Anda di halaman 1dari 38

CASE REPORT SESSION

TETANUS GRADE III-IV


Instalasi Gawat Darurat

DISUSUN OLEH
dr. Amelia Shadrina

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH 45 KUNINGAN


KABUPATEN KUNINGAN
2017
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S Jenis kelamin : laki-laki
Umur : 47 tahun Suku bangsa : Sunda
Status perkawinan : Menikah Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta Pendidikan : SD
Alamat : Werasari RT/RW Tanggal masuk RS : 04/02/2017
01/02, Malausma 13.36 WIB

A. ANAMNESIS
Diambil secara autoanamnesis dan alloanamnesis kepada istri pasien, tanggal 4 Pebruari 2017
pukul 13.36 di IGD RSUD 45 Kuningan

Keluhan Utama : kejang seluruh tubuh


Keluhan Tambahan : Sulit menelan dan membuka mulut, badan tangan dan kaki terasa
kaku, perut kencang seperti papan, punggung kaku dan nafas terasa
sesak.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Seorang pasien laki-laki, 47 tahun, datang ke UGD RSUD 45 Kuningan (4 Pebruari
2017, pukul 13.36 WIB) diantar keluarga dengan keluhan kejang seluruh tubuh sejak 2 hari
sebelum masuk Rumah Sakit. Kejang dirasakan terjadi pada seluruh tubuh dengan frekuensi
yang sering >10x dan durasi singkat <1 menit. Pasien sadar sesaat dan sebelum kejang. 1 minggu
sebelumnya pasien merasakan sulit untuk membuka mulut namun pasien masih bisa makan dan
minum dengan baik. 3 hari SMRS keluhan tersebut memberat dan menyebar ke mulut,
punggung, perut, tangan serta kaki sehingga pasien tidak bisa membuka mulutnya, perut kencang
seperti papan, serta tidak dapat menggerakkan tangan dan kakinya. Pasien juga mengeluh seluruh
tubuh terasa nyeri, sulit menelan dan nafas terasa sesak. Pasien mengaku tidak pernah
mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Pasien juga menyangkal pernah mengalami keluar
cairan dari dalam telinga dan riwayat trauma yang menyebabkan luka pada tubuhnya namun
pasien memiliki kebiasaan suka mencongkel giginya yang bolong menggunakan lidi setelah
makan.

1
Tidak ada mual atau muntah, tidak ada penurunan kesadaran, pilek, atau diare.
Sebelumnya pasien tidak pernah mendapat imunisasi tetanus. Pasien memiliki riwayat tekanan
darah tinggi namun pasien lupa nama obat yang dikonsumsinya. Riwayat kencing manis
disangkal. Pasien sudah 6 hari belum BAB, BAK tidak ada keluhan. Makan dan minum sulit,
perlahan-lahan, sering tersedak.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat penyakit darah tinggi (+)
- Riwayat penyakit stroke disangkal
- Riwayat penyakit kencing manis disangkal
- Riwayat asma maupun alergi disangkal
- Riwayat operasi sebelumnya disangkal
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riwayat penyakit ginjal disangkal
- Riwayat dispepsia disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat stroke disangkal
- Riwayat penyakit kencing manis disangkal
- Riwayat penyakit darah tinggi disangkal
- Riwayat asma maupun alergi disangkal
- Riwayat batuk lama atau penyakit kronis disangkal
- Riwayat penyakit jantung dan ginjal disangkal
- Riwayat kejang disangkal

Riwayat Kebiasaan
- Riwayat merokok (+)
- Riwayat megkonsumsi kopi (+)
- Riwayat mengkonsumsi alkohol (+)
- Riwayat sering makan-makanan santan dan gorengan (+)

2
ANAMNESIS SISTEM
Sistem Serebrospinal: Demam (-)
Kejang (+)
Sakit kepala (+)
Hemiparese (-)
Sulit bicara (+)

Sistem Kardiovaskuler: Jantung berdebar (-)


Nyeri dada (-)
Hipertensi (+)

Sistem Pernapasan: Batuk (-)


Pilek (-)
Sesak napas (+)

Sistem Gastrointestinal: Mual (-)


Diare (-)
Perut kaku (+)
Sulit BAB (+)
Sulit menelan (+)

Sistem Urogenital: BAK lancar


Nyeri (-)
Panas (-)
Dapat menahan BAK

Sistem Integumen: Ruam-ruam (-)


Kemerahan (-)
Gatal (-)
Ulkus pada kaki (-)

3
Sistem muskuloskeletal: Nyeri dan kaku pada punggung, kedua tangan dan kedua kaki
(+)

B. PEMERIKSAAN FISIK
(Dilakukan tanggal 4 Pebruari 2017)
Keadaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesan gizi : Kesan gizi cukup
Sianosis : -
Ikterik : -
Dehidrasi : -
Ascites : -
Edema : -
Habitus : Atletikus
Mobilitas : Aktif
Umur sesuai taksiran : Sesuai dengan usia sebenarnya
Cara berjalan : -
Cara berbaring/duduk : Aktif
Cara berbicara : -
Sikap pasien : Kooperatif dengan pemeriksa

Tanda Vital
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Nadi : 90x /menit, regular, kuat, isi cukup, equal
Pernapasan : 28x /menit, teratur, tipe pernafasan abdominotorakal
Suhu : 38,5 C per axiler
Tinggi Badan : 167 cm
Berat Badan : 60 kg
BMI : 21,5 kg/m2 (normal)

Aspek Kejiwaan
Tingkah Laku : Tenang
Alam Perasaan : Biasa

4
Proses Pikir : Wajar

Kulit
Warna : Sawo matang Pigmentasi : Merata
Efloresensi : Tidak ada Petekie : Tidak
Ada
Jaringan Parut : Tidak ada Ikterus : Tidak ada
Pertumbuhan rambut : Merata Lembab/Kering : Lembab
Suhu Raba : Hangat Pembuluh darah : Tidak melebar
Keringat : Tidak ada Turgor : Baik
Lapisan Lemak : Sedikit Sianosis : Tidak ada
Oedem : Tidak ada Lain-lain :-

Kelenjar Getah Bening


Preaurikuler : tidak teraba membesar
Retroaurikuler : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Submental : tidak teraba membesar
Leher : tidak teraba membesar
Supraklavikula : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak dilakukan pemeriksaan
Axilla : tidak teraba membesar

Kepala
Ekspresi wajah : Risus sardonicus (+)
Simetri muka : Simetris
Bentuk : Normocephali
Rambut : Hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata
Exophthalamus : Tidak ada Enopthalamus : Tidak ada

5
Kelopak : Oedem ( - ) Lensa : Jernih
Sklera : Ikterik ( - ) Gerakan mata : Sulit dinilai
Lapangan penglihatan : Sulit dinilai RCL : +/+
Nistagmus : Tidak ada RCTL : +/+
Konjungtiva : Anemis ( - ) Visus : Sulit dinilai

Telinga
Bentuk : Normotia Membran timpani : +/+
Liang telinga : lapang Penyumbatan : -/-
Serumen : +/+ Perdarahan : -/-
Cairan/sekret : -/- Tuli : -/-

Hidung
Bentuk : normal Septum deviasi :(-)
Deformitas :(-) Cavum nasi : lapang
Pernafasan cuping hidung :(-) Sekret :(-)
Concha Inferior : eutrofi Epistaxis :(-)

Mulut
Bibir : kering Tonsil : sulit dinilai
Langit-langit : merah muda, DBN Bau pernapasan : tidak ada
Gigi geligi : caries, tidak lengkap Trismus : 2 jari
Faring : sulit dinilai Selaput lendir : ada
Lidah : normoglosia, atrofi papil (-) Mukosa : tidak hiperemis

Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP) : 5 - 1 cm H2O.
Kelenjar Tiroid : tidak teraba membesar
Kelenjar Limfe : tidak teraba membesar
Trakea : letak di tengah

Thoraks

6
Bentuk : datar, simetris
Pembuluh darah : tidak tampak
Deformitas :-

Paru Paru
Pemeriksaan Depan Belakang
Inspeksi Kanan Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis
Kiri Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi Kanan - Tidak ada benjolan - Tidak ada benjolan
- Vocal fremitus (+) - Vocal fremitus (+)
Kiri - Tidak ada benjolan - Tidak ada benjolan
- Vocal fremitus (+) - Vocal fremitus (+)
Perkusi Kanan Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru
Kiri Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi Kanan - Suara nafas vesikuler - Suara nafas vesikuler
-Wheezing ( - ), Ronki (-) -Wheezing ( - ), Ronki (-)
Kiri - Suara nafas vesikuler - Suara nafas vesikuler
-Wheezing ( - ), Ronki (-) -Wheezing ( - ), Ronki (-)

Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis
Palpasi : Teraba iktus cordis di ICS IV, 2 cm medial garis midklavikularis kiri
Perkusi :
Batas kanan : ICS III-IV garis sternalis kanan dengan suara redup
Batas kiri : ICS IV, 3 cm medial garis midklavikularis kiri dgn suara redup
Auskultasi: Bunyi jantung I-II reguler, Gallop (-), Murmur (-).

Pembuluh Darah
Arteri Temporalis : teraba pulsasi
Arteri Karotis : teraba pulsasi
Arteri Brakhialis : teraba pulsasi
Arteri Radialis : teraba pulsasi
Arteri Femoralis : teraba pulsasi

7
Arteri Poplitea : teraba pulsasi
Arteri Tibialis Posterior : teraba pulsasi
Arteri Dorsalis Pedis : teraba pulsasi

Abdomen
Inspeksi : Datar, warna sawo matang, tidak ikterik, tidak ada spider nervy, tidak ada
efloresensi yang bermakna, tidak ada dilatasi vena.
Auskultasi : Bising usus ( + ), 3x/menit
Palpasi :
Dinding perut : Rigid ( + ), nyeri tekan epigastrium ( - ), nyeri tekan abdomen (-)
nyeri lepas ( - ) , defense muscular (+), massa (-) , undulasi (-), opistotonus (+).
Hati : Tidak teraba
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement -/-, nyeri ketok CVA -/-
Perkusi : Timpani di empat kuadran abdomen, pekak sisi (-) shifting dullness (-) nyeri
ketuk (-)

Inguinal : Tidak dilakukan pemeriksaan


Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot
Tonus : normotonus normotonus
Massa : eutrofi eutrofi
Sendi : fleksi ekstremitas fleksi ekstremitas
Gerakan : pasif pasif
Kekuatan : 4 4
Oedem : : tidak ada tidak ada
Lain-lain : Palmar eritema (-), ptechie (-), clubbing finger (-), akral dingin (-)

8
Tungkai dan Kaki Kanan Kiri
Otot
Tonus : normotonus normotonus
Massa : eutrofi eutrofi
Sendi : fleksi ekstremitas fleksi ekstremitas
Gerakan : pasif pasif
Kekuatan : 4 4
Oedem : : tidak ada tidak ada
Nyeri tekan : - -
CRT : <2 <2
Lain-lain : Ulkus pedis (-) varises (-), edema (-), clubbing finger (-), akral
dingin (-)

9
STATUS NEUROLOGI

Kesadaran kuantitatif : GCS (E4 V6 M5)


Orientasi : Baik
Refleks Fisiologis
Pemeriksaan Kanan Kiri
Sup dan Inf
Bisep +2 +2
Trisep +2 +2
Patela +3 +3
Achiles +3 +3

Refleks Patologis
Pemeriksaan Kanan Kiri
Sup dan Inf
Hoffman Trommer - -
Babinski - -
Chaddock - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Openheim - -
Klonus patella - -
Klonus achilles - -

Tanda Rangsang Meningeal


Kaku kuduk : +
Brudzinski I : -/-
Brudzinski II : -/-
Kernig : -/-
Laseq : -/-

10
Peningkatan Tekanan Intrakranial
Penurunan Kesadaran : (-)
Muntah proyektil : (-)
Sakit kepala hebat : (-)
Edema papil : tidak dilakukan pemeriksaan

Saraf Kranial
Nervus I Olfaktorius : Normosmia
Nervus II Optikus
Kanan Kiri
Ketajaman penglihatan Baik Baik
Menilai warna Baik Baik
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Papil Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Retina Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Medan penglihatan Baik Baik

Nervus III Okulomotorius


Kanan Kiri
Ptosis - -
Gerakan mata ke medial + +
Gerakan mata ke atas + +
Gerakan mata ke bawah + +
Bentuk Pupil Bulat, isokor 3mm Bulat,isokor 3mm
Reflek Cahaya Langsung + +
Reflek Cahaya Tidak Langsung + +
Reflek Akomodatif + +
Strabismus Divergen - -
Diplopia - -

11
Nervus IV Troklearis
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral bawah + +
Strabismus konvergen - -
Diplopia - -

Nervus V Trigeminus
Kanan Kiri
Bagian Motorik
Menggigit + +
Membuka mulut + +
Bagian Sensorik
Ophtalmik Baik Baik
Maxilla Baik Baik
Mandibula Baik Baik
Reflek Kornea Baik Baik

Nervus VI Abdusen
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral + +
Strabismus konvergen - -
Diplopia - -

Nervus VII Fasialis


Kanan Kiri
Fungsi Motorik
Mengerutkan dahi + +
Mengangkat alis + +
Memejamkan mata + +
Menyeringai + +
Mengembungkan pipi + +
Mencucurkan bibir + +
Reflek Glabella - -
Tanda Chovstek - -
Fungsi Pengecapan
2/3 depan lidah Baik Baik 12
Nervus VIII Vestibulokoklearis
Kanan Kiri
Mendengar suara berbisik + +
Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nistagmus - -
Past Pointing - -

Nervus IX dan X Glossofaringeus dan Vagus


Kanan Kiri
Arkus faring Sulit dinilai
Uvula Sulit dinilai
Refleks muntah Tidak dilakukan
Tersedak -
Disartria -
Daya kecap 1/3 lidah Baik

Nervus XI Aksesorius
Mengangkat bahu & Menoleh
Kanan +
Kiri +

Nervus XII Hipoglosus


Menjulurkan lidah Lurus kearah depan
Atrofi -
Artikulasi Baik
Tremor -

13
Sistem Motorik
Ekstremitas Superior
Kekuatan Motorik : 4 4

Kanan Kiri
Tonus otot : normotonus normotonus
Trofi : eutrofi eutrofi
Gerakan : pasif pasif
Ekstremitas Inferior
Kekuatan Motorik :
4 4

Kanan Kiri
Tonus otot : normotonus normotonus
Trofi : eutrofi eutrofi
Gerakan : pasif pasif

Gerakan involunter :
Tremor : - -
Chorea : - -
Ballismus : - -
Athetose : - -

Sistem Sensorik
Rasa Kanan Kiri Rasa Halus Kanan Kiri
Tajam
Eusthesia Eusthesia Eusthesia Eusthesia
Eusthesia Eusthesia Eusthesia Eusthesia

Fungsi Keseimbangan dan Koordinasi

14
Test Rhomberg : Tidak dilakukan
Disdiadokinesia : Tidak dilakukan
Jari-jari : Tidak dilakukan
Jari-hidung : Tidak dilakukan
Tumit lutut : Tidak dilakukan
Rebound Phenomenon :-
Tremor :-
Khorea :-

Fungsi Vegetatif
Miksi :+
Inkontinensia urine :-
Defekasi :-
Inkontinensia alvi :-

Fungsi Luhur
Astereognosia :-
Apraksia :-
Afasia :-

Keadaan Psikis
Intelegensia : Baik
Demensia :-
Tanda regresi :-

LABORATORIUM DARAH LENGKAP


(Tanggal 4 Pebruari 2017)
- Leukosit : 12,6 [10^3/Ul] (N: 4,5-11,0)
- Hemoglobin : 14,3 g/dL (N: 14,0-17,5)
- Hematokrit ` : 41,2 % (N: 40-54)
- Trombosit : 350 /uL [10^3/Ul] (N:150-450)

15
KIMIA KLINIK
- GDS : 84 mg/dL (N: 70-140)
- SGOT : 513 U/L (N: 15-40)
- SGPT : 118 U/L (N: 10-40)
- Ureum : 117 mg/dL (N: 12,8- 42,8)
- Kreatinin : 1,77 mg/dl (N : 0,9 1,3)
- Natrium : 145 mmol/L (N:136-145)
- Kalium : 5,5 mmol/L (N: 3,3-5,1)
- Klorida : 113 mmol/L (N:98-106)

RESUME
Dari anamnesis didapatkan :
Pasien laki-laki, 47 tahun, dengan keluhan diantar keluarga dengan keluhan kejang
seluruh tubuh sejak 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Kejang dirasakan terjadi pada seluruh
tubuh dengan frekuensi yang sering >10x dan durasi singkat <1 menit. Pasien sadar sesaat dan
sebelum kejang. 1 minggu sebelumnya pasien merasakan sulit untuk membuka mulut namun
pasien masih bisa makan dan minum dengan baik. 3 hari SMRS leluhan menyebar ke mulut,
punggung, perut, tangan serta kaki sehingga pasien tidak bisa membuka mulutnya, perut kencang
seperti papan, serta tidk dapat menggerakkan tangan dan kakinya, seluruh tubuh terasa nyeri,
sulit menelan dan nafas terasa sesak. Pasien memiliki kebiasaan suka mencongkel giginya yang
bolong menggunakan lidi setelah makan.
Tidak ada riwayat imunisasi tetanus. Riwayat hipertensi (+). Makan dan minum sulit,
perlahan-lahan, sering tersedak.
Dari Pemeriksaan fisik didapatkan :
Keadaan umum kesadaran compos mentis, tampak sakit sedang, tekanan darah 140/90 mmHg,
nadi 90x /menit, pernapasan 25x /menit teratur, Suhu 38,5O, status gizi normal.
Pada pemeriksaan kepala, wajah tampak risus sardonicus, gigi carries dan avulsi. Pemeriksaan
leher, thorax dalam batas normal. Abdomen didapatkan adanya defense muscular (+).
Ekstremitas didapatkan adanya fleksi tangan, ekstensi kaki, opistotonus (+).

16
Dari Pemeriksaan neurologi didapatkan :
GCS (E4 V6 M5)
Refleks Fisiologis : BPR +2/+2 KPR +3/+3
TRP +2/+2 APR +3/+3
Refleks Patologis : Babinsky -/- Chaddock -/-
Fungsi Motorik 4 4
4 4
Fungsi Sensorik baik
Tanda rangsang meningeal kaku kuduk (+)

Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan :


Pemeriksaan darah lengkap : Leukosit, SGOT, SGPT, Ureum, dan Creatinin, yang meningkat.
Pada pemeriksaan elektrolit didapatkan hiperklorida dan hiperkalium.

DIAGNOSIS
Diagnosis klinis : Trimus et causa C. Tetanii, kaku pada kedua tangan, kedua kaki,
leher, perut dan punggung.
Diagnosis topis : Neuromuscular junction
Diagnosis etiologis : C. Tetanii
Diagnosis patologi : Infeksi

TATALAKSANA :

Pada prinsipnya, penanganan dikerjakan dengan mempertahankan hemodinamik,


memelihara fungsi neuron dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Pada pasien ini terapi
medikamentosa yang diberikan berupa terapi cairan, anti toxin, anti kejang dan antibiotik
berfungsi untuk mencegah kekakuan lebih lanjut dan penyebaran infeksi yang luas.
1. Medikamentosa :
a. Oksigen 3 L
b. Infus RL 20 tetes per menit
c. Infus paracetamol 3x1
d. Infus metronidazol 3x500mg

17
e. Injeksi iv diazepam 6x1 ampul
f. Intramuskular ATS 20.000 IU
g. Injeksi omeprazole 2x1ampul
h. Injeksi ceftriaxon 2x1 gram
i. Laxadin syrup 3x1 Cth
2. Non-Medikamentosa :
Menjelaskan tentang diagnosa penyakit, faktor resiko apa saja yang terdapat pada
pasien, tatalaksana dan prognosis kepada keluarga pasien.
Perawatan pasien pada ruang rawat isolasi yang tenang dan jauh dari rangsangan luar
Pemasangan NGT
Pemasangan DC
Tirah baring
Fisioterapi

PROGNOSIS :
Ad Vitam : Dubia Ad Bonam
Ad Fungsionam : Ad Bonam
Ad Sanationam : Ad Bonam

FOLLOW UP :
6 2 - 17 7-2-17 8-2-17 9-2-17
S: S: S: S:
Kaku pada badan (+) Kaku pada badan (+) Kaku pada badan (+) Kaku pada badan (+)
Kejang (+) Kejang (+) menurun Kejang (+) kadang2 Kejang (+) kadang2
Sulit membuka mulut Sulit membuka mulut Sulit membuka mulut Sulit membuka mulut
(+) (+) (+) (+)
O: O: O: O:
KU : CM, TSS KU : CM, TSS KU : CM, TSS KU : CM, TSS
Tanda vital : Tanda vital : Tanda vital : Tanda vital :
TD 120/80 mmHg TD 110/80 mmHg TD 120/80 mmHg TD 120/80 mmHg
N 88 x/m N 88 x/m N 88 x/m N 80 x/m
RR 22x/m RR 20x/m RR 20x/m RR 18x/m
S 37,2oC S 37oC S 37,2oC S 36,5oC
PF : PF : PF : PF :
Trismus (+) 2 jari Trismus (+) 2 jari Trismus (+) 3 jari Trismus (+) 3 jari
Thorax : dbn Thorax : dbn Thorax : dbn Thorax : dbn
Abd : defense Abd : defense Abd : defense Abd : defense
muscullar (+) muscullar (+) muscullar (+) muscullar (+)
Ekst : Fleksi Ekst : Fleksi Ekst : Fleksi Ekst : Fleksi

18
ekstremitas, ekstensi ekstremitas, ekstensi ekstremitas, ekstensi ekstremitas, ekstensi
kaki, opistotonus (+) kaki, opistotonus (+) kaki, opistotonus (+) kaki, opistotonus (+)
A : Tetanus gr III-IV A : Tetanus gr III-IV A : Tetanus gr III-IV Lab :
P: P: P: SGOT/SGPT 99/98
- Oksigen 3 L - Oksigen 3 L - Infus RL 20 tetes Na 132
- Infus RL 20 tetes - Infus RL 20 tetes K 4,4
per menit
A : Tetanus gr III-IV
per menit per menit - Infus paracetamol
P:
- Infus paracetamol - Infus paracetamol
3x1 - Infus NaCL 0,9%
3x1 3x1 - Infus metronidazol
20 tetes per menit
- Infus metronidazol - Infus metronidazol
3x500mg - Infus paracetamol
3x500mg 3x500mg - Injeksi iv diazepam
3x1
- Injeksi iv diazepam - Injeksi iv diazepam
4x1 ampul - Infus metronidazol
6x1 ampul 6x1 ampul - Injeksi ceftriaxon
3x500mg
- Intramuskular ATS - Intramuskular ATS
2x1 gram - Injeksi iv diazepam
20.000 IU 20.000 IU - myores 3x1
4x1 ampul
- Injeksi omeprazole - Injeksi omeprazole
- Injeksi ceftriaxon
2x1ampul 2x1ampul
2x1 gram
- Injeksi ceftriaxon - Injeksi ceftriaxon
- myores 3x1
2x1 gram 2x1 gram
- myores 3x1 - myores 3x1

19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tetanus
Angka kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama disebabkan
kontaminasi tali pusat, infeksi telinga kronik, luka tusuk pada anak usia sekolah, sirkumsisi pada
laki-laki, kehamilan dengan abortus. Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi akan tetapi
angka kejadiannya masih tetap tinggi dengan angka kematian yang tinggi pula (1). Di negara maju,
kasus tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan masalah sanitasi dan
kebersihan selama proses kelahiran. Kasus tetanus memang banyak dijumpai di sejumlah negara
tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah(2).
Spora Clostridium tetani dapat ditemukan dalam tanah dan pada lingkungan yang hangat,
terutama di daerah rural dan penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di
negara berkembang. Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia masih tinggi.
Indonesia merupakan negara ke-5 diantara 10 negara berkembang yang angka kematian tetanus
neonatorumnya tinggi.
Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan yang tepat dan
dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai case fatality rate yang
tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus dapat didiagnosis secara dini dan ditangani dengan baik
maka dapat lebih menurunkan angka kematian. Penatalaksanaan yang baik ditentukan antara lain
oleh pemahaman yang tepat mengenai patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, komplikasi,
penatalaksanaan dan prognosis dari penyakit tetanus(3).

2.2 Definisi

20
Definisi Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini ditandai
oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka, sering
progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan respirasi dan
ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja
toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau
otot(4).
Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif, bergerak,
ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 m. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan
kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan
dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana
anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan
menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan
sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang(5).

2.3 Patofisiologi
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif
yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau
berkurangnya potensi oksigen. Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh
kondisi luka. Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi
toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat(6).
Kuman ini dapat membentuk metaloexotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia
adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion
spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke
motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel
saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP(6).
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf
tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga
mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi
terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter

21
(trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada
extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulai timbul kejang(6).
Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang
umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga
terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran
kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi,
hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang dilaporkan
karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis
tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus
dikenali dan dikelola dengan teliti(6).

Mekanisme kerja toksin tetanus:


1. Jenis toksin
Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin mempunyai efek
hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik. Sampai saat ini
peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui pasti. Tetanospasmin mempunyai efek
neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis penyakit tetanus terutama dihubungkan dengan
toksin tersebut.
2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf
Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada
neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk transport
toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas belum diketahui
secara jelas. Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu
toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun tetap
mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat berikatan dengan sel saraf.
3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter
Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu dengan
jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino Butyric Acid
(GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang paling utama pada
susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin
tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara spesifik

22
menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan cara
mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis(6).

Perubahan akibat toksin tetanus:


1. Susunan saraf pusat
Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang
terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation. Keadaan
ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi
kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena makin berat kejang
yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang
karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain
seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini mungkin
karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang resisten terhadap
toksin(6).
Rasa sakit
Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukan neurotic
pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang. Rasa sakit ini
diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel pada kornu
posterior dan interneuron.
Fungsi Luhur
Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya
brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek hipoksia,
gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan(6).

2. Aktifitas neuromuskular perifer


Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai efek
neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat.
Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit
karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat
pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n.fasialis lebih sensitif
terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi. Efek lain toksin tetanus terhadap
aktivitas neuromuskular perifer berupa:
1. Neuropati perifer

23
2. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang terbatas
dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah sembuh.
3. Denervasi parsial dari otot tertentu.

3. Perubahan pada sistem saraf autonom


Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis, hal ini mungkin
terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut. Mekanisme terjadinya
disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari otot (retrograd) maupun hasil
penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu lateralis medula spinalis torakal).
Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum mengenai berbagai organ seperti
kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi kendali suhu dan kendali otot bronkus,
namun dapat pula hanya mengenai salah satu organ tertentu.
4. Gangguan Sistem pernafasan
Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat :
a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot diafragma
terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang terjadi sangat
sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga dada sehingga menganggu
ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang ditandai dengan hipoksia
dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas berlebihan dari saraf di
pusat persarafan yang tidak terkena efek toksin.
b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya spasme
dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan menelan dengan
baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi yang dapat menimbulkan
pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis.
c. Kelainan paru akibat iatrogenik.
d. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal
Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan yang terjadi
bisa berupa kongesti pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic pulmonal dan
ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena proses iatrogenik atau infeksi sistemik seperti
sepsis yang mengikuti penyakit tetanus.
e. Gangguan pusat pernafasan

Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat pernafasan dapat
terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa kekakuan otot dan henti jantung dapat

24
terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada hewan percobaan. Selain itu ditemukan
bahwa penderita mengalami penurunan resistensi terhadap asfiksia.
Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada
penderita tetanus adalah :
Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa
ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan sekret pada
jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai -1 jam.
Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged respiratory
arrest (henti nafas berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.
Henti nafas akut dan mati mendadak.

Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh penyebab sekunder


seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena kejang lama atau spasme laring,
hipokapnia setelah serangan distres pernafasan, dan akibat gangguan keseimbangan asam
basa.
5. Gangguan hemodinamika.
Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan gangguan sistem
saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada tetanus berat masih
sangat jarang dilakukan karena :
Kendala etik
Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis,
infeksi paru, atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa,
yang kesemua ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi
Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik mempersulit
penilaian dari hasil penelitian.

6. Gangguan metabolik
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang,
peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan
hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi dengan
pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya peningkatan
ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum protein terutama
fraksi albumin.

25
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak dapat
memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem pernafasan
maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein yang berat,
ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme anaerob dan
mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan sistem imunitas
dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya antibodi
yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada penderita tetanus
yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap toksin(7).
7. Gangguan Hormonal
Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi pada
penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan adanya
demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan awareness
menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang berlebihan. Aksis
hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang merangsang sekresi hormon.
Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi monoamin neuron lokal. Adanya
penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang diduga karena adanya hambatan
terhadap mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar endokrin(8).
8. Gangguan pada sistem lain
Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara langsung dapat
mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut dapat berupa
nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan kongesti-pendarahan-ulserasi
mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah kelainan klinis
seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas traktus gastrointestinal
disebakan semata-mata karena efek toksin atau oleh karena efek sekunder dari hipovolemia,
shock, gangguan elektrolit dan metabolik yang terganggu. Secara teoritis ileus, distonia
kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi urin dapat terjadi karena gangguan
keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek toksin baik di tingkat batang otak,
hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ dapat
pula terjadi sebagai akibat gangguan mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas kapiler
pada organ tertentu.

26
2.3 Manifestasi klinis dan diagnosis
1. Manifestasi Klinis
Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus sampai
kejang yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang disebut awitan
penyakit, yang berpengaruh terhadap prognostik(9).
Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:
a. Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka
kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai
rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat berkembang
menjadi tetanus umum.
b. Tetanus sefal
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang
disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa
trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang
terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.
c. Tetanus umum
Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat berupa berupa
trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan perut
(opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, rasa sakit dan kecemasan
yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti
sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.
d. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat,
umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak
mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan
untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh

27
klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat
dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku
dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas
bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.
Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan
kegagalan jantung paru(9).

Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Abletts :


a. Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, disfagia tidak ada
atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.
b. Derajat II (sedang)
Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan disfagia
ringan
c. Derajat III (berat) Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic
spell, disfagia berat, takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi
d. Derajat IV (sangat berat)
Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem kardiovaskuler,
yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan bradikardi, hipertensi berat atau
hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan dengan sepsis, hipovolemia atau
penyebab iatrogenik.

Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka derajat
tetanus berat meliputi derajat III dan IV.
2. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:
- Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat
luka.
- Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap
- Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot
perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.

28
- Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek
- Kejang umum episodik dicetuskan dengan rangsang minimal maupun spontan
dimana kesadaran tetap baik.

Temuan laboratorium :
- Lekositosis ringan
- Trombosit sedikit meningkat
- Glukosa dan kalsium darah normal
- Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
- Enzim otot serum mungkin meningkat
- EKG dan EEG biasanya normal
- Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka
dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif
berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan. - Kreatinin
fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

2.4 Diagnosis banding dan komplikasi


1. Diagnosis banding
Penyakit-penyakit yang menyerupai gejala tetanus adalah Meningitis bakterialis,
Rabies, Poliomielitis, Epilepsi, Ensefalitis, Sindrom Shiffman, Efek samping fenotiazin,
Peritonsiler abses(10).

2. Komplikasi
Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia, bronkopneumonia
dan sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara lain
spasme laring atau faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia dan
kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau
atelektasis. Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia,
gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur
vertebra atau kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli,

29
pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis
metabolik(10).
2.5 Penatalaksanaan
1. Dasar
a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah.

Antibiotik
Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus
bentuk vegetatif. Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam termasuk
penisilin G, ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman tersebut juga
peka terhadap klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan sefalosporin
generasi ketiga.
Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain
1,2 juta 1 kali sehari.
Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari IV
selama 10-14 hari.
Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari
digunakan bila diagnosis tetanus belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa sudah
ditegakkan diganti Penisilin
G. Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara
loading dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam
perinfus setiap 6 jam. Hal ini pemberian metronidazole secara bermakna
menunjukkan angka kematian yang rendah, perawatan di rumah sakit yang
pendek dan respon yang baik terhadap pengobatan tetanus sedang.
Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan
tetrasiklin dengan dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis
dan diberikan secara peroral.
Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200
mg/kgBB/hari selama 10 hari atau metisilin dengan dosis yang sama ditambah
gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari(10).
Perawatan luka

30
Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka
dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin
dan sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine dan
hidrogen peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi.

b. Netralisasi toksin
1. Anti tetanus serum
Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit, setengah
dosis diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara IV, sebelumnya
dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus neonatorum diberikan 10.000
unit IV.
Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak diberikan
secara intrathekal karena dapat menyebabkan meningitis yang berat karena terjadi iritasi
meningen. Namun ada beberapa pendapat juga untuk mengurangi reaksi pada meningen
dengan pemberian ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun dosis ATS
yang disarankan 250-500 IU.
2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)
Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus dengan
dosis 3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin. Kerr dan
Spalding (1984) memberikan HTIG pada neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-2000 IU
intrathekal. Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24 jam pertama
setelah timbul gejala.
Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan
pemberian immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena
kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang bila diberikan secara intrathekal.
Pemberian HTIG 500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang sama.
Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis yang dapat
diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan HTIG
sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM untuk meningkatkan kadar antitoksin
darah sebelum debridemen luka.

31
c. Menekan efek toksin pada SSP
1. Benzodiazepin
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat ini
mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat. Pada tingkat
supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi ketakutan dan ketegangan fisik serta
penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks polisinaps. Efek samping dapat berupa
depresi pernafasan, terutama terjadi bila diberikan dalam dosis besar. Dosis diazepam yang
diberikan pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Udwadia (1994), pemberian
diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3
mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per oral,
sedangkan tetanus lain sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24 jam.
2. Barbiturat
Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk neonatus dan
100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat menyebabkan hipoksisa dan
keracunan. Fenobarbital intravena dapat diberikan segera dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1
mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit sampai otot perut relaksasi dan spasme berkurang.
Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama diazepam dengan dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3
dosis melalui selang nasogastrik.
3.Fenotiazin
Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM 4 kali
sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin tidak dibenarkan diberikan
secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada penderita dengan tekanan darah yang
labil atau hipotensi.

2. Umum
Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit
perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta nutrisi
harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah penghangat dengan
suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan elektrolit 100-125 ml/kgBB/hari.
Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120 kal/kgBB/hari dan dinaikkan

32
bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat tanda bahaya. Pemberian oksigen
melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan mulut harus dikerjakan.
Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau
sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih dari 2
bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi endotrakhea.
Bantuan ventilator diberikan pada :
1.Semua penderita dengan tetanus derajat IV
2.Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan
terapi konservatif dan PaO2 < >
3.Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain.

3. Berdasarkan tingkat penyakit tetanus


a. Tetanus ringan
Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian antibiotik,
HTIG/anti toksin, diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif seperti diatas.
b.Tetanus sedang
Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau
trakeostomi dan pemasangan selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian
cairan parenteral, bila perlu diberikan nutrisi secara parenteral.
c. Tetanus berat
Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan
intensif, trakeostomi atau intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta
pemberikan cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat diberikan pankuronium
bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3 jam. Bila terjadi
aktivitas simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta bloker seperti propanolol(10).
2.6 Prognosis
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas dapat diturunkan
hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam
prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas
pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan,
semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam

33
menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik
harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang
memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup,
meskipun terjadi tetanus(10).

Tabel 1. Philips Score


Waktu Masuk Skor Selama Perawatan Skor
Masa Inkubasi Spasme
> 14 hari 1 Hanya trismus 1
> 10 hari 2 Kaku seluruh badan 2
5 10 hari 3 Kejang terbatas 3
2 5 hari 4 Kejang seluruh badan 4
< 48 jam 5 Optistotonus 5
Imunisasi Frekuensi Spasme
Lengkap 0 6 x dalam 12 jam 1
< 10 tahun 2 Dengan rangsangan 2
> 10 tahun 4 Terkadang spontan 3
Ibu diimunisasi 8 Spontan < 3x per 15 menit 4
Tidak diimunisasi 10 Spontan > 3x per 15 menit 5
Luka Infeksi Suhu Suhu
Tidak diketahui 1 36.7 - 37 C 1
Distal/perifer 2 37.1 37.7 C 2
Proksimal 3 37.8 38.2 C 4
Kepala 4 38.3 38.8 C 8
Badan 5 > 38.8 C 10
Komplikasi Pernafasan
Tidak ada 1 Sedikit berubah 0
Ringan 2 Apnea saat kejang 2
Tidak membahayakan 4 Kadang apnea setelah kejang 4
Mengancam Nyawa (tidak langsung) 8 Selalu apnea setelah kejang 8

34
Mengancam nyawa 10 Perlu trakeostomi 10

2.7 Pencegahan
Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu
dilakukan:

1. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang sangat efektif. Angka
kegagalannya relatif rendah. Terdapat dua jenis toksoid tetanus yang tersedia adsorbed
(aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus tersedia dalam kemasan
antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri
dan vaksin pertusis aselular sebagai DPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang
mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin
pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin.
Tetanus Toxoid harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun dan jika riwayat
imunisasi tidak diketahui. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka
HTIG (Human Tetanus Immunoglobulin) juga harus diberikan. Dosis TT (tetanus toxoid) pada
usia > 7 tahun adalah 0,5 ml IM. Untuk usia< 7 tahun, gunakan DPT atau DtaP sebagai pengganti
TT. Jika kontraindikasi terhadap pertusis, berikan DT dengan dosis 0,5 ml IM. [10]Semua individu
dewasa yang imun secara parsial atau tidak sama sekali hendaknya mendapatkan vaksin tetanus.
Serial vaksinasi untuk dewasa terdiri atas tiga dosis:
- Dosis pertama dan kedua diberikan dengan jarak 4-8 minggu
- Dosis ketiga diberikan 6-12 bulan setelah dosis pertama.
- Dosis ulangan diberikan tiap 10 tahun dan dapat diberikan pada usia dekade pertengahan seperti
35, 45 dan seterusnya.
2. Perawatan Luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau
luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna
mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus
dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada
penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali pusat selain

35
dari imunisasi ibu. Pada perawatan tali pusat, penting diperhatikan hal-hal berikut
ini :
- Jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun ke
dalam punting tali pusat
Mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak dikompreskan
karena menyebabkan tali pusat lembab

BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. Ningsih S, Witarti N. Tetanus. 2007. Available from:


www.pediatrik.com/pediatrik/061031-joiq163.doc. Accessed: 4 Pebruari 2017.
2. Lubis UN. Tetanus Lokal pada Anak. 2004. Available from:
www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15. Accessed: 4 Pebruari 2017.
3. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam :
Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS, Bandung, 2005 ; 209-213.
4. Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical Neurology.
Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871
5. Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD, Nelson
Textbook of Pediatrics Vol 1 17th edition W.B. Saunders Company. 2004
6. Udwadia FE, Tetanus. Bombay: Oxford University Press, 1993 : 305
7. Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi pertama, Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
8. WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus : progress to date,
Bull WHO 1994; 72 : 155-157
9. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2006.p 1777-1784

36
10. Widoyono. Penyakit Tropis epidemiology, penularan, pencegahan dan pemberantasannya.
Edisi I Penerbit Erlangga. 2008 : p 29-33.

37

Anda mungkin juga menyukai