Anda di halaman 1dari 33

Clinical Science Session

BELLS PALSY

Oleh:

Hadi Rifki Ramadhan 1110312048

Maya Apriani Karya 1110312079

Kagami Gari Lindo 1310311092

Preseptor:

dr. Bestari Jaka Budiman, Sp.THT-KL (K)

BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA DAN LEHER

RSUP DR. M. DJAMIL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
kurnia-Nya sehingga referat yang berjudul Bells Palsy ini bisa kami selesaikan dengan baik
dan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Referat ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis mengenai Bells
Palsy, serta menjadi salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu
Penyakit Telinga-Hidung-Tenggorok RSUP Dr. M.Djamil Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas Padang.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam
penyusunan referat ini, khususnya kepada dr. Bestari Jaka Budiman, Sp.THT-KL (K) sebagai
preseptor dan dokter-dokter residen THT yang telah bersedia meluangkan waktunya dan
memberikan saran, perbaikan, dan bimbingan kepada kami. Kami ucapkan juga terima kasih
kepada rekan-rekan sesama dokter muda dan semua pihak yang telah banyak membantu dalam
penyusunan referat ini yang tidak bisa kami sebutkan satu-persatu disini.
Dengan demikian, kami berharap semoga referat ini bisa menambah, wawasan,
pengetahuan, dan meningkatkan pemahaman semua pihak tentang Bells Palsy.

Padang, 30 Maret 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i

DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii

DAFTAR TABEL............................................................................................................. v

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ vi

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 7

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 8

1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 8

1.4 Manfaat Penulisan .................................................................................... 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Nervus Fasialis ..................................................... 9

2.2 Definisi Bells Palsy ........................................................... 15

2.3 Etiologi. ........................................................................... 15

2.4 Epidemiologi...17

2.5 Patogenesis .......................................................................... 18

2.6 Manifestasi Klinis ............................................................... 19

2.7 Diagnosis............................................................................. 20

2.8 Diagnosis Banding .............................................................. 25

2.9 Tatalaksana ......................................................................... 26

3
2.10 Komplikasi ........................................................................ 28

2.11 Prognosis ........................................................................... 29

BAB 3 KESIMPULAN..... 30

DAFTAR PUSTAKA

4
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kriteria House-Brackmann..20

Tabel 2.2 Diagnosis Banding Bells Palsy..26

5
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Nervus Fasialis9

Gambar 2.2 Nervus Fasialis Bagian Intratemporal..... . 11

Gambar 2.3 Anterior dan Lateral Otot Wajah Superfisial . 13

Gambar 2.4 Pasien dengan Lesi Nervus Fasialis dan Lesi Supra-Aurikular15

Gambar 2.5 Gerakan otot-otot wajah.24

Gambar 2.6 Tes Schermer . 25

6
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bells Palsy, yang diambil dari nama seorang ahli anatomi dari Skotlandia, Sir

Charles Bell, merupakan istilah yang paling umum digunakan untuk mendeskripsikan

kelumpuhan atau kelemahan saraf fasial. Bells Palsy merupakan paresis atau paralisis

saraf fasial unilateral akut dengan penyebab yang tidak diketahui.1 Penyakit ini dapat

didiagnosis secara klinis setelah melakukan eksklusi dari penyebab lain kelumpuhan saraf

fasial melalui anamnesis, riwayat penyakit pasien, pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan

laboratorium atau pemeriksaan CT-scan jika memungkinkan. Sangat penting untuk

dipahami bahwa tidak semua paralisis dari nervus fasial adalah Bells Palsy. Bells Palsy

mempunyai ciri onset yang cepat, unilateral, tipe lower motor neuron pada defisit nervus

fasialis, kelehaman fungsi sistem saraf pusat, dan otologik.2

Insiden bells Palsy 20-30 orang per 100.000 orang setiap tahunnya. Setiap 1 dari

60 orang pernah terkena Bells Palsy seumur hidunya.3 Insiden pada wanita dan pria

sama dan tidak ada bagian wajah predileksi terkena Bells Palsy. Terjadi 2

Bells palsy telah lama di postulatkan disebabkan oleh infeksi virus, diperkirakan

telah terjadi infeksi virus herpes simplex. Infeksi ini diperkirakan menyebabkan

pembengkakan pada saraf fasial dan akhirnya menekan kanalnya saat melewati tulang

temporal. 3

Walaupun merupakan self-limited disease, paresis ataupun paralisis pada Bells

Palsy menyebabkan gangguan pada mulut temporer yang signifikan, kemampuan untuk

menutup kelopak mata yang dapat menyebabkan trauma pada mata. 1

7
1.2. Batasan Masalah

Makalah ini membahas definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko,

patofisiologi, gambaran klinik, diagnosis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan,

komplikasi, dan prognosis dari penyakit Bells Palsy.

1.3. Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman

mengenai Bells Palsy

1.4. Metode Penulisan

Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang dirujuk

dari berbagai literatur

1.5. Manfaat Penulisan

Melalui makalah ini diharapkan bermanfaat untuk menambah ilmu dan

pengetahuan mengenai Bells Palsy.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Nervus Fasialis

Nervus fasial merupakan saraf kranial terpanjang yang berjalan dalam tulang,

sehingga sebagian besar kelainan nervus fasialis terletak dalam tulang temporal. Nervus

ini mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri dari 7.000 serabut saraf motorik

untuk otot-otot wajah, 3.000 serabut saraf lainnya yang berisikan serabut sensorik untuk

pengecapan 2/3 anterior lidah, dan serabut parasimpatik untuk kelenjar parotis,

submandibula, sublingual dan lakrimal.1,2

Gambar 2.1. nervus fasialis

Nervus fasialis terdiri dari tiga komponen yaitu komponen mototris, sensoris dan

parasimpatis.Komponen motoris mensarafi m.stapedius, venter posterior m.digastriks dan

9
otot wajah, kecuali m.levator palpebra superior.Komponen sensoris mempersarafi dua

pertiga anterior lidah untuk mengecap, melalui n.korda timpani. Komponen parasimpatis

memberikan persarafan pada glandula lakrimalis, submandibula dan lingualis.2

Nervus fasialis juga dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian intracranial,

intratemporal dan ekstrakranial: 4

1. Intrakranial: Awalnya serat motorik membelok disekitar nukleus nervus VI dan

kemudian bergabung dengan serat sensorik (nervus Wrisberg). Nervus fasial

bersamaan dengan nervus vestibulokoklearis dan nervus abdusen meninggalkan

batang otak pada pontomedullary junction. Kemudian berjalan melalui

cerebellopontine angle bersama dengan nervus vestibulokoklearis memasuki kanal

auditori internal.4

2. Intratemporal: Bagian dari nervus fasialis mulai dari kanal auditori internal hingga

foramen stilomastoideus, kemudian dibagi menjadi empat segmen:

a. Segmen meatus: terletak di kanal auditori internal. Foramen meatus merupakan

bagian tersempit dari apertura kanalis fasialis. Panjang nervus fasial dari batang

otak ke kanal auditori internal adalah 23-24 mm.4

b. Segmen labirin (3-5 mm): bagian ini memanjang dari kanal auditori internal

(foramen meatus) ke ganglion genikulatum. Kanal falopi pada segmen labirin

merupakan daerah paling sempit dan rentan terhadap kompresi pada Bells Palsy.2,

c. Segmen timpani (8-11 mm): terletak diantara bagian distal ganglion genikulatum

dan berjalan kearah posterior telinga tengah, kemudian naik kearah tingkap

lonjong (fenestra ovalis) dan stapes, lalu turun dan kemudian terletak sejajar

dengan kanalis semi sirkularis horizontal.2

10
d. Segmen mastoid atau segmen vertikal (10-14 mm): mulai dari dinding medial dan

superior kavum timpani. Perubahan posisi dan segmen timpani menjadi segmen

mastoid disebut segmen pyramidal atau genu eksterna. Bagian ini merupakan

bagian paling posterior dari nervus fasialis sehingga mudah terkena trauma pada

saat operasiselanjutnya segmen ini berjalan kearah kaudal menuju foramen

stilomastoideus.2

Gambar 2.2 Nervus fasialis bagian intratemporal.

3. Ekstrakranial: nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui foramen

stilomastoideus. Disini saraf menyilang prosessus stiloideus dan memasuki kelenjar

parotis dan membagi diri untuk mempersarafi otot-otot wajah. Bagian ekstrakranial

dari foramen stilomastoideus hingga bagian cabang perifernya terletak di kelenjar

parotis.4

11
Otot-otot wajah tertanam pada facia superfisialis, dan hampir semua berorigo pada

tulang cranium serta berinsersio ke kulit. Lubang-lubang pada wajah yaitu orbita, cavum

nasi, dan cavum oris, dilindungi oleh palpebra, nares, dan labia oris. Otot wajah berfungsi

sebagai sfingter atau dilatator struktur-struktur tersebut. Fungsi lain otot wajah adalah

untuk mengubah ekspresi wajah. Otot wajah berkembang dari arcus pharyngeus kedua

dan disarafi nervus facialis.4

12
Gambar 2.3. gambaran anterior dan lateral otot wajah superficial5

Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk terciptanya

mimic dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke sepuluh otot-otot tersebut secara

berurutan dari sisi superior adalah sebagai berikut m. frontalis, m. sourcilier, m.

13
piramidalis, m. orbikularis okuli, m. zigomatikus, m. relever komunis, m. businator, m.

orbikularis oris, m. triangularis, m. mentalis.2

Otot-otot wajah bagian atas wajah mendapat persarafan dari dua sisi. Sehingga,

terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan nervus fasialis jenis sentral dan perifer.

Pada gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat persarafan dari dua sisi

tidak lumpuh, yang lumpuh ialah bagian bawah dari wajah. Pada cabang saraf yang

mengatur pengecapan dan sekresi ludah yang berjalan bersama nervus facialis.4

Kerusakan sesisi pada upper motor neuron dari nervus facialis (lesi traktus

piramidalis atau korteks motorik) mengakibatkan kelumpuhan pada otot-otot wajah

bagian bawah, sedangkan bagian atasnya tidak. Lesi supranuklir (upper motor neuron)

nervus facialis sering merupakan bagian dari hemiplegia. Hal ini dapat dijumpai pada

stroke. Pada lesi lower motor neuron, semua gerakan otot wajah, baik yang volunter,

maupun yang involunter lumpuh.4

14
Gambar 2.4 pasien dengan (a) lesi nervus fasialis (b) lesi supranuklear6

2.2 Definisi

Bells Palsy adalaah kelumpuhan atau paralis wajah unilateral karena gangguan n.

fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab tidak terindentifikasi dan dengan

perbaikan fungsi yang terjadi dalam 6 bulan.5

2.3 Etiologi

Bells Palsy terjadi karena inflamasi pada nervus fasialis di ganglion genilatum.

Reaksi inflamasi ini menyebabkan terjadinya kompresi dan kemungkinan bisa

menyebabkan iskemik dan demielinisasi. Secara umum, Bells Palsy didefinisikan

sebagai idiopatik. Namun terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan penyebab

terjadinya Bells Palsy, yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi.

15
a. Infeksi virus

Teori virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Burgess et al

mengidentifikasikan genom virus herpes simpleks (HSV) di gangglion genikulatum

seorang pria usia lanjut yang meninggal enam minggu setelah mengalami Bells Palsy.

Mukarami et al menggunakan teknik reaksi rantai polimerase untuk mengamplifikasi

sekuens genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan endoneural

sekeliling saraf ketujuh pada 11 dari 14 kasus yang dilakukan dekompresi

pembedahan pada kasus yang berat. Murakami et al menginokulasi HSV dalam teling

dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah tikus tersebut. Antigen virus

tersebut kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan ganglion genikulatum. Dengan

adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks atau herpetika dapat

diadopsi.Gambaran patologi dan mikroskop menunjukkan proses demielinisasi,

edema, dan gangguan vaskular saraf.11

Agen infeksi lainnya yang menjadi penyebab penyakit ini di beberapa kasus adalah

virus Epstein-Barr dan sitomegalovirus (kedua virus ini menyebabkan infeksi mononucleosis),

adenovirus, mumps, dan rubella.

b. Iskemik Vaskular

Bells palsy dapat disebabkan oleh penurunan sirkulasi darah ke nervus fasialis.

Beberapa pendapat mengatakan bahwa terganggunya salah satu dari pembuluh darah

yang memperdarahi nervus fasialis menyebabkan iskemik primer. Nervus fasialis

mempunyai sistem pembuluh darah yang adekuat dari arteri stilomastoid dan petrosal,

sehingga iskemik primer jarang terjadi kecuali apabila disertai dengan penyakit

tambahan seperti diabetes mellitus. iskemik sekunder merupakan kelanjutan dari

iskemik primer. Iskemik sekunder disebabkan karena dilatasi kapiler dengan

16
peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan terjadinya transudasi yang

mengakibatkan terjadinya kompresi. Kompresi dari kapiler dan venula di kanal falopi

menyebabkan timbulnya zona iskemik dan dikeadaan yang berlanjut dapat

menimbulkan nekrosis. Penyebab dari edema di kanal falopi tidak begitu jelas, namun

beberapa teori mengatakan bahwa hal ini dipicu oleh spasme pembuluh arah yang

meningkatkan permeabilitas sehingga terjadi pengeluaran histamin dan menimbulkan

reaksi hipersensitivitas. Begitu pula dengan iskemik tersier merupakan kelanjutan dari

proses iskemik sekunder, terjadi karena penebalan sarung fibrosa yang mengeras dapat

memberikan efek strangulasi pada saraf fasialis yang akan menimbulkan gejala sisa

pada Bells palsy.12

c. Herediter

Terdapat 10% pasien yang memiliki riwayat keluarga mengalami Bells Palsy.

Predisposisi herediter berupa kanal falopi yang sempit dapat menjadi faktor risiko

saraf rentan terhadap edema ringan.1

d. Autoimunitas

Terdapat perubahan limfosit T pada pasien yang terkena Bells Palsy.1

2.4 Epidemiologi

Bells Palsy merupakan 60-75% dari total penyebab paresis nervus fasialis.

Penyakit ini dapat mengenai semua usia dengan puncak insiden terbanyak berada pada

usia dewasa dan tidak ada perbandingan kejadian yang signifikan antara laki-laki dengan

perempuan. Bells Palsy lebih sering terjadi pada ibu hamil, penderita diabetes mellitus,

imunokompromais, serta penderita infeksi pada saluran nafas atas. 4-14% penderita Bells

Palsy memiliki keluarga yang pernah mengalami riwayat penyakit yang sama.14,15

17
Nervus fasialis kanan dan kiri memiliki peluang yang sama untuk mengalami

paresis, namun kadang paresis saraf fasialis bilateral dapat terjadi dengan prevalensi 0,3-

2%. Resiko terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12 % kasus, dengan 36% pada sisi

yang sama dan 64% pada sisi yang berlawanan. 14

2.5. Patogenesis

Bells Palsy diketahui sebagai kondisi idiopatik, dimana penyebab dari inflamasi

masih belum diketahui secara pasti dan patofisiologi masih belum jelas diketahui.

Beberapa virus berhubungan dengan penyakit ini dan virus herpes simplek (HSV-1) menjadi

etiologi yang memungkinkan penyakit ini terjadi, dimana telah terbukti adanya peningkatan titer

antibody virus ini pada pasien Bells Palsy.15

Hipotesis menyatakan bahwa HSV masuk ke tubuh melalui kontak mukokutaneus

dan virus masuk ke neuron menuju ganglion geniculatum. HSV-1 dan 2, virus varisela

zoster merupakan neurotropik, maksudnya adalah virus ini dapat membuat infeksi laten

pada sistem saraf perifer dan genome virus tersebut akan tetap ada sepanjang hidup

hostnya. Gabungan dari proses demielinisasi yang menyebabkan perubahan pada nervus,

degenerasi dari nervus fasialis, reaktivasi virus dan reaksi inflamasi yang mengakibatkan

kompresi pada nervus fasialis di kanal fallopi, khususnya dibagian segmen labirin yang

paling sempit yang mengakibatkan terjadinya paralisis nervus akut. Beberapa penelitian

juga menyebutkan bahwa variasi anatomi dan struktur anatomi dari tulang temporal yang

berbeda dari biasanya dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya peradangan dan

kompresi saraf.16

Bells palsy dapat juga disebabkan oleh penurunan sirkulasi darah ke nervus

fasialis. Nervus fasialis mendapat pendarahan dari arteri labirintina (proksimal), arteri

18
meningeal media (sentral) dan arteri stilomastoid (distal). Beberapa pendapat mengatakan

bahwa terganggunya salah satu dari pembuluh darah yang memperdarahi nervus fasialis

menyebabkan iskemik primer, iskemik yang disebabkan oleh kompresi nervus fasialis

dikarenakan kekakuan kanal falopi menyebabkan iskemik sekunder sedangkan iskemik

yang disebabkan penebalan sarung fibrosa disebut iskemik tersier.17

2.6 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis Bells Palsy bervariasi tergantung pada lokasi lesi dari perjalanan

nervus fasialis menuju otot. Manifestasi yang dapat ditemukan adalah:

a. Paralisis otot wajah unilateral secara tiba-tiba

b. Alis mata menurun

c. Dahi tidak berkerut

d. Tidak mampu menutup mata

e. Sudut nasolabial tidak tampak

f. Mulut tertarik ke sisi yang sehat

g. Berkurangnya air mata sehingga mata menjadi kering dan perih

h. Berkurangnya sensasi pengecapan di 2/3 depan lidah.2

Onset Bell palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya kurang dari 48 jam.

Gejala yang mendadak ini membuat pasien khawatir atau menakutkan pasien, sering

mereka berpikir terkena stroke atau terdapat tumor dan distorsi wajah akan permanen.

Karena kondisi ini terjadi secara mendadak dan cepat, pasien sering datang langsung ke

IGD.11,

19
2.7 Diagnosis

Diagnosis bells palsy adalah diagnosis dengan cara mengeklusi kelumpuhan

nervus fasialis lain yang diketahui penyebabnya7,8.

Pada penderita dengan keluhan utama berupa wajah mencong, untuk

menyingkirkan diagnosis banding lainnya kita harus melakukan pemeriksaan otoskopi,

pemeriksaan hidung dan tenggorok dan pemeriksaan fisik di daerah wajah untuk

menemukan adanya vesikel pada daerah sekitar telinga.1 Selanjutnya kita melakukan

pemeriksaan derajat kerusakan saraf fasialis dengan menggunakan system House-

Brackmaan dan metode Freyss.

1. Sistem House-Brackmann

Derajat kelumpuhan nervus fasialis dapat ditentukan dengan sistem

House-Brackmann.9

Tabel 2.1 Kriteria House Brackmann9


Tingkat Deskripsi Karakteristik
I Normal Fungsi normal pada semua area
II Disfungsi Kelemahan ringan yang bisa dilihat dengan
ringan inspeksi secara dekat, bisa terdapat
sinkinesis
III Disfungsi Perbedaan antara dua sisi nyata, tidak berat,
sedang sinkinesis, kontraktur, susah menutup mata
dengan sempurna
IV Disfungsi Kelemahan pada sisi yang sakit tampak
sedang-berat nyata, tonus dan kesimetrisan normal saat
isitirahat, mata tidak bisa menutup secara
sempurna
V Disfungsi berat Gerakan sangat terbatas dan hanya sedikit
yang jelas, asimetris saat istirahat
VI Paralisis total Tidak ada pergerakan

2. Metode Freyss

20
Pada metode freyss penilaian fungsi saraf fasialis perifer dinilai

berdasarkan fungsi saraf motorik wajah, tonus otot, sinkinesis, fungsi

motorik pada gerakan emosi dan ada atau tidaknya hemispasme.18

a. Pemeriksaan fungsi saraf motorik19

Pemeriksaan fungsi saraf motorik dilakukan pada sepuluh otot utama

wajah yaitu:

m. Frontalis, diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas

m. Sourcilier, diperiksa dengan cara mengerutkan alis

m. Piramidalis, diperiksa dengan cara mengerutkan hidung ke atas

m. orbikularis okuli, diperiksa dengan cara memejamkan mata

kuat-kuat

m. zigomatikus, diperiksa dengan cara tertawa lebar

m. relever komunis, diperiksa dengan cara memocongkan mulut ke

depan sambil memperlihatkan gigi

m. businator, diperiksa dengan cara menggembungkan ke dua pipi

m. orbikularis oris, diperiksa dengan cara bersiul

m. triangularis, diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir

kebawah

m. mentalis, diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang

tertutup rapat ke depan

21
Gambar 2.5 Gerakan otot-otot wajah

Gerakan pada sepuluh otot-otot tersebut dibandingkan antara kiri dan

kanan dan dinilai. Gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka

tiga. Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu dan di antaranya diberi

nilai dua. Tidak ada gerakan diberi nilai nol.

b. Tonus19

Terdapat lima tingkatan otot pada wajah yang dinilai dalam pemeriksaan

tonus. Tiap tingkatan bernilai tiga dan apabila ada tonus otot nilai

dikurangi satu sampai dua tergantung gradasinya.

c. Sinkinesis19

Cara mengetahui adanya sinkinesis adalah:

Penderita diminta untuk memejamkan mata kemudian perhatikan

sudut bibir bagian atas. Pergerakan dinilai dengan angka dua.

Apabila pergerakan pada sisi yang sakit tidak sama dengan sisi

22
yang normal, maka nilai dikurangi satu sampai dua tergantung

gradasinya.

Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil melihatkan gigi

kemudian perhatikan sudut bawah mata. Cara penilaian sama

dengan poin pertama.

Perhatikan otot-otot di sekitar mulut saat berbicara. Jika gerakan

normal beri nilai satu, jika tidak beri nilai nol.

d. Hemispasme19

Apabila terdapat hemispasme, maka nilai dikurangi satu.

Fungsi motorik otot-otot tiap sisi wajah memiliki nilai normal 50 (100%).

Untuk mendapatkan gradasi kelumpuhan nervus fasialis dilakukan dengan cara

nilai total dikali dua dan dinyatakan dalam persen.

Pada pemeriksaan topografi saraf fasialis dapat dilakukan pemeriksaan

gustometri dan schermer test

1. Gustometri19

Tes gustometri dilakukan untuk menilai fungsi saraf korda timpani dengan

menilai pengecapan pada lidah 2/3 anterior dengan rasa manis, asam dan asin.

Perbandingan ambang rasa antara kanan dan kiri sebesar 50% adalah keadaan

yang patologis.

2. Schermer test14

Tes schirmer dilakukan untuk mengevaluasi fungsi saraf petrosus superior

mayor dengan menilai fungsi lakrimasi pada mata kanan dan kiri. Pemeriksaan

dilakukan dengan menggunakan kertas hisap atau kertas lakmus pada dasar

23
konjungtiva. Perbedaan sama atau lebih dari 50% antara kiri dan kanan adalah

patologis.

Gambar 2.6 Tes Schirmer

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan reflek

stapedius. Pemeriksaan refleks stapedius dilakukan dengan menggunakan

elektroakustik impedans meter yang bertujuan untuk mengetahui fungsi nervus

stapedius.

Pemeriksaan Penunjang16

Bells palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang

perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf

kranialis. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat

dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem

saraf pusat (SSP). Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai

neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi

sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan

24
penyengatan kontras saraf fasialis. Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy

sudah dikenal sejak tahun 1970 sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu

sebagai acuan pada penentuan kandidat tindakan dekompresi intrakanikular.

Pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik

dibandingkan elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian

tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictivevalue (PPV) 100% dan

negative-predictive-value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan

berupa penurunan amplitudo Compound Motor Action Potential (CMAP),

pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex didapatkan

pemanjangan gelombang R1 ipsilateral. Pemeriksaan blink reflex ini sangat

bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima,

meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2

hanya ditemukan pada 15,6% kasus.

2.8 Diagnosis Banding20

Beberapa diagnosis banding bells palsy adalah lesi yang mendesak ruang yang

memiliki onset dan durasi paralisis wajah disertai nyeri yang juga menetap, penebalan

saraf wajah minimal pada sindrom Guillan-Barre, dan kelemahan wajah sentral unilateral

yang disebabkan karena adanya lesi pada korteks kontralateral. Lyme neuroborreliosis

juga harus dicurigai apabila pasien memiliki riwayat digigit kutu dan adanya ruam serta

tinggal didaerah endemik penyakit Lyme. Apabila kelemahan wajah menjadi progresif

dalam waktu beberapa minggu, maka tumor sebagai penyebab lumpuhnya nervus fasialis

juga harus dicurigai.

25
Tabel 2.2 Diagnosis Banding Bells Palsy20
Nama Penyakit Penyebab Manifestasi Klinis
Riwayat digigit kutu, gejala
Lyme Borrelia Burgdorfi sistemik (+), keluhan
neurologi lainnya
Manifestasi sistemik lainnya,
termasuk granuloma pulmoner
Sarcoidosis Autoimune dan adenopati, keluhan
neurologis lainnya seperti
paralisis dapat bilateral
Sindrom Ramsay Keluhan utama nyeri, terdapat
Virus Herpes Zoster
Hunt vesikel di daerah dekat telinga
Riwayat pneumonia
Infeksi Mikoplasma Mycoplasma Pneumoniae sebelumnya, merah seluruh
badan, demam
Nyeri telinga, onset bertahap,
Otitis Media Bakteri pathogen penurunan pendengaran,
demam
Lesi neoplastik Tumor parotis, kolesteatom Onset bertahap, teraba massa

2.9 Tatalaksana

Peran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa identifikasi

dini dan merujuk ke spesialis saraf apabila terdapat kelainan lain pada pemeriksaan

neurologis yang mengarah pada penyakit yang menjadi diagnosis banding Bells Palsy.

Terapi yang diberikan dokter umum dapat berupa kombinasi non- farmakologis dan

farmakologis seperti yang dijelaskan dibawah ini.8

1. Terapi non farmakologis

Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya

dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan, pelumas (saat tidur), kacamata,

plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian

lateral kelopak mata atas dan bawah. Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan

secara halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar.

26
Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukandalam empat bulan setelah

onset terbukti memperbaiki fungs pasien dengan paralisis fasialis. Namun, diketahui

pula bahwa 95% pasien sembuh dengan pengobatan prednison dan valasiklovir tanpa

terapi fisik. Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase,

meditasirelaksasi, dan program pelatihan di rumah.

2. Terapi farmakologi

a. Steroid

Prednisolon 1 mg/ kgbb perhari (maksimal 70 mg) yang dimulai dalam 72 jam dari

onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan selama 6 hari,

diikuti 4 hari tappering off.8

b. Antiviral

Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari melalui

oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa

diberikan dengan dosis oral 2 000-4 000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali

pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam

darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1 000-3 000 mg per hari secara

oral dibagi 2-3 kali selama lima hari.8

c. Terapi kombinasi

Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat antivirus

digunakan dalam penanganan Bells palsy. Namun, beberapa percobaan kecil

menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan

kortikosteroid. Penelitian retrospektif Hato et al mengindikasikan bahwa hasil yang

lebih baik didapatkan pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/valasiklovir dan

27
prednisolon dibandingkan yang hanya diterapi dengan prednisolon. Axelsson et al

juga menemukan bahwa terapi dengan valasiklovir dan prednison memiliki hasil

yang lebih baik.8

2.10 Komplikasi

Sekuel dari Bells Palsy bisa terjadi baik dalam waktu singkat ataupun panjang

yaitu berupa ketidakmampuan menutup mata, mata kering, ulkus kornea, dan kehilangan

penglihatan. Hal ini perlu dicegah dengan cara perawatan mata yang baik.

Apabila penderita bells palsy tidak sembuh secara total dalam waktu yang lama dan

cacat pada wajah, hal ini akan memberikan efek yang buruk terhadap psikologi dan

kualitas hidup seseorang. Berkurangnya kemampuan pergerakan pada wajah dan

asimetris, pasien dengan paralisis wajah bisa memiliki hubungan interpersonal yang buru,

distres sosial, depresi, dan pengasingan sosial21.

Deformitas pada Bells palsy dapat berupa : 22

Regenerasi motorik inkomplit

Ini merupakan deformitas terbesar dari kelumpuhan saraf fasialis.

Dapat terjadi akibat penekanan saraf motorik yang mensarafi otot-otot

ekspresi wajah. Regenerasi saraf yang tid ak maksimal dapat

menyebabkan kelumpuhan semua atau beberapa otot wajah. Manifestasi

dari deformitas ini dapat berupa inkompetensi oral, epifora dan hidung

tersumbat.

Regenerasi sensorik inkomplit

Manifestasinya dapat berupa disgeusia, ageusia atau disesthesia.

Regenerasi Aberrant

28
Selama regenerasi dan perbaikan saraf fasialis, ada beberapa serabut saraf

yang tidak menyambung pada jalurnya tapi menyambung dengan serabut saraf

yang ada didekatnya. Regenerasi aberrant ini dapat menyebabkan terjadinya

gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter (sinkinesis).

2.11. Prognosis

Umumnya Bells Palsy memiliki prognosis yang baik, 80-90% pasien dengan

Bells Palsy sembuh total dalam 6 bulan.8 Namun prognosis Bells Palsy juga

dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah usia. Dengan bertambahnya usia,

pemulihan sepenuhnya dari paralisis wajah mulai menurun, pasien dengan usia diatas 60

tahun memiliki peluang 40% untuk sembuh total. Hal ini mungkin disebabkan sejumlah

faktor, termasuk hilangnya serat myelin selama proses penuaan. Selain itu, derajat

paralisis, penurunan sensitivitas pada lidah, berkurangnya produksi saliva, rasa sakit di

daerah auricular posterior, dan penurunan lakrimasi juga dianggap berpengaruh terhadap

prognosis Bells Palsy.8

Waktu untuk memulai pengobatan sangat berpengaruh dalam penyembuhan

penyakit. Pasien yang memulai pemulihan di minggu pertama dan kedua meiliki

prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan pasien yang memulai pemulihan pada

minggu ketiga setelah onset. Jika perbaikan klinis dimulai dalam 1 minggu, terdapat 88%

kemungkinan sembuh sempurna. Jika perbaikan klinis dimulai dalam 3 minggu, terdapat

61% kemungkinan sembuh sempurna.18

Prognosis dapat menjadi buruk bila terdapat rekurensi, riwayat diabetes, adanya

nyeri hebat pada post-aurikular, gangguan pengecapan, reflex stapedius, wanita hamil,

dan bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat).8

29
BAB III

KESIMPULAN

1. Bells palsy adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron akibat paralisis nervus

fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar

sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya.

2. Insiden Bells palsy dilaporkan sekitar 60-75% dari semua kelumpuhan saraf fasialis

perifer dengan prevalensi tertinggi berada pada usia dewasa. Laki-laki dan perempuan

memiliki peluang yang sama untuk terkena Bells Palsy.

3. Penyebab pasti dari Bells Palsy belum diketahui. Beberapa teori menyebutkan

disebabkan oleh infeksi virus, autoimun, iskemik vaskular, dan herediter.

4. Manifestasi Bells Palsy berupa paralisis otot wajah unilateral secara tiba-tiba, alis mata

menurun, dahi tidak berkerut, tidak mampu menutup mata, sudut nasolabial tidak tampak,

mulut tertarik ke sisi yang sehat, berkurangnya air mata sehingga mata menjadi kering

dan perih, berkurangnya sensasi pengecapan di 2/3 depan lidah.

5. Diagnosis banding bells palsy meliputi penyakit kongenital, infeksi, trauma, neoplastik,

vascular, dan neoplastik pada nervus fasialis maupun pada jaringan disekitarnya. Hal ini

dapat disingkirkan bila penyebab paresis nervus fasialis sama sekali tidak diketahui.

6. Tatalaksana pada bells palsy dapat dilakukan dengan terapi farmakologi (kortikosteroid

dan antivirus) dan non-farmakologi untuk mempercepat penyembuhan, mencegah

kelumpuhan parsial menjadi kelumpuhan komplit, meningkatkan angka penyembuhan

komplit, menurunkan insiden sinkinesis dan kontraktur, serta mencegah kelainan pada

mata.

30
7. Bells palsy bisa menyebabkan komplikasi berupa ketidakmampuan menutup mata, mata

kering, ulkus kornea, dan kehilangan penglihatan serta efek psikologis dan kualitas hidup

seseorang.

8. Pada umumnya Bells Palsy dapat sembuh total tanpa gejala sisa, namun beberapa faktor

seperti usia, lamanya memulai proses penyembuhan, riwayat rekurensi, riwayat diabetes,

dan adanya kehamilan dapat mempengaruhi prognosa.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Munilson J, Edward Y, Triana W. Diagnosis dan Penatalaksanaan Bells Palsy. Bagian


Telinga dan Tenggorok Bedah Kepala Leher. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
2011: 1-6.
2. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Fasialis Perifer. In :
Soepardi EA, Iskandar N editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher. 7th ed. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI, 2012.
3. Almeida dkk. 2014. Guidelines: Management of Bell Palsy Clinical Practice Guidelines.
CMAJ: Canada. ed 12. Hal 917-22.
4. Bansal M. Disease of Ear Nose and Throat Head and Neck Surgery. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publisher Ltd. 2013:255-67.
5. Graaff VD. Human Anatomy. McGraw-Hill. 2001:250-2.
6. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bells Palsy: Diagnosis and Management. University of
Illinois at Chicago College of Medicine, Chicago, Illinois. 2007:1-6.
7. Baugh R, Basura G, Ishi L. Clinical Practice Guidline Summary (Bells Palsy). AAO
HNS, 2013.
8. Lowis H, Gahar MN. Bells Palsy, Diagnosis dan Tatalaksana di Pelayanan Primer. J
Indon Med Assoc Volume 62, 2012.
9. Kanerva M. Peripheral Facial Palsy. Departement Of Otorhinolaryngology University Of
Helsinki. Finlandia, 2008.
10. Finsterer J. Management of Peripheral Facial Nerve Palsy. Eur Arch Otorhinolaryngol.
2008(265):743- 752.
11. Tiemstra DJ, Khatkhate N. Bells Palsy: Diagnosis and Management. American
Academy of Family Physicians. 2007(76):997-1002.
12. John R, Gordon H, Sachin S. Management Of Bells Palsy (Clinical Practice Guidline).
CMAJ, 2014.
13. Soepardi I. Telinga Hidung Tenggorok Kepala leher. Edisi 5. Jakarta: FK UI. 2001;85-87
14. Monnell K. Bells palsy. [online]. 2006. [cited on March 30 2017]. Available from:
URL:www.eMedicine.com
15. Gilden DH. Clinical practice. Bell's palsy. N Engl J Med. 2004;351:132331.
16. Taylor DC. Bell Palsy. Diakses: 30 Maret 2017. Terdapat pada:
www.emedicine.medscape.com/article/1146903-overview.
17. Grewal DS. Atlas of surgery of the facial nerve. 2nd ed. India: Jaypee; 2012.p.30-45.

32
18. Teixeira LJ, Valbuza JS, Prado GF. The Cochrane Collaboration: Physical therapy for
Bells Palsy (idiopathic facial paralysis). Brazil: Department of Neurology Universidade
Federal de Sao Paulo; 2012.
19. Vakharia K, Vakharia V. Bells Palsy. Facial Plast Surg Clin N Am. 2016: 1-10.
20. Royal W, Vargas D. Bells Palsy and Vestibular Neuronitis. Elsevier. 2014:763-770
21. Baugh R, Basura G, Ishii L, Schwartz SR, Drumheller CR, Burkholder R, et al. Clinical
Practice Guideline Summary: Bells Palsy. AAO-HNS BULLETIN.2013.
22. Lo B. Bell Palsy. [Update Feb 24,2010: cited Dec 21,2010].
Available from:http://www.emedicine.medscape.com/article/791311-overview

33

Anda mungkin juga menyukai