I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. M
Umur : 7 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Palipi
No. RM :
II. ANAMNESIS
Autoanamnesis
Keluhan Utama : Sesak napas
Anamnesis Terpimpin:
Dialami sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak terus-menerus,
tidak dipengaruhi oleh aktivitas. Riwayat sesak sebelumnya (+), pasien
memiliki riwayat asma sejak umur 1 tahun dan sering kambuh bila cuaca
terlalu dingin. Pasien mengkonsumsi obat puyer dari puskesmas apabila sesak
kambuh. Dalam sebulan serangan sesak muncul 1 kali.
Pasien juga mengeluh batuk, yang dialami 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Batuk disertai lendir warna putih. Darah (-). Riwayat batuk (+) terutama
bila perasaan sesak mulai terasa.
Demam (-). Riwayat demam (-). Mual (-) muntah (-). Nyeri ulu hati (-).
Buang air besar biasa, buang air kecil lancar warna kuning.
1
III. STATUS PRESENT
Sakit Sedang / Gizi cukup / Composmentis
BB = 20 kg,
TB = 95 cm,
Tanda vital :
Nadi : 120 x/menit, Reguler
Pernapasan : 48 x/menit
Suhu : 36,7oC (Axilla)
2
Mulut
Bibir : pucat (-), kering (-)
Lidah : kotor (-),tremor (-), hiperemis (-)
Tonsil : T1 T1, hiperemis (-)
Faring : hiperemis (-)
Gigi geligi : dalam batas normal
Gusi : perdarahan (-)
Leher
Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran
Pembuluh darah : tidak ada kelainan
Kaku kuduk : (-)
Tumor : (-)
Thoraks
- Inspeksi :
Bentuk : simetris kiri dan kanan (normochest)
Pembuluh darah : tidak ada kelainan
Buah dada : tidak ada kelainan
Sela Iga : normal, tidak melebar
- Palpasi :
Fremitus raba : sama pada paru kiri dan kanan
Nyeri tekan : (-)
Massa tumor : (-)
- Perkusi :
Paru kiri : sonor
Paru kanan : sonor
Batas paru-hepar : ICS IV dekstra
Batas paru belakang kanan : CV Th. VIII dekstra
Batas paru belakang kiri : CV Th. IX sinistra
- Auskultasi :
Bunyi pernapasan : bronkial
3
Bunyi tambahan : Rh -/- ,Wh +/+
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : pekak
batas atas jantung ICS II sinistra
batas kanan jantung ICS IV linea parasternalis dextra
batas kiri jantung ICS IV linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I/II murni regular, bising (-)
Perut
Inspeksi : cembung, ikut gerak napas.
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani (+) ascites (-)
Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal
Alat Kelamin
Tidak dilakukan pemeriksaan
Anus dan Rektum
Tidak dilakukan pemeriksaan
Punggung
Palpasi : NT (-), MT (-), Gibbus (-)
Nyeri ketok : -/-
Auskultasi : Bruit (-)
Gerakan : Normal
Ekstremitas
Edema dorsum pedis -/-
Edema pretibial -/-
4
V. ASSESSMENT :
Asma bronkial eksaserbasi akut
VII. PROGNOSIS
Ad functionam : Dubia et bonam
Ad sanationam : Dubia et bonam
Ad vitam : Dubia et bonam
VIII. RESUME
Seorang anak 7 tahun masuk ke rumah sakit dengan keluhan sesak napas.
Dialami sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak terus-menerus tidak
dipengaruhi oleh aktivitas. Riwayat sesak sebelumnya (+), pasien memiliki
riwayat asma sejak umur 1 tahun dan sering kambuh bila cuaca terlalu dingin.
Pasien mengkonsumsi obat puyer dari puskesmas apabila sesak kambuh.
Dalam sebulan serangan sesak muncul 1 kali.
Pasien juga mengeluh batuk yang dialami 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Batuk disertai lendir warna putih. Darah (-). Riwayat batuk (+) terutama
bila perasaan sesak mulai terasa.
Demam (-). Riwayat demam (-). Mual (-) muntah (-). Nyeri ulu hati (-).
Buang air besar biasa, buang air kecil lancar warna kuning.
5
Riwayat Penyakit Sebelumnya
Riwayat alergi lainnya disangkal. Riwayat asma dalam keluarga (-).
Tidak ada riwayat konsumsi OAT. Tidak ada riwayat keluarga yang
mengkonsumsi OAT.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan pasien sakit sedang, kesadaran
composmentis, dan gizi cukup. Nadi 120x/menit, pernapasan 48x/menit, suhu
36,7C.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis, maka pasien ini
diassessment dengan asma bronkial eksaserbasi akut.
IX. DISKUSI
Assessment pada pasien ini yaitu asma bronkial eksaserbasi akut.
Diagnosis pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Apabila dilihat dari gejala klinis yang timbul, gejala
pasien yang merasa sesak, yang dipengaruhi oleh cuaca. Pasien juga memiliki
riwayat asma sejak umur 1 thn, sehingga mengeluh sering sesak, terutama
dipicu oleh pengaruh cuaca yang terlalu dingin. Gejala klinis asma klasik
adalah serangan episodik batuk, mengi dan sesak napas. Pada awal serangan,
sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik
mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa
disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan
mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Gejala
asma sering timbul pada malam hari, tetapi dapat pula muncul pada
sembarang waktu. Kadang-kadang gejala lebih sering terjadi pada musim
tertentu. Gejala asma sangat bervariasi dari satu individu ke individu lain, dan
bahkan bervariasi pada individu sendiri pada serangan yang berbeda.
Berdasarkan Global Initiative for Asthma (GINA), berdasarkan
gejalanya, asma yang diderita oleh pasien termasuk dalam eksaserbasi asma.
Eksaserbasi asma adalah episode akut atau subakut dengan sesak yang
memburuk secara progresif disertai batuk, mengi, dan nyeri dada, atau
beberapa kombinasi gejala-gejala tersebut. Eksaserbasi ditandai dengan
6
menurunnya arus napas yang dapat diukur secara obyektif (spirometri atau
PFM) dan merupakan indikator yang lebih dipercaya dibandingkan gejala.
Penderita asma terkontrol dengan steroid inhaler, memiliki risiko yang lebih
kecil untuk eksaserbasi. Namun, penderita tersebut masih dapat mengalami
eksaserbasi, misalnya bila menderita infeksi virus saluran napas. Penanganan
eksaserbasi yang efektif juga melibatkan komponen penanganan asma jangka
panjang, yaitu pemantauan, penyuluhan, kontrol lingkungan dan pemberian
obat.
Bila dilihat dari pemeriksaan fisik, secara nyata ditemukan adanya mengi
pada auskultasi toraks yang khas ditemukan pada pasien asma.
Pada pemeriksaan penunjang, hasil laboratorium darah rutin
menunjukkan kadar Hb dalam batas normal, leukosit, eritrosit dan trombosit
juga dalam batas normal. Pada pemeriksaan ginjal juga ureum dan kreatinin
dalam batas normal.
7
TINJAUAN PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
Meskipun asma telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, para ahli masih
belum sepakat mengenai definisi penyakit tersebut. Dari waktu ke waktu
definisi asma terus mengalami perubahan. Definisi asma ternyata tidak
mempermudah membuat diagnosis asma, sehingga secara praktis para ahli
berpendapat bahwa : asma adalah penyakit paru dengan karakteristik :
1. Obstruksi saluran napas yang reversible (tetapi tidak lengkap pada beberapa
pasien) baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
2. Inflamasi saluran napas.
3. Peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangsangan
(hiperreaktivitas).1
Obstruksi saluran napas ini memberikan gejala-gejala asma seperti batuk,
mengi, dan sesak napas. Penyempitan saluran napas pada asma dapat terjadi
secara bertahap, perlahan-lahan dan bahkan menetap dengan pengobatan tetapi
dapat pula terjadi mendadak, sehingga menimbulkan kesulitan bernapas yang
akut. Derajat obstruksi ditentukan oleh diameter lumen saluran napas,
dipengaruhi oleh edema dinding bronkus, produksi mukus, konstraksi dan
hipertrofi otot polos bronkus. Diduga baik obstruksi maupun peningkatan
respons terhadap berbagai rangsangan didasari oleh inflamasi saluran napas.1
II. EPIDEMIOLOGI
Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di
negara-negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia-Pasifik
seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa
tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di
Amerika Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah
dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat
setiap tahunnya. Hal tersebuht disebaban manajemen dan pengobatan asma
8
yang masih jauh dari pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for
Asthma (GINA).3
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian
pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC
(International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995
melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1% sedangkan pada tahun 2003
meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa
kota di Indonesia menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12
tahun) berkisar antara 3,7-6,4%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat
bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat
perhatian serius.3
III. DEFINISI
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas yang
menyebabkan hiperreaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang
ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas,
rasa berat didada terutama pada malam hari dan atau pada dini hari yang
umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan.2
Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-ciri
klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari
yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering
ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi
salurang napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi.
Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas
yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas.2,3
Asma dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan lingkungan, mengingat
patogenesisnya tidak jelas, asma didefinisikan secara deskripsi yaitu penyakit
inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan hiperreaktivitas bronkus
terhadap berbagai rangsangan, dengan gejala episodik berulang berupa batuk,
sesak napas, mengi dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini
hari, yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan.2,3
9
Saat ini telah banyak bukti bahwa manifestasi klinis dari asma yaitu
gejalanya, gangguan tidur, keterbatasan dalam melakukan aktivitas, kerusakan
fungsi paru, dan penggunaan obat-obatan, semuanya dapat dikontrol dengan
penanganan yang sesuai. Ketika asma sudah terkontrol maka tidak akan ada
lagi kekambuhan gejala dan eksaserbasi berat menjadi lebih jarang terjadi.2
IV. PATOFISIOLOGI
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
allergen, virus, dan iritan yang dapat meginduksi respon inflamasi akut. Asma
dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom.3
Jalur imunologis didominasi oleh antibody IgE, merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut
atopi. Pada asma alergi antibody IgE terutama melekat pada permukaan sel
mast pada interstitial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan
bronkus kecil. Bia seseorang menghirup allergen, terjadi fase sensitisasi,
antibody IgE orang tersebut meningkat. Allergen kemudian berikatan dengan
antibody IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator
yang dikeluarkan adalah histamine, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan
bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding
bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan
spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran
napas.(3-5)
Ada 3 fase terjadi pada reaksi ini : fase sensitisasi, fase reeksposure, dan
fase reaksi lambat.(4)
1. Sensitisasi
Pada fase ini alergen yang diinhalasi akan ditangkap oleh APC (antigen
presenting cell) yang terdapat pada mukosa bronkus dan akan
dipresentasikan ke CD4 sel T yang kemudian berdiferensiasi menjadi TH2.
10
Sel-sel ini kemudian mensekresikan IL-4, IL-5, IL-9, IL-10 dan IL-13,
dimana interleukin ini yang kemudian menginduksi sekresi limfosit B untuk
memproduksi IgE. Molekul IgE ini kemudian akan berikatan dengan sel
mast, basofil, eosinofil serta makrofag dan bersirkulasi dalam darah.
2. Reexposure
Ketika terjadi reexposure terhadap alergen, maka alergen ini langsung
berinteraksi dengan IgE yang tadi telah terikat pada permukaan sel
kemudian histamin, protease, leukotrien, platelet activating factor (PAF)
serta prostaglandin akan dilepaskan. Leukotrien kemudian menginduksi
pelepasan protease dan chymase. Protease menyebabkan kontraksi otot
bronkus dan meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga terjadi
bronkokonstriksi dan edema mukosa. Sementara chymase menyebabkan
sekresi mukus. Adanya bronkokonstriksi, edema mukosa serta sekresi
mukus ini menimbulkan batuk, mengi serta sesak napas.
3. Reaksi Lambat
Fase ini terjadi 4-6 jam kemudian. Leukotrien dan PAF menarik eosinofil
yang kemudian mengaktifkan major basic protein (MBP) dan eosinophil
cationic protein (ECP) yang memiliki efek toksik pada sel epitel sehingga
terjadi destruksi epitel. Hal ini kemudian menyebabkan akumulasi mukus di
lumen bronkus akibat peningkatan jumlah sel goblet dan hipertrofi kelenjar
submukosa. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi napas terjadi segera
yaitu 10-20 menit setelah pajanan allergen. Spasme bronkus yang terjadi
merupakan respon terhadap mediator sel mast terutama bronkus. Pada fase
lambat, reaksi terjadi setelah 4-6 jam dan bertahan selama 16-24 jam bahkan
kadang-kadang bertahan sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti
eosinofil, sel T, sel mast, dan Antigen Presenting Cell (APC) merupaan sel-
sel kunci dalam pathogenesis asma.(4)
Pada jalur saraf otonom, inhalasi allergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan reflex bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
11
jalan napas lebih permeable dan memudahkan allergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel
bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma
dapat teradi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi
udara dingin, asap, kabut, dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi
melalui reflex saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang
menyebabkan dilepasnya neruopeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan
Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.(1, 3-5)
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas
bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan
parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan
untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji
provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi
zat nonspesifik.(2, 3)
12
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih
kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
2. Faktor lingkungan2
a. Allergen
Bisa dari allergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur,
kecoak, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing). Alergen luar
rumah seperti serbuk sari bunga. Alergen makanan seperti telur, susu,
udang, kepiting, ikan laut, kacang-kacangan, coklat, penyedap
makanan, pengawet makanan. Alergen obat-obatan tertentu seperti
penisilin, sefalosporin, golongan betalaktam lainnya. Bahan yang
mengiritasi seperti parfum, household spray.
b. Exercise-induced asthma
c. Asap rokok
d. Polusi udara
e. Perubahan cuaca
Cuaca yang lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan
faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang
berhubungan dengan musim, seperti : musim hujan, musim kemarau,
musim bunga (serbuk sari beterbangan).
13
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Asma Berdasarkan Gejala.2
14
VII. DIAGNOSIS ASMA
A. Anamnesis 6
1. Gejala kunci :
a. Batuk, mengi dan sesak atau frekuensi napas cepat, produksi sputum,
sering waktu malam, respons terhadap bronkodilator
2. Gambaran Gejala :
a. Perenial, musiman atau keduanya; terus-menerus, episodik, atau
keduanya; awitan, lama, frekuensi, variasi diurnal terutama nocturnal
dan waktu bangun pagi hari
3. Faktor presipitasi :
a. Infeksi virus,
b. Exposure terhadap allergen lingkungan; dalam rumah (jamur, tungau
debu rumah, kecoa, bulu hewan atau produk sekretorinya) dan
outdoor (serbuk sari/pollen)
c. Iritan (asap rokok, bau menyengat, polutan udara, debu, uap, gas)
d. Stress
e. Obat (aspirin, antiinflamasi, -blocker termasuk tetes mata)
f. Makanan, aditif, pengawet
g. Perubahan udara, udara dingin
h. Faktor endokrin (haid, hamil, penyakit tiroid)
4. Perkembangan penyakit :
a. Usia awitan dan diagnosis
b. Progress penyakit
c. Penanganan sekarang dan respon, antara lain penanganan
eksaserbasi
d. Frekuensi menggunakan SABA
e. Keperluan oral steroid dan frekuensi penanganannya
5. Riwayat keluarga :
a. Riwayat asma, alergi, sinusitis, eksim pada anggota keluarga dekat
6. Riwayat sosial :
a. Perawatan/daycare, tempat kerja, sekolah
15
b. Faktor sosial yang berpengaruh
c. Derajat pendidikan
d. Pekerjaan
7. Riwayat eksaserbasi :
a. Tanda prodromal dan gejala
b. Cepatnya awitan, lama, frekuensi, derajat berat, jumlah eksaserbasi
dan beratnya/tahun
c. Penanganan biasanya
8. Efek asma terhadap penderita :
a. Episode perawatan di luar jadwal (gawat darurat, dirawat di RS)
b. Keterbatasan aktivitas terutama latihan jasmani, riwayat bangun
malam
c. Efek terhadap perilaku, sekolah, pekerjaan, pola hidup dan efek
ekonomi
C. Pemeriksan Penunjang(1, 3, 7)
1. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan
diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
16
2. Peak Flow Meter/ PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat
tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari
paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam
menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif
(spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding
PFM oleh karena PFM tidak begitu sensitive dibanding FEC, untuk
diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran
napas besar, PFM dibuat utnuk pemantauan dan bukan alat diagnostic,
APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yag tidak dapat
melakukan pemeriksaan FEV1.
3. X-ray dada/thoraks
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma.
4. Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya
antibody IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong
anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji allergen yang positif tidak
selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi
dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji
tusuk kulit tidak dapat dilakukan.
5. Petanda inflamasi
Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya
tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas.
Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi.
Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan
melalui biopsy paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar
oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum
yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan
transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau
sulit dilakukan di luar riset.
17
6. Uji hiperreaktivitas bronkus/HRB
Pada penderita yang menunjukkan FEV1>90%, HRB dapat
dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronchial dengan
menggunakan nebulasi droplet ekstrak allergen spesifik dapat
menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitive.
Respon sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek
alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran allergen dalam alam yang
terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai
ukuran dari 2um sampai 20um dan tidak dalam bentuk nebulas. Tes
provokasi sebenanyakurang memberikan informasi klinis disbanding
dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB
dapat dilaukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau
kering, histamine, dan metakolin.
VIII. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana pasien asma adalah manajemen khusus untuk meningkatkan
dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal
tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Penatalaksanaan asma
bertujuan:8
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma agar kualitas hidup
meningkat
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mempertahankan ektivitas normal termasuk latihan jasmani dan aktivitas
lainnya
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara ireversibel
7. Meminimalkan kunjungan ke gawat darurat
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi 2 golongan
yaitu penatalaksanaan asma akut dan penatalaksanaan asma jangka panjang.
18
A. Penatalaksanaan Asma Akut 2,8
Serangan akut adalah episode perburukan pada asma yang harus diketahui
oleh pasien. Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien di rumah
dan apabila tidak ada perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan. Penilaian
beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan termasuk gejala, pemeriksaan
fisis dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya diberikan
pengobatan yang tepat dan cepat.
Pada serangan asma obat-obatan yang dapat digunakan adalah :
1. Short acting beta2 agonist (Salbutamol, terbutalin, fenoterol dan
prokaterol)
2. Antikolinergik (Ipratropium bromide dan tiotropium bromide),
3. Metilsantin (Aminofilin dan teofilin)
4. Kortikosteroid sistemik (Prednisone, prednisolone, metilprednisolone)
5. Adrenalin
Pada serangan asam ringan dan sedang, tata laksana awal yang diberikan
yaitu oksigen untuk mencapai saturasi oksigen 93-95%, inhalasi beta 2 agonist
kerja singkat dan kortikosteroid oral. Sedangkan pada serangan asma berat, tata
laksana awal yang diberikan yaitu oksigen untuk mencapai saturasi oksigen 93-
95%, inhalasi beta 2 agonist kerja singkat ditambah antikolinergik dan
kortikosteroid sistemik. Setelah satu jam, evaluasi kembali respon terapi.
Apabila memberikan respon yang baik, pasien dapat dipulangkan dan dibekali
kortikosteroid oral selama 5-7 hari. Jika memberikan respon yang buruk, rawat
pasien di intensive care unit (Gambar 1).9
19
Gambar 1. Penatalaksanaan Asma Akut9
20
B. Penatalaksanaan Asma Jangka Panjang 2,8
Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma
dan mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan
klasifikasi beratnya asma. Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi :
edukasi, obat asma (pengontrol dan pelega) dan menjaga kebugaran. Edukasi
yang diberikan mencakup :
1. Kapan pasien berobat/mencari pertolongan
2. Mengenali gejala serangan asma secara dini
3. Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu
penggunaannya
4. Mengenali dan menghindari faktor pencetus
5. Kontrol teratur
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan
pada saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk
pencegahan serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang dan terus-
menerus. Untuk mengontrol asma diberikan anti inflamasi (kortikosteriod
inhalasi). Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain :
a. Kortikosteroid inhalasi (Beklometason dipropionat, budesonid, flutikason,
flunisolid)
b. Kortikosteroid sistemik (Prednison, prednisolon, metilprednisolon)
c. Kromolin (Sodium kromoglikat, sodium nedokromil)
d. Metilsantin (Teofilin, aminofilin)
e. Long acting beta2 agonist inhalasi (Formoterol, salmeterol)
f. Long acting beta2 agonist oral
g. Antihistamin generasi ke dua
h. Leukotrien modifiers
Dalam melakukan penatalaksanaan asma diharapkan tercapai tujuan
penanganan asma, yaitu asma terkontrol. Berikut adalah ciri-ciri asma
terkontrol dan tidak terkontrol (Tabel 2).8
21
Tabel 2. Ciri-ciri Asma Terkontrol dan Tidak Terkontrol.8
22
X. KESIMPULAN
Prevalensi asma terus meningkat tiap tahunnya baik di negara-negara maju
maupun negara-negara Asia-Pasifik seperti Indonesia. Hal ini memperlihatkan
bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat
perhatian serius.
Asma merupakan suatu kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas
yang menyebabkan hiperreaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan
yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak
napas, rasa berat didada terutama pada malam hari dan atau pada dini hari yang
umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan. Pencetus
serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain allergen,
virus, dan iritan yang dapat meginduksi respon inflamasi akut.
Tatalaksana pasien asma adalah manajemen khusus untuk meningkatkan
dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal
tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Penatalaksanaan asma
ini bertujuan untuk mengontrol asma dan mencegah serangan.
23
DAFTAR PUSTAKA
24