Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Hifema didefinisikan sebagai adanya akumulasi darah di bilik mata depan. Hal ini paling
sering disebabkan oleh trauma tumpul pada mata yang menyebabkan robeknya iris atau badan
silier.1 Apabila keberadaan sel darah merah sangat sedikit sehingga hanya terbentuk suspensi sel-
sel darah merah tanpa pembentukan lapisan darah, keadaan ini disebut sebagai mikrohifema. 2
Hifema dapat juga disebabkan oleh trauma intraoperasi, pecahnya neovaskularisasi, adanya
kanker, atau kelainan vaskuler lain.1
Menurut satu studi yang dilakukan di Amerika Serikat, kejadian hifema, terutama hifema
traumatik, diperkirakan sebanyak 12 kasus per 100.000 orang populasi. 3 Anak-anak dan remaja
usia 10-20 tahun memiliki persentase penderita terbanyak, yaitu sebesar 70%. 3 Penelitian
menemukan 33% dari seluruh trauma mata yang serius menimbulkan hifema, 80% hifema terjadi
pada pria, perkiraan rata-rata kejadian di Amerika utara adalah 17-20/100.000 populasi
pertahun. Sering pada pasien yang berumur kurang dari 20 tahun dan pertengahan 30 tahun.
Perbandingan antara pria dan wanita adalah 3 : 1. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan di
RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, menunjukan pada tahun 2002-2006 terdapat 50 kasus hifema.
Kasus terbanyak pada usia 1-12 tahun. Penyebab terbanyak akibat trauma benda tumpul.4
Berdasarkan waktu terjadinya, hifema dibagi atas dua yaitu hifema primer: terjadi
langsung setelah trauma, dapat sedikit dapat pula banyak. Hifema sekunder: biasanya timbul
pada hari ke 5 setelah trauma. Perdarahannya biasanya lebih hebat dari pada yang primer.
Penderita sebaiknya di rawat di rumah sakit, karena ditakutkan terjadi perdarahan sekunder yang
lebih hebat dari pada perdarahan primer. Perdarahan ulang dapat terjadi pada 16-20% kasus
dalam 2-3 hari.5
Berdasarkan penyebabnya, hifema terbagi menjadi tiga yakni hifema iatrogenik, hifema
traumatik dan hifema spontan. Hifema iatrogenik adalah hifema yang timbul dan merupakan
komplikasi dari proses medis, seperti proses pembedahan. Hifema jenis ini dapat terjadi
intraoperatif maupun post operatif. Pada umumnya manipulasi yang melibatkan struktur kaya
pembuluh darah dapat mengakibatkan hifema iatrogenik. Hifema traumatik merupakan jenis
yang tersering, yang merupakan hifema akibat terjadinya trauma pada bola mata. Trauma yang
terjadi pada umumnya disebabkan oleh benda tumpul, misalnya bola, batu, projektil, mainan
anak-anak, pelor mainan, paint ball, maupun tinju. Trauma tumpul yang menghantam bagian
depan mata misalnya, mengakibatkan terjadinya perubahan bola mata berupa kompresi diameter
anteroposterior serta ekspansi bidang ekuatorial. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya
peningkatan tekanan intraokular secara transien yang mengakibatkan terjadinya penekanan pada
struktur pembuluh darah di uvea (iris dan badan silier). Pembuluh darah yang mengalami gaya
regang dan tekan ini akan mengalami ruptur dan melepaskan isinya ke bilik mata depan (camera
oculi anterior). Hifema spontan sering dikacaukan dengan hifema trauma. Perlunya anamnesis
tentang adanya riwayat trauma pada mata dapat membedakan kedua jenis hifema. Hifema
spontan adalah perdarahan bilik mata depan akibat adanya proses neovaskularisasi, neoplasma,
maupun adanya gangguan hematologi.2
Pada gejala klinik pasien akan mengeluh nyeri pada mata, disertai dengan epifora dan
blefarospasme. Pengelihatan pasien kabur dan akan sangat menurun. Terdapat penumpukan
darah yang terlihat dengan mata telanjang bila jumlahnya cukup banyak. Bila pasien duduk
hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi
seluruh ruang bilik mata depan.5,6
Komplikasi yang paling sering ditemukan pada traumatik hifema adalah perdarahan
sekunder, glaukoma dan hemosiderosis disamping komplikasi traumanya sendiri berupa
dislokasi lensa, ablatio retina, katarak, dan iridodialysis. Besarnya komplikasi tergantung pada
tingginya hifema.7,8
Akumulasi darah post-trauma di bilik mata depan adalah salah satu masalah klinis yang
paling menantang yang dihadapi oleh dokter mata. Bahkan hifema kecil karena cedera mata
dapat menjadi tanda dari trauma intraokular utama, terkait kerusakan pembuluh darah dan
jaringan intraokular lainnya. Trauma tumpul pada mata dapat mengakibatkan cedera pada
konjungtiva, kornea, iris, sfingter pupil, struktur sudut, lensa, zonula, retina, vitreous, saraf optik,
dan struktur intraokular atau intraorbital lainnya. Kondisi hifema sendiri dapat memicu berbagai
komplikasi, seperti peningkatan tekanan intraokular yang berujung ke glaukoma, corneal
bloodstaining, sinekia anterior dan posterior, dan atrofi optik. Bila penanganan hifema tidak
tepat, dapat terjadi komplikasi tersebut dan akhirnya berujung kepada kebutaan.1

Prognosis tergantung pada banyaknya darah yang tertimbun pada kamera okuli anterior.
Biasanya hifema dengan darah yang sedikit dan tanpa disertai glaukoma, prognosisnya baik
karena darah akan diserap kembali dan hilang sempurna dalam beberapa hari. Sedangkan hifema
yang telah mengalami glaukoma, prognosisnya bergantung pada seberapa besar glaukoma
tersebut menimbulkan defek pada ketajaman penglihatan. Bila tajam penglihatan telah mencapai
1/60 atau lebih rendah maka prognosisnya penderita adalah buruk kerena dapat menyebabkan
kebutaan.7,8
Kurangnya program terapi yang ideal, potensi perdarahan sekunder, dan timbulnya
sekunder glaukoma semua mengancam untuk mengubah mata dengan prognosis visual yang
awalnya baik menjadi masalah terapi yang kompleks dengan hasil visual akhir yang buruk.9

Berikut akan dipaparkan sebuah laporan kasus mengenai Hifema Traumatik pada seorang
pria berusia 23 tahun.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Hifema didefinisikan sebagai keberadaan sel darah merah di kamera okuli anterior
(anterior chamber). Apabila keberadaan sel darah merah sangat sedikit sehingga hanya
terbentuk suspensi sel-sel darah merah tanpa pembentukan lapisan darah, keadaan ini disebut
sebagai mikrohifema.

B. Etiologi dan Patogenesis


Berdasarkan penyebabnya, hifema terbagi menjadi tiga yakni:
1. Hifema traumatik
2. Hifema iatrogenik
3. Hifema spontan
Hifema traumatik merupakan jenis yang tersering, yang merupakan hifema akibat
terjadinya trauma pada bola mata. Trauma yang terjadi pada umumnya disebabkan oleh
benda tumpul, misalnya bola, batu, projektil, mainan anak-anak, pelor mainan, paint ball,
maupun tinju.1 Trauma tumpul yang menghantam bagian depan mata misalnya,
mengakibatkan terjadinya perubahan bola mata berupa kompresi diameter anteroposterior
serta ekspansi bidang ekuatorial. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya peningkatan
tekanan intraokular secara transien yang mengakibatkan terjadinya penekanan pada struktur
pembuluh darah di uvea (iris dan badan siliar). Pembuluh darah yang mengalami gaya regang
dan tekan ini akan mengalami ruptur dan melepaskan isinya ke bilik mata depan (camera
oculi anterior).2
Hifema iatrogenik adalah hifema yang timbul dan merupakan komplikasi dari proses
medis, seperti proses pembedahan. Hifema jenis ini dapat terjadi intraoperatif maupun
postoperatif. Pada umumnya manipulasi yang melibatkan struktur kaya pembuluh darah
dapat mengakibatkan hifema iatrogenik.
Hifema spontan sering dikacaukan dengan hifema trauma. Perlunya anamnesis tentang
adanya riwayat trauma pada mata dapat membedakan kedua jenis hifema ini. Hifema spontan
adalah perdarahan bilik mata depan akibat adanya proses neovaskularisasi, neoplasma,
maupun adanya gangguan hematologi.
1. Neovaskularisasi, seperti pada diabetes melitus, iskemik, maupun sikatriks. Pada kondisi
ini, adanya kelainan pada segmen posterior mata (seperti retina yang mengalami iskemik,
maupun diabetik retinopati) akan mengeluarkan faktor pertumbuhan vaskular (misal:
VEGF)2 yang oleh lapisan kaya pembuluh darah (seperti iris dan badan silier) dapat
mengakibatkan pembentukan pembuluh darah baru (neovaskularisasi). Pembuluh darah
yang baru pada umumnya bersifat rapuh dan tidak kokoh, mudah mengalami ruptur
maupun kebocoran. Kondisi ini meningkatkan kerentanan terjadinya perdarahan bilik
mata depan.
2. Neoplasma, seperti retinoblastoma dan melanoma maligna pada umumnya juga
melibatkan neovaskularisasi3 seperti yang telah dijelaskan pada poin pertama.
3. Hematologi, seperti leukemia, hemofilia, penyakit Von Willebrand, dimana terjadi
ketidakseimbangan antara faktor pembekuan dan faktor anti-pembekuan. Dengan
demikian terjadi proses kecenderungan berdarah.
4. Penggunaan obat-obatan yang mengganggu sistem hematologi, seperti aspirin dan
warfarin.

Gambar 1
Proses trauma dari arah anterior bola mata dapat mengakibatkan distorsi dimensi antero-posterior dan ekuatorial
yang mengakibatkan perubahan tekanan intraokular mendadak dan menyebabkan ruptur pembuluh darah
(Kanski, 2011)

Salah satu literature menyebutkan bahwa hifema merupakan 0,25% presentasi klinis dari
seluruh gejala pada anak-anak dengan retinoblastoma.3 Meskipun jarang, hifema dapat
menjadi salah satu tanda terjadinya kelainan intraokular khususnya pada bayi dan anak-anak
tanpa riwayat trauma yang signifikan.
Sebagian besar hifema yang terjadi di masyarakat merupakan hifema grade I, predisposisi
pada laki-laki (sekitar 75%), serta insidens tertinggi pada usia sekolah. 4 Sebanyak 40% kasus
hifema terjadi perlekatan dengan stroma iris, sedangkan 10% mengalami perlekatan dengan
endotel kornea. Pada umumnya hifema tanpa komplikasi dapat diresoprsi dan menghilang
secara spontan dalam waktu kurang dari satu minggu (5-6 hari).

C. Gejala dan Tanda


Pada umumnya pasien mengeluhkan penurunan tajam penglihatan, sakit kepala,
fotofobia, serta menjelaskan riwayat trauma atau percideraan pada mata. Percideraan yang
dikeluhkan umumnya diakibatkan oleh benda tumpul.5 Tanda yang dapat ditemukan adalah
keberadaan darah yang dapat terlihat melalui kornea. Keberadaan hifema perlu ditentukan
derajatnya (berdasarkan klasifikasinya) serta warna hifema yang terbentuk..
Klasifikasi hifema berdasarkan keparahannyanya adalah sebagai berikut5:

Tabel 1
Klasifikasi hifema berdasarkan derajat keparahannya
Keberadaan darah di Kamera
Grade
Okuli Anterior (COA)
1 Kurang dari 1/3

2 1/3 sampai

3 Lebih dari

4 Total (Penuh)
a.k.a blackball / 8-ball hyphema
Gambar 2
Klasifikasi hifema secara skematis (Sumber: drhem.com)
Pada umumnya yang perlu diwaspadai dalam menemukan kasus hifema adalah
komplikasi yang sesungguhnya jauh lebih berbahaya dibandingkan keberadaan darah di
kamera okuli anterior itu sendiri. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :
1. Peningkatan tekanan intraokular secara akut, yakni suatu glaukoma traumatik
2. Atrofi optik, terutama akibat glaukoma traumatik
3. Perdarahan ulang atau perdarahan sekunder
4. Sinekia posterior
5. Sinekia anterior, terutama pada kondisi hifema yang lebih dari 9 hari
6. Corneal blood staining, yakni adanya deposisi dari hemoglobin dan hemosiderin pada
stroma kornea akibat keberadaan darah hifema total yang umumnya disertai dengan
peningkatan tekanan intraokular. Corneal blood staining dapat menghilang, namun
memerlukan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun lamanya.
7. Glaukoma kronik
Glaukoma Traumatik
Glaukoma traumatik dapat ditemukan sebanyak 4% apabila perdarahan kurang dari
setengah COA, dengan komplikasi lain mencapai 22% dan prognosis ketajaman penglihatan
>6/18 berada pada angka 78%. Sementara itu pada kasus yang lebih berat, yakni perdarahan
lebih dari setengah COA, glaukoma traumatik memiliki insidens yang jauh lebih tinggi,
yakni 85%, dengan komplikasi lain mencapai 78% serta prognosis ketajaman penglihatan
>6/18 jauh lebih rendah, yakni hanya 28%. Perjalanan glaukoma yang terjadi akibat trauma
pada umumnya mengikuti pola sebagai berikut4 :
1. 24 jam
TIO akut
Plugging trabekula oleh eritrosit dan fibrin
2. Hari 2-6
Penurunan TIO subnormal akibat berkurangnya produksi akuesuos
3. Hari 7 dst
Kembalinya TIO ke tingkat normal (atau sedikit meningkat)

Perdarahan Sekunder
Perdarahan sekunder merupakan hal yang harus diwaspadai pada hifema. Hal ini
disebabkan 1/3 dari perdarahan sekunder justru dapat lebih berat dibandingkan hifema awal,
yakni dapat mengakibatkan hifema total. Perdarahan sekunder umumnya terjadi pada hifema
derajat 3 dan 4, dan secara umum terjadi pada 22% kasus hifema, dengan rentang antara
6,5% hingga 38%.4 Perdarahan sekunder disebabkan oleh lisis dan retraksi dari bekuan darah
dan fibrin yang telah berfungsi secara stabil untuk menyumbat pembuluh darah yang
mengalami ruptur atau kebocoran. Perdarahan sekunder membuat prognosis pasien menjadi
buruk, dengan penelitian menunjukkan tajam penglihatan pasien (kurang dari 20/50 atau
6/15) yang mengalami perdarahan sekunder lebih buruk dibandingkan dengan yang tidak
mengalami komplikasi ini (79,5% vs 64%).
Keadaan yang menjadi faktor prediksi terjadinya perdarahan sekunder adalah:
Sickel cell trait
Tajam penglihatna saat presentasi <20/200 (6/60)
Derajat hifema saat presentasi yang lebih dari II
Ada riwayat penggunaan salisilat (aspirin), antiplatelet (seperti pada penderita angina
pektoris)
Penanganan hifema yang lebih dari 24 jam.

Atrofi Optik
Atrofi optik merupakan keadaan akhir akibat glaukoma traumatik yang dapat terjadi pada
pasien dengan hifema. Terjadinya peningkatan tekanan intraokular mengakibatkan tekanan
diteruskan ke seluruh bagian mata, termasuk ke tunika neuralis. Tunika neuralis yang
merupakan retina akan mengalami tekanan dan mengakibatkan kerusakan pada saraf.
Kerusakan pada saraf mata akibat tekanan akan timbul dalam bentuk atrofi optik. Pada
tekanan bola mata 50 mmHg, kerusakan dapat terjadi dalam 7 hari, sedangkan pada tekanan
bola mata 35 mmHg kerusakan dapat terjadi dalam 5 hari. Pada individual dengan sickle cell
trait, kerusakan bahkan lebih cepat terjadi pada tekanan yang lebih rendah, mengindikasikan
pentingnya penanganan segera terutama pada pasien-pasien ini.

Gambar 3
Gambaran papil atrofi, yakni berupa papil yang tampak pucat akibatnya menghilangnya serabut saraf dan pembuluh
darah kapiler akibat tekanan intraokular yang meninggi. (Crouch, 2006)
Gambar 4
Gambaran corneal blood staining yang berwarna kekuningan pada kornea
(Sumber: dro.hs.columbia.edu)

D. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hifema sangat bergantung kepada derajat hifema, komplikasi yang
terjadi, serta respons pasien terhadap pengobatan. Demikian pula hal-hal inilah yang menjadi
parameter dalam menentukan apakah pasien perlu dirawat atau hanya berobat jalan saja.
Untuk kasus ringan, penatalaksanaan dapat meliputi terapi konservatif, seperti:
1. Membatasi aktivitas pasien
2. Melakukan penutupan mata dengan eye patch atau eye cover
3. Melakukan elevasi kepala 45o. Adapun maksud dari elevasi kepala adalah untuk membuat
darah mengumpul di bagian inferior dari COA dan tidak menghalangi tajam penglihatan.
Posisi ini juga mempermudah dalam evaluasi harian COA tentang resorpsi hifema
sehingga dapat menunjukkan kemajuan pengobatan. Selain itu posisi ini merupakan
posisi optimal dalam mencegah kontak sel-sel darah merah dengan korena dan trabekula
Fontana.
4. Memberikan sedasi, terutama pada pasien pediatri yang hiperaktif. Hal ini juga sesuai
dengan poin pertama.
5. Pemberian analgesik, apabila dirasakan nyeri yang ringan dapat diberikan asetaminofen,
atau nyeri yang cukup berat dapat diberikan kodein. Hindari penggunaan aspirin dan obat
anti-inflamasi non-steroid (OAINS, NSAID) sebab dapat menimbulkan perdarahan dan
berisiko menyebabkan perdarahan sekunder.
6. Pemantauan berkala (setiap hari) tentang tajam penglihatan, tekanan intraokular, serta
regresi hifema.
Tujuan terapi sesuai dengan komplikasi yang mungkin terjadi. Untuk mengatasi
peningkatan tekanan intraokular, dapat dilakukan pemberian antiglaukoma topikal, seperti
timolol (antagonis reseptor beta), latanoprost (analog prostaglandin), serta brimonidin
(agonis reseptor 2 tipe perifer). Agen-agen ini bertujuan untuk mengurangi produksi
akueous humor dan dapat membantu menurunkan tekanan intraokular. Apabila masih tinggi,
dapat dicobakan pemberian inhibitor enzim karbonat-anhidrase (CAI) topikal. Tekanan yang
belum terkontrol mengindikasikan pemberian agen lain, yakni CAI sistemik (melalui oral),
yakni asetazolamid dengan dosis 20 mg/kg/hari terbagi dalam empat dosis. Hal ini terutama
digunakan apabila tekanan masih di atas 22 mmHg. Pilihan terakhir apabila tekanan masih
tinggi adalah pemberian agen osmotik (seperti manitol IV 1,5 g/kg dalam larutan 10% 2 kali
sehari atau 3 kali sehari apabila tekanan sangat tinggi), atau pemberian gliserol per oral. Hal
ini penting apabila tekanan intraokular tetap di atas 35 mmHg meskipun hal-hal di atas telah
dicobakan pada pasien.
Untuk mencegah perdarahan sekunder, dapat diberikan asam aminokaproat/ACA yang
merupakan agen anti-plasmin. Plasmin merupakan enzim yang melisiskan bekuan darah
sehingga dapat mengakibatkan perdarahan ulang. Asam aminokaproat yang pertama kali
diteliti menggunakan dosis 100 mg/kg dan diberikan setiap 4 jam (dengan maksimal 30 g
setiap hari) melalui oral. Agen ini diberikan selama 5 hari dan terbukti secara klinis sangat
menurunkan kejadian perdarahan sekunder, dibandingkan dengan pemberian plasebo.
Penelitian lanjutan menunjukkan bahwa asam aminokaproat 50 mg/kg juga sama efektifnya
dengan pemberian 100 mg/kg. Pemberian asam aminokaproat terutama diindikasikan pada
hifema yang kurang dari 75% COA sebab pada kondisi yang lebih dari ini mencegah lisis
dari bekuan darah dianggap tidak efektif dalam mencegah terjadinya perdarahan sekunder.
Penelitian lanjutan juga menunjukkan pemberian asam aminokaproat secara topikal juga
sama efektifnya, sehingga apabila tersedia agen topikal, agen ini lebih dianjurkan diberika
n secara topikal. Steroid juga terbukti dapat menunjukkan risiko perdarahan sekunder.4
Pasien diindikasikan rawat inap jika:
1. Pasien mengalami hifema derajat II atau lebih, sebab berpotensi terjadinya
perdarahan sekunder
2. Merupakan sickle cell trait
3. Terjadi trauma tembus okuli
4. Pasien yang tidak patuh terhadap pengobatan
5. Pasien yang memiliki riwayat glaukoma
Dalam pasien rawat inap, perlu dilakukan pemantauan secara intensif seperti tajam
penglihatan, tekanan intraokular, serta resolusi hifema. Selain itu perlu pula diamati apakah
terdapat indikasi bedah pada pasien.
Pasien akan menjalani bedah apabila terdapat :
1. Corneal blood staining
2. Riwayat sickle cell trait, dengan tekanan intraokular di atas 24 mmHg lebih dari 24
jam
3. Hifema dengan derajat lebih dari 50% COA selama 9 hari atau lebih. Hal ini perlu
dilakukan pembedahan agar tidak terjadi sinekia anterior, meskipun sudah
mendapatkan terapi medik secara maksimal.
4. Hifema total, dengan tekanan intraokular lebih dari 50 mmHg selama 4 hari atau lebih
meskipun sudah mendapatkan terapi medik secara maksimal
5. Hifema total atau hifema dengan derajat >75% COA, dengan tekanan intraokular
lebih dari 25 mmHg selama lebih dari 6 hari meskipun sudah mendapatkan terapi
medik secara maksimal.

E. Prognosis
Prognosis pada kasus hifema ditentukan berdasarkan pulihnya tajam penglihatan pasien.
Fungsi penglihatan harus merupakan goal dalam penatalaksanaan pasien dengan hifema.
Dalam menentukan kasus hifema perlu dipertimbangkan :
1. Kerusakan struktur mata lain
2. Perdarahan sekunder
3. Komplikasi lain: glaukoma, corneal blood staining, serta atrofi optik
Secara umum, hifema grade I memiliki kemungkinan 80% untuk mencapai tajam
penglihatan minimal 6/12. Hifema yang lebih tinggi, yakni grade II memiliki kemungkinan
60%, sedangkan pada hifema total kemungkinan tajam penglihatan minimal 6/12 relatif
rendah, yakni sekitar 35%.
BAB III
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : ARM
Umur : 23 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Supir
Status Perkawinan : Belum Menikah
Suku/Bangsa : Minahasa/Indonesia
Alamat : Lawangirung Lingkungan III
Agama : Islam
Tanggal MRS : 31 Desember 2016

2. ANAMNESIS
Keluhan utama
Mata kanan merah akibat terkena petasan
Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengalami nyeri dan merah di bagian mata sebelah kanan akibat terkena
percikan petasan.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien tidak pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya.
Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengeluh sakit seperti ini
Riwayat kebiasaan
Riwayat merokok (+), riwayat alkohol (-)

3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Gizi : Cukup
Tekanandarah : 129/87 mmHg
Respirasi : 26x/menit
Nadi : 88x/menit
Temperature : 36,6OC
Saturasi O2 : 99%
Okulus Dextra Okulus Sinistra
Visus 1/~ 6/7,5
Tekanan Intraokuler 17,3 mmHg 17,3 mmHg
Segmen Anterior
Palpebra Edema (+) Dalam Batas Normal
Injeksi konjungtiva (+)
Injeksi siliar (+)
Konjungtiva Dalam Batas Normal
Subconjungtiva
bleeding (+)
Kornea Oedem (+) Jernih
Dalam
COA Darah (+) >1/2 pupil Dalam Batas Normal
(Hifema grade III)
Iris/Pupil Dalam Batas Normal Dalam Batas Normal
Lensa Jernih Jernih
Segmen Posterior
Refleks fundus Sulit dievaluasi Dalam Batas Normal
Retina Sulit dievaluasi Dalam Batas Normal

Papil N. II Sulit dievaluasi Dalam Batas Normal

Makula Sulit dievaluasi Dalam Batas Normal

4. Resume
Pasien mengalami nyeri dan merah di bagian mata sebelah kanan akibat terkena
percikan petasan. Awalnya pasien sedang berdiri di tengah keramaian kemudian petasan
meledak tiba-tiba dengan jarak kurang lebih 5 meter dari arah samping kanan pasien. Mata
kanan merah dan nyeri dirasakan sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga
mengeluh penglihatan mata kanan menjadi gelap.
Pada keadaan umum didapatkan pasien tampak sakit sedang. Dari status oftalmologi,
pada mata kanan didapatkan visus 1/~. Pada palpebra terdapat edema, konjungtiva terdapat
injeksi konjungtiva, injeksi silier dan subkonjungtiva bleeding. Tampak adanya darah pada
COA > pupil, kornea oedem, iris dan pupil dalam batas normal.

5. Diagnosis
OD : Hifema Grade III Ocular Dextra
Subkonjungtiva bleeding
OS : Emetropia OS
6. Terapi
- Bed rest total dengan elevasi kepala 450 (posisi semifowler)
- Artificial tears Eye Drop 4 x 1 tts OD
- Asam traneksamat 3 x 500 mg tab
- Timolol 0.5% 2x1gtt OD
- Atropin Sulfate 1% 2x1 gtt OD
- Paracetamol 3x500mg tab
7. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam: dubia
Quo ad sanationam: dubia ad bonam

8. Follow Up
Hari perawatan 1 (Sabtu, 31 Desember 2016)
S : Mata kanan merah akibat terkena petasan
O:
-VOD = 1/~ VOS = 6/7,5 TIODS = 17,3 mmHg
- Segmen anterior OD : Palpebra oedem (+)
Konjungtiva : injeksi konjungtiva (+) injeksi silier (+)
Kornea : Oedem (+) Hifema grade III
Lensa : Sulit dievaluasi
- Segmen posterior OD : Sulit dievaluasi
A : Hifema Grade III Ocular Dextra
Subkonjungtiva bleeding
- Bed rest total dengan elevasi kepala 450 (posisi semifowler)
- Artificial tears Eye Drop 4 x 1 tts OD
- Asam traneksamat 3 x 500 mg tab
- Timolol 0.5% 2x1gtt OD
- Atropin Sulfate 1% 2x1 gtt OD
- Paracetamol 3x500mg tab

Hari perawatan 2 (Minggu, 01 Januari 2017)


S : Mata kanan kabur
O:
-VOD = 1/300 VOS = 6/7,5 TIODS = 17,3 mmHg
- Segmen anterior OD : Palpebra oedem (+)
Konjungtiva : injeksi konjungtiva (+) injeksi silier (+)
Kornea : Oedem (+)
Lensa : Sulit dievaluasi
- Segmen posterior OD : Sulit dievaluasi
A:
OD : Hifema Grade III Ocular Dextra
Subkonjungtiva bleeding
OS : Emetropia OS
P: - Bed rest total dengan elevasi kepala 450 (posisi semifowler)
- Artificial tears Eye Drop 4 x 1 tts OD
- Asam traneksamat 3 x 500 mg tab
- Timolol 0.5% 2x1gtt OD
- Atropin Sulfate 1% 2x1 gtt OD
- Paracetamol 3x500mg tab
Hari perawatan 3 (Senin, 02 Januari 2017)
S : Mata kanan kabur
O:
-VOD = 1/60 VOS = 6/7,5 TIOD = 17,3 mmHg TIOS = 17,3 mmHg
- Segmen anterior OD : Palpebra oedem (+)
Konjungtiva : injeksi konjungtiva (+) injeksi silier (+)
Kornea : Oedem (+)
Lensa : Keruh
- Segmen posterior OD : Sulit dievaluasi
A: OD : Hifema Grade I Ocular Dextra
Subkonjungtiva bleeding

Katarak Traumatik
OS : Emetropia OS
P: - Bed rest total dengan elevasi kepala 450 (posisi semifowler)
- Artificial tears Eye Drop 4 x 1 tts OD
- Asam traneksamat 3 x 500 mg tab
- Timolol 0.5% 2x1gtt OD
- Atropin Sulfate 1% 2x1 gtt OD
- Paracetamol 3x500mg tab

Hari perawatan 4 (Selasa, 03 Januari 2017)


S : Mata kanan kabur
O:
-VOD = 1/60 VOS = 6/6 TIODS = 17,3 mmHg
- Segmen anterior OD : Palpebra oedem (+)
Konjungtiva : injeksi konjungtiva (+) injeksi silier (+)
Kornea : Oedem (+)
Lensa : Keruh
- Segmen posterior OD : Sulit dievaluasi
A: OD : Hifema Grade I Ocular Dextra
Subkonjungtiva bleeding
Katarak Traumatik
OS : Emetropia OS
P: - Bed rest total dengan elevasi kepala 450 (posisi semifowler)
- Artificial tears Eye Drop 4 x 1 tts OD
- Asam traneksamat 3 x 500 mg tab
- Timolol 0.5% 2x1gtt OD
- Atropin Sulfate 1% 2x1 gtt OD
- Paracetamol 3x500mg tab
- Methylprednisolone 16 3x16mg PO
- Prednisolone Acetate 10ml 6x1 gtt OD

Hari perawatan 5 (Rabu, 05 Januari 2017)


S : Mata kanan kabur
O:
-VOD = 1/60 VOS = 6/6 TIODS = 17,3 mmHg
- Segmen anterior OD : Palpebra oedem (+)
Konjungtiva : injeksi konjungtiva (+) injeksi silier (+)
Kornea : Oedem (+)
Lensa : Keruh
- Segmen posterior OD : Sulit dievaluasi
A: OD : Hifema Grade I Ocular Dextra
Subkonjungtiva bleeding
Katarak Traumatik
OS : Emetropia OS
P: - Bed rest total dengan elevasi kepala 450 (posisi semifowler)
- Artificial tears Eye Drop 4 x 1 tts OD
- Asam traneksamat 3 x 500 mg tab
- Timolol 0.5% 2x1gtt OD
- Atropin Sulfate 1% 2x1 gtt OD
- Paracetamol 3x500mg tab
- Methylprednisolone 16 3x16mg PO
- Prednisolone Acetate 10ml 6x1 gtt OD

BAB IV
PEMBAHASAN

Hifema didefinisikan sebagai adanya akumulasi darah di bilik mata depan. Sebagian besar
hifema yang terjadi di masyarakat terjadi pada laki-laki (sekitar 80%). Pada umumnya pasien
mengeluhkan penurunan tajam penglihatan, sakit kepala, fotofobia, serta menjelaskan riwayat
trauma atau percideraan pada mata. Percideraan yang dikeluhkan umumnya diakibatkan oleh
benda tumpul.4 Hal ini sesuai dengan yang ditemukan pada pasien, dimana pasien merupakan
seorang laki-laki berusia 23 tahun, dan menderita hifema traumatik diakibatkan trauma tumpul.
Berdasarkan waktu terjadinya, hifema dibagi atas dua yaitu hifema primer dan hifema
sekunder.5 Sedangkan berdasarkan penyebabnya, hifema terbagi menjadi tiga yakni hifema
iatrogenik, hifema traumatik dan hifema spontan. 2 Pasien dalam kasus ini menderita hifema
primer dan juga berdasarkan penyebabnya tergolong dalam hifema traumatik. Hal ini sesuai
dengan kepustakaan yang menyebutkan bahwa hifema traumatik merupakan jenis yang tersering,
2
yang merupakan hifema akibat terjadinya trauma pada bola mata, untuk itu pada anamnesis
pasien dengan hifema perlu ditanyakan apakah pasien mengalami riwayat trauma sebelumnya,
baik trauma tumpul maupun trauma oleh benda tajam. Hifema primer terjadi langsung setelah
trauma, darah yang terlihat di dalam COA dapat sedikit (grade I) dan dapat pula memenuhi
seluruh COA dan mengganggu media refraksi (grade IV). Penderita sebaiknya di rawat di rumah
sakit, karena ditakutkan akan terjadi perdarahan sekunder yang lebih hebat dari pada perdarahan
primer. Perdarahan ulang dapat terjadi pada 16-20% kasus dalam 2-3 hari.5
Berdasarkan Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada
anamnesis didapatkan pasien mengalami bengkak dan nyeri di bagian mata sebelah kanan saat
masuk rumah sakit karena terkena percikan petasan. Keluhan tersebut disertai dengan mata
merah, pandangan semakin kabur dan kemudian menjadi gelap. Riwayat trauma (+). Pada
keadaan umum didapatkan pasien tampak sakit sedang. Dari status oftalmologi, pada mata kanan
didapatkan visus 1/~. Pada palpebra terdapat edema, konjungtiva terdapat injeksi konjungtiva,
injeksi siler dan subkonjungtiva bleeding. Tampak adanya darah pada COA mengisi > COA,
kornea oedem, iris dan pupil dalam batas normal dan lensa sulit dievaluasi. Seperti yang kita
ketahui, bilik mata depan merupakan salah satu media refraksi pada mata. Oleh karena itu,
apabila terdapat darah pada bilik mata depan, refraksi cahaya dari dunia luar akan terganggu dan
secara langsung ketajaman penglihatan seseorang pun akan menurun. Tingkat penurunan ini
tergantung pada banyaknya darah di dalam bola mata. Penurunan dapat bersifat ringan hingga
tingkat hand movement ataupun light perception.1,11
Beratnya hifema dinilai dari banyaknya darah dalam bilik mata depan. Berdasarkan
tampilan klinisnya dibagi menjadi beberapa grade (Sheppard) :
1. Grade I : darah mengisi kurang dari sepertiga COA
2. Grade II : darah mengisi sepertiga hingga setengah COA
3. Grade III : darah mengisi hampir total COA
4. Grade IV : darah memenuhi seluruh COA
Pada pasien ini dikategorikan sebagai hifema grade 3 karena pendarahan mengisi >1/2
COA atau darah mengisi hampir total bilik mata depan.
Penanganan pada pasien ini adalah masuk rumah sakit selama 5-7 hari untuk dievaluasi
agar tidak terjadi perdarahan sekunder serta membatasi aktivitas pasien, elevasi kepala 30-45
yang bertujuan membuat darah berkumpul di bagian inferior dari COA dan tidak menghalangi
tajam penglihatan juga mempermudah dalam evaluasi harian COA.9,10 Penatalaksanaan
farmakologi pasien diberikan obat-obatan seperti asam traneksamat diberikan sebagai anti
perdarahan terutama untuk kasus hifema dimana terjadi perdarahan pada pembuluh darah iris dan
badan siliar. Selain itu juga diberikan artificial tears eye drop, Timolol 0,5%, Atropin sulfate 1%
dan paracetamol 500mg.
Parasintesis atau mengeluarkan darah dari bilik mata depan dilakukan bila absorpsi darah
secara spontan terlalu lambat, terdapat kelainan penggumpalan darah yang dapat menjadi resiko
perdarahan sekunder, seperti hemoglobinopati atau sickle cell disease, peningkatan TIO tidak
bisa diatasi dengan obat-obatan (>35 mmHg selama 7 hari atau >50 mmHg selama 5 hari) dan
adanya kemungkinan corneal blood staining. Pembedahan yang dapat dilakukan adalah dengan
parasentesis. Langkahnya adalah dengan membuat insisi pada kornea sepanjang 2 cm dari limbus
kearah kornea sejajar permukaan iris.Kemudian dilakukan penekanan pada bibir luka sehingga
koagulum/darah pada bilik mata depan keluar. Bila tetap tidak keluar maka dapat
dibilas/dilakukan irigasi dengan garam fisiologis.1
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah peningkatan tekanan intraokular secara akut
yakni suatu glaukoma traumatik, atrofi optik, pendarahan sekunder, sinekia anterior dan
posterior. Pada pasien ini tidak terjadi komplikasi yang ditakutkan tersebut namun ditemukan
komplikasi lain yaitu adanya katarak traumatik.
Katarak traumatik adalah katarak yang terjadi akibat trauma, baik trauma tembus maupun
trauma tumpul pada bola mata yang dapat terlihat setelah beberapa hari atau beberapa tahun dan
paling sering karena adanya cedera yang disebabkan oleh benda asing yang mengenai lensa atau
trauma tumpul pada bola mata. Katarak traumatik ini dapat muncul akut, subakut, ataupun gejala
sisa dari trauma mata.12

Pada pasien ini trauma tumpul bertanggung jawab dalam mekanisme coup dan
contrecoup. Mekanisme coup adalah mekanisme dengan dampak langsung. Ini akan
mengakibatkan cincin Vossius (pigmen iris tercetak) dan kadang-kadang ditemukan pada kapsul
lensa anterior setelah trauma tumpul. Mekanisme countercoup menunjuk kepada cedera yang
jauh dari tempat trauma yang disebabkan oleh gelombang energi yang berjalan sepanjang garis
sampai kebelakang. Ketika permukaan anterior mata terkena trauma tumpul, ada pemendekan
cepat pada anterior-posterior yang diikuti pemanjangan garis ekuatorial. Peregangan ekuatorial
dapat meregangkan kapsul lensa, zonula atau keduanya. Kombinasi coup, contrecoup dan
pemanjangan ekuatorial bertanggung jawab dalam terjadinya katarak traumatik yang disebabkan
trauma tumpul bola mata.13

Prognosis hifema ditentukan berdasarkan pulihnya tajam penglihatan pasien. Prognosis


pada pasien ini baik karena tajam penglihatan pasien mengalami kemajuan yang bermakna. Pada
hari perawatan ketiga tajam penglihatan mata kanan pasien menjadi 1/60 yang awalnya adalah
1/~ saat pertama kali datang ke RS. Pada hari perawatan keempat tajam penglihatan pasien sudah
menjadi 2/60 dan darah tampak kurang dari 1/3 COA (Grade I).
Fungsi penglihatan harus menjadi goal dalam penalatalaksanaan pasien dengan hifema.
Dalam menentukan kasus hifema perlu dipertimbangkan yaitu kerusakan struktur mata lain,
perdarahan sekunder, dan komplikasi lain: glaukoma, corneal blood staining, serta atrofi optik.9,10

BAB V
PENUTUP

Hifema didefinisikan sebagai adanya akumulasi darah di bilik mata depan. Sebagian besar
hifema yang terjadi di masyarakat terjadi pada laki-laki (sekitar 80%). Pada umumnya pasien
mengeluhkan penurunan tajam penglihatan, sakit kepala, fotofobia, serta menjelaskan riwayat
trauma atau percideraan pada mata. Percideraan yang dikeluhkan umumnya diakibatkan oleh
benda tumpul.
Penatalaksanaan hifema sangat bergantung kepada derajat hifema, komplikasi yang terjadi,
serta respons pasien terhadap pengobatan. Hal-hal ini menjadi parameter dalam menentukan
apakah pasien perlu dirawat atau hanya berobat jalan saja. Untuk kasus ringan, penatalaksanaan
dapat meliputi terapi konservatif. Tujuan terapi sesuai dengan komplikasi yang mungkin terjadi.
Prognosis tergantung pada banyaknya darah yang tertimbun pada kamera okuli anterior.
Biasanya hifema dengan darah yang sedikit dan tanpa disertai glaukoma, prognosisnya baik
karena darah akan diserap kembali dan hilang sempurna dalam beberapa hari.
Demikianlah telah dilaporkan suatu kasus dengan judul Hifema Grade III ec Trauma
Tumpul Oculus Dextra.

Anda mungkin juga menyukai