Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh:
11214007
2017
Laporan Kerja Praktek sebagai syarat untuk memenuhi ketentuan yang berlaku dalam menempuh
studi tingkat sarjana di Program Studi Rekayasa Hayati Institut Teknologi Bandung
Disetujui:
Koordinator Kerja Praktek
1. Ibu Lisa Muliani selaku Kepala Tissue Culture Departement PT. SMART Tbk.
2. Ibu Wulan yang memfasilitasi penulis untuk berkesempatan melaksanakan kerja praktik di
PT SMART Tbk.
3. Ibu Cynthia selaku staf Tissue Culture Departement PT. SMART Tbk. atas segala
dedikasinya selama menjadi supervisor Kerja Praktik penulis.
4. Ibu Urip Suyekti, Ibu Yanti, Bapak Yanto, Bapak Madtori, dan Bapak John atas
kesediaannya memberikan informasi yang bermanfaat dalam studi terkait yang dilakukan
penulis.
5. Seluruh kakak pembimbing dari setiap bagian Tissue Culture Departement yang tidak bisa
penulis sebutkan satu per satu yang telah bersedia menjadi guru terutama dalam
mempelajari keahlian teknis.
6. Kakak dan kedua orangtua penulis yang telah mengakomodasi segala kebutuhan penulis.
7. Wendo sebagai rekan Kerja Praktik penulis yang atas kerja sama dan solidaritasnya dari
awal persiapan hingga penulisan laporan ini.
Penulis menyadari dalam penulisan laporan ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga sangat
diharapkan saran yang membangun guna perkembangan ke arah yang lebih baik. Tidak lupa
permohonan maaf dari penulis atas segala kekurangan. Semoga dengan segala bimbingan
semua pihak, pelajaran yang diperoleh dapat menjadi ilmu yang bermanfaat.
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii
ii
3.2 Pengamatan dan Analisis Data........................................................................................... 23
3.2.1 Deskripsi Abnormalitas Pada Kultur Jaringan Tanaman Kelapa Sawit ......................... 23
3.2.2 Analisis Abnormalitas pada Kultur Jaringan Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis Guneensis
Jacq.) di PT SMART Tbk. ........................................................................................................ 32
LAMPIRAN................................................................................................................................. 37
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Gedung SMART Biotechnology Center .............................................................. 4
Gambar 3.1 Kontaminasi akibat sterilisasi yang kurang sempurna......................................... 8
Gambar 3.2 Hasil subkultur eksplan...................................................................................... 10
Gambar 3.3 Shoot hasil seleksi dari fase embrioid ................................................................ 10
Gambar 3.4 Eksplan kultur jaringan tanaman kelapa sawit .................................................. 12
Gambar 3.5 Kalus dari spear kelapa sawit ............................................................................ 13
Gambar 3.6 Pertumbuhan sel sangat beragam pada fase embrionik ..................................... 14
Gambar 3.7 Tahapan embrio mulai membentuk tunas .......................................................... 15
Gambar 3.8 Fase shoot development ..................................................................................... 16
Gambar 3.9 Ramet yang siap memasuki tahap aklimatisasi ................................................. 17
Gambar 3.10 Sistem hidroponik dalam proses aklimatisasi .................................................. 18
Gambar 3.11 Laminar air flow dan perlengkapan tanam ...................................................... 19
Gambar 3.12 Perlengkapan pendukung dalam bekerja dengan laminar ............................... 19
Gambar 3.13 Vessel tanaman dicantumi label dengan kode yang diinput
pada bagian skoring ......................................................................................... 20
Gambar 3.14 Greenhouse ramet kelapa sawit ....................................................................... 22
Gambar 3.15 Kurva jumlah tanaman abnormal pada pengamatan bulan Mei 2017 ............. 33
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perkembangan PT SMART Biotechnology Center ................................................. 3
Tabel 3.1 Jenis-Jenis Abnormalitas pada Kultur Tanaman Kelapa Sawit ............................. 24
v
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A ............................................................................................................................. 38
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bioindustri merupakan bisnis yang menjanjikan di era dewasa ini. Terutama bagi
Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah. Salah satu komoditas
sumber daya hayati terbesar yang dikelola di Indonesia adalah minyak kelapa sawit yang
dominan diperuntukkan untuk kebutuhan pangan. Tanaman ini menjadikan Indonesia
sebagai pemilik lahan perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia diiringi dengan level
produktivitasnya. Selain banyaknya lahan yang akan ditanami kembali dengan tanaman
kelapa sawit, kebutuhan bibit untuk peremajaan perkebunan yang mulai kurang produktif
pun menjadi contoh pasar yang potensial di Indonesia.
Sebagai upaya memperbanyak populasi tanaman kelapa sawit dengan karakter yang
sama yang berasal dari induk yang unggul, maka digunakan metode perbanyakan berupa
kultur jaringan. Meskipun berasal dari sel somatis indukan yang sama, ternyata variasi atau
abnormalitas masih dapat mungkin terjadi. Abnormalitas memengaruhi produktivitas
tanaman kelapa sawit terutama sebagai sumber minyak nabati. Individu yang berkarakter
abnormal jenis tertentu saja yang dapat diberi perlakukan untuk menghasilkan keluaran
yang sama dengan individu normal.
Berdasarkan metode yang digunakan di PT SMART Tbk., abnormalitas hanya dapat
diamati pada tanaman berfase shoot dan root. Waktu yang dibutuhkan untuk merawat
tanaman sawit hingga sampai ke tahap tersebut mencapai 2,5 tahun. Sehingga identifikasi
abnormalitas berlangsung dngan waktu yang sama. Dengan demikian diperlukan studi
lebih lanjut mengenai abnormalitas pada tanaman kelapa sawit menjadi penting guna
meningkatkan kuantitas dan kualitas bibit unggul kelapa sawit.
1
1.2 Tujuan
Tujuan pelaksanaan kerja praktek ini adalah untuk memahami abnormalitas pada kultur
tanaman kelapa sawit, proses produksi bibit (ramet) kelapa sawit, dan mempelajari
perkembangan teknologi modern pada sistem produksi bioproduk skala industri pada PT.
SMART Tbk.
2
BAB II
3
PT SMART Tbk. bertekad meningkatkan produktivitas dengan mendirikan Plant
Production and Biotechnology (PPB) di bawah naungan SMART Research Institute
(SMARTRI) di awal masa rintisannya. Tahun 2013 aktivitas operasional diadakan di
lahan 93,535 m2 yang berlokasi di kawasan Sentul, Bogor. SMART PPB Division
terdiri dari 2 departemen yaitu Tissue Culture Dept. dan Biotechnology Dept. Lebih
jelasnya dapat dilihat pada lampiran struktur organisasi.
4
3.1.3 Visi dan Misi
Visi perusahaan ini adalah menjadi pusat penelitian kelas dunia
untuk kelapa sawit terutama di bidang penelitin dan teknlogi. Misinya
sendiri adalah meningkatkan produktivitas kelapa sawit, mampu bersaing
di pasar, dan fokus pada permintaan pasar dengan upaya penelitian terus
menerus dalam kelapa sawit. Perusahaan ini pun memiliki tujuan
diantaranya: 1) menyediakan ramet berkualitas untuk perkebunan kelapa
sawit 2) melakukan penelitian mutakhir dalam memecahkan permasalahan
kelapa sawit dan berinovasi dengan bahan pertanian untuk indusri kelapa
sawit dan turunannya.
5
3.1.4 Budaya dan Nilai
Dalam perusahaan ini seluruh SDM harus menerapkan budaya
berupa:
sikap kepemilikan
kerja sama
prestasi tinggi
sumber daya manusia berkualitas dengan
mengedepankan nilai inti perusahaan
Integritas
Inovatif
Setia
Perbaikan terus menerus
komitmen
Sikap positif
6
BAB III
Pada tahapan ini dilakukan pembukaan daun muda yang masih kuncup
kelapa sawit (spear). Selanjutnya pelepah sawit dinomori untuk dipilah dan dipilih
bagian yang akan diambil menjadi eksplan. Lebih spesifik lagi, kemudian
dilakukan pembagian 3 zona pada spear dengan ukuran tertentu.
b. Sterilisasi
Selain peralatan dan media, eksplan juga perlu disterilisasi. Sterilisasi pada
eksplan hanya dengan metode kimiawi saja sedangkan untuk peralatan dilakukan
secara fisik dan mekanik, yaitu dengan pemanasan dam pemberian tekanan melalui
autoklaf. Sterilisasi pada eksplan dilakukan dengan hati-hati dan pengulangan
perendaman guna menjaga kondisi eksplan tetap baik dan layak tanam. Setelah
disterilisasi, spear selanjutnya direndam dalam larutan glukosa.
7
parasit bagi kultur. Sterilisasi belum dapat membunuh 100% organisme, terutama
organisme yang bersifat termofilik.
Proses sterilisasi spear tidak menjamin spear bener-benar steril. Spear yang
berasal dari kebun terutama saat kondisi musim hujan/basah/lembab memperbesar
kemungkinan kontaminasi sejak awal. Proses sterilisasi pada kultur yang
terkontaminasi disebut destruksi. Untuk proses destruksi, digunakan autoklaf yang
khusus dan dibedakan dari autoklaf non kontaminan.
c. Inokulasi
Fase ini disebut juga fase penanaman eksplan ke media in vitro pertama
kalinya karena sebelumnya spear berasal dari lahan perkebunan. Helaian spear
kemudian dipotong dengan ukuran tertentu (1x1 cm2) untuk ditanam pada media di
vessel yang telah disediakan. Pada proses ini harus diperhatikan bahwa bagian
meristematik harus terkena langsung dengan medium dan nutrisi.
8
d. Inkubasi
e. Subkultur
9
Gambar 3.2 Hasil subkultur eksplan
f. Seleksi shoot
Seleksi shoot bertujuan untuk menentukan individu mana yang layak untuk
memasukin tahap shoot development. Standar yang digunakan untuk memasuki
tahap ini adalah tinggi minimal 4 cm dengan kondisi tanaman normal. Embrio yang
tidak dapat menghasilkan shoot pada waktu yang telah ditentukan akan
dimusnahkan setelah didata terlebih dahulu.
10
g. Seleksi root
Shoot yang mencapai minimal 6 cm akan diseleksi untuk memasuki tahap root
induction. Pada tahapan ini medium yang diberikan diformulasikan khusus untuk
menstimulasi pertumbuhan akar, baik jenis agar maupun komposisi nutrisi. Jenis
agar diformulasikan agar lebih lunak bagi akar. Jika shoot tidak kunjung memenuhi
syarat hingga batas waktu yang ditentukan, maka akan memasuki tahap discard
untuk dimusnahkan dan didata terlebih dahulu.
a. Eksplan
11
SMART Tbk. berasal dari pucuk muda kuncup (spear) dari tanaman sawit
unggul. Eksplan memerlukan media yang berisi nutrisi sebagai sumber energi
dalm proses proliferasi. Eksplan ditempatkan di ruang tanpa cahaya untuk
meningkatkan level stres sehingga membentuk kalus. Probabilitas konversi
eksplan menjadi kalus mencapai 16%.
b. Kalus
Kalus merupakan sel yang membelah dengan arah yang tidak beraturan.
Pada eksplan yang berasal dari spear, kalus seringkali muncul pertama kali dari
bagian lidi eksplan. Kalus sendiri diklasifikasikan menjadi; kalus embrionik
(mampu membelah diri), chuncky (membentuk gumpalan), rooty (berbentuk
panjang seperti akar), nodular friable (bulat remah), nodular agregat (bulat
lengket basah), dan nodulat mushy (bulat lunak). Selain itu, menurut tingkat
kelembapan, dibedakan menjadi kalus basah dan kalus kering. Kalus yang
ditumbuhkan hingga menjadi ramet adalah kalus kering. Kalus yang memadat
dan berkembang akan membentuk embrioid.
12
Gambar 3.5 Kalus dari spear kelapa sawit
13
c. Embrioid
d. Germinasi
Tahap ini merupakan tahap pembentukan tunas yang menandai proses
transisi dari embrioid membentuk shoot yang menyerupai daun. Setiap embrio
akan melewati fase ini dengan waktu yang beragam dan belum tentu sama
meskipun berasal dari spear yang sama. Lamanya kultur melewati masa ini
dibatasi, kultur yang telah melewati batas waktu dan belum memasuki fase
germinasi akan dikategorikan sebagai discard.
14
Gambar 3.7 Tahapan embrio mulai membentuk tunas
e. Shoot Development
Fase ini ditandai dengan ukuran shoot yang mencapai 4 cm. Selanjutnya
shoot akan berkembang hingga layak memasuki tahap berikutnya. Pada fase ini,
tanaman dibiarkan tumbuh dengan baik hingga mencapai tinggi 6 cm. Tak
jarang tanaman melewati fase pembetukan akar bersamaan dengan
berkembangnya shoot. Terbentuknya daun pada tahap ini dapat
mengoptimalkan proses fotosintesis pada tanaman. Selain ditempatkan pada
vessel yang berbeda dibandingkan tahap sebelumnya, pada tahap ini pun vessel
berisi 1-2 individu. Standar batasan jumlah ini berlaku pula pada tahap root
induction. Tanaman dikategorikan selesai melewati fase ini setelah memiliki
tinggi minimal 6 cm.
15
Gambar 3.8 Fase shoot development
f. Root Induction
16
Gambar 3.9 Ramet yang siap memasuki tahap aklimatisasi
g. Aklimatisasi
Ramet merupakan induvidu yang telah memiliki organ yang telah lengkap
dan berfungsi dengan baik yang diamati dari pertumbuhan dan
perkembangannya. Kendati demikian, ramet tetap memerlukan tahapan
adaptasi dengan lingkungan ex vivo. Dalam proses ini seluruh organ tanaman
akan dipersiapkan untuk mencapai kondisi ideal untuk ditanam di kebun.
Misalnya, terdapat pemangkasan bagian kering/busuk dari shoot untuk
meminimalisir perambatan terutama ke bagian daun yang segar. Adapun proses
conditioning mempersiapkan seluruh organ tanaman dalam mereson
kelembaban lingkungan luar vessel serta memastikan stomata daun telah
terbuka sehingga fotosintesis dapat dioptimalkan.
17
Gambar 3.10 Sistem hidroponik dalam proses aklimatisasi
Pada bagian pemerosesan ini dikerjakan persiapan alat dan bahan yang
diperlukan pada bagian transfer. Tahapan kegiatan dilakukan mulai dari
pencucian alat, penimbangan bahan, peracikan bahan, pematangan media,
pengisian media, hingga sterilisasi. Proses ini sudah menerapkan sistem
automasi terutama di tahapan sterilisasi. Adapun vessel (wadah tertutup) yang
digunakan sebagai tempat medium terdiri dari; standard tube (ST), long tube
(LT), botol (SB), Erlenmeyer (50 mL, 100 mL, 250 mL). Jenis vessel dan
komposisi media disesuaikan dengan kebutuhan media di setiap tahapan
subkultur.
b. Transfer
Tahapan yang dilakukan pada unit ini dimulai dari pre-inokulasi, inokulasi,
penanaman eksplan, dan subkultur. Peralatan yang digunakan secara umum. Alat
tanam yang digunakan meliputi laminar air flow, lengkap dengan blower,
lampu, lampu UV, box paper towel, washing bottle, pinset, scalpel, dan
pemantik elektrik. Selain itu disiapkan peralatan pendukung seperti trolley,
18
kursi, tempat sampah. Adapun filter pada laminar yang digunakan terdiri dari
pre-filter (atas), medium filter (dalam), dan HEPA filter.
19
c. Skoring
Unit ini menjalankan fungsi verifikasi data hasil pengamatan berkala pada
setiap tahapan kultur jaringan. Pendataan berfungsi terutama dalam
mempersiapkan evaluasi, prediksi (kerja), dan preparasi media. Pada tiap
tahapan kultur jaringan (eksplan, kalus, embrio, shoot development, root
induction, dan aklimatisasi) memiliki objek data yang disesuaikan dengan
perencanaan kerja selanjutnya. Unit ini sangat berkaitan dengan data yang
direkam dalam bentuk kode-kode tertentu dalam label tiap kultur tanaman pada
masing-masing vessel.
Kode-kode ini berfungsi dalam analisis mengenai asal-usul tanaman dan
medianya. Dengan adanya riwayat dari kode tersebut, baik abnormalitas
maupun kontaminasi dapat dideteksi penyebab spesifiknya. Lebih lagi dalam
label tercantum kode penanam dan kode mesin autoklaf serta sesinya. Hal ini
mempermudah jika terjadi error dapat lebih spesifik dalam melakukan
penanggulangan.
Gambar 3.13 Vessel tanaman dicantumi label dengan kode yang diinput pada
bagian skoring
20
dan khusus bagi setiap tahap. Data yang umum, dikumpulkan di setiap tahap
berupa data kontaminasi. Pada tahap eksplan data pada komputer di print out
untuk diperiksa sesuai dengan kondisi kultur yang ada pada tahap ini dapat pula
dilakukan pendataan kalus (sebaiknya pada tahap subkultur 3).
Pada tahap kalus, selain pencocokan data komputer dengan kondisi kultur
sebenarnya, terdapat pendataan embrio terutama bagi yang telah melewati masa
subkultur 6 pendataan embrio. Berbeda halnya dengan tahap embrio, pada tahap
ini pendataan lebih kompleks mengingat terdapat pertumbuhan embrio yang
beragam mulai dari new embrio (NE), green embrio (GE), shoot, bahkan root.
Data-data tersebut dikalkulasikan persentasenya dengan melibatkan persentase
sel yang mati, browning, proliferasi (tingkat pembelahan sel), dan diberikan
peringkat sesuai standar yang telah ditetapkan perusahaan.
Prediksi ini dilakukan dengan menghitung jumlah individu pada seiap fase
kemudian diakumulasikan berdasarkan kapasitasnya. Sebagai gambaran dalam
1 SB dapat memuat 20 embrio berukuran kecil (GE/NE), 8 embrio berukuran
besar, 12 titik untuk shoot development, dan masing-masing 2 individu untuk
fase RI dan aklimatisasi dalam ST atau LT. Setiap kelompok kultur yang
sedang mengalami fase embrioid akan diakumulasikan jumlah dan jenis
individu guna menghasilkan output data prediksi kebutuhan media dan vessel
serta jadwal transfer. Selain memprediksi hal di atas, tim skoring selanjutnya
akan memprediksi discard pula pada form serah terima dengan tim pengiriman
(pre-nursery/PN).
21
d. Pre-Nursery
Sebagai unit hilir, bagian ini tidak lagi bertempat di gedung baik kantor
maupun laboratorium. Sebagai ruang adaptasi dan tahap penyiapan ramet
hingga siap tanam, tentu membutuhkan ruang terbuka yang merepresentasikan
kondisi perkebunan. Lahan tersebut direalisasikan dalam bentuk rumah kaca
(green house) sebagai tempat pemeliharaan tanaman guna mengahasilkan
tanaman yang siap dan layak dipindahkan ke kebun. Setelah melalui tahap ini,
tanaman yang akan dibawa ke kebun harus memiliki kriteria; 1) jumlah daun
minimal 5, 2) tinggi minimal 15 cm, dan 3) akar dalam kondisi baik. Ramet-
ramet ini disiapkan untuk pengiriman ke lahan perkebunan dan merupakan
produk akhir.
Meskipun tanaman sudah cukup kuat untuk ditanam di luar vessel, pada
tahap pre-nursery tanaman perlu diperhatikan kondisi nutrisi yang diserap
melalui akar dan tetap diberikan pupuk yang diserap melalui daun. Pupuk dan
22
pestisida diberikan secara berkala. Nutrisi yang terlalu pekat dapat
menyebabkan kematian, terlebih pembuatan medium dilakukan dalam skala
besar dan dialirkan pada tanaman dalam jumlah besar.
23
Tabel 3.1 Jenis-Jenis Abnormalitas pada Kultur Tanaman Kelapa Sawit
Jenis Deskripsi Contoh Keterangan
Abnormalitas
Crinkled Struktur daun Kondisi ini dapat
berkerut ditolerir jika
terutama daun hanya terdapat
tengah (paling pada daun luar
muda) atau dapat
tergantikan
dengan tunas
baru.
24
Jenis Deskripsi Contoh Keterangan
Abnormalitas
Terminal Tumbuh bakal Kondisi ini
Inflourence bunga dari sangat fatal bagi
(TI) bagian pusat perumbuhan
tunas. tanaman.
25
Jenis Deskripsi Contoh Keterangan
Abnormalitas
Chimera Shoot bermotif Keadaan ini
salur hijau- sangat fatal
putih. terutama dalam
proses
fotosintesis.
26
Jenis Deskripsi Contoh Keterangan
Abnormalitas
Constrict Terdapat
gulungan daun
searah tulang
daun, sebagian
kecil ujung daun
membuka.
Shoot Tumbuh
Problem individu baru
dari tunas utama
dengan arah
yang abnormal
27
Jenis Deskripsi Contoh Keterangan
Abnormalitas
28
Jenis Deskripsi Contoh Keterangan
Abnormalitas
Multiple Tumbuh
individu dengan
arah tumbuh
normal dari satu
tunas utama.
29
Jenis Deskripsi Contoh Keterangan
Abnormalitas
Without root Tanaman tidak
memiliki akar.
Spot Tanaman
berdaun hijau
berbintik-bintik
putih.
30
c. Faktor-Faktor Penyebab Abnormalitas pada Kultur Jaringan
Ekpresi gen ke arah abnormalitas disebabkan oleh faktor genetik atau epigenetik.
Secara umum hal ini disebabkan oleh perubahan pada tingkat kromosomal yang
dapat terjadi baik pada set, jumlah, dan struktur. Perubahan gen tersebut yang
berakibat pula pada ekspresi gen pada level morfologi, fisiologi, dan biokimia
kotiledon (Sianipar, et al., 2007). Menurut Godsworty & Mina (1991) perubahan
kromosom secara langsung maupun tidak merupakan bentuk mutasi yang
mengindikasikan perubahan sifat atau abnormalitas.
Selain itu, budidaya secara in vitro dapat menginduksi atau menunjukkan variasi
antara sel-sel, jaringan, organ sehingga menciptakan variasi dalam kultur, atau di
antara somaklon. Sebagian atau semua somaklonal dapat bersifat berbeda secara
fisik dari tanaman induk (Skirvin et al., 1993). Bila diperhatikan sel-sel tanaman
berasal dari sel tanaman induk yang membelah. Tentu saja usia dan fase tiap sel
tersebut berbeda meskipun hanya sedikit. Setiap sel tetaplah merupakan individu
yang berbeda dan memiliki kecenderungan menghasilkan vasiasi.
Pada penggunaan metode kultur jaringan akan dilibatkan zat pengatur tumbuh
dalam hal ini hormon auksin, terlebih bila menggunakan 2,4-D yang disinyalir
dapat merubah susunan komponen genetika (Deambrogio & Dale, 1980). Pada
tahap kultur jaringan, terdapat fase-fase yang memungkinkan terjadinya variasi.
Penyebab hal ini adalah laju proliferasi pada kalus juga jenis kalus (Skirvin et al.,
1984; Karp, 1995). Kalus jenis tekstur remah dengan pertumbuhan yang cepat dapat
menyebabkan level yang tinggi pada abnormalitas (Duran et al., 1993 dan Jaligot
et al., 2000 pada (Mariska, et al., 2013)).
31
Euwens et al. (2002) menyatakan bahwa selain usia kalus, inkubasi yang panjang
pada fase embrioid yang panjang (1 tahun) dapat menyebabkan tingginya
abnormalitas. Sebagai tambahan Paranjothy et al. (1993) dan Euwens et al. (2002)
menyatakan selain hal di atas, frekuensi dan umur kalus serta zat pengatur tumbuh
memengaruhi hal yang berkaitan dengan variasi karena didasarkan pada perubahan
komponen genetika.
Kendati level abnormalitas pada tanaman kelapa sawit asal kultur jaringan cukup
tinggi, kelapa sawit tetap dipilih berdasarkan satuan tanaman, produktivitas
tanaman hasil kultur jaringan terbukti lebih tinggi 23 sampai 39% dibandingkan
tanaman asal benih (Subronto et al., 1995 dalam (Mariska, et al., 2013)). Pada
dasarnya benih dari hasil kultur jaringan masih menjadi pilihan terutama adanya
jaminan tingkat abnormalitas yang hanya 5%-10%. Oleh karena itu diperlukan
protokol teknologi kultur jaringan untuk perbanyakan kelapa sawit dengan tingkat
abnormalitas yang rendah hal ini dapat mempertimbangkan konsentrasi auksin
yang optimal (Mariska, et al., 2013).
3.2.2 Analisis Abnormalitas pada Kultur Jaringan Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis
Guneensis Jacq.) di PT SMART Tbk.
32
250
225
200
175
150
125
100
75
50
25
Gambar 3.15 Kurva jumlah tanaman abnormal pada pengamatan bulan Mei 2017
Dari kurva tersebut dapat ditunjukkan jenis dan jumlah tanaman yang
abnormal pada proses pengamatan selama Mei 2017. Jenis abnormalitas yang
paling sering muncul adalah tipe grassy. Pada kondisi ini, abnormalitas tanaman
tidak bisa diatasi dengan pemberian perlakuan agar kembali normal karena
kecenderungan tanaman membentuk shoot terus menerus sehingga perkembangan
tanaman menjadi terhambat. Proliferasi pada tipe grassy tidak sesuai dengan
seharusnya, dapat disebabkan sejak fase embrioid.
Selain tipe grassy, frekuensi yang paling sering muncul adalah tipe tanpa
akar (without root). Selain akibat dari karakter gen tanaman, kondisi ini dapat
disebabkan oleh human error saat proses pemisahan shoot setelah tahap embrioid
terutama pada pemotongan bagian yang akan dipisahkan. Dengan bertambahya
faktor penyebab, peluang terjadinya abnomalitas tipe without root semakin besar.
33
Begitu pun pada SP (shoot problem) yang terjadi baik karena kondisi gen,
maupun akibat bonggol yang terpotong tidak sesuai sebagaimana mestinya (akibat
human error) terutama pada tahap embrioid. Pada tahap embrioid pun lebih baik
tanaman diinkubasi lebih singkat sehingga batas discard diperketat. Hal ini
dikaitkan dengan usia yang singkat pada embrioid selama diinkubasi dapat
menurunkan secara drastis angka abnormalitas, kecuali dengan perlakuan interval
4 minggu dengan konsentrasi sitokinin yang tinggi (Euwens et al., 2002).
Jenis abnormal constrict dan broad leaf tidak ditemukan pada pengamatan
selama bulan Mei 2017. Kedua tipe ini terekspresi di daun dan didominasi akibat
pengaruh ekspresi gen sejak awal dan sangat minim kemungkinan human error.
Frekuensi yang menengah terdapat pada tipe twist dan crinkled. Kedua tipe ini
masih dapat ditolerir selama dapat menghasilkan tunas baru yang normal sehingga
frekuensinya tidak terlalu berpengaruh terhadap penurunan populasi ramet
dibandingkan tipe grassy.
34
Untuk tingkat abnormalitas yang rendah pemulihan kondisi fenotipe menjadi
normal kembali dapat mencapai 100% dan 50%. Adapun tingkat abnormalitas yang
relatif tinggi dengan waktu pemulihan 9 tahun (Rival, et al., 1998). Regenerasi
shoot dari tunas apikal secara umum relatif sederhana dan tidak rentan terhadap
variasi somaklonal dan abnormalitas kromosom (Saeed et al., 1997). Dengan
mengantisipasi abnormalitas secara general yaitu dari penyebab utamanya dapat
menjadi solusi yang universal dan lebih sederhana bagi seluruh tipe abnormal.
35
BAB IV
4.2 Saran
Penulis menyarankan agar dilakukan penelitian mengenai zat pengatur tumbuh yang tidak
menstimulasi abnormalitas juga peningkatan keterampilan tenaga penanam. Pelepah yang
tidak digunakan pada inokulasi merupakan biomasa yang dapat dikonversi menjadi sumber
energi lain sehingga bernilai ekonomis dan sebaiknya tidak langsung dibuang, dapat dijual atau
dikonversi sendiri.
36
LAMPIRAN
37
LAMPIRAN A
STRUKTUR ORGANISASI
38
DAFTAR PUSTAKA
Deambrogio, E., & Dale, P. (1980). 1980. Effect of 2,4-D on the frequency of
regenerated plant in barley (Hordeum vulgare) cultivar 'Akka' and on genetic
variability between Them. Cereal Res. Commun, 8, 417-424.
Eeuwens, C., L., S., D., & al., C. e. (2002). Plant Cell, Tissue and Organ Culture, 311.
Ginting, G., Torun-Mathius, N., Aswidinoor, H., Wattimena, G. A., Thenawijay, M.,
& Hetharie, H. (2007). Karakterisasi Morfologi Bunga dan Buah Abnormal
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Hasil Kultur Jaringan . Bul. Agron.,
35(1), 50-57.
Goldsworty, A., & Mina, M. G. (1991). Electrical patterns of tobacco cells in media
containing indole-3-acetic acid or 2,4-D. Plants 183, 386-373.
Husni, A., & Kosmiatin, M. (2005). Seleksi In Vitro Tanaman Lada untuk Ketahanan
terhadap. AgroBiogen, 1, 13-19.
Karp, A. (1995). Somaclonal variation as a tool for crop improvement. Euphytica, 85,
295302.
Maftuchah, & Loedin, I. (2000). Induksi tunas dari kalus embriogenik padi Cisadane
dalam berbagai konsentrasi IAA dan BAP. Prosiding Seminar Nasional
Bioteknologi, (pp. 134-140). Yogyakarta.
Mariska, I., Hobir, M., Seswita, D., & Lestari., E. (1997.). Improvement of oil content
of patchouly through in vitro culture and irradiation. . Proc. Seminar on
Mutation Breeding in Oil and Industrial Crop for Nuclear Cooperation in Asia.
RDA and Japan Atomic Industrial Forum.
Mariska, L., Hutami, S., Sukmadjaja, D., Kosmiatin, M., Rahayu, S., & Utami, S.
(2013). Inovasi. Bogor: Badan Litbang Pertanian.
39
Paranjothy, K., Othman, R., Tan, C., Wang, G., & Soh, A. (1993). Incidence of
abnormalities in relation to in vitro protocols. In Rao et al. (Eds.). Recent Devin
Oil Palm Tissue Culture and Biotechnology, 131-141.
Rival, A., Bertrand, L., Beule, T., Combes, M., Trouslot, P., & Lashermes, P. (1998).
Suitability of RAPD analysis for the detection of somaclonal variants in oil
palm (Elaeis guineensis Jacq.). Plant Breed, 117, 73-76.
Saeed, N., Zafar, Y., & Malik, K. (1997). A simple procedure of Gossypium meristem
shoot tip culture. Plant Cell, Tissue and Organ Culture, 51, 201-207.
Sianipar, N. F., Wattimena, G. A., Aswidinnoor, H., S., M. T., Mathius, N. T., &
Ginting, G. (2007). Karakterisasi secara Morfologi Abnormalitas Embrio
Somatik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) dari Eksplan Daun . Jurnal
AgroBiogen, 3(1), 32-39.
Skirvin, R. M., Norton, M., & McPheeters, K. D. (1993). Somaclonal variation: has it
proved useful for plant improvement? Acta Hortic, 333-340.
Skirvin, R., McPheeters, K., & Norton, M. (1994). Source and frequency of somaclonal
variation. Hort. Sci, 70, 1232-1237.
40