Anda di halaman 1dari 21

Pendeta Berpolitik?

(Dari presentasi seminar Pendeta dan Politik, Luwuk, 29 November 2008)

Peran politik Kristen dapat dijalankan dalam berbagai bentuk oleh berbagai fihak.
Salah satunya adalah keterlibatan langsung orang Kristen dalam dunia politik
praktis. Apakah kualifikasi / persyaratan yang cocok untuk panggilan Kristen
dalam dunia politik? Sedikitnya tiga hal: kokoh integritas kepribadian Kristennya,
dan mempunyai visi dan komitmen yang jelas mengenai partisipasi politik Kristen,
serta memahami cara kerja dalam dunia politik secara profesional. Kalau yang
pertama lemah dia akan menjadi koruptor karena besarnya godaan mammon
dalam dunia politik, dan kalau yang kedua lemah dia akan menjadi oportunis,
orang yang menganut aji mumpung. Dan kalau tidak profesional maka dia akan
mengecewakan konstituen yang memilihnya, karena tidak dapat mewujudkan
janji-janji kampanyenya.

Baik pada masa PARKINDO maupun di era Reformasi pendeta-pendeta terlibat


langsung dalam dunia politik praktis. Apakah pendeta cocok menjalankan peran
partisipasi politik Kristen? Ya dan tidak. Ya, karena pendeta adalah pemimpin
umat yang (seharusnya) mempunyai wawasan yang luas terhadap berbagai aspek
dan perkembangan dalam masyarakat, termasuk politik, dan selalu merelasikannya
dengan panggilan gereja. Tidak, karena pendeta yang terlibat dalam politik praktis
memilih salah satu partai/golongan politik, dan dengan itu tidak bisa lagi membina
warga jemaatnya dalam aktivitas politik yang berbeda-beda.

Masalah pendeta dalam dunia politik praktis bukan terutama masalah doktrin
jabatan menyangkut salah atau benar; melainkan masalah etika, boleh atau tidak
boleh. Pendeta yang berpolitik akan cenderung mengarahkan warga jemaat pada
kepentingan partainya, dan dengan demikian tidak netral. Bahkan dapat memakai
mimbar gereja untuk kampanye politik, bukan pemberitaan Injil.

Yang juga penting adalah motivasi pendeta terjun dalam politik praktis. Ada
pendeta yang memang bekerja dalam dunia politik dengan integritas, visi dan
komitmen. Tetapi banyak pula yang sesungguhnya ikut Yunus melarikan diri ke
Tarsis ...

Jadi, apakah pendeta boleh atau tidak boleh masuk dalam politik praktis? Apakah
pendeta boleh menjadi caleg salah satu partai? Seharusnya tidak boleh. Tetapi
dalam praktek ditentukan oleh pengaturan gerejanya. Ada gereja yang mengatur
lunak: boleh merangkap jadi hamba Tuhan sambil berpolitik. Ada yang mengatur
supaya selama menjadi politikus status kependetaannya digantung, dan dapat
dipakai lagi kalau sudah berhenti dari aktivitas politik praktis. Ada pula gereja
yang mencabutnya sama sekali: silahkan berpolitik tapi tanggalkan kependetaan;

1
kalau nanti anda mau kembali, silahkan mendaftar ulang sebagai calon pendeta
untuk diproses lagi sesuai aturan ...

Bagaimana pun, pada prinsipnya pilihan adalah menjadi pendeta atau menjadi
politikus: melayani ideologi Kerajaan Allah atau tunduk pada ideologi partai
politiknya. Artinya, seorang pendeta yang mau berkiprah di dunia politik praktis
memang meninggalkan jemaat dan menanggalkan status sebagai pendeta. Dengan
menjadi caleg dia mulai berpindah ke pelayanan lain yang bukan dunia pelayanan
pendeta, melainkan kancah percaturan politik. (Zakaria Ngelow)

Etika Politik dari Perspektif Alkitab

Etika Politik dari Perspektif Alkitab

Pdt. Saut Sirait, M.Th.

Etika merupakan pelajaran sistematis mengenai persoalan-persoalan yang paling


utama dan terutama dari tindakan manusia (human conduct). Di dalamnya
terkandung hal yang bersifat universal, yang membedakannya dengan sopan
santun yang kebanyakan bersifat lokal (misalnya cium tangan/sujud, dll).

Ada dua kata kunci yang perlu dan tidak dapat dilepaskan dalam upaya memahami
etika, yakni karakter dan kebiasaan. Di dalam kedua kata itulah termaktub
pelbagai pengertian dan perumusan mengenai etika. Jika pengertiannya lebih
menekankan pada tingkah laku manusia maka akan dikatakan etika itu adalah
pengetahuan mengenai perilaku: ethics is the science of behaviour (Emil Bruner:
The Divine of Imperative, 1947, P.83). Jika kecenderungannya pada nilai-nilai
yang membentuk kepribadian (karakter), maka etika akan disebut sebagai ajaran
menyangkut karakter manusia (doctrine of human character).

Tidak berbeda dengan pengertian di atas, Jongeneel, salah satu pakar Etika yang
cukup dikenal di Indonesia, merumuskan bahwa etikka adalah ajaran yang baik
dan yang buruk dalam pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dan masyarakat
(Jongeneel: Hukum Kemerdekaan I, 1980. h. 10). Hal itu lebih diperluas lagi oleh
pakar lain yang mengatakan bahwa bukan hanya soal baik dan buruk, tetapi
menyangkut persoalan benar dan salah. Apa yang baik di dalam semua tindakan
baik? Apa yang buruk di dalam semua tindakan yang salah dan jahat? Apa yang
benar dan apa yang membuat tindakan yang benar itu benar, apa yang salah dan
apa yang membuat tindakan itu salah? Dan mengapa yang benar ditemukan dalam
apa yang baik? (Niebuhr: Faith and Ethics, 1957. P.120).

2
Dalam pertanyaan-pertanyaan di atas sudah tergambar muatan yang sesungguhnya
dari etika itu. Namun belumlah cukup. Satu perkataan lain yang sangat akrab di
telinga manusia masih diperlukan, yakni: moral. Niebuhr dengan tandas
mengatakan bahwa moral sangat memainkan peran dalam etika. Menurutnya,
keberadaan moral (moral existence) merupakan keberadaan pribadi (personal
existence). Masih menurut Niebuhr, dasar dari sebuah keputusan moral adalah hati
(reason of heart) dari orang yang sungguh-sungguh. Pengutamaan moral itu bagi
Niebuhr adalah juga disebabkan pemahamannya bahwa tidak ada alat yang lebih
besar bagi penyamarataan kehidupan yang membuat manusia setara (equal),
kecuali moral. Dalam relasinya dengan keagamaan, Niebuhr juga melihat
kerusakan moral berkaitan dengan dosa, yang dari dimensi religius dikatakannya
sebagai pemberontakan terhadap Allah dan upaya untuk menduduki secara paksa
tempat atau kedudukan Allah. Kerusakan moral karena dosa., dari dimensi sosial
adalah ketidakadilan.

Kata absolutisasi menjadi suatu pokok tersendiri untuk memasuki wilayah politik
dari dimensi etika itu. Semua mengetahui dan mengakui bahwa tidak ada yang
absolut di dunia ini. Satu yang tunggal, yakni Allah pencipta semesta itulah yang
absolut. Jika kerusakan moral terjadi dan manusia mencoba dengan paksa untuk
menduduki tempat (kedudukan) Allah, maka manusia membuat dirinya absolut,
menjadi penafsir tunggal kebenaran atau hukum dan menjadi kebenaran dan
hukum itu sendiri. Inilah yang disebut absolutisasi kebenarannya sendiri. Dan, di
dalam proses manusia merebut paksa dan kemudian mempertahankan kedudukan
yang dimiliki Allah itu, dimensi sosial akan menunjukkan kenyataan yang
dipenuhi pelbagai ketidakadilan di segala bidang kehidupan.

Politik
Perkataan yang berasal dari kata Yunani, Polis diartikan kota (city). Dalam
perkembangan berikutnya kota-kota memperluas dirinya atau menyatukan diri dan
kemudian disebut Negara. Sebagai ilmu, politik merupakan analisa tentang
pemerintahan, proses-proses di dalamnya, bentuk-bentuk organisasi, lembaga-
lembaga dan tujuannya (William Ebenstein: Political Science, 1972. P.309). Dalam
bentuk yang lebih operasional, politik merupakan pembuatan keputusan yang
dilakukan masyarakat; suatu pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan
kebijakan-kebijakan publik (Joice & William Mitchel: Political Analysis and
Public Policy, 1969 P.4).

Politik jelas akan berbicara tentang pengaturan menyangkut hajat hidup manusia,
kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan kelompok-kelompok di dalamnya.
Dalam perspektif ini, kebutuhan mengenai peraturan, pengatur dan pelaksana
(pemerintah) adalah sesuatu yang tidak tertolak. Dalam melaksanakan tugasnya,
pemerintah pada tiap Negara jelas membutuhkan dan sekaligus akan
mengeluarkan pelbagai kebijakan publik, sesuai dengan programnya. Berdasarkan

3
kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan itu, mujatan atau warna politik dari
suatu pemerintahan akan terbaca.

Tidaklah salah jika dikatakan bahwa tiap kebijakan atau peraturan yang keluar
dalam suatu Negara, merupakan produk politik dari rezim yang sedang berkuasa.
Di sinilah titik krusial dari politik itu. Sebab, subjektivitas tidaklah dengan
sendirinya hilang, bahkan sering dapat mencuat manakala kekuasaan membesar
pada seseorang atau sekelompok orang. Paling tidak, para penguasa akan
mempengaruhi rumusan dan muatan dari suatu kebijakan publik atau peraturan
yang keluar pada masa pemerintahannya, baik itu mengenai ekonomi, hukum,
lingkungan hidup, pendidikan dan lain sebagainya.

Dalam sejarahnya, sebagaimana asal kata itu, Yunani merupakan kiblat dari ilmu
politik. Namun, sejarah juga tidak bisa mengabaikan kontribusi Yahudi dalam
proses-proses politik itu sendiri. Gagasan-gagasan awal mengenai persaudaraan
manusia (brotherhood of man) dan konsepsi tentang dunia yang satu (one world)
sangat memberi inspirasi dalam lintas pemikiran politik. Banyak yang mengaitkan
hal itu dengan lahirnya pemahaman monoteisme Alkitab, terutama Perjanjian
Lama.

Dalam arus gagasan yang demikian, pemaknaan koinonia dari tri-tugas gereja,
jelas memiliki kesejajaran dengan pengertian polis itu. Bedanya adalah
fundamentalnya, antara persekutuan yang didasarkan keyakinan terhadap Yesus
Kristus dan persekutuan yang diikat secara politis kebangsaan, kerajaan atau
bentuk-bentuk lain. Inti makna yang dapat dilihat adalah bahwa polis atau politik
itu adalah penataan kerhidupan sekelompok manusia ke arah yang mereka
kehendaki.

Etika Politik

Arena politik merupakan ruang yang sangat memungkinkan bagi pemberlakuan


syalom Kerajaan Allah, tetapi sekaligus juga menjadi wilayah yang sangat terbuka
bagi terjadinya pemberontakan terhadap Allah. Absolutisme yang merupakan
prerogative Allah semata dan tidak terbagi terhadap siapapun, ternyata dalam
sejarah bisa ditarik dan diambil paksa oleh manusia. Namun, selalu ada
konsekuensi dari sikap pemberontakan itu, yang selalu merugikan pihak manusia,
termasuk orang-orang yang saleh.

Kita dapat melihat kekerasan hati Firaun (absolutisasi) yang berujung pada
pemberontakan. Kita tidak disodorkan Alkitab jumlah korban, baik fisik material
maupun jiwa. Hitler dengan keyakinan Arianisme (absolutisasi) mengakibatkan
ratusan ribu nyawa melayang, termasuk orang-orang yang saleh. Termasuk juga

4
diktator-diktator di Negara-negara berkembang yang memakan anak-anak
bangsanya.

Etika politik sesungguhnya berbicara pada tataran nilai tentang Negara dan proses-
proses yang manusiawi di dalamnya. Kesadaran tentang keberdosaan manusia dan
kecenderungannya untuk menjadi ilah, membuka kesadaran perlunya batas-batas
etis menyangkut proses dan perilaku politik dalam suatu negara. Karena itu politik
tidak bisa dibiarkan berjalan begitu saja, hanya sekadar diurus orang-orang
tertentu atau diserahkan kepada para politisi semata.

Lembaga-lembaga yang ada di dalam masyarakat, terutama kelompok-kelompok


kepentingan, termasuk lembaga keagamaan, merupakan kekuatan tersendiri untuk
mempengaruhi kebijakan publik atau keluarnya suatu peraturan. Lembaga-
lembaga yang ada itu dapat mendengar dan menyalurkan pelbagai keprihatinan
dan aspirasi yang ada di tengah-tengah sekelompok masyarakat untuk menekan
penguasa memberi perhatian atau mengeluarkan kebijakan pada tuntutan
masyarakat tersebut.

Keterlibatan politik secara kritis (critical engagement) dari lembaga-lembaga atau


kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat akan menjadi sarana dan alat
yang sangat efektif untuk mengontrol segala tingkah pongah penguasa dan dengan
itu batas-batas etis kekuasaan yang layak tetap terjaga. Upaya-upaya melakukan
kritik, menekan pemerintah dan melakukan kontrol, jika dilakukan secara
berkesinambungan dan terhormat, jelas akan membiasakan suatu bangsa atau
negara hidup dalam keseimbangan yang terukur. Juga, pemerintah akan dididik
untuk tunduk pada yang seharusnya.

Pendidikan politik suatu bangsa akan berjalan dengan baik di dalam dan melalui
proses kesadaran kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat untuk terus
menerus membiasakan diri melakukan kritik dan kontrol terhadap proses politik
yang sedang berjalan. Suatu bangsa atau negara, yang berjalan dalam situasi
demikian, akan membiasakan dirinya terbuka dan siap melakukan perbaikan. Di
samping itu, politik tidak akan menjadi suatu potret seram yang menakutkan,
tetapi sesuatu yang wajar dan biasa-biasa saja. Kritik tidak akan dianggap sebagai
ancaman, dan para pengritik tidak diperlakukan sebagai musuh.

Perubahan-perubahan yang dilakukan penguasa terhadap kebijakannya yang salah


atas desakan masyarakat merupakan pendidikan politik yang paling baik. Dengan
itu akan lahir kebiasaan-kebiasaan yang positif, yang pada akhirnya akan berujung
pada suatu karakter politik yang terbuka dan mau berubah ke arah yang lebih baik
dan maju. Kebiasaan-kebiasaan baik yang berjalan dalam pemerintahan itu, akan
menjadi etika politik suatu bangsa.

5
Perspektif Alkitab
Usahakanlah kesejahteraan kota (baca: polis, politik) dan berdoalah untuk kota
(polis, politik) itu (Yer. 29:7). Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan
syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan untuk semua pembesar, agar kita
hidup tenang dan tentram dalam segala kesalehan dan kehormatan (1 Tim 2:1-2).

Gereja diutus ke dunia, ditugaskan ke dunia untuk menggenapkan firman Allah,


memproklamasikan Injil Yesus Kristus (Mat 28:19-20, Mark 6:15, Luk 4:18-19)
dan tidak diperintahkan untuk mencari sorga. Dalam bahasa realita kontekstual
saat ini. Gereja diutus untuk menyampaikan kabar baik bagi orang-orang yang
busung lapar, berita pembebasan bagi para buruh, nelayan, petani yang dijerat
(menjadi tawanan) para pemodal, pendidikan bagi orang-orang pinggiran yang
tersisihkan (buta) dan orang-orang tergusur (ditindas).

Semua yang di atas adalah muatan dan realitas politik yang sesungguhnya dan
tidak ada satu pun yang dapat dilewatkan begitu saja. Lebih tandas lagi:
mewujudkan Kerajaan Allah di dunia dalam naungan syalom-Nya. Untuk
mewujudkan hal itu, Gereja tidak mungkin melepaskan diri dari persoalan-
persoalan politik. Apalagi ciri dari syalom itu adalah: kesejahteraan, keadilan,
kejujuran, kebenaran dan ketertiban, bagi seluruh ciptaan (integrity of creation).

Etika Alkitab yang dapat merembes ke seluruh bidang dan sendi kehidupan,
termasuk ke dalam arena politik adalah: kudus dan bertanggungjawab. Prinsip-
prinsip inilah yang sesungguhnya masih sangat kurang di dalam arena politik di
Indonesia. Itu sebabnya, semua orang beragama, berurusan terus dengan agama
dan bahkan fanatik beragama, tetapi korupsinya merajalela pada saat Gereja
menggebu dan simultan harus membangun etika politik bangsa.

BOLEHKAH GEREJA BERPOLITIK?


Ketika kita membicarakan Pemilu, atau tentang kondisi negara sebagai
produk Pemilu, mau tidak mau kita ngomong politik. Dan tak pernah
habis-habisnya di kalangan gereja diperdebatkan apakah Gereja perlu
ikut campur dalam soal politik, dalam pemilu dan dalam kekuasaan
duniawi, atau tidak sama sekali. Atau juga boleh tetapi sedikit-sedikit,
hanya nyerempet saja.
Pada pengalaman saya, di lingkungan gereja-gereja Pentakosta di
Indonesia, pandangan agar orang-orang gereja menjauhi politik cukup
vokal. Politik itu duniawi. Dengan mengutip Yakobus 4:4, bahwa
persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah, mereka
mengkategori politik dan kekuasaan politik adalah unsur yang sangat
duniawi, sehingga tak perlu didekati. Dari kelompok ini muncul penulis-
penulis seperti Hal Lindsey, yang mengatakan :

6
"The world-system is the organised system of world attitudes that exludes
Gods way and is under Satans control. To be a friend of this system in
the sense of compromising Gods view point of life and letting the world
squeese you into its mold is to commit adultery, spiritually speaking
(Sistem dunia adalah suatu sistem terorganisir dari pendekatan-
pendekatan duniawi yang mengesampingkan cara-cara Illahi dan berada
di bawah kendali Iblis. Menjadi mitra dari sistem ini berarti
mengkompromikan pandangan hidup Allah dan dengan membiarkan
dunia memeluk anda dalam genggamannya berarti kita melakukan
perzinahan rohani).

Namun lebih banyak yang berwawasan luas. Mirip dengan pandangan


Carl F.H. Henry, yang menulis :

THE CHURCH MISSION IN THE WORLD IS SPIRITUAL. Its influence


on the political order, therefore, must be registered indirectly, as by-
product of spiritual conserns. The Church as an organized movement
must not allow its own energies to deteriorate into direct political activity,
but must encourage its individual members to fulfill their political duties
as a spiritual responsitility.
(MISI GEREJA DALAM DUNIA ADALAH ROHANI. Karena itu
pengaruhnya dalam tatanan politik haruslah nyata tidak langsung, sebagai
suatu bagian dari kepedulian rohani kita. Gereja sebagai suatu gerakan
yang terorganisasi tidak boleh membiarkan energi-energinya dicemarkan
karena keterlibatannya langsung dalam politik praktis, melainkan harus
mendorong anggota jemaat secara pribadi melaksanakan tugas-tugas
politiknya sebagai suatu tanggung jawab rohani).

Saya berpendapat Gereja perlu memiliki sikap dan mengambil peran


dalam negara dan bangsa melalui Pemilu.

GEREJA GARAM DUNIA


Yesus berkata : Kamu adalah garam dunia. (Matius 5:13). Pernyataan
Yesus ini bernada imperatif. Terjemahan NEB berbunyi : You are salt to
the world. (Kamu adalah garam kepada dunia).
Kegunaan garam pada misalnya makanan, adalah daya pengaruhnya yang
sanggup mengubah citra rasa. Garam melarut, tak nampak, tetapi
pengaruhnya sangat terasa. Dalam kancah sosial, politik, ekonomi, dll.
Gereja harus melakukan keberdayaannya sebagai garam.

Kita sebagai gereja mungkin tidak besar dalam artian kuantitas di


Indonesia, tapi kualitas iman, kasih, karakter, intelektual yang solid harus

7
mampu mempengaruhi kondisi Indonesia baik dalam pemilu maupun
pada pasca pemilu.
Sikap positif, konstruktif, dinamis dan kritis gereja terhadap pemilu,
acapkali dikuatirkan akan melarutkan bahkan boleh jadi menenggelamkan
gereja ke dalam arus pergolakan politik yang penuh bahaya. Namun
apabila kita benar-benar memiliki kualitas garamnya Kristus, kita tidak
akan pernah kehilangan jatidiri visi dan misi Kristiani, sebab secara
ilmiah dibuktikan bahwa garam tidak akan pernah kehilangan rasa
keasinannya.

Penelitian membuktikan bahwa Sodium Klorida adalah molekul kimia


yang paling stabil --- dimakan atau menjadi keringat atau jatuh ke tanah
atau ke air --- garam tetap garam. Garam dapur --- Natrium Klorida
(NaCI), kalau menjadi makanan, lalu dimakan, atau menjadi keringat atau
dicampur dengan lain elemen, tetap NaCI. Boleh disebut NaCI adalah
molekul abadi. Itulah sebabnya dalam Bilangan 18:19 tertulis : Suatu
perjanjian garam untuk selama-lamanya.

Peran kita dalam segala situasi dan kondisi di negara dan bangsa
Indonesia, adalah menjadi garam dalam semua dimensi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

GUNAKAN HAK KEWARGANEGARAAN


Memilih dalam pemilu mendatang adalah hak kita, bukan kewajiban. Jadi,
boleh kita menggunakan hak pilih kita, boleh juga tidak.
Saya berpendapat seperti Rsul Paulus. Tetapi karena kasih karunia Allah
aku adalah sebagaimana aku ada sekarang (I Korintus 15:10).
Keberadaan kita sebagai umat Kristiani di bumi Indonesia adalah anugrah
Allah, termasuk hak-hak kita. Karena itu, kita bertanggung jawab kepada
Tuhan untuk menggunakan semua berkat yang Tuhan karuniakan kepada
kita, termasuk anugerah menjadi warga negara Indonesia.
Rasul Paulus menggunakan hak kewarganegaraannya sebagai
warganegara Roma (KPR 22:26-29).

Tuhan yang telah menempatkan kita di bumi Indonesia.


Jadi masalahnya bukan ia atau tidak menggunakan hak pilih kita, tetapi
tanggung jawab kita sebagai garam dunia.
Kita harus memilih satu dari sekian banyak tanda gambar dan foto para
caleg, pada Pemilu 2004, atas dasar tanggung jawab kita baik vertikal
kepada Tuhan maupun horisontal kepada negara selaku warga negara.
Sikap golput tidaklah bertanggung jawab.
Kita harap Pemilu dapat berlangsung demokratis, adil, rukun, jujur, bebas

8
tanpa tekanan dan produknya diterima dan dipercaya. Di negeri kita
dikenal istilah luber dan jurdil.
Sikap positif gereja dalam menghadapi Pemilu ialah sikap yang
mendorong warga jemaat yang juga warganegara untuk menggunakan hak
pilihnya.
Lalu partai apa dan siapa yang akan kita pilih, serta apakah gereja
merekomendasikan suatu parpol tertentu?
Hal ini selalu ditanyakan. Apalagi dalam Pemilu akan terjun begitu
banyak parpol, termasuk belasan parpol yang dipimpin oleh orang-orang
Kristen.

Gereja sebagai organisme illahi tidak dapat disejajarkan dengan suatu


institusi dunia. Gereja bukan lembaga politik. Gereja yang
mempersekutukan orang-orang percaya dari berbagai latar belakang
termasuk politik berdiri di atas keanekaragaman partai politik.
Karena itu gereja harus tidak tergoda dan terperangkap ke dalam tawaran
atau kepentingan suatu partai politik tertentu.
Gereja dapat memberikan sokongan moral dan spiritual kepada calon-
calon yang adalah warga gereja yang terjun dalam Pemilu. Sedangkan
kampanye politik adalah tugas parpol-parpol peserta Pemilu.
Gereja tidak boleh melakukan deal politik dengan parpol-parpol karena
pasti akan terperangkap kepada kepentingan-kepentingan.

BOLEHKAH HAMBA TUHAN BERPOLITIK?


Bolehkah hamba Tuhan terjun dalam politik praktis, atau bolehkah
Pendeta jadi pemimpin partai politik, atau bolehkah para Pendeta menjadi
anggota DPR, DPRD atau DPD?
Pertanyaan ini menarik, dan dapat menimbulkan pandangan yang pro-
kontra tergantung dari pandangan teologis dari mana kita bertolak. Karena
itu yang terbaik kita mengkaji dalam perspektif firman Allah.
Para hamba Tuhan, khususnya lima jawatan : Rasul, Nabi, Penginjil,
Gembala dan Pengajar serta jawatan dalam jemaat-jemaat lokal : Penilik
Jemaat dan Penatua-Penatua, adalah suatu jabatan menurut panggilan dan
penetapan Tuhan (Efesus 5:11, KPR 20:28). Status dan posisi hamba
Tuhan bukan hasil suatu proses demokrasi atau birokrasi, melainkan
karena pengangkatan secara teokrasi.
Karena itu status hamba-hamba Tuhan yang seumur hidup sangat luhur
nilainya, tidak dapat dibandingkan dengan jabatan sekuler yang musiman.
Hamba Tuhan bukan dipilih manusia tetapi panggilan Tuhan. Seorang
hambaTuhan yang menyadari posisi dan martabatnya yang mulia itu,
tidak akan tergoda pada jabatan yang dipilih atau diangkat oleh manusia.

9
Namun, apabila seorang hamba Tuhan terpanggil untuk melayani di
bidang politik atau seorang pelayan Tuhan full-timer memilih terjun ke
gelanggang politik praktis, ia sebaiknya meninggalkan jabatan gereja.
Jangan ia merangkap. Sebagai contoh : seorang gembala sidang jemaat
yang aktif memimpin suatu parpol sebaiknya menyerahkan tugas gembala
sidang kepada hamba Tuhan lain. Karena seorang gembala sidang jemaat
membina anggota-anggota jemaat yang kemungkinan beragam aspirasi
politiknya. Apalagi seorang gembala sidang harus memfokuskan
pelayanan yang kudus dan murni dengan satu tujuan kemuliaan Tuhan dan
bukan kepentingan duniawi.

Joel C. Hunter menulis dalam bukunya Prayer, Politics & Power :

GOD IS SOVEREIGN. Christianity also has a unique view of history.


God in Christ stands at the end of history in general. No matter ones
particular eschatology may be, not many Christians would dispute these
two facts disclosed in Scripture, is one who designed history for a
purpose and is active in history..
We can clearly state to the world that God is in control.
(Allah berdaulat. Kekristenan juga memiliki pandangan historis yang
unik. Allah dalam Kristus tegak berdiri dalam perjalanan sejarah. Apapun
barangkali kekhususan persepsi eskatologi seseorang, tidak banyak orang
Kristen akan mempersoalkan dua fakta tercantum dalam Alkitab yaitu
bahwa Dia yang mendesain sejarah untuk suatu tujuan tertentu dan bahwa
Dia juga aktif dalam sejarah
Kami dapat dengan gamblang menyatakan kepada dunia bahwa Allah
adalah pemegang kendali sejarah.)

Persepsi Hunter adalah Teologis Alkitabiah. Allah kita adalah Tuhan atas
sejarah Dunia, dan Ia memegang kendali perjalanan sejarah.
Pemerintah hasil Pemilu yang demokratis, jujur, adil, dan langsung, bebas
rahasia, tentunya adalah Pemerintah yang legitimate. Kita harus
menerimanya, walaupun hasilnya tidak sesuai kehendak kita.
Posisi gereja terhadap pemerintah, saya petik dari kebenaran Alkitabiah,
yaitu sebagai berikut: TIDAK ADA PEMERINTAH, TANPA
KEHENDAK TUHAN. (Daniel 4:32, Daniel 2:21, Roma 13:1).
Kita harus sadar betul, bahwa Allah berdaulat atas segala pemerintahan di
semua negara di planet bumi ini, termasuk Indonesia.
Karena itu kita harus bersikap positif, bahwa Allah tidak pernah keliru
dalam agendaNya untuk umatNya di Indonesia. (Roma 8:28).

Sikap dan peran gereja terhadap bangsa dan negara Indonesia ialah

10
melakukan segala usaha untuk memberkati Indonesia dengan Doa dan
Pemberitaan Injil.

1. Kita harus selalu MENDOAKAN Pemerintah, dari Kepala


Negara sampai Kepala Desa. (I Timotius 2:1-2)
Hal-hal yang sangat krusial di bangsa dan negara kita bawa dalam doa dan
puasa. (Matius 17:21). Berdoa untuk negeri kita acapkali harus disertai
kemauan untuk bertobat dari jalan yang salah. (II Tawarikh 7:14).

2. Kita tidak boleh berkompromi, dan tegas pendirian dalam hal


Ibadah kepada Tuhan. (Daniel 3:16-17). Tidak peduli apa undang-
undangnya atau peraturan-peraturannya atau situasi kondisinya
menjalankan inadah kepada Tuhan Yesus Kristus adalah mutlak.

3. Kita harus berani menyampaikan aspirasi kebenaran dan


keadilan kepada Pemerintah, DPR, DPD, MPR, dll. (Ester 5,6). Tetapi
dengan cara etika Kristiani.

4. Kita wajib tampil dengan suara kenabian yang mengkoreksi


apabila Pemerintah bersalah. (II Samuel 12:1-12). Tetapi tidak dengan
cara kasar apalagi sikap menghakimi.

5. Kita harus belajar tunduk dan taat kepada Pemerintah yang


menjadi hamba Allah (Roma 13:1-5, I Petrus 2:13).

6. Kita harus menghormati Kepala Negara. (I Petrus 2:17, Roam


13:7, Amsal 21:1).

7. Kita terus menjalankan misi GARAM dan TERANG DUNIA.


(Matius 5:13,14).

8. Kita harus memberkati mayoritas masyarakat Indonesia dengan


pemberitaan Injil.

GEREJA HARUS MEMBERKATI


The Problem with Every Government : Sin.
(Masalah dengan setiap pemerintahan adalah DOSA).
Kembali saya kutip Joel C. Hunter. Mengapa masalah Pemerintah yang
klasik dan kronis adalah korupsi dan nepotisme. Jawabannya, karena
manusia yang jadi pemerintah, yang jadi militer atau polisi, yang jadi
pejabat, yang jadi anggota DPR/DPRD, atau yang anggota MPR, atau

11
jaksa dan hakim, adalah manusia-manusia yang berdaging-darah dan tak
luput dari godaan dosa dan hawa nafsu. Manusia berdosa pada dasarnya
adalah korup.

Kita jangan terlalu berlebihan mengharap bahwa pemerintah Indonesia


Pasca Pemilu 2004, pasti akan membawa negeri dan bangsa kita kepada
keadilan dan kesejahteraan. Transformasi Indonesia adalah melalui jalan
pertobatan yang terus menerus.

Dunia kita, termasuk Indonesia, merupakan arena petualangan Iblis. (I


Yohanes 5:19, Efesus 6:10-12). Kita akan terus berada dalam suasana
spiritual warfare. Dalam alam peperangan rohani, kita bukan berhadapan
dengan manusia-manusia yang hanya merupakan pion-pion tetapi
berkonfrontasi dengan penghulu-penghulu dunia yang gelap.

Karena itu misi gereja dalam Indonesia Baru di abad XXI sebagai garam
dan terang dunia harus lebih pro-aktif. Pelecehan dan sikap arogansi dan
diskriminatif terhadap orang-orang Kristen bahkan tak mungkin akan
lebih parah lagi dari waktu yang lalu. Tetapi kita harus yakin bahwa
Tuhan memegang kendali sejarah.
Sebagai garam, dalam sikap low profile kita merembes kemana-mana,
melarut ke segala strata dan segmen. Apapun dan bagaimanapun
sikonnya.
Dan selaku terang, performansi gereja harus kelihatan. Kita harus high
profile. Kesaksian dan penginjilan kita tidak perlu sembunyi-sembunyi.
Berita Injil di Indonesia harus lebih gencar di zaman pasca Pemilu 2004.
Untuk mengurangi problema bangsa dan negara akibat ulah manusia
berdosa yang didalangi Iblis, kita harus tegar dan juga arif
memperkenalkan Kristus sebagai Juruselamatnya manusia berdosa. Nabi
Yesaya bernubuat, di kala kegelapan dan kekelaman menudungi bangsa,
di saat itu pula terang Tuhan terbit atas umat-Nya. (Yesaya 60:1-2).

Bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terangmu,


..
Segala kambing domba Kedar akan berhimpu kepadamu,
Domba-domba jantan Nebayot akan tersedia untuk ibadahmu;
(Yesaya 60:3,7)

Firman Tuhan sangat profetik untuk umat Allah di Indonesia, yang


mayoritas masyarakatnya justru kaum Kedar dan Nebayot.
Gereja yang bersatu bersaksi dan melayani haruslah solid dalam
bersekutu. Kalau tidak, sulit untuk gereja di Indonesia menjadi sarana

12
transformasi Indonesia.
Gereja harus terbeban secara terus menerus untuk menaikkan doa syafaat
bagi pemerintah, bagi bangsa dan negara, bagi masyarakat Inonesia. Umat
Kritiani tentu ingin lebih diberkati, untuk itu peran kita haruslah : lebih
memberkati ! (I Petrus 3:9). Kita wajib memberkati bangsa, masyarakat
dan pemerintah kita, karena itulah panggilan kita, bukan membalas
kejahatan dengan kejahatan, caci maki dengan caci maki; atau teror
dengan teror.

Kita harus mampu tampil dengan kuasa KASIH. Kita harus berusaha
hidup dalam perdamaian dengan semua orang (Roma 12:17).
Kita harus menjadi berkat bagi bangsa, rakyat dan negara Indonesia.
Tidak seorangpun di antara kita dapat memprediksi situasi dunia pada
tahun 2004 dan sesudahnya. Tetapi nubuatan Alkitab tidak pernah
meleset. Hanya kita yang menafsirkannya macam-macam.

Charles H. Dyer menulis dalam bukunya World News and Bible


Prophecy, sebagai berikut :
The Bible does predict the future, but one mayor stumbling block for
some seems to be the multitude of different interpretation for end-time
events.
(Alkitab benar memprediksikan masa depan, tetapi penghalang terbesar
untuk sebagian kalangan ialah begitu banyaknya keragaman dan
perbedaan interpretasi tentang peristiwa akhir zaman).

Menyimak tanda-tanda zaman, kita sadar bahwa kita hidup dalam suatu
zaman yang mutakhir, tetapi karena penafsiran yang sangat beragam, kita
menjadi enggan menyimak serius nubuatan Firman untuk zaman ini.

Sikap dan peran gereja di Indonesia, saya imbau berpedoman kepada misi
dan berkat Abraham : Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang
besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyur, dan
engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang
memberkati engkau, dan mengutuk orang yang mengutuk engkau, dan
olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat. (Kejadian
12:2-3).

Kita harus memberkati Indonesia dengan Doa dan Pemberitaan Injil. Kita
sering terlena dengan hasil pertumbuhan gereja yang kita capai, tetapi kita
mengabaikan 85 persen dari masyarakat negeri ini yang belum dijangkau.
Pemberitaan Injil dan KKR sering hanya untuk yang sudah Kristiani,
padahal kaum Kedar dan Nebayot sangat sedikit kita perhatikan.

13
Juga di negeri kita sedikitnya masih ada sekitar 127 suku yang belum
mendapat pelayanan pemberitaan Injil.
Pendidikan teologi penting, tetapi harus lebih difokuskan pendidikan
teologi yang misiologis, untuk pelayanan Injil lintas budaya.
Di gereja-gereja Indonesia terdapat kecenderungan kuat kependetaan
hanya sebatas profesi saja, bahkan ada yang menjadikan sebagai karier
yang fokusnya mencapai suatu jenjang kedudukan dan perolehan ekonomi
. Pandangan ini diametral berbeda dengan amanat Firman Tuhan dalam
Kitab Suci . Harus dilakukan reformasi besar-besaran dalam gereja-gereja
di Indonesia, agar lebih memperdulikan ladang yang luas yang perlu
dituai di Indonesia.

Para Hamba Tuhan tidak cukup dibekali kecakapan mengetahui isi Kitab
Suci tetapi juga harus mendapat impratasi visi tuaian besar dari Roh Kuus,
agar para hamba Tuhan dapat memberitakan Ijil dengan demonstrasi
kuasa Allah yang sanggup meruntuhkan benteng-benteng
ketidakpercayaan kepada Kristus.

Doa dan harapan saya kiranya hamba-hamba Tuhan yang telah mengecap
pendidikan teologi yang berarti memiliki suatu tingkat kecakapan
intelektual dapat juga mempunyai potensi spiritual yang tangguh yaitu
urapan Roh Kudus yang dahsyat untuk memanen tuaian yang besar
dengan hasilnya 30 kali ganda, 60 kali ganda dan 100 kali ganda.
Terima kasih, Tuhan Yesus Kristus memberkati.

(Makalah Pdt. M.D. Wakkary menjelang Pemilu tahun 2004 yang lalu)

KEPUSTAKAAN :

1. Hal Lindsey, THERES A NEW WORLD COMING, Harvest


House Publishers.
2. Carl F.H. Henry, Aspeets of Christian Social Ethies, William
B. Eerdmanus Publishing Company.
3. Joel C. Hunter, PRAYER, POLITICS & POWER, Tyndale
House Publishers, Inc.
4. Charles H. Dyer, World News and Bible Propechy, Tyndale
House Publishers, Inc.
5. Dr. Paul Cedar, The Local Church and Cross Cultural Mission, Fuller
Theological Seminary, Pasadena CA.

14
PERANAN DAN PARTISIPASI POLITIK WARGA GEREJA SEBAGAI
WARGA NEGARA INDONESIA DALAM PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN
Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk
kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu
(Yeremia 29 : 11)
PENDAHULUAN

Di samping menjadi warga Kerajaan Allah, umat Kristen Indonesia adalah warga
negara Indonesia yang mempunyai hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Hal ini termaktub dalam Pasal 27 dan Pasal 28 UUD 1945 sebagai
landasan konstitusional hak asasi warga negara Indonesia. Salah satu hak asasi
warga negara adalah turut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pasal 27
ayat (1) UUD 1945, menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dalam perubahan UUD 1945,
substansi tersebut dipertegas dalam Pasal 28D ayat (3) yang menyatakan bahwa
setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.
Hal ini dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 43 dan Pasal 44 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyebutkan bahwa
setiap warga negara Indonesia mempunyai hak turut serta dalam pemerintahan,
antara lain berhak dipilih dan memilih dalam pemilihan umum, berhak turut serta
dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakilnya yang
dipilihnya dengan bebas, dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan, dan
berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada
pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan
efesien, baik secara lisan maupun tulisan.
Dengan demikian, bagaimanakah sebenarnya peranan dan partisipasi politik warga
gereja dalam penyelenggaraan pemerintahan?

PARTISIPASI POLITIK
Definisi Partisipasi Politik

Turut serta atau peran serta warga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan
merupakan kata lain dari istilah dalam ilmu politik, yaitu partisipasi politik. Politik
adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang
antara lain berwujud proses pembuatan keputusan. Dalam ilmu politik, partisipasi
diartikan sebagai upaya warga negara baik secara individual maupun secara
kelompok untuk ikut mempengaruhi pembentukan kebijakan publik dalam sebuah
negara.
Partisipasi politik menurut Miriam Budiardjo (1996 : 183) adalah kegiatan
seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan

15
politik, dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak
langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini
meliputi tindakan memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat
umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan
pendekatan atau hubungan dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen.
Menurut Herbert McClosky dalam International Encyclopedia of the Social
Science (dikutip oleh Miriam Budiarjdo, 1998 : 2), partisipasi politik adalah
kegiatan-kegitan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil
bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung
dalam proses pembentukan kebijakan umum.
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson (1994 : 6) memberikan definisi
partisipasi politik dibatasi pada beberapa hal. Pertama, partisipasi politik hanyalah
mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Kedua, yang dimaksudkan
dalam partisipasi politik adalah warga negara biasa, bukan pejabat-pejabat
pemerintah. Ketiga, partisipasi politik merupakan kegiatan yang ditujukan untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah misalnya membujuk atau
menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan cara-cara tertentu
menggagalkan keputusan agar pemerintah lebih tanggap terhadap keinginan-
keinginan mereka. Keempat, partisipasi politik mencakup semua kegiatan yang
mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak, berhasil atau
gagal. Kelima, partisipasi politik berupa kegiatan mempengaruhi pemerintah yang
dilakukan secara langsung atau tidak langsung.
Bentuk-bentuk Partisipasi Politik

Partisipasi politik warga negara dapat dikategorikan dalam bentuk-bentuk sebagai


berikut (Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam Erna Yuliandari, 2007 :
75 76) :
1. Electoral Activity, yaitu segala bentuk kegiatan yang secara langsung atau
tidak langsung berkaitan dengan pemilihan umum. Termasuk dalam
kegiatan ini antara lain : memberikan sumbangan untuk kampanye sebuah
partai, menjadi sukarelawan dalam kegiatan kampanye sebuah partai
politik, mengajak seseorang untuk mendukung dan memilih dalam sebuah
partai politik atas nama partai, memberikan suara dalam pemilihan umum,
mengawasi pelaksanaan pemberian dan penghitungan suara, menilai calon-
calon yang diajukan dan visi misi yang disampaikan.
2. Lobbying, yaitu tindakan seseorang atau sekelompok orang untuk
menghubungi pejabat pemerintah atau tokoh politik dengan tujuan untuk
mempengaruhi pejabat atau tokoh politik tersebut menyangkut masalah-
masalah tertentu yang mempengaruhi kehidupan mereka.
3. Organizational Activity, yaitu keterlibatan warga negara ke dalam berbagai
organisasi sosial dan politik baik sebagai pimpinan, pengurus, atau anggota
biasa. Organisasi ini mempunyai fungsi mempengaruhi pemerintah dalam

16
pembuatan kebijakan publik, misal organisasi yang spesifik menangani
masalah hukum dan hak asasi manusia, lingkungan hidup, atau keagamaan.
4. Contacting, yaitu partisipasi yang dilakukan oleh warga negara secara
langsung (dengan mendatangi ke tempat bertugas, menghubungi lewat
telepon) terhadap pejabat pemerintah atau tokoh-tokoh politik baik
dilakukan secara individual atau sekelompok orang yang jumlahnya sangat
kecil.
5. Violence, yaitu partisipasi politik yang berupa tindakan dengan cara-cara
kekerasan untuk mempengaruhi pemerintah.

Bentuk-bentuk partisipasi politik berdasarkan jumlah pelakunya dikategorikan


menjadi dua, yaitu partisipasi individual dan partisipasi kolektif. Partisipasi
individual dapat berupa kegiatan seperti menulis surat yang berisi tuntutan atau
keluhan kepada pemerintah. Partisipasi kolektif berupa kegiatan warga negara
secara serentak untuk mempengaruhi pemerintah seperti kegiatan dalam pemilihan
umum. Partisipasi kolektif ini dapat dibedakan menjadi partisipasi konvensional
dan tidak konvensional. Bentuk partisipasi konvensional meliputi pemberian
suara, diskusi politik, kegiatan kampanye, pembentukan dan bergabung dalam
kelompok kepentingan. Partisipasi tidak konvensional meliputi aksi demonstrasi,
pemogokan, tindakan kekerasan berupa pengrusakan, pembakaran, pemboman
(Gabriel Almond dalam Mochtar Masoed dan Colin Mac Andrew, TT : 44).

Partisipasi politik dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif.


Partisipasi aktif mencakup kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai
suatu kebijakan umum, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan
kebijakan, membayar pajak, dan ikut serta dalam kegiatan pemilihan pimpinan
pemerintahan. Di sisi lain, partisipasi pasif mencakup kegiatan mentaati peraturan,
menerima dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah.

Di negara demokrasi, pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik adalah


bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan
bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat tersebut
dan untuk menentukan orang-orang yang akan memimpin. Secara umum, tingkat
partisipasi warga negara yang tinggi menunjukkan bahwa warga negara menaruh
perhatian terhadap masalah kenegaraan. Sebaliknya, tingkat partisipasi yang
rendah dianggap kurang baik karena diartikan banyak warga negara yang tidak
menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan.

Fungsi Partisipasi Politik

Arbi Sanit (1985 : 94) membagi partisipasi politik menjadi tiga tujuan. Pertama,
memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah dalam bentuk pengiriman
wakil atau pendukung, pembuatan pernyataan yang isinya memberikan dukungan

17
terhadap pemerintah, dan pemilihan calon yang diusulkan oleh organisasi politik.
Kedua, menunjukkan kelemahan dan kekurangan pemerintah dengan harapan agar
pemerintah meninjau kembali, memperbaiki atau mengubah kelemahan tersebut.
Ketiga, partisipasi sebagai tantangan terhadap penguasa supaya terjadi perubahan
struktural dalam pemerintahan dan dalam sistem politik.

Menurut Achmad Santoso (2001), sedikitnya terdapat lima alasan pentingnya


partisipasi politik, yaitu :

1. Alasan filosofis demokratis, yaitu setiap kebijakan yang akan diberlakukan


terhadap pihak-pihak tertentu dalam masyarakat wajib dimintakan pendapat
dan masukannya, bahkan keberatan masyarakatpun perlu diperhatikan;
2. Alasan praktis, yaitu kemampuan wawasan dan penguasaan pengetahuan
dari penentu kebijakan ada batasnya sehingga perlu melibatkan masyarakat;
3. Alasan efektivitas, yaitu semakin masyarakat terlibat dalam proses
pembentukan kebijakan, maka semakin tinggi rasa memiliki serta dukungan
masyarakat terhadap suatu kebijakan sehingga mendorong efektivitas
pelaksanaan dan penegakannya;
4. Alasan kepentingan pendidikan politik, yaitu menyebarluaskan informasi
yang menjadi isi dari suatu rancangan peraturan perundang-undangan
merupakan proses pendidikan politik yang efektif;
5. Alasan pengawasan, yaitu apabila proses pembentukan dan pelaksanaan
kebijakan pemerintah dibangun secara terbuka dan masyarakat luas
dimungkinkan terlibat, maka korupsi dan kolusi akan dapat diminimalkan.

Bagi pemerintah, partisipasi politik warga negara mempunyai beberapa fungsi,


antara lain :

1. Partisipasi politik masyarakat untuk mendukung program-program


pemerintah. Hal ini berarti peran serta masyarakat diwujudkan untuk
mendukung program politik dan program pembangunan.
2. Partisipasi masyarakat berfungsi sebagai organisasi yang menyuarakan
kepentingan masyarakat untuk memberikan masukan, saran, dan kritik bagi
pemerintah dalam mengarahkan dan meningkatkan pembangunan.
3. Partisipasi politik merupakan sebuah mekanisme pelaksanaan fungsi
kontrol terhadap pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan.

PERANAN DAN PARTISIPASI POLITIK WARGA GEREJA DALAM


PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Umat Kristen di Indonesia sebagai warga gereja merupakan bagian dari warga
negara Indonesia, sehingga mempunyai hak dan kewajiban sebagai warga negara
dalam penyelenggaraan pemerintahan Indonesia.

18
Telah dikemukakan sebelumnya mengenai definisi politik, partisipasi politik,
bentuk-bentuk partisipasi politik, dan fungsi dari partisipasi politik. Dengan
demikian lebih jelas diketahui bahwa politik bukan sesuatu yang buruk, justru
politik diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Sebagai warga negara, warga gereja harus turut ambil bagian dalam proses
pembuatan kebijakan publik. Sesuai amanat Tuhan di Yeremia 29 : 7, bahwa setiap
umat Tuhan diminta untuk mengusahakan kesejahteraan kota tempat tinggal
(negara). Mengusahakan kesejahteraan berarti bertindak dan berusaha untuk
kebaikan bersama dan bukan bersikap acuh tak acuh. Dengan adanya berbagai
bentuk-bentuk partisipasi, warga gereja dapat memilih satu atau lebih dari satu
bentuk partisipasi sesuai dengan panggilan hati atau bagiannya masing-masing
untuk membawa kebaikan dan menjadi berkat. Turut serta warga gereja dalam
penyelenggaraan pemerintahan berarti membawa misi sebagai garam dan terang
dunia sesuai amanat Tuhan di Matius 5 : 13 15.

Dalam kehidupan berpolitik dikenal adanya politik praktis yaitu meraih dan
mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan berbagai cara. Tujuan dari
berpolitik adalah hanya untuk kekuasaan semata. Terdapat dua tawaran negatif
kepada warga gereja kaitannya dalam partisipasi politik. Pertama, berada di luar
penyelenggaraan pemerintahan dalam arti tidak berpartisipasi politik, akibatnya
warga gereja tidak dapat mempengaruhi atau menggarami dunia. Kedua,
tenggelam dalam arus dunia atau menjadi serupa dengan dunia (Roma 12:2),
akibatnya warga gereja akan kehilangan identitas sebagai garam dan terang.

Mengingat bahaya dalam kedua tawaran tersebut di atas, maka warga gereja harus
memiliki kedewasaan iman, sehingga mampu berpartisipasi secara aktif dalam
penyelenggaraan pemerintahan melalui lima sikap berikut :

1. Sikap mendoakan pemerintah, bangsa dan negara.


2. Sikap kreatif yaitu siap menggunakan setiap kesempatan dalam
membangun negara dan kerajaan Allah.
3. Sikap kritik membangun dalam garis kerendahan hati dan disampaikan
secara kasih.
4. Sikap realisitis yaitu tidak boleh mengisolir diri tapi menjadi bagian sebagai
warga negara Indonesia, menggunakan setiap hak dan menjalankan setiap
kewajiban sebagai warga negara. Namun, tidak boleh menjadi serupa
dengan dunia.
5. Sikap positif karena warga gereja mengasihi Tuhan dan percaya bahwa
apapun yang terjadi, Tuhan tetap mengontrol bangsa dan negara Indonesia.

PENUTUP

19
Demikian banyak sekali pilihan bagi warga gereja untuk berpartisipasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang membawa kebaikan bagi seluruh warga
negara. Pilihan bentuk partisipasi didasarkan pada panggilan hati sesuai
keterbebanan yang ada pada setiap pribadi. Selamat berpartisipasi untuk
membangun bangsa Indonesia serta menjadi garam dan terang dunia. Tuhan
memberkati.

REFERENSI

Achmad Santosa. 2001. Good Governance dan Lingkungan Hidup. Jakarta : ICEL
Arbi Sanit. 1985. Swadaya Politik Masyarakat, Telaah tentang Keterkaitan
Organisasi Masyarakat, Partisipasi Politik dan Pertumbuhan Hukum dan Hak
Asasi. Jakarta : Rajawali.
Miriam Budiardjo. 1998. Partisipasi dan Partai Politik Sebuah Bunga Rampai.
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
_____________.1996. Demokrasi di Indonesia, Demokrasi Parlementer dan
Demokrasi Pancasila. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
P. Huntington, Samuel dan Joan M. Nelson. 1994. Partisipasi Politik di Negara
Berkembang. Jakarta : Rineka Cipta.
P. Huntington, Samuel dan Joan M. Nelson dalam Erna Yuliandari. Pembangunan
Partisipasi Politik Dalam Pilkada : Menuju Pemerintahan Daerah Yang
Demokratis. 2007. PKn Progresif Jurnal Pemikiran dan Penelitian
Kewarganegaraan Volume 2. Surakarta : FKIP UNS.
Gabriel Almond dalam Mochtar Masoed dan Colin Mac Andrew. Perbandingan
Sistem Politik. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

pendeta dan politik praktis


Sel, 03/03/2009 - 15:40 ferian

Topic Blog: Leadership

Keywords Blog: caleg, krisis, pemimpin

Sebentar lagi bangsa kita akan melaksanakan pemilu. Suatu moment dimana kita
bisa memilih siapa yang akan memimpin kita 5 tahun ke depan, baik para
legislator (yang disebut wakil rakyat) maupun presiden.

Yang mengusik perhatian kita adalah tampilnya banyak caleg dengan berbagai
jualannya agar orang memilih mereka. Tentunya jualan tersebut dibarengi dengan
janji-janji bahwa jika mereka dipilih, maka perubahan ke arah yang lebih baik
akan segera terjadi. Terlepas dari apakah janji mereka memang dipenuhi setelah

20
mereka terpilih, hal yang ingn saya soroti adalah fenomena banyaknya hamba
Tuhan yang ikut terjun mencalonkan diri.

Menurut hemat saya, ketika seorang hamba Tuhan (Pendeta) mencalonkan diri
sebagai seorang caleg, maka itu merupakan sebuah kegagalan, kegagalan gereja di
Indonesia.

Para hamba Tuhan (Pendeta) yang notabene seharusnya mendidik umatnya untuk
menjadi pribadi yang lengkap, justru maju bersaing dengan jemaatnya dalam
memperebutkan kursi dewan. Bukankah ini sebuah fenomena yang menyedihkan?
Bukankah ini menunjukkan kegagalan gereja? Kegagalan dalam pola pelayanan
dan pembinaan umat?

Terlepas dari apa motivasi para hamba Tuhan tersebut, seharusnya gereja adalah
tempat mempersiapkan orang-orang Kristen yang siap pakai, orang-orang yang
menjadi garam dan terang, orang-orang yang bisa menunjukkan kehidupan Kristus
dalam diri mereka kepada dunia ini, dan tentunya orang-orang yang akan maju
menjadi caleg untuk membawa perubahan yang signifikan di tengah bangsa ini.
Tapi apa yang kita lihat sekarang? Seharusnya pendeta-pendeta bertugas di ranah
mempersiapkan pemimpin-pemimpin (caleg), bukan justru malah terjun langsung
menjadi caleg.

Asumsinya, ketika seorang anak buah tidak mampu melakukan suatu tugas, maka
pemimpinnya yang akan turun tangan. Tapi jika anak buah tersebut selamanya
tidak bisa melakukan tugasnya, berarti ada kesalahan. Mungkin kesalahan
memang ada pada si anak buah tersebut. Tapi mungkin kesalahan justru ada pada
si pemimipin, karena mungkin ia tidak mempersiapkan anak buahnya untuk
melakukan tugas tersebut

Bagaimana dengan hamba Tuhan (pendeta)? Apakah ikut sertanya mereka dalam
kancah politik praktis lebih disebabkan karena mereka merasa jemaatnya tidak
mampu membawa perubahan kalau jemaat tersebut yang duduk di kursi dewan?
Mungkin ada motivasi lain. Tapi kalau motivasinya karena si pendeta merasa
bahwa hanya ia yang mampu membawa perubahan kalau ia duduk di kursi dewan,
berarti kita sedang mengalami krisis kepemimpinan dalam gereja, dan ini berarti
ada sesuatu yang salah dalam pembinaan jemaat kita di Indonesia.

Saya berharap akan muncul gereja-gereja yang mendidik umatnya untuk menjadi
garam dan terang di tengah-tengah bangsa ini, dan para pendetanya akan
konsentrasi mengupayakan hal tersebut dan bukannya justru sibuk berpolitik
praktis.

Karena apa yang Kau percayakan kepadaku, itulah yang akan kulakukan.

21

Anda mungkin juga menyukai