan dengan rincian berupa:
(i) Nama, alamat, NPWP pemotong;
(ii) Jumlah objek pajak;
(iii) Besarnya pajak;
(iv) Tanggal pemotongan; serta
(v) Kode Nomor Tanda Penerimaan Negara (NTPN).
56. PPh atas jenis penghasilan tertentu yang menjadi pajak dibayar di
muka dicatat sebesar total jumlah yang tercatat pada bukti pemotongan PPh per
tanggal laporan posisi keuangan.
4. Kredit Pajak Luar Negeri
57. Kredit pajak luar negeri merupakan PPh yang dibayar atau terutang
di luar negeri atas penghasilan yang berasal dari luar negeri yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri. Atas pembayaran pajak yang terutang di
luar negeri, boleh dikreditkan terhadap PPh yang terutang di dalam negeri.
Untuk dapat megakui jumlah pajak dibayar di muka harus dilengkapi dengan
daftar pemotongan kredit pajak beserta jenis penghasilan yang diterima di luar
negeri dengan rincian berupa:
(i) Penghasilan yang diterima dalam rangka usaha di luar negeri beserta
jumlah PPh terutang pada Tahun Pajak yang sama dan dirinci per negara
sumber penghasilan diterima; dan
(ii) Untuk penghasilan yang berasal dari modal dirinci berdasarkan tanggal
diterima, jumlah objek dan jumlah PPh terutang per negara sumber
penghasilan yang diterima.

115
5. Angsuran PPh pada tahun berjalan
58. Angsuran PPh merupakan pelunasan pajak penghasilan dalam tahun
berjalan. Angsuran pajak diakui sebesar jumlah yang disetorkan ke kas negara
sebagaimana tertera dalam Surat Setoran Pajak (SSP) pada akhir Tahun Pajak.
59. Dalam mengakui angsuran pajak yang dibayar di muka harus
dilengkapi dengan daftar yang dirinci berdasarkan pembayaran untuk bulan
terutangnya angsuran pajak, yaitu:
(i) Jumlah pembayaran;
(ii) Tanggal pembayaran;
(iii) Nomor dan tanggal Surat Tagihan Pajak (Pokok Pajak); dan
(iv) Kode Nomor Tanda Penerima Pajak (NTPN).
6. PPN dan PPnBM
60. PPN dan PPnBM yang telah dipotong oleh pihak lain merupakan Pajak
Masukan yang berasal dari pembelian Barang Kena Pajak (BKP) atau
penggunaan Jasa Kena Pajak (JKP), pembelian impor BKP, penggunaan jasa
dalam daerah pabean, pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah
pabean, maupun penggunaan JKP dari luar daerah pabean. PPN dan PPnBM yang
termasuk dalam pajak dibayar di muka adalah Pajak Masukan yang dipungut
oleh pihak yang melakukan penjualan atas BKP atau JKP yang bersangkutan.
61. PPN Masukan dan PPnBM yang diakui dicatat sebesar jumlah yang
tertera dalam faktur pajak pada tanggal laporan posisi keuangan.
A.1.9. Biaya Dibayar di Muka
62. Biaya dibayar di muka merupakan biaya yang dibayarakan dalam
suatu periode akuntansi, namun pemanfaatannya baru dilakukan atau
dikonsumsi pada masa yang akan datang. Setelah manfaat dirasakan atau aset
tersebut dikonsumsi, maka atas biaya dibayar di muka akan dibebankan sebagai
biaya. Biaya dibayar di muka, meliputi diantaranya biaya sewa, biaya iklan atau
promosi, biaya asuransi, serta perlengkapan kantor.
63. Biaya dibayar di muka diukur sebesar nilai biaya yang belum
digunakan atau belum dikonsumsi.
A.2. Harta Tidak Lancar
64. Harta tidak lancar merupakan kelompok harta yang tidak memenuhi
definisi harta lancar, yaitu harta dengan tingkat likuiditas yang rendah atau sulit

116
dikonversi menjadi uang kas. Kelompok harta tidak lancar adalah sebagai
berikut:
A.2.1. Investasi Jangka Panjang
65. Investasi jangka panjang biasanya juga disebut investasi yang dimiliki
hingga jatuh tempo merupakan investasi yang bertujuan bukan untuk spekulasi,
yaitu tidak akan direalisasikan dalam jangka pendek atau kurang dari satu
tahun. Investasi jangka panjang dimaksudkan untuk menguasai atau menjalin
hubungan dengan perusahaan lain. Investasi jangka panjang dikelompokkan
sebagai berikut, yaitu:
1. Investasi pada sekuritas, seperti obligasi jangka panjang

66. Investasi obligasi memiliki karakteristik berupa kontrak untuk


membayar pokok utang beserta bunga pada tanggal tertentu. Investasi obligasi
diukur menggunakan metode biaya amortisasi apabila investasi yang dilakukan
bertujuan untuk menghimpun arus kas kontraktual (held to maturity).
Berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, investasi ini menimbulkan
pengakuan keuntungan atau kerugian yang belum dapat direalisasikan
(unrealized holding gain or loss) akibat penyesuaian terhadap nilai wajar. Untuk
tujuan pajak, pengakuan keuntungan atau kerugian tersebut tidak boleh
dilakukan.
2. Investasi pada harta berwujud yang tidak digunakan dalam operasi
(properti investasi)
67. Properti investasi adalah properti yang berupa tanah atau bangunan
yang dikuasai untuk menghasilkan rental atau untuk kenaikan nilai atau
keduanya dan tidak untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang
atau jasa untuk tujuan administratif atau dijual dalam kegiatan usaha sehari-
hari. Beberapa contoh yang termasuk dalam properti investasi adalah:
a. Tanah yang dikuasai dalam jangka panjang untuk kenaikan nilai dan
bukan untuk dijual dalam kegiatan usaha sehari-hari;
b. Tanah yang dikuasai saat ini yang penggunaannya dimasa depan
belum ditentukan;
c. Bangunan yang dimiliki oleh Wajib Pajak;
d. Bangunan yang belum terpakai tetapi tersedia untuk disewakan
kepada pihak lain melalui satu atau lebih sewa operasi;

117
e. Properti dalam proses pembangunan atau pengembangan yang
dimasa depan digunakan sebagai properti investasi.
68. Dalam hal pengukuran awal, pengakuan properti investasi diakui
sebesar biaya transaksi. Selanjutnya, properti investasi dapat dinilai
berdasarkan model biaya (harga perolehan) atau dapat dinilai menggunakan
model revaluasi (nilai wajar) secara taat asas. Untuk tujuan pajak, pengakuan
keuntungan atau kerugian terkait properti investasi sebelum direalisasikan
tidak boleh dilakukan.
3. Investasi pada modal atau ekuitas
69. Investasi pada modal merupakan kepemilikan modal atas Wajib
Pajak lainnya maupun atas suatu bentuk usaha yang dijalankan dengan Wajib
Pajak lainnya. Investasi pada modal meliputi investasi pada entitas asosiasi,
investasi pada anak perusahaan, investasi pada ventura bersama serta investasi
berupa operasi bersama. Penentuan keempat jenis investasi tersebut
didasarkan pada jumlah kepemilikan modal dan ada atau tidaknya pengaruh
signifikan atau pengendalian atas Wajib Pajak lainnya. Menurut akuntansi
keuangan, jenis investasi pada modal dapat dilihat pada Tabel 3.2 di bawah ini.
Tabel 3.2 Jenis Investasi Pada Modal

Jenis Investasi Kepemilikan Modal Metode Pengukuran


Entitas Asosiasi 20% 50% Metode ekuitas
Anak Perusahaan > 50% Konsolidasi
Ventura Bersama Sesuai Perjanjian Metode ekuitas
Operasi Bersama Sesuai Perjanjian Metode ekuitas

70. Dalam Ketentuan Pajak, harga perolehan harta diukur berdasarkan


jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan. Sedangkan dalam hal pengakuan
keuntungan atau kerugian yang timbul atas investasi jangka panjang, Ketentuan
Pajak hanya mengakui keuntungan atau kerugian yang telah terealisasi.
71. Dalam hal pengungkapan investasi jangka panjang, dilengkapi
dengan daftar investasi jangka panjang pada akhir Tahun Pajak dengan rincian
sebagai berikut:
(i) Nama perusahaan yang mengeluarkan surat berharga;
(ii) Jenis investasi, apakah dalam bentuk saham, obligasi, maupun harta lain-
lain;

118
(iii) Besar kepemilikan untuk investasi dalam bentuk saham;
(iv) Hubungan usaha dengan Wajib Pajak;
(v) Jumlah investasi dan nilainya pada awal tahun;
(vi) Jumlah investasi yang dibeli dan nilai perolehannya selama tahun
berjalan;
(vii) Jumlah investasi yang dijual, harga jual, biaya dan keuntungan/kerugian
dari penjualan dalam tahun berjalan;
(viii) Jumlah investasi pada akhir tahun;
(ix) Piutang penghasilan investasi pada awal tahun;
(x) Penghasilan investasi yang diperoleh selama tahun berjalan;
(xi) Jumlah investasi dan nilainya pada akhir tahun;
(xii) Piutang penghasilan investasi pada awal tahun;
(xiii) Penghasilan investasi yang diperoleh selama tahun berjalan;
(xiv) Penghasilan investasi yang diterima selama tahun berjalan;
(xv) Piutang penghasilan investasi pada akhir tahun.
A.2.2. Harta Tetap
72. Harta tetap adalah harta berwujud yang tidak dapat dicairkan
menjadi kas, atau dikonsumsi lebih dari satu tahun atau satu periode laporan
keuangan. Termasuk harta tetap adalah harta berwujud yang diperoleh dalam
bentuk siap pakai atau yang dibangun sendiri yang memenuhi kriteria:
(i) Dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau
jasa, untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif;
dan
(ii) Diperuntukkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode.
73. Harta tetap diakui jika dan hanya jika kemungkinan besar Wajib
Pajak akan memperoleh manfaat ekonomi masa depan dari harta tersebut, dan
biaya perolehan dapat diukur secara andal. Dalam Ketentuan Pajak, harta tetap
dikelompokkan berupa harta tetap yang dapat disusutkan (depreciable assets),
yang meliputi bangunan, mesin, dan peralatan lainnya; serta harta tetap yang
tidak dapat disusutkan (non-depreciable assets) seperti tanah.
74. Dalam hal pengukuran awal, sesuai dengan Ketentuan Pajak, harga
perolehan untuk harta tetap yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa adalah

119
berdasarkan jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan. Sedangkan harga
perolehan harta tetap yang berasal dari tukar-menukar adalah sebesar jumlah
yang seharusnya dikeluarkan berdasarkan harga pasar.
75. Bagi harta yang diperoleh berasal dari pengalihan berupa bantuan,
sumbangan atau harta hibahan yang tidak ada hubungan dengan usaha atau
pekerjaan antara pihak yang bersangkutan serta warisan, nilai perolehan atas
harta tersebut adalah sebesar nilai sisa buku dari pihak yang melakukan
pengalihan, atau nilai yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak jika pihak
yang melakukan pengalihan tidak melaksanakan pembukuan. Apabila
pengalihan harta bukan berasal dari pengalihan berupa bantuan, sumbangan
atau harta hibahan yang tidak ada hubungan dengan usaha atau pekerjaan
antara pihak yang bersangkutan serta warisan, nilai perolehan atas harta
tersebut sama dengan nilai pasar.
76. Dalam hal harta tetap dibangun sendiri, nilai perolehannya
ditentukan dengan menggunakan prinsip yang sama sebagaimana aset yang
diperoleh bukan dengan konstruksi sendiri. Dalam menentukan biaya
konstruksi, terdapat dua komponen utama, yaitu biaya langsung yang meliputi
penggunaan bahan baku dan biaya tenaga kerja, serta biaya tidak langsung atau
overhead cost. Untuk mengalokasikan biaya tidak langsung dalam menentukan
nilai suatu aset harus dilakukan berdasarkan proporsi yang tepat.
77. Ketentuan Pajak menjelaskan bahwa nilai perolehan yang dialihkan
dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau
pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau
diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditentukan lain oleh Menteri
Keuangan. Dalam hal Wajib Pajak melakukan penggabungan usaha (merger)
dengan Wajib Pajak lainnya, maka pihak yang menerima harta yang boleh
menggunakan nilai buku adalah Wajib Pajak yang tidak mempunyai sisa
kerugian atau uang mempunyai sisa kerugian yang lebih kecil dibandingkan
dengan Wajib Pajak yang mengalihkan harta berdasarkan sisa kerugian fiskal
dan komersial.
78. Dalam hal Wajib Pajak melakukan pemekaran usaha dengan Wajib
Pajak lainnya, maka pihak yang menerima harta dan dapat menggunakan nilai
buku adalah Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan:
(i) Belum go public yang akan melakukan penawaran umum perdana (Initial
Public Offering/IPO), atau

120
(ii) Wajib Pajak yang telah go public sepanjang seluruh badan usaha hasil
pemekaran melakukan penawaran umum perdana (Initial Public
Offering/IPO).
79. Bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan di atas, penerima
harta hanya boleh menggunakan nilai pasar atas harta yang dialihkan dalam
rangka pemekaran usaha.
80. Tata cara pemberian izin dalam hal penggunaan nilai buku atas
pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran
usaha diatur melalui Ketentuan Pajak. Penggunaan nilai buku atas harta dalam
rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha dapat dilakukan
dengan meminta persetujuan kepada Direktur Jenderal Pajak yang disertai
dengan:
(i) Alasan dan tujuan dilakukannya merger atau pemekaran usaha yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang menerima harta dalam rangka merger,
atau Wajib Pajak yang mengalihkan harta dalam rangka pemekaran
usaha;
(ii) Seluruh badan baik Wajib Pajak yang mengalihkan harta dan Wajib Pajak
yang menerima harta harus melunasi seluruh utang pajak, termasuk
utang pajak dari cabang atau perwakilan yang terdaftar di KPP di lokasi;
serta
(iii) Memenuhi persyaratan tujuan bisnis atau business purpose test di mana
laporan keuangan Wajib Pajak yang mengalihkan harta dan laporan
keuangan Wajib Pajak yang menerima harta harus diaudit oleh Akuntan
Publik, khususnya untuk Tahun Pajak dilakukannya pengalihan harta.
81. Pengukuran harta tetap setelah pengakuan awal dilakukan dengan
model biaya atau model revaluasi. Dalam model biaya, harta tetap dicatat pada
biaya perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi
penurunan nilai. Dalam hal penyusutan, Ketentuan Pajak membagi harta
berwujud kedalam dua kelompok, yaitu kelompok harta berwujud bukan
bangunan dan kelompok harta berwujud berupa bangunan. Kelompok harta
berwujud bukan bangunan dapat disusutkan dengan menggunakan metode
garis lurus maupun metode saldo menurun. Sedangkan untuk kelompok harta
berwujud berupa bangunan yang disusutkan menggunakan metode garis lurus.
Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, sedangkan untuk
harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutan dimulai pada bulan
selesainya pengerjaan. Penyusutan untuk harta tetap yang diperoleh dalam
rangka penggabungan, peleburan atau pemekaran usaha dilakukan

121
berdasarkan masa manfaat yang tersisa sesuai yang tercantum dalam
pembukuan pihak yang mengalihkan.
82. Untuk harta tetap berupa tanah, Standar Akuntansi Keuangan dalam
ISAK 25 par. 9 menyebutkan bahwa aset tetap berupa tanah dimungkinkan
untuk disusutkan. Berdasarkan Ketentuan Pajak, pengeluaran-pengeluaran
untuk memeroleh tanah hak milik, termasuk tanah berstatus hak guna
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali tidak boleh
disusutkan, kecuali tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau
dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut
berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan. Definisi
pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan, hak guna usaha, dan
hak pakai yang pertama kali adalah biaya perolehan tanah dari pihak ketiga dan
pengurusan hak-hak tersebut dari instansi yang berwenang untuk pertama
kalinya, sedangkan biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha,
dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut.
83. Untuk model revaluasi, harta tetap dicatat berdasarkan nilai wajar
pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi
penurunan nilai setelah tanggal revaluasi. Ketentuan Pajak yang mengatur
tentang penggunaan model revaluasi dalam pengukuran harta tetap hanya
dapat dilakukan kembali dalam jangka waktu 5 tahun sejak revaluasi terakhir
dilakukan. Selain itu, revaluasi harta tetap dilakukan untuk seluruh harta tetap
berwujud termasuk tanah dengan status hak milik atau hak guna bangunan, atau
seluruh harta tetap berwujud tidak termasuk tanah. Bagi Wajib Pajak yang
menggunakan model revaluasi, maka atas selisih lebih penilaian kembali harta
tetap di atas nilai sisa buku, diakui sebagai penghasilan pada periode
dilakukannya penilaian kembali dan dikenakan PPh bersifat final. Selama jangka
waktu 5 tahun setelah dilakukannya revaluasi, harta tetap disusutkan dengan
dasar penyusutan sebesar nilai revaluasi harta tersebut.
84. Apabila harta tetap yang digunakan oleh Wajib Pajak berasal dari
transaksi sewa guna usaha, atas harta tetap yang disewa-guna-usahakan harus
memiliki plakat atau etiket yang diberikan oleh pihak lessor yang digunakan
sebagai pembeda dengan harta tetap lainnya yang dimiliki sendiri oleh Wajib
Pajak. Plakat atau etiket tersebut harus dicantumkan nama dan alamat lessor
serta pernyataan bahwa harta tetap tersebut terikat dalam perjanjian sewa guna
usaha. Dalam transaksi sewa guna usaha dengan hak opsi, lessor maupun lessee
tidak dapat membebankan biaya penyusutan atas barang modal yang digunakan
sampai opsi untuk membeli dilakukan. Dasar penyusutan setelah opsi dilakukan
adalah sebesar nilai sisa harta tetap yang bersangkutan.

122
85. Dalam hal harta yang dimiliki dialihkan kepemilikannya atau
dihentikan penggunaannya, Wajib Pajak harus menghapus nilai harta yang
bersangkutan, akumulasi penyusutan dan mengakui untung atau rugi atas
pengalihan harta tersebut. Atas keuntungan atau kerugian yang terjadi dari
pengalihan harta tersebut dapat diakui sebagai penghasilan atau beban yang
diakui dalam perhitungan Penghasilan Kena Pajak.
86. Dalam hal penyusutan atas harta yang dialihkan untuk Tahun Pajak
terjadinya pengalihan harta dilakukan dengan perhitungan secara prorata
(perhitungan bulanan) berdasarkan masa manfaat yang tersisa sebagaimana
tercantum dalam pembukuan Wajib Pajak yang mengalihkan harta. Bagi Wajib
Pajak yang mengalihkan harta, penyusutan dilakukan secara prorata sampai
dengan bulan dilakukannya pengalihan harta dengan metode penyusutan yang
dianut Wajib Pajak yang bersangkutan. Bagi Wajib Pajak yang menerima harta,
penyusutan dilakukan secara prorata sebanyak sisa bulan sesudah bulan
pengalihan harta dengan menggunakan metode penyusutan yang dianut oleh
Wajib Pajak yang bersangkutan.
87. Untuk keperluan penyajian, perusahaan harus membuat daftar untuk
masing-masing harta tetap menurut golongannya dengan rincian sebagai
berikut:
(i) Nilai buku pada awal tahun;
(ii) Penambahan selama tahun berjalan;
(iii) Pemindahan dari bangunan dalam penegerjaan, bila ada;
(iv) Penarikan selama tahun berjalan, karena sebab biasa dan luar biasa;
(v) Akumulasi penyusutan;
(vi) Dasar penyusutan;
(vii) Tarif penyusutan;
(viii) Penyusutan tahun berjalan;
(ix) Nilai buku pada akhir tahun.
A.2.3. Harta Tak Berwujud
88. PSAK 19 mendefinisikan harta tak berwujud sebagai harta non-
moneter yang dapat diidentifikasi tanpa wujud fisik. Untuk menentukan apakah
suatu pengeluaran dapat dikategorikan sebagai harta tak berwujud, terdapat
tiga karakteristik mendasar yaitu keteridentifikasian, pengendalian dan adanya
manfaat ekonomi masa depan. Dalam hal pengakuan, harta tak berwujud diakui

123
jika dan hanya jika kemungkinan besar Wajib Pajak akan memperoleh manfaat
ekonomi masa depan dari aset tersebut, dan biaya perolehan aset tersebut dapat
diukur secara andal.
89. Dalam hal pengukuran awal, PSAK 19 menyaratkan bahwa harta tak
berwujud diakui sebesar biaya perolehan, yang meliputi: harga beli, termasuk
bea masuk dan pajak pembelian yang tidak dapat direstitusi, setelah dikurangi
diskon dan rabat, dan seluruh biaya yang dapat diatribusikan secara langsung
dalam mempersiapkan harta untuk digunakan sesuai dengan intensinya. Atas
goodwill yang dihasilkan secara internal tidak boleh diakui sebagai harta karena
goodwill tersebut bukan merupakan suatu sumber daya yang teridentifikasi
(tidak dapat dipisahkan dan tidak timbul dari hak kontraktual atau hak hukum
lain) yang dikendalikan oleh entitas dan dapat diukur secara andal biaya
perolehannya. Dalam hal pengukuran setelah pengakuan awal, harta tak
berwujud diukur menggunakan model biaya maupun model revaluasi.
90. PSAK 19 juga menjelaskan dua jenis harta tak berwujud yang dilihat
dari masa manfaatnya, yaitu harta tak berwujud dengan masa manfaat terbatas
dan tidak terbatas. Harta tak berwujud dianggap memiliki masa manfaat tidak
terbatas jika berdasarkan analisis dari seluruh faktor relevan tidak ada batas
yang terlihat pada saat ini atas periode aset diperkirakan meghasilkan arus kas
neto untuk Wajib Pajak. Harta tak berwujud yang memiliki masa manfaat tidak
terbatas tidak diamortisasi.
91. Berdasarkan Ketentuan Pajak, pengukuran harta tak berwujud
diukur sebesar biaya perolehan sesuai Ketentuan Pajak, yaitu sesuai dengan
jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar
(nilai wajar aset). Atas pengeluaran berupa biaya penelitian dan pengembangan
yang dilakukan di Indonesia, secara ketentuan pajak boleh dikurangkan dari
laba bruto, sehingga tidak dikapitalisasi terhadap harta tidak berwujud yang
dikembangkan.
92. Ketentuan mengenai amortisasi dalam Ketentuan Pajak menjelaskan
bawa harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk
biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, muhibah
(goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun diamortisasi
dengan menggunakan metode garis lurus atau metode saldo menurun.
Berdasarkan ketentuan tersebut, seluruh harta tak berwujud harus dilakukan
amortisasi. Untuk harta tak berwujud yang secara akuntansi dikategorikan
sebagai harta tidak berwujud dengan masa manfaat tidak terbatas digolongkan
ke dalam kelompok 4 dan diamortisasi selama 20 tahun sesuai dengan masa

124
manfaat terdekat antara akuntansi keuangan dan akuntansi untuk tujuan pajak.
Amortisasi dimulai pada bulan saat dilakukannya pengeluaran dan untuk
amortisasi tahun pertama dilakukan secara prorata.
93. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan
pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun di bidang
penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode
satuan produksi. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak
penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, dan hak
pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa
manfaat lebih dari satu tahun, dilakukan menggunakan metode satuan produksi
paling tinggi 20% setahun.
94. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud
dan pengeluaran lainnya untuk bidang usaha tertentu dimulai pada bulan saat
dilakukannya pengeluaran atau pada bulan saat produksi komersial, yaitu pada
bulan di mana penjualan mulai dilakukan. Bidang usah tertentu yang dimaksud,
adalah:
(i) Bidang usaha kehutanan, yang meliputi bidang usaha hutan, kawasan
hutan, dan hasil hutan yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali
dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari satu tahun. Oleh
karenanya, amortisasi untuk bidang usaha ini dilakukan setelah lebih dari
satu tahun.
(ii) Bidang usaha perkebunan tanaman keras, merupakan bidang usaha
perkebunan yang tanamannya dapat beproduksi berkali-kali dan baru
menghasilkan setelah ditanam lebih dari satu tahun.
(iii) Bidang usaha peternakan, yaitu bidang usaha peternakan di mana ternak
dapat berproduksi berkali-kali dan baru dapat dijual setelah dipelihara
sekurangnya satu tahun.
95. Dalam hal pembebanan atas pengeluaran/biaya perolehan dan
upgrade perangkat lunak komputer berupa program aplikasi umum yang
dimiliki dan digunakan dalam kegiatan usaha dilakukan secara sekaligus dalam
bulan pengeluaran. Untuk program aplikasi yang diperoleh sebagai bagian dari
harga pembelian perangkat keras komputer, pembebanannya termasuk dalam
penyusutan perangkat keras komputer sesuai dengan Ketentuan Pajak, yaitu
masuk dalam kelompok 1. Dalam hal pengeluaran/biaya perolehan dan upgrade
perangkat lunak berupa program aplikasi khusus yang dimiliki dan
dipergunakan dalam kegiatan usaha, pembebanannya dilakukan dengan
amortisasi harta tak berwujud kelompok 1. Untuk pengeluaran/biaya upgrade

125
program aplikasi khusus tersebut terlebih dahulu ditambahkan pada nilai sisa
buku fiskal yang masih ada, amortisasi dilakukan dengan masa manfaat
baru/penuh terhitung mulai bulan dilakukan upgrade.
96. Selanjutnya, terkait dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) terkait hak atas tanah yang dimiliki dan dipergunakan
dalam perusahaan, atau dimiliki untuk kegiatan usaha dapat dikurangkan
sebagai biaya melalui amortisasi hak atas tanah sesuai Ketentuan Pajak. Dalam
hal penghentian atau pelepasan harta tak berwujud sesuai PSAK 19 dijelaskan
bahwa harta tidak berwujud tidak diakui lagi saat dalam proses pelepasan atau
tak ada lagi manfaat ekonomis masa depan.
A.2.4. Aset Pajak Tangguhan
97. Aset pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan yang dapat
dipulihkan pada periode mendatang sebagai akibat adanya: (i) perbedaan
temporer dapat dikurangkan, (ii) akumulasi rugi pajak belum dikompensasi,
dan (iii) akumulasi kredit pajak belum dimanfaatkan, dalam hal peraturan
perpajakan mengizinkan. Perbedaan temporer dapat dikurangkan merupakan
perbedaan temporer yang menimbulkan jumlah yang dapat dikurangkan dalam
penghitungan laba kena pajak (rugi pajak) periode mendatang ketika jumlah
tercatat aset atau liabilitas dipulihkan atau diselesaikan. Aset pajak tangguhan
dapat disamakan sebagai lebih bayar pajak yang akan digantikan di masa yang
akan datang pada saat pemulihan perbedaan temporer.
98. Pengakuan aset pajak tangguhan dilakukan jika terdapat perbedaan
temporer yang dapat terpulihkan di masa depan sebagai akibat dari jumlah
biaya atau pendapatan yang berbeda dalam alokasi waktu. Untuk aset pajak
tangguhan yang timbul dari kompensasi rugi, saldo aset pajak tangguhan akan
terpulihkan pada saat Wajib Pajak menggunakan kompensasi rugi pada tahun
terjadinya laba, dan apabila kompensasi rugi tidak digunakan maka saldo aset
pajak tangguhan harus disesuaikan.
99. Perbedaan temporer dapat dikurangkan yang akan menghasilkan
aset pajak tangguhan, diantaranya:
1. Biaya manfaat pensiun secara akuntansi dapat dikurangkan saat jasa
diberikan oleh pekerja, namun secara ketentuan pajak biaya manfaat
pensiun dapat dikurangkan ketika iuran pensiun dibayar oleh Wajib Pajak
kepada suatu dana pensiun atau ketika manfaat pensiun dibayar oleh
entitas;

126
2. Biaya riset yang diakui sebagai beban dalam akuntansi pada periode
terjadinya namun secara pajak tidak diperkenankan sebagai pengurang
dalam menentukan penghasilan kena pajak (rugi pajak) hingga periode
kemudian;
3. Dengan beberapa pengecualian, entitas mengakui aset teridentifikasi
yang diperoleh dan liabilitas yang diambil alih dalam kombinasi bisnis
dengan nilai wajar pada tanggal akuisisi;
4. Aset tertentu yang mungkin dicatat pada nilai wajar, atau direvaluasi
tanpa penyesuaian setara yang dibuat untuk tujuan pajak, yang dapat
timbul ketika dasar pengenaan pajak aset melebihi jumlah tercatatnya.
100. Sedangkan untuk aset pajak tangguhan yang berasal dari rugi pajak
belum dikompensasi dan kredit pajak belum dimanfaatkan diakui sepanjang
kemungkinan besar Penghasilan Kena Pajak mendatang akan tersedia untuk
dimanfaatkan dengan rugi pajak belum dikompensasi dan kredit pajak belum
dimanfaatkan.
101. Dalam hal pengukuran, aset pajak tangguhan dihitung berdasarkan
tarif pajak yang berlaku atau tarif efektif berlaku di masa yang akan datang
dikalikan dengan jumlah perbedaan temporer yang dapat dikurangkan.
Walaupun aset pajak tangguhan merupakan dampak pajak di masa yang akan
datang, namun pengukurannya tidak perlu didiskontokan (discounted).
102. Dalam hal penyajian, aset pajak tangguhan disajikan terpisah dengan
aset atau kewajiban pajak kini dan disajikan dalam unsur harta tidak lancar.
Penyajian aset pajak tangguhan dengan kewajiban pajak tangguhan dilakukan
dengan cara saling hapus, jika dan hanya jika:
(i) Wajib Pajak memiliki hak yang dapat dipaksakan secara hukum untuk
melakukan saling hapus aset pajak kini terhadap kewajiban pajak kini;
dan
(ii) Aset pajak tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan terkait dengan PPh
yang dikenakan oleh otoritas perpajakan yang sama atas entitas kena
pajak yang sama, atau entitas kena pajak yang berbeda yang bermaksud
untuk memilihkan aset dan kewajiban pajak kini dengan dasar neto, atau
merealisasikan aset dan menyelesaikan kewajiban secara bersamaan,
pada setiap periode mendatang di mana jumlah signifikan atas aset atau
kewajiban pajak tangguhan diperkirakan untuk diselesaikan atau
dipulihkan.

127
A.2.5. Harta Lain-Lain
103. Harta lain-lain merupakan kelompok harta yang tidak memenuhi
kriteria harta-harta yang telah disebutkan di atas.

B. UTANG

104. Kewajiban adalah utang perusahaan masa kini yang timbul dari
peristiwa masa lalu yang penyelesaiannya diperkirakan mengakibatkan
pengeluaran sumber daya perusahaan. Utang atau kewajiban didefinisikan
sebagai suatu tugas atau tanggung jawab untuk bertindak atau untuk
melaksanakan sesuatu dengan cara tertentu.
105. Definisi utang dalam Ketentuan Pajak adalah pengorbanan ekonomis
yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak di masa yang akan datang dalam bentuk
penyerahan harta atau pemberian jasa yang disebabkan oleh tindakan atau
transaksi pada masa lalu. Penyajian utang antara Standar Akuntansi Keuangan
dan Ketentuan Pajak memiliki hubungan yang erat. Oleh karenanya, penyajian
utang untuk keperluan pajak dapat mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan,
kecuali untuk beberapa hal, diantaranya penyajian utang kepada pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa, penyajian utang pajak, serta pengakuan
provisi dalam Standar Akuntansi Keuangan yang tidak diperkenankan dalam
Ketentuan Pajak.
106. Provisi menurut Standar Akuntansi keuangan adalah liabilitas yang
waktu dan jumlahnya belum pasti. Provisi diakui apabila:
(i) Perusahaan memiliki kewajiban kini, baik yang bersifat hukum maupun
bersifat konstruktif sebagai akibat peristiwa masa lalu;
(ii) Kemungkinan besar penyelesaian kewajiban tersebut mengakibatkan
arus keluar sumber daya yang mengandung manfaat ekonomi; dan
(iii) Estimasi yang andal mengenai jumlah kewajiban tersebut dapat dibuat.
107. Dalam Ketentuan Pajak, tidak memperkenankan adanya pengakuan
provisi. Oleh karena itu, penyusunan Laporan Posisi Keuangan untuk tujuan
pajak dalam hal pengakuan provisi tidak dapat mengikuti Standar Akuntansi
Keuangan yang berlaku. Ini sama halnya dengan ketentuan pajak di Amerika
Serikat, pembebanan biaya tidak diperkenankan untuk kewajiban yang
mungkin tidak pernah terjadi, sehingga kewajiban atau biaya tidak dapat diakui
selama penyelesaiannya belum pasti.

128
108. Dalam Ketentuan Pajak, Menteri Keuangan berwenang mengatur
tentang penentuan besarnya perbandingan antara utang dan modal untuk
keperluan penghitungan pajak. Perbandingan antara utang dan modal
ditetapkan paling tinggi sebesar empat banding satu (4 : 1). Apabila
perbandingan antara utang dan modal melebihi ketentuan tersebut,
konsekuensinya biaya pinjaman yang diperhitungkan dalam penghasilan kena
pajak hanya sebesar biaya pinjaman sesuai dengan perbandingan yang
disyaratkan.
109. Termasuk dalam komponen biaya pinjaman yang diperhitungkan
meliputi bunga pinjaman, diskonto dan premium yang terkait, biaya tambahan
terkait dengan perolehan pijaman, beban keuangan dalam sewa pembiayaan,
biaya imbalan jaminan pengembalian utang dan selisih kurs yang berasal dari
pinjaman dalam mata uang asing sepanjang selisih kurs tersebut sebagai
penyesuaian terhadap biaya bunga.
110. Secara umum, utang dinilai atas dasar jumlah rupiah yang arus
dikeluarkan seandainya saat itu kewajiban harus dilunasi (current settlement).
Penyelesaian utang dapat dilakukan dengan pelunasan maupun dibebaskan
secara hukum saat debitur telah dinyatakan tidak dapat melunasi utangnya.
111. Dalam penyajiannya dalam Laporan Posisi Keuangan untuk tujuan
pajak, utang dikelompokkan menjadi utang jangka pendek dan utang jangka
panjang.
B.1. Utang Jangka Pendek
112. Utang jangka pendek meliputi utang yang diharapkan akan
dipenuhi/dilunasi dalam jangka waktu satu tahun dengan menggunakan
sumber-sumber yang merupakan harta lancar atau dengan menimbulkan utang
lancar dilainnya. Hutang jangka pendek merupakan hutang dengan jangka
waktu pelunasan dalam periode akuntansi normal maupun dalam jangka waktu
12 bulan setelah akhir Tahun Pajak.
113. Utang diklasifikasikan menjadi utang jangka pendek, jika memenuhi
ketentuan:
(i) Akan diselesaikan dalam satu siklus operasi normal;
(ii) Memiliki utang untuk tujuan diperdagangkan;
(iii) Jatuh tempo dalam jangka waktu 12 bulan setelah periode pelaporan; atau
(iv) Tidak memiliki hak tanpa syarat untuk menunda penyelesaian utang
sekurangnya 12 bulan setelah periode pelaporan.

129
114. Yang termasuk dalam kategori utang jangka pendek diantaranya
meliputi:
B.1.1. Utang Usaha
115. Utang usaha merupakan jumlah tagihan yang harus dibayarkan
kepada pemasok atau pihak lain atas pembelian barang atau jasa yang dilakukan
secara kredit. Pengakuan utang usaha dilakukan apabila telah dilakukan
penyerahan barang atau penyelesaian jasa yang dilakukan oleh pemasok. Saat
penyerahan barang ditentukan berdasarkan metode pengiriman apa yang
ditetapkan. Untuk metode f.o.b shipping point, utang usaha diakui pada saat
barang telah dikirimkan oleh pemasok. Untuk metode f.o.b destination point,
utang diakui pada saat barang telah diterima. Dalam hal ini, pengakuan utang
usaha harus sejalan dengan pengakuan persediaan.
116. Dalam hal pengukuran, utang dagang dinilai berdasarkan harga
transaksi dengan pemasok atau pihak lain yang didasarkan pada faktur
pembelian. Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah ada atau tidaknya
potongan pembelian yang diberikan oleh pemasok. Dalam transaksi yang
dilakukan secara kredit, pihak penjual pasti memberikan kontrak pembelian
yang dinyatakan dengan kuotasi 2/10, n/30 atau 2/10, n/e.o.m. Arti dari kuotasi
tersebut adalah pembelian akan diberikan potongan sebesar 2% jika dibayarkan
dalam jangka waktu 10 hari setelah tanggal transaksi, dan jangka waktu kredit
yang berlaku adalah 30 hari atau jatuh tempo pada akhir bulan. Dalam hal
perusahaan akan memanfaatkan potongan pembelian yang diberikan oleh
pemasok, pengakuan utang dapat dicatat sebesar nilai bersih yang sudah
termasuk potongan pembelian.
117. Utang usaha harus disajikan secara terpisah antara utang usaha
jangka pendek dan utang usaha jangka panjang. Utang usaha jangka pendek
merupakan utang usaha yang akan jatuh tempo dalam jangka waktu 12 bulan
sejak akhir Tahun Pajak. Utang usaha jangka panjang merupakan utang usaha
dengan jatuh tempo lebih dari 12 bulan sejak akhir Tahun Pajak.
B.1.2. Utang Sewa
118. Selain utang usaha yang berkaitan dengan usaha Wajib Pajak, utang
sewa juga merupakan komponen kewajiban yang dimiliki oleh Wajib Pajak
dalam hal Wajib Pajak bertindak sebagai lessee. Utang sewa dapat timbul apabila
Wajib Pajak melakukan transaksi sewa guna usaha dengan pihak lessor, dan atas
pembayaran iuran sewa telah terutang namun belum dilakukan
pembayarannya.

130
119. Terdapat dua jenis sewa yang diakui secara akuntansi maupun
secara , yaitu sewa guna usaha dengan hak opsi (sewa pembiayaan), dan sewa
guna usaha tanpa hak opsi (sewa operasi). Untuk sewa guna usaha dengan hak
opsi, pengakuan awal utang atau kewajiban yang diakui oleh lessee adalah
sebesar nilai kini dari pembayaran sewa minimum, jika nilai kini tersebut lebih
rendah daripada nilai wajar.
B.1.3. Utang dalam Hubungan Istimewa
120. Utang dalam Hubungan Istimewa adalah saldo tagihan utang dari
transaksi yang dilakukan dengan pihak di mana Wajib Pajak mempunyai
Hubungan Istimewa. Dalam hal pengakuan utang dalam Hubungan Istimewa,
ketentuannya mengikuti pengakuan utang berdasarkan Standar Akuntansi
Keuangan. Utang dalam Hubungan Istimewa diukur berdasarkan nilai wajar
transaksi, sesuai dengan prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
121. Sedangkan untuk pengungkapan terkait transaksi utang dalam
Hubungan Istimewa harus dilengkapi dengan dokumen yang mendukung
bahwa transaksi tersebut telah dilakukan berdasarkan prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha (ketentuan lebih lanjut dijelaskan dalam Bab 4).
B.1.4. Wesel Bayar
122. Wesel bayar merupakan perjanjian tertulis untuk membayar
sejumlah uang pada tanggal tertentu. Dalam aktivitas bisnisnya, perusahaan
menggunakan wesel bayar sebagai jaminan untuk memberikan utang. Terdapat
dua jenis wesel bayar, yaitu wesel bayar dengan bunga dan wesel bayar
premium.
123. Wesel bayar dengan bunga secara eksplisit menetapkan tingkat
bunga yang harus dibayar. Sebagai contoh, Bank ABC mengeluarkan wesel bayar
dengan nilai nominal Rp 10.000.000 dengan bunga 6% dan dalam jangka waktu
4 bulan. Sedangkan wesel bayar premium tidak ditetapkan bunga yang harus
dibayar, melainkan dengan menetapkan harga nominal secara premium.
Sebagai contoh, Bank ABC mengeluarkan wesel bayar kepada PT DEF dengan
perjanjian 4 bulan mendatang akan membayar sejumlah uang sebesar Rp
10.200.000. Atas nilai tersebut, dilakukan perhitungan nilai sekarang dengan
memperhatikan tingkat suku bunga yang berlaku, asumsi nilai sekarang adalah
sebesar Rp 10.000.000.
124. Wesel bayar dicatat sebesar saldo nilai kewajiban yang masih harus
dibayar atau akan jatuh tempo setelah akhir Tahun Pajak. Dalam hal penyajian

131
dan pengungkapan, wesel bayar harus dipisahkan antara wesel bayar jangka
pendek dan wesel bayar jangka panjang.
B.1.5. Utang Bank Jangka Pendek
125. Utang bank jangka pendek merupakan pinjaman yang diberikan oleh
bank kepada Wajib Pajak dengan jatuh tempo kurang dari 12 bulan setelah
tanggal pelaporan. Utang bank diakui jika terdapat kewajiban untuk melunasi
kewajiban per tanggal Laporan Posisi Keuangan. Pengukuran nilai utang bank
terdiri dari komponen pokok utang, ditambah dengan biaya transaksi, termasuk
bunga.
B.1.6. Bagian Utang Jangka Panjang
126. Utang obligasi jangka pendek meliputi obligasi dengan jangka waktu
kurang dari satu tahun serta bagian obligasi jangka panjang yang jatuh tempo
dalam jangka waktu 12 bulan setelah akhir Tahun Pajak. Utang obligasi jangka
pendek diakui untuk memberikan informasi bahwa untuk periode setelah akhir
Tahun Pajak, perusahaan memiliki kewajiban untuk melunasi sejumlah utang
tertentu.
127. Secara Ketentuan Pajak, pelaporan utang obligasi jangka pendek
tidak diatur secara khusus, sehingga pelaporan untuk tujuan pajak mengikuti
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku.
B.1.7. Pendapatan Diterima di Muka
128. Pendapatan diterima di muka menimbulkan suatu kewajiban karena
merupakan suatu tugas atau tanggung jawab Wajib Pajak yang belum
terlaksana, yang dapat berupa transaksi penyerahan barang atau penyediaan
jasa.
129. Pendapatan diterima di muka diakui berdasarkan bukti penerimaan
uang untuk transaksi penjualan barang atau penjualan jasa yang belum
dilakukan oleh Wajib Pajak.
B.1.8. Biaya yang Masih harus Dibayar
130. Biaya yang masih harus dibayar merupakan saldo tagihan atas biaya-
biaya untuk jasa yang telah diterima atau pembayaran yang belum terutang
karena belum jatuh tempo pada akhir Tahun Pajak. Biaya yang masih harus
dibayar diukur sebesar nilai saldo atas biaya yang masih harus dibayar atau
terutang pada akhir Tahun Pajak.

132
B.1.9. Utang Pajak
131. Utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi
administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam Surat
Ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan Ketentuan Pajak.
132. Utang pajak yang dimaksud tidak dibatasi hanya pada utang PPh,
PPN, dan PPnBM, tetapi meliputi pula PBB, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB), Bea Meterai, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta
seluruh sanksi pajak yang belum dilunasi. Utang pajak yang dicatat dalam
laporan keuangan adalah sebesar nilai utang pajak yang harus dibayar atau
terutang pada tanggal pelaporan.
133. Selain yang disebutkan di atas, utang pajak dapat timbul karena hasil
pemeriksaan sebagaimana tercantum dalam Surat Tagihan Pajak (STP), Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.
134. Jenis-jenis utang pajak yang belum disetorkan Wajib Pajak ke kas
negara, meliputi:
1. Pemotongan PPh atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang
kepada Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP)

135. Utang pajak terkait pemotongan PPh atas penghasilan yang


diberikan kepada WPOP merupakan pajak yang dipotong atas seluruh
pembayaran kepada karyawan sehubungan dengan pekerjaan, yang pada akhir
Tahun Pajak yang belum disetorkan ke kas negara. Utang pajak harus dilengkapi
dengan daftar yang berisi rincian sebagai berikut:
(i) Utang Pemotongan PPh atas penghasilan yang diberikan kepada WPOP
selama tahun berjalan termasuk utang pada awal tahun;
(ii) Pembayaran/penyetoran yang telah dilakukan pada tahun berjalan; serta
(iii) Utang PPh yang masih harus dibayar pada akhir tahun (selisih poin i dan
poin ii).
2. Pemungutan PPh yang dilakukan oleh Pihak Pemungut

136. Utang pajak atas pemungutan PPh merupakan PPh yang dipungut
berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain
maupun melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah yang belum
disetorkan ke kas negara. Utang pajak atas pemungutan penghasilan tertentu
berlaku bagi badan usaha tertentu yang dikategorikan sebagai Pihak Pemungut.

133
3. Pemotongan PPh atas jenis penghasilan tertentu yang dibayarkan
atau terutang kepada Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) Badan

137. Utang pajak atas pemotongan PPh atas penghasilan tertentu yang
dibayarkan atau terutang kepada WPDN Badan dapat berupa utang pemotongan
PPh atas: (i) pembayaran dividen kepada WPDN Badan dan BUT, (ii) bunga
termasuk imbalan jaminan pengembalian utang, pembayaran sewa, (iii) royalti
dan penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta, serta (iv) imbalan yang
dibayarkan untuk jasa teknik dan jasa manajemen yang dilakukan di Indonesia.
Pemotongan PPh atas jenis penghasilan tertentu yang dilakukan oleh pihak
pemotong wajib disetorkan kepada kas negara dan menjadi kewajiban (utang)
bagi Wajib Pajak yang memotong.
4. Angsuran PPh/PPh kurang bayar pada tahun berjalan
138. Angsuran PPh merupakan angsuran pajak dalam tahun berjalan yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setiap bulannya. Angsuran pajak yang
harus dilunasi setiap bulannya sesuai dengan Ketentuan Pajak adalah sebesar
pajak penghasilan terutang sesuai dengan SPT (PPh kurang bayar) Tahun Pajak
yang lalu dikurangi dengan PPh yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak
lain, dibagi 12 bulan. Angsuran PPh terutang setiap bulannya dan harus dilunasi
paling lama tanggal 15 setelah masa pajak berakhir. PPh kurang bayar
merupakan pajak terutang untuk tahun berjalan.
5. Pemotongan PPh atas jenis penghasilan tertentu yang dibayarkan
atau terutang kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN)
139. Pemotongan PPh atas jenis penghasilan tertentu yang dibayarkan
atau terutang kepada WPLN dapat berupa utang pemotongan PPh atas: (i)
pembayaran dividen dari perseroan dalam negeri, (ii) bunga termasuk
premium, diskonto dan imbalan pengembalian utang, (iii) sewa, (iv) royalti dan
penghasilan penggunaan harta, (v) imbalan sehubungan dengan jasa, (vi)
pekerjaan dan kegiatan, (vii) hadiah dan penghargaan, (viii) pensiun dan
pembayaran berkala lainnya, (ix) premi swap dan transaksi lindung nilai, (x)
keuntungan pembebasan utang, (xi) serta keuntungan sesudah dikurangi pajak
dari usaha BUT di Indonesia.
6. PPh Final
140. Utang PPh Final merupakan pemotongan PPh Final atas pembayaran
objek pajak yang bersifat final kepada pihak lain yang belum dilakukan
penyetoran ke kas negara pada akhir Tahun Pajak. Penyetoran PPh Final
dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak

134
berakhir, sedangkan pelaporan pemotongan pajak dilakukan melalui SPT Masa
paling lama 20 hari setelah masa pajak berakhir.
7. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
141. PBB adalah pajak negara yang dikenakan terhadap bumi dan
bangunan berdasarkan Ketentuan Pajak. Bumi yang dimaksud adalah
permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada di pedalaman
serta laut wilayah Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam
atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan. PBB terutang oleh
Wajib Pajak atas kepemilikan hak atas bumi, memperoleh manfaat atas bumi,
memiliki dan/atau menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
142. Pengakuan PBB yang terutang pada tahun berjalan harus dilengkapi
dengan daftar yang berisi rincian berupa: objek pajak, letak/alamat, luas, utang
PBB tahun berjalan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
PBB dan/atau Keputusan Pengurangan PBB terutang.
8. Utang pajak lainnya, berupa pajak kurang bayar karena Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan lain-lain.
143. Utang pajak yang berasal dari STP, SKPKB, SKPKBT, dan lain-lain
merupakan kewajiban Wajib Pajak. Pelunasan pajak yang kurang dibayar yang
berasal dari STP, SKPKB, dan lainnya, seperti Pajak Hotel dan Restoran yang
merupakan kewajiban Wajib Pajak untuk menyetorkan ke kas negara namun
pada akhir Tahun Pajak belum dilaksanakan.
B.1.10. Kewajiban Imbalan Kerja
144. Imbalan kerja yang didefinisikan dalam PSAK 24 adalah seluruh
bentuk imbalan yang diberikan entitas dalam pertukaran atau jasa yang
diberikan oleh pekerja atau untuk terminasi kontrak kerja. Imbalan kerja
meliputi seluruh imbalan yang diberikan kepada pekerja atau tanggungannya
atau penerima manfaat dan dapat diselesaikan dengan pembayaran atau dengan
penyediaan barang atau jasa, baik secara langsung kepada pekerja, pasangan
hidup mereka, anak-anak atau tanggungan lain, atau kepada pihak lain, seperti
perusahaan asuransi.
145. Kewajiban imbalan kerja yang diakui dalam Laporan Posisi
Keuangan untuk tujuan pajak adalah sebesar kewajiban yang harus dibayarkan
oleh Wajib Pajak kepada pekerja yang jatuh tempo dalam waktu kurang dari 12
bulan setelah akhir Tahun Pajak. Estimasi kewajiban imbalan kerja jangka
panjang tidak dapat diakui dan disajikan dalam Laporan Posisi Keuangan untuk
tujuan pajak karena jumlahnya yang tidak pasti, seperti provisi.

135
B.1.11. Utang Dividen
146. Utang dividen merupakan dividen yang tersedia untuk dibayarkan
kepada pemegang saham. Utang dividen bagi Wajib Pajak yang tidak terdaftar di
bursa (non-go public) diakui pada saat pengumuman pembagian dividen
berdasarkan keputusan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau pada
saat Rapat Direksi dalam hal pembagian dividen interim. Bagi Wajib Pajak yang
terdaftar di bursa (go public), utang dividen diakui pada tanggal penentuan
kepemilikan pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Wajib
Pajak mencatat utang dividen sebesar jumlah yang akan dibayarkan secara kas.
Utang dividen yang dicatat harus dilengkapi dengan daftar yang berisi rincian
sebagai berikut:
(i) Utang dividen awal tahun;
(ii) Pembagian dividen selama tahun berjalan yang dicatat berdasarkan
dokumen pendukung berupa risalah Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) atau rapat direksi;
(iii) Pembayaran dividen selama tahun berjalan yang dilengkapi dengan bukti
pembayaran;
(iv) Utang dividen pada akhir tahun.
B.2. Utang Jangka Panjang
147. Utang jangka panjang merupakan utang yang jatuh tempo lebih dari
satu periode akuntansi keuangan. Utang jangka panjang dapat dikelompokkan
menjadi tiga jenis, yaitu: (i) utang yang berasal dari aktivitas pembiayaan seperti
utang obligasi, (ii) utang sewa jangka panjang dan wesel bayar jangka panjang,
serta (iii) utang atas kegiatan usaha normal perusahaan berupa utang pensiun
dan utang pajak tangguhan.
148. Utang jangka panjang disajikan dalam jumlah setelah dikurangi
dengan bagian yang akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun setelah akhir
Tahun Pajak yang disajikan sebagai utang lancar, kecuali bila pelunasannya
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
(i) Menggunakan sumber-sumber yang tidak merupakan harta lancar;
(ii) Ditutup dengan utang jangka panjang yang baru; atau
(iii) Dialihkan menjadi modal saham.

136
B.2.1. Utang Obligasi
149. Utang obligasi merupakan perjanjian untuk membayar sejumlah
uang pada tanggal jatuh tempo yang telah ditentukan yang disertai dengan
pembayaran bunga secara berkala pada tingkat suku bunga tertentu. Terdapat
beberapa jenis utang obligasi yang dikategorikan berdasarkan jaminan maupun
berdasarkan hak penukarannya.
150. Utang obligasi berdasarkan jaminannya adalah secure bond dan
unsecure bond. Secure bond merupakan obligasi yang dijaminkan dengan
menggunakan kekayaan tertentu yang dimiliki oleh penerbit obligasi maupun
oleh pihak ketiga. Unsecure bond merupakan obligasi yang tidak dijamin dengan
menggunakan kekayaan teertentu yang dimiliki oleh penerbitnya.
151. Berdasarkan hak penukarannya, utang obligasi terbagi kedalam
empat jenis, yaitu:
(i) Convertible bond
152. Convertible bond merupakan obligasi yang dapat dipertukarkan
dengan saham perusahaan penerbit.
(ii) Exchangeable bond
153. Exchangeable bond merupakan obligasi yang memberikan hak
kepada pemegang obligasi untuk menukar saham perusahaan ke dalam
sejumlah saham perusahaan afiliasi milik penerbitnya.
(iii) Callable bond
154. Callable bond merupakan obligasi yang memberikan hak kepada
emiten untuk membeli kembali obligasi pada harga tertentu sepanjang umur
obligasi tersebut.
(iv) Putable bond
155. Putable bond merupakan obligasi yang memberikan hak kepada
investor yang mengharuskan emiten untuk membeli kembali obligasi pada
harga tertentu sepanjang umur obligasi tersebut.
156. Utang obligasi dinilai berdasarakan jumlah rupiah yang diterima
dalam penerbitan obligasi, sedangkan diskon dan premium merupakan jumlah
rupiah penyesuaian bunga nominal untuk mendapatkan bunga efektif.

137
B.2.2. Utang Subordinasi
157. Utang subordinasi adalah pinjaman yang diperoleh berdasarkan
perjanjian subordinasi, pinjaman ini baru dapat dilunasi apabila Wajib Pajak
telah melunasi kewajiban tertentu atau kewajiban lainnya. Dalam definisi
lainnya, utang subordinasi merupakan jenis pinjaman dengan kewajiban
pelunasan paling terakhir diantara pinjaman atau kewajiban lainnya. Dalam hal
likuidasi, pemegang pinjaman subordinasi akan mendapat hak atas aset bersih
setelah kreditur lainnya mendapat pembayaran secara penuh, sehingga jenis
pinjaman ini sering dikategorikan sebagai saham junior (junior security).
158. Untuk dapat mencatat utang subordinasi perlu dilengkapi dengan
daftar yang berisi rincian berupa nama kreditur, jangka waktu, suku bunga,
jaminan atau persyaratan utang.
B.2.3. Kewajiban Pajak Tangguhan
159. Kewajiban pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan
terutang pada periode masa depan sebagai akibat adanya perbedaan temporer
kena pajak. Perbedaan temporer kena pajak merupakan perbedaan temporer
yang menimbulkan jumlah kena pajak dalam penentuan laba kena pajak (rugi
pajak) periode masa depan ketika jumlah tercatat aset atau liabilitas dipulihkan
atau diselesaikan. Kewajiban pajak tangguhan terjadi apabila penghasilan
sebelum pajak dalam laporan keuangan lebih kecil dari Penghasilan Kena Pajak
pada SPT Tahunan
160. Kewajiban pajak tangguhan diakui jika terdapat perbedaan temporer
kena pajak atau terdapat koreksi positif, kecuali perbedaan temporer kena pajak
yang timbul dari: (i) pengakuan awal goodwill; atau (ii) pengakuan awal aset
atau liabilitas dari transaksi yang bukan kombinasi bisnis dan pada saat
transaksi tidak mempengaruhi laba akuntansi atau laba kena pajak (rugi pajak).
Untuk perbedaan temporer kena pajak terkait dengan investasi pada entitas
anak, cabang, dan entitas asosiasi serta kepentingan dalam pengaturan bersama,
maka kewajiban pajak tangguhan diakui sepanjang kriteria berikut terpenuhi,
yaitu (i) entitas induk, investor, atau venturer bersama atau operator bersama
mampu mengendalikan waktu pembalikan perbedaan temporer; dan (ii)
kemungkinan besar perbedaan temporer tidak akan dibalik di masa depan yang
dapat diperkirakan.
161. Perbedaan temporer kena pajak yang dapat menimbulkan kewajiban
pajak tangguhan, misalnya:

138
(i) Pendapatan bunga termasuk dalam laba akuntansi dengan dasar proporsi
waktu, tetapi mungkin saja pendapatan bunga dihitung dalam laba kena
pajak ketika kas diterima;
(ii) Masa penyusutan atau amortisasi secara pajak yang lebih cepat dibanding
dengan masa penyusutan atau amortisasi secara akuntansi;
(iii) Biaya pengembangan dalam akuntansi dikapitalisasi dan diamortisasi
selama periode masa depan dalam menentukan laba akuntansi,
sedangkan dalam Ketentuan Pajak biaya pengembangan dikurangkan
sekaligus pada periode terjadinya biaya tersebut;
(iv) Aset teridentifikasi yang diperoleh dan liabilitas yang diambilalih dalam
kombinasi bisnis diakui pada nilai wajar, namun tidak terdapat
penyesuaian setara yang dibuat untuk tujuan pajak;
(v) Aset direvaluasi dan tidak ada penyesuaian setara untuk tujuan pajak;
(vi) Goodwill yang timbul dalam kombinasi bisnis;
(vii) Dasar pengenaan pajak aset atau liabilitas pada pengakuan awal berbeda
dari jumlah tercatat awal, misal jika manfaat yang diperoleh entitas dari
hibah pemerintah terkait dengan aset tidak kena pajak; atau
(viii) Jumlah tercatat investasi pada entitas anak, cabang, dan entitas asosiasi
atau kepentingan dalam pengaturan bersama menjadi berbeda dengan
dasar pengenaan pajak pada investasi atau kepentingan tersebut.
162. Dalam hal pengukuran kewajiban pajak tangguhan dilakukan dengan
mengalikan perbedaan temporer kena pajak dengan tarif pajak yang berlaku
atau tarif yang efektif akan berlaku di masa yang akan datang.
163. Selanjutnya, kewajiban pajak tangguhan disajikan secara terpisah
dari akewajiban pajak kini dan beban pajak kini dalam laporan keuangan.
Kewajiban pajak tangguhan dapat disamakan dengan pajak kurang bayar yang
akan dilunasi di masa yang akan datang saat pemulihan perbedaan temporer,
sehingga kenaikan saldo pada kewajiban pajak tangguhan menyebabkan
kenaikan beban pajak di masa akan datang.
B.2.4. Utang Lain-Lain
164. Utang lain-lain merupakan utang yang tidak dapat digolongkan
dalam kategori utang lancar maupun utang jangka panjang.

139
C. MODAL

165. Modal atau ekuitas dalam Standar Akuntansi Keuangan


diklasifikasikan sebagai setoran modal oleh para pemegang saham, saldo laba
(retained earnings), penyisihan saldo laba, dan penyisihan penyesuaian
pemeliharaan modal.
166. Perbedaan antara utang dan modal dalam laporan keuangan adalah
hak dari pihak yang bersangkutan dan substansi ekonomi. Dilihat dari haknya,
modal merupakan hak pemegang saham atau pemilik modal atas harta bersih
yang dimiliki oleh perusahaan. Dari sisi substansi ekonomi, klaim terhadap
perusahaan memiliki risiko kerugian, namun risiko kerugian yang dialami oleh
kreditor lebih sedikit dibanding dengan pemilik modal. Perbedaan utama antara
kreditor dan pemilik modal adalah kreditor memiliki hak atas pelunasan utang
maupun bunga dan pemilik modal memiliki hak atas pembagian laba yang
dihasilkan perusahaan berupa dividen.
167. Modal terbagi atas beberapa sumber, yaitu: (i) modal yang berasal
dari setoran pemegang saham, (ii) modal yang berasal dari bentukan atau laba
ditahan, dan (iii) modal lain-lain. Modal yang berasal dari setoran pemegang
saham meliputi modal saham, tambahan modal disetor, dan saham treasuri.
Sedangkan modal lain-lain meliputi selisih penilaian kembali harta tetap.
168. Berikut merupakan klasifikasi akun modal dalam Laporan Posisi
Keuangan untuk tujuan pajak.

C.1. Modal Saham


169. Modal saham merupakan modal yang berasal dari penyetoran para
pemegang saham. Pencatatan modal saham dapat dilakukan dengan beberapa
metode. Salah satu yang umumnya digunakan adalah metode nilai par. Dalam
metode nilai par, setiap lembar saham yang dikeluarkan oleh perusahaan
memiliki nilai nominal. Pembelian diatas nilai nominal maka akan diakui sebagai
tambahan modal disetor.
170. Sebagai contoh, nilai nominal untuk satu lembar saham adalah Rp
1.000, kemudian dibeli 100.000 lembar saham dengan harga Rp 1.500 per
lembar, maka pencatatatan modal saham dalam jurnal adalah sebagai berikut:
Kas Rp 150.000.000
Modal Saham Rp 100.000.000
Tambahan Modal disetor Rp 50.000.000

140
171. Saham yang dikeluarkan oleh perusahaan pada umumnya terbagi
menjadi dua jenis, yaitu: (i) saham biasa dan (ii) saham preferen. Saham
preferen merupakan saham khusus yang memiliki fitur tertentu, diantaranya
dapat didahulukan dalam pembayaran dividen dan pembagian harta saat
likuidasi, namun tidak memiliki hak suara. Beberapa fitur saham preferen
adalah sebagai berikut:
1. Saham preferen kumulatif

172. Salah satu hak istimewa yang dimiliki pemegang saham preferen
adalah pembayaran dividen dengan nilai yang pasti dan didahulukan. Apabila
perusahaan tidak dapat membagikan dividen untuk suatu tahun tertentu maka
untuk tahun berikutnya pemegang saham preferen berhak untuk mendapat
dividen secara kumulatif dan didahulukan daripada pemegang saham biasa.
2. Saham preferen partisipasi
173. Pemegang saham preferen partisipasi secara tidak langsung juga
memiliki saham biasa. Misal, saham preferen dengan dividen sebesar 5% maka
pada saat pembagian dividen akan mendapatkan porsi dividen atas saham biasa
akan mendapatkan 5% lebih besar atas kepemilikan saham preferennya.
3. Saham preferen yang dapat ditukar
174. Pemegang saham preferen memiliki hak untuk menukar saham
preferen yang dimilikinya menjadi saham biasa. Salah satu keutamaan memiliki
saham biasa adalah memiliki hak suara dalam RUPS, sehingga secara tidak
langsung memiliki kontrol terhadap perusahaan.
4. Saham preferen yang dapat ditarik
175. Beberapa saham preferen pada umumnya memiliki opsi untuk dapat
dibeli kembali pada waktu dan harga yang telah ditentukan pada awal transaksi.
Saham jenis ini biasanya digunakan oleh perusahaan yang membutuhkan modal
yang bersifat sementara, saat dianggap tidak lagi membutuhkan modal tersebut,
maka saham preferen ditarik kembali. Saham jenis ini memiliki karakteristik
seperti obligasi (bond).
176. Dalam mencatat jumlah modal saham dalam Laporan Posisi
Keuangan, perusahaan harus membuat daftar untuk masing-masing jenis saham
dengan rincian sebagai berikut:
(i) Jumlah modal dasar;
(ii) Nilai nominal per saham;

141
(iii) Modal yang disetor yang meliputi jumlah saham dan nilainya pada awal
tahun, tambahan jumlah saham dan nilainya yang dikeluarkan selama
tahun berjalan, penarikan saham dan nilainya selama tahun berjalan,
serta jumlah saham dan nilainya pada akhir tahun;
(iv) Modal yang ditempatkan yang meliputi jumlah saham dan nilainya pada
awal tahun, tambahan pemesanan selama tahun berjalan, pemindahan ke
perusahaan lain atau ditarik dari peredaran selama tahun berjalan, serta
jumlah saham dan nilainya pada akhir tahun;
(v) Perolehan nilai kembali saham yang telah disetor yang meliputi jumlah
saham dan nilai perolehan pada awal tahun, pembelian selama tahun
berjalan, penjualan selama tahun berjalan, serta jumlah saham dan nilai
perolehan pada akhir tahun.
177. Dalam Ketentuan Pajak, harta termasuk setoran tunai yang diterima
oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal
bukan termasuk Objek Pajak. Dengan demikian, modal saham yang diterima
oleh suatu perusahaan tidak dikenakan pajak penghasilan.

C.2. Tambahan Modal Disetor


178. Tambahan modal disetor atau agio saham merupakan unsur
penambahan modal berupa agio saham, tambahan modal dari perolehan
kembali saham dengan harga yang lebih rendah daripada jumlah yang diterima
pada saat pengeluaran, tambahan modal dari penjualan saham yang diperoleh
kembali dengan harga di atas jumlah yang dibayarkan pada saat perolehan,
tambahan modal dari perbedaan kurs modal disetor, dan lain-lain.
179. Termasuk dalam pengertian modal dalam perspektif pajak adalah
utang atau pinjaman tanpa bunga yang diberikan oleh pihak yang memiliki
hubungan istimewa.
180. Dalam hal penyajiannya, tambahan modal disetor disajikan dalam
kelompok modal, di bawah modal saham, dan dirinci menurut sifatnya. Untuk
dapat mencatat saldo tambahan modal disetor harus dilengkapi dengan rincian
untuk masing-masing unsur tambahan modal disetor berupa saldo pada awal
tahun, perubahan selama tahun berjalan, dan saldo pada akhir tahun.

C.3. Laba Ditahan


181. Laba ditahan merupakan akumulasi nilai bersih usaha setelah
memperhitungkan biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan, penghasilan yang
tidak kena pajak, penghasilan dengan tarif pajak tersendiri, dividen dan koreksi

142
rugi laba periode lalu. Saldo laba ditahan harus dilengkapi dengan daftar yang
berisi saldo pada awal tahun, perubahan selama tahun berjalan dan saldo pada
akhir tahun.
182. Perubahan laba ditahan dapat diakibatkan oleh faktor umum dan
faktor transaksi khusus. Faktor umum yang dapat mengakibatkan perubahan
laba ditahan adalah laba atau rugi periodik dan pembagian dividen. Transaksi
khusus yang mengakibatkan perubahan laba ditahan adalah penyesuaian
periode lalu, koreksi kesalahan dalam laporan keuangan sebelumnya, pengaruh
perubahan akuntansi, serta kuasi reorganisasi.
183. Laba ditahan dapat diklasifikasikan dalam (i) laba ditahan yang
bebas untuk dibagikan sebagai dividen; dan (ii) laba ditahan yang
dibatasi/dicadangkan sesuai dengan keputusan RUPS untuk perluasan pabrik,
pembayaran utang, memenuhi ketentuan undang-undangn maupun ikatan
tertentu.
184. Dalam hal penyajiannya, laba ditahan disajikan dalam kelompok
modal. Untuk laba ditahan yang tidak tersedia untuk dibagikan sebagai dividen
karena pembatasan tertentu disajikan secara terpisah dalam akun tersendiri
yang menggambarkan tujuan pencadangan termaksud, sebelum laba yang
ditahan, yang bebas untuk dibagikan.
C.4. Selisih Penilaian Kembali Harta Tetap
185. Selisih lebih penilaian kembali harta tetap merupakan selisih antara
jumlah penilaian kembali harta tetap di atas nilai sisa buku komersial semula
setelah dikurangi dengan PPh. Selisih penilaian kembali harta tetap disajikan
secara akumulasi atas selisih dari tahun-tahun sebelumnya setelah dikurangi
dengan kerugian yang terealisasi maupuan disusutkan setelah penilaian
kembali dilakukan.
186. Penyajian akun penilaian kembali harta tetap disajikan dalam
kelompok modal. Dalam hal dilakukan kapitalisasi selisih penilaian kembali
harta tetap dengan pemberian saham bonus kepada pemegang saham, maka
selisih lebih penilaian kembali harta tetap direklasifikasi dan disajikan pada
bagian modal saham.

C.5. Saham Treasuri


187. Apabila perusahaan membeli kembali atau menarik saham yang
beredar dicatat sebagai saham treasuri. Beberapa alasan perusahaan melakukan
pembelian kembali saham yang beredar diantaranya:

143
(i) Untuk memberikan distribusi pajak yang efisien atas kelebihan kas yang
dimiliki oleh pemegang saham;
(ii) Untuk meningkatkan nilai laba bersih per saham dan tingkat
pengembalian modal;
(iii) Untuk memberikan kompensasi saham kepada karyawan atau untuk
memenuhi kebutuhan merger;
(iv) Untuk meminimalisir pengambilalihan oleh pemegang saham atau untuk
mengurangi jumlah pemegang saham. Hal ini dilakukan untuk menjaga
agar manajemen tetap memiliki pengendalian terhadap perusahaan;
(v) Untuk memanipulasi pasar. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan
permintaan, sehingga harga saham akan berpotensi naik atau stabil.
188. Transaksi atas saham treasuri dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu
transaksi atas pembelian saham treasuri dan transaksi penjualan saham
treasuri. Dalam hal pembelian, saham treasuri atau saham yang dibeli kembali
dicatat sebagai pengurang modal dan tidak diakui sebagai penambah harta,
melainkan diakui sebagai pengurang harta bersih. Hal ini dikarenakan dari segi
modal, saham yang dibeli kembali akan mengurangi jumlah modal saham yang
beredar. Atas pembelian kembali saham yang beredar tidak serta merta
perusahaan memiliki hak suara, menerima pembayaran dividen, atau hak atas
harta saat likuidasi.
189. Saham treasuri dicatat menggunakan metode biaya atau nilai
perolehan, apabila di kemudian hari saham yang diperoleh tersebut akan dijual
kembali kepada publik. Namun, jika perolehan kembali dilakukan dalam rangka
penarikan saham, maka dicatat dengan metode nominal.
190. Sedangkan transaksi penjualan kembali saham treasuri dicatat sama
halnya dengan penjualan saham. Atas harga jual saham treasuri yang lebih tinggi
dari harga belinya, atas kelebihannya sicatat sebagai tambahan modal disetor.
Apabila harga jual saham treasuri lebih rendah dari harga belinya, maka
selisihnya dicatat dengan mendebit akun tambahan modal disetor.
191. Berikut dalam Tabel 3.3 disajikan penyajian akun-akun modal dalam
Laporan Posisi Keuangan.

144
Tabel 3.3 Penyajian Bagian Modal dalam Laporan Posisi Keuangan

Modal
Modal Saham (Rp 1,000; 100,000 saham diterbitkan dan Rp 100,000,000
9,000 saham beredar)
Tambahan Modal di Setor Rp 50,000,000
Laba Ditahan Rp 75,000,000
Saham Treasuri (10,000 lembar) Rp (1,100,000)
Jumlah Modal Rp 223,900,000

145
Lampiran 3.1: Format Laporan Posisi Keuangan Untuk Tujuan Pajak

PT XYZ
Laporan Posisi Keuangan Untuk Tujuan Pajak
Tanggal 31 Desember 201X
Nilai Nilai
Uraian Uraian
(Rupiah) (Rupiah)
HARTA UTANG
Harta Lancar Utang Jangka Pendek
Kas dan Setara Kas xxx Utang Usaha xxx
Investasi Sementara xxx Utang Sewa xxx
Piutang Usaha Utang dalam Hubungan xxx
Istimewa
Piutang Lain-Lain xxx Wesel Bayar xxx
Piutang dalam Hubungan Utang Bank Jangka
Istimewa xxx Pendek xxx
Bagian Utang Jangka
Persediaan xxx
Panjang xxx
Pendapatan diterima di
Piutang Pajak xxx
Muka xxx
Biaya Masih Harus
Pajak dibayar di Muka xxx
dibayar xxx
Biaya dibayar di Muka xxx Utang Pajak xxx
Utang Dividen xxx

Harta Tidak Lancar Utang Jangka Panjang


Investasi Jangka Panjang xxx Utang Obligasi xxx
Harta Tetap xxx Utang Subordinasi xxx
Kewajiban Pajak
Harta Tak Berwujud xxx
Tangguhan xxx
Aset pajak tangguhan xxx Utang Lain-Lain xxx
Harta Lain-Lain xxx
MODAL
Modal Saham xxx
Tambahan Modal
Disetor xxx
Laba Ditahan xxx
Selisih Penilaian
Kembali xxx
Saham Treasuri xxx
JUMLAH UTANG DAN
JUMLAH HARTA xxx xxx
MODAL

146
BAB 4
PENGUNGKAPAN KHUSUS
AKUNTANSI UNTUK TUJUAN PAJAK

BAGIAN I: EKUALISASI PPh BADAN DAN EKUALISASI PPN

A. EKUALISASI OBJEK PPh BADAN DAN OBJEK PPN DALAM NEGERI

01. Ekualisasi atau biasa disebut rekonsiliasi untuk tujuan akuntansi


pajak adalah mencocokkan dua saldo atau lebih angka yang mempunyai
hubungan satu dengan yang lainnya yang mempunyai hubungan dengan
perhitungan pajak yang terutang. Dalam hal terdapat perbedaan, maka
perbedaan tersebut harus dapat ditelusuri serta dijelaskan dan tidak serta
merta langsung dianggap sebagai koreksi.
02. Beberapa prosedur yang dapat dilakukan untuk melakukan
ekualisasi atau rekonsiliasi adalah sebagai berikut:
(i) Menentukan saldo-saldo yang akan direkonsiliasi, yang dapat meliputi
peredaran usaha, penyerahan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN, dan
pembelian;
(ii) Melakukan pencocokan terhadap saldo-saldo berikut:
e. Peredaran usaha dan penghasilan lain-lain dengan jumlah
penyerahan menurut SPT Masa PPN;
f. Peredaran usaha dengan Objek PPh yang dipungut oleh Badan
Pemungut kegiatan usaha di Bidang Lain;
g. Pembelian (bahan baku, barang jadi, dan aktiva) dengan DPP PPN
Masukan;
h. Pembelian dengan Objek PPh yang dipungut oleh Badan Pemungut
pedagang pengumpul;
i. Biaya yang merupakan Objek Pemotongan PPh dan Pemungutan
dengan objek Pemotongan PPh dan Pemungutan;

147
j. Objek Pemotongan PPh dengan DPP PPN Masukan;
k. Objek Pemotongan PPh atas jenis penghasilan tertentu yang
dibayarkan/terutang kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN)
dengan objek PPN Jasa Luar Negeri;
l. Buku besar bank dengan rekening koran, dan lain sebagainya.
03. Dalam melakukan ekualisasi Objek PPh Badan dan objek PPN Dalam
Negeri untuk menghitung Objek PPN Dalam Negeri dilakukan dengan rincian
dan perhitungan seperti dalam tabel 4.1 di bawah ini.
Tabel 4.1 Ekualisasi Objek PPh Badan dan Objek PPN Dalam Negeri

Objek PPN Dalam Negeri terdiri dari:


Peredaran Usaha xxx
Ditambah:
a. Uang muka pelanggan akhir xxx
b. Pendapatan ditangguhkan (PPN dibayar tahun ini) xxx
c. Penyerahan antar cabang (dalam hal tidak terdapat
pemusatann PPN terutang) xxx
d. Penjualan aktiva yang semula tidak dimaksudkan untuk
dijual berdasarkan UU PPN xxx
e. Penyerahan tahun sebelumnya difakturkan tahun ini xxx
f. Penggantian biaya yang pajak masukannya telah
dikreditkan xxx
g. Pemakaian sendiri xxx
h. Pemberian cuma-cuma xxx
i. Penyerahan BPK/JKP lainnya, dsb xxx
Jumlah xxx
Dikurangi:
a. Uang muka pelanggan awal (telah difaktur masa xxx
sebelumnya)
b. Pendapatan ditangguhkan awal (telah difakturkan tahun xxx
sebelumnya)
c. Penyerahan difakturkan tahun berikutnya, dsb. xxx
Jumlah xxx
Jumlah penyerahan seluruhnya xxx
Penyerahan non Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak
(JKP) xxx
Penyerahan BKP/JKP xxx

148
04. Adanya perbedaan antara SPT Masa PPN dengan SPT Tahunan PPh
Badan dapat diakibatkan oleh beberapa faktor, di antaranya:
(i) Penyerahan BKP/JKP yang pembayarannya menggunakan valuta asing
05. Penjualan dengan valuta asing mengakibatkan adanya perbedaan
kurs yang digunakan. Untuk menghitung DPP PPN menggunakan kurs yang
ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan atau disebut Kurs KMK.
Sedangkan untuk pencatatan penjualan dalam laporan rugi laba digunakan kurs
Bank Indonesia yang berlaku pada tanggal diakuinya penjualan tersebut.
(ii) Terdapat perbedaan waktu pengakuan
06. Perbedaan waktu pengakuan dapat meliputi: pengakuan atas
pendapatan yang ditangguhkan, terdapat perbedaan waktu antara saat
penyerahan dan saat pembuatan faktur pajak, maupun pembayaran yang
diterima sebelum penyerahan atau pemanfaatan (uang muka).
07. Pendapatan yang ditangguhkan dapat terjadi apabila secara
pembukuan Wajib Pajak telah mengakui penerimaan penjualan barang atau jasa
secara kas, namun penyerahan barang atau jasa tersebut belum dilakukan,
sehingga pencatatannya diakui sebagai kewajiban. Pendapatan yang
ditangguhkan akan diakui sebagai pendapatan dan dicatat sebagai peredaran
usaha seiring dengan berjalannya waktu. Sedangkan secara ketentuan PPN,
penerimaan pembayaran yang lebih dahulu dari penyerahan BKP/JKP telah
dapat dibuat faktur pajaknya dan diakui sebagai objek PPN. Demikian halnya
dengan pembayaran uang muka atas penjualan barang atau jasa yang dikenakan
PPN yang akan menyebabkan perbedaan waktu antara saat penyerahan
BKP/JKP dengan saat pembuatan faktur pajak.
(iii) Penyerahan BKP dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan Penyerahan
BKP antar Cabang
08. Peredaran usaha merupakan seluruh penyerahan produk dari Wajib
Pajak ke konsumen, sedangkan untuk penyerahan dalam konteks PPN
merupakan segala bentuk penyerahan barang dan/atau jasa kena pajak. Oleh
karena itu, penyerahan dalam SPT PPN dapat termasuk pula penyerahan barang
dari pusat ke cabang atau dari cabang ke cabang lainnya. Sedangkan dalam
peredaran usaha penyerahan kepada dan/atau antar cabang tidak diakui
sebagai penjualan.
(iv) Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan oleh PKP

149
09. Ketentuan PPN menyebutkan bahwa atas penyerahan BKP berupa
aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dikenakan
PPN. Oleh karenanya, apabila Wajib Pajak melakukan penjualan aktiva yang
memenuhi ketentuan tersebut, termasuk dalam penyerahan barang kena pajak.
Namun secara ketentuan akuntansi keuangan, penjualan aktiva dengan tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan bukan merupakan komponen penjualan
dalam kegiatan usaha utama yang dijalankan.
(v) Terdapat BKP pemakaian sendiri atau pemberian dengan cuma-cuma
10. Dalam laporan keuangan, pemakaian sendiri, pemberian secara
cuma-cuma atau bonus diakui sebagai biaya pada saat pengeluaran. Berbeda
dengan Ketentuan PPN, bahwa pemakaian sendiri, pemberian secara cuma-
cuma atau bonus diakui sebagai objek PPN, sehingga perbedaan pengakuan
tersebut dapat membuat jumlah peredaran usaha dalam laporan keuangan
dengan jumlah penjualan dalam SPT PPN tidak sesuai.
(vi) Penyerahan BKP atau JKP lainnya
11. Dalam SPT Tahunan PPh Badan, peredaran usaha yang dicatat
merupakan perolehan bruto dari kegiatan usaha utama yang dijalankan oleh
Wajib Pajak. Sedangkan penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak
yang bukan merupakan kegiatan utama yang dijalankan oleh Wajib Pajak
termasuk pula sebagai objek PPN yang dilaporkan dalam SPT PPN.
(vii) Penyerahan BKP secara Konsinyasi
12. Penyerahan barang dagang kepada consignee dalam konsep
akuntansi keuangan belum diakui sebagai penjualan. Berbeda dengan konsep
dalam Ketentuan PPN yang menyebutkan bahwa yang termasuk dalam
penyerahan BKP termasuk penyerahan barang kena pajak secara konsinyasi.
Oleh karenanya, PPN keluaran sudah dapat diakui pada saat BKP diserahkan
untuk dititipkan kepada consignee. Apabila barang yang dititipkan kepada
consignee tidak terjual dan dikembalikan kepada consignor, PPN Keluaran dapat
dikreditkan menggunakan mekanisme PPN atas penyerahan BKP yang
dikembalikan.

B. EKUALISASI PPh BADAN DAN OBJEK PEMOTONGAN PPh

13. Ekualisasi PPh Badan dan Objek Pemotongan PPh adalah proses
mencocokkan pembayaran kepada pihak lain terhadap pemotongan pajak yang
dilakukan. Jika ingin melakukan ekualisasi antara PPh Badan dan Pemotongan

150
dan Pemungutan PPh serta PPN, seyogyanya yang disandingkan adalah akun-
akun berikut ini dengan kewajiban Wajib Pajak berkaitan dengan Pemotongan
dan Pemungutan PPh, sebagai berikut:
(i) Pembelian vs PPh yang dipungut oleh Badan Pemungut dan PPN Masukan;
(ii) Gaji atau upah vs Pemotongan PPh atas penghasilan pekerjaan yang
dibayarkan atau terutang kepada WPDN Orang Pribadi maupun WPLN
Orang Pribadi;
(iii) Biaya transportasi vs Pemotongan PPh atas penghasilan tertentu yang
dibayarkan atau terutang kepada WPDN Badan;
(iv) Biaya sewa vs Pemotongan PPh atas penghasilan tertentu yang dibayarkan
atau terutang kepada WPDN maupun WPLN dan PPh Final;
(v) Biaya bunga pinjaman vs Pemotongan PPh atas penghasilan tertentu yang
dibayarkan atau terutang kepada WPDN maupun WPLN;
(vi) Biaya jasa vs Pemotongan PPh atas penghasilan pekerjaan yang
dibayarkan atau terutang kepada WPDN Orang Pribadi dan Pemotongan
PPh atas penghasilan tertentu yang dibayarkan atau terutang kepada
WPDN Badan Usaha serta PPN;
(vii) Biaya royalti vs Pemotongan PPh atas penghasilan tertentu yang
dibayarkan atau terutang kepada WPDN Badan Usaha dan WPLN serta
PPN;
(viii) Biaya pemasaran vs Pemotongan PPh atas penghasilan pekerjaan yang
dibayarkan atau terutang kepada WPDN orang pribadi, Pemotongan PPh
atas penghasilan tertentu yang dibayarkan atau terutang kepada WPDN
maupun WPLN serta PPN; dan
(ix) Persediaan vs PPN.
14. Ekualisasi PPh Badan dengan objek Pemotongan PPh dilakukan
dengan yang disajikan dalam Tabel 4.2 berikut ini:
Tabel 4.2 Ekualisasi Pos-Pos PPh Badan dan Objek Pemotongan PPh

Objek Pemotongan PPh atas penghasilan pekerjaan/penghasilan


tertentu yang dibayarkan kepada WPDN/WPLN, dan PPh Final:
a. Macam-macam objek Akun Laba Rugi/Akun Neraca/Akun xxx
SPT/Turunan Terkait
b. Objek-objek lainnya xxx
c. Objek dari masa sebelumnya xxx

151
d. Dipotong/disetor/dilaporkan masa berikutnya xxx
e. Diperhitungkan sebagai Objek Pemotongan PPh lainnya xxx
f. Dipotong/disetor/dilaporkan di KPP lain xxx
Objek Pajak xxx
Objek Pajak menurut SPT terkait xxx
Selisih xxx

15. Perbedaan yang terjadi antara akun-akun PPh Badan dengan objek
pemotongan PPh dapat diakibatkan oleh:
(i) Penyerahan BKP/JKP yang pembayarannya menggunakan valuta asing
16. Pembayaran dalam mata uang asing menyebabkan perbedaan kurs
yang digunakan antara kurs pada tanggal pencatatan dengan kurs pada tanggal
pemotongan PPh. Selain itu, kurs yang digunakan antara pencatatan secara
akuntansi dengan kurs yang digunakan untuk pemotongan pajak berbeda. Kurs
yang digunakan dalam pencatatan secara akuntansi menggunakan kurs tengah
Bank Indonesia pada tanggal dibayarkan atau terutangnya pembayaran, sesuai
dengan ketentuan dalam PSAK 10. Sedangkan kurs yang digunakan untuk
pemotongan PPh menggunakan Kurs berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan (Kurs KMK) pada tanggal pemotongan.
(ii) Perbedaan waktu pengakuan
17. Perbedaan waktu pengakuan dapat berasal dari pembayaran objek
Pemotongan PPh dari masa sebelumnya dan pembayaran yang dipotong PPh
pada masa berikutnya. Objek Pemotongan dari masa sebelumnya dapat terjadi
apabila saat terjadinya pembayaran, disediakan untuk dibayarkan, atau jatuh
tempo pembayaran terjadi pada akhir Tahun Pajak sebelumnya, sehingga saat
pemotongan atau saat terutangnya PPh jatuh pada Tahun Pajak selanjutnya.
(iii) Kesalahan pengakuan
18. Kesalahan pengakuan dapat terjadi apabila terdapat kesalahan jenis
pemotongan PPh, atau pembayaran yang tidak dipotong PPh sama sekali. Selain
itu, perbedaan yang terjadi dapat pula berasal dari kesalahan pengelompokkan
biaya atau adanya biaya yang tidak dipotong PPh, namun masuk ke dalam biaya
yang harusnya dipotong.

152
(iv) PPh dilaporkan atau disetorkan ke KPP lain
19. Dalam hal PPh dilaporkan atau disetorkan ke KPP lain dapat terjadi
apabila Wajib Pajak memiliki kegiatan usaha di beberapa lokasi dan tidak
melakukan pemotongan PPh secara terpusat.

153
BAGIAN II: PENGUNGKAPAN TRANSAKSI HUBUNGAN ISTIMEWA

A. KONSEP HUBUNGAN ISTIMEWA

20. Definisi Hubungan Istimewa yang diatur dalam Ketentuan Pajak


disebutkan sebagai berikut:
Hubungan Istimewa dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak
langsung paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain, hubungan antara
Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% pada dua Wajib
Pajak atau lebih, atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih
yang disebut terakhir;
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib
Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun
tidak langsung; atau
c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah atau semenda dalam garis
keturunan lurus ke atas dan/atau ke samping satu derajat.
21. Berdasarkan pernyataan tersebut, definisi Hubungan Istimewa yang
diatur dalam Ketentuan Pajak, yaitu: (i) kepemilikan modal, (ii) pengendalian,
dan (iii) hubungan keluarga. Kepemilikan modal dan hubungan keluarga
merupakan unsur yang dapat diakui secara hukum (de jure). Unsur penguasaan
merupakan unsur yang tidak terikat oleh hukum (de facto).
22. Definisi Hubungan Istimewa yang diatur dalam Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK) 7 tentang pengungkapan pihak-pihak berelasi
(Hubungan Istimewa) adalah orang atau entitas yang terkait dengan entitas
yang menyiapkan laporan keuangan entitas pelapor, yang meliputi:
(i) Orang atau anggota keluarga dekatnya yang mempunyai relasi dengan
entitas pelapor jika orang tersebut memiliki pengendalian atau
pengendalian bersama, memiliki pengaruh signifikan atau merupakan
personil manajemen kunci entitas atau entitas induk dari entitas pelapor;
(ii) Suatu entitas berelasi dengan entitas pelapor, yang memenuhi kondisi:
a. Entitas dan entitas pelapor adalah anggota dari kelompok usaha yang
sama;
b. Suatu entitas adalah entitas asosiasi atau ventura bersama bagi
entitas lain (atau entitas asosiasi atau ventura bersama yang

154
merupakan anggota suatu kelompok usaha, di mana entitas lain
tersebut adalah anggotanya);
c. Kedua entitas tersebut adalah ventura bersama dari pihak ketiga
yang sama;
d. Satu entitas adalah ventura bersama dari entitas ketiga dan entitas
yang lain adalah entitas asosiasi dari entitas ketiga;
e. Entitas tersebut adalah suatu program imbalan pasca kerja untuk
imbalan kerja dari salah satu entitas pelapor atau entitas yang terkait
dengan entitas pelapor;
f. Entitas yang dikendalikan atau dikendalikan bersama oleh orang
yang diidentifikasi dalam poin (i);
g. Orang atau anggota keluarga dekat yang memiliki pengendalian atau
pengendalian bersama memiliki pengaruh signifikan terhadap
entitas atau anggota manajemen kunci entitas (atau entitas induk
dari entitas).
23. Berdasarkan dua definisi di atas, PSAK 7 memberikan penjelasan
terkait Hubungan Istimewa secara rinci, sehingga atas kondisi yang dijelaskan
dalam PSAK 7 tersebut secara umum sesuai dengan ketentuan dalam UU PPh
yang meliputi unsur (i) kepemilikan modal, (ii) pengendalian, dan (iii) adanya
hubungan keluarga.
24. Berdasarkan definisi Hubungan Istimewa dari dua ketentuan di atas,
unsur penguasaan atau pengendalian memiliki definisi yang luas dan multi-
interpretasi. Menurut OECD Glossary on Tax Terms, penguasaan diartikan
sebagai:
Kapasitas yang dimiliki subjek pajak untuk memastikan Subjek Pajak
yang lain bertindak sesuai dengan yang diinginkan oleh subjek pajak yang
mempunyai kapasitas tersebut. Suatu kendali oleh suatu Subjek Pajak
terhadap Subjek Pajak lain yang memungkinkan Subjek Pajak Orang
Pribadi dan Badan untuk menghindar atau mengurangi kewajiban pajak
mereka.
25. Atas transaksi yang memenuhi ketentuan transaksi yang dilakukan
oleh para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa, Direktur Jenderal Pajak
berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurang
penghasilan serta menentukan besarnya utang sebagai modal sesuai dengan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Selaras dengan ketentuan dalam OECD

155
Model, transaksi yang dilakukan dengan pihak yang memiliki Hubungan
Istimewa harus dilaksanakan berdasarkan prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha atau arms length principle (ALP). Prinsip Kewajaran dan Kelaziman usaha
diterapkan sebagai adat kebiasaan atau praktik menjalankan kegiatan yang
sehat dalam dunia usaha. Berbeda dengan ketentuan dalam PSAK 7 yang hanya
memberikan kewajiban untuk melakukan pengungkapan yang meliputi
kompensasi personil kunci, serta informasi mengenai transaksi yang mencakup
sifat dari hubungan antara pihak-pihak Hubungan Istimewa yang melakukan
transaksi, jumlah transaksi yang dilakukan, serta informasi terkait komitmen
atau perjanjian yang dilakukan dalam transaksi tersebut.
26. Apabila terdapat transaksi dengan para pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa maka terdapat kewajiban untuk menyimpan dokumen
yang mendukung bahwa transaksi tersebut telah dilakukan sesuai dengan
prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. Dengan demikian, apabila terdapat
transaksi dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa, Wajib Pajak
memiliki kewajiban untuk melakukan dokumentasi atas penerapan prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha.

B. DOKUMEN PENENTUAN HARGA TRANSFER

27. Dokumen Penentuan Harga Transfer merupakan dokumen yang


diselenggarakan oleh Wajib Pajak sebagai dasar penerapan prinsip Kewajaran
dan Kelaziman Usaha dalam Penentuan Harga Transfer yang dilakukan oleh
Wajib Pajak, atau biasa disebut dengan Transfer Pricing Documentation (TP
Doc). Dokumen Penentuan Harga Transfer tersebut dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
(i) Dokumen Induk (Master File);
(ii) Dokumen Lokal (Local File); dan/atau
(iii) Laporan per Negara (Country by Country Reporting).
28. Dokumen Penentuan Harga Transfer berupa Dokumen Induk dan
Dokumen Lokal wajib disampaikan oleh Wajib Pajak yang memenuhi salah satu
kriteria berikut:
(i) Memiliki nilai peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya dalam satu
Tahun Pajak lebih dari Rp 50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah);
(ii) Memiliki nilai transaksi afiliasi pada Tahun Pajak sebelumnya sebesar
lebih dari Rp 20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) untuk transaksi
barang berwujud;

156
(iii) Memiliki nilai transaksi afiliasi pada Tahun Pajak sebelumnya sebesar
lebih dari Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) untuk masing-masing
penyediaan jasa, pembayaran bunga, pemanfaatan barang tidak
berwujud, atau transaksi afiliasi lainnya; atau
(iv) Pihak afiliasi berada di negara atau yurisdiksi dengan tarif PPh lebih
rendah dari pada tarif PPh sebagaimana dimaksud dalam Ketentuan
Pajak.
29. Dalam hal Wajib Pajak memiliki transaksi dengan pihak yang
memiliki Hubungan Istimewa, namun tidak memenuhi salah satu dari ketiga
kriteria di atas, Wajib Pajak tetap berkewajiban untuk menerapkan prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
30. Selain harus menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Induk dan
Dokumen Lokal, Dokumen Laporan per Negara wajib disediakan oleh Wajib
Pajak yang memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:
(i) Wajib Pajak merupakan Entitas Induk dari suatu Grup Usaha yang
memiliki peredaran bruto konsolidasi pada Tahun Pajak bersangkutan
paling sedikit Rp 11.000.000.000.000,- (sebelas triliun rupiah); atau
(ii) Wajib Pajak Dalam Negeri berkedudukan sebagai anggota Grup Usaha dan
Entitas Induk dari Grup Usaha merupakan Subjek Pajak Luar Negeri,
sepanjang negara atau yurisdiksi tempat entitas induk berdomisili:
a. Tidak mewajibkan penyampaian laporan per negara;
b. Tidak memiliki perjanjian dengan pemerintah Indonesia mengenai
pertukaran informasi perpajakan; atau
c. Memiliki perjanjian dengan pemerintah Indonesia mengenai
pertukaran informasi perpajakan, namun Laporan per Negara tidak
dapat diperoleh pemerintah Indonesia dari negara atau yurisdiksi
tersebut.
31. Ketiga jenis Dokumen Penentuan Harga Transfer tersebut harus
dibuat dalam Bahasa Indonesia. Apabila Wajib Pajak telah mendapat izin
Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa asing
dan mata uang selain rupiah, dokumen penentuan harga transfer dapat dibuat
sesuai dengan bahasa asing yang tercantum dalam izin penyelenggaraan
pembukuan dimaksud dan disertai dengan terjemahannya dalam bahasa
Indonesia.

157
32. Untuk pembahasan lebih lanjut, ketiga jenis Dokumen Penentuan
Harga Transfer akan dijelaskan sebagai berikut.
B.1. Dokumen Induk (Master File)
33. Dokumen Induk merupakan dokumen yang memuat informasi
mengenai Grup Usaha secara keseluruhan. Oleh karenanya, Dokumen Induk
bersifat high-level documentation, karena informasi yang dibutuhkan berasal
dari Entitas Induk (parent entity). Dokumen Induk wajib diselenggarakan
berdasarkan data dan informasi yang tersedia pada saat dilakukan transaksi
afiliasi (contemporaneousness).
34. Dokumen Induk harus memuat informasi mengenai Grup Usaha yang
berisi rincian dan/atau penjelasan yang paling sedikit memuat informasi
sebagai berikut:
(ii) Struktur dan bagan kepemilikan serta negara atau yurisdiksi masing-
masing anggota Grup Usaha memuat informasi sebagai berikut:
a. Daftar pemegang saham dan persentase kepemilikan saham serta
daftar pengurus dari masing-masing anggota Grup Usaha;
b. Bagan kepemilikan Grup Usaha yang menunjukkan keseluruhan
hubungan kepemilikan saham anggota Grup Usaha; dan
c. Lokasi geografis (negara atau yurisdiksi) masing-masing anggota
Grup Usaha.
(iii) Kegiatan usaha yang dilakukan oleh Grup Usaha memuat informasi
sebagai berikut:
a. Daftar anggota Grup Usaha dan kegiatan usaha masing-masing
anggota Grup Usaha;
b. Faktor penentu yang mempunyai peran penting dalam menentukan
laba masing-masing anggota Grup Usaha;
c. Penjelasan dan skema/grafik/diagram mengenai rantai usaha untuk
5 besar produk dan/atau jasa yang dihasilkan oleh Grup Usaha serta
untuk produk atau jasa lain yang dihasilkan oleh Grup Usaha dengan
nilai peredaran bruto usaha 5 persen atau lebih dari total peredaran
Grup Usaha;
d. Daftar dan penjelasan mengenai kontrak-kontrak/perjanjian-
perjanjian yang penting antar anggota Grup Usaha, termasuk
penjelasan mengenai kemampuan dari anggota Grup Usaha yang

158
menyediakan jasa serta kebijakan harga transfer atas pengalokasian
biaya-biaya dalam rangka penyediaan jasa serta penentuan harga
yang harus dibayar atas penyediaan jasa antar anggota dalam Grup
Usaha;
e. Penjelasan mengenai lokasi geografis (negara atau yurisdiksi) yang
menjadi pasar utama dari produk-produk dan/atau jasa-jasa yang
dihasilkan oleh Grup Usaha;
f. Penjelasan mengenai analisis fungsional Grup Usaha yang mencakup
analisis fungsi, aset, dan risiko yang dilakukan Grup Usaha yang
menjelaskan kontribusi dari setiap anggota Grup Usaha dalam
pembentukan nilai; dan
g. Penjelasan mengenai restrukturisasi usaha, akuisisi usaha, dan
divestasi usaha yang pernah dilakukan oleh anggota Grup Usaha
selama 5 tahun terakhir.
(iv) Harta tak berwujud yang dimiliki Grup Usaha memuat informasi sebagai
berikut:
a. Penjelasan tentang strategi Grup Usaha dalam pengembangan,
kepemilikan, dan eksploitasi harta tidak berwujud, termasuk lokasi
fasilitas kegiatan riset dan pengembangan serta lokasi manajemen
R&D;
b. Daftar harta tidak berwujud atau kelompok harta tidak berwujud
milik Grup Usaha yang penting untuk analisis penentuan harga
transfer, serta penjelasan mengenai anggota Grup Usaha yang secara
hukum memiliki harta yang dimaksud;
c. Daftar dan penjelasan mengenai pihak-pihak dalam anggota Grup
Usaha yang berkontribusi dalam pengembangan harta tidak
berwujud;
d. Daftar kontrak/perjanjian antar Grup Usaha terkait harta tidak
berwujud termasuk perjanjian Cost Contribution Arrangement (CCA),
perjanjian jasa riset dan pengembangan, serta perjanjian terkait
pemberian lisensi;
e. Penjelasan tentang kebijakan harga transfer Grup Usaha sehubungan
dengan kegiatan riset dan pengembangan dan harta tak berwujud;
dan

159
f. Penjelasan tentang pengalihan kepemilikan harta tak berwujud yang
terjadi antar anggota Grup Usaha dalam Tahun Pajak yang
bersangkutan termasuk nama anggota Grup Usaha, negara atau
yurisdiksi, dan kompensasi atas pengalihan kepemilikan harta tak
berwujud.
(v) Aktivitas keuangan dan pembiayaan dalam Grup Usaha memuat informasi
sebagai berikut:
a. Penjelasan tentang pembiayaan yang digunakan oleh Grup Usaha,
termasuk perjanjian pembiayaan dengan pemberi pinjaman yang
independen;
b. Identifikasi dan penjelasan tentang anggota Grup Usaha yang
menjalankan fungsi sebagai pusat keuangan/pembiayaan untuk
anggota Grup Usaha, termasuk informasi tentang negara atau
yurisdiksi tempat anggota Grup Usaha tersebut didirikan dan tempat
manajemen efektifnya berada; dan
c. Penjelasan tentang kebijakan harga transfer sehubungan perjanjian-
perjanjian pembiayaan antar anggota Grup Usaha.
(vi) Laporan Keuangan Konsolidasi Entitas Induk dan informasi perpajakan
terkait transaksi afiliasi memuat informasi sebagai berikut:
a. Laporan keuangan konsolidasi Grup Usaha untuk Tahun Pajak terkait
baik yang disiapkan untuk kepentingan eksternal maupun internal;
dan
b. Daftar dan penjelasan tentang Advance Pricing Agreement (APA) yang
dimiliki oleh anggota Grup Usaha dan ketentuan perpajakan lainnya
terkait alokasi penghasilan antar Grup Usaha.
35. Dokumen Induk yang dibuat harus tersedia paling lama 4 bulan
setelah akhir Tahun Pajak. Selain itu, Wajib Pajak wajib membuat ikhtisar atas
dokumen induk dan wajib disampaikan sebagai lampiran dalam SPT Tahunan
PPh Badan Tahun Pajak yang bersangkutan dengan format sebagaimana yang
ditetapkan oleh Ketentuan Pajak.
36. Apabila terdapat permintaan data dan/atau informasi dalam hal
pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan, Wajib Pajak wajib
menyampaikan dokumen induk dalam jangka waktu paling lama 1 bulan setelah
diterimanya surat permintaan data dan/atau informasi dari Direktorat Jendral
Pajak.

160
B.2. Dokumen Lokal (Local File)
37. Dokumen Lokal disusun sebagai sarana pembuktian penerapan
prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha oleh Wajib Pajak. Dokumen lokal harus
diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia pada saat
dilakukan transaksi afiliasi (contemporaneousness).
38. Dokumen lokal harus memuat informasi berupa rincian dan/atau
penjelasan mengenai Wajib Pajak paling sedikit berupa:
(i) Identitas dan kegiatan usaha yang dilakukan Wajib Pajak memuat
informasi sebagai berikut:
a. Penjelasan tentang struktur penjelasan tentang struktur manajemen
Wajib Pajak, bagan organisasi, informasi mengenai pihak-pihak di
dalam atau luar negeri yang merupakan pihak-pihak yang memiliki
hubungan istimewa, dan negara atau yurisdiksi pihak-pihak tersebut
berada;
b. Penjelasan detail tentang usaha dan strategi usaha yang dilakukan
oleh Wajib Pajak, termasuk indikasi dalam hal Wajib Pajak terlibat
atau terpengaruh restrukturisasi usaha atau pengalihan harta tak
berwujud dalam Grup Usaha yang sedang atau telah terjadi pada
tahun sebelumnya, dan penjelasan mengenai pengaruhnya terhadap
Wajib Pajak;
c. Aspek-aspek operasional kegiatan usaha Wajib Pajak; dan
d. Gambaran lingkungan usaha secara rinci, termasuk daftar pesaing
utama.
(ii) Informasi transaksi afiliasi dan transaksi independen yang dilakukan
Wajib Pajak memuat informasi sebagai berikut:
a. Skema transaksi dan penjelasannya;
b. Kebijakan penetapan harga yang diterapkan selama 5 tahun terakhir;
c. Penjelasan atas masing-masing transaksi dan latar belakang
dilakukannya transaksi tersebut;
d. Jumlah nominal transaksi yang dirinci per jenis transaksi dan per
lawan transaksi;
e. Informasi tentang lawan transaksi dalam setiap jenis transaksi dan
penjelasan mengenai hubungan Wajib Pajak dengan masing-masing
lawan transaksi tersebut;

161
f. Informasi dalam bentuk tabel sekurang-kurangnya mengenai:
1) Nomor dan tanggal faktur;
2) Nama lawan transaksi;
3) Negara atau yurisdiksi lawan transaksi;
4) Nama produk;
5) Spesifikasi/kualitas produk;
6) Jumlah unit/kuantitas;
7) Harga per unit (ukuran terkecil yang lazim digunakan); dan
8) Tanggal pengiriman/pengapalan barang,
dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi afiliasi terkait produk
komoditas; dan
g. Salinan perjanjian/kontrak terkait transaksi yang nilainya signifikan.
(iii) Penerapan prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha memuat informasi
sebagi berikut:
a. Penjelasan rinci tentang analisis kesebandingan setiap transaksi
afiliasi yang dilakukan Wajib Pajak yang meliputi analisis atas
karakteristik produk atau jasa, analisis fungsional (analisis fungsi,
aset, dan risiko), ketentuan dalam kontrak, strategi usaha, dan
kondisi ekonomi, termasuk analisis kesebandingan atas perbedaan
kondisi dengan tahun-tahun sebelumnya;
b. Penjelasan rinci mengenai karakterisasi usaha yang dijalankan Wajib
Pajak berdasarkan hasil analisis fungsional (analisis fungsi, aset, dan
risiko);
c. Penjelasan tentang metode penentuan harga transfer yang paling
sesuai untuk setiap jenis transaksi afiliasi, alasan pemilihan metode
tersebut, serta keunggulan metode yang dipilih dibandingkan dengan
metode-metode lainnya;
d. Penjelasan tentang:
1) Pihak yang dipilih sebagai pihak yang diuji dalam penerapan
metode Penentuan Harga Transfer dan alasan pemilihannya; dan
2) Rasio keuangan atau indikator tingkat laba yang digunakan
dalam penerapan metode Penentuan Harga Transfer;

162
e. Ringkasan mengenai asumsi-asumsi yang digunakan dalam
penerapan metode Penentuan Harga Transfer;
f. Penjelasan mengenai alasan penggunaan analisis tahun jamak dalam
hal diperlukan;
g. daftar dan penjelasan tentang transaksi pembanding internal dan/
atau eksternal yang dipilih , dan detail penjelasan tentang kriteria
yang digunakan dalam pencarian data pembanding dan sumber
informasi data pembanding yang digunakan;
h. ikhtisar laporan keuangan yang digunakan dalam penerapan metode
Penentuan Harga Transfer, termasuk laporan keuangan yang
tersegmentasi dalam hal Wajib Pajak memiliki lebih dari 1
karakterisasi usaha;
i. penjelasan mengenai penerapan metode Penentuan Harga Transfer
berdasarkan pembanding terpilih, rentang harga atau laba wajar
yang digunakan, dan titik acuan di dalam rentang harga atau laba
wajar yang menjadi dasar Penentuan Harga Transfer;
j. penjelasan tentang penyesuaian yang dilakukan dalam rangka
meningkatkan kesebandingan, termasuk penjelasan apakah
penyesuaian hanya dilakukan terhadap pihak yang diuji, terhadap
transaksi pembanding atau terhadap keduanya;
k. penjelasan mengenai kesimpulan bahwa Penentuan Harga Transfer
telah atau belum sesuai dengan prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha; dan
l. salinan Advance Pricing Agreement (APA) yang dimiliki anggota Grup
Usaha lainnya dan ketentuan perpajakan lainnya yang terkait dengan
transaksi afiliasi Wajib Pajak.
(iv) Informasi keuangan Wajib Pajak memuat informasi sebagai berikut:
a. laporan keuangan Wajib Pajak yang telah di audit akuntan publik
untuk Tahun Pajak terkait dengan dokumen Penentuan Harga
Transfer, atau laporan keuangan yang belum diaudit dalam hal
laporan keuangan Wajib Pajak yang telah di audit akuntan publik
belum tersedia;
b. laporan keuangan Wajib Pajak yang tersegmentasi berdasarkan
karakterisasi usaha, dalam hal Wajib pajak memiliki lebih dari 1
karakterisasi usaha;

163
c. informasi dan penjelasan penggunaan informasi dalam laporan
keuangan yang terkait dengan penerapan metode Penentuan Harga
Transfer; dan
d. ringkasan informasi keuangan yang relevan dari pembanding yang
digunakan dalam penerapan metode Penentuan Harga Transfer dan
sumber informasi keuangan tersebut.
(v) Peristiwa-peristiwa/kejadian-kejadian/fakta-fakta non-keuangan yang
memengaruhi pembentukan harga atau tingkat laba.
39. Apabila Wajib Pajak mempunyai lebih dari satu kegiatan usaha
dengan karakterisasi usaha yang berbeda, Dokumen Lokal harus disajikan
secara tersegmentasi sesuai dengan karakterisasi usaha yang dimiliki.
40. Dokumen Lokal harus tersedia paling lama 4 bulan setelah akhir
Tahun Pajak. Selain itu, Wajib Pajak wajib membuat ikhtisar atas dokumen lokal
dan wajib disampaikan sebagai lampiran dalam SPT Tahunan PPh Badan Tahun
Pajak yang bersangkutan dengan format yang telah ditentukan berdasarkan
ketentuan Pajak.
41. Apabila terdapat permintaan data dan/atau informasi dalam hal
pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan, Wajib Pajak wajib
menyampaikan dokumen lokal dalam jangka waktu paling lama 1 bulan setelah
diterimanya surat permintaan data dan/atau informasi dari Direktorat Jendral
Pajak.
B.3. Laporan per Negara (Country by Country Reporting)
42. Laporan per Negara disusun sebagai sarana penilaian risiko (risk
assessment). Laporan per Negara yang disediakan oleh Wajib Pajak harus
memuat informasi sebagai berikut:
(i) Alokasi penghasilan, pajak yang dibayar, dan aktivitas usaha per negara
atau yurisdiksi dari seluruh anggota Grup Usaha baik di dalam negeri
maupun di luar negeri, yang meliputi nama negara atau yurisdiksi,
peredaran bruto, laba (rugi) sebelum pajak, PPh yang telah
dipotong/dipungut/dibayar sendiri, PPh terutang, modal, akumulasi laba
ditahan, jumlah pegawai tetap, dan harta berwujud selain kas dan setara
kas; dan
(ii) Daftar anggota Grup Usaha dan kegiatan usaha utama per negara atau
yurisdiksi.

164
43. Laporan per Negara disusun melalui pembentukan kertas kerja
Laporan per Negara dengan format dengan format yang telah ditentukan
berdasarkan Ketentuan Pajak dan dilampirkan pada Laporan per Negara.
44. Laporan per negara harus tersedia paling lama 12 bulan setelah akhir
Tahun Pajak. Laporan per Negara untuk Tahun Pajak 2016 dan seterusnya wajib
disampaikan sebagai lampiran SPT Tahunan PPh Badan Tahun Pajak
berikutnya.

C. PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA

45. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman usaha merupakan prinsip


yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan
kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak independen yang
menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan
atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak independen yang menjadi pembanding. Penerapan prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha yang dilakukan terhadap transaksi dengan
pihak yang memiliki Hubungan Istimewa dijelaskan dalam Dokumen Lokal.
46. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dapat diletakkan dalam
ketiga lapisan hierarki, yaitu: struktur, perilaku, kinerja. Dalam hal struktur
dilihat apakah struktur organisasi, supply chain, substansi dari transaksi afiliasi
wajar jika dibandingkan dengan struktur (skema) transaksi independen. Dari
segi perilaku, apakah strategi harga, pilihan investasi, alokasi biaya dari suatu
transaksi afiliasi wajar jika dibandingkan dengan perilaku transaksi
independen. Dari segi kinerja, apakah efisiensi produksi, biaya dan kinerja laba
wajar jika dibandingkan dengan kinerja transaksi independen.
47. Penerapan prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dilakukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
(i) Melakukan analisis kesebandingan dan menentukan pembanding;
(ii) Menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat
(iii) Menerapkan prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil
analisis kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat
ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa, dan

165
(iv) Mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan harga wajar
sesuai dengan Ketentuan Pajak yang berlaku.

D. ANALISIS KESEBANDINGAN DAN PENENTUAN PEMBANDING

48. Analisis kesebandingan seperti yang dijelaskan dalam Ketentuan


Pajak adalah sebagai berikut:
Analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal
Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak
dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk
diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan
melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis
transaksi dimaksud.
49. Dalam ketentuan tersebut, jelas disebutkan bahwa analisis
kesebandingan yang dilakukan bertujuan untuk dapat menemukan pembanding
dengan derajat kesebandingan yang tinggi antara transaksi yang dilakukan oleh
pihak yang memiliki Hubungan Istimewa dengan phak independen.
D.1. Analisis Fungsional
50. Analisis fungsi (termasuk aset dan risiko) dilakukan dengan
mengidentifikasi dan membandingkan kegiatan ekonomi yang signifikan dan
tanggung jawab utama yang diambil atau akan diambil oleh pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak independen. Analisis fungsional
merupakan suatu telaahan untuk mengumpulkan fakta terkait fungsi yang
dijalankan, aset yang dipergunakan, serta risiko yang ditanggung dalam bisnis
yang dijalankan oleh Wajib Pajak.
51. Analisis fungsional merupakan bagian dari lima faktor
kesebandingan yang bertujuan sebagai pertimbangan dalam pencarian
pembanding serta untuk menentukan metode penentuan harga wajar yang
tepat. Dalam melakukan analisis kesebandingan, fungsi-fungsi yang dijalankan
oleh suatu perusahaan akan diperbandingkan dengan fungsi yang dijalankan
oleh perusahaan tersebut atas transaksi dengan pihak independen.
52. Analisis fungsional dilakukan dengan mengidentifikasi fungsi, aset,
dan risiko dari suatu perusahaan untuk menentukan karakteristik usaha yang
dijalankan. Identifikasi fungsi yang dijalankan oleh Wajib Pajak di antaranya
meliputi fungsi desain, manufaktur, perakitan, riset dan pengembangan,

166
purnajual, pembelian, distribusi, pemasaran, promosi dan iklan, dan fungsi
keuangan dan manajemen.
53. Jenis-jenis risiko yang dapat terjadi di antaranya adalah risiko pasar,
risiko investasi dalam rangka riset dan pengembangan, risiko keuangan, risiko
kredit, dan lain-lain. Penilaian risiko bertujuan untuk menentukan kompensasi
yang wajar yang layak didapatkan oleh Wajib Pajak.
54. Pertimbangan yang perlu diambil dalam melakukan analisis fungsi
antara lain:
(i) Struktur organisasi, posisi perusahaan dalam kelompok usaha,
serta manajemen mata rantai (supply chain management);
(ii) Fungsi-fungsi utama yang dijalankan oleh suatu perusahaan seperti
desain, pengolahan, perakitan, penelitian, pengembangan, pelayanan,
pembelian, distribusi, pemasaran, promosi, transportasi, keuangan, dan
manajemen serta karakteristik utama perusahaan seperti jasa maklon
(toll manufacturing), manufaktur dengan fungsi dan risiko terbatas
(contract manufacturing), dan manufaktur dengan fungsi dan
risiko penuh (fully fledge manufacturing);
(iii) Jenis aktiva yang digunakan atau akan digunakan seperti tanah, bangunan,
peralatan, dan harta tidak berwujud, serta sifat dari aktiva tersebut
seperti umur, harga pasar, dan lokasi; serta
(iv) Risiko yang mungkin timbul dan harus ditanggung oleh masing-masing
pihak yang melakukan transaksi.
D.2. Analisis Kesebandingan
55. Untuk dapat melakukan analisis kesebandingan, terdapat beberapa
faktor yang dapat digunakan untuk menilai derajat kesebandingan, atau yang
disebut sebagai lima faktor kesebandingan, yaitu:
1. Karakteristik produk
56. Karakteristik produk berupa barang berwujud yang diperjualbelikan
dalam transaksi Hubungan Istimewa dapat dinilai dengan memerhatikan
beberapa hal berikut, seperti:
(a) Ciri-ciri fisik barang;
(b) Kualitas barang;
(c) Ketersediaan barang;

167
(d) Daya tahan barang; dan
(e) Jumlah penawaran barang.
57. Sedangkan karakteristik produk berupa jasa atau barang tidak
berwujud dinilai berdasarkan dari manfaat, sifat, jenis, dan tipe kesepakatan
yang dilakukan.
2. Analisis fungsi
58. Analisis fungsi sebagaimana dijelaskan pada bagian D.1. ditujukan
untuk menemukan pembanding yang dapat digunakan untuk menilai kewajaran
transaksi yang dilakukan antara pihak yang memiliki Hubungan Istimewa
dengan transaksi yang dilakukan oleh pihak independen.
3. Keadaan ekonomi
59. Analisis keadaan ekonomi dilakukan untuk memperoleh tingkat
kesebandingan dalam pasar tempat beroperasinya para pihak yang melakukan
transaksi. Keadaan ekonomi perlu diamati untuk melihat pengaruhnya terhadap
penentuan harga atau tingkat laba yang ditetapkan oleh Wajib Pajak pada saat
transaksi dilakukan. Analisis kondisi ekonomi dilakukan dengan melihat di
antaranya:
(a) Ukuran pasar;
(b) Lokasi geografis;
(c) Tingkat persaingan usaha;
(d) Ketersediaan barang atau jasa pengganti;
(e) Daya beli konsumen;
(f) Tingkat permintaan dan penawaran dalam pasar;
(g) Kebijakan ekonomi;
(h) Biaya produksi;
(i) Tanggal, waktu transaksi, dan sebagainya.
4. Syarat-syarat transaksi
60. Penilaian dan analisis atas syarat-syarat transaksi atau kontrak
perjanjian dilakukan dengan menganalisis tingkat tanggung jawab, risiko, dan
keuntungan yang dibagi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa untuk dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan
dalam kontrak/perjanjian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak

168
mempunyai Hubungan Istimewa, yang meliputi ketentuan tertulis dan tidak
tertulis.
61. Beberapa hal yang mempengaruhi syarat dalam transaksi di
antaranya adalah kebijakan harga, syarat penyerahan, jaminan, jangka waktu
transaksi, pembayaran, kemungkinan perubahan kerja sama, dan lain
sebagainya.
5. Strategi usaha
62. Penilaian dan analisis strategi usaha dilakukan dengan
mengidentifikasi inovasi dan pengembangan produk baru, tingkat diversifikasi
barang/jasa, tingkat penetrasi pasar, dan kebijakan-kebijakan usaha lainnya,
yang terjadi pada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dan pihak-
pihak independen.
D.3. Menentukan Pembanding
63. Data pembanding yang dapat digunakan dalam penerapan prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha adalah data pembanding internal dan data
pembanding eksternal. Data pembanding internal adalah data harga atau laba
wajar dalam transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak
yang tidak memiliki Hubungan Istimewa ataupun data atau informasi yang
berasal dari transaksi yang dilakukan oleh pihak lawan transaksi dengan pihak
independen. Penggunaan data pembanding internal lebih diutamakan dalam
analisis kewajaran suatu transaksi Hubungan Istimewa.
64. Sedangkan data pembanding eksternal adalah data harga atau laba
wajar dalam transaksi sebanding yang dilakukan oleh Wajib Pajak lain dengan
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa. Data pembanding
eksternal merupakan data yang sering digunakan dalam penerapan prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha. Kesulitan yang ditemukan dalam
menggunakan data pembanding eksternal adalah terbatasnya akses terhadap
informasi mengenai transaksi yang dilakukan antarpihak independen, serta
pasar untuk barang yang ditransaksikan dengan pihak yang memiliki Hubungan
Istimewa belum tentu tersedia. Namun, data pembanding eksternal dapat
digunakan dalam menganalisis kewajaran transaksi antar pihak Hubungan
Istimewa saat seluruh transaksi dilakukan hanya kepada pihak Hubungan
Istimewa atau transaksi yang dilakukan kepada pihak independen kondisinya
tidak sebanding.
65. Pendekatan yang dilakukan untuk menentukan pembanding yang
tepat berupa pendekatan additive dan pendekatan deductive. Pendekatan

169
additive adalah pendekatan untuk mencari pembanding potensial yang diawali
dari suatu penilaian terhadap perusahaan-perusahaan tertentu yang dapat
dijadikan pembanding. Keunggulan dari pendekatan ini adalah hasil
pembanding yang lebih fokus dan sudah dikenal luas dalam industri.
Kekurangannya adalah perusahaan yang telah ditentukan sebelumnya tersebut
ternyata tidak sebanding dan tidak ditemukan dalam database.
66. Pendekatan deductive adalah pendekatan yang berangkat dari
kriteria-kriteria faktor kesebandingan, yang lebih mengutamakan proses
analisis kesebandingan jika dibandingkan dengan hasil pencarinya. Pendekatan
deductive berfokus pada proses, sehingga langkah-langkah pencarian atau
kriteria yang digunakan dalam mencari pembanding sangat diperhatikan.
Keunggulan pendekatan deductive adalah dalam hal transparansi dan
kemudahan verifikasi. Kelemahannya adalah kualitas hasil pembanding sangat
bergantung pada kualitas database yang digunakan.
67. Dalam menentukan pendekatan mana yang lebih baik digunakan
dilakukan dengan cara memilih pembanding yang dapat dipertahankan. Syarat
suatu pembanding dapat dipertahankan adalah:
(i) Harus sejalan dengan prinsip atau situasi ekonomi;
(ii) Faktor transparansi dan objektif; dan
(iii) Prosesnya dapat diulangi pada saat pemeriksaan.
68. Syarat tersebut paling tepat dipenuhi oleh pendekatan deductive,
sehingga pendekatan tersebut dianggap paling tepat untuk digunakan dalam
menentukan pembanding.

E. METODE PENENTUAN HARGA TRANSFER

69. Dalam menentukan metode harga atau laba wajar perlu dilakukan
kajian untuk menerapkan metode penentuan harga transfer yang paling sesuai
(the most appropriate method). Kajian dalam menentukan metode Penentuan
Harga Transfer dilakukan dengan melihat kriteria sebagai berikut:
(i) Keunggulan dan kekurangan dari masing-masing metode;
(ii) Kesesuaian metode dengan sifat dasar transaksi antar pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa, ditinjau melalui analisis fungsional;
(iii) Ketersediaan informasi yang andal;

170
(iv) Tingkat kesebandingan antara transaksi antar pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan transaksi independen, termasuk keandalan
penyesuaian yang dilakukan.
70. Lima metode Penentuan Harga Transfer yang digunakan di Indonesia
terbagi kedalam dua bagian, yaitu: (i) traditional transaction methods dan (ii)
transactional profit method. Traditional transaction methods merupakan metode
Penentuan Harga Transfer yang menggunakan perbandingan pada tingkat harga
dan laba kotor (gross profit). Termasuk dalam traditional transation methods
adalah metode perbandingan harga, metode harga jual kembali, dan metode
biaya-plus. Traditional transaction methods dianggap sebagai metode yang
paling sesuai karena untuk setiap perbedaan dalam tingkat harga antara
transaksi yang dilakukan dengan pihak Hubungan Istimewa dengan harga
transaksi yang dilakukan pada pihak independen dapat ditelusuri langsung dan
dapat langsung dilakukan penyesuaian harga yang sebanding dengan transaksi
pihak independen.
71. Sedangkan transactional profit methods merupakan metode
Penentuan Harga Transfer dengan menggunakan perbandingan pada tingkat
laba bersih (net margin). Termasuk dalam transactional profit methods adalah
metode pembagian laba, dan metode laba bersih transaksional. Penggunaan
transactional profit method dianggap paling sesuai pada kondisi masing-masing
pihak dalam suatu Grup Usaha membuat kontribusi yang bernilai dan unik atau
pada saat suatu pihak terlibat dalam kegiatan yang saling terintegrasi.
72. Metode Penentuan Harga Transfer yang dapat digunakan adalah
sebagai berikut:

E.1. Metode Perbandingan Harga (Comparable Uncontrolled Price/CUP)


73. Metode perbandingan harga dilakukan dengan membandingkan
harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa dengan harga barang atau jasa dalam transaksi yang dilakukan oleh
pihak independen dalam kondisi atau keadaan yang sebanding. Metode ini
merupakan metode dengan tingkat kesebandingan yang paling sempurna
diantara penggunaan metode lainnya karena perbandingan dilakukan pada
tingkat harga.
74. Kondisi yang tepat dalam menggunakan metode perbandingan harga
adalah barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang identik
dalam kondisi yang sebanding, atau transaksi yang dilakukan dengan pihak
Hubungan Istimewa memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi atau dapat

171
dilakukan penyesuaian yang akurat untuk menghilangkan pengaruh dari
perbedaan kondisi yang ada.
75. Penggunaan metode perbandingan harga dilakukan dengan kriteria
bahwa transaksi pembanding yang dipilih harus memenuhi tingkat
kesebandingan yang hampir sempurna, serta untuk setiap perbedaan yang
terjadi harus disesuaikan untuk mendapatkan tingkat kesebandingan yang
sempurna, sehingga metode perbandingan harga dapat digunakan sebagai
metode penentuan harga yang paling sesuai.
76. Keunggulan dari metode perbandingan harga adalah metode
perbandingan harga merupakan metode yang paling andal untuk diterapkan
dalam menilai kewajaran suatu transaksi yang dilakukan dengan Hubungan
Istimewa terhadap transaksi dengan pihak independen. Keunggulan lainnya
adalah metode perbandingan harga paling disukai oleh otoritas pajak dalam
menilai kewajaran harga yang ditetapkan atas transaksi dengan Hubungan
Istimewa.
77. Selain keunggulan, terdapat keterbatasan dalam penggunaan metode
perbandingan harga yaitu terdapat kesulitan dalam mengakses informasi
terkait harga dari suatu transaksi yang terdapat dalam pasar, membutuhkan
keterbukaan informasi pasar untuk menentukan kesebandingan, serta
perhitungan atas penyesuaian yang sulit dilakukan.
78. Salah satu syarat digunakannya metode perbandingan harga adalah
tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi antara Hubungan Istimewa
dengan transaksi independen, sehingga metode perbandingan harga lebih cocok
digunakan untuk produk komoditas atau kategori lainnya, seperti ekstraksi
bahan baku, produk perkebunan, produk peternakan, produk, serta berbagai
jenis produk massal dengan atau tanpa merek tertentu.

E.2. Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM)


79. Metode harga penjualan kembali dilakukan berdasarkan barang yang
dibeli dari pihak yang memiliki Hubungan Istimewa dan dijual kembali kepada
pihak independen. Harga jual kembali yang ditetapkan kepada pihak
independen tersebut kemudian dikurangkan dengan margin kotor yang sesuai
pada harga tersebut.
80. Metode harga penjualan kembali dapat diterapkan dalam kondisi
tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi Wajib Pajak
yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antara pihak
independen, dengan tingkat kesebandingan berdasarkan hasil analisis fungsi,

172
meskipun barang atau jasa yang diperjualbelikan berbeda, dan pihak penjual
kembali (reseller) tidak memberikan nilai tambah yang signifikan atas barang
atau jasa yang diperjualbelikan.
81. Keunggulan dalam penggunaan metode harga penjualan kembali
diantaranya adalah memberikan perhitungan yang andal dan lebih fleksibel
dalam kesebandingan produk. Sedangkan keterbatasan dalam penggunaan
metode harga penjualan kembali adalah kesulitan dalam memperoleh data
terkait tingkat laba kotor pihak independen dan mungkinnya terdapat
perbedaan atas praktik akuntansi antara pihak dengan Hubungan Istimewa
dengan pihak independen.

E.3. Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method/CPM)


82. Metode biaya-plus dilakukan dengan menambahkan tingkat laba
kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak
independen atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari
transaksi sebanding dengan pihak independen pada harga pokok penjualan
yang telah sesuai dengan prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
83. Metode biaya-plus dapat diterapkan pada transaksi penjualan jasa,
atau transaksi dengan kondisi barang setengah jadi dijual kepada pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa, terdapat kontrak/perjanjian penggunaan
fasilitas bersama (joint facility agreement) atau kontrak jual-beli jangka panjang
(long term buy) antara pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
84. Secara umum, keunggulan dan kekurangan metode biaya-plus sama
dengan metode harga penjualan kembali, yaitu lebih fleksibel dalam
kesebandingan produk dan sulitnya mendapatkan akses informasi dalam
tingkat laba kotor.

E.4. Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM)


85. Metode pembagian laba dilakukan dengan dengan mengidentifikasi
laba gabungan atas transaksi afiliasi yang akan dibagi oleh pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut dengan menggunakan dasar
yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian
laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar
pihak-pihak yang independen. Metode pembagian laba terbagi menjadi dua
jenis, yaitu Metode Kontribusi (Contribution Profit Split Method) atau Metode
Sisa Pembagian Laba (Residual Profit Split Method).
86. Metode pembagian laba dapat diterapkan pada kondisi transaksi
antara pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sangat terkait satu sama dan

173
tidak dimungkinkan untuk dilakukan kajian terpisah, atau terdapat barang tak
berwujud yang unik antara pihak yang bertransaksi, sehingga sulit menemukan
data pembanding yang tepat.
87. Dalam menerapkan metode pembagian laba terdapat dua
pendekatan, yaitu:
(i) Pendekatan analisis kontribusi
88. Analisis kontribusi dilakukan dengan cara membagi total profit yang
dihasilkan oleh satu grup perusahaan yang dibagi berdasarkan pembagian yang
wajar dalam transaksi yang dilakukan oleh pihak independen. Apabila tidak
terdapat pembanding yang sesuai, pembagian laba dapat didasarkan pada
analisis fungsi yang dijalankan, aset yang dimiliki, dan risiko yang dihadapi serta
variabel yang digunakan dalam menentukan laba gabungan tersebut diakui
secara ekonomis.
(ii) Pendekatan analisis residual.
89. Analisis residual dilakukan dalam dua tahap, yaitu membagi total laba
(atau rugi) perusahaan berdasarkan kontribusi rutin yang dilakukan oleh
masing-masing perusahaan dengan Hubungan Istimewa dengan menggunakan
metode penentuan harga transfer lainnya, selanjutnya sisa total laba (atau rugi)
atas kegiatan non rutin dibagi berdasarkan formula tertentu dengan tetap
mempertimbangkan analisis fungsi yang dijalankan, aset yang dimiliki, serta
risiko yang dihadapi.
90. Keunggulan metode pembagian laba di antaranya adalah sebagai
berikut:
(i) Adapat diterapkan pada transaksi Hubungan Istimewa yang kompleks
dan saling terintegrasi;
(ii) Metode pembagian laba merupakan metode yang paling tepat digunakan
pada transaksi Hubungan Istimewa, di mana masing-masing pihak
memberikan kontribusi yang unik dan berharga;
(iii) Metode pembagian laba menawarkan fleksibilitas dengan tetap
memperhatikan hal-hal yang spesifik, unik, fakta, dan keadaan yang tidak
ada di perusahaan independen.
91. Sedangkan keterbatasan dalam penggunaan metode pembagian laba
di antaranya:
(i) Kesulitan dalam mengakses informasi keuangan yang berasal dari
perusahaan Hubungan Istimewa di berbagai negara;

174
(ii) Kesulitan dalam menentukan laba gabungan dan biaya yang timbul untuk
seluruh pihak yang tergabung dalam transaksi Hubungan Istimewa;
(iii) Kesulitan dalam menentukan biaya operasi yang terkait dengan transaksi
afiliasi dan kesulitan dalam mengalokasikan biaya antara aktivitas
transaksi afiliasi dan aktivitas lainnya.

E.5. Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin


Method/TNMM)
92. Metode laba bersih transaksional dilakukan dengan membandingkan
presentase laba bersih operasi terhadap biaya, terhadap penjualan, terhadap
aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas
transaksi sebanding dengan pihak lain yang independen atau persentase laba
bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh
pihak independen lainnya.
93. Metode laba bersih transaksional dapat diterapkan pada kondisi
salah satu pihak dalam transaksi Hubungan Istimewa melakukan kontribusi
yang khusus; atau salah satu pihak dalam transaksi Hubungan Istimewa
melakukan transaksi yang kompleks dan memiliki transaksi yang berhubungan
satu sama lain.
94. Keunggulan penggunaan metode laba bersih transaksional di
antaranya adalah:
(i) Indikator laba bersih, seperti tingkat pengembalian aset, tingkat
pendapatan operasional terhadap penjualan, dan pengukuran tingkat laba
lainnya, kurang dipengaruhi oleh perbedaan transaksional daripada
harga;
(ii) Indikator laba bersih lebih toleran terhadap perbedaan fungsi antara
pihak dengan Hubungan Istimewa dengan pihak independen daripada
tingkat laba kotor;
(iii) Penggunaan metode satu sisi memberikan analisis yang mendalam pada
kondisi keuangan suatu perusahaan;
(iv) Penggunaan indikator laba operasi mencakup berbagai jenis transaksi.
95. Sedangkan keterbatasan metode laba bersih transaksional di
antaranya adalah:
(i) Indikator laba bersih dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
mungkin tidak berpengaruh terhadap tingkat laba kotor maupun tingkat

175
harga antara pihak yang memiliki Hubungan Istimewa dengan pihak
independen;
(ii) Terdapat kesulitan dalam melakukan penyesuaian yang tepat;
(iii) Keterbatasan akses terhadap informasi pada sumber data komersial;
(iv) Transaksi tidak wajar dapat dikompensasi dengan transaksi yang wajar;
(v) Penggunaan metode laba bersih transaksional dilakukan jika analisis
kesebandingan dalam metode lainnya memberikan hasil yang tidak
memuaskan.

F. PELAPORAN PIHAK-PIHAK YANG MEMILIKI HUBUNGAN ISTIMEWA

96. Pelaporan atas transaksi dengan pihak-pihak yang memiliki


Hubungan Istimewa harus diungkapkan dan dilaporkan dalam SPT Tahunan
PPh Wajib Pajak Badan pada Lampiran Khusus yang telah disediakan
berdasarkan Ketentuan Pajak dan Ikhtisar Dokumen Induk dan Dokumen Lokal.
1. Pernyataan transaksi degan pihak yang memiliki Hubungan
Istimewa
97. Dibuatkan Lampiran Khusus berisi daftar pihak-pihak yang memiliki
Hubungan Istimewa dengan Wajib Pajak serta rincian transaksi yang dilakukan
dengan pihak yang memiliki Hubungan Istimewa.
98. Daftar pihak-pihak yang memiliki Hubungan Istimewa harus
diungkapkan, yaitu: nama, alamat, NPWP, kegiatan usaha serta bentuk
hubungan dengan Wajib Pajak. Bentuk hubungan tersebut meliputi:
(i) Hubungan Istimewa karena kepemilikan saham/penyertaan modal;
(ii) Hubungan Istimewa karena penguasaan;
(iii) Hubungan Istimewa karena hubungan keluarga;
(iv) Hubungan Istimewa karena pengendalian sebagaimana diatur dalam
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan
negara domisili pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan
Wajib Pajak.
99. Rincian transaksi yang dilakukan dengan pihak-pihak yang memiliki
Hubungan Istimewa berisi dengan nama mitra transaksi dan jenis transaksi
yang dilakukan, jumlah transaksi, metode penetapan harga wajar yang
digunakan serta alasan penggunaan metode tersebut.

176
2. Pernyataan transaksi dalam Hubungan Istimewa
100. Pernyataan transaksi dalam Hubungan Istimewa diungkapkan dalam
Lampiran Khusus sebagaimana diatur dalam ketentuan paja. Pernyataan
tersebut berisi langkah-langkah penerapan rinsip kewajaran dan kelaziman
usaha yang diterapkan beserta kelengkapan dokumentasi yang dilakukan oleh
Wajib Pajak.
101. Pernyataan transaksi dalam Hubungan Istimewa yang dilampirkan
tersebut berisi:
(i) Pernyataan terkait gambaran perusahaan secara rinci berupa struktur
kepemilikan antar seluruh perusahaan dalam satu kelompok perusahaan
multinasional, struktur organisasi perusahaan Wajib Pajak, aspek-aspek
operasional, gambaran lingkungan usaha;
(ii) Pernyataan mengenai transaksi berupa mengungkapkan transaksi
dengan pihak yang memiliki Hubungan Istimewa, mengungkapkan
transaksi yang tidak dipengaruhi oleh Hubungan Istimewa, serta dalam
hal Wajib Pajak bertindak sebagai penjual, maka Wajib Pajak telah
menyelenggarakan catatan terkait Kebijakan penentuan harga dan daftar
harga selama 5 tahun terakhir dan rincian biaya pabrikasi atau harga
perolehan atau harga penyiapan jasa;
(iii) Pernyataan mengenai analisis kesebandingan yang berupa karakteristik
produk, analisis fungsional, kondisi ekonomi, syarat-syarat transaksi yang
mempengaruhi, serta strategi bisnis yang dijalankan;
(iv) Pernyataan mengenai catatan penentuan harga wajar yang meliputi
metodelogi penentuan harga wajar yang diterapkan, data pembanding
yang digunakan, serta aplikasi metodelogi penentuan harga transfer dan
penggunaan data pembanding dalam harga transfer.
3. Pernyataan transaksi dengan pihak yang merupakan penduduk
negara tax haven country
102. Dibuatkan Lampiran Khusus terkait rincian mengenai daftar
transaksi yang dilakukan dengan pihak Hubungan Istimewa yang merupakan
penduduk negara tax haven country. Bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi
tersebut. Daftar transaksi berupa nama perusahaan mitra, jenis transaksi yang
dilakukan, negara dan jumlah transaksi, serta pernyataan bahwa atas transaksi
yang telah disebutkan di atas telah diterapkan prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha.

177
103. Pengungkapan pihak-pihak Hubungan Istimewa yang merupakan
penduduk negara tax haven country bertujuan untuk membuktikan bahwa tidak
terdapat isu penghindaran pajak yang dilakukan oleh suatu Grup Usaha
perusahaan multinasional di mana Wajib Pajak merupakan anggota dari grup
perusahaan multinasional tersebut.

178

Anda mungkin juga menyukai