Anda di halaman 1dari 65

PROYEKSI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAN DAMPAKNYA

TERHADAP DIVERSITAS LANSKAP DI KABUPATEN BATANGHARI


PROVINSI JAMBI

ATIK NURWANDA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Proyeksi Perubahan Tutupan
Lahan dan Dampaknya Terhadap Diversitas Lanskap di Kabupaten
Batanghari Provinsi Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016

Atik Nurwanda
A451130161
RINGKASAN

ATIK NURWANDA. Proyeksi Perubahan Tutupan Lahan dan Dampaknya


Terhadap Diversitas Lanskap di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi. Dibimbing
oleh ALINDA FITRIANY MALIK ZAIN dan ERNAN RUSTIADI.

Indonesia saat ini tengah terancam oleh kegiatan konversi lahan menjadi
perkebunan monokultur, yaitu ekspansi besar perkebunan kelapa sawit. Konversi
lahan dan ekspansi perkebunan kelapa sawit menjadi isu besar yang menggiring
tantangan kritis dalam perencanaan untuk pembangunan berkelanjutan dimasa yang
akan datang. Pendekatan citra satelit dengan multi temporal dan teknik deteksi
perubahan digital membantu dalam memahami perubahan pemanfaatan dan tutupan
lahan. Informasi jejak temporal perubahan lahan menyediakan arahan dan dapat
digunakan sebagai panduan untuk mengidentifikasi isu, masalah, dan panduan
untuk perencanaan lanskap.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pola perubahan tutupan lahan
dari 1988 sampai 2014, menganalisis faktor pendorong perubahan tutupan lahan,
membangun model prediksi tutupan lahan tahun 2024, dan menganalisis indeks
diversitas dan fragmentasi lahan. Bahan yang digunakan yaitu citra landsat tahun
1988, 1994, 2004, dan 2014 kemudian dilakukan klasifikasi lahan dengan
klasifikasi terbimbing. Selanjutnya metode regresi logistik biner digunakan untuk
menganalisis faktor pendorong perubahan lahan. Persamaan regresi logistik ini
dibangun dengan data 1994 dan 2004, variabel Y1 sebagai perubahan hutan
menjadi sawit, Y2 hutan menjadi lahan terbangun, dan Y3 hutan menjadi lahan
terbuka. Sedangkan variabel bebasnya adalah jarak dari jalan (X1), jarak dari
perkebunan sawit (X2), kemiringan lahan (X3), jarak dari sungai (X4), ketinggian
tempat (X5), dan jarak dari pemukiman (X6). Kemudian untuk menghitung tingkat
diversitas dan fragmentasi lahan yaitu dengan Shannons Diversity Index (SDI) and
Largest Patch Index (LPI).
Pada tahun 2024 perkebunan kelapa sawit akan terus meluas hingga
137023,02 hektar, sedangkan luas hutan tersisa 114476,22 hektar. Persamaan logit
yang dihasilkan yaitu Y= -0.14 0,0800*X1 0,07360*X2 + 0,02468*X3 +
0,44584*X4 0,02382*X5 + 0,02769*X6. Model logit ini memiliki nilai ROC
0,8806, dan nilai ini cukup tinggi. Berdasarkan tren yang ada, perubahan tutupan
lahan akan terkonsentrasi di Kecamatan Mersam, Pemayung, dan Tembesi.
Disamping itu, hutan yang ada akan semakin terancam dan tingkat fragmentasi
lahan tertinggi terjadi di Kecamatan Mersam, Marosebo Ulu, dan Tembesi.

Kata kunci: fragmentasi, LUCC, model, penginderaan jauh, prediksi


SUMMARY

ATIK NURWANDA. Land Cover Change Projection and Its Effect to The
Landscape Diversity in Batanghari Regency Jambi Province. Supervised by
ALINDA FITRIANY MALIK ZAIN and ERNAN RUSTIADI.

Indonesia is currently being threatened by the activities of land conversion to


monoculture, which is a major expansion of oil palm plantations. Land conversion
and expansion of oil palm plantations is a major issue that leads critical challenges
in planning for future sustainable development. Multi-temporal satelite imagery and
digital change detection technique help in understanding land use-cover change
(LUCC). The information of LUCC provide the direction and can be used as
guidelines to identify issues, problems, and guidelines for landscape planning.
The aims of this study are to analyze the pattern of land use-cover changes
with long temporal scale (1988 - 2014), to analyze driving force of land use changes,
to forecast land cover in 2024, and to analyze the diversity and fragmentation index.
To analyzed the land cover change, several Landsat Images (1988, 1994, 2004, and
2014) were employed, and a supervised classification method has been employed
using maximum likelihood technique. Logistic regression equation was built by the
data in 1994 and 2004, the variable Y1 (forest become palm oil plantation), variable
Y2 (forest become built-up area), and variable Y3 (forest become open land). While
the independent variables are distance from road (X1), distance from palm oil
plantation (X2), slope (X3), distance from river (X4), elevation (X5), and distance
from settlement (X6). To measure the diversity index and land fragmentation used
Shannons Diversity Index (SDI) and Largest Patch Index (LPI).
The results showed that in 2024 oil palm plantation will continue grow up to
137023.02 hectars, meanwhile the rest of forest is 114476.22 hectars. Logit Y= -
0.14 0.0800*X1 0.07360*X2 + 0.02468*X3 + 0.44584*X4 0.02382*X5 +
0.02769*X6. This model has ROC value 0.8806, it indicates goodness of fit is high
enough. According to trend LUCC, land changes will be concentrated in Mersam
and Tembesi. Beside that, forest will progressively be threatened and the highest
land fragmentation occur in Mersam, Marosebo Ulu, and Tembesi.

Keywords: forecasting, fragmentation, LUCC, model, remote sensing


Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PROYEKSI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAN DAMPAKNYA
TERHADAP DIVERSITAS LANSKAP DI KABUPATEN BATANGHARI
PROVINSI JAMBI

ATIK NURWANDA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji /XDU.RPLVLpada Ujian 7HVLV: Dr Ir Bambang Sulistyantara, MAgr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak November 2014 ini ialah perubahan lahan dan
pemodelan, dengan judul Proyeksi Perubahan Tutupan Lahan dan Dampaknya
Terhadap Diversitas Lanskap di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Alinda Fitriany Malik Zain, MSi
dan Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr sebagai pembimbing yang telah banyak memberi
saran dan arahannya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Keluarga Bapak Joko dan Ayu, Bapak Taufik, Affandi, dan David Warisman serta
seluruh pihak yang telah membantu penulis selama pengumpulan data dan
penyusunan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,
serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2016

Atik Nurwanda
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii


DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN ix
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Kerangka Pemikiran 2
Manfaat Penelitian 3
Ruang Lingkup Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 4
Penginderaan Jauh (Remote Sensing) 4
Resolusi Citra 4
Karakteristik Citra Satelit 5
Pemodelan Spasial 8
Proyeksi Penggunaan Lahan dengan CA-Markov 8
Diversitas 9
3 METODE 10
Lokasi dan Waktu Penelitian 10
Alat dan Bahan 10
Analisis Data 11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 18
Analisis Situasional Wilayah Studi 18
Status Izin Perkebunan Kelapa Sawit 20
Akurasi Hasil Klasifikasi Lahan 22
Analisis Perubahan Tutupan Lahan 22
Model Regresi Logistik 27
Akurasi Model Tahun 2014 31
Model Prediksi Tutupan Lahan 2024 33
Tren Perubahan Tutupan Lahan 2024 35
Diversitas dan Fragmentasi Lahan 36
5 SIMPULAN DAN SARAN 38
Simpulan 38
Saran 39
DAFTAR PUSTAKA 39
RIWAYAT HIDUP 51
DAFTAR TABEL
1 Saluran dan panjang gelombang Landsat 7 6
2 Saluran dan panjang gelombang Landsat 8 6
3 Saluran sensor dan panjang gelombang pada SPOT-5 7
4 Deskripsi alat dan bahan yang digunakan pada penelitian 11
5 Matriks Konfusi 13
6 Luas area klasifikasi jenis tutupan lahan 14
7 Variabel dalam analisis regresi logistik biner 15
8 Standar Indeks Shannon-Wiener 18
9 Wilayah administrasi dan jumlah penduduk 19
10 Perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Bantanghari 20
11 Perkembangan Luas Perkebunan Kelapa Sawit Perusahaan tahun 2014 21
12 Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Tahun 2014 22
13 Luas Kelas Tutupan Lahan Kabupaten Batanghari 27
14 Hasil analisis regresi logistik 27
15 Luas Tutupan Lahan Kabupaten Batanghari Tahun 2024 35
16 Nilai Perubahan LPI 37

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka Pemikiran 3
2 Lokasi Penelitian 10
3 Tahapan Umum Penelitian 11
4 Tahapan Pengolahan Citra Landsat 12
5 Diagram Alir Analisis Prediksi Tutupan Lahan Tahun 2024 16
6 Sample plot diversitas lahan 17
7 Peta Administrasi Kabupaten Batanghari 19
8 Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten Batanghari 20
9 Peta Tutupan Lahan Tahun 1988 23
10 Peta Tutupan Lahan Tahun 1994 24
11 Peta Tutupan Lahan Tahun 2004 25
12 Peta Tutupan Lahan Tahun 2014 26
13 Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Sawit (1994-2004) 28
14 Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Terbangun (1994-2004) 29
15 Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Terbuka (1994-2004) 30
16 Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Sawit Tahun 2014 32
17 Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Terbangun Tahun 2014 32
18 Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Terbuka Tahun 2014 33
19 Peta Prediksi Tutupan Lahan Tahun 2024 34
20 Tren Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2024 35
21 Peta Proyeksi Lahan Terkonversi Sawit 2024 36
22 Perubahan Nilai SDI 36
23 Jumlah Patch Kelas Tutupan Hutan Dalam Sample Plot SDI 37
24 Tren perubahan LPI per Kecamatan 38
DAFTAR LAMPIRAN
1 Visualisasi Kondisi Eksisting Lapangan 42
2 Data Raster Variabel Bebas 45
3 Overall Accuracy dan Kappa Acuracy 46
4 Kenampakan Citra Landsat 8 OLI 2014, RGB 654 48
5 Matriks Probabilitas Markov 50
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia saat ini tengah terancam oleh kegiatan konversi lahan menjadi
perkebunan monokultur (Villamor et al. 2014), yaitu ekspansi besar perkebunan
kelapa sawit (Tarigan et al. 2015) yang berakibat pada tingginya tingkat kehilangan
kawasan hutan (Potter 2015). Indonesia juga telah dinobatkan sebagai negara
dengan tingkat deforestrasi kedua tertinggi setelah Brazil (Margono et al. dalam
Villamor 2014). Di Indonesia area konsesi perkebunan kelapa sawit tersebut paling
banyak terjadi yaitu di Kalimantan dan Sumatera (Potter 2015), serta dibangun pada
kawasan hutan dan belukar (Tarigan et al. 2015). Akibat konversi menjadi lahan
sawit maka akan rentan terhadap kebakaran (Miettin dan Soo 2009), dan proses
perubahan tutupan lahan akan menyebabkan fragmentasi lanskap (Liu et al. (2009).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit terus
mengalami peningkatan dari 7,8 juta hektar pada tahun 2010 (Tarigan et al. 2015),
10 juta hektar pada tahun 2015 (Potter 2015), dan potensi ekspansi akan terus
meningkat hampir mendekati 20 juta hektar pada tahun 2020 (Rist et al. 2010;
Potter 2015). Bencana kebakaran baik secara alami ataupun unsur kesengajaan
untuk percepatan pertumbuhan lahan perkebunan kelapa sawit, sehingga bencana
kebakaran dan asap beberapa dekade terahir ini sudah menjadi pusat perhatian
sebagai bencana nasional, bahkan internasional (Nurdiana dan Idung 2015).
Menurut USDA-FAS (2009) dalam Rist et al. (2010) saat ini ekspansi perkebunan
kelapa sawit di pulau Sumatera mencapai 80% total produksi Indonesia dan
ekspansi tersebut sudah merambah ke area terpencil yang terjadi di Kalimantan,
Sulawesi, dan Papua. Konsekuensinya akan berdampak terhadap hilangnya atau
menurunnya tingkat biodiversitas (Liu et al. 2009; Nurdiana&Idung 2015; Villamor
et al. 2014). Disisi lain, ekspansi ini juga di dorong oleh kebijakan pemerintah
meningkatkan kapasitas produksi biodisel dari 600 juta liter menjadi tiga miliar liter
minyak sawit (Rist at al. 2010). Mengutip dari pernyataan Peres et al. (2010) bahwa
ekspansi pertanian baik untuk pasar lokal, nasional ataupun international
merupakan pendorong terbesar terhadap kasus perubahan lahan dan deforestrasi.
Cepat dan masifnya ekspansi perkebunan kelapa sawit untuk biodisel ini menjadi
pusat perhatian terhadap tingkat biodiversitas, habitat alam, dan juga iklim global.
Didukung oleh pernyataan Wilcove dan Lian (2010) bahwa perkebunan kelapa
sawit dan perubahan lahan (Fox dan John 2005) merupakan ancaman terbesar
terhadap biodiversitas khususnya di Asia Tenggara, hal ini berarti termasuk juga
Indonesia.
Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi merupakan salah satu kasus wilayah
yang mengalami pola-pola perubahan transformasi lahan dari kawasan hutan areal
perkebunanan kelapa sawit. Selain itu, wilayah ini juga erat dengan konflik
kepemilikan lahan (Sita 2014) antara masyarakat, perusahaan, dan kebijakan
restorasi kawasan. Seiring dengan transformasi perubahan tutupan lahan yang
terjadi di wilayah studi, maka akan terjadi fragmentasi akibat aktivitas manusia
yang secara intensif (Peres et al. 2010). Dalam rangka penataan ruang dan
mengendalikan penataan ruang, oleh karena itu perlu adanya pemantauan spasial
perubahan tutupan lahan dan kesesuaian pemanfaatan ruang serta penurunan tingkat
2

diversitasnya khususnya diversitas lanskap yang menjadi kunci utama penyangga


biodiversitas.
Rekam jejak perubahan lahan dalam jangka panjang memberikan arahan
dan dapat dijadikan pedoman untuk mengidentifikasi isu, masalah, dan panduan
untuk perencanaan lanskap. Ketidaktetapan penggunaan lahan dan kecenderungan
perubahan yang terus menerus disebabkan oleh tekanan yang menuntut kebutuhan
lahan untuk pengembangan sektor ekonomi, industri, dan jasa. Perubahan
penggunaan lahan yang terus terjadi ini apabila dimodelkan secara spasial
berdasarkan pola perubahannya, maka akan memudahkan meraih informasi untuk
merencanakan suatu lanskap dan proyeksi perubahan lahan di masa yang akan
datang. Dengan demikian antisipasi pencegahan terhadap penurunan kualitas
lingkungan dan diversitas dapat dilakukan dengan tepat sesuai permasalahan yang
telah diprediksi sebelumnya.
Dalam rangka penataan ruang dan mereduksi hilangnya diversitas lanskap,
pemodelan spasial dapat menjadi salah satu alternatif pendekatan analisis
keruangan yang mempermudah perencanaan penggunaan lahan. Pendekatan sistem
dengan analisis penginderaan jauh terhadap perubahan tutupan lahan dan
pemodelan yang diintegrasikan dengan SIG mampu mengatasi dimensi spasial dan
temporal. Menurut Estoque dan Yuji (2012) tekhnik tersebut dapat memfasilitasi
analisis eksplorasi dalam memahami dampak potensial akibat dari perubahan
tutupan lahan di waktu yang akan datang. Diharapkan dengan pendekatan-
pendekatan tersebut mampu memecahkan permasalahan yang ada,
mengidentifikasi faktor-faktor utama perubahan lahan, dan menyajikan hasil model
prediksi secara spasial.

Perumusan Masalah

Perlunya pemantauan perubahan tutupan lahan secara spasial dan temporal


di Kabupaten Batanghari. Konversi lahan yang terus terjadi akan mengakibatkan
semakin berkurangnya kawasan hutan dan diversitas lanskap yang tertransformasi
menjadi perkebunanan sawit. Pola perubahan yang telah terjadi selama ini perlu
dikaji faktor-faktor yang menyebabkan perubahan lahan, memprediksi perubahan
tutupan lahan di masa yang akan datang sebagai upaya pemantauan pemanfaatan
ruang.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:


1. Mendeteksi perubahan penutupan lahan secara spasial dan temporal (1988-
2014),
2. Menganalisis faktor pendorong perubahan tutupan lahan,
3. Membangun model prediksi perubahan tutupan lahan pada tahun 2024, dan
4. Menganalisis tingkat diversitas dan fragmentasi lahan.

Kerangka Pemikiran

Perubahan penggunaan lahan memiliki sebab akibat dari berbagai aspek yaitu
aspek sosial (jumlah penduduk), ekonomi (perkembangan ekonomi), politik
(kebijakan politik pemerintah), dan biofisik (bencana alam). Pendekatan perubahan
3

spasial menjadi dasar pertimbangan pemodelan yang sangat sesuai untuk


menganalisis karakteristik, pola dan kecenderungan sistem perubahan, dan faktor-
faktor peubah perubahan tutupan lahan. Hal ini diharapkan mampu memprediksi
pola perubahan tutupan lahan dan fragmentasi lahan yang terjadi dengan mengacu
pada diversitas tutupan lahan. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 1.
Kab. Batanghari

- Aspek Ekonomi
Potensi Perubahan dan - Aspek Sosial
Transformasi Lanskap - Aspek Fisik Biofisik
- Aspek Kebijakan

Pola dan Karakteristik Penurunan Tingkat


Perubahan Tutupan Lahan Diversitas

REMOTE SENSING Indeks Diversitas


SDI dan LPI

Pendekatan Perubahan Spasial Pendekatan Time Series

Sifat Model: Sifat Model:


Basis Spasial Peluang Perubahan

Driving Force Perubahan Tutupan Karakteristik Pola Perubahan dan


Lahan Model Prediksi Spasial

Gambar 1 Kerangka Pemikiran

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan


kebijakan tata ruang terutama dalam pengawasan perubahan tutupan lahan,
pembukaan lahan ilegal, dan pencegahan kawasan hutan yang terancam hilang.
Selain itu memberikan masukan kepada pihak pemerintah daerah dalam menyusun
konsep pengembangan tataguna lahan.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dan batasan penelitian ini adalah:


1. Ruang lingkup wilayah penelitian yaitu wilayah administrasi Kabupaten
Batanghari, Provinsi Jambi.
2. Kajian yang diamati meliputi pola perubahan tutupan lahan berdasarkan
periode waktu yang berbeda, faktor pendorong perubahan tutupan lahan,
prediksi perubahan tutupan lahan, dan tren perubahan tingkat diversitas dan
fragmentasi lahan.
4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Penginderaan Jauh (Remote Sensing)

Penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah


dikenal di Amerika Serikat sekitar tahun 1950-an, kemudian tahun 1970-an istilah
ini diperkenalkan di beberapa negara eropa seperti teledetection (Perancis),
teleperception (Spanyol), dan fernenkundung (Jerman). Menurut American Society
of Photogrammetry (1983) dalam Jaya (2014), remote sensing diterjemahkan
sebagai ilmu dan seni pengukuran untuk mendapatkan informasi suatu obyek atau
fenomena, menggunakan suatu alat perekaman dari kejauhan, dimana pengukuran
dilakukan tanpa melakukan kontak langsung secara fisik dengan obyek atau
fenomena yang diukur.
Analisis spasial dalam remote sensing merupakan kegiatan penguraian data
serta hubungannya antar komponen data itu sendiri, dalam hal ini adalah nilai
kecerahan (Brightness Value) atau digital number (Digital Number). Kegiatan
analisis dapat dilakukan setelah melakukan kegiatan pengolahan citra (image
processing). Dikatakan data digital karena data yang diolah adalah data numerik
yang besarannya dinyatakan dengan bit. Semakin besar bit-nya, maka semakin
banyak kemungkinan kandungan informasi yang ada di dalamnya. Remote sensing
saat ini telah mendapat perhatian besar karena dapat memperoleh struktur data
secara efektif dalam skala lanskap (Ren et al. 2015), juga memiliki peranan penting
dalam pemetaan transformasi perubahan tutupan lahan dan mengidentifikasi faktor
pendorong untuk pemodelan (Achmad et al. 2015).

Resolusi Citra

Di dalam remote sensing sangat penting untuk memahami istilah resolusi


diantaranya resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik, dan resolusi
temporal. Resolusi spasial adalah ukuran terkecil dari suatu bentuk (feature)
permukaan bumi yang bisa dibedakan dengan bentuk permukaan di sekitarnya atau
yang ukurannya bisa diukur. Skala pada data citra pemotretan udara remote sensing
adalah fungsi dari panjang gelombang fokus dan tinggi terbang. Grain film yang
halus memberikan detail obyek yang lebih banyak (resolusi lebih tinggi)
dibandingkan grain yang kasar. Demikian pula skala yang lebih besar memberikan
resolusi yang lebih tinggi.
Resolusi spasial dari citra non fotografik (yang tidak menggunakan film)
ditentukan berdasarkan dengan beberapa cara, diantaranya yang paling umum
digunakan adalah berdasarkan dimensi dari instantaneous field of view (IFOV) yang
diproyeksikan ke bumi. IFOV ini merupakan fungsi dari detektor, tinggi sensor, dan
optik. Pada sensor digital seperti pada generasi Landsat dan SPOT, sensor merekam
kecerahan (brightness value) semua obyek yang ada di dalam IFOV. Brightness
adalah jumlah radiasi yang dipantulkan atau diemisikan dari permukan bumi.
Dengan kata lain IFOV adalah suatu areal pada suatu permukaan bumi dalam
gabungan atau campuran brightness suatu permukaan yang diukur. Akan tetapi
ukuran piksel bisa lebih kecil atau lebih besar dari ukuran IFOV, tergantung dari
bagaimana brightness value tersebut direkam oleh sensor. Perlu diperhatikan bahwa
resolusi spasial dari suatu sistem cocok untuk suatu kepentingan tertentu sehingga
5

obyek di permukan bumi tidak hanya bisa dideteksi namun juga bisa diidentifikasi
dan dianalisis (Jaya 2014).
Resolusi spektral adalah dimensi atau jumlah daerah panjang gelombang
yang dimiliki oleh sensor. Potret hitam-putih mempunyai resolusi yang lebih rendah
yaitu antara 0,4m 0,7 m dibandingkan dengan Landsat TM band 3 yaitu 0,63
m 0,69 m. Dengan jumlah band yang lebih banyak maka pemakai atau peneliti
dapat memilih kombinasi yang terbaik sesuai dengan tujuan dari analisis untuk
mendapatkan hasil yang optimal. Landsat TM mempunyai 7 band dengan lebar
setiap band-nya yang sempit tetapi rentang band yang digunakan lebar mulai dari
band biru sampai dengan band termal, sedangkan SPOT mempunyai 4 band
dengan rentang dari band hijau sampai dengan inframerah sedang, ini berarti bahwa
TM mempunyai resolusi spektral yang lebih baik dibandingkan SPOT.
Menurut Jaya (2014) resolusi radiometrik merupakan ukuran sensitivitas
sensor untuk membedakan aliran radiasi yang dipantulkan atau diemisikan dari
suatu obyek pemukaan bumi. Sebagai contoh, radian pada panjang gelombang 0,6
0,7 m akan direkam oleh sensor detektor MSS band 5 dalam bentuk voltage.
Kemudian analog voltage ini direkam setiap interval waktu tertentu (contoh untuk
MSS adalah 9,958 x 10-6 detik) dan selanjutnya dikonversi menjadi nilai integer
yang disebut bit. MSS band 4, 5, dan 7 dikonversi ke dalam 7 bit (27=128), sehingga
akan menghasilkan 128 nilai diskrit antara 0 sampai 127. Generasi kedua data satelit
seperti TM, SPOT, dan MESSR mempunyai resolusi radiometrik 8 bit dengan nilai
interger 0 sampai 255.
Resolusi temporal menjadi sangat penting dalam pertimbangan ketika
penginderaan jauh yang dibutuhkan dalam rangka pemantauan atau deteksi
permukaan bumi yang terkait dengan variasi waktu atau musim. Resolusi temporal
ini dapat diartikan interval waktu yang dibutuhkan oleh satelit untuk merekam areal
yang sama, atau waktu yang dibutuhkan oleh satelit untuk menyelesaikan seluruh
siklus orbitnya. Misalnya pada landsat mempunyai ulangan 16 hari, SPOT 26 hari,
JERS-1 44 hari, NOAA AVHHR 1 hari dan IRS 22 hari (Jaya 2014).

Karakteristik Citra Satelit

Sistem Landsat (Land satelite)


Satelit Landsat pertama kali diluncurkan pada tahun 1972 dengan nama
ERTS-1 (Earth Resources Technology Satelite 1) milik Amerika. Setelah
peluncuran Landsat-1 berhasil, proyek ini dilanjutkan sampai saat ini yaitu satelit
Landsat 8 OLI (Land Satelite Operational Land Imager) yang diluncurkan pada
tanggal 11 Pebruari 2013. Landsat-1 dan Landsat-2 yang merupakan generasi
pertama Landsat memuat dua macam sensor, yaitu RBV (Return Beam Vidicon)
yang terdiri atas 3 saluran RBV-1, RBV-2 dan RBV-3 dengan resolusi spasial 79
meter dan sensor MSS (multispectral scanner) yang terdiri atas 4 saluran MSS-4,
MSS-5, MSS-6 dan MSS-7 dengan resolusi spasial yang sama. Selain itu, Landsat 3
yang juga merupakan generasi pertama dari landsat masih memuat sensor RBV dan
MSS namun saluran RBV dikurangi hingga menjadi satu saluran tunggal dengan
resolusi 40 meter.
Landsat-4 dan Landsat-5 yang merupakan generasi kedua seri landsat, juga
memuat dua sensor dengan mempertahankan sensor MSS namun mengganti sensor
RBV dengan sensor TM (Thematic Mapper). Sensor TM ini meiliki tujuh saluran
6

yang diberi nomor urut 1 sampai dengan 7. Dari ketujuh saluran TM tersebut
terdapat spektrum inframerah termal yaitu pada TM 6 dengan resolusi spasial 120
meter yang berada diantara dua saluran inframerah tengah (middle infra red/MIR)
yang terletak pada TM 5 dan TM 7 dengan resolusi spasial 30 meter. Penggunaan
Landsat TM masih sangat memungkinan untuk melihat struktur tutupan lahan,
hutan kota, indeks vegetasi, tingkat kepadatan kanopi, biomassa (Ren et al. 2015),
dan perhitungan biomassa vegetasi akuatik (Pu et al. 2014).
Landsat 7 yang diluncurkan pada tahun 1999 yang diberi nama Landsat-7
ETM+ (Enhanced Thematic Mapper) merupakan pengembangan dari Landsat-6
yang membawa sensor TM. Landsat-7 ini memuat 8 band. Band ke-8 merupakan
saluran pankromatik dengan panjang gelombang 0.58 0.90 m dan saluran 6 yang
merupakan spektrum infra merah termal telah dinaikkan resolusi spasialnya
menjadi 60 meter. Secara rinci jenis saluran dan fungsi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Saluran dan panjang gelombang Landsat 7
Deskripsi Saluran/ Band Panjang Gelombang (m)
Band 1 - Blue 0,45 0,52
Band 2 - Green 0,52 0,60
Band 3 - Red 0,63 0,69
Band 4 - Near Infrared 0,77 0,90
Band 5 - Shortwave infrared 1,55 1,75
Band 6 - Thermal infrared (60 m) 10,40 12,50
Band 7 - Shortwave infrared 2,09 2,35
Band 8 - Panchromatic (15m) 0,52 0,90
Sumber: Roy et al. (2014)
Satelit terbaru yang diluncurkan pada 11 Februari 2013 yang diberi nama
Landsat-8 yang membawa dua sensor yaitu sensor OLI (Operational Land Imager)
dan TIRS (Thermal Infrared Sensor), selain itu Landsat-8 mempunyai kemampuan
merekam lebih dari 500 gambar per hari (Roy et al. 2014). Secara rinci jenis saluran
dan deskripsinya dapat dilihatpada Tabel 2.
Tabel 2. Saluran dan panjang gelombang Landsat 8
Deskripsi Saluran/ Band Panjang Gelombang (m)
Band 1 - Blue 0,43 0,45
Band 2 - Blue 0,45 0,51
Band 3 - Green 0,63 0,59
Band 4 - Red 0,64 0,67
Band 5 - Near infrared 0,85 0,88
Band 6 - Shortwave infrared 1,57 1,65
Band 7 - Shortwave infrared 2,11 2,29
Band 8 - Panchromatic (15m) 0,50 0,68
Band 9 - Cirrus 1,36 1,38
Band 10 - Thermal infrared (100 m) 10,60 11,19
Band 11 - Thermal infrared (100 m) 11,50 12,51
Sumber: Roy et al. (2014)
Sistem SPOT (System Probatoire de lObservation de la Terre)
Sistem SPOT adalah proyek kerja sama antara Prancis, Swedia dan Belgia di
bawah koordinasi CNES (Centre National dEtudes Spatiales) selaku badan ruang
angkasa Prancis. SPOT-1 diluncurkan pada 23 Februari 1986. Sistem SPOT
membawa dua sensor identik. Sensor tersebut identik karena kedua sensor tersebut
sepenuhnya sama. Sensor tersebut dikenal dengan HRV (Haute Resolution Visible).
SPOT generasi pertama (SPOT-1, SPOT-2 dan SPOT-3), masing-masing
sensor HRV dapat bekerja dalam dua mode yaitu modus multispektral (XS) dan
7

modus pankromatik (P). Modus multispektral terdiri atas 3 saluran: XS1 (0.50 - 0.59
m), XS2 (0.61 - 0.68 m) dan XS3 (0,79 - 0,89 m). Sementara pada modus
pankromatik mempunyai panjang gelombang 0.51 0.73 m. Keunggulan sensor
HRV adalah resolusi spasial yang cukup tinggi. Pada modus multispektral (XS)
dihasilkan citra dengan resolusi spasial 20 meter sedangkan pada modus
pankromatik dihasilkan citra dengan resolusi spasial 10 meter.
SPOT-4 yang merupakan generasi kedua sistem satelit SPOT ini dipasang
saluran spektral yang keempat yang berfungsi pada spektral infra merah tengah
dengan panjang gelombang 1.5 1.75 m. Namun, modus pankromatik yang
sebelumnya dipasangkan pada SPOT generasi pertama sudah dihapuskan pada
SPOT generasi kedua ini. Selain itu, SPOT generasi kedua mempunyai dua
instrumen yaitu HRVIR dan VMI. HRVIR atau high resolution in visible and
infrared merupakan pengembangan instrumen HRV pada SPOT generasi
sebelumnya. Sedangkan sensor VMI atau vegetation monitoring instrument
merupakan instrumen yang dirancang untuk pemantauan vegetasi global. Instrumen
VMI merupakan instrumen independen dengan saluran spektral yang identik dengan
HRVIR dalam hal panjang gelombang.
SPOT-5 yang beroperasi bersama SPOT-4 mengalami penggantian pada
instrumen HRVIR diganti dengan HRG (High Resolution Geometric). Resolusi
spasial yang dimiliki oleh instrumen HRG ini adalah 5 meter pada modus
pankromatik dan resolusi spasial 10 meter pada saluran hijau, merah, dan
inframerah dekat. Berikut ini saluran sensor dan panjang gelombang pada SPOT 5
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Saluran sensor dan panjang gelombang pada SPOT-5
Saluran/ Band Panjang Gelombang (m) Resolusi Spasial (m)
Band 1 - Blue 0,50 0,59 10x10
Band 2 - Green 0,61 0,68 10x10
Band 3 - Red 0,79 0,89 10x10
Band 4 - Shortwave infrared 1,58 1,75 20x20

Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classfication)


Data citra digital dengan berbagai kualitas memberikan kesempatan kepada
setiap pengguna untuk mendapatkan informasi sesuai kebutuhan. Untuk
mendapatkan informasi tersebut, pengguna melakukan teknik klasifikasi terhadap
piksel-piksel pada sebuah citra ke bentuk informasi berupa tutupan lahan atau
informasi lainnya (Lillesand et al. 2004). Salah satu teknik klasifikasi yang dapat
digunakan adalah klasifikasi terbimbing (supervised classification). Danoedoro
(2012) menjelaskan bahwa klasifikasi terbimbing adalah teknik klasifikasi yang
meliputi kumpulan algoritma yang didasari oleh input area contoh oleh operator.
Menurut Richards dan Jia (2006) klasifikasi terbimbing adalah prosedur yang
digunakan untuk analisis kuantitatif data citra penginderaan jauh yang didasarkan
pada penggunaan algoritma yang tepat untuk penamaan piksel yang mewakili jenis
atau kelas tutupan lahan. secara garis besar, klasifikasi terbimbing terdiri dari tiga
tahapan (Lillesand et al. 2004; Richards dan Jia 2006) yaitu (a) pemilihan area
contoh yang merepresentasikan kelas tutupan lahan yang akan diklasifikasikan; (b)
klasifikasi kelas tutupan lahan berdasarkan area contoh; (c) tahap penilaian akurasi
hasil klasifikasi.
8

Pemodelan Spasial

Pemodelan merupakan suatu proses yang dapat berupa simulasi, prediksi


maupun deskripsi. Tujuan dari pembuatan model adalah membantu dalam
pengambilan keputusan ataupun analisis untuk memahami, menggambarkan dan
memperkirakan bagaimana suatu proses bekerja dalam dunia nyata melalui
penyederhanaan fenomena maupun feature. Hasil dari permodelan ini dapat
digunakan untuk mengambil suatu keputusan, melakukan kegiatan ilmiah atau
memberi informasi umum (Jaya 2006).
Berdasarkan proses analisisnya, pemodelan dikelompokkan atas:
1. Pemodelan kartografi (cartographic modeling)
Pada pemodelan ini disarankan untuk membuat diagram alir (flow chart) yang
detail dan perencanaan yang teliti untuk menderivasi data-data yang diharapkan dan
bagaimana cara menggunakannya.
2. Pemodelan simulasi (simulation modeling)
Melakukan simulasi terhadap fenomena yang kompleks dengan menggunakan
kombinasi informasi spasial dan non-spasial. Aspek ini memerlukan keahlian
bagaimana suatu model dibangun. Para ahli dapat menggunakan layer spasial yang
mencakup informasi tentang vegetasi, elevasi, slope, kepemilikan, jalan dan aliran
sungai, selanjutnya dilakukan pembobotan (prioritas layer).
3. Pemodelan prediktif (predictive modeling)
Pada pemodelan ini biasanya menggunakan teknik statistik, umumnya analisis
regresi untuk menyusun suatu model. Tahap pertama adalah mengumpulkan
informasi tentang penomena yang diamati, selanjutnya satu set informasi tersebut
digunakan untuk membangun suatu model dengan melihat masing-masing layer
dari informasi spasial dan masing-masing komponen dari informasi non-spasial.

Proyeksi Penggunaan Lahan dengan CA-Markov

Analisis Markov Chain dapat digunakan untuk memprediksi area transisi dari
perubahan tutupan lahan (Yang et al. 2014), dan memperkirakan perubahan-
perubahan di waktu yang akan datang dalam variabel-variabel yang dinamis atas
dasar perubahan dari variabel dinamis tersebut di waktu yang lalu (Kurnianti 2015).
Probabilitas transisi matriks ini didapatkan dari dua tutupan lahan dalam waktu atau
tahun yang berbeda. Proses ini bisa didapatkan dalam tool modeler IDRISI Selva.
Matriks transisi markov disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4 Transisi Matriks Markov Chain
Dari keadaan ke: Pindah ke keadaan ke:
1 2 j n
1 P11 P12 P1j P1n
2 P22 P22 P2j P2n

i Pi1 Pi2 Pij Pin

n Pn1 Pn2 pnj
n adalah jumlah keadaan dalam proses dan pij adalah kemungkinan transisi dari
keadaan saat i ke keadaan j. Jika saat ini berada pada keadaan i maka baris i dari tabel di
atas berisi angka-angka pi1, pi2, , pin merupakan kemungkinan berubah ke keadaan
9

berikutnya. Angka tersebut melambangkan kemungkinan sehingga semuanya


melupakan bilangan non negatif dan tidak lebih dari satu.
Dalam menjalankan modeler tersebut harus memenuhi syarat, syarat yang
pertama sistem harus bersifat stationery atau homogen, artinya perilaku sistem
selalu sama disepanjang waktu atau peluang transisi sistem dari suatu kondisi ke
kondisi lainnya akan selalu sama disepanjang waktu. Dengan demikian maka
pendekatan Markov hanya dapat diaplikasikan untuk sistem dengan laju perubahan
yang konstan. Syarat kedua adalah kondisi yang dimungkinkan terjadi pada sistem
harus dapat diidentifikasi dengan jelas. Apakah sistem memiliki dua kondisi yakni
kondisi beroperasi dan kondisi gagal, ataukah sistem memiliki tiga kondisi yaitu
100% sukses, 50% sukses, atau 100% gagal.
Muller and Middleton (1994) memanfaatkan teknik ini dalam mempelajari
dinamika perubahan lahan di Ontario, Kanada. Persamaan Markov Chain dibangun
menggunakan distribusi penggunaan lahan pada awal dan akhir masa pengamatan
yang direpresentasikan dalam suatu vektor (matriks satu kolom), serta sebuah
matriks transisi (transition matrix).
Hubungan ketiga matriks tersebut adalah sebagai berikut:
MLS*Mt= Mt+1

Keterangan:
MLC = Peluang; Mt = Peluang tahun ke t;
Mt+1 = Peluang tahun ke t+1;
Ut = Peluang setiap titik terklasifikasi sebagai kelas U pada waktu t;
LCUA = Peluang suatu kelas lainnya pada rentang waktu tertentu.

Diversitas

Diversitas memiliki banyak definisi dalam literatur berdasarkan kebebasan


peneliti, badan pemerintah, dan organisasi internasional. Ruang lingkup diversitas
dapat diartikan beragamnya bentuk atau peranan ekologi, dan keberagaman genetik.
Diversitas merupakan sejumlah total keberagaman kehidupan, dan kemudian dapat
dibagi menjadi: 1) keragaman genetik, 2) keragaman spesies, 3) keragaman ekologi
atau ekosistem.
Diversitas mengarah kepada keanekaragaman jenis yang terdiri atas dua
komponen, yaitu jumlah jenis yang mengarah pada kekayaan jenis (richness
species) dan kelimpahan jenis yang mengarah kepada kemerataan jenis (eveness
species). Penilaian keanekaragaman jenis dengan menggunakan indeks kemerataan
jenis, dapat digunakan sebagai petunjuk kemerataan dan kelimpahan individu di
antara setiap komunitas. Melalui indeks ini pula dapat dilihat adanya gejala
dominansi yang terjadi antara suatu jenis dalam suatu komunitas. Indeks diversitas
yang sering digunakan yaitu Shannon-Wiener Index:
H= - [(ni/N) ln (ni/N)]
t=i
disederhanakan menjadi:
s
H= - pi ln (pi)
t=i
10

Keterangan:
H = Indeks diversitas Shannon-Wiener
ni = Jumlah dari jenis tutupan lahan ke-i
pi = ni/N
N = Jumlah individu dari semua jenis tutupan lahan
ln = Logaritma natural (bilangan alami)

3 METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi (Gambar


2). Secara geografis Kabupaten Batangahari berada di posisi 1o15 Lintang Selatan
sampai 202 Lintang Selatan dan 102030 Bujur Timur sampai 104030 Bujur Timur.
Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai Agustus 2015.
Proses ground truth check dilaksanakan pada bulan Juni 2015. Titik lokasi
pengamatan saat ground truth check diambil secara purposive random sampling
yang mana setiap kecamatan terobservasi dan ada perwakilan titik contoh untuk
setiap kategori kelas tutupan lahan. Disetiap titik ground truth check yang dicatat
adalah tipe kelas tutupan, koordinat, foto, dan keterangan yang menjelaskan kondisi
riil lapangan. Visualisasi kondisi wilayah studi dapat dilihat pada Lampiran 1.

Gambar 2 Lokasi Penelitian

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan yaitu Arc GIS 9.3, IDRISI Selva, ERDAS, GPS, Kamera,
dan Ms. Excel. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu citra Landsat, SPOT, Data
11

SRTM, peta jaringan jalan (.shp), dan peta jaringan sungai (.shp). Alat dan bahan
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Deskripsi alat dan bahan yang digunakan pada penelitian
Alat dan Bahan Penelitian Penggunaan
Alat
Arc GIS 9.3 Edit data image dan pemodelan
IDRISI Selva Pengolahan faktor perubahan lahan dengan regresi logistik
dan prediksi perubahan dengan pendekatan Markov Chain
ERDAS Pengolahan data citra dan klasifikasi terbimbing
GPS Survei lapang (ground truth check)
Kamera Dokumentasi lapang
Ms. Excel 2013 Pengolahan data tabular dan grafik
Bahan
Citra Landsat Analisis klasifikasi tutupan lahan dan analisis divesritas
tutupan lahan
Citra SPOT Identifikasi klasifikasi citra dan validasi kondisi tutupan
lahan saat penilaian akurasi
Data SRTM Analisis regresi logistik biner
Peta Jaringan Jalan Analisis regresi logistik biner
Peta Jaringan Sungai Analisis regresi logistik biner

Analisis Data

Penelitian ini dilakukan dengan analisis spasial penginderaan jauh. Rentang


waktu tahun 1988-2014 dibagi menjadi empat rekam jejak temporal citra (1988,
1994, 2004, dan 2014) untuk kemudian dilakukan analisis klasifikasi tutupan lahan
dan perubahan tutupan lahan Land Use Cover Change (LUCC). Analisis
berikutnya yaitu analisis faktor pendorong perubahan tutupan lahan dengan metode
binary logistic regression. Kemudian untuk mendapatkan model prediksi tutupan
lahan, dilakukan penggabungan dua metode Regresi Logistik dan Markov Chain.
Kekuatan terbaik transisi matriks Markov adalah memperlihatkan tingkat ramalan
secara spasial (Lopez et al. 2001) dengan kecenderungan untuk berubah
berdasarkan sistem ketetanggan terdekat di kelasnya (Arsanjani et al. 2013),
sedangkan regresi logistik memprediksi berdasarkan faktor hubugan variabel.
Selanjutnya dilakukan analisis tingkat diversitas dan fragmentasi lahan yang terjadi
sebagai dampak dari perubahan tutupan lahan. Tahapan umum penelitian disajikan
pada Gambar 3.
Citra Landsat Hasil Klasifikasi Hasil Klasifikasi
INPUT (1988, 1994, 2004, 2014) (1994, 2004, 2014) (1988, 1994, 2004,
2014)

Klasifikasi Tutupan
Analisis Prediksi Analisis
ANALISIS Lahan dan Regresi
Regresi dan Markov SDI dan LPI
Logistik

Model Perubahan Model Prediksi Nilai Diversitas


OUTPUT Tutupan Lahan dan SDI dan
LUCC Tahun 2024
Regresi Logistik Fragmentasi LPI

Gambar 3 Tahapan Umum Penelitian


12

Pengelolaan Citra Landsat


a) Pemulihan citra (Image Restoring)
Tahapan ini melakukan perbaikan radiometrik dan geometrik yang bertujuan
untuk memperbaiki bias pada nilai digital piksel yang disebabkan oleh
gangguan atmosfer atau kesalahan sensor. Perbaikan geometrik dilakukan
dengan mengambil titik-titik ikat di lapangan atau citra yang sudah terkoreksi.
b) Pemotongan citra wilayah studi (subset)
Pemotongan citra dilakukan sesuai dengan lokasi penelitian yang telah
ditentukan berdasarkan pada batas administrasi wilayah kota dan kabupaten di
Provinsi Jambi. Citra terkoreksi kemudian di potong menggunakan Area of
Interest (AoI).
c) Klasifikasi Citra Terbimbing (Supervised Classification)
Tahap klasifikasi ini diperlukan untuk mengetahui sebaran dan luas tipe
penutupan lahan wilayah studi berdasarkan kategori kelas yang diinginkan.
Sistem klasifikasi untuk membuat kelas tutupan lahan menggunakan sistem
klasifikasi Maximum Likelihood Classification (MLC). Satu hal yang khusus
saat penentuan area contoh untuk area perkebunan kelapa sawit diambil area
contoh dengan tiga pertumbuhan berbeda yaitu sawit muda (<3 rahun), sawit
dewasa, dan sawit tua (>15 tahun). Tiga area contoh ini digabungkan menjadi
satu definisi tutupan lahan sebagai area perkebunan sawit karena memiliki
kenampakan rona citra yang berbeda.
d) Survei Lapang (Ground Truth Check)
Survei lapang ini pada prinsipnya bertujuan untuk melakukan validasi kondisi
lapang dan perubahan penutupan lahan. Lokasi survei yang mewakili kelas
penutupan lahan dilakukan pencatan koordinat dengan bantuan GPS yang
kemudian akan diverifikasi dengan data citra.
Adapun tahapan pengolahan citra landsat tersebut diilustrasikan seperti pada
Gambar 4.
Koreksi Geometri

Pemilihan Daerah Studi


(Subset Image)

Citra Hasil Koreksi

Klasifikasi Citra Terbimbing


Akurasi
(Supervised Classification)

Survei Lapang
(Ground Truth Check)

Gambar 4 Tahapan Pengolahan Citra Landsat


Setelah proses klasifikasi kemudian menghitung tingkat akurasi hasil
klasifikasi. Akurasi sering dianalisis dengan suatu matriks kontingensi yaitu
matriks bujur sangkar yang membuat jumlah piksel yang diklasifikasi, sering juga
disebut sebagai error matrix atau confusion matrix. Akurasi klasifikasi biasanya
13

diukur berdasarkan persentase jumlah piksel yang dikelaskan secara benar dibagi
dengan jumlah total piksel yang digunakan (jumlah piksel yang terdapat di dalam
diagonal matrik dengan jumlah seluruh piksel yang digunakan). Metode akurasi ini
menguji akurasi (kualitas) area contoh yang dibuat dan dengan kemampuan
algoritma klasifikasi menghasilkan klasifikasi tutupan lahan namun hanya lingkup
area contoh yang dibuat oleh operator. Pengujian tingkat akurasi keseluruhan
(overall accuracy) dengan terlebih dahulu menghitung nilai producers accuracy
(PA) dan users accuracy (UA) persamaan PA dan UA adalah sebagai berikut:

() = 100%
+

() = 100%
+
Uji akurasi dengan metode penghitungan producers accuracy (PA), users
accuracy (UA) dan overall accuracy dinilai over estimate oleh karena itu
dikembangkan metode penghitungan lain yaitu penghitungan akurasi Kappa.
Akurasi Kappa ini lebih relevan karena mempertimbangkan semua sel yang ada
pada matriks dan kesalahan dihitung dengan mempertimbangkan ommision dan
commission error-nya. Persamaan akurasi Kappa adalah sebagai berikut:
=1 =1 + +
= 100%
2 + +
Keterangan:
: Koefisien akurasi N : Jumlah piksel secara keseluruhan
Xi+ : Jumlah piksel pada baris yang sama X+i : Jumlah piksel pada kolom yang sama
Xii : Jumlah piksel pada kelas yang bersangkutan
Adapun confusion matrix untuk mengolah nilai akurasi (overall accuracy dan
kappa accuracy) tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Matriks Konfusi
Data Producers
Kelas Klasifikasi Jumlah
Referensi accuracy
A B C D ...
A X11 X12 X13 X14 X1+ X11/X1+
B X21 X22 X23 X24 X2+ X22/X2+
C X31 X32 X33 X34 X3+ X33/X3+
D X41 X42 X43 X44 X4+ X44/X4+
...
Jumlah X+1 X+2 X+3 X+4
Users
X11/X+1 X22/X+2 X33/X+3 X44/X+4
accuracy

Analisis Pola Perubahan Tutupan Lahan


Pada proses ini akan dihasilkan empat peta klasifikasi tutupan lahan dan
perubahan lahan. Setiap hasil klasifikasi tersebut dilakukan perhitungan luas area
dan persentase perubahan jenis tutupan lahan seperti pada Tabel 7. Tipe tutupan
lahan dibagi menjadi sembilan kelas yaitu lahan terbuka, badan air (sungai, kolam
dan danau), hutan, kebun campuran, sawit (sawit muda sampai sawit tua), lahan
terbangun (pusat kota, jalan, bangunan, dan pemukiman), semak, awan, dan karet.
Fokus pembahasan dalam pola perubahan lahan yang dimaksud disini adalah
perubahan dari hutan menjadi sawit, hutan menjadi lahan terbangun, dan hutan
menjadi lahan terbuka.
14

Tabel 7. Luas area klasifikasi jenis tutupan lahan


Jenis Tutupan 1988 1994 2004 2014
Lahan Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %
Lahan terbuka
Badan air
Hutan
Kebun campuran
Sawit
Lahan terbangun
Semak
Awan
Karet

Analisis Faktor Penggerak Perubahan Tutupan Lahan dengan Regresi


Logistik
Menurut Yu et al. (2014) bahwa lingkungan alam, pengelolaan tata guna
lahan, dan faktor sosial ekonomi merupakan faktor penggerak utama yang biasanya
terjadi dalam kasus perubahan tata guna lahan. Variabel yang dipilih dalam
penelitian ini dilakukan dengan pendekatan metode enter, variabel tersebut adalah
jarak dari jalan, jarak dari sawit terdekat, kemiringan lahan, jarak dari sungai,
ketinggian tempat, dan jarak dari pemukiman.
Regresi logistik memiliki kelebihan dalam analisis statistik untuk
mengetahui hubungan empiris antara variabel dependen dan independen
(McCullagh dan Nedler 1989 dalam Kurnianti 2015) yang mendeskripsikan
hubungan antara peubah respon yang memiliki dua kategori atau lebih dengan satu
atau lebih peubah penjelas berskala kategori atau interval. Variabel dependen dalam
model regresi logistik merupakan fungsi probabilitas perubahan penggunaan lahan
berdasarkan skor/bobot variabel independen yang mempengaruhi perubahan
penggunaan lahannya. Skor/bobot variabel independen dalam model regresi
logistik biner adalah 1 untuk lahan yang mengalami perubahan dan nilai 0 untuk
lahan yang tidak mengalami perubahan. Pendekatan model yang digunakan adalah
MLE (Maximum Likelihood Estimation) dan persamaan model dari binary
regression model (Achmad et al. 2015; Eastmen 2012; Deng et al. 2016; Keng dan
Homathevi 2012):
Logit (Y) = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + ... + biXn
Keterangan:
Y= Variabel dependent a = Konstanta
X = Variabel independent bi = Koefisien variabel independent ke i, untuk 1,2,3,... p
Persamaan regresi logistik ini dibangun dengan menggunakan data 1994 dan
2004, yang mana variabel Y1 sebagai perubahan hutan menjadi sawit, Y2 hutan
menjadi lahan terbangun, dan Y3 perubahan hutan menjadi lahan terbuka.
Sedangkan variabel bebas yang digunakan antara lain jarak dari jalan, jarak dari
sawit terdekat, kemiringan lahan, jarak dari jaringan sungai, ketinggian tempat, dan
jarak dari pemukiman (Lampiran 2). Diantara variabel-variabel tersebut yang
tergolong variabel dinamis dan digunakan untuk prediksi model selanjutnya adalah
X1, X2, dan X6. Variabel-variabel yang digunakan dalam regresi logistik disajikan
pada Tabel 8.
15

Tabel 8. Variabel dalam analisis regresi logistik biner


Variabel Y1 Status Perubahan
Y1 Hutan menjadi sawit 0 Tidak berubah; 1 Berubah
Variabel X Analisis Satuan Resolusi
X1 Jarak dari jalan Euclidian distance kilometer 30 m
X2 Jarak dari sawit Euclidian distance kilometer 30 m
X3 Kemiringan lahan Grid map persen 30 m
X4 Jarak dari sungai Euclidian distance kilometer 30 m
X5 Ketinggian tempat Grid map mdpl 30 m
X6 Jarak dari pemukiman Euclidian distance kilometer 30 m
Variabel Y2 Status Perubahan
Y2 Hutan menjadi lahan terbangun 0 Tidak berubah; 1 Berubah
Variabel X Analisis Satuan Resolusi
X1 Jarak dari jalan Euclidian distance kilometer 30 m
X2 Jarak dari sawit Euclidian distance kilometer 30 m
X3 Kemiringan lahan Grid map persen 30 m
X4 Jarak dari sungai Euclidian distance kilometer 30 m
X5 Ketinggian tempat Grid map mdpl 30 m
X6 Jarak dari pemukiman Euclidian distance kilometer 30 m
Variabel Y3 Status Perubahan
Y3 Hutan menjadi lahan terbuka 0 Tidak berubah; 1 Berubah
Variabel X Analisis Satuan Resolusi
X1 Jarak dari jalan Euclidian distance kilometer 30 m
X2 Jarak dari sawit Euclidian distance kilometer 30 m
X3 Kemiringan lahan Grid map persen 30 m
X4 Jarak dari sungai Euclidian distance kilometer 30 m
X5 Ketinggian tempat Grid map mdpl 30 m
X6 Jarak dari pemukiman Euclidian distance kilometer 30 m
Adapun langkah mendapatkan variabel Y (Y1, Y2, dan Y3) di dalam IDRISI
Selva adalah sebagai berikut:
1. Masuk ke dalam image calculator dalam IDRISI, lalu pilih mode logical
ekspression
2. Masukkan peta tutupan lahan tahun 1994 di dalam Expression to process
dengan ekspresi logika: [image1994.rst]=3. Dalam hal ini angka 3 tersebut
menunjukkan kelas tutupan lahan sebagai hutan. Simpan data sebagai
1994_3.rst
3. Masukkan peta tutupan lahan tahun 2004 di dalam Expression to process
dengan ekspresi logika: [image2004.rst]=5. Dalam hal ini angka 5 tersebut
menunjukkan kelas tutupan lahan sebagai sawit. Simpan data sebagai
2004_5.rst
4. Y1 sebagai variabel dependent didapatkan dalam Expression to process
dengan ekspresi logika: [1994_3.rst]AND[2004_5.rst]. Simpan data sebagai Y1.
Ulangi langkah diatas untuk mendapatkan Y2 dan Y3 di dalam logical
ekspression.
Sedangkan langkah untuk mendapatkan variabel X (X1 sampai X6) dengan
menggunakan ArcGIS adalah sebagai berikut:
1. Data dalam format .shp dianalisis dengan Euclidian distance melalui Spatial
Analyst Tool, Distance, kemudian Euclidian distance.
2. Lakukan proses yang sama untuk semua data variabel X.
16

3. Export hasil Euclidian distance menjadi format ASCII supaya dapat terbaca
dan diproses dalam IDRISI Selva.
4. Buka software IDRISI dan import semua data ASCII diatas menjadi data
format .rst dengan perintah Arcraster.
Penilaian ROC
Langkah selanjutnya adalah validasi model regresi logistik. Menurut Achmad
et al. (2015), uji validasi yang digunakan untuk mengukur hubungan antara
perubahan simulasi dan aktual yaitu dengan nilai ROC (Relative Operating
Characteristic). ROC merupakan indikator penilaian goodness of fit dan mengukur
area di bawah kurva yang berhubungan dengan proporsi positif benar dan proporsi
positif salah pada selang nilai cut-off dalam peta probabilitas. Model yang ideal
memiliki nilai ROC sebesar 1.
Analisis Prediksi Tutupan Lahan
Prediksi perubahan tutupan dapat dilakukan dengan pendekatan metode
Markov Chain (Lopez et.al 2001). Metode Markov adalah metode secara statistik
dengan menggunakan matrik peluang peralihan berdasarkan efek kawasan pada
algoritma yang mempengaruhi ruang. Persamaan Markov Chain dibangun
menggunakan distribusi penggunaan lahan pada awal dan akhir masa pengamatan
yang terepresentasikan dalam suatu vektor (matriks dan kolom), serta sebuah
matriks transisi. Metode Markov merupakan metode untuk menambahkan karakter
ruang berdasarkan penerapan aturan. Hal ini untuk memastikan bahwasannya
perubahan tutupan/ penggunaan lahan tidak terjadi secara acak melainkan
berdasarkan aturan. Metode Markov didefinisikan sebagai berikut:
MLS*Mt= Mt+1

Keterangan:
MLC = Peluang; Mt = Peluang tahun ke t;
Mt+1 = Peluang tahun ke t+1;
Ut = Peluang setiap titik terklasifikasi sebagai kelas U pada waktu t;
LCUA = Peluang suatu kelas lainnya pada rentang waktu tertentu.
Selain itu, persamaan regresi logistik Y1 juga dimasukkan dalam prediksi
sehingga prediksi ini merupakan gabungan antara markov dan regresi logistik. Data
yang digunakan untuk memprediksi penggunaan lahan tahun 2024 dibangun
dengan data penggunaan lahan riil tahun 1994 dan data penggunaan lahan riil tahun
2004. Adapun keluaran dari analisis ini adalah dalam bentuk peluang matriks
transisi penggunaan lahan dan peta penggunaan lahan sesuai dengan tahun yang
telah diprediksi seperti dijelaskan dalam diagram (Gambar 5).
LUCC riil LUCC riil LUCC riil
Tahun 1994 Tahun 2004 Tahun 2014

Model & LUCC


Akurasi Prediksi 2024

LUCC Prediksi
Regresi&Markov
2014
Gambar 5 Diagram Alir Analisis Prediksi Tutupan Lahan Tahun 2024
17

Peta prediksi tahun 2014 ini dibangun untuk pra validasi supaya bisa
melanjutkan prediksi tahun 2024. Jika nilai akurasi antara prediksi 2014 dengan
keadaan riil tutupan lahan tahun 2014 cukup tinggi, maka model tersebut dapat
digunakan untuk menduga penggunaan lahan prediksi 2024. Peubah dinamis dalam
membangun model prediksi 2024 ini adalah X1 jarak dari jalan, X2 jarak dari sawit
dan X6 jarak dari pemukiman. Sedangkan peubah lainnya sama seperti dalam
membangun model 2014.
Analisis Diversitas Tutupan Lahan
Menurut Zhou dan Yi (2011), analisis diversitas lahan menggunakan
formula perhitungan Shannons Diversity Index (SDI). Perhitungan diversitas lahan
ini dilakukan dengan pengambilan sample plot berukuran 1,8 km x 1,8 km yang
tersebar secara purposive random sampling sebanyak tiga puluh plot (Gambar 6).
Purposive random dalam hal ini artinya setiap kecamatan harus memiliki
perwakilan plot. Kecamatan dengan tutupan lahannya relatif homogen memiliki
jumlah plotnya lebih sedikit dibandingkan kecamatan dengan tutupan lahannya
lebih heterogen, sedangkan yang dimaksud dengan random adalah penyebaran
plot/sel diversitas secara acak dalam setiap kecamatan yang mana setiap kecamatan
dibagi menjadi grid-grid kecil dengan pengocokkan. Nilai rata-rata SDI pada setiap
peta tutupan lahan didapatkan dari nilai SDI seluruh plot dibagi oleh jumlah plot
yang ada sehingga akan dihasilkan tren perubahan diversitas lahannya pada tahun
1988, 1994, 2004, 2014, dan 2024.

Gambar 6 Sample plot diversitas lahan


Formula Shannons Diversity Index untuk kelas tutupan lahan sebagai berikut:
H= - pi ln (pi)
Keterangan:
H = Indeks diversitas Shannon-Wiener
pi = ni/N
ni = Jumlah total gugus suatu jenis tutupan lahan ke-i
N = Jumlah total gugus semua jenis tutupan lahan
ln = Logaritma natural (bilangan alami)
18

Nilai perhitungan indeks keragaman (H) tersebut dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Standar Indeks Shannon-Wiener
Nilai Indeks Keterangan
H<1 Tingkat Keragaman Rendah
1<H<3 Tingkat Keragaman Sedang
H>3 Tingkat Keragaman Tinggi

Analisis Fragmentasi
Fragmentasi lanskap dianalisis dengan menilai matriks Largest Patch Index
(LPI). Sample plot untuk analisis fragmentasi akan menggunakan sample plot yang
sama seperti pada diversitas lahan SDI, hanya saja akan dibagi nantinya per
kecamatan sehingga akan dihasilkan tingkat fragmentasi di setiap kecamatan dari
tahun 1988, 1994, 2004, 2014, dan 2024. Menurut Zhou dan Yi (2011) bahwa LPI
berfungsi untuk menilai indeks fragmentasi dan dominansi, dengan selang nilai
0<LPI100. Semakin besar nilai LPI mendekati 100 artinya tingkat dominansi
suatu kelas tutupan lahan semakin besar maka tingkat fragmentasinya semakin
rendah, dan apabila semakin rendah nilai LPI mendekati 0 maka tingkat fragmentasi
semakin tinggi. Formula Largest Patch Index (LPI) yaitu:
LPI= (ni/N)*100
Keterangan:
ni = Luas suatu jenis tutupan lahan ke-i (ha)
N = Total luas semua jenis tutupan lahan (ha)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Situasional Wilayah Studi

Letak Geografis dan Administrasi


Kabupaten Batanghari terletak pada posisi 1o15 Lintang Selatan sampai 202
Lintang Selatan dan 102030 Bujur Timur sampai 104030 Bujur Timur (Gambar 7).
Kabupaten Batanghari berbatasan dengan Kabupaten Tanjung Barat di sebelah
utara, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Soralugun dan Provinsi
Sumatera Selatan, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Muaro Jambi, dan
sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tebo. Tabel 9 menunjukkan wilayah
administrasi Kabupaten Batanghari terdiri dari delapan kecamatan dengan 113
kelurahan/desa (Tabel 10).
Kondsi Fisik Wilayah dan Pola Ruang
Kabupaten Batanghari secara topografis terdiri dari wilayah dataran rendah
dan dilalui aliran Sungai Batanghari. Berdasarkan elevasi atau ketinggian wilayah
0-10 meter di atas permukaan laut mencakup 11,8%, ketinggian diantara 11-100
meter mencakup 83,70%, dan ketinggian 101-500 meter mencakup 4,5%. Suhu
rata-rata per bulan wilayah Kabupaten Batanghari 26,50 C, dengan suhu tertinggi
32,70 C dan suhu terendah 23,10 C. Nilai ata-rata kelembaban udara sebesar 86,3%
dan rata-rata curah hujan per tahun 179,3 mm (SKK Migas 2012).
Sebagaimana kabupaten lainnya di Provinsi Jambi, kabupaten Batanghari
memiliki kawasan hutan yang luas yaitu 215.936 ha, Cagar Alam Durian Luncuk
(41,37 ha), Taman Nasional Bukit Dua Belas (43.331,89 ha), Tahura Senami
19

Sridadi (15.830 ha), dan Taman Wisata Alam Bukit Sari (315 ha). Sedangkan
peruntukan luas perkebunan sebesar 180.173 ha.

Gambar 7 Peta Administrasi Kabupaten Batanghari


Tabel 10. Wilayah administrasi dan jumlah penduduk
Jumlah Penduduk
No. Kecamatan Jumlah Desa
Laki Perempuan Total
1 Kec. Mersam 16 21044 20014 41058
2 Kec. Muara Bulian 20 39472 37473 76945
3 Kec. Pemayung 18 22409 21695 44104
4 Kec. Bathin XXIV 16 19759 18728 38487
5 Kec. Bajubang 9 27022 24764 51786
6 Kec. Tembesi 13 20404 19661 40065
7 Kec. Maro Sebo Ilir 7 9981 9355 19336
8 Kec. Marosebo Ulu 14 24077 23190 47267
Total 113 184168 174880 359048
Sumber data: Batanghari Dalam Angka 2015
Kependudukan dan PDRB
Aspek kependudukan dapat dilihat dari pertumbuhan penduduk.
Pertumbuhan penduduk merupakan indeks perbandingan jumlah penduduk pasa
suatu wilayah dipengaruhi oleh faktor migrasi penduduk yaitu perpindahan keluar
dan masuk (Hidayat 2014). Data jumlah penduduk Kabupaten Batanghari pada
tahun 2000 sebanyak 191.727 jiwa, pada tahun 2010 sebanyak 241.234 jiwa dan
pada tahun 2014 sebanyak 257.209 jiwa (Tabel 11 dan Gambar 8). Rata-rata tingkat
pertumbuhan penduduk antara tahun 2000 dan 2010 sebesar 2,33%, sedangkan rata-
rata tingkat pertumbuhan penduduk antara tahun 2010 dan 2014 sebesar 1,6%.
Sektor perkebunan di Kabupaten Batanghari merupakan sektor yang paling
dominan dan berperan besar dalam perekonomian daerah (Sita 2014). Besarnya
20

peran sektor perkebunan dapat dilihat dari varabel ekonomi yaitu kontribusinya
terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), penyerapan tenaga kerja, dan
ketersediaan sumberdaya alam. Kontribusi sektor perkebunan pertahun dari tahun
2006 sampai 2010 rata-rata menyumbang sebesar 16,7% dari total PDRB. Pada
tahun 2010 sekitar 64,09% rumah tangga masyarakat Kabupaten Batanghari hidup
sebagai petani perkebunan. Sektor perkebunan yang paling besar adalah karet dan
sawit (Sita 2014).
Tabel 11. Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten Bantanghari
Tahun
No Kecamatan 2 1 1 1
1990 2000 2010 2014
1 Mersam 17.897 22.102 26.296 27.156
2 Maro Sebo Ulu 18.048 22.288 29.305 31.741
3 Bathin XXIV 16.466 20.334 25.423 26.965
4 Tembesi 16.614 20.517 27.233 29.408
5 Muara Bulian 33.915 41.883 55.132 59.135
6 Bajubang 20.941 25.861 35.249 38.563
7 Maro Sebo Ilir 8.591 10.609 12.946 13.443
8 Pemayung 22.781 28.133 29.650 30.790
Total 155.252 191.727 241.234 257.201
Sumber: 1BPS 2015 dan 2BPS 2009

300000
Jumlah penduduk

257201
250000 241234
(jiwa)

200000 191727
155252
150000

100000
1990 2000 2010 2014
Tahun

Gambar 8 Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten Batanghari

Status Izin Perkebunan Kelapa Sawit

Kabupaten Batanghari terdapat 32 perusahaan sawit yang mendapatkan izin


perkebunan di Kabupaten Batanghari, dari 32 perusahaan tersebut izin lokasi
perkebunan tersebar di seluruh kecamatan. Nama perusahaan perkebunan kelapa
sawit dan perkembangan luas wilayah izin perkebunan disajikan pada Tabel 12.
Total luas perkebunan tersebut berdasarkan izin pengembangan perkebunan yaitu
sebesar 76.916,45 hektar. Selain dari luas perkebunan milik perusahaan,
perkebunan kelapa sawit berupa perkebunan rakyat disajikan pada Tabel 13, dengan
luas total perkebunan rakyat sebesar 8.444 hektar. Kondisi tersebut menunjukkan
bahwa banyaknya perizinan perkebunan kelapa sawit yang akan terus mengancam
perubahan tutupan lahan di Kabupaten Batanghari, khususnya perubahan hutan
menjadi kawasan perkebunan kelapa sawit.
21

Tabel 12. Perkembangan Luas Perkebunan Kelapa Sawit Perusahaan tahun 2014
Pola Luas
No Nama Perusahaan Kecamatan
Pengembangan (ha)
PBS
1 PT Asiatic PErsada Bajubang Inti 14878
2 PT Sawit Desa Makmur Bathin XXIV Inti 5000
3 PT Cipta Prasasti Lestari Pematung Inti 420
4 PT Sacona Persada Marosebo Ulu Inti 732
5 PT Humusindo Makmur Sejati Bajubang Inti 396
KPPA/ Kemitraan
6 PT Koperasi Buah Bersatu Bajubang Inti 748
7 PT Koperasi Berkah Bersatu Bajubang Inti 1240
8 PT Indo Kebun Unggul Muara Bulian Inti 436.5
Plasma 287
9 PT Gatra Kembang Paseban Mersam Inti -
Plasma 3192
10 PT Tunas Lestari Sejati Mersam&Marosebo Ulu Inti 3477
Bathin XXIV&M.Tembesi Plasma 8150
11 PT Inti Indo Sawit Subur Maro Sebo Ilir Inti -
Plasma 2634
12 PT Citra Manunggal Mandiri Marosebo Ulu Inti 1531,06
Plasma 1531,06
13 PT Jamina Sawita Abadi Marosebo Ulu Plasma 726
14 PT Adi Palmo Lestari Marosebo Ulu Inti 3270,51
Plasma 2455
15 PT Pratama Agro Sawit Bathin XXIV Inti 1363,12
Plasma 66,18
16 PT Kedaton Mulia Primus Bathin XXIV Inti 1504
17 PT Hutan Alam Lestari Muara Bulian Inti 571
18 PT Brahma Bina Bakti Pemayung Inti 227.43
Plasma 845,25
19 PT Velindo Aneka Tani Marosebo Ulu&Mersam Inti 1532,01
20 PT Petaling Madra Guna Pemayung Inti 665,78
21 PT Pratama Sawit Mandiri Pemayung Inti 380,86
22 PT Berkah Sapta Palma Muara Bulian Plasma 631,94
23 PT Sungai Bahar Pasifik Bajubang Inti 747,14
24 PT Deli Muda Perkasa Mersam Inti 1002
25 PT Dharmasraya Palma Bathin XXIV Inti 92
Sejahtera
26 PT Mekar Agro Sawit Bathin XXIV Plasma 208
27 PT Inti Citra Agung Mersam Plasma 365,61
28 PT Jambi Lampura Sebrang Marosebo Ulu Plasma 276
PTR
29 PIR NES II Bajubang Bajubang Inti -
Plasma 3862
30 PIRSUS I Durian Luncuk Bathin XXIV Inti 2237
Plasma 3000
31 PT Inti Indo Sawit Subur Maro Sebo Ilir Inti 1847
Plasma 4660
32 PT Sawit Jambi Lestari Mersam Inti 1300
Plasma 5290
Total 76916,45
Sumber: Dinas Perkebunan Kab. Batanghari (2014)
22

Tabel 13. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Tahun 2014
No Kecamatan Jumlah Petani Luas Areal (ha)
1 Marosebo Ulu 259 691
2 Mersam 1418 1880
3 Bathin XXIV 238 1032
4 Muara Bulian 239 943
5 Muara Tembesi 178 640
6 Maro Sebo Ilir 191 647
7 Bajubang 518 1593
8 Pemayung 310 1018
Total 3351 8444
Sumber: Dinas Perkebunan Kab. Batanghari (2014)

Akurasi Hasil Klasifikasi Lahan

Nilai overall accuracy dan Kappa accuracy (Lampiran 3) berturut-turut


pada tahun 1988 (OA: 86.60% dan Kappa: 60.81%), tahun 1994 (OA: 98,98% dan
Kappa: 98,40%), 2004 (OA: 91,24% dan Kappa: 88,58%), dan tahun 2014 (OA:
97,57% dan Kappa: 96,28%). Berdasarkan hasil perhitungan nilai Kappa tahun
1988 yaitu 60,81% dan nilai ini tergolong baik. Sedangkan nilai Kappa berdasarkan
tahun 1994, 2004, dan 2014 di atas 0,8 (>80%), nilai ini tergolong sangat baik atau
kuat. Koeffisien Kappa antara 0,6 dan 0,8 merepresentasikan akurasi tinggi dan
apabila koefisien Kappa >0,8 merepresentasikan akurasi sangat kuat/ tinggi (Landis
dan Koch 1977 dalam Achmad et al. 2015). Akurasi pada tahun 1988 memiliki nilai
lebih rendah sedangkan tahun 1994, 2004, 2014 lebih akurat. Sejalan dengan
penelitian Jiang et al. (2012) hasil klaisifikasi semakin akurat jika data citra
mendekati data citra tahun terbaru. Hal tersebut dapat mudah dipahami karena data
citra tahun terbaru akan lebih mudah untuk divalidasi dan lebih banyak informasi
yang tersedia saat pengambilan keputusan wilayah yang menjadi training area.
Training area dari kenampakan citra tersaji pada Lampiran 4.

Analisis Perubahan Tutupan Lahan

Tutupan lahan pada tahun 1988 masih didominasi oleh hutan lahan kering
dan pertanian berupa kebun campuran. Perubahan tutupan lahan periode 1988
2014 menunjukkan adanya tren perubahan yang cukup drastis (Gambar 9-12).
Kelas tutupan yang mengalami tren peningkatan terbesar adalah lahan terbuka dan
sawit. Kelas tutupan lahan yang paling mengalami penurunan terbesar adalah hutan.
Apabila hal ini terus terjadi dan tidak adanya upaya perlindungan dan konservasi
maka akan terus kehilangan hutan yang ada di Kabupaten Batanghari.
Kelas tutupan hutan di Kabupaten Batanghari memiliki persentase yang
terus menurun sebesar 63.84% (353759,94 ha) pada tahun 1988 menjadi 23,55%
(130511,34 ha) pada tahun 2014. Sementara itu luas lahan sawit meningkat dari
3,96% (21939,12 ha) pada tahun 1988 menjadi 21,84% (121001,67 ha) pada tahun
2014. Disisi lain, berdasarkan statistik perkebunan Kabupaten Batanghari (Dinas
Perkebunan 2014) bahwa peningkatan lahan sawit yang terjadi antara 2004 dan
2014 terjadi kenaikan sebesar 29,9%. Perubahan dalam periode tersebut memang
cukup pesat, terlihat juga banyaknya lahan terbuka pada tahun 1994 (21770,55 ha),
2004 (47859,66 ha), dan 2014 (69984,45 ha). Perubahan luas dan persentase
tutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 13.
23

Gambar 9 Peta Tutupan Lahan Tahun 1988


24

Gambar 10 Peta Tutupan Lahan Tahun 1994


25

Gambar 11 Peta Tutupan Lahan Tahun 2004


26

Gambar 12 Peta Tutupan Lahan Tahun 2014


27

Tabel 14. Luas Kelas Tutupan Lahan Kabupaten Batanghari


1988 1994 2004 2014
Tutupan Lahan
Luas (ha) % Luas % Luas % Luas %
Lahan Terbuka 31485.42 5.68 21770.55 3.93 47859.66 8.64 69984.45 12.63
Badan Air 9512.73 1.72 12373.29 2.23 8239.86 1.49 8144.55 1.47
Hutan 353759.94 63.84 304689.51 54.98 213192.99 38.47 130511.34 23.55
Kebun Campuran 134251.29 24.23 81324.18 14.68 91008 16.42 179442 32.38
Sawit 21939.12 3.96 74075.31 13.37 92531.79 16.70 121001.67 21.84
Lahan Terbangun 2165.49 0.39 2992.68 0.54 6492.33 1.17 15517.89 2.80
Semak 0 0.00 9037.89 1.63 23813.19 4.30 1211.4 0.22
Awan 1024.74 0.18 4405.14 0.79 2445.03 0.44 2120.67 0.38
Karet 0 0.00 43470.18 7.84 68555.88 12.37 26204.76 4.73
Jumlah 554138,73 100 554138,73 100 554138,73 100 554138,73 100

Model Regresi Logistik

Hasil yang diperoleh dari analisis regresi ini adalah: (1) persamaan regresi
yang memperlihatkan koefisien besaran perubahan penggunaan lahan antara tahun
1994 dan 2004 terhadap faktor dari masing-masing variabel dan (2) peta
probabilitas perubahan penggunaan lahan. Model regresi logistik yang dibangun
adalah perubahan hutan menjadi sawit, hutan menjadi lahan terbangun, dan hutan
menjadi lahan terbuka (Tabel 15).
Tabel 15. Hasil analisis regresi logistik
Variabel Koefisien Exp Probality
Y1 Hutan menjadi Sawit (Nilai ROC 0,8806)
X1 Jarak dari jalan -0,08000 1,000080 0,5000
X2 Jarak dari sawit -0,07360 1,000074 0,5000
X3 Kemiringan lahan 0,02468 1,024988 0,5061
X4 Jarak dari sungai 0,44584 1,000460 0,5000
X5 Ketinggian tempat -0,02382 1,024114 0,5059
X6 Jarak dari pemukiman 0,02769 1,000028 0,5000
Konstanta -0,14000
Y2 Hutan menjadi Lahan Terbangun (Nilai ROC 0,9610)
X1 Jarak dari jalan -2,81849 0,05969 0,0563
X2 Jarak dari sawit -0,00482 0,99519 0,4987
X3 Kemiringan lahan 0,03409 1,03467 0,5085
X4 Jarak dari sungai 0,01621 1,01634 0,5040
X5 Ketinggian tempat -0,02971 0,97072 0,4925
X6 Jarak dari pemukiman -0,26602 0,76642 0,4338
Konstanta -0,48763
Y3 Hutan menjadi Lahan Terbuka (Nilai ROC 0,8376)
X1 Jarak dari jalan -0,15575 0,855772 0,4611
X2 Jarak dari sawit -0,04721 0,953887 0,4882
X3 Kemiringan lahan 0,00534 1,005358 0,5013
X4 Jarak dari sungai 0,12627 1,134588 0,5315
X5 Ketinggian tempat -0,00152 0,998474 0,4996
X6 Jarak dari pemukiman 0,01395 1,014057 0,5034
Konstanta -1,79080
*ROC=1 menunjukkan model perfect fit, ROC=0,5 menunjukkan model random fit (Eatsman 2012)
A. Perubahan Hutan Menjadi Sawit
Berdasarkan tabel di atas, model persamaan perubahan hutan menjadi sawit
Y1= -0,1400 0,08000*X1 0,07360*X2 + 0,02468*X3 + 0,44584*X4
0,02382*X5 + 0,02769*X6. Nilai exp atau odd ratio untuk setiap variabel
memiliki nilai yang relatif sama, hal ini menunjukkan semua variabel memiliki
28

kekuatan yang sama terhadap pengaruh perubahan hutan menjadi lahan sawit. Peta
probabilitas perubahan penggunaan lahan sawit antara tahun 1994 sampai 2004
disajikan pada Gambar 13. Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa area yang
semakin kecoklatan (mendekati nilai 1) memiliki probabiltas perubahan hutan
menjadi sawit yang lebih tinggi.

Gambar 13 Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Sawit (1994-2004)


Faktor jalan memiliki koefisien negatif sehingga implikasinya peluang
perubahan hutan menjadi sawit akan semakin besar ketika semakin mendekati jalan
dengan probability 0,5000 atau menaikan peluang 50% setiap penurunan satu unit
faktor jarak dari jalan. Hal ini SDIring dengan hasil penelitian Arekhi (2011) yang
menyatakan semakin dekat jarak hutan dari jalan akan semakin besar peluang
deforestrasi.
Faktor yang mempengaruhi perubahan selanjutnya adalah jarak dari
perkebunan sawit. Hal ini menunjukkan bahwa nilai exp sebesar 1,000074 akan
berimplikasi peningkatan satu unit faktor peubah semakin dekat jarak dari sawit
akan semakin besar peluang perubahannya sebesar 50%. Begitu juga dengan faktor
ketinggian tempat yang memiliki koefisien negatif, menunjukkan bahwa dengan
nilai exp sebesar 1,024114 maka semakin rendah elevasi atau ketinggian tempat
akan semakin besar peluang perubahan lahannya sebesar 50,59%. Menurut
Agarwal et al. (2005), bahwa elevasi memiliki pengaruh terhadap peluang
terjadinya deforestrasi.
Variabel lainnya yaitu jarak dari sungai dengan nilai exp sebesar 1,01634.
Variabel jarak dari sungai dengan koefisien positif menunjukkan bahwa semakin
jauh dari jaringan sungai akan menaikkan peluang perubahan lahan hutan menjadi
sawit sebesar 50%. Perubahan yang terjadi di sepanjang jaringan sungai memang
lebih diperuntukkan untuk pemukiman, dan jarang ditemui untuk dijadikan lahan
sawit. Sedangkan untuk pemukiman itu sendiri dengan exp sebesar 1.000028 dan
29

koefisien bernilai positif, maka semakin jauh pemukiman akan semakin menaikkan
peluang perubahan lahan.
B. Perubahan Hutan Menjadi Lahan Terbangun
Persamaan regresi logistik untuk model spasial hutan menjadi lahan
terbangun adalah Y2= -0,48763 - 2,81849*X1 - 0,00482*X2 + 0,03409*X3 +
0,01621*X4 - 0,02971*X5 - 0,48763*X6. Faktor jarak dari jalan memiliki nilai
negatif sehingga memiliki implikasi bahwa semakin dekat dengan jalan maka
perubahan hutan menjadi lahan terbangun akan semakin tinggi. Semakin dekat satu
faktor jarak dari jalan maka akan meningkatkan perubahan hutan menjadi lahan
terbangun sebesar 5,63%. Faktor jalan memiliki pengaruh paling tinggi sebesar
2,81849 dibandingkan faktor lainnya. Selanjutnya faktor terbesar kedua yang
mempengaruhi perubahan adalah jarak dari pemukiman dengan nilai koefiSDIn
0,48763. Peta probabilitas perubahan penggunaan lahan terbangun antara tahun
1994 sampai 2004 disajikan pada Gambar 14. Pada gambar tersebut menunjukkan
bahwa probabilitas perubahan lahan menjadi area terbangun semakin tinggi pada
area yang berwarna kecoklatan (mendekati nilai 1), terutama dekat dengan jaringan
jalan.

Gambar 14 Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Terbangun (1994-


2004)
Faktor lainnya yang mempengaruhi adalah jarak dari sawit terdekat, variabel
ini memiliki nilai negatif yang mana implikasinya yaitu semakin dekat jarak dengan
perkebunan kelapa sawit maka perubahan hutan menjadi lahan terbangun akan
semakin tinggi. Setiap peningkatan satu faktor lebih mendekati adanya lahan sawit
maka akan meningkatkan peluang perubahan hutan menjadi lahan terbangun
sebesar 49,57%. Hal ini juga menjadi temuan bahwa semakin meluas dan
banyaknya perkebunan sawit di wilayah studi, maka akan meningkatkan
tumbuhnya pemukiman atau perkampungan baru.
30

Peluang tumbuhnya lahan terbangun akan semakin besar ketika semakin


dekat dengan jaringan jalan, semakin dekat dengan lahan sawit, semakin rendah
elevasinya, dan semakin dekat dengan pemukiman yang sudah ada. Hal tersebut
dapat dilihat dari nilai negatif pada setiap faktor X1, X2, X5, dan X6. Jika dinyatakan
dalam peluang perubahan, maka masing-masing peluang perubahan ketika faktor
tersebut menurun sebesar satu unit faktor maka peluangnya masing-masing akan
bertambah sebesar 5,65% (X1), 49,63% (X2), 49,25 (X3), dan 43,38% (X4). Hal ini
sama kondisinya menurut Trisurat et al. (2010) bahwa perubahan hutan menjadi
lahan terbangun, peluang perubahannya akan semakin besar ketika semakin dekat
dengan jalan dan pemukiman.
C. Perubahan Hutan Menjadi Lahan Terbuka
Persamaan regresi logistik untuk model spasial hutan menjadi lahan terbuka
adalah Y3= -1,79080 - 0,15575*X1 - 0,04721*X2 + 0,00534*X3 + 0,12627*X4 -
0,00152*X5 + 0,01395*X6. Faktor jarak dari jaringan jalan memiliki nilai koefisien
negatif, hal ini menunjukkan bahwa semakin dekat dengan jaringan jalan atau setiap
peningkatan satu faktor semakin dekat dengan jalan akan meningkatkan peluang
perubahan hutan menjadi lahan terbuka sebesar 46,11%. Peta probabilitas
perubahan penggunaan lahan terbuka disajikan pada Gambar 15. Pada gambar
tersebut menunjukkan bahwa probabilitas lahan terbuka semakin tinggi pada area
yang berwarna kecoklatan dekat dengan jaringan jalan, jarak dari sawit, dan pada
area berelevasi lebih rendah.

Gambar 15 Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Terbuka (1994-2004)


Faktor jarak dari lahan sawit terdekat juga memiliki pengaruh terhadap
pembukaan lahan, semakin dekat satu faktor jarak dari sawit maka akan
meningkatkan peluang perubahan hutan menjadi lahan tebuka sebesar 48,82%.
Faktor lainnya yaitu ketinggian tempat, peluang perubahan hutan menjadi lahan
terbuka akan semakin sebesar 49,96% ketika ketinggian suatu tempat semakin
31

rendah. Faktor lainnya memiliki nilai positif yaitu faktor jarak dari sungai dan
pemukiman maka peluang perubahan hutan menjadi lahan terbuka semakin besar
jika semakin jauh dari sungai dan pemukiman. Begitu juga dengan kemiringan
lahan, lahan terbuka semakin banyak ditemukan pada lereng yang lebih curam.
Kasus perubahan hutan menjadi lahan terbuka akan semakin berubah pada lereng
yang semakin curam merupakan kasus yang abnormal, namun jika kembali melihat
kondisi dilapang dapat disaksikan bahwa kondisi topografi di Kabupaten
Batanghari sebagian besar bergelombang dan berbukit. Perubahan tersebut lebih
banyak terjadi pada kemiringan lahan berkisar antara 15-25%.

Akurasi Model Tahun 2014

Tiga persamaan model Y1, Y2, dan Y3 masing-masingnya memiliki nilai


ROC (Relative Operating Characteristic) sebesar 0,8806; 0,9610; dan 0,8376.
Ketiga nilai ROC tersebut menunjukkan bahwa variabel independen fit terhadap
variabel dependen, persamaan tersebut cukup baik paling kecil sebesar 0,8376.
Berdasarkan Arsanjani et al. (2013), semakin nilai ROC mendekati 1 menunjukkan
model tersebut fit sempurna.
Probabilitas perubahan penggunaan lahan antara tahun 2004 sampai 2014
dibangun dengan perubahan pada variabel dinamisnya yaitu X1 (jarak dari jalan),
X2 (jarak dari sawit), dan X6 (jarak dari pemukiman). Variabel tersebut berfungsi
sebagai input dalam model regresi logistik yang sudah dibangun, sehingga
didapatkan peta probabilitas penggunaan lahan sawit, lahan terbangun, dan lahan
terbuka untuk tahun 2014. Setiap peta probabilotas dengan rantang nilai cut off yang
ada kemudian divalidasikan dengan tutupan lahan aktual tahun 2014.
A. Nilai akurasi model Y1
Gambar 16 menunjukkan probabilitas perubahan penggunaan lahan sawit,
dengan nilai cut off sebesar 0,2649 memiliki overall accuracy sebesar 88,68%
dibandingkan dengan kondisi aktual lahan sawit pada tahun 2014. Area yang
berwarna biru tua (mendekati nilai 1) menunjukkan probabilitas penggunaan lahan
sawit semakin tinggi.
B. Nilai akurasi model Y2
Gambar 17 menunjukkan probabilitas perubahan penggunaan lahan
terbangun, dengan nilai cut off sebesar 0,1352 memiliki overall accuracy sebesar
98,69% dibandingkan dengan kondisi aktual lahan terbangun pada tahun 2014.
Area yang berwarna biru tua (mendekati nilai 1) menunjukkan probabilitas
penggunaan lahan terbangun semakin tinggi.
C. Nilai akurasi model Y3
Gambar 18 menunjukkan probabilitas perubahan penggunaan lahan
terbangun, dengan nilai cut off sebesar 0.1353 memiliki overall accuracy sebesar
90,70% dibandingkan dengan kondisi aktual lahan terbuka pada tahun 2014. Area
yang berwarna biru tua (mendekati nilai 0,703421) menunjukkan probabilitas
penggunaan lahan terbuka semakin tinggi.
32

Gambar 16 Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Sawit Tahun 2014

Gambar 17 Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Terbangun Tahun


2014
33

Gambar 18 Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Terbuka Tahun 2014

Model Prediksi Tutupan Lahan 2024

Menurut Arsanjani et al. (2013) nilai ROC merupakan tool yang sesuai untuk
mengidentifikasi variabel prediktor. Disisi lain dengan probabilitas perubahan
lahan dapat digunakan untuk mengasumsikan sebuah model prediksi. Transisi
matriks yang dihasilkan antara dua tutupan lahan sebelumnya (Markov Chain)
dipilih untuk mengkuantifikasi perubahan tutupan lahan periode berikutnya dalam
selang waktu yang sama. Kombinasi antara keduanya menghasilkan model prediksi
spasial tutupan lahan tahun 2024 (Gambar 19).
Simulasi prediksi perubahan tutupan lahan ini menggunakan LCM (Land
Change Modeller) yang merupakan tool pemodelan di dalam IDRISI Selva.
Simulasi dilakukan dengan menggunakan kombinasi antara regresi logsitik dan
matriks probabilitas Markov (Lampiran 5). Hasil prediksi tutupan lahan tahun 2024
ini dengan asumsi lahan terbangun sebagai constraint atau tidak diizinkan untuk
berubah saat proses markov dengan alasan bahwa lahan terbangun memiliki sifat
irreversible atau tidak mungkin berubah menjadi lahan lainnya. Berdasarkan hasil
analisis prediksi perubahan tutupan lahan tahun 2024 (Tabel 16), luas perkebunan
kelapa sawit meningkat menjadi 137023.02 hektar. Apabila dibandingkan dengan
tahun 2014 (121001.67 ha) terjadi peningkatan sebesar 16021,35 hektar atau
13,24%.
34

Gambar 19 Peta Prediksi Tutupan Lahan Tahun 2024


35

Tabel 16. Luas Tutupan Lahan Kabupaten Batanghari Tahun 2024


Luas (ha)
Tutupan Lahan
2014 2024
Lahan Terbuka 69984,45 69977,79
Badan Air 8144,55 8143,83
Hutan 130511,34 114476,22
Kebun Campuran 179442 179432,19
Sawit 121001,67 137023,02
Lahan Terbangun 15517,89 15517,44
Semak 1211.4 1211,4
Tidak Terdefinisi (Awan) 2120,67 2159,91
Karet 26204,76 26196,93
Total 554138,73 554138,73

Tren Perubahan Tutupan Lahan 2024

Tren perkembangan lahan sawit terkonsentrasi di Kecamatan Pemayung,


Mersam, Marosebo Ilir, dan Tembesi (Gambar 20). Warna merah menunjukkan
tingginya tren perubahan hutan menjadi sawit, sedangkan warna biru menunjukkan
rendahnya perubahan hutan menjadi lahan sawit. Berdasarkan tren tersebut maka
hal ini akan mengancam beberapa hutan yang tersisa pada wilayah tren yang
terkonsentrasi. Tren perubahan tersebut akan menyebar memanjang hingga ke arah
selatan dan melebar ke arah barat daya.

Gambar 20 Tren Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2024


Pada tahun 2024 tutupan lahan sawit akan semakin menyebar dan
mengancam keberadaan hutan yang tersisa di Kecamatan Pemayung: Desa Kuap
dan Desa Lubuk Ruso, Kecamatan Mersam: Desa Sengkati Baru dan Desa
Pematang Gadung, Kecamatan Bajubang: Desa Bungku, Kecamatan Marosebo
Ulu: Desa Peninjauan dan Desa Batu Sawar, dan Kecamatan Bathin XXIV: Desa
36

Olak Besar dan Desa Jelutih (Gambar 21). Pada daerah tersebut sebaiknya menjadi
perhatian khusus sebagai upaya untuk mencegah hilangnya kawasan hutan akibat
kegiatan monokultur perkebunan kelapa sawit. Terutama pada kawasan lindung dan
konservasi seperti di Taman Nasional Bukit Dua Belas dan Tahura terlihat
penurunan luas hutan yang sangat besar di dalamnya.

Gambar 21 Peta Proyeksi Lahan Terkonversi Sawit 2024


Diversitas dan Fragmentasi Lahan

Shannons Diversity Index merepresentasikan nilai diversitas kelas tutupan


lahan. Gambar 22 menunjukkan indeks pada setiap titik tahun pengamatan
menghasilkan perubahan variasi nilai indeks, pada tahun 1988 indeks diversitas
sebesar 1,31. Berbeda pada tahun 1994 indeks diversitas mengalami kenaikan
sebesar 1,95. Perubahan cukup tinggi ini terjadi karena antara tahun 1988 dan 1994
terjadi perubahan besar suatu kelas tutupan lahan menjadi kelas tutupan lahan
lainnya, terutama kelas tutupan hutan dan kebun campuran. Pada tahun 2004 dan
2014 indeks diversitas sebesar 1,83 dan 1,78. Nilai SDI tersebut menunjukkan
masih tingginya tingkat diversitas akibat masih banyaknya upaya konversi lahan.
3
1.95 1.83 1.78 1.78
2 1.31
1
0
1988 1994 2004 2014 2024

Gambar 22 Perubahan Nilai SDI


Hasil analisis jumlah patch kelas tutupan hutan dalam plot sample semakin
meningkat tajam dari periode 1988 sampai 2004, kemudian menurun kembali
37

hingga 2014 dan 2024 (Gambar 23). Pada tahun 1988 jumlah patch kelas tutupan
hutan sebanyak 854 dan ditemukan diseluruh sample plot. Pada tahun 1994 jumlah
patch tersebut meningkat menjadi 1012, dan di tahun 2004 meningkat lebih dari
dua kali lipat menjadi 2041 patch jumlah tersebut ditemukan di seluruh plot
sample. Berdasarkan Liu et al. (2009) jumlah patch yang semakin meningkat
mengindikasikan terjadinya fragmentasi.
Pada tahun 2014 dan 2024, jumlah patch kelas tutupan hutan semakin
menurun dan tidak ditemukan di semua sample plot. Hal ini menunjukkan bahwa
pada periode 2014 dan prediksi di tahun 2024 kelas tutupan hutan semakin
menghilang. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah patch yang terus menurun dan luas
patch yang semakin kecil. Menurut Tapia-Armijos et al. (2015) hubungan antara
semakin meningkatnya jumlah pacth dan semakin menurunnya ukuran setiap pacth
maka proses fragmentasi sedang terjadi. Proses fragmentasi tersebut terjadi saat
periode 1988 sampai 2004, sedangkan pada periode 2004 sampai 2024 proses yang
terjadi adalah hilangnya kelas tutupan hutan di beberapa wilayah yaitu Kecamatan
Mersam, Kecamatan Tembesi, dan Kecamatan Marosebo Ulu.
3000

2000 2041
1012
1000 854
527 343
0
1988 1994 2004 2014 2024

Gambar 23 Jumlah Patch Kelas Tutupan Hutan Dalam Sample Plot SDI
Pada tahun 1988 sampai 2024 terjadi tren perubahan nilai LPI yang mana
antara 1988 sampai 2004 terjadi penuruan dengan nilai rata-rata secara berturut-
turut sebesar 73,39; 61,54; dan 50,51 (Tabel 17). Tingkat dominansi kelas tutupan
hutan pada fase tersebut mengalami penurunan, hal ini menunjukkan terus
terjadinya fragmentasi lahan akibat perubahan tutupan lahan. Kemudian pada fase
berikutnya yaitu pada tahun 2014 dan 2024 LPI meningkat kembali dengan nilai
52,55 dan 53,55. Pada periode tersebut peningkatan nilai LPI karena semakin
meningkatnya heterogenitas tutupan lahan di Kabupaten Batanghari. Menurut Daye
dan John (2015) bahwa bukti meningkatnya fragmentasi lanskap adalah dengan
berkurangnya nilai rata-rata ukuran patch yang mendominasi suatu wilayah atau
lanskap tersebut.
Tabel 17. Nilai Perubahan LPI
Nilai LPI
Kecamatan
1988 1994 2004 2014 2024
Mersam 80,63580 60,00864 57,21836 49,61543 48,02407
Muara Bulian 57,91667 40,77546 34,89352 47,70679 47,65226
Pemayung 81,38529 69,23071 75,29630 59,01183 60,05195
Bathin XXIV 67,20679 64,28009 45,31250 53,52881 52,82305
Bajubang 83,58025 54,75412 54,68827 55,26852 59,03395
Tembesi 60,44239 56,75309 36,05761 31,42078 35,36626
Maro Sebo Ilir 61,75103 61,74691 40,63889 63,24177 64,49794
Marosebo Ulu 94,23148 84,77469 59,99630 60,67515 60,96065
Min 57,91 40,77 34,89 31,42 35,36
Max 94,23 84,77 75,26 63,24 64,49
Rata-rata 73,39 61,54 50,51 52,55 53,55
38

Largest Patch Index (LPI) mengilustrasikan tingkat fragmentasi dan


dominansi kelas tutupan lahan (Zhou dan Yi 2011). Nilai LPI semakin tinggi maka
tingkat fragmentasi tutupan lahan semakin rendah dan masih didominasi oleh suatu
kelas tutupan lahan tertentu. Tutupan lahan semakin terfragmentasi dari tahun 1988
sampai 2014, hal ini terjadi hampir di seluruh kecamatan (Gambar 24). Fragmentasi
terbesar biasanya terjadi dekat dengan jaringan jalan, sungai dan pusat-pusat
perkampungan atau pemukiman. Sama halnya dengan Tapia-Armijos et al. (2015)
bahwa tingkat fragmentasi peluangnya akan lebih besar apabila lebih dekat dengan
jalan dan sungai. Berdasarkan nilai delta atau selisih terbesar dari nilai LPI antara
tahun 1988 dan 2024, maka laju fragmentasi lahan yang paling tinggi terjadi di
Kecamatan Mersam, Marosebo Ulu, dan Tembesi. Pada Gambar 18 menunjukkan
bahwa LPI pada tiga kecamatan tersebut selisihnya paling besar dilihat dari tren
perubahan LPI tahun 1988 sampai 2024.
100
90 Mersam
80 Muara Bulian
70
Pemayung
60
50 Bathin XXIV
40 Bajubang
30
Tembesi
20
10 Maro Sebo Ilir
0 Maro Sebo Ulu
1988 1994 2004 2014 2024

Gambar 24 Tren perubahan LPI per Kecamatan

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Perubahan tutupan lahan di Kabupaten Batanghari terjadi secara signifikan,


terutama dengan meningkatnya lahan sawit mencapai 120.676,59 ha di tahun 2014.
Perubahan lahan yang terjadi pada periode tersebut dipengaruhi enam faktor
meliputi jarak dari jalan, jarak dari sawit, kemiringan lahan, jarak dari sungai,
ketinggian tempat, dan jarak dari pemukiman. Peluang terjadinya perubahan hutan
menjadi perkebunan kelapa sawit semakin tinggi pada elevasi yang rendah, semakin
dekat dengan jaringan jalan, dan semakin dekat dengan perkebunan sawit terdekat.
Perubahan hutan menjadi sawit juga di dorong oleh perubahan hutan menjadi lahan
terbuka. Asosiasi munculnya perkebunan kelapa sawit setelah pembukaan lahan,
yang mana peluang terjadinya pembukaan lahan tersebut akan semakin tinggi
ketika semakin dekat dengan jalan, semakin dekat dengan perkebunan sawit
terdekat, semakin dekat dengan jarak pemukiman, dan terjadi pada elevasi yang
rendah.
Model prediksi perubahan tutupan lahan di tahun 2024 telah berhasil
dibangun dengan kombinasi persamaan regresi logistik dan matriks transisi Markov.
Prediksi luas hutan yang tersisa di tahun 2024 seluas 114.476,22 ha. Kemudian,
39

perubahan tutupan lahan yang terjadi dalam periode 1988 sampai 2014
mengakibatkan nilai SDI terus terjadi peningkatan dan LPI yang menurun, sehingga
tingkat fragmentasi semakin tinggi. Kemudian pada tahun 2024 diproyeksikan
bahwa Kabupaten Batanghari akan semakin terfragmentasi. Tingkat fragmentasi
tertinggi terjadi di Kecamatan Mersam, Marosebo Ulu, dan Tembesi.

Saran

Model prediksi tutupan lahan sebaiknya menggunakan kombinasi antara


markov dan regresi logistik, hal ini untuk mengatasi kelemahan markov yang
mengasumsikan laju perubahannya sama tiap satuan waktu. Upaya mitigasi
penurunan diversitas akibat perubahan lahan yang paling utama untuk kasus di
Kabupaten Batanghari adalah menekan pertumbuhan ekspansi lahan sawit
khususnya di Kecamatan Pemayung (Desa Kuap dan Lubuk Ruso), Kecamatan
Mersam (Desa Sengkati Baru dan Pematang Gadung), Kecamatan Bajubang (Desa
Bungku), Kecamatan Marosebo Ulu (Desa Peninjauan dan Batu Sawar), dan
Kecamatan Bathin XXIV (Desa Olak Besar dan Jelutih).

DAFTAR PUSTAKA

Achmad A, Sirojuzilam H, Badaruddin D, dan Dwira NA. 2015. Modeling of Urban


Growth in Tsunami-prone City Using Logistic Regression: Analysis of Banda
Aceh, Indonesia. Applied Geography. 62: 237-246.
Arekhi S. 2011. Modeling Spatial Pattern of Deforestration using GIS and Logistik
Regression: Case Study of Northern Ilm Forest, Ilam Province, Iran. African
Journal of Biotechnology. 10(72).
Arsanjani JJ, Marco H, Wolfgang K, Ali DB. 2013. Integration of Logistik
Regression, Markov Chain and Cellular Automata Models to Simulate Urban
Expansion. International Journal of Applied Earth Observation and
Geoinformation. 21: 265-275.
[BPS Batanghari] Badan Pusat Statistik Batanghari. 2015. Batanghari Dalam
Angka. Batanghari (ID): BPS Kabupaten Batanghari.
[BPS Batanghari] Badan Pusat Statistik Batanghari. 2015. Jumlah Penduduk dan
Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk pertahun 2000, 2010 dan 2014 [Internet].
[20 September 2015]. http://batangharikab.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/82
[BPS Jambi] Badan Pusat Statistik Jambi. 2009. Jambi Dalam Angka: Bab 3
Penduduk dan Ketenagakerjaan. Provinsi Jambi (ID): BPS Provinsi Jambi.
Danoedoro P. 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta (ID):
Penerbit Andi.
Daye DD dan John RH. 2015. Impacts of Land Use Change on Sacred Forests at
the Landscape Scale. Global Ecology and Conseration. 3: 349-358.
Deng Y, Sumeeta S. 2016. Urban Land Use Change and Regional Access: A Case
Study in Beijing China. Habitat International. 51: 103-113.
Dinas Perkebunan Kabupaten Batanghari. 2014. Statistik Perkebunan. Batanghari
(ID): Dinas Perkebunan Kabupaten Batanghari.
40

Eastman JR.2012. IDRISI Selva Tutorial. Worcester (US): Clark University.


Estoque RC & Yuji M. 2012. Examning the Potential Impact of Land Use/Cover
Changes on the Ecosystem Services of Baquio City, the Phillipines: A Scenario-
based analysis. Applied Geography. 35: 316-326.
Fox J & John BV. 2005. Land-use and Land-cover Change in Montane Mainland
Southeast Asia. Environmental Management. 36: 394-403.
Hidayat W. 2015. Analisis Dampak Pertambangan Terhadap Pengembangan
Wilayah di Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan [tesis]. Bogor
(ID): Sekolah Pascasarjana IPB.
Jaya I. 2014. Analisis Citra Digital (Perspektif Penginderaan Jauh untuk
Pengelolaan Sumber Daya Alam). Bogor (ID): IPB Press.
Jiang D, Yaohuan H, Dafang Z, Yunqiang Z, Xinliang X, Hongyan R. 2012. A
Simple Semi-Automatic Approach for Land Cover Classification from
Multispectral Remote Sensing Imagery. PLoS ONE. 7 (9): e45889
Keng WM dan Homathevi R. 2012. Logistik Regression to Predict Termite
Occurences with Environmental Veriabels in Primary Forest and Oil Palm
Ecosystem: The Case Study in Sabah, Malaysia. APCBEE Procedia. 4: 53-57.
Kurnianti DN. 2015. Proyeksi Penggunaan Lahan Untuk Konsistensi Tata Ruang
Di Kawasan JABODETABEK [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB.
Lillesand TM, Kiefer RW, Chipman JW. 2004. Remote sensing and image
interpretation. New Jersey (US): John Wiley & Sons Ltd.
Liu M, Yuanman H, Yu c, Xinyuan H, & Wei Zhang. 2009. Land Use and Land
Cover Change Analysis and Prediction in the Upper Reaches of the Minjiang
River, China. Environmental Management. 43: 899-907.
Lopez E, Gerardo B, Manuel M, Emilio D. 2001. Predicting Land-cover and Land
Use Change in the Urban Fringe a Case in Morelia City, Mexico. Landscape and
Urban Planning. 55: 271-285.
Miettin J dan Soo CL. 2010. Status of Peatland Degradation and Development in
Sumatera and Kalimantan. AMBIO. 39: 394-401.
Muller MR dan Middleton J. 1994. A Markov model of land-use change dynamics
in the Niagara Region, Ontario, Canada. Landscape Ecology. 9: 151-157.
Nurdiana A dan Idung R. 2015. Indicator Determination of Forest and Land Fires
Vulnerability using Landsat-5 TM Data (case study: Jambi Province). Procedia
Environmental Science. 24: 141-151.
Peres CA, Toby Ag, Jos B, Jansen Z, Fernanda M, Alexander CL, Ima CGV,
Vatima MS, Moreira, Kenneth JF. 2010. Biodiversity Conservation in Human-
modified Amazonian Forest Landscapes. Biological Conservation. 143: 2314-
2327.
Potter L. 2015. Managing oil palm landscapes: A seven-country survey of the
modern palm oil industry in Southeast Asia, Latin America and West Africa.
Bogor (ID): CIFOR.
Pu R, Susan B, dan Cynthia M. 2014. Mapping and Assesing Seagrass Bed Changes
in Central Floridas West Coast Using Multitemporal Landsat TM Imagery.
Estuarine, Coastal and Shelf Science. 149: 68-79.
41

Ren Z, haifeng Z, Xingyuan H, DanZ, Xingyang Y, dan Guoqing S. 2015. Spatial


Estimation of Uran Forest Structures with Landsat TM Data and
FieldMeasurements. Urban Forestry and Urban Greening. 14: 336-344.
Richards JA, Jia X. 2006. Remote Sensing Digital Image Analysis. Berlin (DE):
Springer.
Rist L, Laurance F, Patrice L. 2010. The Livelihood Impacts of Oil Palm:
Smallholders in Indonesia. Biodiversity Conservation. 19: 1009-1024.
Roy DP, Wulder MA, Loveland TR, CEW, Allen RG. 2014. Landsat-8: Science
and product vision for terrestrial global change research. Remote Sensing of
Environment. 145: 154-172.
Sita R. 2014. Pertarungan Kuasa dan Legitimasi Klaim Atas Sumberdaya Hutan:
Kasus Hutan Sekitar Restorasi Ekosistem di Kabupaten Batanghari, Provinsi
Jambi [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB.
SKK MIGAS. 2012. Pemetaan Sosial Daerah-daerah Penghasil Minyak dan Gas
[Internet]. [11 Desember 2015]. http://migas.bisbak.com/
Trisurat Y, Rob A, dan Peter V. 2010. Projecting Land-use Change and Its
Consequences for Biodiversity in Nothern Thailand. Environmental
Management. 45: 626-639.
Tapia-Armijos MF, Jurgen H, Carlos IE, Christoph L, dan Marcelino DLC. 2015.
Deforestration and Forest Fragmentation in South Ecuador Since the 1970s
Losing a Hotspot of Biodiversity. PLoS ONE. 10 (9): e0133701
Tarigan SD, Sunarti, Susi W. 2014. Expansion of Oil Palm Plantations and Forest
Cover Changes in Bungo and Merangin Districts, Jambi Province, Indonesia.
Environmental Science. 24: 199-205
Villamor GB, Quang BL, Utkur D, Meine VN. 2014. Biodiversity in rubber
agroforests, carbon emissions, and rural livelihoods: An agent-based model of
land-use dynamics in lowland Sumatra. Environmental Modelling & Software:
61: 151-165.
Wilcove D & Lian PK. 2010. Addressing the Threats to Biodiversity from Oil-palm
Agriculture. Biodiversity Conservation. 19: 999-1007.
Yang X, Xin QZ, Rui C. 2014. A Land Use Change Model: Integrating Landscape
Pattern Indexes and Amrkov-CA. Ecological Modelling. 283: 1-7.
Yu W, Shuyi Z, Changsan W, Wen L, Xiaodong N. 2014. Analyzing and modelling
land Use Land Cover Change (LUCC) in the Daqing City, China. Applied
Geography. 31: 600-608.
Zhou X & Yi-Chen W. 2011. Spatial-temporal Dynamics of Urban Green Space in
Responseto Rapid Urbanization and Greening Policies. Landscape and Urban
Planning. 100:268-277.
42

Lampiran 1. Visualisasi Kondisi Eksisting Lapangan

Kondisi Visual Deskripsi dan Lokasi

Perkebunan Sawit
(Kecamatan Mersam)

Titik Koordinat:
10255'23.081"E 131'55.24"S

No Foto: 170c

Pemukiman Kawasan Perkebinan Kelapa


Sawit
(Kecamatan Mersam)

Titik Koordinat:
10255'26.67"E 132'40.951"S

No Foto: 169d

Badan Air Sungai Batnghari


(Kecamatan Mersam)

Titik Koordinat:
1032'20.456"E 140'51.471"S

No Foto: 158c

Pembukaan Lahan Karet Menjadi Sawit


(Kecamatan Marosebo Ulu)

Titik Koordinat:
10250'5.099"E 136'18.193"S

No Foto: 185d
43

Lampiran 1. Visualisasi Kondisi Eksisting Lapangan (lanjutan)

Kondisi Visual Deskripsi dan Lokasi

Hutan
(Kecamatan Bathin XXIV)

Titik koordinat:
10257'17.627"E 154'41.216"S

No Foto: 212

Pemukiman Warga
(Kecamatan Bathin XXIV)

Titik koordinat:
10257'51.541"E 154'42.384"S

No Foto: 208c

Aktivitas Pembukaan Lahan


(Kecamatan Muara Bulian)

Titik koordinat:
10318'2.298"E 142'40.634"S

No Foto: 140

Semak Belukar
(Kecamatan Bathin XXIV)

Titik koordinat:
1030'19.998"E 148'26.214"S

No Foto: 201
44

Lampiran 1. Visualisasi Kondisi Eksisting Lapangan (lanjutan)

Kondisi Visual Deskripsi dan Lokasi

Lahan Terbuka
(Kecamatan Muara Bulian)

Titik koordinat:
10313'10.633"E 144'47.657"S

No Foto: 220a

Hutan, masih banyak terdapat pohon


bulian - Eusideroxylon zwageri
(Kecamatan Bajubang)

Titik Koordinat:
10314'36.581"E 155'15.27"S

No Foto: 148

Akses jalan menuju Hutan Senami, kiri


kanan jalan berupa tutupan hutan
(Kecamatan Muara Bulian)

Titik Koordinat:
10311'30.587"E 149'27.973"S

No Foto: 219

Semak, di utara berasosiasi dengan lahan


terbuka dan tutupan hutan
(Kecamatan Pemayung)

Titik Koordinat:
10321'4.917"E 138'16.145"S

No Foto: 102
45

Lampiran 2. Data Raster Variabel Bebas

X1 Jarak dari jaringan jalan X2 Jarak dari sawit

X3 Kemiringan lahan X4 Jarak dari jaringan sungai

X5 Elevasi X6 Jarak dari pemukiman


46

Lampiran 3. Overall Accuracy dan Kappa Acuracy


Tahun 2014

Tahun 2004
47

Lampiran 3. Over all Accuracy dan Kappa Acuracy (Lanjutan)


Tahun 1994

Tahun 1988
48

Lampiran 4. Kenampakan Citra Landsat 8 OLI 2014, RGB 654


Kenampakan pada Citra
Penggunaan Lahan Foto Lapang
Landsat

Lahan Terbuka

Keterangan: Lahan ini meliputi aktivitas pembukaan lahan untuk kelapa sawit, pembakaran,
aktivitas pertambangan, bukaan lahan untuk pemukiman, dan tanah terbuka yang belom
dimanfaatkan. Kenampakan pada citra dicirikan berwarna merah muda, tekstur kasar dan
berkelompok, pada bagian pinggir biasanya berasosiasi dengan hutan atau kebun campuran.

Badan Air

Keterangan: Kondisi penggunaan lahan biasanya berupa sungai, danau, dan lahan basah.
Kenampakan pada citra dicirikan dengan warna biru atau biru kehitaman, pola tekstur teratur
dan halus, biasanya berasosiasi di sekitar sungai batanghari, pematang sawah atau petak-petak
tanah tergenang air, dan danau/waduk.

Hutan

Keterangan: Kondisi penggunaan berupa hutan lindung, hutan rakyat, hutan produksi, dan
hutan adat. Kenampakan pada citra berwarna hijau tua dengan tekstur yang halus dan
mengelompok mencirikan tajuk yang berkesinambungan mengelompok.

Kebun campuran

Ketarangan: Kondisi pemanfaatan lahan meliputi perkebunan industri dan perkebunan


masyarakat. Biasanya ditemukan berbagai jenis pohon untuk diambil kayu dan buah, serta
tanaman non kayu untuk kepentingan konsumsi. Kenampakan pada citra berwarna hijau muda
dan bercak cokelat muda terang, tekstur halus, dan biasanya berasosiasi dengan pinggiran
hutan atau sawit.

Sawit

Keterangan: Kondisi pemanfaatan lahan untuk perkebunan kelapa sawit baik milik
perusahaan maupun masyarakat. Kenampakan pada citra terlihat jelas berwarna hijau dan
bertekstru halus, memiliki luasan yang cukup luas, dan sangat erat berasosiasi dengan lahan
terbuka atau hutan. Biasanya terlihat berpetak yang terbentuk jelas dari jalur pembukaan lahan
yang sangat luas.
49

Lampiran 4. Kenampakan Citra Landsat 8 OLI 2014, RGB 654 (lanjutan)


Kenampakan pada Citra
Penggunaan Lahan Foto Lapang
Landsat

Lahan terbangun

Keterangan: Pemanfaatan lahan berupa bangunan, pemukiman, perkampungan, kawasan


pusat pemerintahan kecamatan, desa/ kelurahan, dan jaringan jalan beraspal/ beton.
Kenampakan pada citra dicirikan dengan warna merah keunguan, tekstur kasar dan
bergerombol, biasanya nampak berupa bercak-bercak menandakan blok-blok bangunan atau
perkampungan. Asosiasinya jelas, berbentuk memanjang dekat dengan jaringan jalan atau
memanjang dekat dengan jaringan Sungai Batanghari.

Semak

Keterangan: Berupa semak belukar yang didominasi oleh semak dan terdapat pula
sekelompok pohon dengan ketinggian kurang dari 2 meter. Kenampakan pada citra berwarna
hijau muda kecokelatan atau kekuningan, pola kasar, dan biasanya berasosiasi dengan kebun
campuran, lahan terbuka, jalan, dan perkampungan.

Awan ----

Keterangan: Pada citra nampak jelas berwarna putih dengan pinggiran sedikit kemerahan
(merah muda). Tekstur halus, bentuknya jelas sebagai awan individu atau mengelompok.

Karet

Keterangan: Berupa perkebunan karet masyarakat atau industri. Pada citra nampak jelas
berwarna hijau kecokelatan dengan tekstur yang halus, pola mengelompok, memiliki luasan
yang cukup luas, dan biasanya berasosiasi dengan kebun campuran atau hutan.
50

Lampiran 5. Matriks Probabilitas Markov


Probability 1988-1994 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Lahan terbuka 0.0969 0.0800 0.2253 0.1695 0.3478 0.0082 0.0552 0.0147 0.0992
2 Badan air 0.0279 0.8832 0.0497 0.0103 0.0118 0.0062 0.0075 0.0034 0.0149
3 Hutan 0.0413 0.0028 0.7566 0.0745 0.0638 0.0002 0.0077 0.0047 0.0484
4 Kebuncampuran 0.0278 0.0067 0.2088 0.3273 0.2241 0.0024 0.0283 0.0154 0.1592
5 Sawit 0.0152 0.0018 0.0878 0.2521 0.5071 0.0048 0.0376 0.0103 0.0833
6 Lahan Terbangun 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 1.0000 0.0000 0.0000 0.0000
7 Semak - - - - - - - - -
8 Awan 0.0495 0.0156 0.1841 0.3827 0.2149 0.0342 0.0250 0.0050 0.0890
9 Karet - - - - - - - - -
Probability 1994-2004 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Lahan terbuka 0.1734 0.0034 0.1231 0.1946 0.1859 0.0267 0.0544 0.0051 0.2335
2 Badan air 0.1042 0.6361 0.0263 0.0235 0.0242 0.0364 0.0696 0.0045 0.0752
3 Hutan 0.0861 0.0004 0.5616 0.1101 0.1142 0.0027 0.0294 0.0028 0.0928
4 Kebuncampuran 0.0728 0.0002 0.2003 0.2894 0.1873 0.0075 0.0753 0.0064 0.1608
5 Sawit 0.0867 0.0004 0.1287 0.2167 0.3621 0.0195 0.0365 0.0082 0.1412
6 Lahan Terbangun 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.9896 0.0000 0.0104 0.0000
7 Semak 0.0737 0.0013 0.1522 0.2047 0.2583 0.0391 0.0743 0.0028 0.1936
8 Awan 0.0827 0.0042 0.2356 0.2046 0.1788 0.0162 0.0654 0.0040 0.2086
9 Karet 0.0651 0.0014 0.2475 0.2419 0.1782 0.0148 0.0674 0.0057 0.1779
Probability 2004-2014 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Lahan terbuka 0.2406 0.0036 0.0834 0.3021 0.2805 0.0393 0.0048 0.0051 0.0406
2 Badan air 0.0390 0.8892 0.0002 0.0309 0.0048 0.0350 0.0000 0.0003 0.0006
3 Hutan 0.1096 0.0004 0.4671 0.2655 0.1228 0.0061 0.0011 0.0026 0.0248
4 Kebuncampuran 0.1039 0.0016 0.1479 0.4707 0.2077 0.0116 0.0018 0.0040 0.0509
5 Sawit 0.1243 0.0006 0.0779 0.3488 0.3490 0.0304 0.0025 0.0042 0.0623
6 Lahan Terbangun 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.9966 0.0009 0.0025 0.0000
7 Semak 0.1597 0.0067 0.0480 0.4029 0.2665 0.0387 0.0049 0.0073 0.0653
8 Awan 0.1264 0.0040 0.0594 0.4012 0.2757 0.0611 0.0057 0.0031 0.0634
9 Karet 0.1373 0.0022 0.0722 0.3212 0.3326 0.0265 0.0030 0.0061 0.0989
51

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bogor pada tanggal 4 April 1989 sebagai anak
ketujuh dari delapan bersaudara dari pasangan Abdul Rochim dan Umami. Penulis
menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 5 Bogor pada tahun 2007.
Penulis pernah menempuh pendidikan di Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 2007 sampai tahun 2009,
kemudian pindah Jurusan ke Departemen Arsitektur Lanskap. Penulis mendapatkan
gelar sarjana di Departemen Arsitektur Lanskap IPB pada tahun 2013.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di dalam Organisasi
Kemahasiswaan. Pada tahun 2007 penulis diamanahi di Dewan Perwakilan
Mahasiswa TPB IPB sebagai Ketua Komisi Keuangan, kemudian pada tahun 2009
penulis diamanahi di Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Pertanian IPB sebagai
Sekretaris Umum. Pada tingkat akhir penulis juga aktif di Dewan Perwakilan
Mahasiswa KM IPB sebagai Ketua Komisi III dan Majelis Permusyawaratan KM
IPB sebagai anggota Kebijakan Publik. Selama menempuh pendidikan penulis
pernah mendapatkan program beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik)
tahun 2009, kemudian pada tahun 2010 dan 2011 mendapatkan program beasiswa
serta pelatihan kepemimpinan dari Yayasan Goodwill International dengan
program Goodwill International Leadership and Training Programme.
Pada tahun 2013 penulis kembali menempuh pendidikannya di Program
Pascasarjana Arsitektur Lanskap IPB dengan mendapatkan Beasiswa Pendidikan
Tinggi Dalam Negeri (BPPDN) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
(DIKTI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Selama
studi pascasarjana penulis aktif di Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB sebagai
Anggota Divisi Kebijakan Publik pada tahun 2014. Pada tahun 2015 penulis
dilantik sebagai Ketua Hubungan Antar Lembaga, lalu diangkat menjadi Sekjen
Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB hingga akhir kepengurusan. Pada tahun 2016
penulis diamanahi sebagai Dewan Penasehat Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB.
Dalam bidang akademik, penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah dan
praktikum Perencanaan dan Pendesainan Lanskap di Program Pascasarjana
Arsitektur Lanskap IPB tahun 2015.
Artikel yang berjudul Analysis of Land Cover Change and Landscape
Fragmentation in Batanghari Regency, Jambi Province telah dipresentasikan
dalam seminar internasional (CITIES International Conference 2015: Intelligent
Planning Towards Smart Cities) pada tanggal 3 November 2015 di Surabaya.
Kemudian diterima sebagai publikasi internasional dalam Procedia Social and
Behavioral Sciences yang di terbitkan oleh Elsevier Ltd.

Anda mungkin juga menyukai