Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUN

1.1 Latar belakang

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (World Health

Organization/WHO), sekitar 2,2 juta juta orang meninggal dunia setiap tahunnya

akibat penyakit diare. Dari 88% kasus tersebut berkaitan dengan pasokan air

yang tidak aman serta sanitasi dan hygine yang tidak memadai. Di Indonesia,

Diare merupakan penyebab kematian nomor dua pada balita dan nomor tiga pda

bayi, serta nomor lima pada semua umur. Berdasarkan data Departemen

kesehatan tahun 2005 diketahui bahwa penyakit kecacingan pada anak SD

mencapai 60-80%, ntuk penyakit karies anak usia 12 tahun sebesar 74,4%

(SKRT, 2006).

Dari data Departemen Kesehatan RI tahun 2010 jumlah anak usia 0-10 tahun

sekitar 19% dari total penduduk Indonesia. Data Depkes RI tahun 2014 jumlah

populasi anak di Indonesia berdasarkan pada jumlah usia anak 0-4 tahun

sebanyak 24.062.106 jiwa dan jumlah usia anak 5-9 tahun sebanyak 24.672.477

jiwa (Kemeskes RI, 2014). Populasi anak di Jawa barat usia 0-4 tahun sebanyak

4.475.229 jiwa dan 5-9 tahun 4.261.650 jiwa (BPS Jabar, 2014). Total jumlah

penduduk dikabupaten Bandung pada tahun 2010 adalah 3.215.548, meningkat

2,07% dri jumlah penduduk tahun 2009, yaitu 3.148.95 jiwa, populasi, populasi
anak usia 10-14 tahun diaerah bandung pada tahun 2013 sekitar 235.711 jiwa

(BPS Kabupaten Bandung 2013).

Anak menurut Supartini (2004), merupakan individu yang sedang dalam

proses tumbuh kembang dan mempunyai kebutuhan fisik, psikologis, sosial dan

spiritual yang berbeda dengan orang dewasa. Apabila kebutuhan tersebut

terpenuhi, maka anak akan mampu beradaptasi dan kesehatannya terjaga. Bila

anak sakit, maka pertumbuhan dan perkembangan fisik, psikologis, intelektual,

sosial dan spiritualnya juga dapat terganggu. Anak dalam satu rentang perubahan

perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan

masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi 0-1 tahun usia

bermain/toddler 1-2,5 tahun, pra sekolah 2,5-5tahun, usia sekolah 5-11 tahun,

hingga remaja 11-18 tahun (Azis, 2005).

Usia sekolah merupakan usia penting dalam pertumbuhan dan

perkembangan fisik anak. Periode ini juga disebut sebagai periode kritis karena

pada masa ini anak mulai mengembangkan kebiasaan yang biasanya cenderung

menetap sampai dewasa (Hariyanti, 2008). Beban untuk menanggulangi masalah

kesehatan anak usia sekolah juga terus meningkat dikarenakan permasalahan

kesehatan yang masih banyak terjadi dikalangan anak usia sekolah. Penyakit

yang sering dihadapi anak sekolah dasar biasanya berkaitan dengan kebiasaan

hidup bersih dan sehat, seperti kebiasaan cuci tangan pakai sabun, potong kuku,

gosok gigi dan membuang sampah sembarangan (Depkes, 2007).


Anak usia 6-12 tahun anak belajar untuk menjalankan kehidupan sehari-

harinya secara mandiri. Jika orang tua bisa membimbing anak dengan baik, anak

akan belajar makin rajin dan bersemangat melakukan kegiatan-kegiatan yang

produktif bagi kemajuan dirinya sendiri (Lie dan Prasasti, 2005). Jika

ketidakmandirian anak tidak tercapai maka anak menjadi ragu dan malu karena

anak belum berfikir secara diskriminatif sehingga masih membutuhkan

bimbingan orang tua. Anak secara bertahap belajar mengendalikan diri, bila

berhasil anak akan timbul kebanggaan dan percaya diri pada anak (Soetjiningsih,

2007).

Anak sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun, yang artinya sekolah

menjadi pengalaman inti anak. Periode ketika anak-anak dianggap mulai

bertanggung jawab atas perilakunya sendiri dalam hubungan dengan orang tua

mereka, teman sebaya, dan orang lainnya. Usia sekolah merupakan masa anak

memperoleh dasar-dasar pengetahuan untuk keberhasilan penyesuaian diri pada

kehidupan dewasa dan memperoleh keterampilan tertentu (Wong, 2008).

Kemampuan dan keberhasilan tumbuh kembang anak dapat dilihat dari

kemandirian anak dalam memenuhi kebutuhan dasarnya (Kozier, 2010). Hurlock

(2006) menjelaskan bahwa tumbuh kembang yang optimal bertujuan untuk

menjadikan anak menjadi manusia yang berkualitas dengan tidak hanya sekedar

tumbuh secara fisik, namun juga berkemampuan untuk berdaya guna dan berhasil

guna baik bagi dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa serta umat manusia. Oleh

karena itu, masa anak-anak perlu mendapatkan perhatian. Pemantauan


perkembangan ada empat aspek yang dinilai, yaitu motorik kasar, motorik halus,

bahasa dan personal sosial (Hartanto, 2006). Faktor yang mempengaruhi

keberhasilan tumbuh kembang anak adalah faktor internal (keluarga, ras, umur

dan lain-lain) dan eksternal (gizi, psikologis, penyakit dan lain-lain) (Kozier,

2010).

Karakteristik anak yang sehat yaitu sehat fisik, mental-emosional, mental-

intelektual, mental-sosial, dan mental-spiritual (Hawari, 2007). Dalam Roopnaire

& Johnson (1993) Froebel menjelaskan bahwa masa anak merupakan suatu fase

yang sangat penting dan berharga, dan merupakan masa pembentukan karakter

dan kemandirian anak dalam periode kehidupan manusia. Masa anak-anak

merupakan masa emas bagi penyelenggara pendidikan. Pendidikan hal yang baik

yang didapat oleh anak akan membentuk intelektual anak kedepannya.

Pendidikan kemandirian dalam memenuhi kebutuhan dasar dapat dilakukan sejak

usia sekolah (Kozier, 2010).

Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara

kumulatif selama perkembangan, dimana individu akan terus belajar untuk

bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi dilingkungan sehingga

individu mampu berpikir dan bertindak sendiri (Suseno, 2010). Menurut Lie

(2007) kemandirian merupakan kemampuan untuk melakukan kegiatan atau

tugas sehari-hari sesuai dengan tahap perkembangan dan kapasitasnya.

Kemandirian juga bisa diartikan sebagai suatu kondisi seseorang tidak

bergantung pada arahan secara penuh (Parker, 2005).


Kemandirian sangatlah penting dalam kehidupan anak. Melatih kemandirian

anak sejak dini akan menumbuhkan rasa percaya diri pada anak. Belajar menjadi

mandiri yang tidak dimiliki sejak dini hanya akan membuat pemahaman yang

tidak tepat tentang konsep kemandirian dan anak cenderung bersikap individual

(Kannisius, 2006).

Kemandirian dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dapat menyebabkan

masalah pada anak usia sekolah yang muncul antara lain; gangguan

perkembangan, gangguan perilaku, dan gangguan belajar yang dapat

menghambat pencapaian prestasi pada peserta didik (Suyanto, 2010). Menurut

Eldeman & Mandle, 2000 dalam Friedman (2006), menjelaskan bahwa masalah

yang sering muncul pada anak usia sekolah adalah perawatan gigi yang tidak

adekuat, masalah ganguan fisik/gangguan perilaku, penganiyaan anak,

penyalahgunaan zat, dan penyakit menular. Masalah lain yang umum terjadi

adalah berkaitan dengan PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat) dimana anak

mengalami defisit perawaan diri, seperti masalah karies, kuku yang panjang,

perilaku tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah makan (Friedman, 2006).

Personal hygiene merupakan perawatan diri sendiri yang dilakukan untuk

mempertahankan kesehatan baik secara fisik maupun psikologis. Pemenuhan

personal hygiene dipengaruhi berbagai faktor seperti budaya, nilai sosial pada

individu atau keluarga, pengetahuan terhadap personal hygiene serta persepsi

tentang perawatan diri (Alimul, 2006).


Bentuk kemandirian personal hygiene pada anak usia sekolah ini adalah anak

sudah bisa menggosok gigi sendiri meskipun belum sempurna, mandi sendiri

dengan arahan, buang air kecil ditoilet, dan mencuci tangan tanpa bantuan.

Sebagian besar anak usia sekolah sudah mampu melakukan toilet training dengan

mandiri pada akhir periode sekolah meskipun beberapa anak mungkin masih

mengompol dicelana bahkan ada yang lupa untuk mencuci tangannya dan untuk

membilas (cebok). Perubahan dalam kemandirian ini dapat mempengaruhi

perasaan mereka mengenai kesehatan mereka sendiri (Potter & Perry, 2005).

Ketergantungan pada anak ada 2 jenis yaitu: ketergantungan fisik dan

psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan ketergantungan mengurus

dirinya sendiri, dan ketergantungan psikologis ditandai dengan kemampuan

dalam mengambil keputusan. Ketergantungan fisik bisa berakibat pada

ketergantungan psikologis. Anak yang selalu dibantu akan selalu tergantung pada

orang lain karena merasa tidak memiliki kemampuan untuk mengurus dirinya

sendiri. Akibatnya ketika ia menghadapi masalah, ia akan mengharapkan bantuan

orang lain untuk mengambil keputusan bagi dirinya dan memecahkan masalah

(Lie & Prasasti, 2007). Ada dua alasan anak tidak mandiri orang tua cenderung

memberikan bantuan dan perlindungan berlebihan, yaitu: orangtua yang terlalu

khawatir akan membatasi anak untuk mencoba kemampuannya dan orangtua

tidak sabar menunggu anak berusaha mandiri, orangtua cenderung lekas

membantu agar cepat selesai. Akibatnya, anak tidak memperoleh kesempatan

untuk mencoba. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemandirian anak


yaitu: faktor bawaan, pola asuh, kondisi fisik anak, dan uluran kelahiran

(Hurlock, 2003). Efek ketergantugan pada anak dapat menimbulkan kerugian,

yaitu: anak tidak mampu secara optimal mengembangkan kepribadian,

kemampuan sosialisasi dan keadaan emosionalnya akan terlambat (Handayani,

2006).

Beberapa faktor yang mempengaruhi kemandirian anak yaitu ada faktor

internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dari diri anak itu

sendiri, yang meliputi: kondisi fiiologis dan psikologis anak. Kondisi fisiologis

anak berpengaruh pada keadaan tubuh, kesehatan jasmani dan jenis kelamin.

Anak perempuan cenderung bersikap pasif maka lebih lama ketergantungan

dengan orangtua, berbeda dengan anak laki-laki yang agresif dan ekspansif

sehingga anak lebih cepat mandiri dibandingkan dengan anak perempuan

(Gunarsa, 2006). Kondisi psikologis, kecerdasan dan kemampuan berpikir anak

dalam memecahkan suatu masalah tergantung bagaimana seseorang tersebut

berfikir dengan seksama tentang tindakan yang telah dilakukannya (Basri, 2005).

Menurut Soetjiningsih (2006), faktor internal yang mempengaruhi kemandirian

anak adalah faktor emosi (kemampuan mengontrol emosi), dan kemampuan

intelektual (kemampuan mengatasi masalah).

Faktor eksternal adalah hal-hal yang datang atau ada dari luar diri anak itu sendiri

yaitu: 1).Lingkungan, merupakan faktor yang sangat menentukan tercapainya

atau tidak kemandirian anak usia sekolah. Lingkungan ynag baik akan
meningkatkan tercapainya kemandirian anak. 2)karakteristik sosial dapat

mempengaruhi anak misalnya: tingkat kemandirian anak dari keluarga miskin

berbeda dengn anak dari keluarga kaya. 3). Stimulasi,anak yang mendapat

stimulasi terarah dan teratur akan lebih cepat mandiri dibanding dengan anak

yang kurang atau tidak mendapat stimulasi. 4). pola asuh, anak dapat mandiri

akan membutuhkan kesematan, dukunga dan dorongan. Peran orangtua sebagai

pengasuh sangat diperlukan bagi anak sebagai penguat perilaku yang telah

dlakukannya. Oleh karena itu, pola asuh merupakan hal yang penting dalam

pembentukan kemandirian anak. 5). Cinta dan kasih sayang, hendaknya

diberikan sewajarnya kepada anak, karena ia akan mempengaruhi kemandirian

anak bila diberikan berlebihan akan menjadi anak kurang mandiri. 6). Kualitas

interaksi anak-anak dan orangtua, dengan interaksi dua arah anak-oarangtua

dapat menyebabkan anak menjadi mandiri. 7). Pendidikan orangtua, pendidikan

yang tinggi akan menyebabkan orangtua dapat menerima segala info dari luar

terutama cara memandirikan anak.

Menurut Hurlock (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi adalah: pola

asuh orangtua, pola asuh demokratis sangat merangsang kemandirian anak,

dimana akan membimbing dan memperhatikan kebutuhan anak terutama dalam

hal pelajaran/pendidikan serta pergaulannya dilingkungan atau sekolah; jenis

kelamin, anak akan berkembang dengan pola tingkah laku maskulin, lebih

mandiri dari pada anak yang mengembangkan tingkah laku yang feminism;

urutan posisi anak, anak pertama yang diharapkan untuk menjadi contoh teladan
bagi adiknya lebih berpeluang untuk mandiri. Sementara anak bungsu yang

mendapat perhatian berlebihan dari orangtua dan kakak-kakaknya, berpeluang

kecil untuk bisa mandiri.

Pola asuh orang tua dibedakan menjadi 4 bagian diantaranya pola asuh

otoriter yaitu orang tua cenderung menetapkan standart mutlak yang harus

dituruti, pola asuh demokratis yaitu orang tua lebih bersikap rasional dan

mendasari tindakannya dengan pemikiran, pola asuh permisif yaitu orang tua

memberi pengawasan yang lebih longgar dan memberi kesempatan anaknya

untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya, dan pola asuh

tidak terlibat yaitu orang tua tidak memberi pengarahan, pengaturan dan

pembatasan terhadap sikap yang dilakukan anak secara penuh. Kreativitas anak

akan berkembang jika orang tua bersikap demokratis, yaitu bersedia

mendengarkan pembicaraan anak menghargai pendapat anak, mendorong anak

untuk berani mengungkapkannya. Orang tua juga harus mendorong kemandirian

anak dalam melakukan sesuatu dan menghargai usaha yang telah dilakukannya,

memberikan pujian untuk hasil yang telah dicapai walau sekecil apapun karena

cara ini penting dalam pengembangan kreatifitas anak (Ayuningsih, 2008).

Salah satu peran aktif orang tua adalah mengasuh anak. Pola asuh orang tua

merupakan gambaran tentang sikap dan perilaku orang tua dengan anak dalam

berinteraksi, serta berkomunikasi selama mengadakan kegiatan pengasuhan.

Kemampuan interpersonal dan pengendalian emosional sangat diperlukan orang

tua dalam melakukan kegiatan pengasuhan untuk memberikan rasa nyaman pada
anak. Pola asuh yang tepat akan mempengaruhi tingkat kemandirian anak

(Santrok, 2006).

Berdasarkan penelitian dan hasil wawancara dilakukan kepada 10 orang tua

kelas 1 di SDN Cipadung 3 dengan cara wawancara dan didapatkan hasil

sebanyak 6 orang tua menyatakan bahwa anaknya mampu melakukan kegiatan

personal hygiene yang berupa cuci tangan sendiri, sedangkan dalam personal

hygiene yang lain seperti memakai baju, memotong kuku, mandi, menyisir

rambut, makan, semuanya mengatakan bahwa anaknya masih dalam bantuan

orang tua. Sedangkan 4 orang tua mengatakan bahwa anaknya sudah bisa

mandiri dan ketika anak masih merengek-rengek atau rewel meminta sesuatu

orang tua cenderung memenuhi keinginan anaknya. akan tetapi 1 orang tua

mengatakan anaknya masih mengompol jika tidur di malam hari.

Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan, dan masalah yang didapat dari

hasil studi pendahuluan, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kemandirian

Personal Hygiene Pada Anak Usia Sekolah Di SDN 3 Cipadung.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah yaitu :

Apakah Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kemandirian Personal

Hygiene Pada Anak Usia Sekolah Di SDN 3 Cipadung

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


Mengetahui Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua Terhadap

Kemandirian Personal Hygiene Pada Anak Usia Sekolah Di SDN 3

Cipadung.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengidetifikasi pola asuh orang tua pada anak usia sekolah di SDN 3

Cipadung.

b. Mengidentifikasi tingkat kemandirian personal hygiene pada anak usia

sekolah di SDN 3 Cipadung.

c. Mengidentifikasi hubungan pola asuh orang tua terhadap kemandirian

personal hygiene pada anak usia sekolah di SDN 3 Cipadung.

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Bagi pelayanan keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap

program-program dipelayanan keperawatan khususnya keperawatan anak,

keperawatan keluarga, dan komunitas. Program yang dapat dilakukan

oleh perawat komunitas dengan berkolaborasi dengan perawat anak

adalah mensosialisasikan pentingnya kemandirian personal hygiene di

usia dini, selain itu perawat juga bisa mengenalkan bagaimana cara

menumbuhkan kemandirian anak sejak dini dengan memperkenalkan

pendekatan melalui pola asuh.

2. Bagi institusi sekolah SDN 3 Cipadung.


Sebagai salah satu media pembelajaran, sumber informasi, wacana

kepustakaan terkait hubungan pola asuh terhadap kemandirian personal

hygiene anak usia sekolah.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi peneliti

Diharapkan bisa menjadi tambahan informasi didunia keperawatan

mengenai pentingnya kemandirian personal hygiene dan pola asuh yang

tepat yang sesuai dengan tugas perkembangan anak.

2. Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan dan

pengetahuan bagi keluarga terkait pola asuh yang dapat memandirikan

anak sehingga diharapkan nantinya keluarga dapat melaksanakan peran

secara tepat dalam mendampingi perkembangan anak dan membantu

memandirikan anak dalam setiap hal seperti kemandirian personal

hygiene yang sesuai dengan tugas perkembangan anak demi pertumbuhan

dan perkembangan anak yang optimal.

Anda mungkin juga menyukai