PENDAHULUAN kkjkjhkjh
A. Latar Belakang
Lebih dari 1,3 juta kasus baru kanker paru yaitu stadium lanjutan dari tumor
paru dan bronkus di seluruh dunia, menyebabkan 1,1 juta kematian tiap tahunnya.
Dari jumlah insiden dan prevalensi di dunia, kawasan Asia, Australia, dan Timur Jauh
berada pada tingkat pertama dengan estimasi kasus lebih dari 670 ribu dengan angka
kematian mencapai lebih dari 580 ribu orang. Sampai saat ini kanker paru masih
menjadi masalah besar di dunia kedokteran. Kanker paru sulit terdeteksi dan tanpa
gejala pada tahap awal. Sel kanker yang tidak terkendali dalam jaringan paru
melakukan reproduksi liar sehingga menyebabkan tumbuhnya tumor yang
menghambat dan menghentikan fungsi paru-paru sebagaimana mestinya. Besarnya
ukuran paru-paru menyebabkan kanker tumbuh bertahun-tahun tak terdeteksi dan
tanpa gejala. Penyakit ini baru bisa dideteksi setelah kanker mencapai stadium lanjut.
Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam mediastinum yaitu
rongga yang berada diantara paru kanan dan kiri. Mediastinum berisi jantung,
pembuluh darah arteri, pembuluh darah vena, trakea, kelenjar timus, syaraf, jaringan
ikat, kelenjar getah bening dan salurannya. Secara garis besar mediastinum dibagi atas
4 bagian penting yaitu mediastinum superior, anterior, posterior dan mediastinum
medial. Rongga mediastinum ini sempit dan tidak dapat diperluas, maka pembesaran
tumor dapat menekan organ di dekatnya dan dapat menimbulkan kegawatan yang
mengancam jiwa. 1
Adapun frekuensi tumor mediastinum dikepustakaan luar berdasarkan
penelitian retrospektif dari tahun 1973 sampai dengan 1995 di New Mexico, USA
didapatkan 219 pasien tumor mediastinum ganas yang diidentifikasi dari 110.284
pasien penyakit keganasan primer, jenis terbanyak adalah limfoma 55%, sel germinal
16%, timoma 14%, sarkoma 5%, neurogenik 3% dan jenis lainnya 7%.
Kebanyakan tumor mediastinum tanpa gejala dan ditemukan pada saat
dilakukan foto toraks untuk berbagai alasan. Keluhan penderita biasanya berkaitan
A. Anatomi Pulmo
Pulmo merupakan organ yang terletak di cavum thoraks. Masing-masing
pulmo memiliki puncak (apex), tiga permukaan (facies costalis, facies mediastinalis,
facies diaphragmatica) dan tiga tepi (margo anterior, margo inferior, margo posterior).
Gambar.1 Pulmo
Apex pulmonalis ialah ujung cranial yang tumpul dan tertutup oleh pleura
servikalis. Apex pulmonalis dan pleura servikalis menonjol ke cranial melalui
apertura thoracis superior ke dalam pangkal leher.
Permukaan paru-paru. Masing-masing paru memiliki permukaan berikut:
Facies costalis, terhampar pada sternum, cartilage costalis dan costa
Facies mediastinalis, ke medial berhubungan dengan mediastinum dan ke
dorsal dengan sisi vertebra
Facies diaphragmatica, bertumpu pada kubah diaphragma yang cembung,
cekungan terdalam terdapat pada paru-paru kanan, karena letak kubah sebelah
kanan lebih tinggi
Tepi paru-paru. Masing-masing paru memiliki tepi berikut:
Margo anterior adalah tepi pertemuan facies costalis dengan facies
mediastinalis di sebelah ventral yang bertumpang pada jantung
Margo inferior membentuk batas lingkar facies diaphragmatica paru-paru dan
memisahkan facies diaphragmatica dari facies costalis dan facies mediastinalis
B. Anatomi Mediastinum
Bagian tengah cavitas thoracis, yakni ruang antara kedua kantong pleura,
dikenal sebagai mediastinum. Struktur dalam mediastinum diliputi oleh jaringan ikat,
pembuluh darah dan limfe. Jarangnya jaringan ikat, dan elastisitas paru-paru dan
pleura parietalis memungkinkan mediastinum menyesuaikan diri kepada perubahan
gerak dan volume dalam cavitas thoracis.
A. Tumor Paru
1. Definisi
Tumor paru merupakan pertumbuhan ganas primer dari jaringan paru.
Jaringan paru yang mengalami keganasan yaitu mukosa bronkus (sel epitel, sel
membrane basalis, sel kelenjar bronkus), mukosa bronkiolus, sel alveolus dan
jaringan paru lainnya.
2. Etiologi
Sebagaimana diketahui asap rokok adalah penyebab utama kanker paru (tipe
kasinoma), karena mengandung lebih dari 4.000 zat kimia, dimana 50 jenisnya
bersifat karsinogen dan beracun. Statistik membuktikan bahwa sekitar 90%
penderita kanker paru adalah perokok aktif atau mantan perokok.
b. CT-Scan toraks :
Tehnik pencitraan ini dapat menentukan kelainan di paru secara lebih baik
daripada foto toraks. CT-scan dapat mendeteksi tumor dengan ukuran lebih
kecil dari 1 cm secara lebih tepat. Demikian juga tanda-tanda proses
keganasan juga tergambar secara lebih baik, bahkan bila terdapat penekanan
terhadap bronkus, tumor intra bronkial, atelektasis, efusi pleura yang tidak
masif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada meski tanpa
gejala. Lebih jauh lagi dengan CT-scan, keterlibatan KGB yang sangat
berperan untuk menentukan stage juga lebih baik karena pembesaran KGB
(N1 s/d N3) dapat dideteksi. Demikian juga ketelitiannya mendeteksi
kemungkinan metastasis intrapulmoner.
B. Tumor Mediastinum
1. Definisi
Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam mediastinum yaitu
rongga yang berada di antara paru kanan dan kiri. Mediastinum berisi jantung,
pembuluh darah arteri, pembuluh darah vena, trakea, kelenjar timus, syaraf,
jaringan ikat, kelenjar getah bening dan salurannya.
2. Etiologi
- Penyebab kimiawi
Di berbagai negara ditemukan banyak tumor kulit pada pekerja pembersih
cerobong asap. Zat yang mengandung karbon dianggap sebagai penyebabnya.
- Faktor genetik (biomolekuler)
Perubahan genetik termasuk perubahan atau mutasi dalam gen normal dan
pengaruh protein bisa menekan atau meningkatkan perkembangan tumor.
- Faktor fisik
Secara fisik, tumor berkaitan dengan trauma/pukulan berulang-ulang baik
trauma fisik maupun penyinaran. Penyinaran bisa berupa sinar ultraviolet yang
berasal ari sinar matahari maupun sinar lain seperti sinar X (rontgen) dan radiasi
bom atom.
- Faktor nutrisi
Salah satu contoh utama adalah dianggapnya aflaktosin yang dihasilkan oleh
jamur pada kacang dan padi-padian sebagai pencetus timbulnya tumor.
- Faktor hormon
.
Gambar.18 Neurofibroma (Tumor Mediastinum Posterior)
I. SKRINING
Secara definisi skrining berarti evaluasi pada individual yang asimtomatik namun berisiko
untuk terkena suatu penyakit. Tujuan dari skrining adalah mencegah atau memperlambat
perjalanan penyakit. Penemuan positif pada skrining dapat diikuti evaluasi lanjutan untuk
memperoleh kepastian diagnosis. Skrining yang efektif setidaknya harus memenuhi 3
Pada skrining kanker paru, syarat pertama relatif mudah dipenuhi. Namun syarat kedua dan
ketiga masih banyak bias yang mempengaruhi. Hal yang menjadi tantangan dalam skrining
kanker paru ini adalah karakter biologis dari sel kanker. Sel kanker paru berkembang 3-6 juta
sel per gram per jaringan tiap 24 jam yang menunjukkan potensi metastasis yang sangat
besar. Beberapa penelitian menyebutkan kemungkinan metastasis sudah terjadi pada saat lesi
berukuran sekitar 1-2 mm. Sel kanker paru juga memiliki heterogenitas karakter biologis
yang cukup luas mulai dari indolen hingga yang agresif. Hal ini menyebabkan diskusi yang
berbeda mengenai efektifitas skrining mengingat kemungkinan yang sangat beragam saat
kelainan ditemukan secara radiologis dapat menyebabkan tatalaksana yang berlebihan .
Saat ini belum ada metode khusus untuk mendeteksi kelainan kanker paru secara dini.
Skrining rutin pada populasi berisiko tinggi terhadap kanker paru masih menjadi hal yang
diperdebatkan. Individu yang berisiko tinggi terhadap kanker paru diantaranya adalah laki
laki, usia lebih dari atau sama dengan 40 tahun, perokok berat, terpapar dengan bahan
berbahaya dan atau memiliki gejala yang berhubungan dengan kanker paru. Secara umum
alur deteksi dini yang direkomendasikan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tercantum
dalam gambar 19.
Skrining kanker paru pada populasi berisiko tinggi sebelumnya dilakukan dengan
menggunakan foto toraks konvensional dan sitologi sputum. Foto toraks konvensional
menjadi pilihan lini pertama karena tersedia lebih luas, ekonomis dan memiliki tingkat radiasi
yang lebih rendah. Foto toraks juga menjadi pemeriksaan yang rutin dilakukan untuk general
check up. Pada pemeriksaan foto toraks rutin, dapat ditemukan nodul solid paru yang
asimtomatik.
Beberapa studi sejak tahun 1950-1975 menyebutkan, skrining kanker paru dengan foto toraks
dan sitologi sputum tidak menunjukkan hubungan yang bermakna untuk menurunkan angka
mortalitas ataupun morbiditas kanker paru. Kelemahan foto toraks dalam mendeteksi nodul
paru yang berukuran kurang dari 2 cm menjadi faktor yang mengurangi sensitifitas pada
skrining kanker paru.11
Sejak akhir tahun 1980 diperkenalkan Low Dose Helical CT (LDCT) Scan untuk skrining Ca
paru. LDCT ini menjadi pilihan karena sifatnya yang non invasif dan tidak menggunakan
kontras. Pemeriksaan ini juga memiliki waktu scanning yang lebih cepat (kurang dari 1
menit), resolusi gambar yang lebih baik dan potongan yang lebih tipis (<1mm) sehingga
nodul atau lesi yang berukuran minimal dapat dideteksi lebih dini. Pada LDCT, dosis radiasi
dapat dikurangi hingga seperlima sampai seperdelapan dosis CT standar menggunakan
protokol dosis rendah (120kV,50mAs) dengan paparan radiasi sebesar 1-4 millisieverts
tergantung dari ukuran tubuh pasien. CT scan konvensional biasanya memberikan paparan
radiasi antara 5-20 millisieverts. LDCT lebih sensitif dibandingkan foto toraks dalam
menemukan nodul berukuran kurang dari 2 cm.
Studi yang dilakukan The National Lung Screening pada tahun 2002-2010 menunjukkan
penurunan mortalitas kanker paru pada populasi berisiko tinggi sebesar 20% dengan
pemeriksaan LDCT dibanding foto toraks. Studi acak ini dilakukan dengan melibatkan
53.456 pria dan wanita, berusia antara 55 74 tahun, memiliki riwayat merokok sedikitnya
30 pak-tahun (perkalian dari jumlah rata rata pak rokok setiap hari dengan jumlah tahun
pasien telah merokok), tidak memiliki tanda, gejala, ataupun riwayat kanker paru. Skrining
dilakukan sebanyak 3 kali dalam tiga tahun berturut turut.
Penggunaan LDCT masih menyisakan beberapa tantangan. Risiko kumulatif akibat paparan
radiasi tahunan tetap memberikan paparan radiasi yang lebih besar dibanding foto toraks
konvensional. Selain itu deteksi dini ternyata mempengaruhi pola hidup pasien. Pasien
perokok berat yang memiliki hasil skrining normal cenderung menganggap aman untuk
meruskan kebiasaan merokok tanpa risiko kanker paru. Kemungkinan over ataupun
pseudodiagnosis dapat melibatkan tindakan invasif yang berlebihan. Faktor biaya juga masih
menjadi pertimbangan apakah sepadan dengan manfaat yang diperoleh. Perbandingan
keuntungan dan kekurangan foto toraks dan CT Scan dapat dilihat pada tabel 1.
II. DIAGNOSIS
Diagnosa kanker paru memerlukan informasi mengenai jenis histologi, staging dan status
tampilan pasien. Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang yang penting
untuk menilai lokasi tumor primer, metastasis dan penentuan stadium penyakit. Modalitas
radiologi yang digunakan dalam diagnosis kanker paru diantaranya adalah Foto toraks
PA/Lat, CT-scan toraks s/d suprarenal, PET, MRI, dan USG.
Modalitas pertama yang umumnya digunakan untuk mendiagnosa kanker paru adalah
pemeriksaan foto toraks PA, Lateral dan oblique (bila perlu). Pemeriksaan ini bertujuan
menentukan letak tumor dengan tepat. Massa tumor umumnya terlihat jika berukuran lebih
dari 1 cm. Massa biasanya soliter dan terletak di perifer, 40% diantaranya dapat ditemukan di
sentral. Kelainan dapat berupa bayangan padat dengan batas suram. Tepi irregular dan
identasi pleura dan nodul satelit mendukung diagnosa ke arah keganasan.
Umumnya kanker paru tidak memberikan gambaran yang spesifik pada foto toraks. Dapat
ditemukan tanda pembesaran kelenjar getah bening di hilus, tanda destruksi iga, pendorongan
atau penarikan trakea dan mediastinum, serta kelumpuhan diafragma. Dapat juga ditemukan
invasi tumor ke dinding dada, efusi pleura, efusi perikardium dan metastasis intrapulmonal.
Pada setiap gambaran radiologis yang ditemukan pada pasien golongan risiko tinggi kanker
paru harus dilakukan follow up yang teliti. Gambaran efusi pleura luas yang ditemukan pada
foto toraks harus diikuti dengan foto toraks ulang pasca pungsi pleura atau pemasangan WSD
agar tumor primer yang tertutup efusi dapat terlihat. Keganasan harus difikirkan bila cairan
bersifat produktif, dan/atau cairan serohemoragik. Contoh gambaran kanker paru pada foto
toraks dapat dilihat pada gambar 21.12
Gambar.21 Karsinoma dengan kerusakan tulang rusuk. Kekeruhan padat di lobus kiri atas
dengan dekstruksi iga dua dan tigaII
Selain gambaran yang tidak khas, foto toraks juga kurang baik untuk mengevaluasi
keterlibatan KGB. Informasi dari pemeriksaan radiografi toraks konvensional kurang
memberikan manfaat dalam menentukan staging kanker paru. Diperlukan pemeriksaaan
radiologi lanjutan untuk menilai ukuran, lokasi dan perluasan tumor primer.
Perkembangan CT Scan sangat cepat, dimulai dari generasi pertama yang hanya memiliki
satu detektor dan menggunakan berkas Pencil Beam, sampai yang sekarang ini sudah
menggunakan Multi Slice Detector (MSCT) dan Dual Source CT (DSCT). Tehnik pencitraan
dengan CT scan dapat mendeteksi tumor dengan ukuran kurang dari 1cm secara lebih tepat
dibandingan dengan foto toraks. ACCP merekomendasikan pemeriksaan CT scan thoraks
sebagai pemeriksaan lanjutan dengan irisan tipis untuk setiap nodul soliter paru yang
ditemukan pada pemeriksaan foto toraks. Pada individu dengan nodul solid paru
indeterminate yang berukuran lebih dari 8 mm, ACCP merekomendasikan pemeriksaan
surveillance dengan serial CT scan pada bulan ke 3-6, 9-12, dan 18-24 bulan menggunakan
LDCT non kontras.
Lesi tumor dapat muncul sebagai massa soliter dengan lobulasi, spikulasi, kavitasi dan air
bronkogram seperti gambaran ground glass opacity. Pada CT scan tanda tanda proses
keganasan tergambar lebih baik. Pada tahun 2009, Arman dkk mengajukan sistem scoring
yang dapat digunakan sebagai panduan untuk prediksi keganasan dengan mengevaluasi
karakteristik lesi yang ditemukan pada HRCT scan. Studi tersebut menunjukkan sistem
skoring tersebut memiliki sensitifitas sebesar 97,7% dan spesifisitas 83,3%. Hal yang dinilai
dalam scoring tersebut adalah volume tumor, HU, spikula, ground glass opacity, kalsifikasi,
pleural tail, rigler notch sign, angiogram sign, kavitas, atelektasis, infiltrat, destruksi tulang,
cairan pleura, metastasis dan pembesaran KGB. Nilai skor >35 curiga keganasan, <35
menunjukkan lesi jinak. CT scan toraks dapat mendeteksi penekanan bronkus, tumor
intrabronkial, atelektasis, efusi pleura minimal ataupun invasi ke mediastinum dan dinding
dada yang asimtomatik. Keterlibatan KGB dan kemungkinan metastasis intrapulmonal dapat
dievaluasi pada CT scan toraks.
Pada pemeriksaan CT scan toraks ahli radiologi harus berhati hati dengan jenis karsinoma sel
skuamosa yang cenderung lambat pertumbuhannya. ACCP merekomendasikan follow up
tahunan pada pasien dengan ground glass opasitas yang murni. Baik CT scan maupun foto
toraks memiliki kelemahan dalam kemampuan deteksi metastasis jauh dan metastasis di KGB
mediastinum khususnya pada KGB mediastinum yang berukuran normal atau kurang dari 1
cm. Kemampuan CT scan untuk menilai keganasan di KGB mediastinum memiliki
sensitifitas dan spesifisitas sebesar 79% dan78%.11
PET atau Positron Emission Tomography adalah modalitas radiologi terkini yang
memberikan kemajuan bermakna dalam upaya penegakkan diagnosis kanker paru. Dasar
kerja PET adalah positron dan elektron yang beranihilasi menghilangkan muatan dan
mengemisikan dua radiasi gamma 511 keV ke arah yang berlawanan pada saat yang
bersamaan. Radiasi ini akan ditangkap beberapa detektor dan dengan algoritme komputer
yang sesuai distribusi spasial radioaktif dalam tubuh direkonstruksi dalam bentuk tiga
dimensi.
PET bekerja dengan mendeteksi radioaktif yang dipancarkan oleh sejumlah kecil zat
radioaktif pelacak beberapa saat setelah disuntikkan ke vena perifer. Pelacak yang biasa
digunakan untuk deteksi kanker paru adalah analog glukosa radioaktif 18F-2-deoxy-2-fluoro-
D-glucose (FDG). Tumor ganas mempunyai metabolisme lebih cepat dibanding tumor jinak.
FDG akan mengalami uptake selular yang sama dengan glukosa namun tidak dimetabolisme
sehingga terakumulasi pada sel kanker. Akumulasi isotop inilah yang dibaca oleh PET-
Camera. Analisis dilakukan secara kuantitatif menurut standart uptake volume (SUV).
Jumlah uptake lebih besar dari 2,5 atau lebih besar dari uptake aktifitas mediastinum yang
menjadi latarnya merupakan kriteria spesifik yang menunjukkan hasil abnormal. Total zat
radioaktif yang diperlukan sama dengan dosis yang digunakan pada CT.
ACCP merekomendasikan pemeriksaan PET pada pasien yang memiliki nodul paru padat
indeterminate berdiameter lebih dari 8 mm dengan pre test probabilitas keganasan yang
rendah hingga moderat untuk menilai karakteristik nodul. Pasien dengan pre test probabilitas
keganasan yang tinggi tidak direkomendasikan pemeriksaan PET untuk menilai karakteristik
nodul tapi tetap direkomendasikan untuk menentukan staging.
Aktivitas biomolekuler keganasan seringkali muncul lebih dahulu sebelum tumor dapat
dideteksi melalui pencitraan anatomik. Pemeriksaan PET dengan 18 F-FDG memiliki akurasi
tinggi dalam membedakan lesi ganas dengan jinak dengan sensitifitas 97% dan spesifisitas
78%. Hasil positif palsu dapat ditemukan pada proses peradangan seperti infeksi bakterial
paru, tuberculosis dan penyakit granulomatosa lain dapat juga menyebabkan akumulasi
18fFDG sehingga spesifitas PET menjadi rendah. Hasil negatif palsu dapat terjadi pada
beberapa kondisi yaitu ukuran lesi yang sangat kecil <6mm, kondisi pasien yang hiperglikemi
dan tumor tersembunyi dengan akifitas metabolik yang rendah. Karsinoma sel
bronkioalveolar dan tumor karsinoid juga dapat memberikan hasil negatif palsu. Penyebab
positif dan negative palsu diringkas pada tabel 2.
Tabel.2 Penyebab Hasil Positif Palsu atau Negatif Palsu pada Penggunaan PET
Saat ini berkembang pencitraan yang menggabungkan PET dan CT secara bersamaan.
PET/CT Scan dapat meningkatkan sensitifitas dan spesifitas diagnosa kanker paru. Dalam
satu prosedur, CT membuat gambar anatomi organ dan struktur di dalam tubuh, dan
kemudian PET membuat gambar berwarna yang menunjukkan perubahan fungsional bahan
kimia atau lainnya dalam jaringan. Perbandingan gambaran CT dan PET/CT dapat dilihat
pada gambar 22.
Penggabungan CT dan PET dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap dari lokasi
tumor dan pertumbuhan atau penyebarannya dibandingkan penggunaannya secara terpisah.
Prosedur gabungan dapat meningkatkan kemampuan untuk mendiagnosa kanker, menentukan
seberapa jauh tumor telah menyebar, merencanakan pengobatan, dan memantau respon
terhadap pengobatan. Gabungan PET / CT juga dapat mengurangi jumlah tes pencitraan
tambahan dan prosedur lainnya.
v. MRI
MRI atau Magnetic Resonance Imaging adalah modalitas tambahan yang dapat digunakan
untuk melengkapi CT Scan. Secara umum MRI memiliki kelemahan waktu pemeriksaan
yang lama, lebih rumit, lebih mahal dan resolusi spasial yang lebih rendah dibanding CT
scan. Kekurangan ini juga disebabkan rendahnya densitas proton, T2* yang pendek dan
inhomogenitas lapangan magnetik parenkim paru. Seleksi pasien yang ketat seperti pengguna
implan, katup jantung dan klaustrofobia juga menjadi keterbatasan. Untuk menilai parenkim
paru, MRI memiliki kelemahan akan banyaknya artefak yang disebabkan pergerakan dan
paucity proton pada udara parenkim.
Meskipun demikian MRI memiliki keunggulan untuk mengevaluasi tumor di daerah sulkus
superior (Tumor Pancoast) ataupun tumor yang menginvasi diafragma. MRI juga lebih
superior dibanding CT scan untuk mengevaluasi jaringan lunak, pleksus brakialis, pembuluh
darah subklavia dan kanalis spinalis.Penelitian lain yang dilakukan Akata dkk menunjukkan
dynamic respiratory MRI dapat mengevaluasi invasi dinding dada dengan sensitifitas dan
spesifisitas 100% dan 82,9%.
vi. USG
Dalam diagnosa kanker paru, USG tidak banyak digunakan untuk mengevaluasi tumor
primer. USG Toraks dapat digunakan untuk mengevaluasi kelainan pleura. Efusi pleura akan
tampak seperti lapisan hipoechoic diantara pleura parietal dan viscera. Bagian paru yang
mengalami atelektasi dapat dilihat pergerakannya melalui cairan pleura. Efusi ganas, lesi
metastasis atau mesotelioma umumnya terlihat sebagai gambaran hypoechoic. Gambaran
tumor pancoast dengan USG toraks lebih baik dibanding CT scan, tapi masih lebih baik
digambarkan oleh MRI.
KESIMPULAN
1. Jemal A, Bray F, Center MM, Ferlay J, Ward E, Forman D. Global cancer statistics.
CA Cancer J Clin. 2011 Apr;61(2):6990.
2. Indonesia PDP. Kanker Paru, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Jkt Balai Penerbit FKUI. 2003;
3. Kernstine K, H RKLKK. Lung Cancer: A Multidisciplinary Approach to Diagnosis
and Management. Demos Medical Publishing; 2010. 477 p.
4. UyBico SJ, Wu CC, Suh RD, Le NH, Brown K, Krishnam MS. Lung Cancer Staging
Essentials: The New TNM Staging System and Potential Imaging Pitfalls.
RadioGraphics. 2010 Agustus;30(5):116381.
5. Aberle DR, Brown K. Lung Cancer Screening with CT. Clin Chest Med. 2008
Mar;29(1):114.
6. Patz EF, Black WC, Goodman PC. CT Screening for Lung Cancer: Not Ready for
Routine Practice. Radiology. 2001 Desember;221(3):58791.
7. Rasad S. Radiologi Diagnostik. Edisi-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2013.h. 148-151.
8. Black WC, Gareen IF, Soneji SS, Sicks JD, Keeler EB, Aberle DR, et al. Cost-
effectiveness of CT screening in the National Lung Screening Trial. N Engl J Med.
2014;371(19):1793802.
9. Shaw P, Hollings N. (2002). Diagnostic imaging of lung cancer. European
Respiratory Journal. 724-6.