Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Neuropati diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi kronis yang paling sering
ditemukan pada diabetes melitus. Resiko yang dihadapi pasien DM dengan ND ialah infeksi
berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi jari/kaki. Kondisi inilah yang
menyebabkan bertambahnya angka kesakitan dan kematian.1

Prevalensi ND dalam berbagai literatur sangat bervariasi. Penelitian di Amerika Serikat


memperlihatkan bahwa 10-20% pasien saat ditegakkan DM telah mengalami neuropati.
Prevalensi neuropati diabetika ini akan meningkat sejalan dengan lamanya penyakit dan tingginya
hiperglikemia. Diperkirakan setelah menderita diabetes setelah 25 tahun, prevalensi neuropati
diabetika akan mencapai 50%.2

Dianggap bahwa hiperglikemia persisten merupakan faktor primer terjadinya ND. Faktor
metabolik ini bukan satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap terjadinya neuropati diabetik,
tetapi teori lain yang diterima ialah teori vaskular, autoimun dan nerve growth factor. Ada yang
menyebutkan bahwa selain peran kendali glikemik, kejadian neuropati juga berhubungan dengan
resiko kardiovaskular yang potensial masih dapat dimodifikasi.1

Manifestasi ND bisa sangat bervariasi, mulai dari tanpa keluhan dan hanya bisa terdeteksi
dengan pemeriksaan elektrofisiologis, hingga keluhan nyeri yang hebat. Bisa juga keluhannya
dalam bentuk neuropati lokal atau sistemik, yang semua itu bergantung pada lokasi dan jenis saraf
yang terkena lesi.1

Mengingat terjadinya ND merupakan rangkaian proses yang dinamis dan bergantung pada
banyak faktor, maka pengelolaan atau pencegahan ND pada dasarnya merupakan bagian dari
pengelolaan diabetes secara keseluruhan.1

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Neuropati diabetik merupakan suatu gangguan yang mengenai saraf, yang disebabkan oleh
diabetes mellitus. Bila menderita diabetes lama, maka dapat terjadi kerusakan pada saraf diseluruh
badan. Ada pada beberapa orang yang mengalami kerusakan saraf tidak menunjukkan gejala. Ada
juga yang merasakan nyeri, kesemutan atau baal pada tangan, kaki, telapak tangan dan kaki. Juga
bisa terjadi gangguan pada sistem organ, termasuk traktus digestivus, jantung dan organ seks.
Nyeri neuropatik dapat terjadi karena disfungsi neuronal sistem somatosensorik dari saraf perifer.1

Sekitar 60-70% penderita diabetes menderita neuropati. Resiko meningkat berhubungan


dengan umur dan resiko tertinggi terjadinya neuropati yaitu pada penderita yang telah menderita
diabetes lebih dari 25 tahun.1

2.2 Epidemiologi

ND paling sering terjadi pada yang berumur lebih dari 50 tahun, lebih jarang pada yang
berumur kurang dari 30 tahun dan sangat jarang ditemukan pada anak-anak. Dyck dan teman-
temannya mempelajari diabetes di Rochester, Minnesota dan menemukan bahwa 54% tipe 1
(insulin-dependent) dan 45% tipe 2 (noninsulin-dependent) mengalami polineuropati.1

Neuropati muncul pada 7,5% pasien yang didiagnosis dengan DM. Lebih dari setengahnya
adalah distal simetris polineuropati. Tidak ada predileksi ras yang khusus untuk diabetik neuropati.
Tetapi orang yang berkulit hitam lebih besar untuk terjadi komplikasi sekunder dari neuropati
diabetik, seperti amputasi dari extremitas bawah dibandingkan orang berkulit putih. DM mengenai
baik pria maupun wanita sama jumlahnya. Walaupun, pasien pria dengan tipe 2 diabetes dapat
terkena polineuropati lebih awal dibandingkan wanita. Neuropati diabetik biasanya lebih sering
terjadi pada orang tua.2

2
2.3 Patologi

Secara morfologik kelainan sel saraf pada neuropati diabetik ini terdapat pada sel-sel
Schwann selain mielin dan akson. Kelainan yang terjadi terutama tergantung pada derajat dan
lamanya mengidap DM. Perubahan patologis dasar dalam hubungannya dengan patofisiologi
neuropati meliputi demielinisasi segmental, degenerasi aksonal dan degenerasi Wallerian.3

a. Demielinisasi Segmental

Segmen-segmen internodal saraf perifer mengalami demielinisasi, sedang


akson masih dalam keadaan utuh. Meskipun demieliniasi telah terjadi secara luas,
namun seringkali aksonnya tidak mengalami perubahan degeneratif. Seringkali setelah
mengalami demielinisasi, serabut saraf menunjukkan adanya proses regenerasi berupa
remielinisasi, jumlah sel Schwann akan bertambah banyak. Jika proses patologis
tersebut berlangsung secara kronis dengan proses demielinisasi dan remielinisasi yang
berulang-ulang, akan terjadi proliferasi yang konsentrik dari sel Schwann, sehingga
satu struktur seperti lapisan bawang merah yang disebut onion bulb, yang dengan
palpasi akan teraba benjolan-benjolan pada saraf.4

b. Degenerasi Aksonal

Penyebab degenerasi aksonal berupa gangguan nutrisi, metabolik atau toksik


sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme badan sel, transpor aksonal serta
fungsi-fungsi lainnya. Bagian ujung distal akson yang pertama mengalami degenerasi
dan apabila proses terus berlanjut degenerasi akan berjalan ke arah proksimal. Proses
ini menimbulkan suatu keadaan yang dikenal sebagai dying back neuropathy.4

c. Degenerasi Wallerian

Suatu trauma mekanik, khemis, termis ataupun iskemik lokal yang


menyebabkan terputusnya satu serabut saraf secara mendadak, akan diikuti oleh suatu
proses degenerasi aksonal di sebelah distal tempat terjadinya perlukaan, yang
kemudian diikuti terputusnya mielin secara sekunder. Proses tersebut dikenal sebagai
degenerasi Wallerian. Kelainan mulai timbul antara 12-36 jam setelah terjadi
perlukaan saraf. Perubahan awal didapatkan pada akson yang terletak di dalam atau di

3
sekitar nodus Ranvier sepanjang saraf disebelah distal dari tempat perlukaan.
Perubahan yang sama juga terjadi pada akson di sekeliling nodus Ranvier tepat di
sebelah proksimal dari tempat perlukaan. Sel Schwann pada bagian ini akan
mengalami proloferasi hebat. Makrofag endoneuron akan membantu sel Schwann
dalam menghancurkan mielin yang rusak.4

2.4 Patofisiologi

Beberapa faktor yang menyebabkan neuropati diabetik :

1. Faktor Vaskuler

Pada pasien DM yang lama seringkali sudah terjadi mikroangiopati yang


menjadi dasar komplikasi kronik DM berupa retinopati, nefropati dan neuropati.
Penelitian membuktikan bahwa hiperglikemia juga mempunyai hubungan dengan
kerusakan mikrovaskular. Hiperglikemia persisten merangsang produksi radikal
bebas oksidatif yang disebut Reactive Oxygen Species (ROS). Radikal bebas ini
membuat kerusakan endotel vascular dan menetralisasi NO, yang berefek
menghalangi vasodilatasi mikrovaskular sehingga menurunkan penyediaan darah
pada saraf yang terkena. Mekanisme kelainan mikovaskular tersebut dapat melalui
penebalan membran basalis yang menyebabkan kerusakan blood nerve barrier;
thrombosis pada arteriol intraneural; peningkatan agregrasi trombosit dan
berkurangnya deformabilitas eritrosit; berkurangnya aliran darah saraf dan
peningkatan resistensi vascular; pembengkakan dan demielinisasi pada saraf akibat
iskemia akut. Proses iskemik ini juga menyebabkan terganggunya transport
aksonal, aktivitas Na-K-ATPase yang akhirnya menimbulkan degenerasi akson.1,2,3

2. Faktor Metabolik

Kondisi hiperglikemia menyebabkan glukosa dan metabolitnya dipakai oleh


beberapa jalur. Beberapa teori yang diajukan untuk menerangkan dampak negative
hiperglikemia adalah:

4
2a. Penumpukan sorbitol (Polyol pathway)

Hiperglikemia menyebabkan kadar glukosa intraseluler yang


meningkat, sehingga terjadi kejenuhan (saturation) dari jalur glikolitik yang
biasanya digunakan. Hiperglikemia persisten menyebabkan aktivitas jalur
poliol meningkat, yaitu terjadi aktivasi enzim aldose-reduktase, yang
merubah glukosa menjadi sorbitol, yang kemudian dimetabolisasi oleh
sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. Akumulasi sorbitol dan fruktosa
dalam sel saraf merusak sel saraf melalui mekanisme yang belum jelas.
Salah satu kemungkinannya adalah akibat akumulasi sorbitol dalam sel
saraf menyebabkan keadaan hipertonik intraselular sehingga
mengakibatkan edem saraf. Reaksi poliol ini juga menyebabkan turunnya
persediaan NADPH saraf yang merupakan kofaktor penting dalam
metabolisme oksidatif. Karena NADPH merupakan kofaktor untuk
glutathion dan nitric oxide synthase (NOS), pengurangan kofaktor tersebut
membatasi kemampuan saraf untuk mengurangi radikal bebas dan
penurunan nitric oxide (NO). Penurunan NO mengakibatkan vasodilatasi
berkurang, aliran darah ke saraf menurun, dan bersama rendahnya
mioinositol dalam sel saraf, terjadilah neuropati diabetik.1,2,3

2b. Penurunan kadar mioinositol

Mioinositol berperan dalam transmisi impuls, transport elektrolit,


dan sekresi peptida. Peningkatan sintesis sorbitol berakibat terhambatnya
mioinositol masuk ke dalam sel saraf. Penurunan mioinositol dan akumulasi
sorbitol secara langsung menimbulkan stress osmotic yang akan merusak
mitokondria dan akan menstimulasi protein kinase C (PKC). Aktivasi PKC
ini akan menekan fungsi Na-K-ATP-ase, sehingga kadar Na intraseluler
menjadi berlebihan, yang berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke
dalam saraf sehingga terjadi gangguan transduksi sinyal pada saraf.
Aktivasi Protein Kinase C (PKC) juga berperan dalam patogenesis
neuropati perifer diabetika. Hiperglikemia di dalam sel meningkatkan
sintesis atau pembentukan diacylglyserol (DAG) dan selanjutnya

5
peningkatan protein kinase C. Protein kinase juga diaktifkan oleh stress
oksidatif dan advanced glycosilation products (AGEs). Aktivasi protein
kinase C menyebabkan peningkatan permeabilitas vascular, gangguan
sintesis nitric oxyde (NO) dan perubahan aliran darah.1,2,3

2c. Glikosilasi non enzimatik

Kondisi hiperglikemia yang berlangsung lama akan menyebabkan


terjadinya proses glikosilasi protein dengan hasil akhir terbentuknya
advanced glycosilated end products (AGEs) dimana AGEs sangat toksik
dan merusak protein tubuh, termasuk sel saraf. Glikosilasi dari protein saraf
ini akan menyebabkan terbentuknya glycosilated myelin yang mempunyai
reseptor spesifik dan akan difagositosis oleh makrofag. Serangan sel-sel
makrofag tersebut akan menyebabkan hilangnya mielin pada saraf tepi,
dengan akibat terjadinya gangguan fungsi sel saraf tersebut.

C. Faktor Autoimun

Peran antibodi berperan dalam mekanisme patogenesis neuropati diabetik


adalah adanya antineural antibodies pada serum sebagian penyandang DM.
Autoantibodi yang beredar ini secara langsung dapat merusak struktur saraf
motorik dan sensorik yang bisa dideteksi dengan immunofloresens indirek.
Neuropati autoimun bisa terjadi karena perubahan imunogenik dari sel endotel
kapiler.1

D. Peran Nerve Growth Factor (NGF)

NGF berupa protein yang memberi dukungan besar terhadap serabut saraf
dan neuron simpatis. Pada pasien dengan DM terjadi penurunan NGF sehingga
transport aksonal yang retrograde (dari organ target menuju badan sel) terganggu.
Penurunan kadar NGF pada kulit pasien DM berkorelasi positif dengan adanya
gejala awal small fibers sensory neuropathy.1

6
2.5 Manifestasi Klinik

Gejala tergantung dari tipe neuropati dan tergantung dari saraf mana yang terkena. Gejala
biasanya tidak terlalu kelihatan pada awalnya, dan biasanya gejala karena kerusakan saraf baru
terlihat beberapa tahun kemudian. Gejala dapat meliputi sistem saraf sensorik, motorik dan
otonom. Pada beberapa orang dengan neuropati fokal, onset nyerinya dapat tiba-tiba dan berat.3

Gejala neuropati perifer antara lain :3,7

- Rasa tebal atau kurang merasakan nyeri atau suhu

- Rasa seperti kesemutan, seperti terbakar atau seperti ditusuk-tusuk

- Nyeri yang tajam terasa di jari kaki, kaki, tungkai, tangan, lengan dan jari tangan

- Kehilangan keseimbangan dan koordinasi

- Mengecilnya otot-otot kaki dan tangan

- Rasa tebal, kesemutan atau nyeri di telapak kaki, kaki, tangan, telapak tangan dan jari-jari

- Gangguan pencernaan seperti mual, muntah

- Masalah miksi (inkontinensia urin)

- Disfungsi ereksi

- Disesthesia (penurunan atau hilangnya sensibilitas ke tubuh)

2.6 Klasifikasi Neuropati Diabetika

1. Simetris

1a. Distal sensory polineuropati

Bentuk ini paling banyak dijumpai dengan gejala-gejala yang sifatnya


simetris dan berlangsung kronis. Pada permulaan biasanya gangguan pada serabut-
serabut halus (small fiber) ditemukan gejala sensibilitas, dapat berupa parestesi,
rasa tebal, rasa nyeri, rasa panas seperti terbakar dan rasa keram pada bagian distal
tungkai. Hipalgesia/analgesia dapat berupa sarung tangan atau kaos kaki (glove and

7
stocking) dan kondisi seperti ini memudahkan terjadinya trauma/ulkus pada kaki,
keluhan ini menjalar ke bagian tungkai dan jari kaki dan makin buruk saat malam
hari.8

Degenerasi serabut-serabut kasar (large fiber) menyebabkan gangguan


proprioseptif seperti berkurangnya rasa vibrasi/gangguan rasa posisi dapat pula
ditemukan, kadang-kadang ataksia dapat dijumpai. Lebih jauh bisa pula timbul
kelainan motorik seperti atrofi, refleks tendo menurun sampai menghilang pada
bagian distal dari ekstremitas.10

Refleks Achilles tidak ada dan kadang-kadang refleks patella juga tidak
terdapat refleks. Hilangnya refleks tersebut dapat menyebabkan perubahan cara
berjalan dan dapat terjadi deformitas pada kaki seperti hammertoes. Terdapat
kelemahan otot, tetapi pada beberapa pasien distal sensory neuropathy dikombinasi
dengan kelemahan pada bagian proximal. Selain itu, juga ditemukan ataksia dan
atoni dari kandung kemih.7

1b. Neuropati otonom

Pada neuropati otonom, meliputi kombinasi dari disfungsi pupil dan


lakrimal, reflex vascular, diare nocturnal yang disebabkan kerusakan pada
esophagus dapat menyebabkan kesukaran menelan sedangkan kerusakan pada usus
menyebabkan konstipasi bergantian dengan diare yang sering dan tak terkontrol
terutama pada malam hari dan karena hal ini dapat menyebabkan turunnya berat
badan., atonik pada traktus gastrointestinal (gastroparesis), dan dilatasi kandung
kemih, impotensi seksual, dan hipotensi postural.3 Hipotensi postural disebabkan
karena kerusakan saraf di system kardiovaskuler sehingga menganggu kemampuan
badan untuk mengatur tekanan darah dan denyut jantung sehingga tekanan darah
dapat turun dengan mendadak setelah duduk atau berdiri dan dapat menyebabkan
penderita pingsan.3,8

Jenis neuropati ini mengenai saraf yang mengontrol jantung, mengurus


tekanan darah dan mengatur gula darah. Juga mengenai organ dalam yang
menyebabkan gangguan pada pencernaan, pernapasan, miksi, respons seksual dan

8
penglihatan. Manifestasi gangguan saraf otonom berupa hiperhidrosis, diare
noktural, atoni kandung kemih.3,8

1c. Simetric proximal lower limb motor neuropathy (amyotrophy)

Menurut Asbury, proximal neuropati merupakan variasi diabetik


radikulopati, yakni kelemahan pada otot dari pelvic girdle yang terjadi secara pelan-
pelan dalam beberapa hari atau minggu. Gejala awal berupa timbulnya rasa nyeri
seakan-akan ditusuk pisau di daerah lumbosakral dan meluas ke paha secara
simetris bilateral. Lebih jauh bisa timbul kelemahan otot femoral sampai atrofi
sehingga penderita kalau jalan sering jatuh.8

Bisa pula gejala-gejala timbul asimetri yang dikenal dengan asimetrik /


focal peripheral neuropathy. Adanya atrofi ini menyebabkan keadaan ini disebut
pula sebagai diabetic amyotrophy oleh karena ada anggapan bahwa lesi terdapat
pada kornu anterior. Ada pula yang menyebut sebagai femoral neuropathy atau
sacral plexopathy.8

Biasanya proximal neuropathy dijumpai pada penderita diabetes yang


berumur 50 tahun ke atas, dimana terdapat penurunan berat badan yang menyolok
dan gangguan metabolik yang hebat. Otot yang sering diserang ialah kuadriceps
femoris, ileopsoas dan abduktur paha. Laki-laki lebih banyak dijumpai daripada
perempuan dan dijumpai pada penderita dengan kontrol gula yang jelek. Prognosa
baik bila gangguan metabolik dikoreksi pada waktunya.8

2. Asimetris

2a. Cranial Mononeuropati

Kelainan pada cranial mononeuropati ini disebabkan karena pada awalnya


terjadi iskemik yang didapatkan pada degenerasi Wallerian dan pada degenerasi
aksonal dimana terjadi dying back type neuropati.8

Terjadinya diabetik oftalmoplegia biasa sering terjadi. Terjadi kerusakan


pada N.III, N.IV dan N.VI. Pada hasil autopsi yang dikerjakan oleh Dreyfus dll
ditemukan lesi infark ditengah pada retroorbital pada N.III. Biasanya cranial

9
mononeuropati terjadi karena adanya infark pada saraf yang terjadi pada patologi
neuropati diabetik.8

2b. Truncal Neuropathy / Nyeri Radikular

Bisa berupa brachial dan lumbar plexopathy. Nyeri radikuler dan anestesia
mengikuti dermatom. Biasa dijumpai pada penderita diabetes yang berumur tua.
Radiks anterior dan posterior bergabung menjadi satu berkas di foramen
intravertebrale. Berkas itu dinamakan saraf spinal. Baik iritasi pada serabut-serabut
sensorik di bagian radiks posterior maupun di bagian saraf spinal itu
membangkitkan nyeri radikular. Nyeri radikular yaitu nyeri yang terasa berpangkal
pada tingkat tulang belakang tertentu dan menjalar sepanjang kawasan dermatomal
radiks posterior yang bersangkutan.7,8

Medula spinalis yang terkena paling sering adalah lumbal. Nyeri yang
dirasakan dapat berat, dimulai dari punggung bawah dan menjalar ke bagian
tungkai bawah pada satu sisi tungkai. Refleks patella akan hilang pada tungkai yang
terkena neuropati. Hiperestesia sering ditemukan pada nyeri radikular.8

2c. Entrapment syndromes

Pada penderita diabetes biasanya juga terjadi kompresi saraf (entrapment


syndromes) antara lain sindrom terowongan karpal (Carpal Tunnel Syndrome) yang
seringkali terjadi dan menyebabkan rasa tebal dan kesemutan di tangan dan kadang-
kadang disertai kelemahan atau nyeri. CTS termasuk ke dalam polineuropati
diabetik sensori. Ini disebabkan karena adanya patofisologi dari neuropatik diabetik
itu sendiri, seperti glikolisis, jalur poliol dan lain-lain. CTS ini disebabkan karena
gula darah yang tinggi sehingga protein di tendon menjadi glikosilasi, glukosa
menempel pada protein tendo sehingga menginflamasi tendo dan tendo jadi
berkurang gerakannya.7,8

2.7 Pemeriksaan

Pemeriksaan pada neuropati diabetik yaitu pemeriksaan fisik, dimana diperiksa tekanan
darah, denyut jantung, kekuatan otot, refleks, dan raba halus. Pemeriksaan kaki yang

10
komprehensif yaitu dengan cara memeriksa kulit, apakah ada luka atau tidak.3 Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan pada penderita neuropati diabetik meliputi:3

a. Pemeriksaan Laboratorium

Periksa laboratorium untuk mengetahui apakah gula darah dan HbA1c pada
diabetes tidak terkontrol dengan baik atau yang belum diketahui.3

b. Pemeriksaan Imaging
CT mielogram adalah suatu pemeriksaan alternative untuk menyingkirkan
lesi kompresi dan keadaan patologis lain di kanalis spinalis pada
radikulopleksopati lumbosakral dan neuropati torakoabdominal.
MRI digunakan untuk menyingkirkan aneurisma intracranial, lesi kompresi
dan infark pada kelumpuhan n.okulomotorius
c. Elektromiografi (EMG)

KHS motorik dimonitor dengan amplitude dari CMAP (Componed Muscle


Action Potensials) atau diukur kecepatan hantar saraf motoriknya. Kelainan hantar
saraf menggambarkan kehilangan serabut saraf yang bermielin yang berdiameter besar
dan biasanya tungkai lebih sering terkena dibandingkan lengan. Hal ini mencerminkan
degenerasi serabut saraf berdiameter besar, yang tergantung dari panjangnya saraf.3

KHS motorik tak boleh menurun lebih dari 50% dibandingkan dengan nilai
rata-rata normal

Kelainan pada kecepatan hantar sensorimotorik dapat ditemukan pada pasien


diabetes, walaupun secara klinis belum ada gejala polineuropati distal simetris.
Abnormalitas kecepatan hantar saraf umumnya ditemukan di saraf sensorik (N.suralis,
N.peroneus dan N.medianus)3

EMG menunjukkan bagaimana respons otot terhadap signal elektris yang


ditransmisi oleh saraf dan ini dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan KHS.
Pemeriksaan EMG pada otot-otot distal pada ekstremitas bawah menunjukkan adanya
denervasi dalam bentuk PSW (positive sharp waves) dan fibrilasi (spontaneous
discharges). Perubahan re-inervasi seperti unit potensial yang mempunyai amplitude

11
tinggi, duration yang panjang mencerminkan adanya suatu gangguan yang kronis.
Kelainan pada otot-otot paraspinal dengan pemeriksaan dengan jarum menunjukkan
spontaneous discharges, yang ditemukan secara bilateral dan menunjukkan suatu
poliradikulopati.3

2.8 Pencegahan
1. Pemeriksaan berkala untuk glukosa darah
2. Pengendalian Glukosa Darah

Hal yang pertama dapat dilakukan adalah pengendalian glukosa darah dan monitor
HbA1c ssecara berkala dan dijaga kadar HbA1c agar dipertahankan dibawah 7%. Di
samping itu pengendalian factor metabolic lain seperti hemoglobin, albumin, dan lipid
sebagai komponen tak terpisahkan juga perlu dilakukan.1

3. Diet dan olahraga teratur

2.9 Penatalaksanaan

Non medika mentosa

a. Foot Hygiene

Penderita neuropati harus memperhatikan dan merawat kakinya dengan


seksama. Hilangnya perasaan di kaki, bila ada lecet dan luka yang tidak diketahui dapat
menjadi suatu ulkus atau mengalami infeksi. Gangguan dalam sirkulasi darah juga akan
meningkatkan resiko terjadinya ulkus pada kaki.3

Karena hal itu, perawatan kaki harus dilakukan secara benar dan hati-hati untuk
mencegah terjadinya amputasi. Caranya adalah :3

- Kaki harus dibersihkan setiap hari dengan menggunakan air hangat. Harus
dihindari pembasahan kaki yang berlebihan dan harus menggunakan handuk yang
lembut dan kaki dikeringkan secara hati-hati terutama diantara jari-jari kaki.

12
- Kaki dan jari kaki harus diperiksa setiap hari dengan mencari apakah ada luka,
kemerahan, pembengkakan.
- Harus selalu memakai sepatu atau sandal untuk melindungi kaki jangan sampai luka
dan kulit harus dicegah agar jangan sampai terjadi iritasi.
- Pemakaian sepatu yang cocok dan harus diperhatikan bagian dalamnya agar supaya
tidak ada ujung-ujungnya yang tajam dan dapat melukai kaki.
b. Diet agar mencapai berat badan ideal
c. Fisioterapi
- TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation) adalah stimulasi listrik yang
digunakan untuk menghilangkan nyeri, yang digunakan frekuensi rendah untuk
menyembuhkan kaku, mobilisasi, menghilangkan nyeri neuropatik, menurunkan
edema dan memperbaiki ulkus pada kaki.
- Program exercise, dapat mencegah terjadinya kontraktur, spasme otot dan atrofi
otot. Dapat melakukan olahraga seperti berenang dan sepeda.

Medika Mentosa

Pengobatan sebaiknya diberikan untuk memperbaiki neuropati atau berlanjutnya


komplikasi dari DM. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah kontrol glikemik dimana
dengan upaya menurunkan gula darah ke level yang normal untuk mencegah kerusakan yang lebih
lanjut; diperlukan monitoring gula darah, pengaturan diet dan exercise. Kontrol gula darah yang
ketat bisa menurunkan resiko neuropati 60% dalam 5 tahun.1

Terapi kausatif :

Aldose reduktase inhibitor

Golongan aldose reductase inhibitor, yang berfungsi menghambat


penimbunan sorbitol dan fruktosa, dengan cara memblok pemecahan glukosa yang
spesifik melalui jalur poliol. Diberikan tolrestat 200 mg/hari.7

Asam alfa lipoik (ALA)

13
Merupakan zat antioksidan yang sangat kuat. Dapat meningkatkan fungsi
endotel vaskuler. ALA merupakan antioksidan enzimatik yang penting yaitu
glutation yang berfungsi juga sebagai antihiperglikemik sehingga dapat
menurunkan glukosa sampai 50% bila diberikan dalam dosis 1200 mg iv per hari.
ALA juga dapat menurunkan glycosylated hemoglobin melalui penurunan gula
darah.7
Imunoglobulin (IVIg)

Intravena immunoglobulin adalah kumpulan plasma donor yang digunakan


untuk penyakit autoimun. IVIg merupakan immunoglobulin yang berasal dari darah
donor dengan titer antibodi yang tinggi terhadap antigen tertentu seperti virus dan
toksin. Diharapkan kumpulan berbagai antibodi ini memiliki efek netralisasi
terhadap system imun pasien. IVIg dosis besar (2g/kgBB) terbukti efektif untuk
berbagai keadaan penyakit imun. Efek immunomoduler IVIg adalah inhibisi
complement deposition dan neutralisasi sitokin. Tersedia dalam larutan 5 dan 10%
dan bubuk 2,5 g, 5 g, 10 g dan 12 g untuk injeksi. Efek samping yang dapat timbul
adalah mialgia, takikardi, sakit kepala, nausea dan hipotensi.8

Terapi yang dapat diberikan untuk mengurangi nyeri yaitu :

NSAID

Menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat


menjadi PGG2 menjadi terganggu. Enzim siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform
disebut COX-1 dan COX-2. Berfungsi sebagai antiinflamasi. Obat yang diberkan
berupa ibuprofen 600 mg 4x/hari, sulindac 200 mg 2x/hari. Efek samping yang sering
adalah tukak lambung yang kadang disertai anemia karena perdarahan lambung.7

Antidepresan Trisiklik (TCA)


Anti-depresan memiliki efek memblok reuptake dari serotonin dan norepinefrin
di SSP, sehingga meningkatkan aktifitas dari system modulasi nyeri endogen.

14
Mekanisme kerja anti depresan trisiklik (TCA) terutama mampu memodulasi
transmisi dari serotonin dan norepinefrin (NE). Anti depresan trisiklik menghambat
pengambilan kembali serotonin (5-HT) dan noradrenalin oleh reseptor presineptik.
Disamping itu, anti depresan trisiklik juga menurunkan jumlah reseptor 5-HT
(autoreseptor), sehingga secara keseluruhan mampu meningkatkan konsentrasi 5-HT
dicelah sinaptik. Hambatan reuptake norepinefrin juga meningkatkan konsentrasi
norepinefrin dicelah sinaptik. Peningkatan konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik
menyebabkan penurunan jumlah reseptor adrenalin beta yang akan mengurangi
aktivitas adenilsiklasi. Sehingga akan menyebabkan nyeri berkurang.

TCA meliputi imipiramine, amitriptilin, dan nortriptilin. Obat-obatan ini efektif


untuk menurukan nyeri tetapi dapat menimbulkan efek samping berupa dose-
dependent. Salah satu efek samping TCA yaitu bersifat toksik. Ditandai dengan
hiperpireksia, hipertensi, konvulsi dan koma. Pada keracunan dapat menimbulkan
gangguan konduksi jantung dan aritmia. Pada dosis yang rendah dapat digunakan untuk
neuropati, keracunan jarang untuk dosis rendah. Yang lebih sering digunakan adalah
amitriptilin. Amitriptilin tersedia dalam bentuk tablet 10 mg dan 25 mg, dan dalam
bentuk larutan suntik 100 mg/10mL. Dosis permulaan 75 mg sehari.8

Serotonin-norepinefrin reuptake inhibitors (SSNRI)

SSNRI yaitu duloxetine disetujui untuk pengobatan neuropati diabetik, dan juga
venlafaxine juga dapat digunakan. Dengan menargetan serotonin dan norepinefrin,
obat ini dapat mengobati nyeri yang timbul karena neuropati diabetik dan juga
mengobati depresi jika ada.

Duloxetine diindikasikan untuk penanganan nyeri neuropatik yang


berhubungan dengan ND, walaupun mekanisme kerjanya dalam mengurangi nyeri
belum sepenuhnya dipahami. Hal ini mungkin berhubungan dengan kemampuannya
untuk meningkatkan aktivitas norepinephrin dan 5-HT pada sistem saraf pusat,
duloxetine umumnya dapat ditoleransi dengan baik, dosis yang dianjurkan yaitu
duloxetine diberikan sekali sehari dengan dosis 60 mg, walaupun pada dosis 120
mg/hari menunjukkan keamanan dan keefektifannya.7

15
Antiepileptic drugs (AED)

Pemanjangan dari saraf C nosiseptor dapat menyebabkan pengeluaran glutamate


yang bekerja pada reseptor N-Methyl-D-Aspartate (NMDA) di medulla spinalis.
Aktivasi dari reseptor NMDA menyebabkan neuron pada medulla spinalis menjadi
lebih responsive, yang mengakibatkan sensitisasi sentral. Pengaktifan itu dapat
mengakibatkan sel merespon terhadap nyeri. Maka dari itu, anti epilepsy dapat
digunakan untuk menghilangkan nyeri pada neuropati karena salah satu kerja
antiepilepsi adalah penurunan ekstimasi glutamate melalui blok reseptor NMDA.8

AED, khususnya gabapentin dan pregabalin adalah first line pengobatan pada
neuropati. Gabapentin dibandingkan amitriptilin dari segi efek dan efek samping lebih
minimal. Efek samping yang dapat muncul adalah sedasi. Gabapentin merupakan suatu
analog GABA yang berperan dalam metabolism GABA. Gabapentin menghambat
degradasi GABA, yaitu dengan mempengaruhi re-uptake. Dosis gabapentin (dewasa
dan anak > 12 tahun) adalah 900-1800 mg/hari. Efek sampingnya berupa ataxia, pusing,
sakit kepala, somnolen dan tremor.8

Pregabalin diindikasikan pada penanganan nyeri neuropatik untuk ND dan juga


PHN. Mekanisme kerja dari pregabalin diyakini sama dengan gabapentin. Pregabalin,
memblok Ca2+ masuk pada ujung saraf dan mengurangi pelepasan neurotransmitter.
Pada penderita ND yang nyeri, dosis maksimum yang direkomendasikan dari
pregabalin adalah 100 mg tiga kali sehari (300mg/hari). Pada pasien dengan creatinin
clearance 60 ml/min, dosis seharusnya mulai pada 50 mg tiga kali sehari
(150mg/hari) dan dapat ditingkatkan hingga 300mg/hari dalam 1 minggu berdasarkan
keampuhan dan daya toleransi dari penderita.8

Obat anti-epilepsy (AED) memiliki kemampuan mengurangi eksitabilitas


membran dan menekan terjadinya impuls saraf abnormal pada neuron. Hal ini terutama
berperan menekan proses yang terjadi pada sensitisasi, sehingga sering digunakan pada
nyeri neuropatik.8

Terapi tambahan :

16
Metilkobalamin

Merupakan satu-satunya derivate aktif dari vitamin B12 yang mempunyai


efek merangsang proteosintesis sel-sel Schwann dan dengan jalan transmetilasi
dapat menyebabkan mielogenesis dan regenerasi akson saraf dan memperbaiki
transmisi sinaps. Mempromosi sintesa fosfatidilkolin yang memperbaiki aktivitas
Na-K-ATPase. Dengan jalan transmetilasi dapat menyebabkan mielogenesis dan
menstimulasi regenerasi akson saraf dan memperbaiki transmisi pada saraf. Dosis
3x250 ug metilkobalamin.8

BAB III

PENUTUP

17
Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik DM dengan prevalensi dan
manifestasi klinis amat bervariasi. Dari beberapa factor terjadinya DM yang berperan pada
mekanisme patogenik neuropati diabetik, hiperglikemia berkepanjangan sebagai komponen factor
metabolic merupakan dasar utama pathogenesis neuropati diabetik.

Oleh karena itu, dalam pencegahan dan pengelolaan neuropati diabetik pada pasien DM, yang
penting ialah diagnosis diikuti pengendalian glukosa darah dan perawatan kaki sebaik-baiknya.
Juga perlu diperhatikan pengobatan yang diterapkan dalam upaya penyembuhan.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Subekti I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2006.h.1902-4
2. National Diabetes Information Clearinghouse. Diabetic Neuropathies: The Nerve Damage
of Diabetes.
3. Priyantono T. Faktor-faktor Resiko yang Berpengaruh Terhadap Timbulnya Polineuropati
pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2. 2005.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Konsensus Nasional 1 Diagnostik dan
Penatalaksanaan Nyeri Neuropatik. Surabaya : Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair;
2011.h.33-6
5. Wibowo S, Gofir A. Farmakoterapi dalam Neurologi. Jakarta : Penerbit Salemba Medika;
2001.h.145-7
6. Adams and Victors. Principles of Neurology. United States of America : Palatino;
2009.p.1277-9,1319
7. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Jakarta : Dian Rakyat; 2010.h.121-
2
8. Gunawan SG, Setiabudy R. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : FKUI; 2006.h.172-
4, 230-3

19

Anda mungkin juga menyukai