Anda di halaman 1dari 9

MANAJEMEN ATONIA UTERI

Referat

Oleh: dr. Juwita Elva A.


Stase: Obstetri III
Pembimbing: dr. Ova Emilia, SpOG

Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RS Dr. Sardjito Jogjakarta

ABSTRAK

Latar belakang: Perdarahan pospartum dini oleh karena atonia uteri merupakan salah satu 3
penyebab terbesar kematian maternal di negara berkembang dan maju. Pencegahan, diagnosis
dini, dan manajemen yang benar, merupakan kunci untuk mengurangi dampak tersebut.
Tujuan: mempelajari manajemen atonia uteri baik konservatif maupun operatif.
Sumber data: jurnal-jurnal penelitian, artikel, dan buku.
Simpulan: Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan
merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi peripartum. Manajemen atonia
uteri terdiri dari tindakan konservatif dan operatif.

Kata kunci: Perdarahan pospartum dini, atonia uteri, Manajemen.

PENDAHULUAN
Perdarahan pospartum dini oleh karena atonia uteri merupakan salah satu 3
penyebab terbesar kematian maternal di negara berkembang dan maju. Pencegahan,
diagnosis dini, dan manajemen yang benar, merupakan kunci untuk mengurangi dampak
tersebut. Perawatan intrapartum harus selalu menyertakan perawatan pencegahan
perdarahan pospartum dini, identifikasi faktor risiko, dan ketersediaan fasilitas untuk
mengatasi kejadian perdarahan pospartum dini.(1)
Penyebab yang sering perdarahan pospartum dini adalah atonia uteri. Faktor
risiko terjadinya atonia uteri: paritas yang tinggi, overdistended uterus (kehamilan
multiple, polihidramnion), persalinan lama atau terlalu cepat, riwayat induksi, dan
penggunaan magnesium sulfat. Tonus uteri biasanya dinilai dengan palpasi abdomen

1
setelah persalinan; walaupun kontraksi uterus normal, tetap dilakukan terapi untuk
mencegah terjadinya atonia uteri.(2)

PERDARAHAN POSPARTUM DINI


Perdarahan pospartum dini terjadi kurang dari 24 jam setelah melahirkan, dengan
batasan volume perdarahan > 500 cc. Definisi lain menyebutkan terjadinya perubahan
kadar hematokrit sebesar 10%. Dalam penanganan perdarahan pospartum dini perlu juga
diperhatikan wanita-wanita yang rentan terhadap perdarahan walaupun sedikit, seperti:
hipertensi gestasional dengan proteinuria, anemia, dehidrasi.(1)

Tabel 1. Derajat syok akibat perdarahan pospartum.(1)


Derajat Syok
Kompensasi Ringan Sedang Berat
Jumlah perdarahan 500-1000 ml 1000-1500 ml 1500-2000 ml 2000-3000 ml
10-15% 15-25% 25-35% 35-45%
Tekanan darah sistolik Normal 80-100 mmHg 70-80 mmHg 50-70 mmHg
Tanda dan gejala Palpitasi Lemah Gelisah Kolaps
pusing berkeringat pucat sesak
takikardi takikardi oliguria anuria

ATONIA UTERI
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%),
dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi peripartum. Kontraksi
uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan.
Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme ini.(3,4)
Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut
miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah
implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tersebut
tidak berkontraksi.(4)

2
Terjadinya atonia uteri biasanya disebabkan karena kondisi-kondisi yang
menyebabkan overdistention uterus seperti: gemeli, makrosomia, polihidramnion, atau
paritas tinggi.(1)
Table 2. faktor risiko atonia uteri.(1)
Etiologi Faktor risiko
Polihidramnion
Uterus distended Kehamilan multiple
Makrosomia
Partus presipitatus
Kelelahan otot uterus Partus lama
Multiparitas
febris
Infeksi intraamnion
Ketuban pecah dini
Fibroid uterus
Kelainan anatomic/fungsional uterus Plasenta praevia
Anomali uterus

PENCEGAHAN ATONIA UTERI


Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan
pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai
terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan,
anemia, dan kebutuhan transfusi darah.(1)
Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang
cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti
ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada
manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif
protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV drip
100-150 cc/jam.(1)
Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai
uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini. Karbetosin

3
merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit
dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian di Canada membandingkan antara
pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi
sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin.(1)

MANAJEMEN ATONIA UTERI


1. Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal yaitu
resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-tanda vital,
monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah
dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.(1)
2. Masase dan kompresi bimanual
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan
menghentikan perdarahan.(5)
3. Uterotonika
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior
hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan
meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah
oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi
menyababkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif
diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa
diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek samping pemberian oksitosin
sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi
cairan jarang ditemukan.(1)
Metilergonovin maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat
menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan secara IM 0,25
mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan
langsung pada miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg. obat ini
dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga menimbulkan
nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.(1)

4
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin
F2alfa. Dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous,
intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang
setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai
untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 g = 1 g). Prostaglandin ini
merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan efek samping
prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme
yang disebabkan kontraksi otot halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral,
sehingga kadang-kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang
disebabkan peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi
oksigen. Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan
kardiovaskular, pulmonal, dan disfungsi hepatik. Efek samping serius penggunaannya
jarang ditemukan dan sebagian besar dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus
penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan
atonia uteri dengan angka kesuksesan 84%-96%. Perdarahan pospartum dini sebagian
besar disebabkan oleh atonia uteri maka perlu dipertimbangkan penggunaan uterotonika
ini untuk mengatasi perdarahan masif yang terjadi.(1,6)
Table 3. Jenis-jenis uterotonika.(1)
Jenis obat Dosis Efek samping Kontraindikasi
Oksitosin 10 IU IM/IMM - Alergi obat
5 IU IV bolus sakit
10-20 IU/liter nausea, vomitus,
intoksikasi cairan
Metilergonovin 0,25 mg IM, 0,125 mg IV, Vasospasme perifer, Alergi obat
maleat dapat diulang setiap 5 hipertensi, nausea Hipertensi
menit, dosis maksimum 5 dan vomitus
mg
Prostaglandin 0,25 IM/IMM, dapat Muka kemerahan, Alergi obat,
diulang setiap 15 menit diare, nausea, penyakit jantung,
maksimum 8 mg vomitus, gelisah, penyakit paru,
desaturasi oksigen penyakit hepar,
penyakit ginjal

5
4. Uterine lavage dan Uterine Packing
Jika uterotonika gagal menghentikan perdarahan, pemberian air panas ke dalam
cavum uteri mungkin dapat bermanfaat untuk mengatasi atonia uteri. Pemberian 1-2 liter
salin 47C-50C langsung ke dalam cavum uteri menggunakan pipa infus. Tangan
operator tidak boleh menghalangi vagina untuk memberi jalan salin keluar.(2)
Penggunaan uterine packing saat ini tidak disukai dan masih kontroversial.
Efeknya adalah hiperdistended uterus dan sebagai tampon uterus.(2)
Prinsipnya adalah membuat distensi maksimum sehingga memberikan tekanan
maksimum pada dinding uterus. Segmen bawah rahim harus terisi sekuat mungkin,
anestesi dibutuhkan dalam penanganan ini dan antibiotika broad-spectrum harus
diberikan. Uterine packing dipasang selama 24-36 jam, sambil memberikan resusitasi
cairan dan transfusi darah masuk. Uterine packing diberikan jika tidak tersedia fasilitas
operasi atau kondisi pasien tidak memungkinkan dilakukan operasi.(1,2)

5. Operatif
Ligasi arteri Uterina
Gambar 1. ligasi arteri uterina.(1)

Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan


80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan disamping uterus
setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm
dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik
yang besar dan benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan

6
melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian
avaskular ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya
vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu
penting untuk menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika
langkah diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim.
Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina
bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai
sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina
yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral
atau unilateral ligasi vasa ovarian.(1)
Ligasi arteri Iliaka Interna
Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk
melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel dengan garis
ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi
arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang
arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable dilakukan dua ligasi bebas
berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri
iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi.(1)
Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan
perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus mempertimbangkan waktu dan
kondisi pasien.(1)
Teknik B-Lynch
Gambar 2. teknik B-Lynch.(7)

7
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan brace suture, ditemukan oleh Christopher
B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk mengatasi perdarahan
pospartum akibat atonia uteri.(7)

Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi
perdarahan pospartum masif yang membutuhkan tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-
13 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan abdominal
dibandingkan vaginal.(1)

SIMPULAN
1. Perdarahan pospartum dini oleh karena atonia uteri merupakan salah satu dari 3
penyebab terbesar kematian maternal di negara berkembang dan maju.
Pencegahan, diagnosis dini, dan manajemen yang benar, merupakan kunci untuk
mengurangi dampak tersebut.
2. Perawatan intrapartum harus selalu menyertakan perawatan pencegahan
perdarahan pospartum dini, identifikasi faktor risiko, dan ketersediaan fasilitas
untuk mengatasi kejadian perdarahan pospartum dini.
3. Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%),
dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi peripartum.
4. Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan
pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut
sebagai terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan
dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.
5. Manajemen atonia uteri terdiri dari tindakan konservatif dan operatif.

8
DAFTAR PUSTAKA

1. Schuurmans, et al, 2000, SOGC Clinical Practice Guidelines, Prevention and


Management of postpartum Haemorrhage, no. 88, April 2000.

2. BiblioMed Textbook Clinical Obstetrics. Operatif Obstetrics. Management


Pospartum Haemorrhage. vol 2. Part 7.

3. Available from: www.rashaduniversity.com/. Rashad/dsutaattreat.html-7k, chat 10


Maret 2004

4. DeCherney.A, Pernoll.M, 1994, Current Obstetrics and Gynaecologist Diagnosis


and Treatment, Primary Post Partum Haemorrhage, 8th Editions, Appleton & Lange.

5. Available from: http://www.emedicine.com/emerg/topic481.htm, chat 10 Maret 2004

6. Available from: http://wwww.gfmer.ch/Endo/lectures_09/primary_postpartum


_haemorrhage.htm, chat 10 Mei 2004.

7. Suhadi. A, Hakimi. M, The B-Lynch surgical technique for the control of uterine
atony after cesarean section: Four cases reported, Department of Obstetrics and
Gynecology, Wonosobo General Hospital, Central Java, Indonesia., Department of
Obstetrics and Gynecology, Gadjah Mada University Faculty of Medicine,
Yogyakarta, Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai