Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

IDENTITAS

Nama : Ny. ES

Umur : 40 Tahun

Agama : Islam

Pekerjaan :Wiraswasta

Alamat : Desa cerme RT 02 RW 01 Gresik

Tanggal MRS : 18 Maret 2016

ANAMNESA

Keluhan utama :

Lemas

Riwayat penyakit Sekarang :

Pasien datang ke RSUD Ibnu Sina Gresik tanggal 18 Maret 2016 melalui UGD dengan keluhan
badan lemas dan tidak dapat beraktivitas seperti biasa sejak 2 hari yang lalu. Keluhan disertai ,
muntah sudah dua kali dengan konsistensi cair, nyeri pada ulu hati dan perut terasa sebah, kepala
pusing dan sulit tidur. Keluhan adanya penglihatan kabur disangkal. Dilakukan pemeriksaan gula
darah pada pasien, yang ternyata didapatkan hasil GDA = 384 g/dl. Oleh dokter yang memeriksa,
pasien dianjurkan untuk dirawat.

1
Dua tahun yang lalu, pasien banyak makan dan minum namun tidak disertai dengan peningkatan
berat badan yang sesuai. Buang air kecil sering terutama pada malam hari 5 kali. Buang air
besar tidak ada keluhan. Terkadang pasien juga merasakan kesemutan pada kedua kakinya, yang
dirasakan hilang timbul. Pasien mengaku jarang berolahraga. Satu tahun yang lalu pasien berobat
ke RS dan dinyatakan kencing manis dengan gula darah 300 g/dl. Oleh karena itu, sebulan sekali
pasien sering kontrol ke Rumah Sakit untuk pemeriksaan gula darah. Walaupun demikian pasien
sering mencuri makan makanan yang di pantang tanpa sepengetahuan keluarga.

Riwayat penyakit dahulu :

DM (+), HT(-)

Riwayat keluarga :

Di keluraga pasien tidak ada yang menderita seperti ini.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Lemah

GCS : 4,5,6

Vital sign :

Tensi : 100/80 mmHg

Nadi : 81X / Menit

RR : 30 X / Menit

Suhu : 36,8 C

Kepala leher :
2
Anemia : (-)

Ikterus : (-)

Cyanosis : (-)

Dyspneu : (-)

Thorax :

Paru paru

Inspeksi : Pergerakan dada Simetris,

Palpasi : Frenitus raba Simetris

Perkusi : Kedua lapang paru sonor

Auskultasi : Vesikuler, Ronki (-) , wheezing (-)

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

Perkusi : Batas kanan jantung PSL dextra, batas kiri jantung MCL ICS V sinistra

Auskultasi : suara jantung S1 dan S2 tunggal, Mur-mur (-)

Abdomen :

Inspeksi : tampak datar, kulit normal


3
Auskultasi : Bising Usus (+) Normal

Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak bisa di evaluasi

Perkusi : Timpani

Ekstremitas :

kedua akral hangat.

PEMRIKSAAN LAB

PEMERIKSAAN HASIL LAB NILAI NORMAL


HB 12,4 13.0 17.0
Leukosit 5.100 5.000-10.000
GDA 384 200
LED Tidak cukup 0,20
SGOT 30 0-31 uL
SGPT 29 0-32 uL
BUN 17.0 4,8-23 mg/dL
Serum Creatinin 1,1 0,5 1,5 mg/dL
Albumin 3,5 3,5 5,2 g/dL

Globulin 2,5 2,3 - 3,2 g/dL


NA 138 135-145 (mmoL/Liter)
K 3,48 3.48-5.5 (mmoL/liter)
Cl 99 96-106 (mmoL/Liter)
Thrombosit 137.000 150.000-350.000 L

NO TPL PPL INITIAL PLANING


ASSESMENT
NY ES (38 THN)

4
1
Pemeriksaan PDx
laboratorium Diabetes Diabetes DL, GDA, BUN,
GDA : 384 Melitus Melitus
SGOT,SGPT,SC.
Suspect PTx
RPD : Diabetes Diabetes Inf. RL 20 tpm
Melitus. Glibenklamid 2xI
Miletus Tipe II
GDA : 300 Neurosanbe
Obat : 1amp/hari
- Glibenklamid Planning monitoring
2x1 GDA setap pagi
TTV

PDx
Endoskopi
PTx
Inf. RL 20 tpm
Inj Ranitdin 1
amp/12 jam/iv
Antasid syrup 3xC I

2 Anamnesa : Sindroma
Badan Lemas Sindroma Dispepsi
Muntah 2x, cair Dispepsi
Nyeri pada ulu hat e.c Gastropat
Sebah Diabetes
Melitus

Resume
Ny. ES, 40 th. Pasien datang dengan keluhan badan lemas dan tidak dapat beraktivitas seperti
biasa sejak 2 hari yang lalu. Keluhan disertai , muntah sudah dua kali dengan konsistensi cair,
nyeri pada ulu hati dan perut terasa sebah, kepala pusing dan sulit tidur. Dilakukan pemeriksaan
gula darah pada pasien, yang ternyata didapatkan hasil GDA = 384 g/dl. Oleh dokter yang
memeriksa, pasien dianjurkan untuk dirawat. Dua tahun yang lalu, pasien banyak makan dan
minum namun tidak disertai dengan peningkatan berat badan yang sesuai. Buang air kecil sering
terutama pada malam hari 5 kali. Terkadang pasien juga merasakan kesemutan pada kedua
kakinya, yang dirasakan hilang timbul. Pasien mengaku jarang berolahraga. Satu tahun yang lalu
pasien berobat ke RS dan dinyatakan kencing manis dengan gula darah 300 g/dl. Oleh karena itu,
sebulan sekali pasien sering kontrol ke Rumah Sakit untuk pemeriksaan gula darah.

5
Dari pemeriksaan fisik didapatkan : tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 81x/menit, respirasi
30x/menit, suhu 36,8C, GDA 384 g/dl Dari kondisi dan pemeriksaan fisik pasien ini di diagnosa
Diabetes Melitus (DM), dan Syndroma Dispepsia. Pasien ini di terapi Infus RL 20 tpm,
Gibenklamid 2x1, Neurosanbe 1amp/hari, untuk Dispepsianya diberikan Injeksi Ranitidin 1
amp/12 jam/iv, Antasid Syrup 3xC1

BAB I
Pendahuluan

A.Latar Belakang

Diabetes atau yang sering disebut dengan Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit

kelainan metabolisme yang disebabkan kurangnya produksi insulin, zat yang dihasilkan oleh

kelenjar pankreas. Bisa pula karena adanya gangguan pada fungsi insulin,meskipun jumlahnya

normal.

6
Seseorang dikatakan menderita Diabetes jika kadar glukosa dalam darahnya di atas

120mg/dl (dalam kondisi berpuasa) dan di atas 200mg/dl (dua jam setelah makan).Tanda utama

lain seseorang menderita Diabetes adalah air seninya mengandung gula.Karena itu,penyakit ini

disebut juga kencing manis atau penyakit gula.

Macam macam diabetes ada dua yaitu diabetes tipe 1 dan diabetes tipe 2. Pada tipe 1 ialah

diabetes yang tergantung pada insulin (IDDM), sedangkan pada diabetes tipe 2 ialah diabetes

yang tidak tergantung pada insulin (NIDDM).

Menurut data WHO, Indonesia menempati urutan keempat jumlah penderita Diabetes

terbesar di Dunia.Pada tahun 2000 terdapat sekitar 5,6 juta penduduk Indonesia yang mengidap

Diabetes .Jumlah penderita Diabetes di derah perkotaan Indonesia pada tahun 2003 adalah 8,2

juta orang,sedangkan di pedesaan 5,5 juta orang.Diperkirakan,1 dari 8 orang di Jakarta mengidap

Diabetes.Tingginya jumlah penderita di daerah perkotaan antara lain disebabkan gaya hidup,(dr

Prapti utami,2009).

Kami memilih tema tentang diabetes ini, karena penyakit Diabetes sudah tidak asing lagi

dalam lingkungan kita, terutama pada lanjut usia, sehingga kami membuat laporan ini agar para

masyarakat mengetahui bahwa Diabetes sangat bahaya serta agar tingkat Diabetes di Indonesia

berkurang.

7
BAB II

ISI

2.1. DIABETES MELITUS

2.1.1. Pengertian Diabetes

8
Diabetes atau yang sering disebut dengan Diabetes Mellitus merupakan penyakit kelainan

metabolisme yang disebabkan kurangnya produksi insulin, zat yang dihasilkan oleh kelenjar

pankreas. Bisa pula karena adanya gangguan pada fungsi insulin, meskipun jumlahnya normal.

Banyak yang masih menganggap bahwa penyakit Diabetes merupakan penyakit orang tua,

penyakit yang hanya timbul karena faktor keturunan. Namun sesungguhnya setiap orang dapat

mengidap penyakit Diabetes ini, baik tua maupun muda. Banyak penderita Diabetes yang tidak

menyadari dirinya mengidap penyakit yang sering disebut penyakit Gula atau Kencing manis ini.

Hal ini mungkin disebabkan minimnya informasi di masyarakat tentang penyakit Diabetes

terutama gejala gejalanya.

Sebagian besar kasus Diabetes adalah Diabetes tipe 2, yang disebabkan faktor keturunan.

Tetapi faktor keturunan saja tidak cukup untuk menyebabkan seseorang terkena Diabetes karena

risikonya hanya 5%. Ternyata Diabetes tipe 2 lebih sering terjadi pada orang yang mengalami

obesitas atau kegemukan akibat gaya hidup yang dijalaninya.

9
Insulin adalah hormon yang dilepaskan oleh pankreas, yang bertanggung jawab dalam

mempertahankan kadar gula darah yang normal. Insulin memasukkan gula ke dalam sel sehingga

bisa menghasilkan energi atau disimpan sebagai cadangan energi.

Seseorang dikatakan menderita Diabetes jika kadar glukosa dalam darahnya di atas

120mg/dl (dalam kondisi berpuasa) dan diatas 200mg/dl (dua jam setelah makan). Tanda utama

lain seseorang menderita Diabetes adalah air seninya mengandung gula. Karena itu, penyakit ini

disebut juga penyakit Gula atau Kencing manis, dan penderita Diabetes disebut Diabetesi. Kadar

gula darah yang normal cenderung meningkat secara ringan tetapi bertahap setelah usia 50 tahun,

pada orang orang yang tidak aktif bergerak. Peningkatan kadar gula dalam darah setelah makan

atau minum merangsang pankreas untuk menghasilkan insulin sehingga mencegah kenaikan

kadar gula darah yang lebih lanjut dan menyebabkan kadar gula darah menurun secara perlahan.

Diabetes terjadi jika tubuh tidak menghasilkan insulin yang cukup untuk mempertahankan kadar

gula darah yang normal atau jika sel tidak memberikan respon yang tepat terhadap insulin.

2.1.2 Tipe Diabetes

Penyakit Diabetes Mellitus memiliki dua tipe,yaitu :

Diabetes Mellitus tipe 1 (IDDM)

Merupakan Diabetes yang tergantung pada Insulin. Biasanya terjadi pada anak anak.

Penyebabnya adalah kegagalan sel pankreas memproduksi insulin. Salah satunya karena faktor

genetik (keturunan). Penderitanya sangat tergantung pada suplai insulin (Insulin Dependen).

Biasanya insulin diberikan melelui suntikan.

Diabetes Mellitus tipe 2 (NIDDM)

Merupakan Diabetes yang tidak tergantung pada Insulin. Biasanya terjadi pada orang dewasa.

Penyebabnya adalah faktor genetik yang didorong gaya hidup sehari hari. Perlu diketahui faktor

10
keturunannya hanya berperan sekitar 5% pada Diabetes tipe ini. Gaya hidup yang tidak sehat

merupakan pemicu utamanya. Kerusakan pankreas pada Diabetes ini hanya terjadi sebagian kecil

sel. Kadar gula dapat dikontrol dengan menjaga pola makan, pola pikir, dan berolahraga secara

teratur.

2.1.3. Gejala Diabetes

Gejala awalnya berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah yang tinggi. Jika kadar

gula darah sampai diatas 160-180 mg/dl, maka glukosa akan dikeluarkan melalui air kemih.

Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan

sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang

berlebihan, maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang berlebihan, maka penderita

sering dalam jumlah yang banyak (poliuri). Akibatnya, maka penderita merasakan haus yang

berlebihan sehingga banyak minum (polidipsi).

Sejumlah besar kalori hilang kedalam air kemih, sehinggapenderita mengalami penurunan berat

badan. Untuk mengkopensasikan hal ini penderita sering merasakan lapar yang luar biasa

sehingga banyak makan (polifagi).

Gejala lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual, dan berkurangnya ketahanan tubuh selama

melakukan olah raga. Penderita diabetes yang gula darahnya kurang terkontrol lebih peka

terhadap infeksi.

Pada penderita diabetes tipe 1, terjadi suatu keadaan yang disebut dengan Ketoasidosis

Diabetikum. Meskipun kadar gula didalam darah tinggi tetapi sebagian besar sel tidak dapat

menggunakan gula tanpa insulin, sehingga sel sel ini mengambil energi dari sumber yang lain.

Sumber untuk energi dapat berasal dari lemak tubuh. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton,

yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi asam

11
(Ketosidosis). Gejala awal dari ketoadiosis diabetikum adalah rasa haus dan berkemih yang

berlebihan, mual, muntah lelah dan nyeri perut (terutama pada anak anak). Pernafasan menjadi

dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah.

Bau nafas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa

berkembang menjadi koma, kadang dalam waktu hanya beberapa jam.

Penderita diabetes tipe 2 bisa tidak menunjukkan gejala gejala selama beberapa tahun. Jika

kekurangan insulin semakin parah, maka timbulah gejala yang berupa sering berkemih dan

sering merasa haus. Jarang terjadi ketoasidosis.

Jika kadar gula dalam darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1000 mg/dl, biasanya terjadi akibat

infeksi atau obat obatan), mka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa

menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma

hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik.

2.14. Patofisiologi

Kemungkinan induksi diabetes tipe 2 dari berbagai macam kelainan hormonal, seperti hormon

sekresi kelenjar adrenal, hipofisis dan tiroid merupakan studi pengamatan yang sedang laik daun

saat ini. Sebagai contoh, timbulnya IGT dan diabetes mellitus sering disebut terkait oleh

akromegali dan hiperkortisolisme atau sindrom Cushing.

Hipersekresi hormon GH pada akromegali dan sindrom Cushing sering berakibat pada resistansi

insulin, baik pada hati dan organ lain, dengan simtoma hiperinsulinemia dan hiperglisemia, yang

berdampak pada penyakit kardiovaskular dan berakibat kematian.

GH memang memiliki peran penting dalam metabolisme glukosa dengan menstimulasi

glukogenesis dan lipolisis, dan meningkatkan kadar glukosa darah dan asam lemak. Sebaliknya,

insulin-like growth factor 1 (IGF-I) meningkatkan kepekaan terhadap insulin, terutama pada otot

12
lurik. Walaupun demikian, pada akromegali, peningkatan rasio IGF-I tidak dapat menurunkan

resistansi insulin, oleh karena berlebihnya GH.

Terapi dengan somatostatin dapat meredam kelebihan GH pada sebagian banyak orang, tetapi

karena juga menghambat sekresi insulin dari pankreas, terapi ini akan memicu komplikasi pada

toleransi glukosa.

Sedangkan hipersekresi hormon kortisol pada hiperkortisolisme yang menjadi penyebab obesitas

viseral, resistansi insulin, dan dislipidemia, mengarah pada hiperglisemia dan turunnya toleransi

glukosa, terjadinya resistansi insulin, stimulasi glukoneogenesis dan glikogenolisis. Saat

bersinergis dengan kofaktor hipertensi, hiperkoagulasi, dapat meningkatkan risiko

kardiovaskular.

Hipersekresi hormon juga terjadi pada kelenjar tiroid berupa tri-iodotironina dengan

hipertiroidisme yang menyebabkan abnormalnya toleransi glukosa.

Pada penderita tumor neuroendokrin, terjadi perubahan toleransi glukosa yang disebabkan oleh

hiposekresi insulin, seperti yang terjadi pada pasien bedah pankreas, feokromositoma,

glukagonoma dan somatostatinoma.

Hipersekresi hormon ditengarai juga menginduksi diabetes tipe lain, yaitu tipe 1. Sinergi hormon

berbentuk sitokina, interferon-gamma dan TNF-, dijumpai membawa sinyal apoptosis bagi sel

beta, baik in vitro maupun in vivo. Apoptosis sel beta juga terjadi akibat mekanisme Fas-FasL,

dan/atau hipersekresi molekul sitotoksik, seperti granzim dan perforin; selain hiperaktivitas sel T

CD8- dan CD4-.

2.1.4. Komplikasi Diabetes

Diabetes merupakan penyakit yang memiliki komplikasi yang paling banyak. Hal ini

berkaitan dengan kadar gula darah yang tinggi terus menerus, sehingga berakibat rusaknya

13
pembuluh darah, saraf dan struktur internal lainnya. Zat kompleks yang terdiri dari gula didalam

dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah menebal dan mengalami kebocoran.

Akibat penebalan ini maka aliran darah akan berkurang, terutama yang menuju kekulit dan saraf.

Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cebderungmenyebabkan kadar zat berlemak dalam

darah meningkat, sehingga mempercepat terjadinya aterosklerosis (penimbunan plak lemak

didalam pembuluh darah). Sirkulasi darah yang buruk ini melalui pembuluh darah besar bisa

melukai otak, jantung, dan pembuluh darah kaki, sedangkan pembuluh darah kecil bisa melukai

mata, ginjal, saraf, dan kulit serta memperlambat penyembuhan luka. Penderita diabetes bisa

mangalami berbagai komplikasi jangka panjang, jika diabetesnya tidak dikelola dengan baik,

komplikasi yang lebih sering terjadi dan mematikan adalah serangan jantung dan stroke.

2.1.4.1 Komplikasi Akut

Ada tiga komplikasi akut pada diabetes yang penting dan berhubungan dengan gangguan

keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek. Ketiga komplikasi tersebut adalah:

2.1.4.1.1 Hipoglikemia

Hipoglikemia terjadi kalau kadar glukosa darah turun dibawah 50 hingga 60 mg/dl.

Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan,

konsumsi makanan yang berlebihan, atau aktifitas fisik yang berat.

2.1.4.1.2 Diabetes Ketoasidosis

Disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata.

Keadaan ini mengakibatkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.

2.1.4.1.3 Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Nonketotik

Merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemia dan

disertai perubahan tingkat kesadaran (sense of awareness).

14
2.1.4.2 Komplikasi Kronik

Komplikasi jangka panjang diabetes dapat menyerang semua sistem organ dalam tubuh.

Kategori komplikasi kronis diabetes yang lazim digunakan adalah:

2.1.4.2.1 Komplikasi Makrovaskuler

2.1.4.2.1.1 Penyakit Arteri Koroner

Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh arteri koroner menyebabkan

peningkatan insidensi infark miokard pada penderita Diabetes Mellitus.

2.1.4.2.1.2 Penyakit Serebrovaskuler

Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah serebral atau pembentukan

embolus ditempat lain dalam sistem pembuluh darah yang kemudian terbawa

aliran darah sehingga terjepit dalam pembuluh darah serebral dapat menimbulkan

serangan iskemia sepintas (TIA = Transient Ischemic Attack)

2.1.4.2.1.3 Penyakit Vaskuler Perifer

Menurut Brunner dan Suddarth (2002), perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah

besar pada ekstremitas bawah merupakan penyebab utama meningkatnya insiden gangren

dan amputasi pada pasien-pasien Diabetes Mellitus. Hal ini disebabkan karena pada

penderita Diabetes Mellitus sirkulasi buruk, terutama pada area yang jauh dari jantung,

turut menyebabkan lamanya penyembuhan jika terjadi luka.

2.1.4.2.2 Komplikasi Mikrovaskuler

2.1.4.2.2.1 Gastroparesis

Meskipun belum sepenuhnya dimengerti, yang dianggap sebagai faktor

patogenetik terpenting dalam terjadinya gastroperesis diabetika dalah terjadinya

neuropati diabetika yang mengakibatkan rusaknya syaraf-syaraf ekstrinsik

15
lambung. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa adanya gastroparesis pada

penderita-penderita diabetes mellitus sangat berkorelasi dengan keberadaan

autonom dari nervus vagus. Namun demikian, penelitian morfologis terhadap

nervus vagus masih menunjukkan hasil yang bertentangan. Pada sebagian

penderita diabetes dengan atau tanpa gastroparesis dapat ditunjukkan adanya

penurunan densitas serabut myelinated vagus dan degenerasi serabut

unmyelinated. Sedangkan penelitian lain tidak menemukan adanya kelainan

morfologis dari nervus vagus abdominalis pada penderita gastroparesis diabetika,

baik jumlah maupun penampilan dari neuron dan axonnya, Keadaan

hiperglikemia merupakan factor penting lainnya yang menyebabkan terjadinya

gastroparesis. Ternyata bahwa peningkatan kadar gula darah meskipun masih

dalam rentang normal dapat menyebabkan keterlambatan pengosongan lambung

pada orang normal maupun penderita diabetes. Burgstaller dkk mengatakan

bahwa pengosongan lambung melambat secara bermagna pada keadaan

hiperglikemia dibandingkan dengan keadaan euglikemia pada penderita diabetes

(pengosongan lambung 1180 menit pada kadar gula darah 5,5 mmol / 1, dan

240 menit pada kadar gula darah 14 mmol / 1). Diduga mekanisme hiperglikemia

memperlambat pengosongan lambung adalah secara tak langsung yang

melibatkan perubahan pada aktivitas vagus, aktivitas listrik lambung, sekresi

hormon-hormon gastrointestinal dan mekanisme miogenik. Fischer dkk

menunjukkan bahwa hipergilemia post prandial pada penderita diabetes

menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas mioelektrik lambung, pengurangan

aktivitas motorik antrum dan keterlambatan pengosongan lambung. Studi oleh

16
Barnett dan Ow yang menunjukkan bahwa motilitas antrum puasa akan menurun

pada kadar gula darah 7,8 mmol/1 sedangkan motilitas

antrum postprandial akan menurun pada kadar gula darah 9,7 mmol/1. Adanya

korelasi antara kadar gula darah yang tinggi dengan keterlambatan pengosongan

lambung dijumpai pada IDDM maupun NIDDM. Tidak jelasnya kolerasi antara

kadar HbA1c dengan keterlambatan pengosongan lambung menunjukkan bahwa

keterlambatan pengosongan lambung lebih merupakan efek akut hiperglikemia

ketimbang efek kronisnya. Peranan hormon-hormon gastrointestinal dalam

mengatur motilitas lambung telah diketahui, namun kebermaknaan perubahan

hormon tersebut terhadap motilitas yang abnormal masih belum jelas. Tingginya

kadar motilin plasma pada penderita gastroperasis diabetika menunjukkan bahwa

kelainan motilitas yang terjadi kelihatannya tidak berkaitan dengan defisiensi

motilin. Pemberian infus

cholecystokinin octapeptida(CCK8) pada penderita baru NIDDM jelas

mengakibatkan keterlambatan pengosongan lambung, akan tetapi belum pernah

diteliti begaimana kadar CCK pada penderita gastroparesis diabetika.

2.1.4.2.2.2 Neuropati diabetes

Nyeri neuropati merupakan komplikasi kronis yang paling umum dari DM.

Terjadinya ND dapat dijelaskan melalui beberapa teori yaitu : teori metabolik,

AGEs, penurunan konsentrasi NGF, teori vaskular, teori laminin dan teori

autoimun. Kondisi hiperglikemi berkepanjangan berakibat terjadinya peningkatan

aktivitas jalur poliol, sintesis AGEs, pembentukan radikal bebas dan aktivasi

protein kinase C (PKC). Aktivitas jalur tersebut menyebabkan kurangnya

17
vasodilatasi sehingga aliran darah menuju saraf akan menurun bersama dengan

rendahnya inositol dalam sel dapat menyebabkan neuropati diabetik perifer

(NDP). Kejadian ND terkait lama dan beratnya DM (Purwata, 2010; Zychowska

dkk., 2013). Hiperglikemi berhubungan dengan kerusakan mikrovaskular.

Hiperglikemi persisten merangsang produksi radikal bebas oksidatif yang disebut

reactive oxygen species (ROS). Radikal bebas ini menyebabkan kerusakan

endotel pembuluh darah dan menetralisir nitric oxide (NO), yang berefek

menghalangi vasodilatasi mikrovaskular. Mekanisme kerusakan mikrovaskular

juga dapat melalui penebalan membrana basalis dengan hialinisasi lamina basal

arteriol dan kapiler, trombosis pada arteriol intraneural, peningkatan agregasi

trombosit, dan berkurangnya deformabilitas eritrosit. Hal ini menyebabkan

berkurangnya aliran darah saraf dan peningkatan resistensi vaskular, stasis

aksonal, pembengkakan dan demielinasi pada saraf serta berakibat iskemik

jaringan. Kejadian neuropati yang didasari oleh kelainan vaskular masih bisa

dicegah dengan modifikasi faktor risiko kardiovaskular, yaitu kadar trigliserid

yang tinggi, indeks massa tubuh, merokok dan hipertensi. Interaksi antara system

saraf dan sistem kekebalan tubuh terjadi secara paralel dengan aktivasi sel glia

(Yagihashi dkk., 2011; Zychowska dkk., 2013). Aktivitas lain akibat kondisi

hiperglikemi terjadi peningkatan jalur poliol disertai meningkatnya aktivasi enzim

aldose reduktase yang merubah glukosa menjadi sorbitol. Sorbitol selanjutnya

dimetabolisme oleh sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. Akumulasi sorbitol

dan fruktosa dalam sel saraf dapat merusak sel saraf dengan menyebabkan

keadaan hipertonik intraselular sehingga mengakibatkan edema sel saraf.

18
Peningkatan sintesis sorbitol juga menghambat masuknya mioinositol masuk ke

dalam sel saraf dan secara langsung menyebabkan stres osmotik yang akan

merusak mitokondria dan menstimulasi PKC. Aktivasi PKC akan menekan

natrium-kalium-ATPase (Na+-K+-ATP-ase), sehingga kadar natrium (Na+)

intraselular menjadi berlebih, memicu sensitisasi sentral yang mengarah pada

terjadinya alodinia. Natrium intrasel yang berlebih juga menghambat masuknya

kembali mioinositol ke dalam sel yang mengganggu transduksi sinyal pada saraf

(Purwata, 2010; Cohen dkk., 2014). Peningkatan jalur polyol juga menyebabkan

penurunan nicotonamide adenine dinucleotide phosphate hydride (NADPH) pada

saraf yang merupakan kofaktor untuk gluthation dan nitric oxide synthase (NOS).

Berkurangnya NADPH akan mengurangi kemampuan saraf dalam mengurangi

radikal bebas dan menurunkan produksi NO. Selanjutnya kondisi hiperglikemi

menyebabkan pembentukan AGEs yang sangat toksik dan merusak semua protein

tubuh termasuk sel saraf sehingga menyebabkan ND. Kerusakan aksonal

metabolik pada fase awal masih dapat kembali pulih dengan kendali glikemik

yang optimal, namun bila kerusakan iskemik maka tidak dapat diperbaiki

kembali. Adapun skema jalur poliol dapat dilihat pada bagan 2.1 berikut

(Zychowska dkk., 2013).

Gambar 2.1 Jalur Polyol (Bhadada dkk., 2001 )


19
Perbaikan tersebut tergantung peranan nerve growth factor (NGF) yang

mempercepat dan mempertahankan pertumbuhan saraf. Pada penderita DM kadar

NGF cenderung turun dan berhubungan dengan derajat neuropati. Peran NGF

dalam regulasi gen substance P dan calcitonin-gen-regulated peptide (CGRP).

Peptida ini memiliki efek terhadap vasodilatasi, motilitas intestinal, dan nosiseptif

yang mengalami gangguan pada ND. Kondisi hiperglikemi dapat menyebabkan

apoptosis langsung pada neuron ganglia radiks dorsalis. Hiperglikemi dapat

menyebabkan bertambahnya glycation dari transport protein berakibat aktivitas

berlebihan pada jalur poliol (Purwata, 2010; Zychowska dkk., 2013). Pada

diabetes tipe 1 kondisi hiperglikemi disebabkan karena penurunan sekresi insulin

dan peningkatan aktivitas jalur polyol. Kondisi hiperglikemi menyebabkan

aktivasi enzim aldosa reduktase untuk glukosa meningkat sehingga terjadi

peningkatan produksi sorbitol. Sorbitol tidak menembus membran sel dan

terakumulasi intraseluler di jaringan saraf sehingga menimbulkan stres osmotik.

Stres osmotik meningkatkan molaritas cairan intraselular serta masuknya air,

kerusakan sel Schwann dan degenerasi serat saraf. Selanjutnya terjadi

peningkatan regulasi dari hasil oksidase kompleks NADPH pada stres

oksidatif melalui pengurangan produksi glutation, penurunan konsentrasi nitrat

oksida dan meningkatkan konsentrasi oksigen reaktif. Radikal bebas, oksidan dan

beberapa factor metabolik mengaktifkan enzim poli ADP-ribosa polimerase

(PARP) yang mendasari neuropati diabetes (Purwata, 2010; Zychowska dkk.,

2013). Defisit oksida nitrat dapat meningkatkan radikal bebas yang menyebabkan

kerusakan dan hipoksia mikrovaskular, selain itu deplesi mioinositol dan

20
penimbunan sorbitol pada jaringan saraf menyebabkan stres osmotik dan

kerusakan jaringan. Bersamaan dengan penurunan konsentrasi mioinositol

mengurangi aktivitas ATP-ase natrium dan kalium yang penting dalam konduksi

impuls. Konsentrasi mioinositol 330 kali lebih banyak pada saraf perifer

dibandingkan di plasma. Sebanyak 20% dari mioinositol terikat phosphoinosotide

yang berhubungan dengan fosfolipid membran sel (Yagihashi dkk., 2011;

Zychowska dkk., 2013). Mioinositol lainnya dalam bentuk yang tidak terikat pada

saraf. Phosphoinosotide merupakan sel dengan metabolik aktif fosfolipid terkait

dengan membran sel. Siklus phosphatidylinositol melibatkan transformasi

fosfolipid disertai dengan aktivasi sel dan penting untuk konduksi impuls saraf.

Pada kondisi normal, natrium, kalium dan ATP-ase pada saraf mempertahankan

konsentrasi dimana natrium lebih rendah pada saraf perifer dibandingkan di

plasma. Berkurangnya mioinositol menyebabkan ketidakcukupan natrium, kalium

dan adenosin triphosphatase (ATP-ase), enzim yang dibutuhkan untuk

menghasilkan depolarisasi saraf, akibatnya konduksi rangsangan akan berkurang.

Tingkat mioinositol tinggi berhubungan dengan regenerasi saraf, sehingga

tingginya kadar mioinositol dianggap sebagai mekanisme kompensasi untuk

mencegah kerusakan saraf (Yagihashi dkk., 2011; Zychowska dkk., 2013).

Peningkatan glycoxidation (proses glikasi yang melibatkan oksidasi) protein juga

memainkan peranan penting pada neuropati diabetes. Pada kondisi hiperglikemi

terjadi peningkatan glukosa dan fruktosa hasil dari kovalen pengikatan glukosa

untuk protein, nukleotida dan molekul lipid tanpa adanya kontrol enzim tertentu.

Produk dari transformasi ini yaitu produk glycation AGEs mengubah fungsi

21
seluler. Advanced glycation end products menyebabkan sejumlah gangguan

termasuk pembentukan trombus, dan vasokonstriksi vaskular (Zychowska dkk.,

2013). Selanjutnya, glikasi protein dapat menurunkan pembentukan sitoskleletal,

menginduksi protein agregasi dan memberi ligan pada permukaan reseptor sel.

AGEs juga terlibat dalam pembentukan radikal bebas. Induksi dari glikasi protein

non-enzimatik struktural pada serabut saraf menyebabkan kekacauan berlebihan

dan gangguan transportasi aksonal, karena tubulin glikasi mengarah pada

polimerisasi tubulin GTP. Letak AGEs terdapat pada serat saraf bermielin, tanpa

mielin, perineurium, sel endotel dan pericytes dari endoneurial mikrovaskular.

Selain itu receptor advanced glycation end products (RAGE) dan produk glikasi

berada dalam neuron perifer. Adapun skema efek AGEs pada tubuh dapat dilihat

pada bagan 2.2 berikut (Purwata, 2010; Zychowska dkk., 2013).

Gambar 2.2 Efek Advanced Glycation End Products Pada Tubuh

(Bhadada dkk., 2001 )

Interaksi antara makrofag dan AGE-mielin mungkin mempengaruhi kontribusi

demielinasi segmental terkait neuropati diabetes. Terdapat bukti menunjukkan

22
aktivasi nonneuron (mikroglia, astrosit, dan sel imun) memainkan peranan

penting dalam nyeri neuropati, sel-sel ini diaktifkan dalam kondisi hiperglikemi

pada medula spinalis. Penelitian ini menunjukkan bahwa glia sangat

mempengaruhi komunikasi sinaptik antara neuron yang menyebabkan nyeri

patologis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengaktifan mikroglia

memainkan peranan penting dalam menimbulkan nyeri neuropati melalui

pelepasan sitokin proinflamasi, mediator allodynia dan hiperalgesia (Yagihashi

dkk., 2011; Zychowska dkk., 2013). Pada penelitian terbaru ada yang mengatakan

keterlibatan faktor proinflamasi berasal dari mikroglia diaktifkan pada kondisi

hiperalgesia. Terdapat banyak laporan yang melibatkan pelepasan sitokin

proinflamasi dari glia dan sel imun sebagai patomekanism untuk nyeri neuropati.

Mikroglia medula spinalis aktif dalam kondisi hiperglikemi mengarah pada

peningkatan sitokin proinflamasi (IL-1b, IL-2, IL-6, dan TNF) dan stres

oksidatif (Zychowska dkk., 2013). Setelah cedera saraf terjadi proses inflamasi

dan respirasi yang mengarah pada hipereksitabilitas sensitisasi perifer. Bila cedera

berlanjut karena stimulasi berulang seperti pada diabetes maka akan menimbulkan

kerusakan berkelanjutan dan terjadi perubahan pada aferen primer. Beberapa

faktor yang berkontribusi diantaranya mediator inflamasi seperti gen kalsitonin

peptida terkait substansia P yang dilepas pada terminal nosiseptif. Pada tingkat

sel, sinyal transmisi nosiseptif diatur oleh ion natrium, kalsium, kalium serta

saluran ionotropik dan reseptor metabotropik seperti glutamat, aminobutiric acid

(GABA), serotonergik, adrenergik, neurokinin dan reseptor vanilloic, kemudian

sitokin proinflamasi dilepaskan dari sel glia beserta NGF (Cohen dkk., 2014).

23
Sitokin proinflamasi dan Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF ) diproduksi

perifer dan pusat saat terjadi cedera saraf. Mikroglia diaktifkan dalam 24 jam

setelah terjadi cedera saraf diikuti dengan astrosit dan bertahan dalam 12 minggu.

Sel glia mengalami transformasi struktural dan fungsional setelah cedera dengan

astrosit melepas sejumlah pronosiseptif seperti prostaglandin, asam amino, dan

sitokin. Mikroglia berkembang di kornu dorsalis medula spnalis setelah cedera

saraf. Teraktivasinya sel glia merangsang pelepasan sitokin, kemokin dan zat

sitotoksik seperti NO dan radikal bebas. Sitokin berikutnya dilepas oleh astrosit

dan mikroglia menginduksi peningkatan regulasi glukokortikoid dan reseptor

glutamat. Sitokin proinflamasi 1 berperan dalam memori afektif nyeri (Cohen

dkk., 2014).

2.1.4.2.2.3 Nefropati

Segera sesudah terjadi diabetes, khususnya bila kadar glukosa darah meninggi,

maka mekanisme filtrasi ginjal akan mengalami stress yang menyebabkan

kebocoran protein darah ke dalam urin. Sebagai akibatnya, tekanan dalam

pembuluh darah ginjal meningkat. Kenaikan tekanan tersebut diperkirakan

berperan sebagai stimulus untuk terjadinya nefropati.

2.1.4.2.2.4 Retinopati Diabetik

Kelainan patologis mata yang disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-

pembuluh darah kecil pada retina mata

Organ/jaringan
Yg terjadi Komplikasi
yg terkena

24
Plak aterosklerotik terbentuk &

menyumbat arteri berukuran besar atau


Sirkulasi yg jelek menyebabkan
sedang di jantung, otak, tungkai
penyembuhan luka yg jelek & bisa
&penis. Dinding pembuluh darah kecil
Pembuluh darah menyebabkan penyakit jantung,
mengalami kerusakan sehingga
stroke, gangren kaki & tangan,
pembuluh tidak dapat mentransfer
impoten & infeksi
oksigen secara normal & mengalami

kebocoran

Terjadi kerusakan pada pembuluh darah Gangguan penglihatan & pada


Mata
kecil retina akhirnya bisa terjadi kebutaan

Penebalan pembuluh darah ginjal


Fungsi ginjal yg buruk
Ginjal Protein bocor ke dalam air kemih
Gagal ginjal
Darah tidak disaring secara normal

Kelemahan tungkai yg terjadi

Kerusakan saraf karena glukosa tidak secara tiba-tiba atau secara perlahan

Saraf dimetabolisir secara normal & karena Berkurangnya rasa, kesemutan &

aliran darah berkurang nyeri di tangan & kaki

Kerusakan saraf menahun

Tekanan darah yg naik-turun


Kerusakan pada saraf yg
Sistem saraf Kesulitan menelan & perubahan
mengendalikan tekanan darah &
otonom fungsi pencernaan disertai serangan
saluran pencernaan
diare

Kulit Berkurangnya aliran darah ke kulit & Luka, infeksi dalam (ulkus

hilangnya rasa yg menyebabkan cedera diabetikum)


25
berulang Penyembuhan luka yg jelek

Mudah terkena infeksi, terutama


Darah Gangguan fungsi sel darah putih
infeksi saluran kemih & kulit

Gluka tidak dimetabolisir secara


Sindroma terowongan karpal
Jaringan ikat normal sehingga jaringan menebal atau
Kontraktur Dupuytren
berkontraksi

2.5 Cara pengobatan dan penanganan Diabetes Militus

Penderita diabetes tipe 1 umumnya menjalani pengobatan therapi insulin (Lantus/Levemir,

Humalog, Novolog atau Apidra) yang berkesinambungan, selain itu adalah dengan berolahraga

secukupnya serta melakukan pengontrolan menu makanan (diet).

Pada penderita diabetes mellitus tipe 2, penatalaksanaan pengobatan dan penanganan

difokuskan pada gaya hidup dan aktivitas fisik. Pengontrolan nilai kadar gula dalam darah adalah

menjadi kunci program pengobatan, yaitu dengan mengurangi berat badan, diet, dan berolahraga.

Jika hal ini tidak mencapai hasil yang diharapkan, maka pemberian obat tablet akan diperlukan.

Bahkan pemberian suntikan insulin turut diperlukan bila tablet tidak mengatasi pengontrolan

kadar gula darah.

26
Daftar Pustaka

Utami, Prapti.2009.Solusi Sehat MengatasiDiabetes.Jakarta:Agromedia Pustaka.

Dr. Rubby, Billous.2008.Bimbingan Dokter pada Diabetes.Jakarta:Dian Rakyat.

Dr. Robert B, Cooper.1996. Segala Sesuatu yang Anda perlu ketahuitentang Pemeriksaan

Medis.Jakarta:PT Grasindo.

Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta : EGC.

Doengoes, Marylin E. 2000. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 3. Jakarta:

EGC.

Ramainah, Savitri. 2003. Diabetes. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer.

Smeltzer, Suszanne, C. 2001. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Vol 3. Jakarta: EGC.

Price Sylvia, A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Jilid 2 Edisi 4. Jakarta : EGC.

27

Anda mungkin juga menyukai