Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Traktus urinarius bagian bawah memiliki dua fungsi utama yaitu
sebagai tempat menampung urin dan ekskresi urin. Selama kehamilan dan
setelah kehamilan traktus urinarius mengalami perubahan anatomis maupun
fisiologis. Perubahan fisiologis dan anatomis pada vesika urinaria selama
kehamilan dan setelah kehamilan merupakan salah satu penyebab terjadinya
retensi urin pada beberapa hari post partum. Retensi urin adalah ketidak-
mampuan berkemih secara sempurna (lebih dari 50% kapasitas kandung
kemih) selama 24 jam yang menyebabkan kapasitas maksimal kandung
kemih terlampaui sehingga membutuhkan pertolongan kateter.1 Beberapa
kepustakaan mendefinisikan retensi urin postpartum sebagai tidak adanya
proses berkemih spontan setelah kateter menetap dilepaskan, atau dapat
berkemih spontan tetapi volume residu urin lebih dari 150 ml.2
Retensi urin merupakan salah satu komplikasi yang bisa terjadi pada
kasus obstetri. Retensi urin ini sering terjadi pada periode post partum atau
setelah pembedahan pelvis. Insiden kajadian retensi urin postpartum yang
tercatat berkisar antara 1,7 - 17,9%.2 Sementara itu hasil penelitian di RSCM
diperoleh kejadian retensi urin pada ibu postpartum berjumlah 14,8% dan
meningkat mencapai 38% pada postpartum dengan ekstraksi forsep.
Penelitian lain oleh Andolf et al menunjukkan insidensi retensi urin post partum
sebanyak 1,5%, dan hasil penelitian dari Kavin G et al sebesar 0,7%. 3,4 Pada
penelitian secara restropektif di bagian Ginekologi FK Unlam/RSUD Ulin
Banjarmasin selama tahun 2002-2003 didapatkan insiden retensi postpartum
sebesar 0,38%, dimana ada 11 kasus retensio urin postpartum dari 2.850
persalinan yang dirawat (persalinan melalui sectio cesarea sebanyak 737
(25,85%), spontan sebanyak 1.891 (66,35%) dan vakum ekstraksi sebanyak
222 (7,78%)). Usia penderita terbanyak adalah kelompok usia 26-30 tahun,
yaitu 4 kasus (36,3%) dan paritas terbanyak adalah paritas 1, yaitu 6 kasus

1
(54,5%). Berdasarkan tindakan persalinan adalah spontan pervaginam 8
kasus (81,8%), vakum ekstraksi 2 kasus (18,2%) dan sectio cesarea 1 kasus
(1%).2
Dalam proses persalinan sewaktu bayi melewati jalan lahir, trauma
tidak langsung dapat terjadi pada uretra, kandung kemih, otot dasar panggul,
dan saraf. Dinding kandung kemih dapat mengalami hiperemis dan edema,
seringkali disertai daerah kecil hemoragi. Rasa nyeri pada panggul yang
timbul akibat dorongan saat melahirkan, serta akibat laserasi vagina atau
episiotomi dapat mempengaruhi refleks berkemih sehingga menyebabkan
distensi kandung kemih.5
Pada saat beberapa hari sampai beberapa minggu post partum, vesika
urinaria mengalami perubahan menjadi bertambah kapasitasnya, hipotonik,
dan relatif kurang sensitif serta tampak edema dan hiperemis pada
mukosanya yang dapat menyebabkan obstruksi. Perubahan ini dapat
menyebabkan vesika urinaria overdistensi sehingga menyebabkan retensi
urin. Selain itu, penyebab retensi urine postpartum lainnya yaitu oleh trauma
intrapartum, refleks kejang sfingter uretra, hipotonia selama hamil dan nifas,
ibu posisi tidur terlentang, peradangan, dan psikogenik. Faktor-faktor
predisposisi lainnya dari retensi urine postpartum meliputi sectio cesarea,
ekstraksi vakum, gangguan sementara kontrol saraf kandung kemih, dan
trauma traktus genital.2
Diagnosis retensi urin dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan
klinis, jumah urin yang dikeluarkan dalam 24 jam, pengukuran voume residu
urin, pemeriksaan urinalisis dan kultur urin, pemeriksaan neurologi, dan
pemeriksaan rongga pelvis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya massa
sekitar daerah pelvik dengan perkusi yang pekak. Biasanya vesica urinaria
dapat teraba transabdominal jika isinya berkisar antara 150-300 ml dan
dengan pemeriksaan bimanual dapat meraba vesica urinaria bila terisi lebih
dari 200 ml.4

2
Urin yang tertahan lama di dalam vesika urinaria harus secepatnya
dikeluarkan karena jika dibiarkan, akan menimbulkan beberapa masalah
antara lain: mudah terjadi infeksi saluran kemih, sepsis, kontraksi otot buli-
bui menjadi lemah dan timbul hidroureter dan hidronefrosis yang selanjutnya
dapat menimbulkan gagal ginjal.6 Untuk mengeluarkan urin, penanganan
pertama kali diupayakan dengan cara non invasif seperti upaya bladder
training dengan menggunakan hidroterapi Sitz bath agar fungsi eliminasi
berkemih dapat terjadi secara spontan. Apabila upaya ini tidak berhasil, maka
diperlukan penangananan bladder training dengan kateterisasi dengan
memasang kateter foley dalam kandung kemih selama 24 - 48 jam untuk
menjaga kandung kemih agar tetap kosong dan memungkinkan kandung
kemih menemukan tonus otot otot normalnya kembali agar tercapai proses
berkemih spontan.7
Oleh karena cukup banyak kasus retensi urin post partum yang
ditemukan di praktek sehari-hari dan komplikasi retensi urin yang
menyebabkan gagal ginjal, maka perlu diketahui cara penanganan yang tepat
pada retensi urin postpartum sehingga pada referat ini penulis membahas ini.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Miksturisi


Miksturisi adalah pengosongan vesika urinaria setelah terisi dengan
urin melalui uretra. Mikturisi melibatkan dua tahap utama: Pertama, vesika
urinaria terisi progresif hingga tegangan pada dindingnya meningkat
melampaui nilai ambang batas, keadaan ini akan mencetuskan tahap kedua,
yaitu adanya refleks saraf yang akan mengosongkan vesika urinaria atau, jika
gagal, setidaknya akan menyebabkan keinginan berkemih yang disadari.
Organ yang terlibat dalam proses miksi adalah vesika urinaria dan uretra.8
Vesika urinaria (bladder) disebut juga kandung kemih merupakan
suatu ruang otot polos yang terdiri atas 2 bagian, yaitu (1) bagian korpus,
yang merupakan bagian utama kandung kemih dan tempat pengumpalan urin,
serta (2) bagian leher yang berhubungan dengan uretra. Bagian leher kandung
kemih disebut juga uretra posterior karena berhubungan dengan uretra.
Kandung kemih terdiri dari 4 lapisan, yaitu lapisan serosa, lapisan otot
detrusor, lapisan submokosa, dan lapisan mukosa. Mukosa kandung kemih
dilapisi oleh epitel transisional yang mengandung ujung-ujung saraf sensoris.
Di bawahnya terdapat lapisan sub mukosa yang sebagian besar tersusun dari
jaringan ikat dan jaringan elastin. Otot polos kandung kemih adalah otot
detrusor yang terdiri dari lapisan otot longitudinal pada lapisan luar dan
dalam sedangkan otot sirkuler pada bagian tengahnya. Ketika otot detrusor
berelaksasi pengisian kandung kemih terjadi, dan bila otot kandung kemih
berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih terjadi.
Kontraksi kandung kemih disebabkan oleh aktivitas parasimpatis yang dipicu
oleh asetilkolin pada reseptor muskarinik. Otot detrusor melanjutkan
perjalanannya ke arah uretra membentuk suatu "pipa" yang disebut bladder
neck. Panjang leher kandung kemih adalah 2-3 cm, dan din
dingnya tersusun atas otot detrusor yang membentuk jalinan dengan sejumlah

4
besar jaringan elastik. Otot daerah ini disebut sfingter interna yang
menyebabkan uretra tertutup, sebagai akibat kerja aktivitas saraf simpatis
yang dipicu oleh noradrenalin.8

Gambar 1. Vesika Urinaria

Uretra merupakan organ yang berfungsi untuk menyalurkan urin


keluar dari tubuh. Fungsi uretra pada pria dan wanita berbeda. Pada wanita,
uretra berfungsi hanya untuk menyalurkan urin keluar dari tubuh dengan
panjang 4 cm. Sedangkan pada pria, uretra untuk menyalurkan urin keluar
dari tubuh dan sebagai organ reproduksi dengan penjang 18-20 cm.
Sementara itu, sfingter uretra dibentuk oleh serat-serat otot lurik. Peranannya
adalah untuk menahan upaya berkemih sementara waktu.9
Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan
tanpa kendali. Sfingter uretra eksterna dan otot dasar panggul berada di
bawah kontrol volunter dan disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot
detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol
sistem saraf otonom, yang mungkin di modulasi oleh korteks otak. Ketika

5
kandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsangan saraf diteruskan
melalui saraf pelvis dan medulla spinalis ke pusat saraf kortikal da
subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum)
menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa
menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Pengisian
kandung kemih ini akan menyebabkan peningkatan kontraksi mikturisi secara
bertahap sesuai banyaknya urin yang tertampung. Kontraksi ini dihasilkan
dari refleks regangan yang dipicu oleh reseptor regangan sensorik di dalam
dinding kandung kemih. Ketika pengisian kandung kemih berlanjut, rasa
pengembungan kandung kemih disadari dan pusat kortikal (pada lobus
frontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat
kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi
kemampuan menunda pengeluaran urin.9
Ketika terjadi desakan berkemih, rangsangan saraf dari korteks
disalurkan melalui medulla spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor.aksi
kolinergik dari saraf pelvis kemudian menyebabkan otot detrusor
berkontraksi sehingga terjadi pengosongan kandung kemih dan otot sfingter
interna berelaksasi. Akan tetapi BAK belum terjadi karena sfingter eksterna
masih tertutup. Bila suasana belum memungkinkan maka otot sfingter
eksterna masih berkontraksi atas perintah SSP secara sadar. Pada suasana
yang tepat, maka otot sfingter eksterna akan berelaksasi sehingga proses
miksturisi terjadi.9

Gambar 2. Inervasi vesika urinaria

6
2.2. Retensio Urine
2.2.1. Definisi
Retensi urin adalah ketidak-mampuan seseorang untuk
mengeluarkan urine yang terkumpul di dalam buli-buli secara
sempurna sehingga kapasitas maksimal buli-buli terlampaui.6 Definisi
lainnya, retensi urine adalah ketidak-mampuan mengeluarkan urin
lebih dari 25-50% kapasitas kandung kemih berkemih selama 24 jam
yang menyebabkan distensi kandung kemih dan membutuhkan
pertolongan kateter.1

2.2.2. Etiologi
Proses miksi terjadi karena adanya koordinasi harmonis antara
otot destrusor buli-buli sebagai penampung dan pompa urin dengan
uretra yang bertindak sebagai pipa untuk menyalurkan urine. Adanya
penyumbatan pada uretra, kontraksi buli-buli yang tidak adekuat, atau
tidak adanya koordinasi antara buli-buli dan uretra dapat menimbulkan
terjadinya retensi urine. Beberapa penyebab retensi urine, yaitu10
a. Gangguan mekanik atau obstruksi
1. Vesika urinaria, berupa batu, obstruksi leher vesika urinaria,
karsinoma, kelemahan otot detrusor, atoni pada pasien DM atau
penyakit neurologis.
2. Uretra, berupa batu, striktur, uretritis, ruptur, tumor, fimosis
3. Prostat, berupa BPH, prostatitis, ca prostat.
4. Pada wanita, berupa massa di pelvis, prolaps pelvic, stenosis
uretra, vulvovaginitis.
b. Gangguan fungsional dan neurologi
1. Obat-obatan, berupa obat anastesi, obat antikolinergik (trisiklik
antidepresan, atropine), obat simpatomimetik (dekongeestan
oral)
2. Kelainan neurogenik seperti spinal cord injury, diabetes
neuropati, lesi cauda equine, multisklerosis, lesi saraf perifer.

7
Meurut Rochani, penyebab retensi urin dapat dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu:11
a. Supra vesika
Penyebab supra vesikal adalah hal-hal yang disebabkan karena
persarafan kandung kemih misalnya trauma medulla spinalis, atau
kerusakan syaraf-syaraf simpatis dan parasimpatis akibat trauma
operasi atau neuropati DM. Obat-obatan antikolinergik, relaksan
otot polos dapat menyebabkan retensi urin.
b. Vesika
Penyebab vesikal adalah kelainan-kelainan kandung kemih yang
diakibatkan oleh obstruksi lama atau infeksi kronis yang
menyebabkan fibrosis buli-buli sehingga kontraksi buli-buli
melemah.
c. Intra vesikal
Penyebab intra vesikal adalah penyebab mekanik seperti batu
uretra, striktur uretra, prostat hipertropi, tumor.

2.2.3. Patofisologi
Pada retensi urin, penderita tidak dapat miksi, buli-buli penuh
disertai rasa sakit yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat ingin
miksi yang hebat disertai mengejan. Retensi urin dapat terjadi akibat
obstruksi, infeksi, farmakologi, neurologi, dan faktor trauma.
Obstruksi pada saluran kemih bawah dapat terjadi akibat faktor
intrinsik, atau faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik berasal dari sistem
saluran kemih dan bagian yang mengelilinginya seperti pembesaran
prostat jinak, tumor buli-buli, striktur uretra, phimosis, paraphimosis,
dan lainnya. Sedangkan faktor ekstrinsik, sumbatan berasal dari sistem
organ lain, contohnya jika terdapat massa di saluran cerna yang
menekan leher buli-buli, sehingga membuat retensi urine. Dari semua
penyebab, yang terbanyak adalah akibat pembesaran prostat jinak.

8
Penyebab kedua akibat infeksi yang menghasilkan peradangan,
kemudian terjadilah edema yang menutup lumen saluran uretra. Reaksi
radang paling sering terjadi adalah prostatitis akut, yaitu peradangan
pada kelenjar prostat dan menimbulkan pembengkakan pada kelenjar
tersebut. Penyebab lainnya adalah uretritis, infeksi herpes genitalia,
vulvovaginitis, dan lain-lain.6
Medikasi yang menggunakan bahan anti kolinergik, seperti
trisiklik antidepresan, dapat membuat retensi urine dengan cara
menurunkan kontraksi otot detrusor pada buli-buli. Obat-obat
simpatomimetik, seperti dekongestan oral, juga dapat menyebabkan
retensi urine dengan meningkatkan tonus alpha-adrenergik pada
prostat dan leher buli-buli. Dalam studi terbaru obat anti radang non
steroid ternyata berperan dalam pengurangan kontraksi otot detrusor
lewat inhibisi mediator prostaglandin. Secara neurologi retensi urine
dapat terjadi karena adanya lesi pada saraf perifer, otak, atau sumsum
tulang belakang. Lesi ini bisa menyebabkan kelemahan otot detrusor
dan inkoordinasi otot detrusor dengan sfingter pada uretra. Penyebab
terakhir adalah akibat trauma atau komplikasi pasca bedah. Trauma
langsung yang paling sering adalah straddle injury, yaitu cedera
dengan kaki mengangkang, biasanya pada anak-anak yang naik sepeda
dan kakinya terpeleset dari pedalnya, sehingga jatuh dengan uretra
pada bingkai sepeda. Selain itu, tidak jarang juga terjadi cedera pasca
bedah akibat kateterisasi atau instrumentasi.6

2.2.4. Gambaran Klinis


Pasien mengeluh kencingnya tertahan atau kencing keluar
sedikit-sedikit. Keaadaan ini harus dibedakan dengan inkontinensia
paradoksa, yaitu keluarnya urine secara menetes. Tanpa disadari dan
tidak mampu ditahan oleh pasien. Selain itu tampak benjolan kistus
pada perut bagian bawah dengan disertai nyeri yang hebat.6

9
2.2.5. Penatalaksanaan
Urin yang tertahan lama di dalam buli-bli harus secepatnya
dikeluarkan karena jika dibiarkan, akan menimbulkan beberapa
masalah antara lin: mudah terjadi infeksi saluran kemih, kontraksi otot
buli-bui menjadi lemah dan timbul hidroureter dan hidronefrosis yang
selanjutnya dapat menimbulkan gagal ginjal. Urin dikeluarkan dengan
cara kateterisasi, pungsi vesika urinaria atau sistomi. Tindakan
penyakit primer dikerjakan setelah keadaan pasien stabil.6

2.3. Postpartum
2.3.1. Definisi Postpartum
Post partum adalah suatu periode masa atau waktu sejak bayi
dilahirkan dan plasenta keluar lepas dari rahim, sampai enam minggu
berikutnya, disertai dengan pulihnya kembali organ-organ yang
berkaitan dengan kandungan, yang mengalami perubahan seperti
perlukaan dan lain sebagainya berkaitan saat melahirkan. Post partum
merupakan minggu pertama setelah kelahiran lamanya dari 1 jam
setelah melahirkan hingga 6 minggu.12

2.3.2. Perubahan anatomis dan fisiologis pada massa postpartum


a. Vagina dan ostium vagina
Pada awal masa nifas, vagina dan ostiumnya membentuk
saluran yang berdinding halus dan lebar yang ukurannya berkurang
secara perlahan namun jarang kembali ke ukuran saat nulipara.
Rugae mulai muncul kembali pada minggu ke tiga namun tidak
semenonjol sebelumnya. Himen tinggal berupa potongan-potongan
kecil sisa jaringan, yang membentuk jaringan parut.Epitel vagina
mulai berproliferasi pada minggu ke-4 samoai ke-6, biasanya
bersamaan kembalinya produksi estrogen ovarium. Laserasi atau
peregangan perineum selama pelahiran dapat menyebabkan
relaksasi ostium vagina. Beberapa kerusakan di dasar panggul

10
merupakan faktor predisposisi prolaps uteri, inkontinensia uri dan
alvi.12
b. Uterus
Involusi uterus
Setelah plasenta lahir otot-otot uterus mengadakan kontraksi
sehingga uterus menjadi keras. Ukuran uterus mengecil kembali
(setelah 2 hari pasca persalinan, setinggi sekitar umbilikus, setelah
2 minggu masuk panggul, setelah 4 minggu kembali pada ukuran
sebelum hamil). Tinggi fundus uteri berturut-turut sebagai berikut:
1. Segera setelah plasenta lahir, fundus uteri setinggi pertengahan
antara simfisis pubis dan umbilicus atau sedikit lebih tinggi.
Selama 2 hari berikutnya besar uterus kira-kira sama.
2. Setelah 2 hari uterus mengecil sehingga dalam 2 minggu uterus
tidak teraba diatas simfisis pubis.
3. Setelah 5-6 minggu kemudian uterus menjadi sebesar uterus
waktu tidak hamil.13
Involusi uteri terjadi karena sel-sel menjadi kecil, sitoplasma
yang berlebihan dibuang dengan proses autolysis. Pelepasan
plasenta dan amnikhorion terjadi pada zona spongiosa sedangkan
zona basalis masih terdapat pada uterus. Dalam 2-3 hari setelah
persalinan desidua yang masih ada mengalami diferensiasi menjadi
2 lapisan yaitu lapisan atas yang mengalammi nekrosis dan
dikeluarkan bersamaaan lokiaa, lapisan bawah yang berhubungan
dengan miometrium menghasilkan endometrium baru. 12

11
Tinggi fundus uteri menurut massa involusi

Tabel 1. Tinggi fundus uteri dan berat uterus menurut massa involusi

Gambar 3. Involusi uterus

Segmen servik dan bagian bawah uterus


Selama persalinan, batas serviks bagian luar yang
berhubungan dengan ostium externum biasanya mengalami laserasi
terutama dilateral. Pembukaan serviks berkontraksi secara perlahan
dan selama beberapa hari setelah persalinan masih sebesar dua jari.
Di akhir minggu pertama, pembukaan ini menyempit, serviks
menebal dan kanalis endoservikal kembali terbentuk. Ostium
eksternum tidak dapat kembali sempurna ke keadaan sebelum
hamil. Bagian tersebut tetap agak lebar dan secara khas cekungan
di kedua sisi pada kedua sisi pada tempat laserasi menjadi

12
permanen. Perubahan-perubahan ini merupakan karakteristik
serviks para. 12

Gambar 4. Serviks pada postpartus

Involusio Tempat Plasenta


Pada pemulaan nifas, bekas plasenta mengandung banyak
pembuluh darah besar yang tersumbat oleh trombus. Biasanya luka
yang demikian, sembuh dengan menjadi parut. Hal ini disebabkan
karena dilepaskan dari dasar dengan pertumbuhan endometrium
baru di bawah pemukaan luka. Rasa sakit yang disebut after pains
(meriang atau mules-mules) disebabkan kontraksi rahim biasanya
berlangsung 3-4 hari pasca persalinan. 12

Lokia
Pada awal masa nifas, peluruhan jaringan desidua
menyebabkan timbulnya lokia dalam jumlah yangberagam. Lokia
teridiri dari eritrosit, potongan jaringan desidua, sel epitel dan
bakteri. Segera setelah persalinan bekas implantasi plasenta berupa
luka kasar dan menonjol ke dalam cavum uteri. Penonjolan
tersebut diameternya kira-kira 7,5 cm. Sesudah 2 minggu
diameternya berkurang menjadi 3,5 cm. Pada minggu keenam
mengecil lagi sampai 2,4 cm, dan akhirnya akan pulih. Di samping
itu, di cavum uteri keluar cairan sekret di sebut lokia. Ada berapa
jenis lokia yakni: lokia rubra/kruenta (merah): merupakan cairan

13
bercampur darah dan sisa-sisa penebalan dinding rahim (desidua)
dan sisa-sisa penanaman plasenta (selaput ketuban), berbau amis.
Lokia rubra berwarna kemerah-merahan dan keluar sampai hari ke-
3 atau ke-4, Lokia sanguinoleta: warnanya merah kuning berisi
darah dan lendir. Ini terjadi pada hari ke 3-7 pasca persalinan, lokia
serosa: berwarana kuning dan cairan ini tidak berdarah lagi pada
hari 7-14 pasca persalinan, lokia alba: cairan putih yang terjadi
pada hari setelah 2 minggu, lokia parulenta: Ini karena terjadi
infeksi, keluar cairan seperti nanah berbau busuk, lokiaotosis: lokia
tidak lancar keluarnya.13
c. Perubahan pada Sistem Pencernaan
Sering terjadi konstipasi pada ibu setelah melahirkan.Hal ini
umumnya karena makan padat dan kurangnya berserat selama
persalinan. Seorang wanita dapat merasa lapar dan siap menyantap
makanannya dua jam setelah persalinan. Kalsium sangat penting
untuk gigi pada kehamilan dan masa nifas, dimana pada masa ini
terjadi penurunan konsentrasi ion kalsium karena meningkatnya
kebutuhan kalsium pada ibu, terutama pada bayi yang
dikandungnya untuk proses pertumbuhan juga pada ibu dalam
masa laktasi. 12
d. Perubahan Perkemihan
Saluran kencing kembali normal dalam waktu 2-8 minggu,
tergantung pada (1) Keadaan/status sebelum persalinan (2)
lamanya partus kala II dilalui (3) besarnya tekanan kepala yang
menekan pada saat persalinan. Disamping itu, dari hasil
pemeriksaan sistokopik segera pascapartum akan tampak vesika
urinaria mengalami edema dan hipremia diding kandung kemih,
dan sering dengan exstravasasi darah (perdarahan) submukoasa.
Edema pada trigonum kadang-kadang menyebabkan obstruksi
uretra sehingga terjadi retensi urin. 12

14
Pada masa nifas, vesika urinaria mengalami peningkatan
kapasitas dab relatif kurang sensitif terhadap tekanan cairan
itravesikal sehingga vesika urinaria overdistensi, pengosongan
terjadi tidak sempurna dan setelah kencing masih terdapat residu
urin yang berlebihan. Infeksi saluran kemih harus diwaspadai
karena adanya reisdu urin dan bakteriuria didalam vesika urinaria
yang mengalami trauma, ditambah dengan sistem saluran yang
berdilatasi sehingga akan memudahkan terjadinya infeksi pada
traktus urinarius. Dilatasi ureter dan pelvis akan menjadi normal
kembali dalam waktu kira-kira 8 minggu. 12
e. Perubahan dalam Sistem Endokrin
Selama proses kehamilan dan persalinan terdapat perubahan
pada sistem endokrin, terutama pada hormon-hormon yang
berperan dalam proses tersebut. Oksitosin diseklerasikan dari
kelenjer otak bagian belakang. Selama tahap ketiga persalinan,
hormon oksitosin berperan dalam pelepasan plasenta dan
mempertahankan kontraksi, sehingga mencegah perdarahan. Isapan
bayi dapat merangsang produksi ASI dan sekresi oksitosin. Hal
tersebut membantu uterus kembali ke bentuk normal. 12
Menurunnya kadar estrogen menimbulkan terangsangnya
kelenjar pituitari bagian belakang untuk mengeluarkan prolaktin,
hormon ini berperan dalam pembesaran payudara untuk
merangsang produksi susu. Pada wanita yang menyusui bayinya,
kadar prolaktin tetap tinggi dan pada permulaan ada rangsangan
folikel dalam ovarium yang ditekan. Pada wanita yang tidak
menyusui bayinya tingkat sirkulasi prolaktin menurun dalam 14-21
hari setelah persalinan, sehingga merangsang kelenjer bawah depan
otak yang mengontrol ovarium kearah permulaan pola produksi
estrogen dan progesteron yang normal, pertumbuhan folikel,
ovulasi, dan menstruasi. 12

15
Selama hamil volume darah normal meningkat walaupun
mekanismenya secara penuh belum dimengerti. Di samping itu,
progesteron mempengaruhi otot halus yang mengurangi
perangsangan dan peningkatan pembuluh darah. Hal ini sangat
mempengaruhi saluran kemih, ginjal, usus, dinding vena, dasar
panggul, perineum dan vulva, serta vagina. 12
f. Perubahan kelenjar mamae
1. Laktasi
Pada hari kedua post partum sejumlah kolostrum, cairan
yang disekresi payudara selama lima hari pertama setelah
kelahiran bayi, dapat diperas dari putting susu. 12
2. Kolostrum
Dibanding dengan susu matur yang akhirnya disekresi
oleh payudara, kolostrum mengandung lebih banyak protein,
yang sebagian besar adalah globulin, dan lebih banyak mineral
tetapi gula dan lemak lebih sedikit. Meskipun demikian
kolostrum mengandung globul lemak agak besar di dalam yang
disebut korpustel kolostrum, yang oleh beberapa ahli dianggap
merupakan sel-sel epitel yang telah mengalami degenerasi
lemak dan oleh ahli lain dianggap sebagai fagosit mononuclear
yang mengandung cukup banyak lemak. Sekresi kolostrum
bertahan selama sekitar lima hari, dengan perubahan bertahap
menjadi susu matur. Antibodi mudah ditemukan dalam
kolostrum. Kandungan immunoglobulin A mungkin
memberikan perlindungan pada neonatus melawan infeksi
enterik. Faktor-faktor kekebalan hospes lainnya, juga
immunoglobulin-immunoglobulin, terdapat di dalam kolostrum
manusia dan air susu. Faktor ini meliputi komponen
komplemen, makrofag, limfosit, laktoferin, laktoperoksidase,
dan lisozim. 12

16
3. Air susu
Komponen utama air susu adalah protein, laktosa, air dan
lemak. Air susu isotonik dengan plasma, dengan laktosa
bertanggung jawab terhadap separuh tekanan osmotik. Protein
utama di dalam air susu ibu disintesis di dalam retikulum
endoplasmik kasar sel sekretorik alveoli. Asam amino esensial
berasal dari darah, dan asam- asam amino non-esensial
sebagian berasal dari darah atau disintesis di dalam kelenjar
mamae. Kebanyakan protein air susu adalah protein-protein
unik yang tidak ditemukan dimanapun. Juga prolaktin secara
aktif disekresi ke dalam air susu. 12
Perubahan besar yang terjadi 30-40 jam post partum
antara lain peninggian mendadak konsentrasi laktosa. Sintesis
laktosa dari glukosa didalam sel-sel sekretorik alveoli
dikatalisis oleh lactose sintetase. Beberapa laktosa meluap
masuk ke sirkulai ibu dan mungkin disekresi oleh ginjal dan
ditemukan di dalam urin kecuali kalau digunakan glukosa
oksidase spesifik dalam pengujian glikosuria. 12
Asam-asam lemak disintetis di dalam alveoli dari
glukosa. Butirbutir lemak disekresi dengan proses semacam
apokrin. Semua vitamin kecuali vitamin K ada di dalam susu
manusia tetapi dalam jumlah yang berbeda. Kadar masing-
masing meninggi dengan pemberian makanan tambahan pada
ibu. Karena ibu tidak menyediakan kebutuhan bayi akan
vitamin K, pemberian vitamin K pada bayi segera setelah lahir
ada manfaatnya untuk mencegah penyakit perdarahan pada
neonatus. Air susu manusia mengandung konsentrasi rendah
besi. Tetapi, besi di dalam air susu manusia absorpsinya lebih
baik dari pada besi di dalam susu sapi. Simpanan besi ibu
tampaknya tidak mempengaruhi jumlah besi di dalam air susu.

17
Kelenjar mamae, seperti kelenjar tiroid, menghimpun iodium,
yang muncul di dalam air susu. 12
g. Perubahan Tanda- tanda Vital
Selama 24 jam pertama, suhu mungkin meningkat menjadi
38C, sebagai akibat meningkatnya kerja otot, dehidrasi dan
perubahan hormonal jika terjadi peningkatan suhu 38C yang
menetap 2 hari setelah 24 jam melahirkan, maka perlu dipikirkan
adanya infeksi seperti sepsis puerperalis (infeksi selama post
partum), infeksi saluran kemih, endometritis (peradangan
endometrium), pembengkakan payudara, dan lain-lain. 13
Dalam periode waktu 6-7 jam sesudah melahirkan, sering
ditemukan adanya bradikardia 50-70 kali permenit (normalnya 80-
100 kali permenit) dan dapat berlangsung sampai 6-10 hari setelah
melahirkan. Takhikardia kurang sering terjadi, bila terjadi
berhubungan dengan peningkatan kehilangan darah dan proses
persalinan yang lama. 13
Selama beberapa jam setelah melahirkan, ibu dapat
mengalami hipotensi orthostatik (penurunan 20 mmHg) yang
ditandai dengan adanya pusing segera setelah berdiri, yang dapat
terjadi hingga 46 jam pertama. Hasil pengukuran tekanan darah
seharusnya tetap stabil setelah melahirkan. Peningkatan tekanan
sisitolik 30 mmHg dan penambahan diastolik 15 mmHg yang
disertai dengan sakit kepala dan gangguan penglihatan, bisa
menandakan ibu mengalami preeklamsia dan ibu perlu dievaluasi
lebih lanjut. 13
2.3.3. mplikasi postpartum
2.4. Retensio Urin Postpartum
2.4.1. Definisi
Retensio urin postpartum merupakan tidak adanya proses
berkemih spontan setelah kateter menetap dilepaskan, atau dapat
berkemih spontan tetapi volume residu urin lebih dari 150 ml. Menurut

18
Stanton, retensio urin adalah ketidak-mampuan berkemih atau
mengeluarkan urin lebih dari 50% kapasitas kandung kemih) selama
24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter.2

2.4.2. Etiologi
Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya retensi urin post
partum, yaitu : 4,14
a. Trauma Intrapartum
Trauma intrapartum merupakan penyebab utama terjadinya retensi
urin, dimana terdapat trauma pada uretra dan kandung kemih. Hal
ini terjadi karena adanya penekanan yang cukup berat dan
berlangsung lama terhadap uretra dan kandung kemih oleh kepala
janin yang memasuki rongga panggul, sehingga dapat terjadi
perlukaan jaringan, edema mukosa kandung kemih dan
ekstravasasi darah di dalamnya. Trauma traktus genitalis dapat
menimbulkan hematom yang luas dan meyebabkan retensi urin
post partum.
b. Refleks kejang (cramp) sfingter uretra.
Hal ini terjadi apabila pasien post partum tersebut merasa
ketakutan akan timbul perih dan sakit jika urinnya mengenai luka
episiotomi sewaktu berkemih. Gangguan ini bersifat sementara.
c. Hipotonia selama masa kehamilan dan nifas
Tonus otot otot (otot detrusor) vesika urinaria sejak hamil dan post
partum tejadi penurunan karena pengaruh hormonal ataupun
pengaruh obat-obatan anestesia pada persalinan yang
menggunakan anestesi epidural.
d. Posisi tidur telentang pada masa intrapartum membuat ibu sulit
berkemih spontan.

19
2.4.3. Klasifiksi
Retensi urin post partum dibagi atas dua yaitu :15
1. Retensi urin covert (volume residu urin>150 ml pada hari pertama
post partum tanpa gejala klinis) Retensi urin post partum yang
tidak terdeteksi (covert) oleh pemeriksa. Bentuk yang retensi urin
covert dapat diidentifikasikan sebagai peningkatkan residu
setelah berkemih spontan yang dapat dinilai dengan bantuan USG
atau drainase kandung kemih dengan kateterisasi. Wanita dengan
volume residu setelah buang air kecil 150 ml dan tidak terdapat
gejala klinis retensi urin, termasuk pada kategori ini.
2. Retensi urin overt (retensi urin akut post partum dengan gejala
klinis)
Retensi urin post partum yang tampak secara klinis (overt)
adalah ketidak-mampuan berkemih secara spontan setelah proses
persalinan. Insidensi retensi urin postpartum tergantung dari
terminologi yang digunakan. Penggunaan terminologi tidak dapat
berkemih spontan dalam 6 jam setelah persalinan, telah dilakukan
penelitian analisis retrospektif yang menunjukkan insidensi retensi
urin jenis yang tampak (overt) secara klinis dibawah 0,14%.
Sementara itu, untuk kedua jenis retensi urin, tercatat secara
keseluruhan angka insidensinya mencapai 0,7%.
Berdasarkan waktunya retensi urin post partum diklasifikasikan
menjadi :
a. Retensi urin akut. 1,10
Merupakan retensi urine yang berlangsung 24 jam post
partum. Retensi urine akut lebih banyak terjadi akibat kerusakan
yang permanen khususnya gangguan pada otot detrusor berupa
kontraksi dari otot detrusor kurang atau tidak adekuat dalam fase
pengosongan kandung kemih. Adanya obstruksi pada uretra,
karena overaktivitas otot uretra atau karena oklusi mekanik.
Kerusakan juga bisa pada ganglion parasimpatis dinding kandung

20
kemih. Pasien post operasi dan post partum merupakan penyebab
terbanyak retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari
trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan
pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik,
peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi
episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang
mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver Valsalva.
Retensi urine pos operasi biasanya membaik sejalan dengan
waktu dan drainase kandung kemih yang adekuat. Retensio urine
biasanya disebabkan oleh trauma kandung kemih. Nyeri atau
interfensi sementara pada persyarafan kandung kemih, nyeri sering
mengecilkan usaha volunter yang diperlukan untuk memulai
urinasi/ miksi. uretra,dinding kandung kemih kurang sensitif. Pada
keadaan ini, kandung kemih sangat mengembang ketika keinginan
dan kemampuan untuk berkemih sangat rendah. Walaupun
sejumlah kecil urine dapat dikeluarkan,kandung kemih banyak
mengandung urine residu.
1. Retensio urin pasca persalinan pervaginam
Trauma intrapartum menyebabkan udem dan hematom
jaringan, selain itu penekanan yang lama bagian terendah janin
terhadap periuretra menyebabkan gangguan kontraksi otot
detrussor, sehingga terjadi ekstravasasi ke otot kandung kemih
Nyeri karena laserasi atau episiotomi juga menyebabkan hambatan
terhadap kontraksi detrusor .
2. Retensio urin pasca seksio sesaria, penyebab retensi urin yaitu:
Seksio sesaria dengan riwayat partus lama menyebabkan udem
dan hematom jaringan periuretra
Nyeri luka insisi pada dinding perut menyebabkan pasien
enggan mengkontraksikan otot dinding perut guna memulai
pengeluaran urin

21
Manipulasi kandung kemih selama seksio sesarea
menyebabkan spastik sfingter uretra
Anestesi
b. Retensi urin kronik
Merupakan retensi urin yang berlangsung > 24 jam post
partum. Pada kasus retensi urine kronik, perhatian dikhususkan
untuk peningkatan tekanan intravesical yang menyebabkan reflux
ureter, penyakit traktus urinarius bagian atas dan penurunan fungsi
ginjal.

2.4.4. Patofisiologi
Terjadinya retensi urin pada post partum dapat disebabkan oleh
berbagai penyebab. Sebab-sebab terjadinya retensi urin post partum
adalah: 13
a. Obstruksi pada uretra karena edema pada daerah trigonum vesika
urinaria.
b. Kapasitas vesika urinaria bertambah dan tidak sensitif terhadap
tekanan cairan intravesikal
c. Infuse oksitosin dengan dosis antidiuretik
d. Anastesi, terutama anastesi konduksi dapat mengurangi sensasi
kemampuan vesika urinaria untuk mengosongkan urin
e. Hematoma pada traktus genitalis
f. Tekanan intraabdomen yang berkurang karena otot-otot perut
masih lemah sehingga tekanan abdomen yang diperlukan untuk
mengosongkan vesika urinaria melemah.
Akibat sebab-sebab tersebut akan menyebabkan vesika urinaria
overdistensi sehingga pengosongan terjadi tidak sempurna dan setelah
kencing masih terdapat residu urin yang berlebihan. Infeksi saluran
kemih harus diwaspadai karena adanya reisdu urin dan bakteriuria
didalam vesika urinaria yang mengalami trauma, ditambah dengan

22
sistem saluran yang berdilatasi sehingga akan memudahkan terjadinya
infeksi pada traktus urinarius.12
Pengeluaran urin secara normal timbul akibat adanya kontraksi
yang simultan dari otot detrusor dan relaksasi sfingter uretra. Hal ini
dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis yang mempunyai
neurotransmiter utama yaitu asetilkolin. Penyampaian impuls dari
saraf aferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion
medulla spinalis di segmen S2 - S4 dan selanjutnya sampai ke batang
otak. Impuls saraf dari batang otak menghambat aliran parasimpatis
dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase pengosongan kandung
kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral dihentikan, sehingga
timbul kembali kontraksi otot detrusor.6
Retensi urin post partum paling sering terjadi akibat dissinergis
dari otot detrusor dan sfingter uretra. Terjadinya relaksasi sfingter
uretra yang tidak sempurna menyebabkan nyeri dan edema. Sehingga
ibu post partum tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya dengan
baik.5
Pada masa kehamilan terjadi peningkatan elastisitas pada
saluran kemih, sebagian disebabkan oleh efek hormon progesteron
yang menurunkan tonus otot detrusor. Pada bulan ketiga kehamilan,
otot detrusor kehilangan tonusnya dan kapasitas vesika urinaria
meningkat perlahan-lahan. Akibatnya, wanita hamil biasanya merasa
ingin berkemih ketika vesika urinaria berisi 250-400 ml urin. Ketika
wanita hamil berdiri, uterus yang membesar menekan vesika urinaria.
Tekanan menjadi dua kali lipat ketika usia kehamilan memasuki 38
minggu. Penekanan ini semakin membesar ketika bayi akan dilahirkan,
memungkinkan terjadinya trauma intrapartum pada uretra dan vesika
urinaria dan menimbulkan obstruksi. Tekanan ini menghilang setelah
bayi dilahirkan, menyebabkan vesika urinaria tidak lagi dibatasi
kapasitasnya oleh uterus. Akibatnya vesika urinaria menjadi hipotonik
dan cenderung berlangsung beberapa lama.13,14

23
2.4.5. Diagnosa
Diagnosis retensi urin pada pasien dengan keluhan saluran
kemih bagian bawah (Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS)
ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik yang lengkap,
pemeriksaan rongga pelvis, pemeriksaan neurologis, jumlah urin yang
dikeluarkan spontan dalam 24 jam, pemeriksaan urinalisis dan kultur
urin, serta pengukuran volume residu urin . Selain itu, fungsi berkemih
diperiksa dengan alat uroflowmetry.5
Pada anamnesis, yang sering menjadi keluhan pasien adalah
tidak bisa kencing, sulit buang air kecil, kencingnya tertahan atau
kencing keluar sedikit-sedikit,kantung kencing terasa penuh dan nyeri
yang berlangsung beberapa hari setelah melahirkan.6
Pemeriksaan klinis pada pasien dengan retensio urin
didapatkan adanya massa sekitar daerah pelvik. Vesika urinaria dapat
teraba transabdominal jika isinya berkisar antara 150-300 ml.
Pemeriksaan bimanual biasanya meraba vesika urinaria bila terisi >
200 ml. Pemeriksaan uroflowmetri merupakan salah satu pemeriksaan
yang sederhana untuk melihat adanya gangguan berkemih yang pada
pasien normal akan terlihat gambaran dengan flow rate >15-20
ml/detik untuk volume urin minimal 150 ml. Pada pasien dengan
gangguan berkemih ditemukan penurunan peak flow rate dan
perpanjangan waktu berkemih.5
Pemeriksaan urin residu adalah sisa volume urin dalam
kandung kemih setelah penderita berkemih spontan. Pada pasien pasca
bedah ginekologi setelah kateter dilepas selama 6 jam didapatkan
retensi urin apabila urin residu > 100 ml, sedangkan pada pasien pasca
bedah obstetrik setelah kateter dilepas selama 6 jam didapatkan
volume residu > 200 ml. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan
adalah dengan ultrasonografi untuk mengukur volume residu urin.5
Diagnosis nilai normal fungsi bekemih pada wanita adalah :

24
a. Volume residu < 50 ml
b. Keinginan yang kuat timbul setelah pengisisan >250 ml
c. Kapasitas sistometri <50 cm H2O
d. Flow rate > 15 ml/detik

2.4.6. Penatalaksanaan
Ketika terjadi retensi urin, pertama kali diupayakan cara non
invasif seperti upaya bladder training dengan menggunakan
hidroterapi Sitz bath agar fungsi eliminasi berkemih dapat terjadi
secara spontan. Apabila upaya ini tidak berhasil, maka diperlukan
penangananan bladder training dengan kateterisasi dengan memasang
kateter foley dalam kandung kemih selama 24 - 48 jam untuk menjaga
kandung kemih agar tetap kosong dan memungkinkan kandung kemih
menemukan tonus otot otot normalnya kembali agar tercapai proses
berkemih spontan. Apabila residu urin lebih dari 150 ml, antibiotik
profilaksis perlu diberikan untuk kateterisasi dalam jangka panjang
atau berulang.5

Tatalaksana non invasif


a. Bladder training
Bladder training adalah kegiatan melatih kandung kemih
untuk mengembalikan pola normal berkemih dengan menstimulasi
pengeluaran urin. Dengan bladder training diharapkan fungsi
eliminasi berkemih spontan pada ibu post partum spontan dapat
terjadi dalam 2- 6 jam post partum.16
Ketika kandung kemih menjadi sangat mengembang
diperlukan kateterisasi, kateter Foley ditinggal dalam kandung
kemih selama 24-48 jam untuk menjaga kandung kemih tetap
kosong dan memungkinkan kandung kemih menemukan kembali
tonus otot normal dan sensasi. Bila kateter dilepas, pasien harus
dapat berkemih secara spontan dalam waktu 2-6 jam. Setelah

25
berkemih secara spontan, kandung kemih harus dikateter kembali
untuk memastikan bahwa residu urin minimal. Bila kandung kemih
mengandung lebih dari 150 ml residu urin , drainase kandung
kemih dilanjutkan lagi. Residu urin setelah berkemih normalnya
kurang atau sama dengan 50 ml. 19
Program latihan bladder training meliputi : penyuluhan,
upaya berkemih terjadwal, dan memberikan umpan balik positif.
Tujuan dari bladder training adalah melatih kandung kemih
untuk meningkatkan kemampuan mengontrol, mengendalikan, dan
meningkatkan kemampuan berkemih.17
1. Secara umum, pertama kali diupayakan berbagai cara yang non
invasif agar pasien tersebut dapat berkemih spontan.
2. Pasien post partum harus sedini mungkin berdiri dan jalan ke
toilet untuk berkemih spontan
3. Terapi medikamentosa
4. Diberikan uterotonika agar terjadi involusio uteri yang baik.
Kontraksi uterus diikuti dengan kontraksi kandung kemih.
5. Apabila semua upaya telah dikerjakan namun tidak berhasil
untuk mengosongkan kandung kemih yang penuh, maka perlu
dilakukan kateterisasi urin, jika perlu lakukan berulang.
b. Hidroterapi
Hidroterapi merupakan terapi alternatif yang sudah lama
dikenal dan dilakukan secara luas pada bidang naturopathy akhir-
akhir ini. Sejumlah penelitian dilakukan untuk mengetahui manfaat
dari hidroterapi. Dari beberapa literatur, diketahui manfaat dari
hidroterapi adalah untuk memperbaiki sirkulasi darah sehingga
dapat memperbaiki fungsi jaringan dan organ. Hidroterapi banyak
digunakan sebagai terapi alternatif untuk pemulihan, salah satunya
dapat mencegah terjadinya retensi urin pada masa post partum
dengan pertimbangan non invasif, mudah dilakukan, murah, efek
samping minimal dan dapat dikerjakan sendiri. 16-17

26
Jenis-jenis hidroterapi yaitu sebagai berikut:
1. Hidroterapi Kontras
Alternatif terapi menggunkan air hangat dan dingin merupakan
salah satu jenis hidroterapi. Penggunaan air hangat adalah
untuk membuat terjadinya vasodilatasi, sedangkan penggunaan
air dingin untuk membuat terjadinya vasokonstriksi. Aplikasi
dari terapi ini dapat dilakukan pada jaringan atau organ tubuh
yang inflamasi dan kongesti.
2. Berendam dan Mandi
Berendam dan mandi dengan air hangat dan dingin, akhir-akhir
ini diteliti mempunyai manfaat untuk kesehatan dan membantu
proses penyembuhan karena dapat membantu relaksasi dan
mengurangi stres. Mandi dengan air dingin dapat menstimulasi
sistem imun dan memperbaiki sirkulasi darah.
3. Hot Foot Bath
Terapi rendam kaki dengan air hangat direkomendasikan untuk
kaki yang kram, nausea, demam, insomnia, kongesti pelvis.
4. Heating Compress
Kompres dengan air hangat dianggap bermanfaat untuk
memperbaiki sirkulasi darah, terutama pada engorgement
payudara post partum.
5. Constitutional Hidroterapi
Ahli Naturopati sering menggunakan alternatif terapi air untuk
kesehatan dan memperbaiki sistem imun. Metode ini
menggunakan handuk yang direndam ke dalam air hangat dan
dingin lalu di aplikasikan pada punggung dan dada yang nyeri.
6. Sitz bath
Sitz bath digunakan secara luas dalam praktek medis,
diantaranya pada hemoroid dan pada kasus retensi urin tanpa
gangguan neurologis, nyeri haid dan nyeri di daerah pelvis.17

27
c. Bladder training dengan Sitz bath
Dari berbagai literatur, Sitz bath terbukti bermanfaat untuk
terapi pemulihan. Terapi ini menggunakan prinsip hidroterapi pada
posisi duduk (Sitz bath). Aplikasi prinsip hidroterapi ini untuk
menstimulasi sirkulasi daerah pelvis. Hidroterapi ini menggunakan
alternatif air dingin dan hangat.18
Kontraindikasi metode ini adalah pada pasien dengan
penyakit tromboemboli vena seperti deep vein thrombosis (DVT),
infeksi kandung kemih dan gangguan sensasi saraf perifer
(penyakit serebrovaskular). 17
Petunjuk melakukan metode ini, diawali dengan pengisian air
hangat pada kantung air alat Sitz bath sampai 1500 ml. Setelah
pasien diposisikan duduk pada alat Sitz bath, kemudian klem pada
selang dibuka sehingga terpancar aliran air mengenai organ
urogenitalia eksterna dan mengisi alat Sitz bath sampai mencapai
ukuran kedalam air 3-4 inchi dari dasar alat Sitz bath, sehingga air
dapat merendam sebagian bokong dan organ urogenital eksterna
pada air yang dialirkan pada selang ke dalam alat Sitz bath. 17
Aplikasi ini menggunakan air hangat (106-110F, 41-43C),
setelah itu diganti dengan menggunakan air dingin (55-75F, 12-
24C). Berdasarkan literatur, proses berendam diupayakan
senyaman mungkin selama + 10 20 menit. Dimana alat terapi
Sitz bath disesuaikan dengan bentuk dan ukuran pasien. 17
Hidroterapi dengan suhu air hangat (106-110F, 410C
430C) merupakan suhu air dalam batas fisiologis yang
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dan meningkatkan
pasokan darah yang akan meningkatkan oksigenisasi ke jaringan.
Selain itu, dapat menimbulkan sensasi suhu terhadap nerve endings
kulit pada organ urogenitalia eksterna, menstimulus jalur
persarafan, menghilangkan rasa nyeri dan membantu proses
relaksasi dari sfingter uretra sehingga dapat tercapai fungsi

28
eliminasi berkemih spontan dari ibu post partum spontan.
Hidroterapi dengan air dingin bersuhu 55-75F, 12-24C juga
dapat menimbulkan efek analgesia dan membantu mengurangi
edema jaringan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada
rasionalisasi hidroterapi dengan air hangat dan dingin.17

Gambar 5. Sitz Bath

d. Latihan Kegel
Latihan otot dasar panggu yang pertama kali dikembangkan tahun
1940 oeh dr. Arnold kegel untuk mengatasi stres inkontinensia,
dapat digunakan untuk menguatkan otot dasar panggul. Atihan
tersebut berupa latihan otot dasar yang secara progresif pada otot
levator ani yang bekerja dibawah kontrol yang selanjutnya dikenal
sebagai kegel exercise. Latihan ini berhubungan dengan berbagai
perubahan yang terjadi pada kekuatan otot dasar seperti sphincter
uretra dan sphincter ana. Proses ini dapat meningkatkan tekanan
atau tahanan untuk menutup uretra sehingga dapat mencegah
pengeluaran urin diluar kontrol. Keistimewaan latihan ini adalah
sangat mudah dalam pelaksanaannya, tidak memerlukan ruang
yang luas, dapat diakukan dalam berbagai posisi, saat perjalanan,

29
bekerja atau istirahat. Kegel execise dikombinasikan dengan teknik
biofeedback dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang lebih
baik. Teknik biofeedback dapat merubah suatu kejadian kedalam
bentuk signal visual ataupun auditori kemudian signal ini
dikembalikan kepada pasien. Dengan teknik biofeedback pasien
dapat belajar bagaimana cara memanipulasi dan mengembalikan
pada keadaan fisiologis dalam tubuhnya sendiri. Tingkat
keberhasilan yang dilaporkan dari latihan kegel ini berbeda-beda
antara 40-90%. Cara senam kegel yaitu20
1. Pemanasan.
Kendurkan otot-otol perut, bokong dan paha atas se-rilek
mungkin. Untuk memastikan otot-otot tersebut rilek, letakkan
kedua tangan di atas perut. Jika perut tidak ikut bergerak ketika
otot-otot dasar panggul/ Pubococcygeus (PC) dikontraksi,
berarti gerakan Anda benar.
2. Kontraksi
Kontraksikan otot-otot PC Anda dengan menarik ke dalam dan
keras sekitar vagina, anus dan saluran kencing (uretra) seperti
menahan air seni. Tujuannya untuk menemukan letak otot PC.
Untuk mudahnya dapat melakukan latihan berikut: Ketika
Anda ingin buang air kecil, tahanlah aliran air seni, lalu
lepaskan kembali. Lakukan beberapa kali sehingga bisa
merasakan benar letak otot PC lersebut.
3. Ulangan
Setelah Anda mampu melakukan, mulailah berlatih sebanyak
10 kali ulangan. Setiap kali kontraksi, tahan selama tiga
hitungan. Kemudian secara perlahan naikkan hitungan
kontraksinya hingga Anda bisa menahan selama 10-15
hitungan, dengan istirahat selama 10 detik diantaranya. Jumlah
optimum kira-kira 50-100 kali sepanjang hari, pagi, siang, sore
dan malam.

30
4. Variasi
Lakukan variasi untuk menghindari kebosanan dengan
munggabungkan latihan otot-otot PC dengan latihan
pengencangan otot-otot lain di sekitarnya, yaitu otot-otot perut,
paha atas, dan otot bokong, dalam posisi berdiri, duduk atau
berbaring.

Gambar 6. Latihan Kegel

Tatalaksana invasif
Di Subbagian Uroginekologi Rekonstruksi Bagian Obstetri dan
Ginekologi FK Unlam/RSUD Ulin Banjarmasin pasien dengan
retensio urin postpartum penatalaksanaannya dibagi menurut volume
urin yang retensi saat penderita masuk rumah sakit, yaitu di bawah 500
ml, antara 500-1.000 ml, 1.000-2.000 ml dan lebih dari 2.000 ml.2
Lama pemasangan kateterisasi menetap terbuka adalah 1 x 24
jam pada volume urin 500-1.000 ml, 2x24 jam pada volume urin
1.000-2.000 ml dan 3x24 jam pada volume urin lebih dari 2.000 ml
dan dilakukan pemeriksaan urinalisis. Selama pemasangan kateterisasi
ini penderita minum banyak dengan kebutuhan cairan 2.500-3.000 ml
selama 24 jam dan disuruh mobilisasi. 2
Selanjutnya dilakukan kateter buka tutup tiap 6 jam atau jika ada
perasaan ingin berkemih kateter dapat dibuka sebelum 6 jam. Apabila
tidak dapat berkemih setelah 6 jam maka kateter harus dibuka. Proses
buka tutup kateter ini dilakukan selama 24 jam dan pasien disuruh
minum biasa atau bila haus. Selanjutnya pada hari berikutnya kateter
dilepas, pasien diharapkan dapat berkemih spontan dalam waktu 6 jam.

31
Bila tidak bisa berkemih spontan, pasien diukur volume urinnya
dengan bantuan kateter. Bila pasien dapat berkemih spontan dan
volume urin sisa kurang dari 150 ml dengan bantuan kateter pasca
berkemih, pasien boleh pulang. 2
Tetapi bila volume urin lebih dari 150 ml dan kurang dari 500 ml
maka perlu dilakukan kateterisasi intermiten setiap 4 jam selama 24
jam dengan pasien disuruh minum biasa dan mobilisasi. 2
Bila volume urin sisa lebih dari 500 ml perlu dilakukan
kateterisasi ulang menetap terbuka sesuai dengan volume urin sisa dan
dilakukan pemeriksaan sistouretroskopi. Selama pemasangan kateter
menetap terbuka pasien diberikan obat tramadol 3 x 50 mg, Alinamin F
3 x 1 tab, asam pepemidat 2 x 400 mg, minum banyak antara 2.500-
3.000 cc dan mobilisasi. Pemberian antibiotika golongan
siprofloksasin 3 x 500 mg dilakukan bila hasil pemeriksaan urinalisis
didapatkan leukosit lebih dari 4/lpb, volume urin sisa lebih dari 500 ml
dan atau hasil pemeriksaan sistouretroskopi didapatkan gambaran
infeksi kandung kemih. 2

32
BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
1. Retensi urin post partum adalah tidak adanya proses berkemih spontan
setelah kateter menetap dilepaskan, atau dapat berkemih spontan tetapi
volume residu urin lebih dari 150 ml.
2. Penyebab retensi urin post partum adalah 1) obstruksi pada uretra karena
edema pada daerah trigonum vesika urinaria, 2) kapasitas vesika urinaria
bertambah dan tidak sensitif terhadap tekanan cairan intravesikal, 3)
dissinergis antara otot detrusor dengan sfingter uretra, 4) infuse oksitosin
dengan dosis antidiuretik, 5) anastesi, terutama anastesi konduksi dapat
mengurangi sensasi kemampuan vesika urinaria untuk mengosongkan
urin, 6) hematoma pada traktus genitalis, dan 7) tekanan intraabdomen
yang berkurang karena otot-otot perut masih lemah sehingga tekanan
abdomen yang diperlukan untuk mengosongkan vesika urinaria melemah.
3. Diagnosis retensio urin postpartum ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga pelvis, pemeriksaan neurologis, jumlah
urin yang dikeluarkan spontan dalam 24 jam, pemeriksaan urinalisis dan kultur
urin, serta pengukuran volume residu urin . Selain itu, fungsi berkemih diperiksa
dengan alat uroflowmetry.
4. Penatalaksanaan retensi urin postpartum terdiri dari 2 cara yaitu secara non
invasif dan invasif. Secara non invasif sebaiknya dilakukan terlebih dahulu
sebelum invasif, tindakan ini berupa bladder training dan hidroterapi.
Sedangkan secara invasif yaitu dengan pemasangan dan pelepasan kateter
secara bertahap yang disesuaikan dengan volume urin sisa yang dilakukan
jika non invasif tidak berhasil.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Stanton SL. Clinical Urogynecology. Ed. 2 th. Churchill Livingstone.


2000. Page: 213-18
2. Pribakti B. Tinjauan kasus Retensi urin postpartum di RS.Unlam/RS.Ulin
Banjarmasin 2002-2003. Dexa Medica, 2006. Hal: 10-13
3. Andolf E, Losif CS, Jorgenense M, et al. Insidious urinary retention after
vaginal delivery, prevalence and symptoms at follow up in population
based study. Gynecol Obstet Invest 1995; 38:51-3
4. Kavin G, Jonna B, et al. Incidence and treatment of urinary retention
postpartum. Int Urogynecol Journal 2003; 14:119-21
5. Andi. Retensio Urin Post Partum. Dalam : Jurnal kedokteran Indonesia,
Vol. 20, Februari 2008. Hal: 36-42
6. Purnomo, B. Dasar-dasar Urologi. Ed.3. Jakarta: Sagung Seto. 2000. Hal
122-124
7. Josoprawiro MJ. Penanganan retensio urin postpartum. Buku ajar
Uroginekologi, Subbagian Uroginekologi Bagaian Obstetri dan
Ginekologi FKUI; 2002.p.60-3
8. Guyton, H. Buku Ajar: Fisiologi Kedokteran. Ed.11. Jakarta. EGC. 2006.
Hal. 311-15
9. Ganong W F. Fungsi Ginjal dan Miksi. Dalam: Fisiologi Kedokteran.
Edisi 20. EGC. Jakarta, 2000.
10. Shaaban A.A,. Basic Urology: History Taking and Physical Examination.
Urology and Nephorology Center Mansoura, Egypt. 2011. Page: 36-43
11. Rochani. Retensio Urin dalam Kedaruratan Non Medik dan Bedah. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta. 2000. Hal. 95-98
12. Cunningham G.F,. Obstetri Williams. Ed. 23. Jakarta: EGC. 2012. Hal
674-89
13. Supono. Ilmu Kebidanan: BAB 1. Fisiologi. FK UNSRI. Palembang.
1985. Hal 180-190

34
14. Kearny R, Cutner A. Postpartum Voinding Dysfunction. Journal of The
Obstetrician & Gynecologist. 2008; 10: 71-74
15. Rahman A, Wahyuni ES, Farafadila N. Retensi Urin Post Partum. Fakultas
Kedokteran UNRI. 2009. Hal 3-6
16. Das M. Guideline For Postpartum Bladder Care. Journal Obstetrics &
Gynecologist. Nottingham University Hospitals. March 2013; 2: 5-12
17. Ermiati, dkk. Efektivitas bladder training terhadap fungsi eliminasi Buang
Air Kecil (BAK) pada Ibu Postpartum Spontan. Majalah Obstetri &
Ginekologi Indonesia. Oktober 2008. Vol 32; 4: 206-209
18. Yustini,E, dkk. Efektivitas Bladder training terhadap BAK spontan post
partum. Majalah Obstetri Ginekologi Indonesia. Vol.32:4. Oktober 2008
19. Jenny G. Evidence for Effective Hydrotherapy. Physiotherapy, Systematic
review, evidence-basedresearch, 2002;88, 9, 514-529.
20. Rahajeng. Efek Latihan Kegel pada Kekuatan Otot Dasar Panggul Ibu
Pasca Persalinan. Jurnal Kedokteran Brawijaya: Divisi Uroginekologi. Vol
26: 2. Agustus 2010. Hal 120-122

35

Anda mungkin juga menyukai