Anda di halaman 1dari 30

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan.................................................................................... 1
Daftar Isi..................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 4
1.1. Latar Belakang .....................................................................................
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..... 5
2.1. Anatomi dan Fisiologi Kulit................................................................. 5
2.2 Sejarah Penyembuhan Luka.....9
2.3. Jenis Luka..... 10
2.4. Mekanisme Terjadinya Luka 11
2.5. Fase Penyembuhan Luka. 14
2.6. Cara Penyembuhan Luka.. 16
2.7. Penyembuhan Jaringan Khusus. 17
2.8. Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka.. 21
2.9. Komplikasi..... 23
2.10.Penanganan Luka... 26
BAB III PENUTUP..................................................................................... 30
3.1. Kesimpulan....... 30
3.2. Saran..... 30
DAFTAR PUSTAKA......... 31

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Luka adalah hilang atau rusaknya kesatuan jaringan tubuh. Keadaan ini
dapat disebabkan oleh trauma tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia,
ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. Ketika luka timbul, beberapa efek
akan muncul : Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres
simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri,dan kematian
sel.1
Penyembuhan Luka adalah respon tubuh terhadap luka dalam upaya
mengembalikan struktur dan fungsi normal. Ketika jaringan rusak maka proses
penyembuhan luka akan terjadi yang dapat dibagi dalam tiga fase yaitu fase
inflamasi, proliferasi, dan remodeling jaringan. Banyak faktor yang
mempengaruhi penyembuhan luka baik secara endogen maupun eksogen dan jika
penyembuhan tidak adekuat maka luka akan menjadi luka kronik.2
Maka dari itu sesuatu yang menarik bagi penulis untuk tentang luka dari
jenis luka, proses penyembuhan, komplikasi luka hingga penanganan luka
sehingga diharapkan penyembuhan luka adekuat dan menurunkan risiko
perburukan seperti infeksi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Kulit


Kulit adalah organ yang terletak paling luar dan membatasi dari
lingkungan luar manusia. Luas kulit orang dewasa 2 meter pesegi dengan berat
kira-kira 16% dari berat badan. Kulit mempunyai berbagai fungsi seperti sebagai
pelindung, pengatur
suhu, penyerap, dan
indera perasa. Pembagian
kulit secara garis besar
tersusun atas tiga lapisan
utama yaitu lapisan
epidermis atau kutikel,
lapisan dermis, dan
lapisan subkutis.
Epidermis dan dermis
dibatasi oleh membrane
basal, sedangkan tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutis,
subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan
lemak.3

Lapisan Epidermis
Lapisan epidermis terdiri atas stratum korneum, stratum lusidum, stratum
granulosum, stratum spinosum, dan stratum basal. Stratum korneum adalah
lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa lapisan sel-sel gepeng yang
mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat
tanduk). Stratum lusidum terdapat langsung di bawah lapisan korneum,
merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah
menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak lebih jelas di
telapak tangan dan kaki. Stratum granulosum merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel
gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya. Butir-butir

3
kasar ini terdiri atas keratohialin. Stratum spinosum terdiri atas beberapa lapis sel
yang berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-beda karena adanya proses
mitosis. Protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikogen, dan inti
terletak ditengah-tengah. Sel-sel ini makin dekat ke permukaan makin gepeng
bentuknya. Di antara sel-sel stratum spinosun terdapat jembatan-jembatan antar
sel yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin. Pelekatan antar
jembatan-jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil yang disebut nodulus
Bizzozero. Di antara sel-sel spinosum terdapat pula sel Langerhans. Sel-sel
stratum spinosum mengandung banyak glikogen. Stratum germinativum terdiri
atas sel-sel berbentuk kubus yang tersusun vertical pada perbatasan dermo-
epidermal berbasis seperti pagar (palisade). Lapisan ini merupakan lapisan
epidermis yang paling bawah. Sel-sel basal ini mengalami mitosis dan berfungsi
reproduktif. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu sel-sel yang berbentuk
kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong dan besar, dihubungkan satu
dengan lain oleh jembatan antar sel, dan sel pembentuk melanin atau clear cell
yang merupakan sel-sel berwarna muda, dengan sitoplasma basofilik dan inti
gelap, dan mengandung butir pigmen (melanosomes). 3,4
Lapisan Dermis
Lapisan yang terletak dibawah lapisan epidermis adalah lapisan dermis
yang jauh lebih tebal daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastis
dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis
besar dibagi menjadi 2 bagian yakni pars papilare yaitu bagian yang menonjol ke
epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah, dan pars retikulare
yaitu bagian bawahnya yang menonjol kearah subkutan, bagian ini terdiri atas
serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen, elastin dan retikulin. Dasar
lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan kondroitin sulfat, di
bagian ini terdapat pula fibroblast, membentuk ikatan yang mengandung
hidroksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda bersifat lentur dengan bertambah
umur menjadi kurang larut sehingga makin stabil. Retikulin mirip kolagen muda.
Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan mudah mengembang
serta lebih elastis. 3,4

4
Lapisan Subkutis
Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis yang terdiri atas jaringan ikat
longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat,
besar, dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel-sel
ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lain oleh trabekula
yang fibrosa. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adipose, berfungsi sebagai
cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh
darah, dan getah bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama bergantung
pada lokasinya. Di abdomen dapat mencapai ketebalan 3 cm, di daerah kelopak
mata dan penis sangat sedikit. Lapisan lemak ini juga merupakan bantalan.
Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang terletak di bagian
atas dermis (pleksus superficial) dan yang terletak di subkutis (pleksus profunda).
Pleksus yang di dermis bagian atas mengadakan anastomosis di papil dermis,
pleksus yang di subkutis dan di pars retikulare juga mengadakan anastomosis, di
bagian ini pembuluh darah berukuran lebih besar. Bergandengan dengan
pembuluh darah teedapat saluran getah bening. 3,4

Fisiologis Kulit
1. Fungsi Proteksi
o kimiawi : iritan seperti lisol, karbil, asam, alkali kuat
o fisis/ mekanis : tekanan, gesekan, tarikan
o panas : radiasi, sengatan sinar UV
o infeksi luar : bakteri, jamur
Beberapa macam perlindungan :
o Melanosit
Melindungi kulit dari pajanan sinar matahari dengan mengadakan tanning
(penggelapan kulit)
o Stratum korneum impermeabel terhadap berbagai zat kimia dan air.
o Keasaman kulit karena ekskresi keringat dan sebum
Melindungi secara kimiawi terhadap infeksi bakteri maupun jamur
o Proses keratinisasi

5
Sebagai sawar (barrier) mekanis karena sel mati melepaskan diri secara
teratur.
2. Fungsi Absorpsi
Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2, dan uap air memungkinkan kulit ikut
mengambil fungsi respirasi. Kemampuan absorbsinya bergantung pada
ketebalan kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme, dan jenis vehikulum.
Penyerapan dapat melalui celah antar sel, menembus sel epidermis, melalui
muara saluran kelenjar.
3. Fungsi Ekskresi
Mengeluarkan zat yang tidak berguna bagi tubuh seperti NaCl, urea, asam
urat, dan amonia. Pada fetus, kelenjar lemak dengan bantuan hormon
androgen dari ibunya memproduksi sebum untuk melindungi kulitnya dari
cairan amnion, pada waktu lahir ditemui sebagai Vernix Caseosa.
4. Fungsi Persepsi
Kulit mengandung ujung saraf sensori di dermis dan subkutis. Saraf sensori
lebih banyak jumlahnya pada daerah yang erotik.
o Badan Ruffini di dermis dan subkutis => peka rangsangan panas
o Badan Krause di dermis => peka rangsangan
dingin
o Badan Taktik Meissner di papila dermis => peka rangsangan
rabaan
o Badan Merkel Ranvier di epidermis => peka rangsangan
rabaan
o Badan Paccini di epidemis => peka rangsangan
tekanan
5. Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh (termoregulasi)
Dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi)
pembuluh darah kulit. Kulit kaya pembuluh darah sehingga mendapat nutrisi
yang baik. Tonus vaskuler dipengaruhi oleh saraf simpatis (asetilkolin). Pada
bayi, dinding pembuluh darah belum sempurna sehingga terjadi ekstravasasi
cairan dan membuat kulit bayi terlihat lebih edematosa (banyak mengandung
air dan Na).

6
6. Fungsi Pembentukan Pigmen
Kulit memiliki sel yang disebut melanosit (sel pembentuk pigmen) yang
terdiri dari butiran pigmen (melanosomes).
7. Fungsi Keratinisasi
Keratinosit dimulai dari sel basal yang mengadakan pembelahan, sel basal
yang lain akan berpindah ke atas dan berubah bentuknya menjadi sel
spinosum, makin ke atas sel makin menjadi gepeng dan bergranula menjadi
sel granulosum. Makin lama inti makin menghilang dan keratinosit menjadi
sel tanduk yang amorf. Proses ini berlangsung 14-21 hari dan memberi
perlindungan kulit terhadap infeksi secara mekanis fisiologik.
8. Fungsi Pembentukan Vitamin D
Kulit mengubah 7 dihidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar matahari.
Tapi kebutuhan vit D tubuh tidak hanya cukup dari hal tersebut. Pemberian
vit D sistemik masih tetap diperlukan. 3,4

2.2 Sejarah Penyembuhan Luka


Laporan awal penyembuhan luka dimulai sekitar tahun 2000 SM, ketika
orang Sumeria menggunakan dua cara pengobatan: Metode spiritual yang terdiri
dari mantra, dan metode fisik yaitu dengan pengaplikasian bahan seperti ramuan
tumbuhan pada luka. Orang Mesir adalah yang pertama membedakan antara luka
yang terinfeksi dibandingkan dengan luka yang tidak terinfeksi. Tahun 1650 SM,
Edwin Smith Surgical Papyrus, dokumen yang jauh lebih tua, menjelaskan
setidaknya 48 jenis luka yang berbeda. Dalam Ebers Papyrus yang dikeluarkan
pada tahun 1550 SM, berhubungan dengan penggunaan ramuan mengandung
madu (sifat antibakteri), serat (bahan penyerap) dan minyak (penghalang) untuk
mengobati luka. Sifat-sifat ini masih dianggap penting dalam manajemen luka
yang didapat sehari-hari sampai saat ini. 5

Orang-orang Yunani, dilengkapi dengan pengetahuan yang diwariskan


oleh orang-orang Mesir, mulai mengelompokkan luka sebagai akut dan kronis.
Galen dari Pergamum (120-201 A.d.), diangkat sebagai dokter gladiator Romawi,
menghadapi kasus luka para gladiator setelah pertarungan. Ia menekankan
pentingnya menjaga lingkungan lembab untuk memastikan kesembuhan yang

7
memadai. Butuh waktu hampir 19 abad sampai konsep penting ini terbukti secara
ilmiah, dimana ditunjukkan bahwa tingkat epitelisasi meningkat sampai 50% di
lingkungan luka lembab jika dibandingkan dengan lingkungan luka yang kering. 5
Langkah besar berikutnya dalam sejarah penyembuhan luka adalah
penemuan antiseptik dan pentingnya menguranginya infeksi pada luka. Ignaz
Philipp Semmelweis, seorang dokter kandungan Hungaria (1818-1865), mencatat
bahwa kejadian demam puerperal jauh lebih rendah jika mahasiswa kedokteran
mengikuti kelas pembedahan mayat dan sebelum menghadiri persalinan, mencuci
bersih tangan dengan sabun dan hipoklorit. Louis Pasteur (1822-1895) sangat
berperan dalam menghilangkan teori generasi spontan kuman dan membuktikan
bahwa kuman selalu diperkenalkan dari lingkungan. Joseph Lister mungkin
membuat salah satu kontribusi paling signifikan untuk penyembuhan luka. Dalam
kunjungan ke Glasgow, Skotlandia, Lister mencatat bahwa beberapa wilayah di
kota tersebut memiliki sistem saluran pembuangan kota yang tidak sekeruh
dibanding kota yang lain. Dia menemukan bahwa air dari pipa yang membuang
sampah yang mengandung asam karbol (fenol) lebih jernih. Pada tahun 1865,
Lister memulai perendaman instrumen bedahnya dalam fenol dan penyemprotan
ruang operasi, mengurangi tingkat kematian pasca operasi dari 50% sampai 15%.
Setelah menghadiri ceramah yang mengesankan oleh Lister di 1876, Robert Wood
Johnson memulai 10 tahun penelitian yang pada akhirnya menghasilkan produksi
sebuah penutup(dressing) antiseptik dalam bentuk kain kasa yang diresapi dengan
iodoform. Sejak itu, dikembangkan bahan lain yang digunakan untuk meresapi
kain kasa agar mencapai antiseptik. 5
Tahun 1960an dan 1970an menyebabkan perkembangan polimer
penutup polimer ini bisa dibuat khusus dengan parameter spesifik, seperti
permeabilitas terhadap gas (oklusif vs semioklusif), berbagai tingkat penyerapan,
dan bentuk yang lainnya. Saat ini, praktik penyembuhan luka meliputi manipulasi
dan / atau penggunaan antara lain, sitokin inflamasi, faktor pertumbuhan, dan ilmu
bioteknologi. Kombinasi dari semua modalitas ini yang memungkinkan
penyembuhan luka optimal. 5

2.3 Jenis Luka

8
Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka
itu dan menunjukkan derajat luka.
1. Berdasarkan tingkat kontaminasi
a) Clean Wounds (Luka bersih)
Yaitu luka bedah tak terinfeksi yang mana tidak terjadi proses peradangan dan
infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinaria tidak terjadi.
Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup, jika diperlukan
dimasukkan drainase tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1%
5%.
b) Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi)
Merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital
atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi,
kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% 11%.
c) Contamined Wounds (Luka terkontaminasi)
Termasuk luka terbuka, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan
besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna. Kemungkinan
infeksi luka 10% 17%.
d) Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi)
Yaitu terdapatnya mikroorganisme pada luka yang menyebabkan infeksi. 6

2. Berdasarkan waktu penyembuhan luka


a) Luka akut
Yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan
b) Luka kronis
Yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan dalam
waktu 3 bulan atau lebih, dapat karena faktor eksogen dan endogen. Faktor
eksogen seperti trauma, perfusi yang buruk, oksigenasi yang buruk, dan
peradangan yang berlebihan, sedangkan faktor endogen seperti penurunan
sintesis growth factor dan penurunan proliferasi fibroblast. 6

2.3. Mekanisme terjadinya luka

9
1. Luka insisi (Incised Wound) terjadi karena teriris oleh instrumen yang
tajam. Missal yang terjadi akibat pembedahan.
2. Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu
tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan
dan bengkak.
3. Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda

Klasifikasi berdasarkan mekanisme terjadinya luka 5


lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
4. Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti pisau
yang masuk ke dalam kulit dengan diameter yang kecil.
5. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti
oleh kaca atau oleh kawat.
6. Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ
tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada
bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.

10
7. Luka bakar (Combustio), yaitu luka akibat terkena suhu panas seperti
api, matahari, listrik, maupun bahan kimia.

Klasifikasi berdasarkan kedalaman luka 6

Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka


a) Stadium I : Superfisial epidermal
Yaitu luka pada lapisan epidermis kulit, kulit eritema, kering dan nyeri.
b) Stadium II : Deep
Yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari
dermis. Luka tampak eritema, lembab/ melepuh, nyeri, eksudat dan
bengkak biasanya timbul.
c) Stadium III : Luka Full Thickness
Yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis
jaringan
hingga subkutan. Kulit kering, pearly white hingga hangus, tidak elastis
dan
kasar.
d) Stadium IV : Luka Complete
Yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya
destruksi/kerusakan yang luas.

11
2.4. Fase penyembuhan Luka
Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan
memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak,
membersihkan sel dan benda asing dan perkembangan awal seluler bagian dari
proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan,
walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung proses
penyembuhan. Sebagai contoh, melindungi area yang luka bebas dari kotoran
dengan menjaga kebersihan membantu untuk meningkatkan penyembuhan
jaringan.
Terdapat 3 fase dalam pernyembuhan luka 1,2,5:
1. Fase Inflamasi
Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira kira hari
kelima. pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan
dan tubuh akan berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan
ujung pembuluh yang putus (retraksi), dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi
karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket, dan bersama
dengan jala fibrin yang terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh
darah. Sementara itu terjadi reaksi inflamasi.
Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamine yang
meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, penyebukan
sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang menyebabkan udem dan

12
pembengkakan. Tanda dan gejala klinik reaksi radang menjadi jelas berupa warna
kemerahan karena kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa nyeri (dolor),
dan pembengkakan (tumor).
Aktifitas seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit menembus
dinding pembuluh darah (diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis.
Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan
kotoran luka. Limfosit dan monosit yang kemudian muncul ikut menghancurkan
dan memakan kotoran luka dan bakteri (fagositosis). Fase ini disebut juga fase
lamban karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit dan luka hanya
dipertautkan oleh fibrin yang amat lemah.
2. Fase Proliferasi
Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol adalah
proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai
kira kira akhir minggu ketiga. Fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum
berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asama aminoglisin, dan prolin
yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka.
Pada fase ini serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk penyesuaian
diri dengan tegangan pada luka yang cenderung mengerut. Sifat ini, bersama
dengan sifat kontraktil miofibroblast, menyebabkan tarikan pada tepi luka. Pada
akhir fase ini kekuatan regangan luka mencapai 25% jaringan normal. Nantinya,
dalam proses penyudahan kekuatan serat kolagen bertambah karena ikatan
intramolekul dan antar molekul.
Pada fase fibroplasia ini, luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan kolagen,
membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan yang berbenjol
halus yang disebut jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal
terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya
kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi
hanya bisa terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar, sebab epitel tak dapat
bermigrasi ke arah yang lebih tinggi. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling
menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan
luka, proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan granulasi juga akan
berhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase penyudahan.

13
3. Fase Penyudahan (Remodelling)
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan
kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan
akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini dapat
berlangsung berbulan bulan dan dinyatakan berakhir kalau semua tanda radang
sudah lenyap. Tubuh berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi
abnormal karena proses penyembuhan. Udem dan sel radang diserap, sel muda
menjadi matang, kapiler baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang
berlebih diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama
proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan lemas serta mudah
digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka. Pada akhir fase
ini, perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira kira 80% kemampuan
kulit normal. Hal ini tercapai kira kira 3-6 bulan setelah penyembuhan.

2.5. Cara Penyembuhan Luka


Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar, seperti yang telah
diterangkan tadi, berjalan secara alami. Luka akan terisi jaringan granulasi dan
kemudian ditutup jaringan epitel. Penyembuhan ini disebut penyembuhan
sekunder atau sanatio
Fase penyembuhan luka 5 per secundam intentionem (Latin: sanatio =
penyembuhan,per = melalui, secundus = kedua, intendere = cara menuju kepada).
Cara ini biasanya makan waktu cukup lama dan meninggalkan parut yang kurang
baik, terutama kalau lukanya menganga lebar. Luka akan menutup dibarengi
dengan kontraksi hebat. 1,5

14
Bila luka hanya mengenai epidermis dan sebagai atas dermis, terjadi
penyembuhan melalui proses migrasi sel epitel dan kemudian terjadi
replikasi/mitosis epitel. Sel epitel baru ini akan mengisi permukaan luka. Proses
ini disebut epitelisasi, yang juga merupakan bagian dari proses penyembuhan
luka. Pada penyembuhan jenis ini, kontraksi yang terjadi biasanya tidaklah
dominan. 1,5
Cara penyembuhan lain
adalah penyembuhan primer
atau sanatio per primam
intentionem, yang terjadi bila
luka segera di upayakan tertaut,
biasanya dengan bantuan
jahitan. Sebaiknya dilakukan
dalam beberapa jam setelah luka
terjadi. Parut yang terjadi
biasanya lebih halus dan kecil.
Namun, penjahitan luka
tidak dapat langsung dilakukan
pada luka yang terkontaminasi
berat dan /atau tidak berbatas
tegas. Luka yang compang-
camping atau luka tembak,
misalnya, sering meninggalkan jaringan yang tidak dapat hidup yang pada
pemeriksaan pertama sukar dikenal. Keadaan ini diperkirakan akan menyebabkan
infeksi bila luka langsung dijahit. Luka yang demikian akan dibersihkan dan
dieksisi (debridement) dahulu dan kemudian dibiarkan selama 4-7 hari. Baru
selanjutnya dijahit dan dibiarkan sembuh secara primer. Cara ini umumnya
disebut penyembuhan primer tertunda. 1,5

2.6. Penyembuhan jaringan khusus 1,5


1. Tulang

15
Pada patah tulang panjang yang korteksnya cukup tebal, terjadi pendarahan
yang berasal dari pembuluh darah di endosteum, di kanal Haver pada korteks, dan
di periosteum. Hematom akan diserbu oleh proliferasi fibroblast yang bersifat
osteogenik yang berasal dari mesenkim periosteum dan sedikit dari endomesteum.
Fibroblast osteogenik berubah menjadi osteoblast dan menghasilkan bahan
organik antar sel yang disebut osteoid. Osteoblast yang terkurung dalam lakuna
oleh osteoid disebut osteosit. Proses pembentukan tulang ini disebut osifikasi.
Bekas hematom yang berosteoid disebut kalus yang tidak tampak secara
radiologis. Kalus akan memadat, seakan merekat patahan.
Di daerah yang agak jauh dari patahan dan pendarahannya lebih bagus,
mulai terbentuk jaringan tulang karena proses peletakan kalsium pada osteoid,
sedangkan didaerah patahan sendiri, yang pendarahannya lebih sedikit, osteoblast
berdiferensiasi menjadi kondroblast dan membentuk tulang rawan. Kalus eksterna
dan interna yang berubah menjadi jaringan tulang dan tulang rawan makin keras
dan setelah menjadi terisi kalsium menjadi jelas pada pemeriksaan radiologi.
Bagian tulang rawan kemudian berubah menjadi tulang biasa melalui proses
endokondral. Pada saat ini, patahan dikatakan telah menyambung dan menyembuh
secara klinis. Selanjutnya, terjadi pembentukan tulang lamelar dan perupaan
kembali selama berbulan-bulan.
Pada anak, kalus primer ini disertai proses pengaturan kembali pertumbuhan
epifisis sehingga sulit patahan akan pulih sampai derajat tertentu.
Penyembuhan patah tulang yang bukan tulang pipa (tulang pendek) berjalan
lebih cepat karena pendarahan yang lebih kaya. Nekrosis yang terjadi di pinggir
patahan tulang tidak bayak, dan kasus interna segara mengisi rongga patah tulang.
Penyembuhan patah tulang terjadi pada tindakan reduksi dan setelah fiksasi
metal yang kuat berjalan lebih cepat dan lebih baik. Ini dapat digolongkan
penyembuhan per prema. Dengan fiksasi, daerah patahan terlindung dari stres dan
tidak ada rangsang yang menimbulkan kalus sehingga, setelah bahan osteosintetis
dikeluarkan, tulang kurang kuat dibandingkan dengan tulang yang sembuh per
sekundam dengan kalus.
2. Tendo

16
Bila tendo yang merupakan ujung dari otot lurik luka akan putus, hematom
yang tejadi akan mengalami proses penyembuhan alami dan menjadi jaringan ikat
yang melekat pada jaringan sekitarnya. Bagian distal akan mengalami hipotrofi
karena ada yang menggerakan. Dengan demikian, tendo yang putus sama sekali
tigak akan berfungsi kembali, tendo harus dijahit dengan teknik khusus agar
perlekatan dengan jaringan sekitarnya dikurangi dan tendo masih dapat bergerak
dan meluncur bebas.
3. Fasia
Luka pada fasia akan mengalami penyembuhan alami yang normal.
Hematom dan eksudasi yang terjadi akan diganti dengan jaringan ikat. Bila otot
tebal, kuat, dan luka robeknya tidak sembuh betul deengan atau tanpa dijahit,
mungkin akan tertinggal defek yang dapat mengalami herniasi otot.
4. Otot
Otot lurik dan otot polos diketahui mampu sembuh dengan membentuk
jaringan ikat. Walaupun tidak mengalami regenerasi, faal otot umumnya tidak
berkurang karena adanya hipertrofi sebagai kompensasi jaringan otot sisa. Sifat
ini menyebabkan luka otot perlu dijahit dengan baik.
5. Usus
Luka pada usus halus tentu harus dijahit, tidak dapat dibiarkan sembuh per
sekundam intentionem karena kebocoran isi usus akan menyebabkan peritonitis
umum. Penyembuhan biasanya cepat karena dinding usus kaya akan darah
sehingga dalam 2-3 minggu kekuatannya dapat melebihi daerah yang normal.
6. Serabut saraf
Trauma pada saraf dapat berupa trauma yang memutus saraf atau trauma
tumpul yang menyebabkan tekanan atau tarikan pada saraf. Penekanan akan
menimbulkan kontusio serabut saraf dengan kerangka yang umumnya masih utuh,
sedangkan tarikan mungkin menyebabkan putusnya serabut dengan kedua ujung
terpisah jauh.
Bila akson terputus, bagian distal akan mengalami degenerasi waller karena
akson merupakan perpanjangan sel saraf di ganglion atau di tanduk depan
sumsum tulang belakang. Akson yang putus meninggalkan selubung mielin
kosong yang lama-kelamaan kolaps atau terisi fibroblas. Sel saraf di pusat setelah

17
24-28 jam akan memumbuhkan akson baru ke distal dengan kecepatan 1mm per
hari. Akson ini dapat tumbuh baik sampai ke ujungnya di organ akhir dila dalam
pertumbuhannya menemukan selubung meilin yang utuh. Dalam selubung inilah
akson tumbuh ke distal. Bila dalam pertumbuhnya akson tidak menemukan
selubung yang kosong, pertumbuhannya tidak maju, dan akan membentuk tumor
atau gumpalan yang terdiri atas akson yang tergulung. Ini di sebut neuroma. Tentu
saja tidak semua akson akan menemukan selubung mielin yang masih kosong dan
sesuai, terutama kalau saraf tersebut merupakan campuran sensoris dan motoris.
Kalau selubung mielin sudah dimasuki akson yang salah, akson yang benar tidak
mungkin menemukan selubung lagi.
Mengingat syarat tumbuhnya akson ini, lesi tekan dengan kerangka yang
relatif lebih utuh memberikan prognosis lebih baik dari pada lesi tarik yang
merusak pembuluh darah nutrisi. Memulai bedah mikro, ujung setiap fasikulus
yang terputus dipertemukan, kemudian saraf yang terputus itu disambung dengan
menjahit epi- dan perineuriumnya. Upaya ini memberikan hasil yang lebih baik.
7. Jaringan saraf
Bila jaringan saraf mengalami trauma, sel saraf yang rusak tidak akan pulih
karena sel saraf tidak bermitosis sehingga tidak memiliki daya regenerasi. Tempat
sel yang rusak akan digantikan oleh jaringan ikat khusus yang terdiri atas sel glia
membentuk jaringan yang disebut gliosis.
8. Pembuluh darah
Proses penyembuhan luka pada pembuluh darah bergantung pada besarnya
luka, derasnya arus darah yang keluar, dan kemampuan tamponade jaringan
sekitarnya. Pada pembuluh yang luka, serat elastis pada dinding pembuluh akan
mengerut dan otot polosnya berkontraksi.
Bila kerutan ini kuat dari pada arus darah yang keluar, luka akan menutup
dan pendarahan berhenti.
Bila sempat terbentuk gumpalan darah yang menyumbat luka, permukaan
dalam gumpalan perlahan-lahan akan dilapisi endotel dan mengalami organisasi
menjadi jaringan ikat.

18
Bila hematom sangat besar karena arus darah yang keluar kuat, bagian
tengah akan tetap cair karena turbulensi arus, sedangkan dinding dalamnya
perlahan-lahan akan dilapisi endotel sehingga terjadi aneurisma palsu.
Bila pembuluh sampai putus, ujung potongan akan mengalami retraksi dan
kontraksi akibat adanya serat elastis dan otot dinding.
2.7. Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka1,2,5

Sistemik Lokal
Usia Luka lokal
Nutrisi Infeksi
defisiensi Vit A dan C Edema
defisiensi zink dan zat besi Iskemik / nekrosis
Trauma Agen topikal
Penyakit metabolik Radiasi
Imunosupresi Penurunan tekanan
(glukokortikosteroid, doxorubicin) oksigen
Gangguan penyambung kulit Benda asing
Merokok

Penyembuhan luka dapat tergantung oleh penyebab dari dalam tubuh


sendiri (endogen) atau oleh penyebab dari dalam tubuh sendri (eksogen).
Penyebab endogen terpenting adalah ganguan koagulasi yang disebut koagulopati
dan ganguan sistem imun. Berikut
adalah faktor yang bisa menghambat
penyembuhan luka.
1 Usia
Anak dan dewasa
penyembuhannya lebih cepat
daripada orang tua. Kolagen
mengalami perubahan secara
kualitatif maupun kuantitatif seiring
bertambah usia. Orang tua lebih
sering terkena penyakit kronis,
penurunan fungsi hati dapat
mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah. Penurunan reepitelisasi,

19
sintesis kolagen, terhambatnya angiogenesis dan penurunan faktor pertumbuhan
dapat terjadi dalam proses penuaan.
2 Nutrisi
Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian pada tubuh. Klien
memerlukan diet kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin C dan A, dan mineral
seperti Fe, Zn. Pasien kurang nutrisi memerlukan waktu untuk memperbaiki status
nutrisi mereka setelah pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk
meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena supply darah
jaringan adipose tidak adekuat.
Malnutrisi memiliki dampak dalam proses penyembuhan luka. Katabolisme
protein dapat menyebabkan perlambatan pada penyembuhan luka. Defisiensi
vitamin juga dapat mempengaruhi penyembuhan luka karena perannya sebagai
kofaktor. Defisiensi vitamin A menghambat aktivasi monosit dan deposisi
fibronectin. Defisiensi vitamin K dapat membatasi sintesis prothrombin dan faktor
VII,IX, X. Metabolisme vitamin K juga dapat dihambat oleh antibiotic. Pasien
yang memiliki infeksi kronis atau berulang, harus memeriksakan parameter
pembekuan sebelum dilakukan prosedur bedah. Defisiensi zinc jarang terjadi,
kecuali pada pasien dengan luka bakar yang luas, trauma multiple yang berat, dan
sirosis hepatis. Zinc penting sebagai kofaktor RNA Polimerase dan DNA
Polimerase.
3 Infeksi
Termasuk penyebab tersering penghambat penyembuhan luka yaitu infeksi
pada luka. Jika hitung bakteri di luka melebihi 10 5 organisme/ g jaringan atau jika
ada streptococcus beta hemolitikus, penyembuhan luka akan terhambat. Bakteri
memperpanjang fase inflamasi dan mengganggu epitelisasi, kontraksi, dan
deposisi kolagen. Endotoksin dapat merangsang fagositosis dan melepaskan
kolagenase, yang menyebabkan degradasi kolagen. Penanganan untuk
menurunkan hitung bakteri, baik secara mekanik ataupun penggunaan antibiotik
sistemik, dapat membatasi tingkat infalamasi dan memungkinkan penutupan luka.
4 Sirkulasi (hipovolemia) dan Oksigenasi
Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka, misalnya
sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak yang memiliki sedikit

20
pembuluh darah. Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat karena
jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh.
Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa dan pada orang yang menderita
gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau diabetes mellitus. Oksigenasi
jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan pernapasan
kronik pada perokok. Kurangnya volume darah akan mengakibatkan
vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk
penyembuhan luka.
Oksigenasi sel penting untuk pembentukan kolagen. Iskemi dapat
disebabkan oleh atherosclerosis, gagal jantung, atau tekanan pada luka yang
mencegah perfusi local. Dalam keadaan hipoksia, energi hasil glikolisis mungkin
dapat mencukupi untuk memulai sintesis kolagen, tetapi adanya oksigenasi sel
penting untuk hidroksilasi post-translasional prolil dan lisil yang dibutuuhkan
untuk pembentukan triple-helix dan fibril kolagen.
Anemia dapat menyebabkan hipoperfusi sekunder pada penyembuhan luka.
Penggunaan produk tembakau memberikan hasil yang serupa pada penyembuhan
luka sebab keduanya menyebabkan vasokonstriksi akibat merokok dan
peningkatan kadar karbonmonoksida serum, yang dapat membatasi kapasitas
darah pembawa oksigen.
5. Iskemia
Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah
pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi
akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal
yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri.
6. Diabetes
Diabetes mellitus mengganggu penyembuhan luka di semua tahapan. Pasien
diabetes yang mengalami neuropati dan atherosclerosis, mudah untuk mengalami
iskemi jaringan, trauma berulang, dan infeksi.
7. Obat
Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti neoplasmik
mempengaruhi penyembuhan luka. Contohnya, Doxorubicin merupakan inhibitor
yang poten. Agen kemoterapeutik ini menurunkan proliferasi sel mesenkimal,

21
menurunkan jumlah trombosit, sel radang dan faktor pertumbuhan. Tamoxifen,
sebuah antiestrogen juga dikenal dapat menurunkan proliferasi sel. Penggunaan
antibiotik yang lama dapat membuat seseorang rentan terhadap infeksi luka.

2.8. Komplikasi 1,2,5


a. Infeksi
Infeksi luka tetap merupakan komplikasi tersering dari tindakan operasi.
Infeksi luka terjadi jika luka yang terkontaminasi dijahit tanpa pembilasan dan
eksisi yang memadai. Pada keadaan demikian, luka harus dibuka kembali,
dibiarkan terbuka dan penderita diberi antibiotik sesuai dengan hasil biakan dari
cairan luka atau nanah.
Dua faktor penting yang jelas berperan pada patogenesis infeksi adalah (1)
dosis kontaminasi bakteri, dan (2) ketahanan pasien.
b. Hematoma
Hematoma harus dicegah dengan
mengerjakan hemostasis secara teliti.
Biasanya hematoma dapat dibiarkan hilang
spontan, tetapi hematoma terlalu besar dan
mengganggu sebaiknya dibuka dan
dikeluarkan.
c. Seroma
Seroma adalah penumpukan cairan
luka di lapangan bedah. Jika seroma
mengganggu atau terlalu besar, dapat
dilakukan pungsi. Jika seroma kambuh,
sebaiknya dibuka dan dipasang penyalir.
d. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence adalah terbukanya lapisan luka partial atau total. Eviscerasi
adalah keluarnya pembuluh melalui daerah irisan. Sejumlah faktor meliputi,
kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma, gagal untuk menyatu, batuk yang
berlebihan, muntah, dan dehidrasi, mempertinggi resiko klien mengalami
dehiscence luka. Dehiscence luka dapat terjadi 4 5 hari setelah operasi sebelum

22
kollagen meluas di daerah luka.
Ketika dehiscence dan eviscerasi
terjadi luka harus segera ditutup
dengan balutan steril yang lebar,
kompres dengan normal saline.
Klien disiapkan untuk segera
dilakukan perbaikan pada daerah
luka.

e. Keloid dan Hipertrophic Scar


Keloid dan jaringan parut hipertrofik timbul karena reaksi serat kolagen
yang berlebihan dalam proses penyembuhan luka. Serat kolagen disini teranyam
teratur. Keloid didefinisikan sebagai parut luka yang tumbuh berlebihan
melampaui batas luka, sebelumnya menimbulkan gatal dan cenderung kambuh
bila dilakukan intervensi bedah. Gen menjadi salah satu factor peedisposisi
terjadinya keloid.
Parut hipertrofik hanya berupa parut luka yang menonjol, nodular, dan
kemerahan, yang menimbulkan rasa gatal dan kadang kadang nyeri. Parut
hipertrofik akan menyusut pada fase akhir penyembuhan luka setelah sekitar satu
tahun, sedangkan keloid tidak.
Keloid dapat ditemukan di seluruh permukaan tubuh. Tempat predileksi
merupakan kulit, toraks terutama di muka sternum, pinggang, daerah rahang
bawah, leher, wajah, telinga, dan dahi.
Tabel Karakteristik Keloid dan Hypertrophic Scar5
Keloid Hipertrophic Scar
Insidensi Jarang Sering
Etnis African American, Asian, Tidak ada predileksi
Hispanik
Luka sebelumnya Ya Ya
Predileksi tempat Leher, dada, cuping telinga, Dimanapun

23
bahu, punggung atas
Pengaruh genetik Ya Tidak
Gejala Nyeri, gatal, hiperestesia, Tebal, gatal, tidak melebih
pertumbuhan melebihi batas luka
batas luka
Regresi Tidak Biasanya spontan
Kontraktur Jarang Sering
Bekas luka yang tegak lurus dengan serat otot yang mendasari cenderung lebih
sempit dan datar, dengan pembentukan kolagen lebih sedikit dibandingkan pada
bekas luka yang berjalan paralel ke otot yang mendasarinya. Posisi bekas luka
elektif dapat dipilih sedemikian rupa untuk membuat bekas luka sempit dan tidak
terlalu membekas di kemudian hari. Saat serat otot berkontraksi, ujung- ujung
luka dapat didekatkan jika bekas luka tegak lurus ke otot yang mendasarinya.
Namun, jika bekas luka sejajar dengan otot yang mendasarinya, kontraksi otot
cenderung menyebabkan tepi luka menganga dan menyebabkan pembentukan
bekas luka lebih lanjut.
Pengobatan keloid pada umumnya tidak memuaskan. Biasanya dilakukan
penyuntikan kortikosteroid intrakeloid, bebat tekan, dan salep madekasol (2 kali
sehari selama 3-6 bulan). Untuk mencegah terjadinya keloid, sebaiknya
pembedahan dilakukan secara halus, diberikan bebat tekan dan dihindari
kemungkinan timbulnya komplikasi pada proses penyembuhan luka.4

24
2.9. Penanganan Luka 5

Penanganan luka akut dimulai dengan mengetahui kejadian yang menyebabkan


luka, melakukan pemeriksaan pada luka, termasuk kedalaman dan konfigurasi
luka, jaringan sekitar luka, adanya benda asing dan kontaminan lain. Pemeriksaan
luka juga membutuhkan irigasi dan debridement tepi luka dengan bantuan anestesi
lokal. Antibiotik dan profilaksis tetanus mungkin dibutuhkan. Irigasi untuk
melihat daerah luka dan menyingkirkan benda asing dapat tercapai dengan baik
dengan menggunakan salin normal (tanpa pengawet). Iodin, povidone-iodine,
hidrogen peroksida dan bahan berbasis antibakteri dapat mengganggu
penyembuhan luka karena mengganggu neutrophil dan makrofag luka. Sedangkan
pada area sekitar luka dapat dibersihkan dengan povidone iodine, chlorhexidine,
dan dikeringkan dengan kain steril. Semua hematom yang muncul dalam luka
harus dievakuasi secara hati-hati dan pada sumber perdarahan yang masih

berdarah ditangani dengan ligasi atau kauter. Jika luka menjadi tertutup atau
tumbuh jaringan maka harus dilakukan revaskularisasi untuk membantu
penyembuhan. Setelah luka dianestesi, dieksplorasi, irigasi dan di bersihkan, area
sekitar luka harus bersih dan terlihat, rambut sekitarnya dipotong. Area sekitar

25
luka ditempelkan kasa dengan diberi sejenis bakteriostatik seperti iodine, atau
chlorhexidine.

Antibiotik digunakan hanya pada luka yang jelas terjadi infeksi, infeksi yang
paling sering terjadi kolonisasi dari bakteri. 2

Dengan tanda dari infeksi seoerti eritema, selulitis, membengkak, cairan purulent.
Jika penyebab mikroorganisme telah pasti maka digunakan antibiotik sesuai
dengan bakteri penyebabnya, namun pada kondisi tertentu seperti pasien
gangguan sistem imun (diabetes, penyakit kronis, dalam pengobatan
imunosupresi) dapat menggunakan antibiotik spektrum luas.

Wound dressing digunakan dengan tujuan menyediakan lingkungan yang ideal


untuk penyembuhan luka, dengan idealnya adalah lingkungan yang lembab,
bersih dan hangat. Selain itu, fungsinya dapat mengontrol hidrasi dan tekanan
oksigen, meningkatkan sintesis kolagen serta migrasi epitel. Dengan ditutupnya
luka dapat menurunkan risiko lebih rendah untuk terjadi inflamasi dan nekrosis
jaringan jika dibandingkan dengan luka yang terbuka. 2
Wound dressing dibagi menjadi 2 yaitu2
Primer
Langsung menutup luka, dengan idealnya penutup dapat mengabsorbsi
cairan/ eksudat tetapi tidak menimbulkan; kekeringan, infeksi dan
menempel pada penutup sekunder
Sekunder
Digunakan diatas penutup primer, berfungsi juga sebagai proteksi dari
infeksi, absorbsi, kompresi dan oklusi.
Terdapat berbagai macam jenis wound dressings seperti absorbent dressings,
nonadherent dressings, occlusive and semiocclusive dressing, hydrophylic and
hydrophobic dressing, hydrocolloid and hydrogel, absorbable materials, dan

26
medicated dressing (benzoyl peroxide, zinc oxide, neomycin, bacitracin-zinc,
bahan-bahan tersebut terbukti meningkatkan epitelisasi sebesar 28%).
Ideal wound dressing 2,3 Tipe dressing yang digunakan tergantung
Menjaga lingkungan tetap lembab pada jumlah yang akan didrainase. Luka
Menghilangkan kelebihan eksudat yang tidak membutuhkan drainase dapat
Mencegah desikasi menggunakan semiocclusive dressing,
Permeabel terhadap gas drainase kurang dari 1-2ml/hari dapat
Menjaga suhu isolasi menggunakan semiocclusive dressings atau
Mencegah kontaminasi absorbent non adherent dressing.
Tidak toksik terhadap host Drainase sedang 3-5ml/hari dapat
Proteksi mekanik menggunakan nonadherent primary layer
Tidak menyebabkan trauma ditambah lapisan penutup yang menyerap
Mudah digunakan dan occlusive dressing untuk melindungi
Murah dan efektif jaringan sekitarnya yang normal. Drainase
berat lebih dari 5ml/hari sama dengan drainase sedang dan ditambah penutup
sekunder dengan daya serap tinggi.
Alat mekanik seperti vacuum-assisted closure (VAC) dapat digunakan untuk
dressing dengan fungsi absorbs eksudat dan mengontrol bau. VAC menggunakan
tekanan negatif untuk menghilangkan eksudat dari luka. Terapi ini efektif
digunakan untuk luka kronik terbuka (ulkus diabetik, ulkus dekubitus tingkat III
dan IV), luka akut dan luka trauma.2

Convensional skin graft digunakan untuk mengobati luka akut ataupun kronik.
Terdiri dari 2 macam yaitu yang pertama ketebalan parsial yaitu meliputi
epidermis dan bagian dari dermis, dan yang kedua ketebalan penuh meliputi
keseluruhan epidermis dan dermis. Dari sumber cangkokan kulitnya ada 3 macam
yaitu autograft, allograft/homograft, dan xenograft/heterograft. Autograft adalah
transplantasi dari satu area ke area lain di tubuh, allogenic adalah transplantasi
dari donor atau kadafer ke host, dan xenograft adalah tranplantasi dari spesies lain
contohnya babi. Pada pencangkokan / skin graft yang ketebalan penuh meliputi
epidermis dan dermis memiliki kekuatan mekanik yang lebih, menolak kontraksi
luka lebih baik dan unggul secara kosmetik, sedangkan pencangkokan sebagian

27
membutuhkan suplai darah yang lebih rendah untuk mengembalikan fungsi kulit.
Pencangkokan secara allogenic dan xenogenik membutuhkan ketersediaan
jaringan, reaksi penolakan dari subjek dan memungkinkan mengandung patogen. 2

28
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Koordinasi pembentukan parut dan regenerasi mungkin paling mudah
dilukiskan pada penyembuhan di kulit. Jenis penyembuhan yang paling sedehana
terlihat pada penanganan luka oleh tubuh seperti insisi pembedahan, yang tepi
lukanya bisa saling didekatkan untuk dimulainya proses penyembuhan.
Penyembuhan semacam itu disebut penyembuhan primer atau healing by first
intention. Segera setelah terjadi luka, tepi luka disatukan oleh bekuan darah yang
fibrinya bekerja seperti lem. Segera setelah itu terjadi reaksi peradangan akut pada
tepi luka itu, dan sel-sel radang seperti makrofag memasuki bekuan darah dan
mulai menghancurkannya.

3.2. Saran
Bila terjadi luka segeralah untuk di bersihkan agar terhindar dari infeksi
untuk mempercepat penyembuhan luka. Apabila luka tersebut robek dan
menimbulkan banyak darah keluar segera ditekan dengan kain/kasa bersih untuk
menhidari lebih banyaknya darah yang keluar dan segera ke tenaga medis untuk
penjahitan luka dengan tujuan menurunkan risiko infeksi.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. EGC.
Jakarta; 2010
2. Sabiston Textbook of Surgery ed 19th. Elsevier,2012;151-77
3. Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC

4. Eroschenko, Victor P.. 2010. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi


Fungsional Edisi 11. EGC. Jakarta.

5. Brunicardi FC, et al. Schwartz's Principles of Surgery 10th Edition.


McGraw-Hill,2015;241-66
6. Reksoprodjo, S.Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta;
1995

30

Anda mungkin juga menyukai