Anda di halaman 1dari 19

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Mutakhir

Penelitian ini mengacu terhadap referensi-referensi yang terkait dengan


penelitian yang telah ada, dimana masing-masing penulis menggunakan metode
penelitian yang berbeda tergantung atas permasalahan yang akan dikaji.
Penggunaan beberapa referensi ini akan membedakan pembahasan yang dibahas
penulis dengan Tugas Akhir yang telah ada sebelumnya. Berikut referensi dari
Tugas Akhir yang telah ada.
1. Referensi yang pertama merupakan sebuah penelitian berjudul Analisis
Performansi Adaptive Coding And Modulation (ACM) Padadigital Video
Broadcasting Over Satellite- Second Generation(DVB-S2) oleh Mita Ariani,
2009.
Dalam penelitian ini, menganalisa performansi ACM pada DVB-S2, Hasil
penelitian ini, yaitu keempat jenis modulasi yang digunakan, yakni QPSK,
8PSK, 16APSK, dan 32APSK, FEC coderate yang memberikan performansi
bit error rate terkecil adalah coderate untuk Eb/No yang sama. Semakin
besar orde modulasi dan FEC coderate, maka daya pancar yang dibutuhkan
pada sisi pengirim juga akan semakin besar. Dengan asumsi coderate tetap,
orde modulasi yang tinggi akan memberikan konsumsi bandwith yang lebih
kecil. Desain sistem komunikasi satelit harus memperhatikan trade off antara
daya pancar dan bandwith yang dibutuhkan. Pada modulasi QPSK dan
8PSK dibutuhkan bandwith yang sama yakni 4.34 MHz. Sehingga dengan
ukuran kapasitas yang sama, QPSK akan memberikan performansi yang
lebih baik bila dibandingkan dengan 8PSK , dari segi besarnya daya pancar
yang dibutuhkan untuk target availability tertentu. Format Adaptive Coding
and Modulation akan memberikan performansi yang lebih baik dibandingkan
dengan metode non adaptive , yang ditandai dengan semakin kecilnya BER

5
6

yang dihasilkan untuk nilai Eb/No yang sama. 7. Pada kondisi clear sky,
sistem akan memilih modulasi dengan orde rendah dan pada kondisi kondisi
kanal yang buruk atau heavy rain sistem akan memilih modulasi dengan orde
tinggi.

2. Referensi yang kedua adalah penelitian yang berjudul Simulasi Low-Density


Parity-Check (LDPC) Dengan Standar DVB-T2 oleh Yusuf Kurniawan dan
Idham Hafizh, 2014.
Penelitian ini melakukan implementasi simulasi encoding-decoding
menggunakan LDPC sesuai standar DVB-T2 pada lingkungan MATLAB, dan
menganalisa pengaruh pemilihan code rate dan karakteristik kanal pada
kualitas transmisi sesuai standar DVB-T2. Hasil yang didapat dari penelitian
ini adalah Pemilihan code rate yang digunakan pada LDPC memerlukan
tradeoff antara keandalan transmisi dan beban komputasi, dimana code rate
yang lebih tinggi pada LDPC akan menurunkan keandalan transmisi.
3. Referensi yang ketiga adalah sebuah penelitian yang berjudul Perbandingan
Kinerja LDPC Pada Kanal AWGN dengan Modulasi QPSK dan BPSK
Shahih Ilmiawan, 2011.
Pada penelitian ini membandingkan kinerja LDPC pada kanal AWGN dengan
modulasi QPSK dan BPSK, dan menggunakan dua metode, metode yang
digunakan adalah bit flip dan sum product. Perbandingan yang dilihat adalah
perbandingan antara kedua modulasi yang digunakan dengan metode yang
sama dan membandingkan hasil dari tiap metode dan tiap modulasi yang
digunakan. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah Modulasi QPSK
memiliki jumlah bit error yang lebih besar dibanding dengan modulasi BPSK,
dikarenakan informasi yang diproses pada modulasi QPSK dibagi menjadi dua bagian
yang kemudian dikodekan, sehingga mempengaruhi proses pengkodean dan
pengkoreksian error.
2.2 Satelit
Satelit adalah benda-benda yang mengorbit lain dengan periode revolusi dan
rotasi tertentu. Ada dua jenis satelit yakni satelit alam dan satelit buatan. Satelit
alam adalah benda-benda luar angkasa bukan buatan manusia yang mengorbit
7

sebuah planet atau benda lain yang lebih besar daripada dirinya, seperti misalnya
Bulan adalah satelit Bumi. Satelit buatan adalah benda buatan manusia yang
beredar mengelilingi benda lainnya misalnya satelit Palapa yang mengelilingi
Bumi. (Luthfy, 2014)
Macam-macam satelit diantaranya :
1. Satelit Astronomi, adalah satelit yang digunakan untuk mengamati planet,
galaksi, dan objek angkasa lainnya yang jauh.
2. Satelit Pengamat Bumi, adalah satelit yang dirancang khusus untuk
mengamati Bumi dari orbit. Satelit ini ditujukan untuk penggunaan non-
militer seperti pengamatan lingkungan, meteorologi, dan pembuatan peta.
3. Satelit Navigasi, adalah satelit yang menggunakan sinyal radio yang
disalurkan ke penerima di permukaan tanah untuk menentukan lokasi sebuah
titik di permukaan bumi.
4. Satelit mata-mata, adalah satelit yang juga berfungsi untuk mengmati bumi
tetapi digunakan untuk tujuan militer atau mata-mata.
5. Satelit Cuaca, adalah satelit yang digunakan untuk mengamati cuaca dan iklim
di Bumi.
6. Satelit Komunikasi.
Dari keenam macam satelit tersebut yang akan dibahas penyusun hanya satelit
komunikasi saja. Satelit komunikasi adalah sebuah satelit buatan yang
ditempatkan di angkasa dengan tujuan untuk telekomunikasi. Satelit berfungsi
sebagai repeater atau pengulang sinyal informasi yang ditempatkan di luar
angkasa. Prinsip kerjanya yaitu, antenna satelit menerima sinyal yang di
pancarkan dari antenna di stasiun bumi kemudian diperkuat dan dipancarkan
kembali ke bumi dengan frekuensi yang berbeda. Satelit komunikasi tersebut
mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Sebagai stasiun pengulang (repeater)
2. Memperkuat frekuensi (radio frequency)
3. Merubah sinyal RF uplink stasiun bumi menjadi downlink satsiun bumi.
8

2.2.1 Orbit Satelit


Teknologi satelit berawal dari keterbatasan jarak untuk
transmisi teresterial (permukaan bumi). Pada dasarnya telekomunikasi
melalui teresterial bisa dilakukan menjangkau seluruh permukaan bumi apabila
kita menempatkan tiga buah stasiun pengulang sinyal radio (relay station) di
ruang angkasa pada suatu jarak tertentu. (Luthfy, 2014)
Stasiun relay (satelit) tersebut ditempatkan pada suatu lintasan yang disebut orbit.
Pembagian jenis orbit menurut jaraknya dari permukaan bumi adalah:
1. Low Earth Orbit (LEO)
Orbit ini dapat menjangkau keseluruh permukaan bumi secara merata, oleh
sebab itu orbit ini digunakan untuk satelit-satelit keperluan riset ilmu
pengetahuan, meteorologi/cuaca, militer, dan navigasi. Namun untuk keperluan
komunikasi, diperlukan sejumlah satelit agar hubungan komunikasi tetap konstan,
adapun karakteristiknya adalah sebagi berikut:
a. Tinggi Orbit : 200-3000 km diatas permukaan bumi
b. Peride Orbit : 1.5 jam
c. Kecepatan Putar : 27.000 km/jam
d. Waktu Tampak : < 15 menit
e. Delay Time : 10 ms
f. Jumlah satelit : 50
g. Penggunaan : Satelit Citra, Cuaca, Mata-mata, System telekomunikasi
bergerak (mobile)contohnya satelit Iridium dan global star.
2. Medium Earth Orbit (MEO)
Bentuk orbit ini unik, dimana sudut inclinasinya adalah 63 derajat, dan
untuk sekali putar dibutuhkan 12 jam. Untuk membentuk komunikasi yang
kionstan perku disusun beberapa satelit ( minimal 3 satelit ) yang saling
bergantian.
Keuntungan dari orbit ini adalah dapat melampaui kutub utara dan selatan,
segingga orbit ini dipakai oleh system komunikasi satelit Soviet. Adapun
karakteristiknya adalah sebagai berikut :
9

a. Tinggi Orbit : Sekitar 6.000-12.000 km di atas permukaan bumi


b. Periode Orbit : 12 jam
c. Kecepatan putar : 19.000 km/jam
d. Waktu tampak : 2-4 jam/hari
e. Delay Time : 80 ms
f. Jumlah Satelit : Satelit Citra, Cuaca, Mata-mata, System telekomunikasi
bergerak (mobile)misalnya satelit Oddeysey dan ICO.
3. Highly Elliptic Orbit (HEO)
Bidang orbit ini memotong bidang equator, dan jaraknya dari permukaan
bumi sejauh 35.800 km. Satelit yang terletak di orbit ini kecepatannya sama
dengan kecepatan bumi, oleh karena itu orbit ini disebut juga orbit
GEOSTASIONER. Karena satelit pada orbit ini kecepatannya sama dengan
kecepatan bumi, maka untuk keperluan komunikasi dapat berlangsung 24 jam.
Orbit ini banyak dipakai oleh satelit komunikasi domestic maupun internasional.
Untuk system INTELSAT, satelitnya berada pada orbit ini. Untuk menjangkau
keseluruhan permukaan bumi maka INTELSAT membagi tiga kawasan
yaitu Pacific Ocean Region, Indian Ocean Region, dan Atlantic Ocean Region.
Adapun karakteristiknya adalah sebagai berikut :
a. Tinggi Orbit : Sekitar 35.000-36.000 km di atas permukaan bumi
b. Periode Orbit : 24 jam
c. Kecepatan putar : 11.000 km/jam
d. Waktu Tampak : Selalu tampak (karena kecepatan putar satelit sama
dengan kecepatan putar bumi)
e. Delay Time : 250 ms
f. Jumlah Satelit : 3

2.3 Low Density Parity Check (LDPC)


Low-Density-Parity-Check (LDPC) codes ditemukan oleh Robert Gallager

dalam tesisnya tahun 1963. Kode LDPC merupakan kode blok linier yang
10

diperoleh dari sparse bipartite graph (Tanner Graph). Graph terdiri dari n

message atau bit nodes dan r check nodes. Graph memunculkan kode block linier

dengan panjang n. Codeword merupakan vektor (c1,c2,......,cn) yang oleh seluruh

check node jumlah posisi bersebelahan berdasarkan message node adalah nol.

Pada pengkodean LDPC kita dapat mendefinisikan dua numbers describing pada

matrik n m , wr untuk jumlah 1 pada masing-masing baris dan wc untuk kolom.

(Yusuf, 2014).

Matrix dikatakan low density apabila memenuhi dua kondisi wc n dan wr

m.

Gambar 2.1 Tanner Graph dan Marked Path

Tanner Graph dari kode LDPC dikatakan reguler jika wc konstan untuk

masing-masing kolom dan wr = wc .(n / m) juga konstan untuk masing-masing

baris. Jika matrix H low density tetapi jumlah bit 1 pada masing-masing baris dan

kolom tidak konstan, code tersebut dikatakan irregular LDPC code. (Siska, 2012)
11

Bipartite Graph sama dengan Tanner Graph yang dikenal sebagai

representasi grafik yang efektif untuk pengkodean LDPC. Tanner Graph memiliki

arti bahwa node dari graph disebar ke dalam dua jalur khusus yang hanya

menghubungkan node-node dari dua tipe yang berbeda. Dua tipe node yang

berbeda pada graph yaitu: check node dan variable node. Check node digunakan

untuk mendefinisikan bagian baris dari matrik generator, sedangkan variable node

digunakan untuk mendefinisikan bagian kolom dari matrik generator.

2.3.1 Kode Paritas

Kode cek paritas merupakan kode block, di mana deretan pesan (jumlah

bit yang ditransmit) dibagi atas blok-blok. Bentuk pengkodean pada kode cek

paritas yaitu menambahan satu bit redudan pada sinyal informasi, nilai bit paritas

yaitu 0 dan 1, tergantung dari jumlah bit 1 yang terdapat pada sinyal yang

dikirimkan (jenis paritas ganjil atau genap). Jika digunakan jenis paritas ganjil

jumlah bit 1 pada codeword adalah ganjil, begitu pula bila digunakan jenis paritas

genap jumlah bit 1 pada codeword adalah genap. Sebagai contoh kode ASCII 4

(empat) bit untuk simbol 1011 karena jumlah bit 1 ganjil, maka jumlah bit 1 pada

codeword pasti ganjil yaitu akan memiliki codeword 10111, bila jumlah bit 1

genap untuk simbol 1001, maka codeword yang akan dihasilkan yaitu 10010.

(Siska, 2012)

Proses pengiriman sinyal informasi melalui kanal komunikasi dapat

menyebabkan terjadinya kesalahan/error. Sebagai contoh bila bit yang dikirimkan

transmitter adalah 0 penerima menerimanya sebagai bit 1. Bila digunakan cek bit
12

paritas genap dan pada penerima dideteksi terdapat jumlah bit 1 dalam jumlah

ganjil, maka pada kode yang diterima telah terjadi kesalahan. Bila pada kanal

terjadi 2 kesalahan bit, kode akan dideteksi sebagai kode yang valid (benar).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa cek paritas genjil dan genap hanya

mampu mendeteksi bit salah dengan kemampuan terbatas. Untuk mendeteksi

terjadinya kesalahan secara lebih handal diperlukan matrik cek paritas. Sebagai

ilustrasinya dapat dilihat sebagai berikut:

c =merupakan codeword, yang berisi bilangan biner( 0 dan 1)

c = c1c2c3c4c5c6 .................................................................................. (2.1)

c0 + c3 +c4 + c5 + c6 = 0

c1 + c3 + c5 = 0
c1 + c2 = 0
c0+ c2 + c4 + c6 = 0

Dalam bentuk matriks didapat c =[c1c2 c3c4 c5c6 ] , yang dikatakan sebagai
T
codeword jika dan hanya jika memenuhi persyaratan H.c = 0 .
2.3.2 Sum-Product Decoding
Algoritma decoding sum product atau yang disebut decoding belief
propagation pertama kali di perkenalkan oleh Gallagher tahun 1962 pada
thesisnya. Dimana decoding yang di pergunakan adalah
Pseudorandom.Pengoptimalan yang tinggi pada decoding irregular LDPC code
13

dengan menggunakan Algoritma Sum Product mampu mendekati teori Shannon


limit.
Algoritma sum product di sebut dengan belief propagation
decoding.Algoritma sum product mirip dengan algoritma bit flip,hanya pesan
yang dipertukarkan antara message node dan check node adalah nilai probabilitas
yang direpresentasikan dengan Log-likehood ratio.pendekode soft decision yang
diterima dan menggunakan informasi kanal untuk mendapatkan ekspresi
probabilistic dari sinyal yang ditransmisikan.
Initialization

j j j

= 1/[1 + exp(2 / )] = 1/[1 + exp 4 ] ................................................. (2.2)

=1 ............................................................................................................... (2.3)

dan

= =1 = ............................................................................................. (2.4)

=1 .............................................................................................................. (2.5)

Dimana adalah bit yang diterima yang telah terkena noise dan = /2
adalah varian dari dari Kanal AWGN.

Mesagge Passing
1. check nodes to bit nodes j j j

i
14

= - .............................................................................................. (2.6)

= (j= 1,2, , n dan j j) ................................... (2.7)


Jadi,
= (1 + ).............................................................................. (2.8)

(j= 1,2, , n dan j j)


= (1 ) ................................................................................ (2.9)

2. Bit nodes to check nodes

= .................................................................................(2.10)

(i = 1,2,,m dan i i)

= .................................................................................(2.11)

Dan skala dan oleh faktor yang sama sehingga, + =1

= ..................................................................................(2.12)

(i = 1,2,,m)

= ..................................................................................(2.13)

Dan skala dan oleh faktor yang sama sehingga, + =1

3. Decoding and soft output

Untuk j = 1,2,, n

0
= ........................ jika ln( / ) 0 ...........................................(2.14)
1

2.4 Digital Video Broadcasting-over-Satellite Second Generation

DVB-S (EN 300 421) dan DVB-S2 (EN 302 307) adalah standar
pengkodean kanal dan pemodulasian yang digunakan untuk penyiaran satelit
15

digital untuk layanan multi-program TV, HDTV, dengan menggunakan band


frekuensi FSS, dan BSS yang ditujukan kepada pengguna yang menggunakan
IRD sesuai dengan yang diterima oleh antena penerima.
Standar DVB-S menggunakan modulasi QPSK dan menggabungkan
strategi penanggulangan error yang berbasis pada convolutional code dan Reed-
Solomon code. Sistem ini cocok digunakan pada
bada bandwidth transponder yang berbeda. Sistem ini kompetibel dengan
pengkodean MPEG-2, dengan struktur transmisi yang sinkron yang dipaketkan
dengan multiplex. Semua layanan di-multiplex menggunakan TDM
pada carrier tunggal. (Edmond, 2012)

Tabel 2.1 Pebandingan DVB-S dan DVB-S2


Satellite EIRP (dBW) 51 53.7
System DVB-S DVB-S2 DVB-S DVB-S2
Modulation and Coding QPSK 2/3 QPSK 3/4 QPSK 7/8 8PSK 2/3
Symbol rate (Mbaud) 27.5 (=0.35) 30.9 (=0.2) 27.5 29.7 (=0.25)
(=0.35)
C/N (in 27.5MHz) (dB) 5.1 5.1 7.8 7.8
Useful Bitrate (Mbit/s) 33.8 46 (gain 44.4 58.8
=36%) (gain=32%)
Number od SDTV 7 MPEG-2 10 MPEG-2 10 MPEG-2 13 MPEG-2
Programmers 15 AVC 21 AVC 20 AVC 26 AVC

Number of HDTV 1-2 MPEG-2 2 MPEG-2 2 MPEG-2 3 MPEG-2


Programmers 3-4 AVC 5AVC 5AVC 6 AVC

Pengembangan lebih lanjut kemudian diimplementasikan pada DVB-S2


ketika peningkatan kecepatan data pada C dan Kuband menyebabkan transponder
bekerja di daerah saturasi. Inti dari desain DVB-S2 ini adalah penerapan ACM
yang kemudian menggantikan teknik CCM (Constant Coding and Modulation)
pada DVB-S konvensional. Salah satu fitur utama yang perlu digarisbawahi secara
detail bahwa, DVB-S2 menyediakan pendekatan skema Shannon forward error
correcting yang berdasar pada low-density parity check codes (LDPC), sehingga
memberikan efisiensi daya lebih besar 30% dibandingkan DVB-S. Selain itu,
efisiensi spectral meningkat dengan kemungkinan yang didukung oleh symbol
shaping a square-root raised-cosine filter yang turun hingga 0.2, mengganti nilai
0.35 yang didukung oleh DVB-S. Terdapat beberapa kunci parameter yang
16

responsible untuk variasi SNIR yang bekerja pada sebuah coverage satelit. Variasi
SNIR dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu :
1. Parameter yang bergantung pada kondisi geografis suatu daerah seperti:
Variasi level Interferensi Redaman Atmosfir (redaman hujan)
2. Parameter yang bergantung pada waktu seperti redaman atmosfir (terutama
redaman hujan). Dalam menanggulangi variasi SNIR yang disebabkan oleh
parameter-parameter di atas, DVB-S2 kemudian dirancang untuk
memberikan:
a. Peningkatan efisiensi 30 % bila dibandingkan dengan DVB-S
b. Meningkatkan range aplikasi melalui teknik combining agar tetap dapat
mendukung layanan dengan DVB-S
c. Teknik adaptive coding untuk memaksimalkan penggunaan transponder
satelit. (Mita, 2009)
Tabel 2.2 Coding Parameter

2.4.1 Karakteristik Teknis


Untuk meningkatkan fleksibilitas kebutuhan dan perancangan sistem
dengan peningkatan performansi rata-rata 30 persen diatas DVB-S, DVB-S2
memiliki karakteristik :
17

1. Mode Modulasi Terdapat empat mode modulasi yang didukung, yaitu : QPSK
dan 8PSK yang digunakan untuk aplikasi broadcasting yang digunakan pada
non-linear transponder satelit dan dioperasikan mendekati saturasi, serta
16QAM dan 32QAM untuk aplikasi pada semi-linear transponder. Skema ini
merupakan tradeoff efisiensi daya untuk memperoleh throughput yang lebih
tinggi.
2. Forward Error Correction DVB-S2 menggunakan sistem FEC yang berbasis
concatenation menggunakan BCH (Bose-Chaudhuri-Hocquenghem) dengan
inner coding LDPC (Low Density Parity Check) dan kecepatan pengkodean
yang bersifat dinamis. (Mita, 2009)

2.4.2 Mode Modulasi dan Forward Error Correction

Sistem komunikasi sangat bergantung pada tiga kategori yaitu : efisiensi


bandwith, efisiensi daya, ataupun efisiensi biaya. Efisiensi bandwith dapat
digambarkan dengan ukuran kemampuan skema modulasi untuk mengakomodasi
data dengan bandwith yang terbatas. Efisiensi daya dapat digambarkan dengan
ukuran kemampuan system untuk mengirimkan informasi pada level daya yang
rendah. Dari kategori-kategori ini, sebagian besar system akan memprioritaskan
efisiensi bandwith. Hubungan antara modulasi dan format pengkodean dalam
mengakomodasi kebutuhan efisiensi daya dan bandwith.

2.5 BCH (Bose-Chaudhuri-Hocquenghem)

Dalam teori kode (coding theory), kode BCH (Bose-Chaudhuri-


Hocquenghem) adalah salah satu jenis kode pengoreksi error bertipe siklik yang
dibangun menggunakan azas himpunan terbatas. Kode BCH sendiri dibuat pada
tahun 1959 oleh matematikawan asal Prancis bernama Alexis Hocquenghem, dan
juga secara terpisah oleh Raj Bose dan D. K. Ray-Chaudhuri pada tahun
1960 Istilah BCH sendiri merupakan singkatan dari nama depan ketiga nama
penemu ini.

Bose, Chaudhuri, and Hocquenghem (BCH) code merupakan sebuah


18

metode error correction yang dibangun pada bidang finite (terbatas). Kode ini
merupakan generalisasi dari Hamming code untuk multiple error correction. Kode
BCH diperkenalkan pertama kali oleh A. Hocquenghem pada tahun 1959 dan
secara tepisah pada tahun 1960 oleh R. C. Bose dan Ray-Chaudhuri. Kode BCH
merupakan Cyclic codes dimana beberapa simbol tersusun dari m-bit yang
berurutan, dimana m adalah integer positif yang lebih besar dari 2. Pada binary
BCH code terdapat beberapa parameter sebagai berikut:
Panjang blok : n = 2 1
Jumlah digit parity-check : n k mt
Jarak minimal : 2t + 1
Kode ini mampu mengoreksi berbagai kombinasi dari t atau lebih kecil
dalam blok n digit. Kita menyebutnya kode BCH t-error-correcting. (Rainbow,
2012)
2.5.1 Decoding BCH
Decoder BCH Pada bagian penerima terdapat decoder yang berfungsi
untuk mendeteksi dan mengkoreksi error data yang diterima.(Mita, 2009).
Beberapa proses dilakukan dalam proses decoding, antara lain:
1. Sindrom Error Pencarian sindrom mempunyai tujuan yakni untuk menentukan
lokasi dimana terdapat error atau kesalahan bit. Sindrom didapat dengan meninjau
polinomial terima.
2. Polinomial error-locator Polinomial error-locator dapat dicari dengan
menggunakan beberapa metode, antara lain algoritma Peterson, Berlekamp-
Massey serta Euclid.
3. Lokasi Error Penentuan lokasi error diperoleh dengan menggunakan polinomial
(x) yang telah diperoleh sebelumnya. Masingmasing data pada posisinya akan
dicek satu persatu dengan mensubtitusi variable x pada (x) dengan nilai inverse
.
4. Koreksi Error dilakukan setelah mengetahui lokasi error. Dengan mengubah
nilai bit dari 0 ke 1. maupun sebaliknya.
19

2.6 AWGN (Additive White Gausian Noise)


AWGN (Additive White Gausian Noise) merupakan suatu proses stokastik
yang terjadi pada kanal dengan karakteristik memiliki rapat daya spectral noise
merata di sepanjang range frekuensi. AWGN mempunyai karakteristik respon
frekuensi yang sama disepanjang frekuensi dan variannya sama dengan satu.
Pada kanal transmisi selalu terdapat penambahan derau yang timbul karena
akumulasi derau termal dari perangkat pemancar, kanal transmisi, dan perangkat
penerima. Derau yangmenyertai sinyal pada sisi penerima dapat didekati dengan
model matematis statistik AWGN. Derau AWGN merupakan gangguan yang
bersifat Additive atau ditambahkan terhadap sinyal transmisi,dimodelkan dalam
pola distribusi acak Gaussian dengan mean (m) = 0, standar deviasi () = 1, power
spectral density (pdf) = No/2 (W/Hz), dan mempunyai rapat spektral daya yang
tersebar merata pada lebar pita frekuensi tak berhingga. Distribusi AWGN dengan
pdf :

( )= [( ) / ] ...................................... (2.15)

dimana:
p(x) = probabilitas kemunculan derau
= standar deviasi
m = rataan (mean)
x = variable (tegangan atau daya sinyal)
AWGN merupakan model kanal sederhana dan umum dalam suatu sistem
komunikasi. Model kanal ini dapat digambarkan seperti berikut:

Gambar 2.2 Model Kanal


Pada gambar diatas, Jika sinyal yang kirim STx(t), pada kanal akan
dipengaruhi oleh derau n(t) sehingga sinyal yang diterima menjadi: SRx(t) =
20

STx(t) + n(t), 0 t T dimana n(t)) merupakan noise yang terjadi selama proses
transmisi sinyal kirim sampai diterima bagian receiver.

2.6.1 Pembangkitan Noise Kanal AWGN


Salah satu jenis noise yang ada pada setiap sistem komunikasi adalah
noise thermal. Noise thermal disebabkan oleh pergerakan elektron-elektron di
dalam konduktor yang ada pada sistem komunikasi, misalnya pada perangkat
pengirim.
Karakteristik noise thermal ini disebut white noise. Pergerakan elektron
penyebab noise thermal bersifat acak, sehingga besarnya noise thermal juga
berubah secara acak terhadap waktu. Perubahan secara acak tersebut dapat
diperkirakan secara statistik, yaitu mengikuti Distribusi Gaussian, dengan rata-
rata nol. Noise thermal yang terdapat pada kanal Additive White Gaussian Noise
(AWGN) ini dibangkitkan dengan menggunakan fungsi Distribusi Gaussian yang
mewakili AWGN seperti pada persamaan.

F(n)= ............................................................................................ (2.16)


Dimana: mean = 0 dan varians = 2.

Varians memiliki nilai:

= ................................................................................................... (2.17)

Dimana = adalah kerapatan spectral daya dari noise dan adalah

laju bit.

Sehingga :

= ................................................................................................. (2.18)
21

Dimana:

k = konstanta Boltzman (1,38.10-23 J/K)

Ts = temperatur noise (K)

B = bandwith noise (Hz)

2.7 Bit Error Rate (BER)


Bit Error Rate Bit Error Rate (BER) adalah jumlah kesalahan bit dibagi
dengan jumlah bit yang ditransfer selama interval waktu tertentu. BER merupakan
ukuran performansi unitless atau tidak mempunyai ukuran, sering dinyatakan
dalam prosentase. Dalam saluran yang terdistorsi noise , BER sering dinyatakan
sebagai fungsi dari normalisasi rasio ukuran carrier- to noise dilambangkan
Eb/N0 atau Es/N0.
2.8 Quatenary Phase Shift Keying (QPSK)
Quatenary Phase Shift Keying (QPSK) adalah salah satu modulasi digital
amplitudo tetap termodulasi sudut. Dengan QPSK memungkinkan empat keluaran
fasa untuk frekuensi pembawa tunggal, karena terdapat empat fasa keluaran yang
berbeda untuk empat kondisi input yang berbeda pula, yaitu 00, 01, 11 dan 10.
Masing-masing level sinyal disimbolkan pada perbedaan fasa sebesar 90o. Sinyal
QPSK dipresentasikan dalam persamaan matematis adalah :

SQPSK = A 2 sin( c t 135) ; untuk binary 00

A 2 sin( c t 45) ; untuk binary 01

A 2 sin( c t 135) ; untuk binary 10

A 2 sin( c t 45) ; untuk binary 11


22

Dibit Q I Q I Q I Q I
Input 1 0 0 1 1 1 0 0

Phasa
output
PSK

+135 -45 +45 -135

Gambar 2.3 Sinyal QPSK

Dari Gambar diatas terlihat bahwa jika masukan biner adalah 10 maka keluaran
merupakan sinyal sinus dari frekuensi pembawa yang telah digeser sebesar +135 o,
dan juga untuk kombinasi lainnya dari masukan biner akan menghasilkan
pergeseran fasa yang berbeda.

2.8.1 Modulator QPSK


Modulator terdiri dari pengubah seri ke paralel, modulator I/Q, penjumlah
sinyal, dan BPF. Dua bit diumpankan ke serial to parallel. Setelah keduanya
masuk secara serial, kemudian diumpankan serempak secara paralel. Bit yang
satu menuju kanal I dan yang lainnya menuju kanal Q. Pada QPSK logic 1
diwakili +1 Volt sedangkan logic 0 diwakili -1 Volt.

Gambar 2.4 blok diagram modulator QPSK


Keluaran modulator QPSK ini berupa penjumlahan linear dari kanal I dan
kanal Q seperti yang terlihat pada Tabel 2.3
23

Tabel 2.3 Keluaran Modulator QPSK

Binary input QPSK Output


Q I Phase
0 0 -135
0 1 -45
1 0 +135
1 1 +45

2.8.2 Demodulator QPSK


Pada demodulator QPSK, sinyal masukan demodulatormerupakan sinyal
OFDM yang telah terdistorsi dengan kanal transmisi yang disebabkan AWGN dan
Fading Rayleigh yang dimasukkan ke kanal I dan Q. Sinyal pada kanal I dikalikan
dengan , sedangkan pada kanal Q dikalikan dengan . Kemudian kedua keluaran
kanal tersebut dilewatkan LPF untuk menperoleh sinyal hasil keluarannya, yaitu
data digit 0 dan 1.

Gambar 2.5 diagram blok Demodulator QPSK

Anda mungkin juga menyukai