Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH ILMU HADIST

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Mahasiswa pada umumnya diawal pertemuan belum memahami secara
pasti tentang perlunya mempelajari materi Sejarah Periwayatan dan
Pertumbuhan Hadis, baik hubungannya dengan materi berikutnya, atau
bahkan hubungannya dengan matakuliah lain yang sebelumnya telah
dipelajari maupun yang akan dipelajari. Demikian pula dengan pentingnya
matakuliah ini dalam menunjang kompetensinya sebagai ahli hukum Islam,
dan calon hakim di Pengadilan Agama.
Sebelum semua ini dikemukakan oleh dosen, maka sebaiknya dosen
terlebih dahulu menggali pemahaman mahasiswa terhadap pentingnya materi
ini terkait dengan hal-hal yang disebutnya di atas.
Jawaban terhadap pertanyaan tersebut yang tentunya dibangun dari
pemahaman mahasiswa yang menjadi kesimpulan diskusi diharapkan dapat
menjadi motivasi bagi mahasiswa untuk bersungguh-sungguh mempelajari
materi ini mengingat keterkaitannya dengan materi dan matakuliah lainnya
dan pencapaian kompetensi alumni Kedokteran.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Bagimana bentuk-bentuk periwayatan hadis periode sahabat dan
tabiin?
1.2.2 Jelaskan alasan Khalifah Umar bin Abd al-Aziz menginstruksikan
pembukuan Hadis?
1.3 TUJUAN PEMBAHASAN
Setelah proses pembelajaran dosen-mahasiswa yang dipandu dengan
modul masing-masing, maka dosen dapat menggali capaian kompetensi
mahasiswa yang indikatornya adalah kemampuannya dalam hal:
1.3.1 Mahasiswa dapat mengetahui cara-cara penerimaan dan periwayatan
hadis pada periode Nabi saw.
1.3.2 Mahasiswa dapat mengemukakan hadis Nabi berkenaan dengan
larangan dan perintah menulis hadis.

1
MAKALAH ILMU HADIST

1.3.3 Mahasiswa dapat mengetahui bentuk-bentuk periwayatan hadis


periode sahabat dan tabiin.
1.3.4 Mahasiswa dapat mengetahui awal mula pertama instruksi pembukuan
Hadis.

2
MAKALAH ILMU HADIST

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Periwayatan Hadis Periode Sahabat dan Tabiin
Menurut Shubhi al-Shalih bahwa, sebagian sahabat menulis hadis
pada masa Rasululullah saw. , ada yang menulis dengan izin khusus
Rasulullah, dari larangan bersifat umum Di antara mereka mencatat dan
himpun nanti pada tahun-tahun terakhir kehidupan Nabi, sesudah beliau
memberi izin kepada sispa saja yang ingin dan sanggup melakukan
pencatatan hadis.
Di antara sahabat yang memiliki catatan hadis (shahifah) adalah,
Abdullah bin Amr bin al-Ash, Jabir bin Abdulah bin Amr al-Anshari, Abu
Hurairah, Abu Syah, Rafi bin Khadij, Amr bin Hazm, Ali bin Abu Thalib,
dan Ibn Mas'ud.. Catatan-catatan mereka, tertulis dalam pelepah kurma
secara utuh dan terjaga sampai pada suatu masa dibutuhkan maka catatan
tersebut diperlihatkan.
Otentisitas pemeliharaan hadis terutama di masa khulafaur rasyididin
lebih ketat. lagi Pada masa masa khalifah Abu Bakar, usaha penyaringan
diseleksi dengan cara persaksian (syahadah) riwayat yang disampaikannya.
Begitu pula pada zaman Umar bin al-Khattab, beliau menolak orang yang
meriwayatkan hadis tampa disertasi persaksian. Metode itu berlanjut di
zaman kekhalifahan Utsman bin Affan. Pada masa Ali bin Abi Thalib, selain
melalui persaksian juga harus bersumpah jika mendengar dari Nabi saw.
Jadi pada periode Nabi saw. sampai masa khulafaur rasyidin belum ada
upaya untuk menulis hadis dalam suatu kitab. Namun wujud hadis dalam
bentuk catatan atau tulisan tidak resmi telah tersebar di kalangan sahabat.
Masa penulisan hadis, terjadi di zaman tabiin, yakni abad pertama
Hijriah. Pada masa ini, hadis-hadis belum langsung ditulis secara
keseluruhan, lalu dibukukan. Tetapi, diawali dengan kegiatan perlawatan
mencari mencari hadis di berbagai tempat.
Tercatat beberapa kota yang menjadi pusat pembinaan dalam periwayatan
hadis sebagai tempat tujuan para tabiin dalam mencari hadis, yaitu Madinah,

3
MAKALAH ILMU HADIST

Mekkah, Kufah, Bashrah, Syam, Mesir, Andalus, Yaman, dan Khurasan. Di


kota-kota itu, masih terdapat beberapa sahabat ahli yang hidup. Di
Madinah misalnya, masih ada Abu Hurairah, Abdullah bin 'Umar, dan Abu
Sa'id. Di Mekkah, ada Mu'az bin Jabal, dan Haris bin Hisyam. Di Kufah,
ada Sa'ad bin Waqqas, dan Abdullah bin Mas'ud. Di Bashrah, ada Anas bin
Malik, dan Abdullah bin Abbas. Di Syam, ada Abu Ubaidah al-Jarh,
Abdullah bin Unais. Di Mesir, ada Amr bin al-Ash, dan Uqbah bin Amr.
Di Andalus, ada Mas'ud bin al-Aswad, dan Bilal bin Haris. Di Yaman, ada
Mu'az bin Jabal yang pernah diutus oleh Nabi saw. , menjadi hakim. Di
Khurasan, ada Buraidah bin Husai al-Asalmi
Begitu antusiasnya para tabiin melawat ke kota-kota di mana para ahli
hadis menetap, merupakan bukti bahwa di masa itu, upaya pengkajian hadis
mengalami perkembangan yang signifikan dibanding masa sebelumnya.
Mengenai kondisi perlawatan mencari hadis masa yang dialami para tabiin
ini, oleh Shubhi al-Shalih menyatakannya bahwa, Para perawi tidak merasa
puas hanya menimba ilmu dari penduduk negeri sendiri, atau dari satu kota
saja, baik yang jauh maupun yang dekat dengan tempat tinggalnya. Karena
itu, berlawat mencari hadis ke negeri-negeri yang jauh menjadi dambaan
utama mereka. Dengan begitu, mereka bisa memperoleh ilmu dari sumber-
sumber yang pertama. Mereka juga bisa mewujudkan keyakinannya, yaitu
bahwa mendapatkan kemampuan melalui pengajaran langsung akan efektif
dan lebih berbekas. Misalnya Jabir bin Abdullah membeli seekor unta, yang
dipacunya menuju Syam selama sebulan hanya untuk menemui Abdullan bin
Unais untuk bertanya tentang hadis yang menyangkut masalah qishas. Tabiin
lain seperti Sa'id bin Musayyab berkata, "
( Sungguh aku rela melawat berhari-hari dan bermalam-malam hanya
untuk mencari satu hadis). Demikian pula Abi Qalabah menyatakan, "
( Aku pernah tinggal tiga
hari di Madinah, keperluanku hanya bertemu dengan seorang yang memiliki
satu hadis dan aku mendengar hadisnya)".Sampai pada gilirannya
memasuki akhir abad I Hijriah, atau memasuki awal abad kedua Hijriah

4
MAKALAH ILMU HADIST

tulisan-tulisan tentang hadis semakin banyak ditemukan, namun tidak


tertata dengan baik, yakni belum memiliki metode tersendiri.
2.2 Sejarah Pembukuan Hadis
Agar penulisan hadis-hadis tetap mentradisi, maka keluarlah instruksi
resmi dari khalifah Umar bin Abd al- Azis dilatar belakangi oleh dua alasan
pokok sebagai berikut :
a. Para ulama hadis telah tersebar ke berbagai negeri dan dikhawatirkan
hadis akan hilang (musnah) bersama dengan wafatnya mereka, sementara
generasi penerus diperkirakan tidak menaruh perhatian dalam
memelihara hadis.
b. Banyak berita yang diada-adakan oleh kaum mubtadi, seperti Khawarij,
Syiah, Murjiah, dll.
Setelah adanya instruksi secara resmi dari khalifah Umar bin Abd al-Azis
untuk menulis lalu menghimpun hadis-hadis, maka dimulailah pada fase
berikutnya yakni abad kedua dan ketiga Hijriah., yaitu periode pertumbuhan
dan perkembangan hadis di mana hadis-hadis mulai dibukukan
(tadwin=kodifikasi) dan mulai menggunakan berbagai metode tertentu
supaya hadis-hadis lebih ekektif, yakni tertata dengan baik sesuai dengan
masalah yang dibutuhkan dan dihadapi oleh umat Islam.
Instruksi Khalifah Umar bin Abd al-Aziz itu ditindak lanjuti oleh Ibn
Hazm dan Ibn Syihab al-Zuhri. Kedua ulama inilah yang mula-mula
membukukan hadis. Hanya saja, belum ditemukan sumber yang akurat nama
judul kitab Ibn Hazm tersebut. Sehingga dapat prediksi bahwa tulisan-tulisan
hadis Ibn Hazm masih merupakan kumpulan hadis secara umum. Di dalam
kitab itu belum terekam seluruh hadis yang ada di Madinah. Sebab menurut
Hasbi Ash-Shiddieqy, seluruh hadis yang tersebar di Madinah telah
dibukukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri, namun sangat disayangkan karya Ibn
Hazm dan Ibn Syihab al-Zuhri ini sudah tidak ditemukan, dan sampai
sekarang tidak diketahui dimana keberadaannya. Kecuali Malik ibn Anas,
ulama hadis abad kedua Hijriah, karya hadisnya berupa buku al-Muwaththa
masih terwaris-kan sampai saat ini. Muncul juga kemudian kitab Musnad dari

5
MAKALAH ILMU HADIST

Ahmad bin Hanbal. Setelah itu baru menyusul kitab shahih al-Bukhaiy,
Muslim, sunan Abu Dawud, al-Turmuziy, al-Nasaiy, Ibn Majah, dll.
Pada awal masa pembukuan, masih bercampurbaur (tergabung) hadis-
hadis dengan fatwa-fatwa sahabat, pembahasannya juga bergabung antara
fikih dan tafsir.. ulama yang membukukan hadis, fikih dan tafsir ketika itu di
Mekkah adalah Ibn Juraij; di Syam, al-Auzai; di Bashrah, Ibn Abi Arubah; di
Yaman, Ma'mar al-Azdiy; di Kufah, Sufyan al-Tsauriy, tapi penyusunannya
sudah mulai secara sisitimatis. Jadi sistem pembukuan mereka, bukan dengan
cara menyaring hadisnya tetapi mementingkan materi yang disampaikan.
Mereka tidak membukukan hadis-hadis saja, bahkan di samping fatwa-fatwa
sahabat, fatwa-fatwa sahabat tabiin juga dimasukkan ke dalam bukunya
secara bersama-sama. Maka terdapatlah di dalam kitab-kitab itu hadis-hadis
marfu', mauquf, maqtu' dan selainnya. Perkembangannya berikutnya,
terutama memasuki abad ketiga Hijriah, mulai dipisahkan hadis-hadis tafsir
dari umum hadis dan mulai pula dipisahkan hadis-hadis sirah. Yang mula-
mula memisahkan hadis-hadis yang berpautan dengan sirah, ialah
Muhammad ibn Ishaq ibn Yassar.

6
MAKALAH ILMU HADIST

BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.1.1 Pada periode Nabi saw. sampai masa khulafaur rasyidin belum ada
upaya untuk menulis hadis dalam suatu kitab. Namun wujud hadis
dalam bentuk catatan atau tulisan tidak resmi telah tersebar di kalangan
sahabat.
3.1.2 Pada awal masa pembukuan, masih bercampurbaur (tergabung)
hadis-hadis dengan fatwa-fatwa sahabat, pembahasannya juga
bergabung antara fikih dan tafsir.. ulama yang membukukan hadis,
fikih dan tafsir ketika itu di Mekkah adalah Ibn Juraij; di Syam, al-
Auzai; di Bashrah, Ibn Abi Arubah; di Yaman, Ma'mar al-Azdiy; di
Kufah, Sufyan al-Tsauriy, tapi penyusunannya sudah mulai secara
sisitimatis.
3.2 SARAN
Semoga pembaca dapat melmelajari dan mengerti mengenai
pembahasan dalam makalah ini dengan baik.

7
MAKALAH ILMU HADIST

DAFTAR PUSTAKA

Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi wa al-Naysaburi, Shahih Muslim, juz IV
(Beirut: Dar al-Afaq al-Islamiyah, 1977), h. 2298.

Abu Abdillah Muhammad bin al-Mughirah bin Ismail al-Bardizbah al-Bukhariy, Shahih
al-Bukhary, juz I (Bairut: Dar al-Fikr, t.th), h. 32.

Muslim, ibid., juz II, h.988-989.

M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual; Telaah Ma'ani al-Hadits
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Cet. I; Jakarta:
Bulan Bintang, 1994), h. 82.

Anda mungkin juga menyukai