Anda di halaman 1dari 3

Roso Suroso Dan Puisi Sebagai Senjata Kritik

Dengan latar hitam, juga sebuah lukisan sederhana bergambar anak-anak


bermain musik, puisi-puisi protes mengalir deras dari mulut seorang bekas
tahanan politik di era kediktatoran Orde Baru.

Dia adalah Roso Suroso. Rabu (9/12/2015) malam, Roso sedang


membacakan puisi-puisinya di acara Reboan Jaker. Ini sekaligus
sosialisasi rencana pembukuan karya-karya puisinya oleh Jaker.

Malam itu Roso membacakan sejumlah puisinya, seperti Kami Datang


Menentang Ketidakadilan (2015), Ada Yang Aneh di Negeri Ini (2015),
Kanak-Kanak Menggendong Bayi (2015), Kepada Kekuasaan (2015), Di
Batas Kerinduan (1998), dan Ketika Aku Bertanya (1998).

Puisi-puisi itu ditulis dalam rentang waktu antara 1998 hingga sekarang.
Sebagian besar berbau kritik sosial. Seperti puisi Kami Datang Menentang
Ketidakadilan (2015). Puisi ini berisi ungkapan tentang arti penting dari
aksi massa atau demonstrasi.

Kami datang berdemonstrasi/ Menyampaikan keinginan yang belum


terpenuhi/ Menuntut hak kami yang selalu dipreteli/ Melawan segala yang
kami anggap salah/ Meneggakkan keadilan yang semestinya kami rasa ()

Di lihat dari tanggal pembuatannya, yakni 9 November 2015, puisi adalah


kritik pedas terhadap Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta terkait
penyampaian pendapat di muka umum. Bagi banyak pihak, termasuk Roso,
Pergub tersebut justru mengekang kebebasan berpendapat.

Kemudian puisi Kanak-Kanak Menggendong Bayi (2015). Puisi bercerita


tentang anak jalan yang harus mengemis di dekat perempatan lampu merah.
Sebuah pemandangan umum di hampir semua kota-kota besar di Indonesia.

Kanak-kanak menggendong bayi/ Diam di persimpangan/ Di bawah tiang


lampu jalan/ Ditingkah bising kendaraan/ Dalam malam yang kian matang/
Menanti rezeki yang tak kunjung datang.

Lain lagi dengan puisi Ada Yang Aneh di Negeri Ini (2015). Jelas sekali,
puisis adalah ungkapan kekecewaan dan kritik si penulis puisi terhadap
bungkamnya sebagian besar aktivis ketika pemerintahan Jokowi-JK
mengeluarkan kebijakan yang merugikan rakyat.

..Lalu dimana para aktivisnya yang selama ini teriak lantang menentang
kebijakan penguasa? begitulah bunyi selarik puisi tersebut.

Sedangkan puisi Di Batas Kerinduan (1998) lain lagi. Puisi ini ditulis oleh
Roso saat masih mendekam di balik jeruji besi, tepatnya di LP Cipinang,
tahun 1998. Puisi ini menggambarkan kerinduan si penulis dengan aksi
massa yang sering dilakoni bersama kawan-kawan seperjuangannya di
Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Tubuh-tubuh berkeringat/ Ikat kepala merah/ Barisan massa memanjang/


Spanduk dan tuntutan terpampang/ Teriakan massa bersahutan/ Tangan
tetap bergandengan/ Merangsek tembok kekuasaan.

Untuk diketahui, pasca tragedi 27 Juli 1996, aktivis PRD menjadi sasaran
pemburuan oleh penguasa Orba. Tidak terkecuali Roso. Singkat cerita, dia
pun ditangkap dan dipenjara oleh Orde baru bersama beberapa pimpinan
PRD lainnya, seperti Budiman Sudjatmiko, Petrus Hari Hariyanto, I Gusti
Anom Astika, Yakobus Eko Kurniawan, Wilson, Ignatius Pranowo, Garda
Sembiring, dan Ken Budha Kusumandaru. Mereka baru menghirup udara
bebas pada 10 Desember 1999.

Menurut Antun Joko Susmana, puisi-puisi Roso tergolong puisi kemarahan.


Puisi tersebut dulu menjadi senjata protes di jaman Orba. Salah satu
tokohnya adalah Wiji Thukul, ujar Wakil Ketua Umum KPP-PRD ini.

Yang menarik, kata AJ Susmana, puisi Roso tidak hanya mengungkapkan


kemarahan atau protes, tetapi juga dilengkapi dengan data hasil observasi
dan riset yang mendalam.

Seperti puisi Wajah Negeri (2010), Roso menggambarkan sangat detail


bagaimana kapitalisme mengcekik rakyat. Listrik belum masuk, tapi
handphone sudah ada. Lalu mereka dicekik dengan harga pulsa.
Penggambaran sedetail itu tidak mungkin tanpa observasi dan riset,
jelasnya.

Selain dibacakan oleh Roso sendiri, puisi-puisinya juga dibacakan oleh


Dominggus Oktavianus dan Willy Soeharly. Dominggus, yang juga
Sekretaris Jenderal PRD, membacakan puisi Roso yang berjudul Kemarau
Begitu Panjang (2015). Sedangkan Willy membacakan puisi berjudul Di
Batas Kerinduan (1998).

Acara ini juga diselingi dengan musikalisasi puisi oleh duo Jack dan Lubis.
Juga penampilan dari anak-anak muda penggemar rock yang menyebut
dirinya Rebel.

Mahesa Danu

Sumber: Berdikari Online

Anda mungkin juga menyukai