Anda di halaman 1dari 38

1

LAPORAN KASUS

PENATALAKSANAAN KARSINOMA ADENOID KISTIK NASOFARING


T3N1M0

Oleh :
Rokhaeni

Pembimbing :
dr. Imam Prabowo, Sp. THT-KL

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1


ILMU KESEHATAN THT-KL FK UNS
RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015

[Type text] i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Karsinoma adenoid kistik (ACC) merupakan neoplasma ganas regio kepala
leher yang berasal dari kelenjar saliva. Neoplasma jenis ini pertama kali
diungkapkan oleh Theodor Billroth pada tahun 1856 sebagai neoplasma jinak dan
dikenal dengan nama silindroma. Hingga akhirnya pada tahun 1930, Spies
mengubah namanya menjadi karsinoma adenoid kistik (Bradley, 2004).
Karsinoma adenoid kistik (ACC) merupakan tumor kepala leher yang jarang
ditemui. Kejadiannya hanya kurang dari 1% dari seluruh kasus keganasan kepala
dan leher. Sedangkan, nasofaring merupakan lokasi yang jarang terjadi pada
tumor ini dan jumlahnya kurang dari 4% dari seluruh karsinoma adenoid kistik
kepala leher. Sebagian besar kasus ACC terjadi pada dekade kelima dan keenam
kehidupan, perempuan lebih banyak daripada laki-laki (1,3:1) (Mendenhall et al.,
2004; Kokemueller et al., 2004; da Cruz Perez et al., 2006; Jaso dan Malhotra,
2011; Khademi et al., 2011; Pushpanjaliet al., 2014).
Etiologi dari karsinoma adenoid kistik (ACC) masih belum diketahui secara
pasti. Hanya sedikit data yang menyajikan faktor risiko ras, geografis, paparan
serta faktor risiko lainnya yang spesifik terkait perkembangan penyakit ini (Dillon
et al., 2015).
Karsinoma adenoid kistik (ACC) dikenal dengan temuan klinis yang lama
dan kecenderungan lamanya onset metastasis jauh ACC juga memiliki
karakteristik kecenderungan penyebaran perineural yang tinggi, invasi limfatik
yang jarang, rekurensi lokal multipel dan metastasis jauh yang berlangsung
lama.Pada kebanyakan kasus, pertumbuhan tumor tidak disadari sampai akhirnya
menginvasi saraf dan struktur lokal.Sehingga, saat ditemukan penyakit ini muncul
sebagai penyakit yang invasive (Bradley, 2004; Lloyd et al., 2011; Jaso dan
Malhotra, 2011 ).
RohenRokhaeni, 2015 2
Karsinoma adenoid kistik nasofaring bersifat agresif secara lokal, sehingga
cenderung mengalami rekurensi. Dalam sebuah tinjauan kasus karsinoma adenoid
kistik nasofaring, 74,3% pasien ditemukan dalam stadium lanjut pada saat
pemeriksaan awal. Metastase jauh sering terjadi pada 39% pasien dan lokasi
metastase jauh yang paling sering adalah paru dan tulang (Wiseman et al., 2002;
Jaso dan Malhotra, 2011; Kannan et al., 2015).
Oleh karena jarangnya insidensi karsinoma adenoid kistik ini pada
nasofaring, membuat penegakan diagnosis, dan pilihan terapi sulit dilakukan.

B. Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui etiologi,
patogenesis dan gejala klinis karsinoma adenoid kistik nasofaring, sehingga
penegakan dan penatalaksanaan karsinoma adenoid kistik lebih tepat.
C. Manfaat
Manfaat di bidang akademis untuk mengetahui etiologi, faktor risiko dan
patogenesis dari karsinoma adenoid kistik nasofaring. Manfaat klinis untuk
mengetahui penegakan diagnostik dan penatalaksanaan pada kasus karsinoma
adenoid kistik nasofaring.

RohenRokhaeni, 2015 3
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Kelenjar Saliva


Sistem kelenjar saliva manusia dapat dibagi menjadi dua kelompok
eksokrin yang berbeda. Glandula/kelenjar saliva mayor termasuk glandula
parotis, glandula submandibularis, dan glandula sublingualis. Selain itu, pada
mukosa traktus aerodigestivus tersusun atas ratusan kelenjar kecil, yaitu
kelenjar saliva minor. Fungsi utama kelenjar saliva adalah untuk mensekresi
saliva, yang berperan dalam lubrikasi, digesti, imunitas dan seluruh
pemeliharaan homeostasis dalam tubuh manusia (Holsinger dan Bui, 2007).
Kelenjar parotis merupakan kelenjar saliva terbesar, terletak bilateral di
depan telinga antara ramus mandibularis dan processus mastoideus dengan
bagian yang meluas ke muka di bawah lengkung zigomatik. Kelenjar
submandbularis merupakan kelenjar saliva terbesar kedua yang terletak pada
dasar mulut di bawah korpus mandibula. Salurannya bermuara melalui lubang
yang terdapat di samping frenulum lingualis. Kelenjar sublingualis adalah
kelenjar saliva mayor terkecil dan terletak paling dalam, pada dasar mulut
antara mandibula dan otot genioglossus. Masing-masing kelenjar sublingualis
sebelah kanan dan kiri bersatu untuk membentuk massa kelenjar di sekitar
frenulum lingualis.Sedangkan, kelenjar saliva minor terdiri dari kelenjar
lingualis, bukalis, labialis, palatina, dan glossopalatina. Kelenjar-kelenjar ini
berada di bawah mukosa dari bibir, lidah, pipi, serta palatum.

[Type text]
Gambar 2.1Struktur anatomi kelenjar saliva(Netter, 2014)
1. Histologi Kelenjar Saliva
Kelenjar saliva merupakan kelenjar merokrin yang bentuknya
berupa tubuloasiner atau tubuloaveoler. Bagian dari kelenjar saliva yang
menghasilkan sekret disebut asinus. Berikut adalah sel-sel yang menyusun
asini kelenjar saliva (Junqueria dan Carneiro, 2003).
Asini serous
Asini serous tersusun dari sel-sel berbentuk piramid yang
mengelilingi lumen kecil dan berinti bulat. Di basal sel terdapat
sitoplasma basofilik dan di apeks terdapat butir-butir pro-enzim
eosinofilik, yang akan disekresikan ke lumen asini menjadi enzim.
Hasil sekresi aini serous berisi enzim ptialin dan bersifat jernih dan
encer seperti air (Junqueria dan Carneiro, 2003).
Asini mukous
Asini mukous tersusun dari sel-sel berbentuk kuboid sampai
kolumner yang mengelilingi lumen kecil dan memiliki inti pipih atau
oval yang terletak di basal. Sitoplasma asini mukous yang berada di
basal sel bersifat basofilik sedangkan daerah inti dan apeks berisi
musin yang bewarna pucat. Hasil sekresi asini mukous berupa musin
yang sangat kental (Junqueria dan Carneiro, 2003).

RohenRokhaeni, 2015 5
Asini campuran
Asini campuran mempunyai struktur asini serous serta mukous.
Bagian serous yang menempel pada bagian mukous tampak sebagai
bangunan berbentuk bulan sabit (Junqueria dan Carneiro, 2003).
Pada kelenjar saliva juga ditemukan struktur laindi antara sel
epitel dan lamina basalis, yaitu mioepitel (sel basket). Mioepitel
terdapat di antara membran basalis dan sel asinus. Sel ini berbentuk
gepeng, berinti gepeng, memiliki sitoplasma panjang yang mencapai
sel-sel sekretoris, dan memiliki miofibril yang kontraktil di dalam
sitoplama sehingga membantu memeras sel sekretoris mengeluarkan
hasil sekresi (Junqueria dan Carneiro, 2003).
Hasil sekresi kelenjar saliva akan dialirkan ke duktus
interkalatus yang tersusun dari sel-sel berbentuk kuboid dan
mengelilingi lumen yang sangat kecil. Beberapa duktus interkalatus
akan bergabung dan melanjut sebagai duktus striatus atau duktus
intralobularis yang tersusun dari sel-sel kuboid tinggi dan mempunyai
garis-garis di basal dan tegak lurus dengan membrana basalis yang
berfungsi sebagai transport ion (Junqueria dan Carneiro, 2003). Duktus
striatus dari masingmasing lobulus akan bermuara pada saluran yang
lebih besar yang disebut duktus ekskretorius atau duktus interlobularis.

Gambar 2.2. Histologi fungsional kelenjar saliva (Holsinger dan Bui, 2007)

RohenRokhaeni, 2015 6
2. Neurovaskularisasi kelenjar saliva
Vaskularisasi glandula parotis berasal dari cabang arteri carotis
eksterna. Baik glandula submandibularis dan sublingualis mendapat
vaskularisasi dari arteri submentalis dan arteri sublingualis, cabang arteri
lingualis, cabang arteri fasialis (Holsinger dan Bui, 2007).
Glandula parotis mendapat persarafan parasimpatis dari nukleus
salivatorius inferius melalui nervus glossopharyngeus. Glandula
sublingualis dan submandibularis mendapat inervasi parasimpatis dari
korda timphani nervus fasialis. Sedangkan, rangsang simpatis terhadap
kelenjar saliva mayor tersebut diinervasi oleh plexus karoticus eksternus
dari ganglion servikalis superior melalui nervus thoracicus. Kelenjar saliva
minor mendapatkan inervasi parasimpatis postganglion dari nervus
lingualis cabang nervus trigeminus (Holsinger dan Bui, 2007).

B. Karsinoma Adenoid Kistik Nasofaring (NACC)


Karsinoma adenoid kistik (ACC) merupakan neoplasma ganas regio
kepala leher yang berasal dari kelenjar saliva. Neoplasma jenis ini pertama
kali diungkapkan oleh Theodor Billroth pada tahun 1856 sebagai neoplasma
jinak dan dikenal dengan nama silindroma. Hingga akhirnya pada tahun 1930,
Spies mengubah namanya menjadi karsinoma adenoid kistik (Bradley, 2004).
1. Epidemiologi
Sekitar 10-15% dari tumor glandula saliva merupakan karsinoma
adenoid kistik. Karsinoma adenoid kistik (ACC) paling sering terjadi di
kelenjar saliva minor dan kelenjar sumandibularis dan yang lebih jarang,
di kelenjar parotis dan sublingualis (Johnson dan Rosen, 2014). Lokasi
lain yang lebih jarang ditemukan yaitu pada traktus aerodigestivus,
kelenjar lakrimalis, dan kelenjar adneksa kulit. Sebagian besar kasus ACC
terjadi pada decade keempat dan keenam kehidupan, perempuan lebih
banyak terjangkit daripada laki-laki (1,3:1) (Mendenhall et al., 2004;
Khademi et al., 2011; Pushpanjaliet al., 2014).

RohenRokhaeni, 2015 7
Karsinoma adenoid kistik (ACC) merupakan tumor kepala leher
yang jarang ditemui.Kejadiannya hanya kurang dari 1% dari seluruh kasus
keganasan kepala dan. Meskipun demikian, ACC merupakan tumor ganas
glandula saliva minor yang paling sering terjadi, dan palatum merupakan
lokasi yang paling banyak ditemukan. Lokasi lain yang lebih jarang
ditemukan antara lain vulva, cervix, glandula Cowper, esophagus, canalis
acusticus eksternus, auris media, dan nasofaring. Nasofaring merupakan
lokasi yang jarang terjadi pada tumor ini dan jumlahnya kurang dari 4%
dari seluruh karsinoma adenoid kistik kepala leher. Yang lebih jarang lagi,
ACC juga kadang ditemukan sebagai tumor intraosseus primer di
mandibula dan maxilla leher (da Cruz Perez et al., 2006; Doddet al., 2006;
Kokemueller et al., 2004; Spiro et al, 1979; Dodd et al., 2006; Jaso dan
Malhotra, 2011; Pushpanjali et al., 2014).

2. Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi dari karsinoma adenoid kistik (ACC) masih belum
diketahui secara pasti. Oleh karena jarangnya insidensi tumor ini, hanya
sedikit data yang menyajikan faktor risiko ras, geografis, paparan serta
faktor risiko lainnya yang spesifik terkait perkembangan penyakit ini
(Dillon et al., 2015).
Tidak ada bukti dan identifikasi kuat terkait faktor risiko genetik
dan lingkungan yang berhubungan dengan ACC. Kerusakan genome DNA
yang terjadi pada penyakit ACC sama halnya seperti pada studi penyakit
kanker lainnya. Beberapa penelitian membuktikan bahwa abnormalitas
kromosom dan delesi genetik terjadi pada pasien ACC. Beberapa bukti
mengarah pada hubungan antara mutasi kromosom 6 dan 12 dan delesi
materi genetik kromosom 19. Beberapa penelitian juga membuktikan
bahwa gen supresi tumor p53 mengalami inaktivasi akibat perkembangan
dan keagresifan dari neoplasma ini (Ellis dan Auclair, 2008; DeLong dan
Burkhart, 2013).

RohenRokhaeni, 2015 8
Faktor risiko yang diduga berkaitan dengan penyakit tumor
kelenjar saliva, pada umumnya, meliputi kebiasaan merokok, predisposisi
genetik, infeksi virus, paparan di pabrik karet, pekerjaan sebagai tukang
pipa ledeng, beberapa pekerjaan yang berhubungan dengan kayu, paparan
asbes, dan paparan komponen nikel. Satu-satunya faktor risiko yang telah
diyakini adalah radiasi ion. Orang yang pernah selamat dari bom atom dan
pasien kanker yang diterapi dengan radiasi, akan mengalami tumor
kelenjar saliva dengan risiko yang lebih tinggi (Rousseau dan Badoual,
2011).
3. Patogenesis
Karsinoma adenoid kistik (ACC) merupakan tumor ganas derajat
tinggi. Tumor ini paling banyak berasal dari glandula saliva minor.
Biasanya tumor ini memiliki kapsul dan aktif menginfiltrasi jaringan
normal di sekitarnya (DeLong dan Burkhart, 2013).
Investigasi tentang pathogenesis ACC terhambat karena kurangnya
deretan sel yang divalidasi. Meskipun demikian, penelitian tentang
jaringan tumor dan, saat ini, xenograf primer telah memberikan pandangan
yang menarik. Analisis RNA tumor dengan microarray menunjukkan
bahwa ekspresi gen ACC berkaitan dengan diferensiasi mioepitel yang
panjang dengan kadar transkripsi faktor Sox4 yang tinggi. Yang kemudian
secara normal mengatur perkembangan embrionik dan juga merupakan
kandidat oncogene manusia (Liu et al., 2015; Dillonet al., 2015).
Overekspresi gen lain mencakup casein kinase 1-epsilon and
frizzled-7, yang berimplikasi dalam jalur sinyal Wnt/b-catenin dan dalam
tumorigenesis. Temuan lain adalah bahwa tumor ACC sering
memproduksi reseptor tirosin kinase c-KIT dalam kadar tinggi dan juga
ekspresi berlebihan reseptor faktor pertumbuhan lainnya, termasuk
firoblast growth factor receptor 1 (FGFR1), epidermal growth factor
receptor (EGFR), dan/atau human epidermal receptor-2 (HER-2)(Liu et
al.,2012; Dillonet al., 2015).

RohenRokhaeni, 2015 9
Tumor ACC menunjukkan adanya mutasi gen somatik.Tumor
ACC mengakibatkan adanya penambahan atau pengurangan kromosom
regio spesifik, termasuk delesi kromosom 1p35-36. Delesi lain yang sering
terjadi, yaitu pada 6q24, 12q, dan 14q. Namun, perubahan yang paling
menarik, adalah tranlokasi antara kromosom g1 dan 9p. Persson et al
merupakan yang pertama kalimelaporkan penyusunan ulang gen terhadap
faktor transkripsi MYB dan faktor nucleus I/B (NFIB). Translokasi ini
tampaknya spesifik untuk ACC, ditemukan hingga 86% dalam kasus
tumor ini, dan mungkin bermanfaat dalam membedakan tumor ini dengan
berbagai bentuk karsinoma lainnya. Perubahan NFIB juga dapat menjadi
hal yang signifikan karena mutasi gen ini ditemukan dalam beberapa kasus
ACC.Studi terkini semakin menguatkan peran MYB dalam pathogenesis
ACC, dan mereka telah mengonfirmasi bahwa MYB dapat menjadi target
yang bagus untuk terapi di masa mendatang (Liu et al., 2012; Ho et al.,
2013).
4. Klasifikasi
Karsinoma adenoid kistik merupakan tumor dengan gambaran
mikroskopik yang heterogen, dan terbagi menjadi 3 subtipe tumor berbeda
berdasarkan pola pertumbuhannya. Ada tiga subtype adenoid kistik
karsinoma yang dideskripsikan oleh Perzin et al (1978), yang
mencerminkan berbagai derajat perkembangan diferensiasi sel dan
agresivitasnya, yaitu tipe cribiformis (50%), tipe tubular (30%), dan tipe
solid (10%) (Kannan et al., 2015).
Subtipe cribiformis merupakan yang paling sering terjadi. Tersusun
atas sekumpulan sel basaloid mengelilingi rongga cystlike (pseudokista)
dengan ukuran yang bervariasi, membentuk gambaran Swiss cheese.
Pseudokista tersebut mengandung glikosaminoklikan basofilik dan/atau
eosinofilik, dan lamina basalis yang terkadang acid-Schiff-positive (Ellis
dan Auclair, 2008).
Subtipe tubular, merupakan subtipe tersering kedua dan paling
berdiferensiasi, menunjukkan pola sitologi yang serupa dengan sel tumor
RohenRokhaeni, 2015 10
tersusun menggerombol dikelilingi oleh sejumlah sel eosinofilik, dan
stroma hialine. Terkadang, komponen stroma meningkat, menekan bentuk
sel tumor menjadi lebih tipis, membentuk trabekula. Subtipe solid lebih
sedikit berdiferensiasi sehingga merupakan subtipe paling ganas dan
agresif. Subtipe ini mengandung sel basal yang saling beragregasi tanpa
adanya bentuk kista atau tubular. Sel tumor tampak lebih besar dan
pleomorfisme nuclear lebih tegas (Ellis dan Auclair, 2008).

Gambar 2.3.1) Pola pertumbuhan cribiformis menunjukkan beberapa pseudokista


prominen dikelilingi sel basal dengan nuclei hiperkromatik (HE, pembesaran 200x); 2)
tampilan resolusi tinggi menggambarkan karakteristik membrane basalis eosinofilik
dalam pseudokista (HE, pembesaran 400x) (Jaso dan Malhotra, 2011)

Tumor derajat I hanya terdiri atas pola cribiformis atau tubular,


tumor derajat II terdiri atas pola pertumbuhan cribiformis atau tubular
dengan 30% komponen solid, dan tumor derajat III tersusun lebih dari
30% komponen solid. Adanya komponen solid telah menjadi predictor
konsisten atas prognosis yang buruk pada beberapa kasus dalam hal
metastasis jauh dan angka survival jangka panjang. Namun, penentuan
stadium menggunakan the American Joint Committee on Cancer lebih
mampu memprediksikan prognosis dan metastasis jauh. (Jaso dan
Malhotra, 2011; Johnson dan Ronsen, 2014; Pushpanjali et al., 2014)

RohenRokhaeni, 2015 11
5. Gejala dan Tanda
Karsinoma adenoid kistik (ACC) dikenal dengan temuan klinis
yang lama dan kecenderungan lamanya onset metastasis jauh. Selain itu,
referensi lain menyebutkan ACC memiliki karakteristik kecenderungan
penyebaran perineural yang tinggi, invasi limfatik yang jarang, rekurensi
lokal multipel dan metastasis jauh yang berlangsung lama (Lloyd et al.,
2011; Bradley, 2004 )
Gejala karsinoma adenoid kistik nasofaring yang paling sering
ditemukan yaitu, epistaksis, gejala obstruksi hidung yang progresif,
gangguan fungsi tuba Eustachius, dan gejala yang berkaitan dengan invasi
ke basis kranium yaitu diplopia, nyeri pada wajah, gangguan pergerakan
mata, serta yang jarang terjadi, Sindrom Horner. Interval antara onset
penyakit dan onset gejala awal yang muncul diestimasikan terjadi dalam
waktu 2 hingga 5 tahun (Pushpanjali et al., 2014; Kannan et al., 2015).
Pertumbuhan tumor yang lambat tetapi progresif merupakan ciri
khas dari adenoid kistik karsinoma nasofaring. Pertumbuhan tumor yang
lambat dan indolen ini biasanya bersifat asimtomatik. Pada kebanyakan
kasus, pertumbuhan tumor tidak disadari sampai akhirnya menginvasi
saraf dan struktur lokal. Sehingga, saat ditemukan penyakit ini muncul
sebagai penyakit yang invasive (Bradley, 2004; Jaso dan Malhotra, 2011;
Johnson dan Rosen, 2014).
Karsinoma adenoid kistik nasofaring bersifat agresif secara lokal,
sehingga cenderung mengalami rekurensi. Dalam sebuah tinjauan kasus
karsinoma adenoid kistik nasofaring, 74,3% pasien ditemukan dalam
stadium lanjut pada saat pemeriksaan awal. Metastase pada limfonodi
jarang terjadi (15%). Adanya metastase jauh sering terjadi pada 39%
pasien. Lokasi metastase jauh yang paling sering adalah paru dan tulang,
sedangkan yang jarang ditemukan yaitu metastase pada hepar dan otak.
Faktor risiko terjadinya metastasis jauh, antara lain pola histology solid,
ukuran tumor lebih dari 3 cm, dan keterlibatan limfonodi regional (Jaso

RohenRokhaeni, 2015 12
dan Malhotra, 2011; Johnson dan Rosen, 2014; Dillon et al., 2015;
Kannan et al., 2015 ).
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Endoskopi
Pemeriksaan nasoendoskopi akan memberikan informasi
tentang keterlibatan mukosa dan perluasan tumor serta membantu saat
biopsi. Namun pemeriksaan endoskopi tidak dapat menentukan
peluasan tumor ke arah dalam dan keterlibatan dasar
tengkorak.Pemeriksaan endoskopi dapat dilakukan dengan anestesi
lokal baik dengan endoskop kaku atau serat optik (flexible) (Wei dan
Chua, 2012).
b. Biopsi Jaringan
Pada umumnya, biopsi jarum halus(fine needle aspiration) saja
tidak cukup untuk menentukan diagnosis yang pasti. Biasanya
diperlukan bagian dari tumor primer yang diambil secara operatif
sehingga ahli hematopatologi mendapatkan jaringan yang cukup untuk
menegakkan diagnosis, dapat melalui biopsi eksisional maupun
incisional. Ahli hematopatologi akan memeriksa sampel jaringan di
bawah mikroskop, dan perubahan sel dinilai untuk identifikasi
histologi tumor yang spesifik (Dillon et al., 2015).
Histologi dari adenoid kistik karsinoma khas, dikenal sebagai
classic sweet cheese appearance, dengan sel bulat kecil uniform
mengelilingi sel silindris di sentral dan lamina yang mengandung
mukoid dan matriks hialin. Pemeriksaan imunohistokimia juga
diperlukan untuk menegaskan diagnosis ACC. Sel ACC akan tercat
positif terhadap reseptor tirosin kinasi c-KIT (CD117) dan MYB, tanpa
memperhatikan derajatnya (Dillon et al., 2015)

RohenRokhaeni, 2015 13
Gambar 2.4.Fotomikrograf menunjukkan karsinoma adenoid kistik pada pengecatan
imunohistokimia terhadap protein MYB. Lokasi protein digambarkan berwarna coklat.
Sebagian besar sel tumor tampak tercat sedang hingga kuat, dengan lokalisasi nuklei
(Dillon et al., 2015).
c. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk membantu evaluasi
lokasi dan perluasan tumor ke arah dalam dan dasar tengkorak serta
metastasis regional.
CT scan penting untuk mengevaluasi adanya erosi tulang oleh
tumor, disamping juga dapat menilai perluasan tumor. Sedangkan,
MRI lebih baik daripada CT scan dalam menampilkan jaringan lunak
dan membedakan tumor primer dengan jaringan normal. MRI dapat
memperlihatkan infiltrasi tumor ke otot-otot dan sinus cavernosus.
Pemeriksaan ini juga penting dalam menentukan adanya perluasan ke
parafaring dan pembesaran kelenjar getah bening. Namun, MRI
mempunyai keterbatasan dalam menilai perluasan yang melibatkan
tulang (Wei dan Chua, 2012).
7. Stadium Penyakit
Penentuan stadium karsinoma yang berada di nasofaring ditetapkan
berdasarkan the American Joint Committee on Cancer menggunakan
sistem TNM (tumor, nodus, metastase) (Deschler dan Day, 2008):
Tumor
TX : Tumor primer yang tidak dapat dinilai.
T0 : Tidak ada tumor primer.
T1 : Tumor terbatas pada nasofaring.

RohenRokhaeni, 2015 14
T2 : Tumor meluas ke jaringan lunak
T2a : Tumor meluas ke orofaring dan/atau cavum nasi, tanpa perluasan
parafaringeal.
T2b : Tumor meluas ke dalam spatium parafaringeal.
T3 : Tumor melibatkan struktur tulang dan/atau sinus paranasales.
T4 : Tumor telah meluas ke intrakranial dan/atau melibatkan nervus
kraniales, fossa infratemporal, hipofaring, orbitae, atau spatium
mastikator.
Nodus
N0 : Tidak ada metastasis limfonodi regional
N1 : Metastasis limfonodi unilateral, ukuran kurang dari atau sama
dengna 6 cm, di atas fossa supraclavicularis
N2 : Metastasis limfonodi bilateral, ukuran kurang dari atau sama
dengan 6 cm, di atas fossa supraclavicularis
N3 : Metastasis limfonodi lebih dari 6 cm dan/atau di fossa
supraclavicularis
N3a : Ukuran tumor lebih besar dari 6 cm.
N3b : Tumor meluas ke fossa supraclavicularis.
Metastasis
MX : Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 : Tidak ada metastasis jauh
M1 : Ada metastasis jauh
Pengelompokan Stadium
Stadium 0 Tis N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium IIA T2a N0 M0
Stadium IIB T1 N1 M0
T2 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0 M0
T2b N1 M0
RohenRokhaeni, 2015 15
Stadium III T1 N2 M0
T2a N2 M0
T2b N2 M0
T3 N0 M0
T3 N1 M0
T3 N2 M0
Stadium IVA T4 N0 M0
T4 N1 M0
T4 N2 M0
Stadium IVB Setiap T N3 M0
Stadium IVC Setiap T Setiap N M1

8. Penatalaksanaan
Tatalaksana utama untuk karsinoma adenoid kistik adalah reseksi
bedah radikal yang diikuti dengan radioterapi. Apabila tidak ditemukan
keterlibatan limfonodi leher, sebagian besar pengamat merekomendasikan
eksisi lokal saja tanpa diseksi leher terhadap pasien, dan radiasi profilaksis
pada bagian leher dianggap tidak perlu. Sedangkan, karsinoma dan
limfoma nasofaring memiliki struktur histologi yang kemosensitif dan
radiosensitif, sehingga kombinasi kemoradioterapi dipertimbangkan
sebagai pilihan terapi yang cukup tepat untuk neoplasma ini (Khademi et
al., 2011; Kannan et al., 2015).
Pada kasus karsinoma adenoid kistik nasofaring (NACC),
seringnya infiltrasi pada perineural dan perivaskular, membuat tatalaksana
bedah ini cukup berisiko. Aspek lain yang perlu dipertimbangkan bahwa
tatalaksana terhadap neoplasma dengan perluasan kearah basis kranium
memiliki angka morbiditas tinggi, karena seringnya sekuel dan komplikasi
akibat lesi serabut saraf dan vaskuler. Sehingga, pada kebanyakan pasien,
peran pembedahan hanya sebatas untuk memperoleh biopsi (Kannan et al.,
2015).

RohenRokhaeni, 2015 16
Modalitas terapi dengan radiasi menurut Vikram et al (1983)
melaporkan adanya regresi/pengecilan massa tumor pada 965% pasien
yang hanya mendapat radioterapi saja. Meskipun demikian, 93% kasus
tersebut mengalami rekurensi penyakit dalam waktu 5 tahun. Radioterapi
neutron dapat diterapikan pada pasien NACC, karena angka kontrol lokal
yang tinggi untuk waktu yang cukup lama (100% pada 5 tahun). Data
terbaru mengindikasikan angka kontrol lokal yang menjanjikan, mencapai
93% pada tahun kelima, dengan menggunakan conformal proton beam
radiotherapy dosis tinggi (Pommier et al., 2006).
Hasil terbaik dapat dicapai dengan kombinasi bedah radikal dan
terapi radiasi. Pemberian radioterapi pasca operasi juga dianggap sebagai
salah satu strategi untuk mengurangi relaps lokal. Dalam sebuah penelitian
retrospektif, angka control lokal 5 tahun pada pasien yang ditatalaksana
bedah diikuti terapi radiasi mencapai 78%, dibandingkan pasien yang
hanya mendapat terapi bedah saja 44%; sedangkan untuk angka kontrol
lokal 10 tahun, secara berturut-turut, adalah 83% dan 25% (Simpson et al.,
1984; Miglianicoet al., 1987).
Balamucki et al (2012) meneliti 44 pasien ACC yang hanya
mendapat terapi radiasi definitif saja, 36% di antaranya terbebas dari
relaps lokal dalam waktu 10 tahun. Teknik radiasi modern yang cukup
efektif melawan ACC, antara lain intensity-modulated radiation therapy,
proton beam, dan neutron beam therapies.
Kemoterapi masih memiliki peran terbatas pada kasus NACC dan
penggunaannya masih didiskusikan. Angka respon tumor terhadap
regimen kemoterapi tunggal dan multipel berkisar antara 0%-29%, dengan
laporan 7 dari 10 pasien merespon terhadap cisplatin (Dillon et al., 2015).
Cisplatin merupakan agen terapi tunggal yang paling aktif.
Penggunaan agen kemoterapi yang diberikan secara kombinasi dengan
radioterapi, remisi dan keberhasilan telah dilaporkan dalam beberapa
kasus. (Alcedo et al., 2004; (Lagha et al., 2012)..

RohenRokhaeni, 2015 17
o Tatalaksana Tumor Kelenjar Saliva (NCCN, 2013)

Follow up jika ada


Benigna indikasi klinis
Atau
Jika tumor meluas atau anamnesis dan pemeriksaan fisik:
Derajat rendah invasi perineural, - Tahun pertama, tiap 1-3 bln
Tumor klinis jinak, pertimbangkan RT - Tahun kedua, tiap 2-6 bln
Reseksi bedah Penyakit rekuren
atau karsinoma T1, T2 komplit - Tahun ketiga-kelima, tiap 4-8 bln
- >5 thn, tiap 12 bln atau persisten
Ca adenoid kistik;
derajat sedang atau Pemeriksaan Radiologi dalam 6 bln
Pertimbangkan RT setelah pengobatan
tinggi
Monitoring EBV untuk lokasi nasofaring

Benigna
Mon
T3, T4a Evaluasi bedah Kel.parotis Tatalaksana sesuai
Lokasi lokasi kanker dan
kanker
Kel.saliva derajatnya
lainnya

Reseksi bedah tidak RT definitive atau Penyakit rekuren


T4b mungkin dilakukan/tidak Kemo/Radioterapi Follow up
atau persisten
direkomendasikan

RohenRokhaeni, 2015 18
Radioterapi Follow up

Pembedahan
Efek merugikan:
- Derajat sedang atau tinggi
- Margin positif atau dekat
- Invasi neural/perineural
- Metastasis limfonodi Radioterapi ajuvan atau,
Dapat direseksi Reseksi lengkap Pertimbangkan Kemo/RT
Rekurensi - Invasi limfatik/vaskuler
lokoregional tanpa
RT sebelumnya Tak dapat Radioterapi atau,
direseksi Kemo/Radioterapi

Rekurensi Dapat direseksi Pembedahan irradiasi ulang kemoterapi


Penyakit lokoregional atau
rekuren atau tumor primer irradiasi ulang kemoterapi
persisten kedua dengan RT Tak dapat atau
sebelumnya direseksi kemoterapi

Lebih utamakan Kemoterapi atau,


Metastasis jauh percobaan klinis Tatalaksana ekspektan (penyakit
Status performa yg pertumbuhannya lambat) atau,
(ECOG) 0-2
Lebih utamakan Metastasektomi selektif
percobaan klinis
Status performa Penanganan suportif
(ECOG) 3

RohenRokhaeni, 2015 19
9. Prognosis
Prognosis karsinoma adenoid kistik tergantung pada subtipe
histologi, lokasi anatomis tumor, dan metastase. Perlu diketahui bahwa
tumor dengan dominasi pola tubular memiliki prognosis paling baik,
sedangkan dominasi pola solid memiliki prognosis yang buruk. Hal ini
berkaitan dengan insidensi metastasis jauh dan infiltrasi perineural
sehingga angka survival 15 tahun hanya berkisar 5% (Soprani et al.,
2007).
Interval bebas penyakit ini dalam sebuah penelitian berkisar antara
8 hingga 150 bulan. Karsinoma adenoid kistik nasofaring bersifat agresif
secara lokal, sehingga cenderung mengalami rekurensi. Rekurensi lokal
dan jauh dapat terjadi bersamaan (Oplatek et al., 2010). Meskipun telah
menjalani terapi lokal yang agresif, sebagian besar pasien (60%) akan
mengalami rekurensi. Sekitar 50% rekurensi terbukti secara klinis akan
terjadi dalam waktu 2 tahun setelah pembedahan dan radioterapi (Bradley,
2004).

RohenRokhaeni, 2015 20
21

BAB III
LAPORAN KASUS

Dilaporkan sebuah kasus, seorang laki-laki berusia 44 tahun, dengan


nomor rekam medis 013091xx, alamat Jalan Jayapura Sumbersari Rimbo, Ulu
Tebo, Jambi yang datang ke Poliklinik THT RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada
tanggal 1 Agustus 2015. Pasien datang dengan keluhan mimisan.
Riwayat penyakit sekarang: pasien mengeluhkan mimisan yang terjadi 1
hari yang lalu. Mimisan hanya menetes, dan berhenti sendiri. Saat datang ke
poliklinik THT-KL, mimisan sudah berhenti, riwayat mimisan dialami pasien
sejak 3 bulan sebelumnya, sedikit dan bisa berhenti sendiri. Hidung tersumbat (+)
sebelah kiri yang dirasakan makin memberat sejak 2 minggu yang lalu, penurunan
penciuman (-), hidung keluar cairan yang bau (-). Telinga keluar cairan (-), telinga
gatal, telinga berdengung (+) sebelah kiri, nyeri telinga (-), penurunan
pendengaran (+) pada telinga kiri. Keluhan pada tenggorokan (-). Pandangan
dobel (-). Nyeri kepala (+) hilang-timbul, banjolan di leher (+). Nafsu makan dan
minum dalam batas normal, nyeri menelan (-), rasa mengganjal di tenggorok (+).
Penurunan berat badan (-).
Riwayat penyakit dahulu : riwayat hipertensi disangkal, riwayat sakit gula
disangkal, riwayat alergi disangkal, riwayat kebiasaan merokok disangkal,
riwayat pekerjaan : penadah karet sejak 14 tahun yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik: Keadaan umum pasien kompos mentis, status gizi
kesan cukup. Tanda vital: tekanan darah 100/80 mmHg, nadi 88 kali per menit,
respirasi rate 18 kali per menit, suhu 36,60C. Tinggi badan 158 cm, berat badan 41
kg.
Pemeriksaan THT: Pemeriksaan auris dekstrasinistra: liang telinga
lapang, serumen (-), discharge (-), membran timpani intak, reflek cahaya (+).
Hidung: cavum nasi dekstra sinistra lapang, discharge (-), konka inferior eutrofi,
deviasi septum (-). Pemeriksaan tenggorokan: uvula di tengah, tonsil T1-T1,
dinding faring posterior tenang, aliran darah di dinding faring posterior (-).

[Type text]
Pada pemeriksaan kavum oris tampak massa berbenjol di palatum mole
sinistra. Sedangkan, pada pemeriksaan leher tampak benjolan di region colli
sinistra, ukuran diameter 3x3x1 cm, teraba keras, terfiksir, warna lesi sama
dengan jaringan sekitarnya, nyeri tekan (-).
Berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik, maka pasien
didiagnosia dengan limfadenopati colli sinistra e.c. suspek keganasan
nasofaring. Differensial diagnosa pasien ini karsinoma nasofaring. Pasien
mendapatkan terapi sementara: asam folat 2x1 tab, vitamin Bcomplex 2x1 tab,
dan asam tranexamat 3x1 tab. Pasien kemudian direncanakan untuk pemeriksaan
penunjang laboratorium, MSCT Scan nasofaring, serta nasoendoskopi dan biopsi .
Pemeriksaan Penunjang, hasil pemeriksaan laboratorium darah (1 Agustus
2015) : Hemoglobin: 12.9 mg/dl, hematokrit:40%, leukosit:11.0 ribu/ul,
trombosit: 306 ribu/ul, eritrosit: 4.60 juta/ul, PT: 12,7 detik, APTT:40,7 detik,
INR:0.980, GDS: 122 mg/dl, HbsAg non reactive.
Tanggal 4 Agustus 2015 pasien menjalani pemeriksaan radiologi MSCT
scan nasofaring tanpa kontras untuk melihat perluasan dan batas lesi terhadap
jaringan sekitarnya. Hasil pemeriksaan menunjukkan kesan Ca Nasofaring yang
mengobliterasi torus tubarius dan fossa rosenmulleri kiri serta perluasan lesi ke
parafaringeal space, musculus pterygoid, cavum nasi bilateral, sinus maxilaris
bilateral, sinus ethmoidalis bilateral, dan cavum oris dengan osteodestruksi
palatum durum, septum nasi bagian posterior dan pterygoid bagian medial;
multipel limfadenopati coli bilateral dan submandibula kiri; deviasi septum nasi
ke kiri derajat I.
Pasien kemudian direncanakan untuk tindakan nasoendoskopi dan biopsi
nasofaring. Tanggal 5 Agustus 2015, pasien dikonsulkan ke bagian Jantung untuk
mengevaluasi adanya kontraindikasi tindakan pada pasien tersebut. Hasil
konsultasi cor compensata, tidak ada tatalaksana khusus dan kontraindikasi
tindakan, toleransi risiko ringan.

RohenRokhaeni, 2015 22
Gambar 3.1 Tampak massa berbenjol di palatum dalam pemeriksaan THT

Gambar 3.2 Pemeriksaan nasoendoskopi pasien tanggal 5 Agustus 2015


Kemudian dilakukan tindakan nasoendoskopi dan biopsi nasofaring. Dari
pemeriksaan nasoskopi cavum nasi dextra & sinistra didapatkan mukosa
hiperemis, sekret (+), konka inferior eutrofi, konka media eutrofi, meatus inferior
lapang, meatus media lapang. Tampak massa pada kavum nasi sinistra. Pada
pemeriksaan nasofaringoskopi dextra terdapat massa, sekret (+), ostium Tuba
Eustachii terbuka, torus tubarius menonjol, fossa Rosen Mulleri dangkal, tampak
massa di nasofaring, berbenjol. Sedangkan, pada nasofaringoskopi sinistra tampak
massa, sekret (+), ostium Tuba Eustachii, torus tubarius, fossa Rosen Mulleri sulit
dievaluasi. Sampel jaringan dari biopsi nasofaring kemudian dikirim ke
laboratorium patologi anatomi untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis. Hasil
pemeriksaan mikroskopis tampak tumor berpola epitelial, padat dan kribriformis;
struktur tubuluar; sel-sel dengan inti atipi, bersitoplasma. Diagnosis PA yaitu
Adenoid cystic carcinoma (Silindroma). Pasien mendapatkan tatalaksana
sementara, yaitu asam mefenamat 3x500 mg, Amoxicillin 3x500 mg, dan Asam
tranexamat 3x500 mg.

RohenRokhaeni, 2015 23
Tanggal 12 Agustus 2015, pasien melakukan pemeriksaan radiologi foto
rontgen thoraks PA dan USG abdomen untuk menentukan stadium karsinoma
adenoid kistik nasofaring. Hasil pemeriksaan foto thoraks PA tak tampak
gambaran pulmonal dan bone metastasis. Dari hasil USG abdomen tak tampak
proses abdominal metastase; tak tampak efusi pleura maupun ascites; tak tampak
limfadenopati paraaorta, parailiaka, dan inguinal kiri kanan;
Hepar/GB/Lien/Pankreas/Kedua Ginjal/Bladder/Prostat tak tampak kelainan.

Gambar 3.3 Hasil USG abdomen dan Foto rontgen thorax PA

RohenRokhaeni, 2015 24
Gambar 3.4 Hasil pemeriksaan MSCT scan nasofaring
Tanggal 20 Agustus 2015, pasien kontrol kembali ke poliklinik THT-KL
dengan diagnosis Karsinoma adenoid kistik nasofaring T3N1M0. Pasien
dikonsultasikan ke bagian radioterapi, dan dijadwalkan menjalani radioterapi di
RSUD Dr.Moewardi. Bagian radiologi intervensi merencanakan pasien untuk
radioterapi pada tanggal 7 Desember 2015. Pasien disarankan untuk menjalani
kemoterapi terlebih dahulu hingga tanggal 4 Desember 2015.
Pasien kemudian direncanakan untuk menjalani operasi mengurangi massa
(debulking), dan kemoterapi sambil menunggu jadwal radioterapi. Sebelum
menjalani operasi, pasien terlebih dahulu menjalani pemeriksaan laboratorium
darah dan dikonsulkan ke bagian jantung untuk toleransi tindakan
Hasil pemeriksaan laboratorium darah pro operasi debulking (5 September
2015): Hemoglobin:12.3 mg/d, hematokrit: 37%, leukosit:18.1ribu/ul,
RohenRokhaeni, 2015 25
trombosit:319 ribu/ul, eritrosit:4.49juta/ul, GDS: 128 mg/dl, SPOT:114 u/l,
SGPT:189 u/l, creatinin: 0,6 mg/dl, ureum:39 mg/dl, natrium: 136 mmol/L,
kalium: 3.4 mmol/L, chlorida:105 mmol/L, albumin: 4.2 g/dl.
Oleh karena didapatkan peningkatan pada hasil tes fungsi hepar (SGOT dan
SGPT), dan lekosit, pasien kemudian dikonsultasikan dan dirawat bersama
dengan bagian Penyakit Dalam, pasien dirawat dari penyakit dalam dan
mendapatkan terapi curcuma 1x1 tab dan Ciprofloxacin 2x1
Hasil pemeriksaan laboratorium darah (28 September 2015): Hb: 11,5 g/dl,
hematokrit: 37%, leukosit: 9,2 ribu/ul, trombosit: 385 ribu/ul, eritrosit: 4,42
juta/ul, GDS: 107 mg/dl, kreatinin: 0,8 mg/dl, ureum: 30g/dl, SGOT: 20 u/l,
SGPT: 8 u/l, Anti Hbc total: negative, IgM HAV: nonreaktif, natrium: 137
mmol/L, kalium: 3,8 mmol/L, chlorida: 106 mmol/L.
Tanggal 6 Oktober 2015 pasien kontrol ke poliklinik THT-KL dengan
keluhan hidung tersumbat makin bertambah di hidung kanan dan kiri, telinga
terasa penuh. Dari hasil pemeriksaan fisik THT didapatkan massa di palatum
semakin membesar dan mudah berdarah. Sehingga, pasien kemudian menjalani
pemeriksaan nasoendoskopi kembali. Kemudian pasien dipertimbangkan untuk
menjalani operasi debulking. Tanggal 8 Oktober 2015 pasien direncanakan
menjalani operasi debulking massa di cavum nasi.

Gambar 3.5 Massa di palatum berbenjol-benjol dan mudah berdarah

Hasil pemeriksaan laboratorium darah pre operasi (6 Oktober 2015): Hb:


11,7 g/dl, hematokrit: 34%, leukosit: 13,1 ribu/ul, trombosit: 343 ribu/ul, eritrosit:

RohenRokhaeni, 2015 26
3,85 juta/ul, Gol.darah B, PT : 12.4 detik, APTT: 29,9 detik, GDS: 107 mg/dl,
kreatinin: 0,7 mg/dl, ureum: 17 g/dl, SGOT: 24 u/l, SGPT: 11 u/l.
Tanggal 7 Oktober 2015 pasien rawat inap di RSUD Dr. Moewardi untuk
persiapan operasi debulking massa cavum nasi. Pasien dikonsultasikan ke bagian
Kardiologi untuk menilai kontraindikasi tindakan operasi. Hasil konsultasi: cor
compensata, tidak ada tatalaksana khusus dan kontraindikasi tindakan di bagian
kardiologi, toleransi tindakan risiko ringan. Pasien juga dikonsultasikan ke bagian
Anestesiologi dengan status ASA II dan general anestesi.
Tanggal 8 Oktober 2015 pasien menjalani operasi debulking massa cavum
nasi. Pasien tidur telentang dalam general anestesi. Kemudian dilakukan tindakan
aseptik dan antiseptik pada medan operasi. Dilakukan pemasangan pharyngeal
pack. Dilakukan tampon adrenalin di kavum nasi dextra dan sinistra melalui intra
nasal selama kurang lebih 5 menit, kemudian tampon dilepas, tampak massa di
cavum nasi sinistra sempit, tampak massa berbenjol memenuhi kacum nasi,
cavum nasi dextra sempit, tampak massa berbenjol, kemudian dilakukan
evakuasi/pengangkatan massa sebanyak-banyaknya dari kavum nasi dan dikirim
ke bagian patologi anatomi. Kemudian dilakukan pemasangan tampon kassa
gulung, betadin dan antibiotik di kavum nasi dekstra et sinistra. Evaluasi
perdarahan, perdarahan tak ada. Operasi selesai..

Gambar 3.6 Operasi debulking terhadap pasien

Pasien mendapat instruksi paska operasi pengawasan keadaan umum, tanda


vital dan tanda-tanda perdarahan paska operasi dan bila sadar penuh, pasien

RohenRokhaeni, 2015 27
diperbolehkan makan-minum. Terapi paska operasi IVFD Ringer Laktat 20 tpm,
Injeksi ciprofloxacin 200mg/12 jam, injeksi ketorolac 30 mg/8 jam, injeksi
metilprednisolon 125 mg/12 jam, injeksi ranitidin 50 mg/12 jam, dan injeksi asam
tranexamat 500 mg/8 jam.
Tanggal 9 Oktober 2015 dilakukan follow up pasien post operasi operasi,
pasien masih mengeluh pusing tetapi tak ada darah mengalir di tenggorokan.
Dilakukan penggantian kassa anterior. Tanggal 10 Oktober 2015, pasien sudah
tidak mengeluh pusing dan dilakukan aff tampon, masih terdapat tanda-tanda
perdarahan, tampon dipasang lagi dan terapi dilanjutkan.
Tanggal 12 Oktober 2015, sudah tidak ada keluhan yang dirasakan pasien,
tampon dilepas dan evaluasi tak ada tanda perdarahan. Pasien diperbolehkan
pulang dan mendapatkan terapi pulang yaitu Ciprofloxacin 2x500 mg dan Asam
mefenamat 3x500 mg. Pasien diharapkan kontrol kembali ke Poliklinik THT-KL
RSUD Dr. Moewardi 1 minggu setelah pulang dari rawat inap.
Pasien kontrol ke poli THT-KL tanggal 17 Oktober 2015 membawa hasil
biopsi dengan no RS 1504390 dengan hasil adenoid cystic carcinoma. Pasien
masih sedikit merasakan nyeri pada lokasi operasi, keluhan hidung tersumbat
sudah berkurang, tidak ada keluhan mimisan. Pada pemeriksaan fisik hidung
didapatkan cavum nasi dextra et sinistra lapang, discharge (-), stolsel (-). Pasien
kemudian direncanakan untuk kemoterapi.
Kemudian pasien menjalani pemeriksaan audiometri nada murni dan
timpanometri hari itu juga untuk menilai fungsi pendengaran sebelum menjalani
kemoterapi. Hasil pemeriksaan telinga menunjukkan adanya CHL (Conductive
Hearing Loss) derajat sedang-berat (68,75 db) pada telinga kiri, sedangkan telinga
kanan normal. Pasien mendapat terapi asam folat 2x1 tablet dan vitamin
Bcomplex 2x1 tablet.
Tanggal 6 November 2015 pasien kontrol ke poli THT, dan mondok
bangsal untuk menjalani kemoterapi pertama dengan regimen Cisplatin 100mg
(BSI: 1,33). Setelah kemoterpi pasien tidak ada keluhan dan dipulangkan dan
direncanakan kemoterapi kedua tanggal 28 November 2015.

RohenRokhaeni, 2015 28
29

BAB IV
PEMBAHASAN

Dilaporkan sebuah kasus, seorang laki-laki berusia44 tahun yang datang


ke poliklinik THT-KL RSUD Dr.Moewardi dengan keluhan mimisan yang terjadi
1 hari yang lalu. Mimisan hanya menetes, dan berhenti sendiri. Riwayat
mimisan sejak 3 bulan sebelumnya . Saat datang ke poliklinik THT-KL, mimisan
sudah berhenti. Keluhan mimisan itu disertai dengan hidung kiri tersumbat,
telinga kiri berdenging, dan penurunan pendengaran pada telinga kiri. Pasien juga
terkadang merasakan nyeri kepala hilang timbul, tetapi tidak ada keluhan
pandangan dobel dan adanya benjolan di leher kiri. Riwayat pekerjan sebagai
buruh penadah karet selama kurang lebih 14 tahun.
Pasien saat ini berusia 44 tahu, hal ini sesuai teori di mana Sebagian besar
kasus ACC terjadi pada decade keempat dan keenam kehidupan, perempuan lebih
banyak terjangkit daripada laki-laki (1,3:1) (Mendenhall et al., 2004; Khademi et
al., 2011; Pushpanjaliet al., 2014).
Riwayat pekerjan sebagai buruh penadah karet selama kurang lebih 14
tahun, hal ini sesuai teori. Di mana faktor risiko yang diduga berkaitan dengan
penyakit tumor kelenjar saliva, pada umumnya, meliputi kebiasaan merokok,
predisposisi genetik, infeksi virus, paparan di pabrik karet, pekerjaan sebagai
tukang pipa ledeng, beberapa pekerjaan yang berhubungan dengan kayu, paparan
asbes, dan paparan komponen nikel. Satu-satunya faktor risiko yang telah diyakini
adalah radiasi ion. (Rousseau dan Badoual, 2011).
Secara klinis, gejala karsinoma adenoid kistik nasofaring yang paling
sering ditemukan yaitu, epistaksis, gejala obstruksi hidung yang progresif,
gangguan fungsi tuba Eustachius, dan gejala yang berkaitan dengan invasi ke
basis kranium. Hal serupa juga terjadi pada pasien ini, yang datang dengan
keluhan utama mimisan dan disertai gejala hidung buntu (gejala obstruksi
hidung), serta adanya keluhan telinga berdenging dan penurunan pendengaran
yang dikaitkan dengan gangguan fungsi tuba Eustachius. (Pushpanjali et al., 2014;
Kannan et al., 2015).

[Type text]
Saat pemeriksaan lokal THT pada bagian telinga dan hidung didapatkan
massa pada cavum nasi sinistra, berbenjol dan mudah berdarah. Pada pemeriksaan
kavum oris tampak massa benjol- benjol di palatum mole sinistra, tetapi tonsil dan
dinding posterior faring dalam batas normal. Sedangkan, pada pemeriksaan leher
tampak benjolan di region colli sinistra, ukuran diameter 3x3x1 cm, teraba keras,
terfiksir, warna lesi sama dengan jaringan sekitarnya, nyeri tekan (-).
Pasien dikonsulkan ke patologi anatomi untuk dilakukan pemeriksaan
Aspirasi Jarum Halus (AJH) dengan hasil pada colli sinistra : kista dan palatum :
dijumpai ganas (maligna), ke arah Adeno Carcinoma Kelenjar Liur , lalu
dilakukan juga nasoendoskopi dan biopsi massa tumor di nasofaring. Sampel
jaringan dari biopsi nasofaring kemudian dikirim ke laboratorium patologi
anatomi untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis. Hasil diagnosis dari bagian
patologi anatomi didapatkan adenoid cystic carcinoma (Silindroma).
Nasoendoskopi dan biopsi serta mengirim jaringan ke patologi anatomi
dilakukan untuk menunjang penegakan diagnosis. Penegakan diagnosis pasti dari
suatu tumor adalah dengan biopsi. Hal ini sesuai teori di mana pemeriksaan
penunjang nasoendoskopi akan memberikan informasi tentang keterlibatan
mukosa dan perluasan tumor serta membantu saat biopsi.Pemeriksaan endoskopi
dapat dilakukan dengan anestesi lokal baik dengan endoskop kaku atau serat optik
(flexible) (Wei dan Chua, 2012). Pada umumnya, biopsi jarum halus(fine needle
aspiration) saja tidak cukup untuk menentukan diagnosis yang pasti. Biasanya
diperlukan bagian dari tumor primer yang diambil secara operatif sehingga ahli
hematopatologi mendapatkan jaringan yang cukup untuk menegakkan diagnosis,
dapat melalui biopsi eksisional maupun incisional. Ahli hematopatologi akan
memeriksa sampel jaringan di bawah mikroskop, dan perubahan sel dinilai untuk
identifikasi histologi tumor yang spesifik (Dillon et al., 2015).
Untuk dapat menentukan peluasan tumor maka dilakukan pemeriksaan
penunjang lainnya, yaitu dengan MSCT Scan nasofaring. Pemeriksaan ini penting
untuk mengevaluasi adanya erosi tulang oleh tumor, disamping juga dapat menilai
perluasan tumor (Wei dan Chua, 2012). Dari hasil MSCT scan pasien dalam kasus
ini, didapatkan adanya perluasan tumor ke parafaringeal space, musculus
RohenRokhaeni, 2015 30
pterygoid, cavum nasi bilateral, sinus maxilaris bilateral, sinus ethmoidalis
bilateral, dan cavum oris dengan osteodestruksi palatum durum.
Karsinoma adenoid kistik (ACC), yang sebelumnya dikenal sebagai
silindroma, merupakan neoplasma ganas regio kepala leher yang berasal dari
kelenjar saliva. Karsinoma adenoid kistik merupakan tumor kepala leher yang
jarang ditemui. Kejadiannya hanya kurang dari 1% dari seluruh kasus keganasan
kepala dan leher. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada decade usia keempat
hingga keenam (Dutta et al., 2002; Kokemuelleret al., 2004; Jaso dan Malhotra,
2011; Pushpanjali et al., 2014 ).
Nasofaring merupakan lokasi yang jarang terjadi pada tumor ini dan
jumlahnya kurang dari 4% dari seluruh karsinoma adenoid kistik kepala leher . Di
nasofaring, tumor ini lebih sering dianggap berasal dari epitel permukaan
nasofaring dibandingkan berasal dari kelenjar saliva minor yang mendasarinya.
Hal ini berkaitan dengan gambaran histologi dan pengecatan imunohistokimia (da
Cruz Perez et al., 2006; Bouhafa et al., 2014).
Diagnosis pasti dari karsinoma adenoid kistik terutama didasarkan pada
gambaran histologi yang khas. Hal ini tidak hanya bermakna dalam menentukan
diagnosis tumor, tetapi juga membantu dalam menentukan tatalaksana dan
prognosisnya. Pemeriksaan radiologi, khususnya CT scan, juga penting dilakukan
untuk menentukan batas dan perluasan tumor, merencanakan area pembedahan
serta mengamati rekurensi pada saat follow up paska operasi (Dutta et al., 2002).
Dari hasil pemeriksaan penunjang radiologi pada pasien ini, yaitu MSCT scan
nasofaring, tampak lesi tumor yang telah meluas hingga ke parafaringeal space,
sinus paranasal dan jaringan sekitar nasofaring. Sedangkan, dari pemeriksaan foto
rontgen thoraks PA dan USG abdomen tidak ditemukan adanya tanda-tanda
metastasis jauh. Sehingga, berdasarkan the American Joint Committee on Cancer
dengan sistem TNM, stadium karsinoma adenoid kistik nasofaring pasien ini
adalah T3N1M0.
Prinsip dasar dalam tatalaksana terbaik yang ditetapkan untuk karsinoma
adenoid kistik adalah reseksi bedah radikal yang diikuti dengan radioterapi (6000-
7500 cgy) (Pushpanjali et al., 2014). Namun, pada kasus dengan adenoid kistik
RohenRokhaeni, 2015 31
nasofaring, infiltrasi perineural dan perivaskular ini berkaitan dengan struktur
anatomi nasofaring yang sangat berisiko untuk dilakukan tindakan pembedahan.
Hal ini disebabkan oleh dekatnya batas area pembedahan dengan struktur saraf
dan pembuluh darah yang penting sehingga tidak dilakukan pembedahan
(Bouhafa et al., 2014). Pasien dalam kasus ini menjalani operasi debulking massa
di cavum nasi. Tujuan operasi debulking terhadap pasien ini adalah untuk
mengurangi ukuran massa di cavum nasi sebagai salah satu persiapan untuk
kemoterapi dan radioterapi serta mengurangi keluhan hidung tersumbat.
Pemberian radioterapi paska operasi mampu memberikan hasil terapi yang
terbaik dan dianggap sebagai salah satu strategi efektif untuk mengurangi angka
relaps lokal (Simpson et al., 1984; Miglianicoet al., 1987). Pada beberapa kasus
ACC yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pembedahan, terapi radiasi
intens merupakan pilihan yang baik dan terbukti mampu mereduksi massa tumor
(Cao et al., 2013; Bouhafa et al., 2014). Sehingga, setelah menjalani reduksi
massa tumor melalui operasi debulking, pasien dalam kasus ini direncanakan
untuk menjalani terapi selanjutnya, yaitu radioterapi. Namun, setelah
dikonsultasikan ke bagian radiologi intervensi, pasien mendapat jadwal terapi
radiasi pada tanggal 7 Desember 2015. Akhirnya, untuk menunggu jadwal
radioterapi pada 7 Desember 2015, pasien pun dipertimbangkan untuk
mendapatkan kemoterapi menggunakan regimen tunggal, yaitu Cisplatin dengan
dosis 100 mg/bsi.
Kemoterapi sendiri masih memiliki peran terbatas pada kasus NACC dan
penggunaannya masih didiskusikan. Angka respon tumor terhadap regimen
kemoterapi tunggal dan multipel berkisar antara 0%-29%, dengan laporan 7 dari
10 pasien merespon terhadap cisplatin (Dillon et al., 2015 (Alcedo et al., 2004).
Sehingga, pasien dalam kasus ini mendapatkan tatalaksana kombinasi
kemoterapi dan radioterapi setelah menjalani operasi debulking massa di cavum
nasi. Karsinoma dan limfoma pada nasofaring dikenal memiliki struktur histologi
yang kemosensitif dan radiosensitif, sehingga kombinasi kemoradioterapi
dipertimbangkan sebagai pilihan terapi yang cukup tepat untuk neoplasma ini
(Khademi et al., 2011).
RohenRokhaeni, 2015 32
Spiro et al. (1979), menemukan beberapa faktor yang penting dalam
menentukan prognosis penyakit ACC, antara lain: lokasi, ukuran dan perluasan
terhadap jaringan sekitarnya. Blanck et al. (1967), melaporkan adanya
peningkatan mortalitas pada pasien dengan sejumlah metastasis yang jauh
(Pushpanjali et al., 2014). Selain itu, perlu diketahui bahwa tumor dengan
dominasi pola tubular memiliki prognosis paling baik, sedangkan dominasi pola
solid memiliki prognosis yang buruk (Soprani et al., 2007).
Dari hasil MSCT scan pasien dalam kasus ini, didapatkan adanya
perluasan tumor ke parafaringeal space, musculus pterygoid, cavum nasi bilateral,
sinus maxilaris bilateral, sinus ethmoidalis bilateral, dan cavum oris dengan
osteodestruksi palatum durum. Namun, dari pemeriksaan penunjang lainnya tidak
ditemukan adanya tanda-tanda metastasis jauh, baik ke paru maupun rongga
abdomen. Sedangkan, pemeriksaan mikroskopis menunjukkan sel tumor berpola
epithelial, padat dan kribriformis; struktur tubular; sel-sel dengan inti atipi,
bersitoplasma. Beberapa hasil pemeriksaan penunjang tersebut menyokong
prognosis baik pada pasien ini.
Meskipun demikian, karsinoma adenoid kistik nasofaring bersifat agresif
secara lokal, sehingga cenderung mengalami rekurensi (Oplatek et al., 2010).
Meskipun telah menjalani terapi lokal yang agresif, sebagian besar pasien (60%)
akan mengalami rekurensi. Sekitar 50% rekurensi terbukti secara klinis akan
terjadi dalam waktu 2 tahun setelah pembedahan dan radioterapi (Bradley, 2004).

RohenRokhaeni, 2015 33
34

BAB IV
KESIMPULAN

Karsinoma adenoid kistik (ACC), atau silindroma, merupakan neoplasma


ganas regio kepala leher yang berasal dari kelenjar saliva. Karsinoma adenoid
kistik merupakan tumor kepala leher yang jarang ditemui. Kejadiannya hanya
kurang dari 1% dari seluruh kasus keganasan kepala dan leher. Nasofaring
merupakan lokasi yang jarang terjadi pada tumor ini dan jumlahnya kurang dari
4% dari seluruh karsinoma adenoid kistik kepala leher.
Diagnosis pasti dari karsinoma adenoid kistik terutama didasarkan pada
gambaran histologi yang khas. Hal ini tidak hanya bermakna dalam menentukan
diagnosis tumor, tetapi juga membantu dalam menentukan tatalaksana dan
prognosisnya. Pemeriksaan radiologi juga penting dilakukan untuk menentukan
batas dan perluasan tumor, serta untuk menentukan stadium penyakit.
Tatalaksana utama yang ditetapkan untuk karsinoma adenoid kistik adalah
reseksi bedah radikal yang diikuti dengan radioterapi. Namun, pada kasus
karsinoma adenoid kistik nasofaring (NACC), tatalaksana bedah ini cukup
berisiko. Sehingga, penggunaan terapi radiasi saja dianjurkan pada kasus NACC,
atau dapat dikombinasikan dengan kemoterapi.

[Type text]
35

DAFTAR PUSTAKA

Alcedo JC, Fabrega JM, Arosemena JR, Urrutia A. 2004. Imatinib mesylate as
treatment for adenoid cystic carcinoma of the salivary glands: report of
two successfully treated cases. Head Neck.26:829-31.

Balamucki CJ, Amdur RJ, Werning JW, et al. 2012. Adenoid cystic carcinoma of
the head and neck.Am J Otolaryngol.33:510518.

Bouhafa T, Elmazghi A, Masbah O, Hassoumi K. 2014. Cribriform


adenocarcinoma salivary gland-type of the nasopharynx: case report and
review of the literature. Open Journal of Pathology. 4: 79-82.

Bradley PJ. 2004. Adenoid cystic carcinoma of the head and neck: a review.
CurrOpin Otolaryngol Head Neck Surg.12(2):127132.

Cao CN, Luo JW, Xu GZ, Gao L, Xu ZG, Tang PZ. 2013. Management of
nasopharyngeal adenoid cystic carcinoma. Journal of Oral and
Maxillofacial Surgery.71: e203-e209.

Chandrasoma P, Taylor CR. 2001. Neoplasia. In: Concise Pathology 3rd ed.
Singapore: Lange Medical book, McGraw Hill.

da Cruz Perez DE, de Abreu Alves F, Nobuko Nishimoto I, et al. 2006.


Prognostic factors in head and neck adenoid cystic carcinoma.Oral
Oncol.42:139-46.

DeLong L, Burkhart NW. 2013. General and Oral Pathology for the Dental
Hygienist 2nd edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Deschler DG, Day T. 2008. Pocket Guide to TNM Staging of Head and Neck
Cancer and Neck Dissection Classification. Alexandria: American
Academy of OtolaryngologyHead and Neck Surgery Foundation, Inc.

Dillon PM, Chakraborty S, Moskaluk CA, Joshi PJ, Thomas CY. 2015. Adenoid
cystic carcinoma: a review of recent advances, molecular targets, and
clinical trials. Head Neck.

Dodd RL, Slevin NJ.2006. Salivary gland adenoid cystic carcinoma: a review
ofchemotherapy and molecular therapies. Oral Oncol.42(8):759769.

Dutta NN, Baruah R, Das L. 2002. Adenoid cystic carcinoma clinical


presentation and cytological diagnosis.Indian Journal of Otolaryngology
and Head and Neck Surgery. 54(1): 62-64.

[Type text]
Ellis GL, Auclair PL. 2008. Tumors of the Salivary Glands. In: Atlas of Tumor
Pathology; 4th series, fascicle 9. Washington DC: American Registry of
Pathology:225259.

Ho AS, Kannan K, Roy DM, et al.2013.The mutational landscape of adenoid


cystic carcinoma.Nat Genet.45:791798.

Holsinger FC, Bui DT. 2007. Anatomy, Function, and Evaluation of the Salivary
Glands. In: Salivary Glands Disorders. Editor: Eugene N.Myers and
Robert L.Ferris. Berlin: Springer.

Jaso J, Malhotra R. 2011. Adenoid cystic carcinoma.Arch Pathol Lab Med. 135:
511-515.

Johnson JT, Rosen CA. 2014. Baileys Head and Neck SurgeryOtolaryngology,
5th Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott
Williams&Wilkins.

Junquiera LC, Carneiro J. 2003. Basic Histology, 10th edition. Singapore: Lange
Medical book, McGraw-Hill.

Kannan RA, Nambiar V, Koushik K, Alva RC, Muniyappa U. 2015.


Nasopharyngeal adenoid cystic carcinoma - case report and review of
literature.JCROT. 1(1): 1-4.

Khademi B, Bahranifard H, Kabiri SH, et al. 2011. Nasopharyngeal adenoid


cystic carcinoma: report of five cases and treatment outcome. Middle East
J Cancer. 2(2): 81-85.

Kokemueller H, Eckardt A, Brachvogel P, Hausamen JE. 2004. Adenoid


cysticcarcinoma of the head and neck: a 20 years experience. Int J Oral
MaxillofacSurg.33(1):2531.

Lagha A, Chraiet N, Ayadi M, et al. 2012. Systemic therapy in the management


of metastatic or advanced salivary gland cancers.Head & Neck Oncol.
4(19): 1-12.

Liu J, Shao C, Tan ML, Mu D, Ferris RL, Ha PK.2012. The molecular biology of
adenoid cystic carcinoma.Head Neck. 34(11): 16651677.

Liu TR, Yang AK, Guo X, Li QL, Song M, He JH, et al. 2008. Adenoid cystic
carcinoma of the nasopharynx: 27- year experience.
Laryngoscope.118(11):1981-8.

RohenRokhaeni, 2015 36
Lloyd S, Yu JB, Wilson LD, Decker RH.2011. Determinants and patterns of
survival in adenoid cystic carcinoma of the head and neck, including an
analysis of adjuvant radiation therapy. Am J Clin Oncol.34(1):76-81.

Mendenhall WM, Morris CG, Amdur RJ, Werning JW, Hinerman RW, Villaret
DB. 2004. Radiotherapy alone or combined with surgery for adenoid
cystic carcinoma of the head and neck. Head Neck.26:154162.

Miglianico L, Eschwege F, Marandas P, Wibault P. 1987. Cervico-facial adenoid


cystic carcinoma: study of 102 cases. Influence of radiation therapy. Int J
Radiat Oncol Biol Phys.13:673678.

NCCN. 2013. NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology (NCCN-


Guidelines) Head and Neck Cancer. NCCN Network inc.

Netter FH. 2014. Atlas of Human Anatomy, Sixth Edition. Elsevier.

Oplatek A, Ozer E, Agrawal A, Bapna S, Schuller DE. 2010. Patterns


ofrecurrence and survival of head and neck adenoid cystic carcinoma
afterdefinitive resection. Laryngoscope.120(1):6570.

Pommier P, Liebsch NJ, Deschler DG, et al. 2006.Proton beam radiation therapy
for skull base adenoid cystic carcinoma.Arch Otolaryngol Head Neck
Surg.132:1242-1249

Pushpanjali M, Sujata DN, Subramanyam SB, Jyothsna M. 2014. Adenoid cystic


carcinoma: An unusual presentation. J Oral Maxillofac Pathol. 18(2): 286-
290.

Rousseau A, Badoual C. 2011. Head and neck: Salivary gland tumors: an


overview. Atlas Genet Cytogenet Oncol Haematol.15(6):533-541.

Simpson JR, Thawley SE, Matsuba HM. 1984. Adenoid cystic salivary gland
carcinoma: treatment with irradiation and surgery. Radiology.151: 509
512.

Soprani F, Armaroli V, Venturini A, Emiliani E, Casolino D. 2007. A rare case of


adenoid cystic carcinomaof the nasopharynx manifesting as
Hornerssyndrome: discussion and review of the literature. Acta
Othorhinolaryngologica Italica. 27: 216-219.

Spiro RH, Huvos AG, Strong EW.1979. Adenoid cystic carcinoma: Factors
influencing survival. Am J Surg. 138:57983.

RohenRokhaeni, 2015 37
Vikram B, Strong EW, Shah JP, Spiro RH. 1983. Radiation therapy in adenoid
cystic carcinoma. Int J Radiat Oncol Biol Phys.10:221-223.

Wiseman SM, Popat SR, Rigual, NR, et al. 2002. Adenoid cystic carcinoma of
theparanasal sinuses or nasal cavity: a 40-year review of 35 cases. Ear
Nose Throat J.81(8):510517.

RohenRokhaeni, 2015 38

Anda mungkin juga menyukai