Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. F
Umur : 8 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Lembang timur
No. RM :

II. ANAMNESIS
Autoanamnesis
Keluhan Utama : Demam
Anamnesis Terpimpin:
Dialami sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam terus-menerus.
Riwayat demam sebelumnya (+), 10 hari yang lalu pasien didiagnosis tifoid di
puskesmas lalu di terapi dan demam sempat hilang tapi muncul kembali.
Pasien mengkonsumsi obat puyer dari puskesmas saat didiagnosis tifoid.
Pasien juga mengeluh batuk, yang dialami 2 hari sebelum masuk rumah
sakit. Batuk disertai lendir warna putih. Darah (-).
Kejang (-). Riwayat kejang (-). Mual (-) muntah (+) 1 kali. Nyeri perut (+).
Buang air besar encer sejak kemarin, frekuensi 1 kali. Buang air kecil lancar
warna kuning.

Riwayat Penyakit Sebelumnya :


Riwayat alergi disangkal.

III. STATUS PRESENT


Sakit Sedang / Gizi cukup / Composmentis
BB = 15 kg,
TB = 95 cm,

1
Tanda vital :
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 120 x/menit, Reguler
Pernapasan : 40 x/menit
Suhu : 40,3oC (Axilla)

IV. PEMERIKSAAN FISIS


Kepala
Ekspresi : biasa
Simetris muka : simetris kiri = kanan
Deformitas : (-)
Rambut : hitam lurus,sukar dicabut
Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus : (-)
Gerakan : ke segala arah
Kelopak Mata : edema (-)
Konjungtiva : anemis (-)
Sklera : ikterus (-)
Kornea : jernih
Pupil : bulat isokor
Telinga
Pendengaran : kesan normal
Tophi : (-)
Nyeri tekan di prosesus mastoideus : (-)
Hidung
Perdarahan : (-)
Sekret : (-)
Mulut
Bibir : pucat (+), kering (+)
Lidah : kotor (+),tremor (+), hiperemis (+)
Tonsil : T1 T1, hiperemis (-)

2
Faring : hiperemis (-)
Gigi geligi : dalam batas normal
Gusi : perdarahan (-)
Leher
Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran
Pembuluh darah : tidak ada kelainan
Kaku kuduk : (-)
Tumor : (-)
Thoraks
- Inspeksi :
Bentuk : simetris kiri dan kanan (normochest)
Pembuluh darah : tidak ada kelainan
Buah dada : tidak ada kelainan
Sela Iga : normal, tidak melebar
- Palpasi :
Fremitus raba : sama pada paru kiri dan kanan
Nyeri tekan : (-)
Massa tumor : (-)
- Perkusi :
Paru kiri : sonor
Paru kanan : sonor
Batas paru-hepar : ICS IV dekstra
Batas paru belakang kanan : CV Th. VIII dekstra
Batas paru belakang kiri : CV Th. IX sinistra
- Auskultasi :
Bunyi pernapasan : bronkial
Bunyi tambahan : Rh -/- ,Wh -/-
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba

3
Perkusi : pekak
batas atas jantung ICS II sinistra
batas kanan jantung ICS IV linea parasternalis dextra
batas kiri jantung ICS IV linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I/II murni regular, bising (-)
Perut
Inspeksi : cembung, ikut gerak napas.
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani (+) ascites (-)
Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal
Alat Kelamin
Tidak dilakukan pemeriksaan
Anus dan Rektum
Tidak dilakukan pemeriksaan
Punggung
Palpasi : NT (-), MT (-), Gibbus (-)
Nyeri ketok : -/-
Auskultasi : Bruit (-)
Gerakan : Normal
Ekstremitas
Edema dorsum pedis -/-
Edema pretibial -/-

V. LABORATORIUM
Widal test :
VI. ASSESSMENT :
Dehidrasi ringan sedang
Tifoid
ISPA
Urtikaria
Anemia

4
VII. PENATALAKSANAAN AWAL
A. Diet lunak
B. O2 3 lpm
C. IVFD KAEN 3B 16 tpm
D. Injeksi Ceftriaxone 1 gr/12 jam/IV
E. Injeksi Cetapain 150 mg/8 jam/IV
F. Injeksi dexametasone 1 amp/8 jam/IV
G. Ambroxol 30mg 3x1/2
H. Amoxicillin 500mg 3x1/2

VIII. PROGNOSIS
Ad functionam : Dubia et bonam
Ad sanationam : Dubia et bonam
Ad vitam : Dubia et bonam

IX. RESUME
Seorang anak 8 tahun masuk ke rumah sakit dengan keluhan demam.
Dialami sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam terus-menerus.
Riwayat demam sebelumnya (+), 10 hari yang lalu pasien didiagnosis tifoid di
puskesmas lalu di terapi dan demam sempat hilang tapi muncul kembali.
Pasien mengkonsumsi obat puyer dari puskesmas saat didiagnosis tifoid.
Pasien juga mengeluh batuk, yang dialami 2 hari sebelum masuk rumah
sakit. Batuk disertai lendir warna putih. Darah (-).
Kejang (-). Riwayat kejang (-). Mual (-) muntah (+) 1 kali. Nyeri perut (+).
Buang air besar encer sejak kemarin, frekuensi 1 kali. Buang air kecil lancar
warna kuning.
Riwayat Penyakit Sebelumnya: Riwayat alergi lainnya disangkal.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan pasien sakit sedang, kesadaran
composmentis, dan gizi kurang. Tekanan Darah 120/80 mmHg, Nadi
120x/menit, pernapasan 40x/menit, suhu 40,3C.

5
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis, maka pasien ini diassessment
dengan Dehidrasi ringan sedang, Tifoid, ISPA, Urtikaria dan Anemia.

6
DEMAM TIFOID

I. PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serovar typhi (S. typhi). Salmonella enterica serovar
paratyphi A, B, dan C juga dapat menyebabkan infeksi yang disebut demam
paratifoid. Demam tifoid dan paratifoid termasuk ke dalam demam enterik.
Pada daerah endemik, sekitar 90% dari demam enterik adalah demam tifoid.
Demam tifoid juga masih menjadi topik yang sering diperbincangkan.1
Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kualitas yang mendalam dari
higiene pribadi dan sanitasi lingkungan seperti higiene perorangan dan higiene
penjamah makanan yang rendah, lingkungan yang kumuh, kebersihan tempat-
tempat umum (rumah makan, restoran) yang kurang serta perilaku masyarakat
yang tidak mendukung untuk hidup sehat. Seiring dengan terjadinya krisis
ekonomi yang berkepanjangan akan menimbulkan peningkatan kasus-kasus
penyakit menular, termasuk tifoid ini.2
Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan
reservoir untuk Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup
selama berhari-hari di air tanah, air kolam, atau air laut dan selama berbulan-
bulan dalam telur yang sudah terkontaminasi atau tiram yang dibekukan.1

II. EPIDEMIOLOGI
Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa
dengan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik yang sampai
saat ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang. Secara
keseluruhan, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6 juta kasus dengan
216.500 kematian pada tahun 2000. Insidens demam tifoid tinggi (>100 kasus
per 100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia Tengah dan Selatan, Asia
Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan; yang tergolong sedang (10-100
kasus per 100.000 populasi per tahun) di Asia lainnya, Afrika, Amerika Latin,

7
dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah
(<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya.1
Di indonesia, demam tifoid jarang dijumpai secara epidemis tapi bersifat
endemis dan masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Kejadian
penyakit ini di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun dengan
rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6% - 5%.2
Departemen Kesehatan RI tahun 1997 melaporkan demam tifoid berkisar
350810 kasus per 100.000 penduduk per tahun dengan angka kematian
2%. Di Jawa Timur kejadian demam tifoid di Puskesmas dan beberapa
rumah sakit masing-masing 4000 dan 1000 kasus per bulan, dengan angka
kematian 0,8% (Depkes 1994). Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama
periode 5 tahun (19911995) telah dirawat 586 penderita demam tifoid
dengan angka kematian 1,4%, dan selama periode 19962000, telah
dirawat 1563 penderita demam tifoid dengan angka kematian 1,09%.3
Di indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang
berusia 3-19 tahun. Selain itu, demam tifoid di indonesia juga berkaitan dengan
rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam
tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, dan tidak tersedianya tempat
buang air besar dalam rumah.1

III. DEFINISI
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri
gram negative-bacillus Salmonella typhi dan ditandai dengan demam dan nyeri
abdominal. Demam tifoid merupakan penyakit yang unik yang berhubungan
dengan pembesaran Peyers patches dan limfonodus mesenterika. Demam
tifoid ditularkan melalui rute fecal-oral oleh makanan dan minuman yang
terkontaminasi.4,5

8
IV. ETIOLOGI
Salmonella typhi ialah bakteri gram negatif, berflagela, bersifat
anaerobik fakultatif, tidak berspora, berkemampuan untuk invasi, hidup dan
berkembang biak di dalam sel kariotik. Di samping itu mempunyai beberapa
antigen: antigen O, antigen H, antigen Vi dan Outer Membrane Protein
terutama porin OMP.3
1. Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh
kuman. Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini
tahan terhadap pemanasan 100C selama 25 jam, alkohol dan asam
yang encer.3
2. Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili
S. typhi dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H
phase-1 tunggal yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen
ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60C dan pada pemberian
alkohol atau asam.3
3. Antigen Vi
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi
kuman dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila
dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60C, dengan pemberian asam dan
fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier.3
4. Outer Membrane Protein (OMP)
Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar
membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel
terhadap lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu
protein porin dan protein nonporin. Porin merupakan komponen utama
OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran
hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya
resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85100C. Protein
nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat

9
sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan
jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen OMP S typhi yang sangat
spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa.3

V. PATOFISIOLOGI
Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui
beberapa tahapan. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut
dapat bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui
mukosa usus pada ileum terminalis. Di usus, bakteri melekat pada mikrovili,
kemudian melalui barier usus yang melibatkan mekanisme membrane ruffling,
actin rearrangement, dan internalisasi dalam vakuola intraseluler. Kemudian
Salmonella typhi menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam
pembuluh darah melalui sistem limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap
ini dan biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih
memberikan hasil yang negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari.
Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan
berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa,
dan sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag.
Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam sistem
peredaran darah dan menyebabkan bakteremia sekunder sekaligus menandai
berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala klinis
seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen. Bakteremia dapat menetap
selama beberapa minggu bila tidak diobati dengan antibiotik. Pada tahapan ini,
bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan
Peyers patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada Peyers patches dapat
terjadi melalui proses inl amasi yang meng-akibatkan nekrosis dan iskemia.
Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi.
Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ
sistem retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali.
Menetapnya Salmonella typhi dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai
pembawa kuman atau carrier.1

10
VI. DIAGNOSIS
4.1 GEJALA DAN TANDA
Manifestasi klinis demam tifoid bervariasi dari ringan dengan demam
ringan, malaise, dan batuk kering ringan sampai gambaran klinis yang
berat dengan ketidaknyamanan perut dan beberapa komplikasi. Banyak
faktor yang mempengaruhi tingkat keparahan dan outcome klinis secara
keseluruhan dari suatu infeksi. Seperti durasi penyakit sebelum memulai
terapi yang tepat, pilihan pengobatan antimikroba, usia, paparan
sebelumnya atau riwayat vaksinasi, virulensi dari strain bakteri, jumlah
inokulum yang tertelan, dan beberapa faktor host yang mempengaruhi
status kekebalan.6
Presentasi demam tifoid juga dapat berbeda menurut umur. Meskipun
data dari Amerika Selatan dan bagian lain di Afrika menunjukkan bahwa
tifoid biasanya memberikan gambaran sebagai penyakit ringan pada anak-
anak, ini mungkin berbeda di berbagai belahan dunia. Ada bukti yang
muncul dari Asia Selatan bahwa penyajian tifoid mungkin lebih dramatis
pada anak usia <5 tahun, dengan komplikasi dan rawat inap yang relatif
lebih tinggi. Diare, toksisitas, dan komplikasi seperti disseminated
intravascular juga lebih sering terjadi pada bayi, dengan tingkat kematian
kasus lebih tinggi. Namun, beberapa manifestasi lain dan komplikasi
demam tifoid yang terlihat pada orang dewasa, seperti bradikardi relatif,
manifestasi neurologis, dan perdarahan gastrointestinal jarang terjadi.6
Gejala klinis demam tifoid biasanya dengan demam tinggi disertai
manifestasi lain seperti myalgia umum, nyeri perut, hepatosplenomegali,
nyeri perut, dan anoreksia. Pada anak-anak, diare dapat hadir pada tahap
awal penyakit dan dapat diikuti oleh sembelit. Dengan tidak adanya
lokalisasi tanda-tanda, tahap awal penyakit ini mungkin sulit dibedakan
dari penyakit endemik lainnya seperti malaria atau demam berdarah.
Demam dapat meningkat secara bertahap, tetapi munculnya tanda klasik

11
stepladder demam ini relatif jarang. Pada sekitar 25% kasus, suatu ruam
makula atau makulopapular (rose spots) dapat terlihat pada hari ke-7
sampai 10 perjalanan penyakit, pada dada bagian bawah dan perut. Lesi ini
mungkin sulit terlihat pada anak-anak berkulit gelap.6
Manifestasi klinis yang umum pada pasien anak demam tifoid6
Demam tinggi 95%
Lidah kotor 76%
Anorexia 70%
Muntah 39%
Hepatomegaly 37%
Diare 36%
Toxicity 29%
Nyeri perut 21%
Pucat 20%
Splenomegali 17%
Konstipasi 7%
Nyeri kepala 4%
Jaundice 2%
Obtundation 2%
Ileus 1%
Perforasi usus 0,5%

4.2 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Kultur
- Darah
Kultur darah merupakan gold standar untuk diagnosis demam tifoid.
Sensitivitas kultur darah didapatkan paling tinggi di minggu pertama
penyakit dan berkurang seiring dengan perjalanan penyakit. Secara
keseluruhan sensitivitas kultur darah sekitar 50% tetapi menurun
tajam apabila telah diberikan terapi antibiotik sebelumnya.
Kegagalan untuk mengisolasi organisme mungkin disebabkan oleh

12
beberapa faktor yang meliputi media laboratorium yang tidak
memadai, volume darah yang diambil untuk kultur, kehadiran
antibiotik dan waktu pengambilan darah.7
- Bone marrow
Salmonella typhi merupakan patogen intraselular di sel
retikuloendotelial termasuk di sumsum tulang. Penelitian
menemukan bahwa rata-rata bakteremia di sumsum tulang adalah 9
CFU/ml dibandingkan dengan kultur darah yang hanya 0,3 CFU/ml.
Perbandingan bakteremia antara sumsum tulang dengan darah pada
minggu pertama penyakit adalah sekitar 4,8 dan meningkat menjadi
158 selama minggu ketiga dikarenakan hilangnya bakteremia di
darah. Secara keseluruhan sensitivitas kultur sumsum tulang adalah
80-95%. Namun karena tindakan aspirasi sumsum tulang yang
sangat invasif sehingga tidak dijadikan sebagai first line
investigation.7
- Tinja, urin dan kultur lainnya.
Spesimen tinja harus dikumpulkan dalam wadah steril bermulut
lebar. Spesimen sebaiknya diproses dalam waktu 2 jam setelah
pengumpulan. Jika ada penundaan, spesimen harus disimpan dalam
lemari es pada suhu 4 C atau di cool box dengan paket freezer.
Sensitivitas biakan tinja tergantung pada jumlah tinja yang dikultur,
dan positivity rate meningkat dengan lamanya durasi penyakit. Swab
rektal harus dihindari karena kurang berhasil. Kultur tinja positif
pada 30% pasien dengan
demam tifoid akut. Kultur urin tidak dianjurkan untuk diagnosis
karena rendahnya tingkat sensitivitas. Metode lain seperti duodenal
string dan skin snip culture dari rose spots telah dilaporkan lebih
baik dibandingkan kultur darah tetapi masih memerlukan penelitian
lebih lanjut.7
b. Serologic test
- Widal test

13
Widal test adalah metode diagnosis andalan untuk demam tifoid
selama beberapa dekade. Widal test digunakan untuk mengukur
agglutinating antibodi terhadap antigen H dan O dari S
typhi.(medscape) Tes ini hanya memiliki tingkat sensitivitas dan
spesifisitas yang sedang. Tes ini dapat memberikan hasil negatif
pada 30% kasus yang telah terbukti positif demam tifoid dengan
kultur. Hal ini mungkin karena adanya terapi antibiotik sebelumnya.
Di sisi lain, S. typhi memilki antigen O dan H yang sama dengan
serotipe Salmonella lainnya dan memiliki cross-reacting epitopes
dengan bakteri Enterobacteriacae lainnya, sehingga dapat
memberikan hasil positif palsu. Baik karena tingkat sensitifitas dan
spesifitasnya, widal test tidak lagi digunakan.8
- IDL Tubex test
Tubex test merupakan tes yang mudah dilakukan dan berlangsung
hanya sekitar 2 menit. Tes ini didasarkan pada deteksi antibodi
terhadap antigen tunggal di S. typhi. Antigen 09 yang digunakan
dalam tes ini sangat spesifik dan hanya ditemukan pada kelompok
serogrup D salmonella. Hasil positif selalu menyatakan adanya
infeksi salmonella tetapi tidak memberikan gambaran kelompok
serogrup D salmonella mana yang bertanggung jawab. Infeksi oleh
serotipe lainnya seperti S. paratyphi A memberikan hasil negatif. Tes
ini juga mendeteksi antibodi IgM tetapi tidak mendeteksi IgG yang
dapat membantu dalam diagnosis adanya infeksi yang baru.7

VII. PENATALAKSANAAN
Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sangat penting pada demam
tifoid. Sebagian besar anak-anak dengan tifoid dapat dirawat di rumah dengan
antibiotik oral disertai follow up ketat untuk mengetahui komplikasi atau
respon terhadap terapi. Pasien dengan muntah terus-menerus, diare berat, dan
distensi abdomen mungkin memerlukan rawat inap dan terapi antibiotik
parenteral.6

14
Ada prinsip-prinsip umum pengelolaan demam tifoid. Istirahat yang cukup
dan rehidrasi, penting untuk memperbaiki ketidakseimbangan cairan elektrolit.6
Untuk dietik, pasien dengan demam tifoid dapat diberikan makanan biasa.
Untuk keadaan khusus seperti kesadaran menurun dan anoreksia, dapat
diberikan makanan cair per sonde.9 Terapi antipiretik ( asetaminofen 120-750
mg setiap 4-6 jam PO ) harus disediakan sesuai kebutuhan. Terapi antibiotik
sangat penting untuk meminimalkan komplikasi. Telah dikemukakan bahwa
terapi tradisional dengan kloramfenikol atau amoksisilin dikaitkan dengan
tingkat kekambuhan 5-15 % dan 4-8 %, sedangkan kuinolon dan sefalosporin
generasi ke-3 dikaitkan dengan tingkat kesembuhan yang lebih tinggi.
Pengobatan antibiotik demam tifoid pada anak-anak juga dipengaruhi oleh
prevalensi resistensi antimikroba. Selama 2 dekade terakhir, munculnya strain
resisten dari S. Typhi (yaitu resisten terhadap amoksisilin, trimethoprim -
sulfamethoxazole, dan kloramfenikol) telah mengharuskan pengobatan dengan
fluoroquinolones, yang merupakan obat antimikroba pilihan untuk pengobatan
salmonellosis pada orang dewasa, atau sefalosporin. Munculnya resistensi
terhadap kuinolon telah menimbulkan tekanan yang besar pada sistem
kesehatan masyarakat, dikarenakan pilihan terapi untuk demam tifoid yang
terbatas.6

15
VIII. KOMPLIKASI
Meskipun perubahan fungsi hati banyak ditemukan pada pasien dengan
demam tifoid, hepatitis yang signifikan, jaundice, dan cholecystitis relatif
jarang ditemukan. Perdarahan usus (<1%) dan perforasi (0,5-1%) jarang terjadi
pada anak-anak. Perforasi usus dapat didahului oleh nyeri perut (biasanya di
kuadran kanan bawah), nyeri, muntah, dan gejala peritonitis. Perforasi usus dan
peritonitis bisa disertai dengan kenaikan tiba-tiba denyut nadi, hipotensi,
ditandai nyeri perut dan kekakuan perut. Adanya peningkatan jumlah sel darah
putih dengan left shift dan gambaran udara bebas pada radiografi abdomen
dapat ditemukan dalam kasus tersebut.6

16
IX. PROGNOSIS
Prognosis untuk pasien dengan demam tifoid tergantung pada kecepatan
diagnosis dan terapi antibiotik yang tepat. Faktor-faktor lain termasuk usia
pasien, keadaan umum kesehatan dan gizi, serotipe Salmonella penyebab, dan
komplikasi yang muncul. Bayi dan anak-anak dengan gizi buruk yang
mendasari dan mereka yang terinfeksi dengan salmonella yang resisten berada
pada risiko tinggi untuk hasil yang merugikan. Meskipun dengan terapi yang
tepat, 2-4% anak yang terinfeksi dapat mengalami kekambuhan setelah
pengobatan.6

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Nelwan RHH. Continuing Medical Education: Tata Laksana Terkini


Demam Tifoid. CDK-192/ vol. 39 no. 4, th. 2012
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid
Menteri Kesehatan Repubik Indonesia.
3. Wardhani Puspa, Prihatini, Probohoesodo. Kemampuan Uji Tabung Widal
Menggunakan Antigen Import Dan Antigen Lokal. Indonesian Journal of
Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 1, Nov 2005: 31-
37
4. Hay, William W. dkk. Current Diagnosis And Treatment: Pediatrics, 19th
ed. United States : The McGraw Hill Companies, Inc 2009
5. Fauci dkk. Harrisons Principles Of Internal Medicine, 17th ed. United
States: The McGraw Hill Companies, Inc 2008
6. Kliegman dkk. Nelson Textbook Of Pediatrics, 18 ed. Philadelphia:
Saunders, an imprint of Elsevier Inc. 2007
7. Kundu, Ritabrata dkk. Guidelines: IAP Task Force Report: Diagnosis of
Enteric Fever in Children. Indian Pediatrics Volume 43-October 17, 2006
8. World Health Organization. Background Document: The Diagnosis,
Treatment And Prevention Of Typhoid Fever. WHO/V&B/03.07 2003

18
9. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Dept. Ilmu Kesehatan Anak
FK UNHAS SMF Anak RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. 2012

19

Anda mungkin juga menyukai