Oleh:
Karina Rahmawati, S.Ked
NPM: 12700397/16710357
Pembimbing:
dr. Trijuni A. Sp.A
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan
rahmat-Nya Refrat Peranan Probiotik Terhadap Intoleransi Laktosa dan
Dermatitis Atopik ini dapat disusun dan diselesaikan.
Terima kasih kami ucapkan kepada pihak-pihak yang telah membantu
memberikan saran serta kritik maupun pengarahan dalam pembuatan refrat ini.
Penulis berharap tulisan ini dapat menambah wawasan bagi setiap
pembaca. Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari berbagai kesalahan,
baik hal kecil maupun hal yang membingungkan, baik di dalam penyusunan
kalimat maupun di dalam teorinya, mengingat keterbatasan dari sumber referensi
yang diperoleh penulis serta keterbatasan penulis. Oleh karena itu, penulis
membutuhkan kritik dan saran dari segenap pembaca. Semoga karya tulis ini
bermanfaat bagi semua pihak.
Bangil,
Juni, 2017
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................................2
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang....................................... 5
1.2. Tujuan..7
III. PEMBAHASAN
3.1. Mekanisme kerja probiotik pada Intoleransi Laktosa34
3.2. Mekanisme kerja Probiotik pada Dermatitis Atopik.35
IV. KESIMPULAN.41
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
yang sedang berkembang seperti di beberapa negara di Afrika, Asia dan Amerika.
Angka kejadian intoleransi laktosa di Swedia diperkirakan berkisar antara 0,5
1,5%. Di Amerika Utara perkiraan jauh lebih rendah dari 0,5%. Di Afrika angka
kejadian intoleransi laktosa diperkirakan 81%, Muangthai 84% dan India 83%.
Sedangkan di Indonesia angka kejadiannya juga tinggi, yaitu 86,4% pada anak
yang mengalami malnutrisi energi protein, 72,2% bayi baru lahir, 51,3% anak
umur 1 bulan 2 tahun.2,3
Susu merupakan sumber nutrien yang penting untuk pertumbuhan bayi
mamalia, termasuk manusia yang mengandung karbohidrat, protein, lemak,
mineral dan vitamin. Sejak dari masa bayi hingga dewasa dan usia lanjut, orang
terbiasa mengkonsumsi susu atau produk susu. Saat usia bayi sampai usia balita
adalah saat dimana konsumsi susu biasanya sangat diperlukan karena nilai gizi
yang dikandung susu.1
Laktosa merupakan satu-satunya karbohidrat dalam susu mamalia,
merupakan disakarida yang terdiri dari gabungan monosakarida: glukosa dan
galaktosa. Kadar laktosa dalam susu sangat bervariasi antara satu mamalia dengan
yang lain. Air susu ibu (ASI) mengandung 7% laktosa, sedangkan susu sapi hanya
mengandung 4%.1
Keadaan normal, tubuh dapat memecah laktosa menjadi gula sederhana
dengan bantuan enzim laktase. Berbeda dengan sebagian besar mamalia yang
tidak lagi memproduksi laktase sejak masa penyapihan, pada manusia laktase
terus diproduksi sepanjang hidupnya. Bisa dikatakan hampir setiap orang pernah
mengkonsumsi susu atau produk susu. Sejak dari masa bayi hingga dewasa dan
usia lanjut, orang terbiasa mengkonsumsi susu atau produk susu. Tanpa laktase
yang cukup manusia tidak dapat/mampu mencerna laktosa sehingga akan
mengalami gangguan pencernaan seperti sakit perut dan diare yang dikenal
sebagai intoleransi laktosa atau defisiensi laktase.2
Dermatitis atopik (DA), atau eczema atopik adalah penyakit inflamasi
kulit kronis dan residif yang gatal yang ditandai dengan eritema dengan batas
tidak tegas, edema, vesikel, dan madidans pada stadium akut dan penebalan kuilit
(likenifikasi) pada stadium kronik. Dermatitis atopic sering berhubungan dengan
5
peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi keluarga atau penderita (DA,
rhinitis alergi, dan atau asma bronchial). 9
1.2. Tujuan
Mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, penegakkan
diagnosis dan penatalaksanaan intoleransi laktosa dan dermatitis.
Mengetahui efektivitas probiotik terhadap intoleransi laktosa dan dermatitis.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Definisi
7
Ada beberapa terminologi yang perlu dipahami sehubungan dengan
gangguan absorbsi laktosa, yaitu:1
1. Defisiensi laktase yaitu keadaan dimana aktifitas enzim laktase rendah (atau tidak
ada) pada pemeriksaan hasil biopsi mukosa usus halus.
2. Malabsorpsi laktosa yaitu ketidakmampuan usus halus mengabsorbsi laktosa yang
dibuktikan dengan pemeriksaan yang sesuai (uji beban laktosa, uji hidrogen
pernafasan).
3. Intoleransi laktosa yaitu munculnya gejala-gejala klinis setelah makan atau
minum bahan yang mengandung laktosa (mencret, mual, muntah, perut kembung
dan sakit perut).
Hal yang perlu diperhatikan ialah karena seseorang dengan defisiensi laktase
belum tentu mengalami malabsorpsi laktosa. Malabsorpsi laktosa juga bisa
disebabkan kerusakan mukosa usus halus. Penderita malabsopsi laktosa belum
tentu juga mengalami intoleransi laktosa.1
Intoleransi laktosa adalah sindrom klinis terdiri dari satu atau lebih gejala
sebagai berikut: nyeri perut, diare, mual, dan perut kembung setelah menelan
laktosa atau zat makanan yang mengandung laktosa. Jumlah laktosa yang akan
menyebabkan gejala bervariasi dari individu ke individu, tergantung pada jumlah
laktosa yang dikonsumsi, tingkat kekurangan laktase, dan bentuk bahan pangan
yang laktosa tertelan. Malabsorpsi laktosa adalah masalah fisiologis yang dapat
bermanifestasi sebagai intoleransi laktosa dan disebabkan ketidakseimbangan
antara jumlah laktosa ditelan dan kapasitas laktase untuk untuk menghidrolisis
disakarida tersebut.1,2,4
8
pada mikroskop elektron tampak sebagai brush border. Enzim-enzim yang terletak
pada brush border menyelesaikan proses absorpsi. 1,5
Di sekeliling vilus terdapat kripta lieberkuhn yang merupakan kelenjar-
kelenjar usus yang menghasilkan sekret mengandung enzim-enzim pencernaan
termasuk laktase. Sel-sel yang tidak berdiferensiasi di dalam kripta berproliferasi
cepat dan bermigrasi ke ujung vilus dimana mereka menjadi sel-sel absortif. Pada
ujung vilus, sel-sel ini akan lepas ke dalam usus halus. Pada permukaan membran
mikrofili, laktosa dihidrolisis oleh enzim laktose menjadi glukosa dan
galaktosa, kemudian secara aktif diserap dan diangkut melalui sel absorbtif
selanjutnya dialirkan ke vena porta.1,5
Karbohidrat yang dimakan diserap dalam bentuk monosakarida (glukosa,
galakosa, dan frukstosa). Karena itu laktosa harus dihidrolisa menjadi glukosa dan
galaktosa agar proses absorpsi berlangsung. Laktosa merupakan sumber energi
yang memasok hampir setengah keseluruhan kalori susu (35-45%). Disamping itu
laktosa juga penting untuk absorpsi kalsium. Hidrolisa ini dilakukan oleh laktase
(-galactosidase), suatu enzim yang terdapat di brush border mukosa usus halus.
Distribusi enzim laktase ini tidak merata sepanjang usus halus, konsentrasi
tertinggi berada di yeyenum proksimal, rendah di duodenum dan yeyenum distal
serta terendah di ileum terminal.2
Enzim lain yang terdapat di brush border adalah sukrase, maltase dan
glukoamilase. Laktase dijumpai pada bagian luar brush border dan diantara semua
disakaride, laktase yang paling sedikit. Aktivitas enzim laktase bekerja pada pH
optimal 5,5-6,0 dan mulai terdeteksi pada bulan ketiga kehamilan. Aktivitas
enzim ini akan meningkat seiring bertambahnya usia kehamilan, dari 30% pada
kehamilan 26-34 minggu menjadi 70% pada kehamilan 35-38 minggu dan
mencapai 100% pada usia 2-4 minggu setelah lahir. Kadar tersebut bertahan
sampai 2-5 tahun. Setelah itu aktivitas enzim laktase secara genetik akan menurun
dan mencapai kadar terendah pada masa dewasa.2,6
2.1.3. Etiologi
Intoleransi laktosa dapat terjadi karena adanya defisiensi enzim laktase
dalam brush border usus halus. Defisiensi laktase diartikan sebagai keadaan
aktivitas laktase dibawah normal yang diukur pada spesimen biopsi mukosa usus
9
halus. Sampai sekarang dikenal 2 bentuk dari defisiensi laktase, yaitu defisiensi
laktase primer dan sekunder.2
Defisiensi laktase primer terdiri dari 3 tipe yaitu:2,6
a. Defisiensi laktase developmental yang terdapat pada bayi dengan usia kehamilan
26-32 minggu.
b. Defisiensi laktase bawaan, yaitu tidak terdapatnya enzim laktase pada brush
border epitel usus halus. Defisiensi laktase yang diwariskan (congenital lactase
deficiency), terjadi pada individu dengan genotip homozigot resesif. Kejadian ini
sangat jarang, jarang yaitu 1 perseratus ribu penduduk, sehingga sering sekali
tidak dibicarakan.
c. Defisiensi laktase dewasa yaitu kelainan yang timbul perlahan-lahan yang terjadi
pada anak usia 2-5 tahun hingga dewasa serta timbulnya bervariasi tergantung ras.
Defisiensi laktase ini dapat terjadi sebagai akibat induksi sintesis laktase yang
menurun. Laktase merupakan enzim yang sintesisnya dapat diinduksi.
Ketidaksukaan minum susu mungkin dapat memicu keadaan ini, sebab tidak ada
induksi enzim laktase. Defisiensi laktase primer dapat dijumpai pada bayi
prematur sehubungan dengan perkembangan usus yang imatur (developmental
lactase deficiency).
Defisiensi laktase sekunder yang menyertai malabsorbsi dapat terjadi pada
kerusakan mukosa usus halus, misalnya akibat infeksi. Kejadian ini sering kali
dijumpai pada anak diare setelah minum susu botol. Tentunya laktase tidak
mengalami defisiensi lagi bila kerusakan mukosa usus telah membaik dan infeksi
telah teratasi. Beberapa faktor lain penyebab intoleransi laktosa antara lain:2
Gastroenteritis, dapat menyebabkan terjadinya gangguan penguraian enzim
laktase yang dapat berlangsung sampai beberapa minggu
Infeksi parasit, dapat menyebabkan pengurangan jumlah laktase sementara waktu.
Defisiensi besi, rendahnya asupan besi dapat mengganggu pencernaan dan
penyerapan laktosa.
Obat-obatan diantaranya kanamisin, kolkisin, neomisin dan metrotreksat.
2.1.4. Patofisiologi
10
Terdapat tiga macam bentuk karbohidrat yaitu monosakarida (glukosa,
fruktosa dan galaktosa), disakarida (laktosa, sukrosa dan maltosa) dan
polisakarida (pati, glikogen dan selulosa). Hidrolisis laktosa menjadi glukosa dan
galaktosa terjadi di dalam usus halus memerlukan enzim laktase. Bila terjadi
defisiensi laktase baik primer maupun sekunder, maka pencernaan laktosa akan
terganggu.1,2
Bila ada defisiensi laktase, laktosa tidak akan didigesti akibatnya tidak ada
penyerapan oleh mukosa usus halus. Laktosa yang tidak dihodrolisis akan
diteruskan ke usus besar. Disakarida ini merupakan bahan osmotik yang akan
menarik air ke lumen. Jumlah air yang keluar sebanding dengan jumlah laktosa
yang tinggal di lumen usus. Penambahan volume lumen usus akan menyebabkan
rasa mual, muntah dan peningkatan peristaltik. Peristaltik usus yang meninggi
menyebabkan waktu transit usus makin pendek sehingga mengurangi kesempatan
untuk digesti dan absorpsi. Laktosa dan air/elektrolit yang tidak diserap
meninggalkan usus halus sampai di kolon. Di kolon, laktosa ini akan difermentasi
oleh flora normal menjadi gas (CO2, H2, dan CH4), asam lemak rantai pendek
(butirat, propional dan asetat) dan asam laktat.1,2,5
Pembentukan gas menyebabkan perut kembung dan sakit perut.
Pembentukan gas hidrogen oleh flora di kolon dapat dideteksi di udara
pernafasan. Ini yang menjadi dasar uji hidrogen pernafasan. Pembentukan asam
lemak rantai pendek tadi diperlukan oleh tubuh karena asam lemak ini dapat
digunakan sebagai sumber energi. Disamping itu, pembentukan asam lemak rantai
pendek ini berguna untuk nutrisi kolon, membantu absorpsi air/elektrolit dan
motilitas kolon. 1,2,5
Lebih kurang 70% dari nutrisi kolon berasal dari intraluminal. Karena itu
secara fisiologis dalam keadaan normal dijumpai malabsorpsi laktosa/karbohidrat.
Sedangkan penyerapan asam laktat oleh kolonosit menyebabkan asidosis
metabolik. Air/ elektrolit yang sampai di kolon dan hasil fermentasi tadi diserap
oleh kolonosit (colonic salvage). Bila colonic salvage dilewati, maka asam laktat
banyak dijumpai di tinja yang akan menyebabkan kadar air tinja meningkat (diare
osmotik) dan bahan-bahan reduksi (laktosa) dijumpai dalam tinja. 1,2,5
11
Pada defisiensi laktase sekunder kondisi yang bertanggung jawab untuk
kekurangan laktase meliputi infeksi akut (misalnya, rotavirus). Infeksi
menyebabkan usus kecil cedera dengan hilangnya laktase yang terkandung pada
sel epitel dari ujung vili tersebut. Sel epitel yang belum matang yang mengganti
mengandung laktase yang lebih sedikit, menyebabkan kekurangan laktose
sekunder. 1,2,5
12
bukanlah penderita intoleransi laktosa. Penderita IBS cenderung mengalami
kesulitan dalam mentoleransi lemak.5
Gejala batas toleransi laktosa yang muncul akibat dari konsumsi laktosa
yang terlalu banyak adalah produksi gas yang berlebihan (kentut terus) atau
serangan diare. Orang yang memiliki kelainan batas toleransi laktosa dapat
meminum sekitar 250 ml susu setiap hari tanpa gejala yang parah.1
Untuk menguji batas toleransi laktosa dapat dilakukan tes pernafasan
hidrogen (hydrogen breath test) atau tes keasaman kotoran (stool acidity test) agar
didapatkan diagnosis klinis. Orang yang menderita batas toleransi laktosa dapat
mengkonsumsi produk-produk bebas-laktosa, misalnya susu kedelai, susu almond
dan susu beras. Batas toleransi laktosa tidak sama dengan alergi susu, yang
merupakan reaksi tubuh terhadap protein susu. 1,2,5
13
laktosa. Setelah dipuasakan 6 jam pada anak diberikan larutan laktosa sebanyak 2
g/kg BB (maksimum 50 gram) dalam konsentrasi 20%. Sedangkan pada bayi usia
kurang dari 6 bulan diberikan dalam konsentrasi 10 %. Sampel udara nafas
diambil sesaat sebelum meminum larutan laktosa (menit 0) dan setiap 30 memint
sesudahnya selama 2 jam. Analisis hidrogen dilakukan secara kromatografi.
Kenaikan kadar hidrogen sama atau lebih dari 20 ppm menunjukkan malabsorbsi
laktosa. Peningkatan sebesar 10-19 ppm dianggap peralihan kecuali bila disertai
gejala klinis dianggap positif. Peningkatan dibawah 10 ppm dianggap negatif.2,8
Uji hidrogen nafas akan memberikan hasil akhir positif palsu pada
keadaan puasa kurang adekuat, tidur yang lama dan lelap, keadaan hipoventilasi,
setelah pemberian asam asetil salisilat, metoklopramid serta adanya bakteri
tumbuh lampau. Hasil negatif palsu dapat pula terjadi karena hiperventilasi, diare
akut, setelah pemberian antibiotik, laksatif atau tindakan enema serta pada
populasi yang flora kolonnya tidak memproduksi hidrogen. 2,8
Fermentasi laktosa akan menghasilkan gas hidrogen, karbondioksida,
methan, asam organik (asam asetat, butirat, propionat). Produksi hidrogen akan
terjadi optimal bila jumlah bakteri penghasil hidrogen memadai dan terjadi pada
pH 7-7,5. Jumlah bakteri akan berkurang setelah pemberian antibiotik, laksan atau
tindakan enema. Sekitar kurang lebih 2-9% flora kolon normal tidak membentuk
hidrogen. Penurunan pH kolon dapat disebabkan banyaknya asam organik yang
terbentuk. Selanjutnya sekitar 86% persen gas yang terbentuk akan dikeluarkan
melalui flatus. Sisanya 14% akan diserap melalui epitel usus dan memasuki
sistem portal akan mencapai paru dan dikeluarkan saat ekspirasi. 2,8
b. Elimination diet
Merupakan diagnosa dengan cara meniadakan konsumsi makanan yang
mengandung laktosa untuk melihat perbaikan gejala. Jika gejala muncul kembali
ketika makanan yang mengandung laktosa diberikan lagi, hampir bisa dipastikan
penyebabnya adalah intoleransi terhadap laktosa.2
2.1.7. Penatalaksanaan
Banyak orang yang mengalami intoleransi laktosa mengatasinya dengan
pembatasan konsumsi laktosa, seperti hanya minum segelas susu. Bagi mereka
yang mengalami intoleransi laktosa terdapat beberapa tatalaksana, yaitu:1,2,4
14
a. Pemberian diet rendah dan bebas laktosa
Pemberian diet pada penderita yang mengalami intoleransi laktosa
tergantung pada berat ringannya intoleransi. Diet rendah laktosa diberikan pada
penderita intoleransi laktosa ringan dan sedang, sedangkan diet bebas laktosa
diberikan kepada penderita laktosa berat. Diet rendah atau bebas laktosa dapat
diberikan pada penyakit diare akut. 1,2,4
Terjadinya diare kronik menurut Leventhal adalah terjadinya kerusakan
mukosa usus yang berkepanjangan yang menyebabkan defisiensi enzim laktase
secara berkepanjangan pula. Pada keadaan diare kronik diberikan susu formula
yang bebas laktosa. Pada penderita kurang gizi dan malnutrisi didapatkan
gangguan absorbsi laktosa karena adanya atropi sel-sel epitel mukosa usus halus
sehingga produksi enzim laktase sangat berkurang. Pemberian diet bebas laktosa
sangat bermanfaat bagi penderita ini. 1,2,4
Beberapa anjuran berikut ini mungkin dapat membantu dalam menjalani
diet rendah dan bebas laktosa:1
1. Baca label pangan dengan seksama bagi penderita intoleransi laktosa agar
terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan, penting untuk membaca label pangan
dengan seksama pada bagian daftar bahan pangan. Produk pangan perlu
dihindari/dibatasi jumlah yang dikonsumsi, jika mengandung bahan-bahan seperti
berikut ini misalnya padatan susu, padatan susu bebas lemak, whey, gula susu.
2. Minum susu yang mengandung banyak lemak susu, karena lemak dapat
memperlambat transportasi susu dalam saluran perncernaan sehingga dapat
menyediakan waktu yang cukup untuk enzim laktase memecah gula susu.
3. Hindari mengkonsumi susu rendah atau bebas lemak oleh karena susu lebih cepat
ditransportasi dalam usus besar dan cenderung menimbulkan gejala pada
penderita intoleransi laktosa. Disamping itu, beberapa produk susu rendah lemak
juga mengandung serbuk susu skim yang mengandung laktosa dalam dosis tinggi.
4. Jangan menghindari semua produk susu oleh karena nilai gizi susu pada dasarnya
sangat dibutuhkan tubuh.
5. Mengkonsumsi susu dengan laktosa yang telah diuraikan (susu bebas laktosa).
6. Minum susu dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Banyak penderita
intoleransi laktosa dapat meminum 240 ml susu per hari, tetapi perlu untuk
15
mengamati/ seberapa besar tingkatan toleransi tubuh sendiri terhadap laktosa.
Banyak penderita toleran terhadap sejumlah laktosa yang terdapat dalam setengah
cangkir susu full cream, tiga perempat cangkir es krim, tiga perempat cangkir
yoghurt, tiga perempat cangkir keju mentah (unripened cheeses).
7. Konsumsi produk susu yang diolah dengan proses pemanasan (seperti susu
bubuk), karena pada pemanasan, laktosa akan dipecah menjadi glukosa dan
galaktosa, sehingga produk seperti ini akan ditoleransi lebih baik.
8. Konsumsi produk kedelai karena produk kedelai bebas laktosa dan merupakan
sumber kalsium yang bagus dan baik untuk menggantikan susu dan produk susu
lainnya.
b. Pemberian probiotik atau susu fermentasi
c. Pemberian enzim laktase
Susu yang sebelumnya telah diberikan enzim laktase dapat diperoleh di
pasaran. Susu ini secara khusus berisi 70 % laktosa perhidrolisa, dapat digunakan
secara efektif mengurangi gejala intoleransi laktosa. Preparat enzim laktase dapat
berupa cairan, kaplet, kapsul, tablet kunyah. Dalam bentuk cair dapat dibubuhkan
ke dalam susu sebanyak 5-15 tetes/quart (1 quart=0,95 liter) dan mampu
menghidrolisis 70-99% laktosa selama masa inkubasi 24 jam di tempat pendingin.
Untuk setiap 12 ons susu dapat digunakan 2-3 tablet, 1-2 kapsul, - 3 kaplet,
diminum sebelum atau bersamaan dengan makan makanan yang mengandung
laktosa.2
2.2.1. Definisi
Dermatitis atopik (DA), atau eczema atopik adalah penyakit inflamasi
kulit kronis dan residif yang gatal yang ditandai dengan eritema dengan batas
tidak tegas, edema, vesikel, dan madidans pada stadium akut dan penebalan kuilit
(likenifikasi) pada stadium kronik. Dermatitis atopic sering berhubungan dengan
peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi keluarga atau penderita (DA,
rhinitis alergi, dan atau asma bronchial). 9
2.2.2.Epidemiologi
Sejak tahun 1960-an, prevalensi Dermatitis atopi (DA) meningkat tiga
kali lipat. Dari perkiraan terbaru, mengindikasikan DA adalah masalah kesehatan
16
masyarakat mayor di seluruh dunia, dengan prevalensi pada anak 10-20% di
USA, Eropa, Afrika, Jepang, Australia, dan kota industri lainnya. Prevalensi DA
pada dewasa berkisar antara 1%-3%. Menariknya, prevalensi DA lebih rendah
pada kota agrikultur seperti China, Eropa Timur, Afrika dan Asia. Ratio antara
pria dan wanita adalah 1.0 : 1.3. 10
Dasar prevalensi peningkatan kejadian DA belum sepenuhnya
dimengerti. Variasi yang luas dalam prevalensi DA telah di observasi pada daerah
yang dengan sebaran etnik yang merata. Faktor resiko potensial yang
berhubungan dalam peningkatan kejadian DA pada kelompok keluarga kecil,
meningkatnya edukasi dan pendapatan, migrasi dari daerah lingkungan rural ke
urban, peningkatan penggunaan antibiotik, yang semuanya disebut Western-
lifestyle.10
2.2.3.Etiologi
Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti, diduga
disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan (multifaktorial). Faktor
intrinsik berupa predisposisi genetik, kelainan fisiologi dan biokimia kulit,
disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan disregulasi/ ketidakseimbangan
sistem saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi bahan yang bersifat
iritan dan kontaktan, alergen hirup, makanan, mikroorganisme, perubahan
temperatur, dan trauma.11
2.2.4. Patogenesis
Berbagai faktor turut berperan pada pathogenesis DA, antara lain faktor
genetik terkait dengan kelainan intrinsik sawar kulit, kelainan imunologik,
dan faktor lingkungan. 14
a. Genetik
Genetik Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom
5q31-33, kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25. Juga
melibatkan gen yang independen dari mekanisme alergi. Ada
peningkatan prevalensi HLA-A3 dan HLA-A9. Pada umumnya berjalan
bersama penyakit atopi lainnya, seperti asma dan rhinitis. Risiko seorang
kembar monosigotik yang saudara kembarnya menderita DA adalah 86%.
17
Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi
keluarga akan mengalami DA pada masa 3 bulan pertama kehidupan, bila
17
salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan
mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79%
bila kedua orangtua menderita atopi. Risiko mewarisi DA lebih tinggi
bila ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi bila DA
yang dialami berlanjut hingga masa dewasa maka risiko untuk
mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.
b. Sawar kulit
Hilangnya Ceramide dikulit, yang berfungsi sebagai molekul
utama pengikat air diruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap
sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Variasi ph kulit dapat
menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar
mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss, kulit akan
semakin kering dan merupakan port dentry untuk terjadinya penetrasi
alergen, iritan, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien DA mensekresi
ceramide sehingga menyebabkan kulit makin kering.
Respon imun kulit Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset
CD8+ yang diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari
darah perifer, terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13,
sehingga dengan kondisi ini lifespan dari eosinofil memanjang dan
terjadi induksi pada produksi IgE. Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-
4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5, GM-
CSF, IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinofil.17
Imunopatologi Kulit Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit
adalah CD45RO+. Sel T ini menggunakan CLA maupun reseptor lainnya
untuk mengenali dan menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di
pembuluh darah perifer pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset
CD8+ dari sel T dengan petanda CLA+CD45RO+ dalam status
teraktivasi (CD25+, CD40L+, HLADR+). Sel yang teraktivasi ini
mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang menjadi penyebab apoptosis.
Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan apoptosis karena mereka diproteksi
oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM). Sel-sel T tersebut
mensekresi IFN g yang melakukan upregulation Fas pada keratinocytes
18
dan menjadikannya peka terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis
keratinosit diinduksi oleh Fas ligand yang diekspresi di permukaan sel-
sel T atau yang berada di microenvironment.
c. Lingkungan
Sebagai tambahan selain alergen hirup, alergen makanan,
eksaserbasi pada DA dapat dipicu oleh berbagai macam infeksi, antara
lain jamur, bakteri dan virus, juga pajanan tungau debu rumah dan
binatang peliharaan. Hal tersebut mendukung teori Hygiene Hypothesis.
Hygiene Hypothesis menyatakan bahwa berkurangnya stimulasi
sistem imun oleh pajanan antigen mikroba dinegara barat mengakibatkan
meningkatnya kerentanan terhadap penyakit atopik.
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum
semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Rasa gatal dan
rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang
disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang
selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk
diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah
menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi
menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan
secara imunologik dan nonimunologik.17
d. Imunopatogenesis DA
Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan
menyebabkan pruritus. Histamin menghambat kemotaksis dan menekan
produksi sel T. Sel mast meningkat pada lesi dermatitis atopik kronis.
Sel ini mempunyai kemampuan melepaskan histamin. Histamin sendiri
tidak dapat menyebabkan lesi ekzematosa. kemungkinan zat tersebut
menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin akibat garukan karena gatal
menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien dermatitis atopik kapasitas
untuk menghasilkan IgE secara berlebihan diturunkan secara genetik.
Demikian pula defisiensi sel T penekan (suppressor). Defisiensi sel ini
menyebabkan produksi berlebih igE (Mansjoer A.,dkk., 2001).
19
Respon Imun Sistemik Terdapat IFN-g yang menurun.
Interleukin spesifik alergen yang diproduksi sel T pada darah perifer
(interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13) meningkat. Juga terjadi Eosinophilia
dan peningkatan IgE.
Reaksi imunologis DA
Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya
seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik. Sebagian besar
anak dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan kadar IgE total dan
eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama yang moderat dan
berat akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika di kemudian hari
(allergic march), dan semuanya ini memberikan dugaan bahwa dasar DA
adalah suatu penyakit atopi.
Ekspresi sitokin
Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada
reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut
ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA
yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-
5, GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor), Il-12
dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA akut.
Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen
lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi
terhadap reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons
terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80%
penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik
(CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T
helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus,
bakteri, dan jamur meningkat.
Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada
pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin,
leukotrien, prostaglandin dan sebagainya, sehingga dapat dipahami
bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering
digunakan, namun hasilnya tidak terlalu menggembirakan dan sampai
saat ini masih banyak silang pendapat para ahli mengenai manfaat
antihistamin pada DA. Trauma mekanik (garukan) akan melepaskan
20
TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya diepidermis, yang
selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan bertambah beratnya
eksema.
e. Antigen Presenting Cells
Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang
mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE
lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk
mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori
Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di
dalam sirkulasi.
f. Faktor non imunologis
Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA
antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis).
Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun,
sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan
mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal.
g. Autoalergen
Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik mengandung
antibody IgE terhadap protein manusia.Autoalergen tersebut merupakan
protein intraseluler,yang dapat dikeluarkan karena kerusakan keratinosit
akibat garukan dan dapat memicu respon IgE atau sel T. pada dermatitis
atopik berat, inflamasi tersebut dapat dipertahankan oleh adanya
antigen endogen manusia sehingga dermatitis atopik dapat digolongkan
sebagai penyakit terkait dengan alergi dan autoimunitas
(Soebaryo R.W., 2009).
21
Gambar 1. Mekanisme Alergi (Endaryanto E., & Harsono A., 2010).
Keterangan: Pada individu yang memiliki predisposisi alergi, paparan
pertama alergen menimbulkan aktivasi sel-sel allergen-specific T helper 2
(TH2) dan sintesis IgE, yang dikenal sebagai sensitisasi alergi. Paparan
allergen selanjutnya akan menimbulkan penarikan sel-sel inflamasi dan
aktivasi serta pelepasan mediator-mediator, yang dapat menimbulkan early
(acute) allergic responses (EARs) dan late allergic responses (LARs). Pada
EAR, dalam beberapa menit 3 kontak dengan alergen, sel mast yang
tersensitisasi IgE mengalami degranulasi, melepaskan mediator pre-formed
dan mediator newly synthesized pada individu sensitif. Mediator-mediator
tersebut meliputi histamin, leukotrien dan sitokin yang meningkatkan
permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Kemokin
yang dilepas sel mast dan sel-sel lain merekrut sel-sel inflamasi yang
menyebabkan LAR, yang ditandai dengan influks eosinofil dan sel-sel TH2.
Pelepasan eosinofil menimbulkan pelepasan mediator pro-inflamasi,
termasuk leukotrien-leukotrien dan protein-protein basic (cationic proteins,
eosinophil peroxidase, major basic protein and eosinophil-derived
neurotoxin), dan mereka merupakan sumber dari interleukin-3 (IL-3), IL-5,
IL-13 dan granulocyte/macrophage colony-stimulating factor.
Neuropeptides juga berkonstribusi pada patofisiologi simptom alergi
22
Gambar 2: Patogenesis DA
2.2.5.Manifestasi klinis
Manifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase perkembangan
kehidupan, mulai dari saat bayi hingga dewasa. Pada setiap anak didapatkan
tingkat keparahan yang berbeda, tetapi secara umum mereka mengalami pola
distribusi lesi yang serupa.14
Kulit penderita DA umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid diepidermis
berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Penderita DA
cenderung tipe astenik, dengan intelegensia diatas rata-rata,sering merasa cemas,
egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan.15
23
Karena letaknya didaerah pipi yang berkontak dengan payudara, sering disebut
eksema susu. Terdapat eritem berbatas tegas, dapat disertai papul-papul dan
vesikel-vesikel miliar, yang menjadi erosif, eksudatif, dan berkrusta. Tempat
predileksi dikedua pipi, ekstremitas bagian fleksor, dan ekstensor.16
Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur,
dan sering menangis. Pada umumnya lesi DA infantil eksudatif, banyak eksudat,
erosi, krusta dan dapat mengalami infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan
walaupun jarang, dapat terjadi eritroderma. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak
likenifikasi.15
Gambar 3: Dermatitis Atopik Infantil (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).
24
daerah persendian, (sendi pergelangan tangan, siku, dan lutut), pada daerah
genital juga dapat terjadi.
Gambar 4.a
Gambar 4.b.
Gambar 4.c.
Gambar 4a, b, c: Dermatitis Atopik pada Anak-anak
25
3. Bentuk dewasa (> 12 tahun)
Bentuk lesi pada fase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit fase akhir
anak-anak. Lesi selalu kering dan dapat disertai likenifikasi dan hiperpigmentasi.
Tempat predileksi tengkuk serta daerah fleksor kubital dan fleksor popliteal.
Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukar berkeringat, gatal-gatal
terutama jika berkeringat. Berbagai kelainan yang dapat menyertainya ialah
xerosis kutis, iktiosis, hiperlinearis Palmaris et plantaris, pomfoliks, ptiriasis alba,
keratosis pilaris (berupa papul-papul miliar, ditengahnya terdapat lekukan), dll.16
Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh apabila
mengalami stress, mungkin karena stress menurunkan ambang rangsang gatal. DA
remaja cenderung berlangsung lama kemudian menurun dan membaik (sembuh)
satelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan, hanya sebagian kecil
berlangsung sampai tua.
Gambar 5.a.
Gambar 5.b.
26
Tempat predileksi DA bentuk infantil
27
memandang usia, gatal pada DA umumnya berlangsung sepanjang hari dan lebih
berat pada malam hari sehingga mengganggu tidur dan mempengaruhi kualitas
hidup. Diagnosis DA ditegakkan jika terdapat paling sedikit 3 kriteria mayor dan
3 kriteria minor.
Tabel 1. Kriteria minor dan kriteria mayor
28
Diagnosis banding bentuk infantil ialah dermatitis seboroik, pada bentuk
anak dan dewasa ialah neurodermatitis.16
Diagnosis Banding lainnya:
Dermatitis Kontak Alergi
Dermatophytosis atau dermatophytids
Sindrom defisiensi imun
Sindrom Wiskott-Aldrich
Sindrom Hyper-IgE
Penyakit Neoplastik
Penyakit Hodgkin
Dermatitis Numularis
Dermatitis Seborrheic
Skabies
Pada bayi gejala klinis DA terutama mulai dari pipi dan tidak mengenai telapak
tangan serta kaki. Tanda skabies pada bayi ditandai dengan papula yang relatif
besar (biasanya pada punggung atas), vesikel pada telapak tangan dan kaki, dan
terdapat dennatilis pruritus pada anggota keluarga. Tungau dan telur dapat dengan
mudah ditemukan dari scraping vesicle. Skabies memberi respons yang baik
terhadap pengobatan dengan -benzen heksaklorida.
29
Dermatitis kontak
Anak yang lebih tua dengan DA dapat menjadi eksema kronik pada kaki. Bentuk
ini harus dibedakan dengan dermatitis kontak karena sepatu.
2.2.8. Terapi
Pengobatan pada bayi dan anak dengan DA harus secara individual dan
didasarkan pada keparahan penyakit. Sebaiknya penatalaksanaan ditekankan pada
kontrol jangka waktu lama (Long-Term Control) bukan hanya untuk mengatasi
kekambuhan.Protab pelayanan profesi untuk pengobatan DA di SMF kulit &
kelamin RSUD dr.Moewardi Surakarta bertujuan untuk menghilangkan ujud
kelainan kulit dan rasa gatal, mengobati lesi kulit, mencari factor pencetus dan
mengurangi kekambuhan.secara konvensional pengobatan DA kronik pada
prinsipnya adalah sebagai berikut:
Menghindari bahan iritan
Mengeliminasi allergen yang telah terbukti
Menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi)
Pemberian pelembab kulit ( Moisturizing)
Kortikostreroid topikal
Pemberian antibiotik
Pemberian antihistamin
Mengurangi stress
a. Dan memberikan edukasi pada penderita maupun keluarga.
Edukasi:
Menjelaskan bahwa DA merupakan penyakit yang penyebabnya
multifaktorial, cara perawatan kulit yang benar untuk mencegah bertambahnya
kerusakan sawar kulit dan memperbaiki sawar kulit serta penting juga untuk
mencari faktor pencetus serta menghindari atau menghilangkannya.
a. 1. Mandi dan emolien
Jangan mandi dengan air terlalu panas, karena dapat menambah rasa gatal,
jangan memakai handuk dengan menggosok pada kulit melainkan menepuk-
nepuknya, hindari sabun/ pembersih kulit yang mengandung antiseptik, karena
dapat mempermudah resistensi, kecuali bila ada infeksi sekunder.
Penggunaan emolien/ pelembab yang adekuat secara teratur sangat penting
untuk mengatasi kekeringan kulit dan memperbaiki integritas sawar kulit. Bentuk
salap dan krim memberi sawar lebih baik dari pada lotion.
a. 2. Mengatasi gatal
30
Gatal dapat diatasi dengan pemberian emolien, kompres basah, anti
inflamasi topikal (kortikosteroid, inhibitor kalsineurin), dan antihistamin oral.
Kompres basah bermanfaat dalam menangani eksema yang berat,
sedangkan pembalut yang mengandung obat misalnya pasta zinc dn iktamol atau
zinc oksida dan ter batubara, yang dipakai diatas steroid topical bermanfaat untuk
mengobati eksema pada ekstremitas.
Kortikosteroid topikal dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan efek
samping lokal (atrofi, striae, hipertrikosis, hipopigmentasi, teleangiektasis, dsb).
Maupun sistemik (supresi aksis hipothalamus- pituitasi- adrenal, gangguan
pertumbuhan, sindrom Chusing).
Beberapa faktor perlu dipertimbangkan yakni vehikulum, potensi
kortikosteroid, usia pasien, letak lesi, derajad dan luas lesi serta cara pemakaian.
Prinsip penggunaan:
i. Gunakan potensi terendah yang dapat mengatasi radang, dapat dinaikkan bila
perlu. Hindari pemakaian dalam jangka waktu lama
ii. Hindari potensi kuat untuk daerah kulit dengan permeabilitas tinggi (muka,
interginosa, bayi).
iii. Potensi kuat diginakan bila gatal sangat berat dan atau peradangan/ likenifikasi
berat.
iv. Gunakan potensi kuat hanya dalam jangka waktu pendek ( 2 minggu untuk
potensi kelas 1). Bila lesi awal sudah teratasi ganti dengan potensi lebih rendah/
dengan antiinflamasi nonsteroid untuk terapi pemeliharaan
v. Inhibitor kalsineurin topikal
Obat ini dapat mengatasi kekurangan/ kerugian menggunakan kortikosteroid
topikal, bekerja dengan menghambat transkripsi sistem inflamasi dalam sel T
yang teraktifasi dan sel radang lainnya sehingga mencegah pelepasan sitokin oleh
sel T helper, serta meghambat proliferasi sel T. Terdapat dua macam yaitu salap
takrolimus 0.03% (untuk usia 2-12 tahun) dan 0.1% (untuk usia 3 tahun keatas)
31
iii. Obat lainnya
Siklosporin, Azatioprin, mofetil mikofenolat, metotreksat, interferon
gamma, lain-lain (antagonis leukotrien, timopentin, imunoterapi alergen dan
probiotik).
c. Pengobatan sistemik
i. Kortikosteroid
Hanya digunakan untuk mengobati eksaserbasi akut, dalam jangka pendek, dan
dosis rendah, diberikan berselang-seling atau diturunkan perlahan (tapering),
segera ganti dengan kortikostreroid topikal).
ii. Antihistamin
Digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat, terutama malam
hari, karena itu antihistamin yang dipakai mempunyai efek sedatif misanyal
hidroksisin atau difenhidramin.
32
BAB III
PEMBAHASAN
33
galactosidase (enzim laktase) yang dimiliki bakteri aktif dalam produk
susu yang tahan terhadap asam lambung dan garam empedu dapat
melewati lambung dan sampai di usus halus membantu pencernaan
laktosa. 2) Konsumsi jangka pendek dan jangka panjang laktosa dan
bakteri dalam produk susu yang difermentasi dapat mempengaruji pH
susu, mikroflora usus, fermentasi laktosa, kepekaan pejamu terhadap
ganggguan gastrointestinal dan sekaligus memperbaiki gejala intoleransi
laktosa. 2,4
Yoghurt yang mengandung lactobacillus bugaricus bila diberikan
pada penderita defisiensi laktase dapat mencerna laktosa. Terdapat dua
mekanisme kerja yoghurt dalam membantu mencerna laktosa, yaitu:1)
aktivitas enzim laktase yang terkandung dalam yoghurt, 2) pengosongan
lambung dan perjalanan yoghurt dalam usus yang lambat disebabkan
viskositas yoghurt lebih besar dan pH lebih rendah jika dibandingkan
susu biasa. 2,4
3.2. Mekanisme kerja Probiotk pada Dermatitis Atopik
Ingrid Pilar, Effects of the 2013 Systemati 75% dari penelitian yang
dkk. use of review menunjukkan efek
34
probiotics in c review biologis yang
the treatment of menguntungkan dari
children with probiotik terhadap
atopic dermatiti dermatitis atopic meliputi
perlindungan terhadap
infeksi, peningkatan
respon imun, penurunan
tingkat inflamasi, dan
perubahan flora intestinal.
35
n to pregnant center pada kelompok
women and perlakuanmenurun secara
infants in the signifikan dibandingkan
prevention of kelompok control dan
allergy tidak ditemukan efek
development in samping yang berkaitan
infants and on dengan pemberian
fecal probiotik.
microbiota
36
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa pemberian
probiotik memiliki bukti yang kuat dalam menurunkan risiko kejadian
dermatitis atopik apabila diberikan sebagai pencegahan dalam interval
waktu tertentu. Efek terapeutik probiotik dalam penatalaksanaan
dermatitis atopic tidak menunjukkan efek yang signifikan dan
memerlukan penelitian yang lebih lanjut.
Peran probiotik dalam mencegah kejadian dermatitis atopik
kemungkinan disebabkan oleh fungsi imunomodulator dari probiotik
yang dapat meningkatkan fungsi pertahanan intestinal dan menurunkan
respon inflamasi dengan mengurangi produksi sitokin inflamasi. Probiotik
menyebabkan modulasi respon tubuh terhadap antigen melalui regulasi
sel T dengan menurunkan ekspresi sitokin TH2 (IL-4, IL-13),
meningkatkan ekspresi sitokin TH1 (IL-12, IFN-), dan meningkatkan
produksi regulator sel T (IL-10 dan TGF-). Hal ini didukung oleh hasil
penelitian Marschan dkk. (2008) dengan menilai sitokin sebelum dan
setelah pemberian suplementasi probiotik yang menunjukkan bahwa
terdapat peningkatan sitokin setelah pemberian probiotik.
Probiotik memiliki kemampuan sebagai aktivator yang kuat untuk
sistem imun bawaan karena mempunyai molekul yang spesifik pada
dinding selnya. Molekul-molekul spesifik tersebut dikenal
sebagai pathogen-associated molecular patterns (PAMPs). Molekul-
molekul spesifik (PAMPs) dikenali oleh reseptor-reseptor
spesifik (specific pattern recognition receptors, PRRs). Salah
satu PAMPs yang ada pada probiotik adalah lipoteichoic acid (LTA). LTA
merupakan molekul yang secara biologis aktif, merupakan karakteristik
dari bakteri gram positif dan mempunyai dampak biologis (misalnya
dalam induksi produksi sitokin) yang sama dengan
LPS. TLRs adalah PRRs (pattern recognition receptors) mamalia yang
berfungsi sebagai sinyal transducer yang berhubungan dengan CD-14
untuk membantu sel host mengenali patogen serta melakukan inisiasi
kaskade sinyal. TLRs juga membantu menjembatani sistem imunitas
innate ke sistem adaptif dengan menginduksi berbagai molekul efektor
dan ko-stimulator. Semua TLRs mempunyai struktur yang sama dan
37
mempunyai karakter menyalurkan sinyal melalui NF-kB, AP-1, dan MAP
kinases. Efektor hilir dari beberapa TLR, misalnya TLR2 dan TLR4,
adalah adapter protein MyD88 yang berinteraksi dengan reseptor
transmembran melalui domain C-terminal TIR. MyD88 merekrut Ser/Thr
kinase IRAK (IL-1R associated kinase) untuk membentuk kompleks
reseptor. IRAK berhubungan dengan molekul adapter TNF receptor
associated factor (TRAF6). TRAF6 selanjutnya mengaktivasi MAP3K
family member NIK (NF-kB-inducing kinase) yang akan
mengaktivasi NF-kB inhibitor kinases (IKKs). Degradasi NF-kB inhibitor
I-kBmelepaskan NF-kB yang segera translokasi ke nukleus untuk
menginduksi ekspresi gen yang sesuai.
Pada tingkat molekul, sistem imun bawaan dipusatkan pada
aktivasi dari NF-kB yang mempunyai kemampuan menginduksi
transkripsi beberapa sitokin proinflamasi dalam merespon stimulasi oleh
mikroba. TLR mampu menginduksi respons imun baik ke arah TH1
maupun Treg. TLR-2 dan TLR-4 diketahui mempunyai peran penting
dalam polarisasi respons imun oleh paparan mikroba.
Pencegahan primer adalah pencegahan yang dimulai sejak masa
fetus. Pencegahan primer sangat terkait dengan perkembangan sistem
imun in-utero. Pada kehamilan terjadi proses penolakan dari aktivitas Th1
sistem imun ibu dengan yang dilawan oleh plasenta dengan memproduksi
sitokin Th2. Konsekuensi dari aktivitas proteksi ini adalah sistem imun
fetus menjadi lebih dominan ke Th2. Sitokin-sitokin Th2 berada di
plasenta bersama dengan IgE maternal dan alergen yang telah mencapai
cairan amnion melalui sirkulasi maternal. Cairan amnion yang
mengandung alergen kemudian tertelan oleh fetus (fetal swallowing) dan
terjadilah priming sistem imun saluran cerna fetus yang menghasilkan
sensitisasi alergi untuk pertama kalinya. Suplementasi probiotik selama
kehamilan dikaitkan dengan penurunan kadar TGF- dan peningkatan IL-
10 pada kolostrum. TGF- pada ASI diduga memiliki peran dalam
perkembangan dan peratahanan respon imun yang sesuai pada bayi. Bayi
yang mendapatkan ASI dengan kadar TGF- yang rendah memiliki
kemungkinan sensitisasi yang rendah. Hal ini dibuktikan dengan
38
penelitian Enomoto et al (2014) dan Rae et al (2015) pada wanita hamil
yang menunjukkan bahwa suplementasi probiotik saat kehamilan dan
menyusui dapat menurunkan insidensi dermatitis atopic dibandingkan
kelompok yang tidak mendapatkan suplementasi.
BAB IV
KESIMPULAN
39
kembung (banyak gas), sakit perut dan diare. Penatalaksanaan penderita
intorelansi laktosa meliputi: diet rendah atau bebas laktosa, pemberian
probiotik dan enzim laktase.
Dermatitis Atopik adalah Penyakit inflamasi kulit kronis dan residif yang gatal
yang ditandai dengan eritema dengan batas tidak tegas, edema, vesikel, dan
madidans pada stadium akut dan penebalan kuilit (likenifikasi) pada stadium
kronik.
40
DAFTAR PUSTAKA
41
3. Keith J. N, Nicholls J, Reed A, Kafer K, Miller G. D. The Prevalence of
Self-Reported Lactose Intolerance and The Consumption of Dairy Foods Among
African American Adults are Less than Expected. J Natl Med Assoc. 2011.
103(1):36-45.
10. Fauzi N., Sawitri, Pohan S.S., Korelasi antara Jumlah Koloni
Staphylococcus Aureus & IgE spesifik terhadap Enterotoksin Staphylococcus
Aureus pada Dermatitis Atopik. Departemen / SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK UNAIR / RSU Dr. Soetomo. Surabaya. 2009.
12. Ingrid Pilar, dkk. Effects of the use of probiotics in the treatment of
children with atopic dermatitis. Nutr Hosp;28(1):16-26.2013
42
13. Rong Jun Lin, dkk. Protective effect of probiotics in the treatment of
infantile eczema. Experimental and therapeutic medicine 9;1593-1596. 2015
14. Zulkarnain I., 2009. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik.
dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed).
Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-51
15. Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005. Dermatitis. dalam Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. (Ed).IV.Jakarta; Balai Penerbit FK UI; Hal.129-47.
16. Mansjoer A., Kuspuji T., Rakhmi S., Wahyu I.W., Wiwiek S.,(Ed). 2001.
Dermatitis Atopik dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid II. Jakarta.
Penerbit Media Aesculapius FKUI.
43