Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN kkjkjhkjh

A. Latar Belakang

Lebih dari 1,3 juta kasus baru kanker paru yaitu stadium lanjutan dari tumor
paru dan bronkus di seluruh dunia, menyebabkan 1,1 juta kematian tiap tahunnya.
Dari jumlah insiden dan prevalensi di dunia, kawasan Asia, Australia, dan Timur Jauh
berada pada tingkat pertama dengan estimasi kasus lebih dari 670 ribu dengan angka
kematian mencapai lebih dari 580 ribu orang. Sampai saat ini kanker paru masih
menjadi masalah besar di dunia kedokteran. Kanker paru sulit terdeteksi dan tanpa
gejala pada tahap awal. Sel kanker yang tidak terkendali dalam jaringan paru
melakukan reproduksi liar sehingga menyebabkan tumbuhnya tumor yang
menghambat dan menghentikan fungsi paru-paru sebagaimana mestinya. Besarnya
ukuran paru-paru menyebabkan kanker tumbuh bertahun-tahun tak terdeteksi dan
tanpa gejala. Penyakit ini baru bisa dideteksi setelah kanker mencapai stadium lanjut.
Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam mediastinum yaitu
rongga yang berada diantara paru kanan dan kiri. Mediastinum berisi jantung,
pembuluh darah arteri, pembuluh darah vena, trakea, kelenjar timus, syaraf, jaringan
ikat, kelenjar getah bening dan salurannya. Secara garis besar mediastinum dibagi atas
4 bagian penting yaitu mediastinum superior, anterior, posterior dan mediastinum
medial. Rongga mediastinum ini sempit dan tidak dapat diperluas, maka pembesaran
tumor dapat menekan organ di dekatnya dan dapat menimbulkan kegawatan yang
mengancam jiwa. 1
Adapun frekuensi tumor mediastinum dikepustakaan luar berdasarkan
penelitian retrospektif dari tahun 1973 sampai dengan 1995 di New Mexico, USA
didapatkan 219 pasien tumor mediastinum ganas yang diidentifikasi dari 110.284
pasien penyakit keganasan primer, jenis terbanyak adalah limfoma 55%, sel germinal
16%, timoma 14%, sarkoma 5%, neurogenik 3% dan jenis lainnya 7%.
Kebanyakan tumor mediastinum tanpa gejala dan ditemukan pada saat
dilakukan foto toraks untuk berbagai alasan. Keluhan penderita biasanya berkaitan

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 1


dengan ukuran dan invasi atau kompresi terhadap organ sekitar, misalnya sesak napas
berat, sindrom vena kava superior (SVKS) dan gangguan menelan.
Diagnosis yang lebih dini dan lebih tepat dari proses mediastinum telah
dimungkinkan dengan penggunaan peningkatan foto rontgen dada, CT-Scan, MRI,
serta telah memperbaiki keberhasilan dalam mengobati lesi mediastinum. Bersama
dengan kemajuan dalam teknik diagnostik ini, kemajuan dalam anestesi, kemoterapi,
immunoterapi dan terapi radiasi telah meningkatkan kelangsungan hidup dan
memperbaiki kualitas hidup.1,2

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 2


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Pulmo
Pulmo merupakan organ yang terletak di cavum thoraks. Masing-masing
pulmo memiliki puncak (apex), tiga permukaan (facies costalis, facies mediastinalis,
facies diaphragmatica) dan tiga tepi (margo anterior, margo inferior, margo posterior).

Gambar.1 Pulmo

Apex pulmonalis ialah ujung cranial yang tumpul dan tertutup oleh pleura
servikalis. Apex pulmonalis dan pleura servikalis menonjol ke cranial melalui
apertura thoracis superior ke dalam pangkal leher.
Permukaan paru-paru. Masing-masing paru memiliki permukaan berikut:
Facies costalis, terhampar pada sternum, cartilage costalis dan costa
Facies mediastinalis, ke medial berhubungan dengan mediastinum dan ke
dorsal dengan sisi vertebra
Facies diaphragmatica, bertumpu pada kubah diaphragma yang cembung,
cekungan terdalam terdapat pada paru-paru kanan, karena letak kubah sebelah
kanan lebih tinggi
Tepi paru-paru. Masing-masing paru memiliki tepi berikut:
Margo anterior adalah tepi pertemuan facies costalis dengan facies
mediastinalis di sebelah ventral yang bertumpang pada jantung
Margo inferior membentuk batas lingkar facies diaphragmatica paru-paru dan
memisahkan facies diaphragmatica dari facies costalis dan facies mediastinalis

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 3


Margo posterior ialah tepi pertemuan facies costalis dengan facies
mediastinalis di dorsal.

Gambar.2 Segmentasi pulmo

Gambar.3 Lobus dan fissure pulmo

Pembuluh darah dan saraf pulmo


Masing-masing pulmo memperoleh perdarahan dari satu a.pulmonalis yang
besar dan darah venosa disalurkan keluar melalui dua v.pulmonalis. A. pulmonalis
dextra dan a. pulmonalis sinistra berasal dari satu truncus pulmonalis setinggi angulus
sterni.
Saraf pulmo berasal dari plexus pulmonalis ventral dan dorsal dari radix
pulmonis dexter dan radix pulmonis sinister.3

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 4


Gambar.4 Vaskularisasi pulmo

B. Anatomi Mediastinum
Bagian tengah cavitas thoracis, yakni ruang antara kedua kantong pleura,
dikenal sebagai mediastinum. Struktur dalam mediastinum diliputi oleh jaringan ikat,
pembuluh darah dan limfe. Jarangnya jaringan ikat, dan elastisitas paru-paru dan
pleura parietalis memungkinkan mediastinum menyesuaikan diri kepada perubahan
gerak dan volume dalam cavitas thoracis.

Gambar.5 Pembagian mediastinum

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 5


Gambar.6 Posisi mediastinum diantara paru

Batas Ruang mediastinum, adalah:


Superior : Pintu masuk torak
Inferior : Diafragma
Lateral : Pleura Mediastinalis
Posterior : Tulang belakang
Anterior : Sternum4
Secara garis besar mediastinum dibagi atas 4 bagian penting:
1. Mediastinum superior, mulai pintu atas toraks (apertura thoracis superior) sampai
ke batas garis yang menghubungkan manubrium sterni dengan diskus
intervertebra Th IV-V.
Dari ventral ke dorsal struktur utama dalam medistinum superior ialah:
Thymus
Pembuluh besar yang berhubungan dengan jantung dan pericardium: v.
brachiocephalica, v. cava superior dan arcus aortae
N. phrenicus dan n. vagus kedua sisi
Plexus cardiacus
Trachea
N. laryngeus recurrens sinister
Oesophagus
Ductus thoracicus
Otot-otot pravertebral

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 6


Gambar.7 Mediastinum Superior

2. Mediastinum anterior, dari dinding belakang sternum sampai dinding depan


perikardium. Dalam mediastinum anterior terdapat jaringan ikat jarang, lemak,
pembuluh limfe, beberapa kelenjar limfe dan cabang pembuluh thoracica interna.

Gambar.8 Mediastinum Anterior

3. Mediastinum posterior, dari dinding belakang perikardium sampai dinding depan


corpus vertebrae torakalis. Mediastinum posterior berisi pars thoracica aortae,
ductus thoracicus, nodi lymphatici mediastinales posteriors, v. azygos,
oesophagus, plexus oesophagealis, kedua truncus sympathicus torakal dan nn.
Splanchnici thoracici.

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 7


Gambar.9 Mediastinum Posterior

4. Mediastinum medial, dari dinding depan perikardium ke dinding belakang


perikardium. Dalam mediastinum medial terdapat jantung dan pembuluh besar.

Gambar.10 Mediastinum Medial

A. Tumor Paru
1. Definisi
Tumor paru merupakan pertumbuhan ganas primer dari jaringan paru.
Jaringan paru yang mengalami keganasan yaitu mukosa bronkus (sel epitel, sel
membrane basalis, sel kelenjar bronkus), mukosa bronkiolus, sel alveolus dan
jaringan paru lainnya.
2. Etiologi
Sebagaimana diketahui asap rokok adalah penyebab utama kanker paru (tipe
kasinoma), karena mengandung lebih dari 4.000 zat kimia, dimana 50 jenisnya
bersifat karsinogen dan beracun. Statistik membuktikan bahwa sekitar 90%
penderita kanker paru adalah perokok aktif atau mantan perokok.

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 8


Faktor Resiko Kanker Paru, meliputi:
Lakilaki
Usia lebih dari 40 tahun
Pengguna tembakau (perokok putih, kretek atau cerutu)
Hidup dalam lingkungan asap tembakau (perokok pasif) dan asbes
3. Manifestasi Klinis
Secara umum manifestasi klinik pada penderita tumor yaitu :
a. Terdapat lesi pada organ yang biasanya tidak terasa nyeri terfiksasi dan keras
dengan batas yang tidak teratur.
b. Adanya perlekatan pada kulit/organ, lekukan pada kulit akibat distorsi
ligamentum (coperr) dan rasa sedikit tidak enak atau tegang.
c. Terjadi retraksi pada organ.
d. Pembengkakan local pada organ yang terkena.
e. Terjadi eritema atau nyeri local
f. Pada penyakit yang sudah stadium lanjut dapat terjadi pecahnya benjolan-
benjolan pada kulit dan ulserasi.
Sedangkan manifestasi klinik pada penderita tumor yaitu:
a. Batuk yang terus menerus dan berkepanjangan.
b. Napas pendek-pendek dan suara parau.
c. Batuk berdarah dan berdahak
d. Nyeri pada dada, ketika batuk dan menarik napas yang dalam
e. Hilang nafsu makan dan berat badan5
4. Klasifikasi
Berdasarkan pertumbuhannya, tumor dibagi menjadi dua jenis yaitu :
Tumor jinak
Tumor jinak umumnya terlokalisir dan tidak menyebar ke bagian tubuh
yang lain. Tumor jenis ini mudah untuk dihilangkan atau disembuhkan dengan
tuntas. Contohnya:
- Hamartroma
- Kista paru
Tumor ganas atau lebih dikenal dengan sebutan kanker.

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 9


Tumor ganas (kanker) dapat tumbuh dan membesar dengan cepat, bersifat
merusak organ di sekitarnya serta dapat mengalami metastase atau menyebar ke
organ tubuh yang lain. Klasifikasi menurut Leebow:
a. Tumor ganas epithelial
- Karsinoma bronkogen:
Epidermoid (karsinoma sel skuamosa): 45-60%
Adenokarsinoma: 15%
Karsinoma anaplastik: 30%
Campuran
- Karsinoma broniolar
- Adenoma bronkial
b. Sarkoma
c. Mixed epithelial and sarcomatous tumor (carcinoma)
d. Neoplasma asal sistem retikuloendotelial dalam paru
e. Metastasis pada paru6
5. Gambaran radiologi
Hasil pemeriksaan radiologis adalah salah satu pemeriksaan penunjang yang
mutlak dibutuhkan untuk menentukan lokasi tumor primer dan metastasis, serta
penentuan stadium penyakit berdasarkan sistem TNM. Pemeriksaan radiologi paru
yaitu Foto toraks PA/lateral, bila mungkin CT-scan toraks, bone scan, Bone
survey, USG abdomen dan Brain-CT dibutuhkan untuk menentukan letak
kelainan, ukuran tumor dan metastasis.6
a. Foto toraks :
Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat dilihat bila masa tumor dengan
ukuran tumor lebih dari 1 cm. Tanda yang mendukung keganasan adalah tepi yang
ireguler, disertai identasi pleura, tumor satelit tumor, dll. Massa opak homogen bisa di
sentral di bronkus primer, bisa di perifer dari alveolus , Gambaran membulat dengan
tepi irregular. Dari massa tersebut bisa terjadi spinasi (pertumbuhan radier ke arah
jaringan yang sehat) menyerupai kaki (pseudopodia) seperti kepiting. Dapat terjadi
perbercakan, kavitas, efusi pleura, pembesaran KGB hili, kalsifikasiPada foto tumor
juga dapat ditemukan telah invasi ke dinding dada, efusi pleura, efusi perikar dan
metastasis intrapulmoner. Sedangkan keterlibatan KGB untuk menentukan N agak
sulit ditentukan dengan foto toraks saja. Kewaspadaan dokter terhadap kemungkinan
kanker paru pada seorang penderita penyakit paru dengan gambaran yang tidak khas

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 10


untuk keganasan penting diingatkan. Seorang penderita yang tergolong dalam
golongan resiko tinggi (GRT) dengan diagnosis penyakit paru, harus disertai
difollowup yang teliti. Pemberian OAT yang tidak menunjukan perbaikan atau bahkan
memburuk setelah 1 bulan harus menyingkirkan kemungkinan kanker paru, tetapi lain
masalahnya pengobatan pneumonia yang tidak berhasil setelah pemberian antibiotik
selama 1 minggu juga harus menimbulkan dugaan kemungkinan tumor dibalik
pneumonia tersebut. Bila foto toraks menunjukkan gambaran efusi pleura yang luas
harus diikuti dengan pengosongan isi pleura dengan punksi berulang atau pemasangan
WSD dan ulangan foto toraks agar bila ada tumor primer dapat diperlihatkan.
Keganasan harus difikirkan bila cairan bersifat produktif, dan/atau cairan
serohemoragik.7

Gambar.11 Tumor paru

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 11


Gambar.12 Paru normal dan tumor paru

Gambar.13 Tumor ganas paru

b. CT-Scan toraks :
Tehnik pencitraan ini dapat menentukan kelainan di paru secara lebih baik
daripada foto toraks. CT-scan dapat mendeteksi tumor dengan ukuran lebih
kecil dari 1 cm secara lebih tepat. Demikian juga tanda-tanda proses
keganasan juga tergambar secara lebih baik, bahkan bila terdapat penekanan
terhadap bronkus, tumor intra bronkial, atelektasis, efusi pleura yang tidak
masif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada meski tanpa
gejala. Lebih jauh lagi dengan CT-scan, keterlibatan KGB yang sangat
berperan untuk menentukan stage juga lebih baik karena pembesaran KGB
(N1 s/d N3) dapat dideteksi. Demikian juga ketelitiannya mendeteksi
kemungkinan metastasis intrapulmoner.

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 12


c. Pemeriksaan radiologik lain :
Kekurangan dari foto toraks dan CT-scan toraks adalah tidak mampu
mendeteksi telah terjadinya metastasis jauh. Untuk itu dibutuhkan
pemeriksaan radiologik lain, misalnya Brain-CT untuk mendeteksi metastasis
di tulang kepala / jaringan otak, bone scan dan/atau bone survey dapat
mendeteksi metastasis diseluruh jaringan tulang tubuh. USG abdomen dapat
melihat ada tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ lain dalam
rongga perut.8

B. Tumor Mediastinum
1. Definisi
Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam mediastinum yaitu
rongga yang berada di antara paru kanan dan kiri. Mediastinum berisi jantung,
pembuluh darah arteri, pembuluh darah vena, trakea, kelenjar timus, syaraf,
jaringan ikat, kelenjar getah bening dan salurannya.
2. Etiologi

Secara umum faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebab tumor adalah:

- Penyebab kimiawi
Di berbagai negara ditemukan banyak tumor kulit pada pekerja pembersih
cerobong asap. Zat yang mengandung karbon dianggap sebagai penyebabnya.
- Faktor genetik (biomolekuler)
Perubahan genetik termasuk perubahan atau mutasi dalam gen normal dan
pengaruh protein bisa menekan atau meningkatkan perkembangan tumor.
- Faktor fisik
Secara fisik, tumor berkaitan dengan trauma/pukulan berulang-ulang baik
trauma fisik maupun penyinaran. Penyinaran bisa berupa sinar ultraviolet yang
berasal ari sinar matahari maupun sinar lain seperti sinar X (rontgen) dan radiasi
bom atom.
- Faktor nutrisi
Salah satu contoh utama adalah dianggapnya aflaktosin yang dihasilkan oleh
jamur pada kacang dan padi-padian sebagai pencetus timbulnya tumor.
- Faktor hormon

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 13


Pengaruh hormon dianggap cukup besar, namun mekanisme dan kepastian
peranannya belum jelas. Pengaruh hormone dalam pertumbuhan tumor bisa dilihat
pada organ yang banyak dipengaruhi oleh hormon tersebut.6,9
3. Patofisiologi
Sebagaimana bentuk kanker/karsinoma lain, penyebab dari timbulnya
karsinoma jaringan mediastinum belum diketahui secara pasti; namun diduga
berbagai faktor predisposisi yang kompleks berperan dalam menimbulkan
manifestasi tumbuhnya jaringan/sel-sel kanker pada jaringan mediastinum.
Adanya pertumbuhan sel-sel karsinoma dapat terjadi dalam waktu yang relatif
singkat maupun timbul dalam suatu proses yang memakan waku bertahun-tahun
untuk menimbulkan manifestasi klinik.
Dengan semakin meningkatnya volume massa sel-sel yang berproliferasi maka
secara mekanik menimbulkan desakan pada jaringan sekitarnya; pelepasan
berbagai substansia pada jaringan normal seperti prostalandin, radikal bebas dan
protein-protein reaktif secara berlebihan sebagai ikutan dari timbulnya karsinoma
meningkatkan daya rusak sel-sel kanker terhadap jaringan sekitarnya; terutama
jaringan yang memiliki ikatan yang relatif lemah.
Kanker sebagai bentuk jaringan progresif yang memiliki ikatan yang longgar
mengakibatkan sel-sel yang dihasilkan dari jaringan kanker lebih mudah untuk
pecah dan menyebar ke berbagai organ tubuh lainnya (metastase) melalui
kelenjar, pembuluh darah maupun melalui peristiwa mekanis dalam tubuh.
Adanya pertumbuhan sel-sel progresif pada mediastinum secara mekanik
menyebabkan penekanan (direct pressure/indirect pressure) serta dapat
menimbulkan destruksi jaringan sekitar; yang menimbulkan manifestasi seperti
penyakit infeksi pernafasan lain seperti sesak nafas, nyeri inspirasi, peningkatan
produksi sputum, bahkan batuk darah atau lendir berwarna merah (hemaptoe)
manakala telah melibatkan banyak kerusakan pembuluh darah. Kondisi kanker
juga meningkatkan resiko timbulnya infeksi sekunder; sehingga kadangkala
manifestasi klinik yang lebih menonjol mengarah pada infeksi saluran nafas
seperti pneumonia, tuberkulosis walaupun mungkin secara klinik pada kanker ini
kurang dijumpai gejala demam yang menonjol.10
4. Klasifikasi
Klasifikasi tumor mediastinum didasarkan atas organ/jaringan asal tumor atau
jenis histologisnya, seperti dikemukakan oleh Rosenberg.

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 14


Jenis tumor mediastinum sulit ditentukan secara radiologic. Tumor-tumor
yang sering dijumpai pada:
- Mediastinum superior: struma, kista bronkogenik, adenoma paratiroid dan
limfoma
- Mediastinum anterior: struma, timoma, teratoma, adenoma paratiroid, limfoma,
lipoma, fibroma, limfangioma, hemangioma dan hernia morgagni
- Mediastinum medius: kista bronkogenik, limfoma, kista perikardium, aneurisma,
dan hernia
- Mediastinum posterior: tumor neurogenik, fibrosarkoma, limfoma, aneurisma,
kondroma, menigokel dan hernia Bochdalek
Jenis tumor berdasarkan lokasinya

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 15


5. Gambaran Klinis
- Anamnesis
Tumor mediastinum sering tidak memberi gejala dan terdeteksi pada saat
dilakukan foto toraks. Untuk tumor jinak, keluhan biasanya mulai timbul bila
terjadi peningkatan ukuran tumor yang menyebabkan terjadinya penekanan
struktur mediastinum, sedangkan tumor ganas dapat menimbulkan gejala
akibat penekatan atau invasi ke struktur mediastinum.
Gejala dan tanda yang timbul tergantung pada organ yang terlibat,
batuk, sesak atau stridor muncul bila terjadi penekanan atau invasi
pada trakea dan/atau bronkus utama,
disfagia muncul bila terjadi penekanan atau invasi ke esofagus
sindrom vena kava superior (SVKS) lebih sering terjadi pada tumor
mediastinum yang ganas dibandingkan dengan tumor jinak,
suara serak dan batuk kering muncul bila nervus laringel terlibat,
paralisis diafragma timbul apabila penekanan nervus frenikus
nyeri dinding dada muncul pada tumor neurogenik atau pada
penekanan sistem syaraf.
- Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik akan memberikan informasi sesuai dengan lokasi,
ukuran dan keterbatasan organ lain, misalnya telah terjadi penekanan ke
organ sekitarnya.9
6. Diagnosis
Pertimbangan untuk diagnosis:
- Pada umumnya kelainan yang terjadi di mediastinum adalah jinak dan
asimtomatik
- Pembagian mediastinum ke dalam rongga anterior, superior, medial dan
posterior bertujuan memudahkan dalam menegakkan diagnosis
- Lebih dari 60% lesi pada dewasa ditemukan pada rongga anterior-superior
mediastinum, sedangkan pada anak-anak 60% lesi ditemukan di posterior
mediastinum
- Pada 75% dewasa dan 50% anak-anak massa yang terjadi adalah jinak
- Massa ganas yang paling umum terjadi di rongga anterior superior adalah
timoma, penyakit hodgkin, limfoma non hodgkin dan tumor germ cell.

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 16


- Neurinoma adalah tumor yang paling sering terjadi di rongga posterior dan
mudah dikenal dari bentuknya yang klasik seperti dumbbell-shaped contour.7
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto toraks
Dari foto toraks PA/ lateral sudah dapat ditentukan lokasi tumor, anterior, medial atau
posterior, tetapi pada kasus dengan ukuran tumor yang besar sulit ditentukan lokasi
yang pasti. Adanya struktur berupa lesi kistik, kalsifikasi, lemak dan vaskuler dapat
dinilai dengan lebih akurat dibandingkan film polos.
Tumor mediastinum anterior (tiga T-tiroid, timus, teratodermoid)
Tiroid retrosternal: massa berbatas tegas dan mungkin berlobul. Perluasan ke
mediastinum terjadi dalam berbagai derajat hingga mencapai karina
Tumor timus: tumor ini dapat bersifat jinak atau ganas dan sering disebabkan
oleh miasternia gravis
Teratodermoid: tumor ini biasanya jinak namun berpotensi menjadi ganas.
Biasanya dapat terlihat lemak, kalsifikasi di bagian tepi, fragmen tulang dan
gigi

Gambar.14 Timoma (Tumor Mediastinum Anterior)

Gambar.15 Teratoma (Tumor Mediastinum Anterior)

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 17


Gambar.16 Kista bronkogenik (Tumor Mediastinum Superior)

Tumor Mediastinum Medius


Limfadenopati: limfoma, metastasis, sarkoid atau tuberkulosis

Gambar.17 Kista perikardium (Tumor Mediastinum Medius)

Tumor Mediastinum Posterior


Tumor neurogenik yang berkembang dari saraf interkostal dan rantai
simpatis. Neurofibroma (tumor yang dibungkus saraf). Ganglioneuroma
(tumor sel saraf simpatis)

.
Gambar.18 Neurofibroma (Tumor Mediastinum Posterior)

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 18


b. Tomografi
Selain dapat menentukan lokasi tumor, juga dapat mendeteksi klasifikasi pada lesi,
yang sering ditemukan pada kista dermoid, tumor tiroid dan kadang-kadang timoma.
Tehnik ini semakin jarang digunakan.
c. CT-Scan toraks dengan kontras
Selain dapat mendeskripsi lokasi juga dapat mendeskripsi kelainan tumor secara lebih
baik dan dengan kemungkinan untuk menentukan perkiraan jenis tumor, misalnya
teratoma dan timoma. CT-Scan juga dapat menentukan stage pada kasus timoma
dengan cara mencari apakah telah terjadi invasi atau belum. Perkembangan alat bantu
ini mempermudah pelaksanaan pengambilan bahan untuk pemeriksaan sitologi. Untuk
menentukan luas radiasi beberapa jenis tumor mediastinum sebaiknya dilakukan CT-
Scan toraks dan CTScan abdomen.
d. Flouroskopi
Prosedur ini dilakukan untuk melihat kemungkinan aneurisma aorta.
e. Ekokardiografi
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi pulsasi pada tumor yang diduga
aneurisma.
f. Angiografi
Teknik ini lebih sensitif untuk mendeteksi aneurisma dibandingkan flouroskopi dan
ekokardiogram.
g. Esofagografi
Pemeriksaan ini dianjurkan bila ada dugaan invasi atau penekanan ke esofagus.
h. USG, MRI dan Kedokteran Nuklir
Meski jarang dilakukan, pemeriksaan-pemeriksaan terkadang harus dilakukan untuk
beberapa kasus tumor mediastinum.10

Peran Modalitas Radiologi dalam Kasus Kanker Paru

I. SKRINING

Secara definisi skrining berarti evaluasi pada individual yang asimtomatik namun berisiko
untuk terkena suatu penyakit. Tujuan dari skrining adalah mencegah atau memperlambat
perjalanan penyakit. Penemuan positif pada skrining dapat diikuti evaluasi lanjutan untuk
memperoleh kepastian diagnosis. Skrining yang efektif setidaknya harus memenuhi 3

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 19


kondisi. Pertama, harus dapat membantu mendiagnosa sebelum muncul gejala penyakit.
Kedua, tatalaksana dini penyakit harus lebih efektif dari tatalaksana pada stadium lanjut.
Ketiga, keuntungan dari proses skrining harus lebih besar dari potensi bahayanya.

Pada skrining kanker paru, syarat pertama relatif mudah dipenuhi. Namun syarat kedua dan
ketiga masih banyak bias yang mempengaruhi. Hal yang menjadi tantangan dalam skrining
kanker paru ini adalah karakter biologis dari sel kanker. Sel kanker paru berkembang 3-6 juta
sel per gram per jaringan tiap 24 jam yang menunjukkan potensi metastasis yang sangat
besar. Beberapa penelitian menyebutkan kemungkinan metastasis sudah terjadi pada saat lesi
berukuran sekitar 1-2 mm. Sel kanker paru juga memiliki heterogenitas karakter biologis
yang cukup luas mulai dari indolen hingga yang agresif. Hal ini menyebabkan diskusi yang
berbeda mengenai efektifitas skrining mengingat kemungkinan yang sangat beragam saat
kelainan ditemukan secara radiologis dapat menyebabkan tatalaksana yang berlebihan .

Saat ini belum ada metode khusus untuk mendeteksi kelainan kanker paru secara dini.
Skrining rutin pada populasi berisiko tinggi terhadap kanker paru masih menjadi hal yang
diperdebatkan. Individu yang berisiko tinggi terhadap kanker paru diantaranya adalah laki
laki, usia lebih dari atau sama dengan 40 tahun, perokok berat, terpapar dengan bahan
berbahaya dan atau memiliki gejala yang berhubungan dengan kanker paru. Secara umum
alur deteksi dini yang direkomendasikan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tercantum
dalam gambar 19.

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 20


Gambar.19 Alur Deteksi Dini Kanker Paru

Skrining kanker paru pada populasi berisiko tinggi sebelumnya dilakukan dengan
menggunakan foto toraks konvensional dan sitologi sputum. Foto toraks konvensional
menjadi pilihan lini pertama karena tersedia lebih luas, ekonomis dan memiliki tingkat radiasi
yang lebih rendah. Foto toraks juga menjadi pemeriksaan yang rutin dilakukan untuk general
check up. Pada pemeriksaan foto toraks rutin, dapat ditemukan nodul solid paru yang
asimtomatik.

Beberapa studi sejak tahun 1950-1975 menyebutkan, skrining kanker paru dengan foto toraks
dan sitologi sputum tidak menunjukkan hubungan yang bermakna untuk menurunkan angka
mortalitas ataupun morbiditas kanker paru. Kelemahan foto toraks dalam mendeteksi nodul
paru yang berukuran kurang dari 2 cm menjadi faktor yang mengurangi sensitifitas pada
skrining kanker paru.11

Sejak akhir tahun 1980 diperkenalkan Low Dose Helical CT (LDCT) Scan untuk skrining Ca
paru. LDCT ini menjadi pilihan karena sifatnya yang non invasif dan tidak menggunakan
kontras. Pemeriksaan ini juga memiliki waktu scanning yang lebih cepat (kurang dari 1
menit), resolusi gambar yang lebih baik dan potongan yang lebih tipis (<1mm) sehingga
nodul atau lesi yang berukuran minimal dapat dideteksi lebih dini. Pada LDCT, dosis radiasi
dapat dikurangi hingga seperlima sampai seperdelapan dosis CT standar menggunakan
protokol dosis rendah (120kV,50mAs) dengan paparan radiasi sebesar 1-4 millisieverts
tergantung dari ukuran tubuh pasien. CT scan konvensional biasanya memberikan paparan
radiasi antara 5-20 millisieverts. LDCT lebih sensitif dibandingkan foto toraks dalam
menemukan nodul berukuran kurang dari 2 cm.

Studi yang dilakukan The National Lung Screening pada tahun 2002-2010 menunjukkan
penurunan mortalitas kanker paru pada populasi berisiko tinggi sebesar 20% dengan
pemeriksaan LDCT dibanding foto toraks. Studi acak ini dilakukan dengan melibatkan
53.456 pria dan wanita, berusia antara 55 74 tahun, memiliki riwayat merokok sedikitnya
30 pak-tahun (perkalian dari jumlah rata rata pak rokok setiap hari dengan jumlah tahun
pasien telah merokok), tidak memiliki tanda, gejala, ataupun riwayat kanker paru. Skrining
dilakukan sebanyak 3 kali dalam tiga tahun berturut turut.

Kebijakan ACCP Evidence-Based Clinical Practice Guidelines edisi ke 3 mengenai Diagnosa


dan Manajemen Kanker Paru tahun 2013 tidak lagi merekomendasikan penggunaan foto

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 21


toraks konvensional ataupun sitologi sputum untuk skrining pada individu dengan risiko
tinggi kanker paru. ACCP merekomendasikan skrining tahunan dengan LDCT pada perokok
atau mantan perokok usia 55-74 tahun dan telah merokok sebanyak 30 pak/lebih per tahun
baik yang masih merokok ataupun berhenti dalam waktu kurang dari 15 tahun dengan setting
pemeriksaan yang setara dengan yang dilakukan pada National Lung Sreening. Pada individu
perokok yang akumulasi jumlahnya kurang dari 30 pak per tahun atau berumur kurang dari
55 dan lebih dari 74 atau sudah berhenti merokok lebih dari 15 tahun yang lalu, CT screening
tidak direkomendasikan.

Penggunaan LDCT masih menyisakan beberapa tantangan. Risiko kumulatif akibat paparan
radiasi tahunan tetap memberikan paparan radiasi yang lebih besar dibanding foto toraks
konvensional. Selain itu deteksi dini ternyata mempengaruhi pola hidup pasien. Pasien
perokok berat yang memiliki hasil skrining normal cenderung menganggap aman untuk
meruskan kebiasaan merokok tanpa risiko kanker paru. Kemungkinan over ataupun
pseudodiagnosis dapat melibatkan tindakan invasif yang berlebihan. Faktor biaya juga masih
menjadi pertimbangan apakah sepadan dengan manfaat yang diperoleh. Perbandingan
keuntungan dan kekurangan foto toraks dan CT Scan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan Kelebihan dan Kekurangan Modalitas Skrining Radiologi

Foto Toraks LDCT

Kelebihan Tersedia luas Resolusi lebih baik

Ekonomis Potongan lebih tipis

Cukup rutin dilakukan Lebih sensitif

Tingkat radiasi rendah

Kekurangan Sensitifitas rendah Mahal

Tidak terbukti Tingkat radiasi lebih


menurunkan morbiditas tinggi

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 22


Beberapa kebijakan hasil penilaian skrining adalah; jika ditemukan nodul solid berukuran
sangat kecil (<4mm) pada pasien risiko rendah tidak dilakukan tindak lanjut dan pada pasien
risiko tinggi dilakukan pencitraan lanjutan. Jika ditemukan nodul kecil (4-6mm) pada pasien
risiko rendah dilakukan reevaluasi pada bulan ke 12 dan tidak memerlukan follow up
tambahan jika tidak ada perubahan. Nodul solid yang berukuran 6-8mm perlu dievaluasi
antara bulan ke 6-12 dan 18-24 jika tidak didapatkan perubahan. Untuk pasien dengan risiko
tinggi, nodul berukuran kurang dari 4 mm harus di reevaluasi pada bulan ke 12. Nodul
berukuran 4-6 mm harus di follow up antara bulan ke 6-12 dan 18-24 jika tidak didapatkan
perubahan. Nodul berukuran 6-8 mm difollow up antara 3-6 bulan kemudian 9-12 bulan dan
pada bulan ke 24. Jika ditemukan nodul dan massa yang lebih besar dilakukan pancitraan
lanjutan dan pengambilan sampel jaringan pada semua pasien tanpa kelas risiko.

II. DIAGNOSIS

Diagnosa kanker paru memerlukan informasi mengenai jenis histologi, staging dan status
tampilan pasien. Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang yang penting
untuk menilai lokasi tumor primer, metastasis dan penentuan stadium penyakit. Modalitas
radiologi yang digunakan dalam diagnosis kanker paru diantaranya adalah Foto toraks
PA/Lat, CT-scan toraks s/d suprarenal, PET, MRI, dan USG.

Curiga Kanker paru

Anamnesa, Laboratorium, Bronkoskop; biopsi, TBLB,


Foto toraks PA/Lat, CT-scan
pemeriksaan jasmani pemeriksaan BAJ, TBNA, sikatan,
toraks s/d suprarenal, PET,
histologi kureting, bilasan, TTNA,
MRI, USG TTB, BJH, Biopsi pleura,
punksi pleura

Kanker paru sel kecil Kanker paru bukan


sel kecil

Gambar.20 Bagan alur diagnosa kanker paru

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 23


i. Foto toraks konvensional

Modalitas pertama yang umumnya digunakan untuk mendiagnosa kanker paru adalah
pemeriksaan foto toraks PA, Lateral dan oblique (bila perlu). Pemeriksaan ini bertujuan
menentukan letak tumor dengan tepat. Massa tumor umumnya terlihat jika berukuran lebih
dari 1 cm. Massa biasanya soliter dan terletak di perifer, 40% diantaranya dapat ditemukan di
sentral. Kelainan dapat berupa bayangan padat dengan batas suram. Tepi irregular dan
identasi pleura dan nodul satelit mendukung diagnosa ke arah keganasan.

Umumnya kanker paru tidak memberikan gambaran yang spesifik pada foto toraks. Dapat
ditemukan tanda pembesaran kelenjar getah bening di hilus, tanda destruksi iga, pendorongan
atau penarikan trakea dan mediastinum, serta kelumpuhan diafragma. Dapat juga ditemukan
invasi tumor ke dinding dada, efusi pleura, efusi perikardium dan metastasis intrapulmonal.
Pada setiap gambaran radiologis yang ditemukan pada pasien golongan risiko tinggi kanker
paru harus dilakukan follow up yang teliti. Gambaran efusi pleura luas yang ditemukan pada
foto toraks harus diikuti dengan foto toraks ulang pasca pungsi pleura atau pemasangan WSD
agar tumor primer yang tertutup efusi dapat terlihat. Keganasan harus difikirkan bila cairan
bersifat produktif, dan/atau cairan serohemoragik. Contoh gambaran kanker paru pada foto
toraks dapat dilihat pada gambar 21.12

Gambar.21 Karsinoma dengan kerusakan tulang rusuk. Kekeruhan padat di lobus kiri atas
dengan dekstruksi iga dua dan tigaII

ACCP (American College of Chest Physician) merekomendasikan diagnosa histologis untuk


nodul paru yang ditemukan membesar pada evaluasi foto toraks serial. Pasien dengan nodul
paru solid yang stabil sekurangnya dua tahun, tidak direkomendasikan evaluasi diagnostik
tambahan. Pasien TB yang tidak menunjukkan perbaikan atau bahkan perburukan setelah 1
bulan pemberian OAT atau pasien pneumonia yang tidak membaik dengan pemberian

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 24


antibiotic selama 1 minggu harus dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk menyingkirkan
kemungkinan diagnosis kanker paru.

Selain gambaran yang tidak khas, foto toraks juga kurang baik untuk mengevaluasi
keterlibatan KGB. Informasi dari pemeriksaan radiografi toraks konvensional kurang
memberikan manfaat dalam menentukan staging kanker paru. Diperlukan pemeriksaaan
radiologi lanjutan untuk menilai ukuran, lokasi dan perluasan tumor primer.

ii. CT-Scan toraks

Perkembangan CT Scan sangat cepat, dimulai dari generasi pertama yang hanya memiliki
satu detektor dan menggunakan berkas Pencil Beam, sampai yang sekarang ini sudah
menggunakan Multi Slice Detector (MSCT) dan Dual Source CT (DSCT). Tehnik pencitraan
dengan CT scan dapat mendeteksi tumor dengan ukuran kurang dari 1cm secara lebih tepat
dibandingan dengan foto toraks. ACCP merekomendasikan pemeriksaan CT scan thoraks
sebagai pemeriksaan lanjutan dengan irisan tipis untuk setiap nodul soliter paru yang
ditemukan pada pemeriksaan foto toraks. Pada individu dengan nodul solid paru
indeterminate yang berukuran lebih dari 8 mm, ACCP merekomendasikan pemeriksaan
surveillance dengan serial CT scan pada bulan ke 3-6, 9-12, dan 18-24 bulan menggunakan
LDCT non kontras.

Lesi tumor dapat muncul sebagai massa soliter dengan lobulasi, spikulasi, kavitasi dan air
bronkogram seperti gambaran ground glass opacity. Pada CT scan tanda tanda proses
keganasan tergambar lebih baik. Pada tahun 2009, Arman dkk mengajukan sistem scoring
yang dapat digunakan sebagai panduan untuk prediksi keganasan dengan mengevaluasi
karakteristik lesi yang ditemukan pada HRCT scan. Studi tersebut menunjukkan sistem
skoring tersebut memiliki sensitifitas sebesar 97,7% dan spesifisitas 83,3%. Hal yang dinilai
dalam scoring tersebut adalah volume tumor, HU, spikula, ground glass opacity, kalsifikasi,
pleural tail, rigler notch sign, angiogram sign, kavitas, atelektasis, infiltrat, destruksi tulang,
cairan pleura, metastasis dan pembesaran KGB. Nilai skor >35 curiga keganasan, <35
menunjukkan lesi jinak. CT scan toraks dapat mendeteksi penekanan bronkus, tumor
intrabronkial, atelektasis, efusi pleura minimal ataupun invasi ke mediastinum dan dinding
dada yang asimtomatik. Keterlibatan KGB dan kemungkinan metastasis intrapulmonal dapat
dievaluasi pada CT scan toraks.

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 25


CT scan inisial untuk keperluan diagnosis kanker paru disarankan menggunakan kontras
iodin. Meskipun ada yang berpendapat hal ini tidak memberikan hasil yang lebih baik, namun
pada studi lain disebutkan penggunaan kontras dapat meningkatkan penilaian KGB
mediastinum hingga 11% khususnya di regio paratrakeal atas. Pemeriksaan CT dengan
kontras iodin juga memungkinkan penilaian adanya invasi ke struktur vaskular, parakardial,
dan emboli tumor dengan lebih baik. Meskipun demikian, penggunaan kontras selalu disertai
risiko terjadinya syok anafilaktik, gagal ginjal dan kematian.

Pada pemeriksaan CT scan toraks ahli radiologi harus berhati hati dengan jenis karsinoma sel
skuamosa yang cenderung lambat pertumbuhannya. ACCP merekomendasikan follow up
tahunan pada pasien dengan ground glass opasitas yang murni. Baik CT scan maupun foto
toraks memiliki kelemahan dalam kemampuan deteksi metastasis jauh dan metastasis di KGB
mediastinum khususnya pada KGB mediastinum yang berukuran normal atau kurang dari 1
cm. Kemampuan CT scan untuk menilai keganasan di KGB mediastinum memiliki
sensitifitas dan spesifisitas sebesar 79% dan78%.11

iii. PET Scan

PET atau Positron Emission Tomography adalah modalitas radiologi terkini yang
memberikan kemajuan bermakna dalam upaya penegakkan diagnosis kanker paru. Dasar
kerja PET adalah positron dan elektron yang beranihilasi menghilangkan muatan dan
mengemisikan dua radiasi gamma 511 keV ke arah yang berlawanan pada saat yang
bersamaan. Radiasi ini akan ditangkap beberapa detektor dan dengan algoritme komputer
yang sesuai distribusi spasial radioaktif dalam tubuh direkonstruksi dalam bentuk tiga
dimensi.

PET bekerja dengan mendeteksi radioaktif yang dipancarkan oleh sejumlah kecil zat
radioaktif pelacak beberapa saat setelah disuntikkan ke vena perifer. Pelacak yang biasa
digunakan untuk deteksi kanker paru adalah analog glukosa radioaktif 18F-2-deoxy-2-fluoro-
D-glucose (FDG). Tumor ganas mempunyai metabolisme lebih cepat dibanding tumor jinak.
FDG akan mengalami uptake selular yang sama dengan glukosa namun tidak dimetabolisme
sehingga terakumulasi pada sel kanker. Akumulasi isotop inilah yang dibaca oleh PET-
Camera. Analisis dilakukan secara kuantitatif menurut standart uptake volume (SUV).
Jumlah uptake lebih besar dari 2,5 atau lebih besar dari uptake aktifitas mediastinum yang
menjadi latarnya merupakan kriteria spesifik yang menunjukkan hasil abnormal. Total zat
radioaktif yang diperlukan sama dengan dosis yang digunakan pada CT.

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 26


Pemeriksaan PET memerlukan persiapan puasa 4-6 jam sebelum pemeriksaaan. Setelah
persiapan dan pemeriksaan awalan dilakukan, zat radiofarmaka yang telah dilabel
disuntikkan secara intravena. Pemeriksaan dilakukan kurang lebih 30-50 menit hingga zat
tersebut diserap tubuh, bergantung pada organ yang diperiksa. Waktu pemeriksaan berkisar
antara 30 sampai 90 menit. Pada umumnya, pasien diperbolehkan mengkonsumsi obat yang
telah diresepkan. Khusus penderita diabetes, obat diabetes oral tetap diminum rutin dan kadar
gula harus 100-200 mg/dL sebelum pemeriksaan. PET dikontraindikasikan untuk ibu hamil.

ACCP merekomendasikan pemeriksaan PET pada pasien yang memiliki nodul paru padat
indeterminate berdiameter lebih dari 8 mm dengan pre test probabilitas keganasan yang
rendah hingga moderat untuk menilai karakteristik nodul. Pasien dengan pre test probabilitas
keganasan yang tinggi tidak direkomendasikan pemeriksaan PET untuk menilai karakteristik
nodul tapi tetap direkomendasikan untuk menentukan staging.

Aktivitas biomolekuler keganasan seringkali muncul lebih dahulu sebelum tumor dapat
dideteksi melalui pencitraan anatomik. Pemeriksaan PET dengan 18 F-FDG memiliki akurasi
tinggi dalam membedakan lesi ganas dengan jinak dengan sensitifitas 97% dan spesifisitas
78%. Hasil positif palsu dapat ditemukan pada proses peradangan seperti infeksi bakterial
paru, tuberculosis dan penyakit granulomatosa lain dapat juga menyebabkan akumulasi
18fFDG sehingga spesifitas PET menjadi rendah. Hasil negatif palsu dapat terjadi pada
beberapa kondisi yaitu ukuran lesi yang sangat kecil <6mm, kondisi pasien yang hiperglikemi
dan tumor tersembunyi dengan akifitas metabolik yang rendah. Karsinoma sel
bronkioalveolar dan tumor karsinoid juga dapat memberikan hasil negatif palsu. Penyebab
positif dan negative palsu diringkas pada tabel 2.

Tabel.2 Penyebab Hasil Positif Palsu atau Negatif Palsu pada Penggunaan PET

Positif Palsu Negatif Palsu

Inflamasi akut Luka karena bedah Hiperglikemia

Fokal keganasan yang kecil atau mikroskopik Infeksi

Hipermetabolisme otot Keganasan derajat rendah

Fokus metabolic yang sangat berdekatan

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 27


Selain sensitifitas dan spesifisitas yang cukup tinggi, PET memiliki akurasi yang lebih baik
dibandingan CT dalam deteksi atau eksklusi keterlibatan nodul mediastinum. Hasil
metaanalisis menunjukkan sensitifitas 83%, spesifitas 91% dan NPV 94,8%. Meskipun
demikian, PET tetap hanya merupakan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti kanker paru
hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan invasif seperti biopsi transtorakal dan
mediastinoskopi.

iv. Gabungan PET/CT scan

Saat ini berkembang pencitraan yang menggabungkan PET dan CT secara bersamaan.
PET/CT Scan dapat meningkatkan sensitifitas dan spesifitas diagnosa kanker paru. Dalam
satu prosedur, CT membuat gambar anatomi organ dan struktur di dalam tubuh, dan
kemudian PET membuat gambar berwarna yang menunjukkan perubahan fungsional bahan
kimia atau lainnya dalam jaringan. Perbandingan gambaran CT dan PET/CT dapat dilihat
pada gambar 22.

Gambar.22 Perbandingan gambaran CT dan PET/CT Scan

Penggabungan CT dan PET dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap dari lokasi
tumor dan pertumbuhan atau penyebarannya dibandingkan penggunaannya secara terpisah.
Prosedur gabungan dapat meningkatkan kemampuan untuk mendiagnosa kanker, menentukan
seberapa jauh tumor telah menyebar, merencanakan pengobatan, dan memantau respon
terhadap pengobatan. Gabungan PET / CT juga dapat mengurangi jumlah tes pencitraan
tambahan dan prosedur lainnya.

Pemeriksaan gabungan PET / CT scan dapat membantu ahli radiologi membedakan


metatastasis dengan lesi jinak juga membedakan tumor berulang dengan fibrosis pasca

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 28


radiasi. Namun perlu diperhatikan nilai negative palsunya yang cukup tinggi (sekitar 40%)
pada kasus sel karsinoma bronkioalveolar.

v. MRI

MRI atau Magnetic Resonance Imaging adalah modalitas tambahan yang dapat digunakan
untuk melengkapi CT Scan. Secara umum MRI memiliki kelemahan waktu pemeriksaan
yang lama, lebih rumit, lebih mahal dan resolusi spasial yang lebih rendah dibanding CT
scan. Kekurangan ini juga disebabkan rendahnya densitas proton, T2* yang pendek dan
inhomogenitas lapangan magnetik parenkim paru. Seleksi pasien yang ketat seperti pengguna
implan, katup jantung dan klaustrofobia juga menjadi keterbatasan. Untuk menilai parenkim
paru, MRI memiliki kelemahan akan banyaknya artefak yang disebabkan pergerakan dan
paucity proton pada udara parenkim.

Meskipun demikian MRI memiliki keunggulan untuk mengevaluasi tumor di daerah sulkus
superior (Tumor Pancoast) ataupun tumor yang menginvasi diafragma. MRI juga lebih
superior dibanding CT scan untuk mengevaluasi jaringan lunak, pleksus brakialis, pembuluh
darah subklavia dan kanalis spinalis.Penelitian lain yang dilakukan Akata dkk menunjukkan
dynamic respiratory MRI dapat mengevaluasi invasi dinding dada dengan sensitifitas dan
spesifisitas 100% dan 82,9%.

Perkembangan teknik MRI dan penggunaan kontras gadolinium meningkatkan kemampuan


diagnostik MRI dalam kanker paru. MRI merupakan modalitas pilihan untuk diagnosis dan
staging kanker paru pada pasien dengan alergi kontras iodine pada CT Scan ataupun dengan
gangguan ginjal yang serius.13

vi. USG

Dalam diagnosa kanker paru, USG tidak banyak digunakan untuk mengevaluasi tumor
primer. USG Toraks dapat digunakan untuk mengevaluasi kelainan pleura. Efusi pleura akan
tampak seperti lapisan hipoechoic diantara pleura parietal dan viscera. Bagian paru yang
mengalami atelektasi dapat dilihat pergerakannya melalui cairan pleura. Efusi ganas, lesi
metastasis atau mesotelioma umumnya terlihat sebagai gambaran hypoechoic. Gambaran
tumor pancoast dengan USG toraks lebih baik dibanding CT scan, tapi masih lebih baik
digambarkan oleh MRI.

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 29


Pada penelitian Bandi dkk tahun 2008,ultrasound lebih sensitif dibanding CT dalam
mengevaluasi invasi dinding dada dengan sensitifitas 89% berbanding 42%.USG toraks juga
dapat digunakan sebagai penuntun biopsi jarum. Namun hal ini masih belum terlalu banyak
dilakukan meskipun penggunaan USG toraks lebih murah dan mudah jika dibanding CT
scan. Keterampilan operator pengguna USG toraks belum banyak sehingga masih jarang
yang melakukan. Massa subpleura, dinding dada dan dalam pleura dapat dibiopsi jarum
dengan penuntun USG toraks.

KESIMPULAN

Masalah kanker paru memerlukan kerjasama multidisiplin. Modalitas radiologi


memegang peranan penting dalam deteksi dini, diagnosa, staging dan evaluasi kanker paru.
Setiap modalitas memiliki nilai kelebihan dan kekurangan masing masing. Foto toraks
merupakan modalitas awal dalam diagnosa kanker paru. CT scan memiliki keunggulan untuk
deteksi dini dan deskripsi tumor primer. PET Scan dan PET/CT Scan berperan unggul untuk
menentukan keganasan, staging, keterlibatan KGB mediastinum dan deteksi metastasis jauh.
MRI baik untuk menilai invasi dinding dada, tumor di area sulkus superior dan metastasis ke
otak. USG digunakan untuk mengevaluasi metastasis hati. Bone scan dan Bone Survey baik
untuk mengevaluasi metastasis tulang. Penilaian radiologis yang akurat dapat memperbaiki
diagnosa dan tatalaksana pasien yang berpengaruh pada angka harapan hidup penderita
kanker paru.

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 30


DAFTAR PUSTAKA

1. Jemal A, Bray F, Center MM, Ferlay J, Ward E, Forman D. Global cancer statistics.
CA Cancer J Clin. 2011 Apr;61(2):6990.
2. Indonesia PDP. Kanker Paru, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Jkt Balai Penerbit FKUI. 2003;
3. Kernstine K, H RKLKK. Lung Cancer: A Multidisciplinary Approach to Diagnosis
and Management. Demos Medical Publishing; 2010. 477 p.
4. UyBico SJ, Wu CC, Suh RD, Le NH, Brown K, Krishnam MS. Lung Cancer Staging
Essentials: The New TNM Staging System and Potential Imaging Pitfalls.
RadioGraphics. 2010 Agustus;30(5):116381.
5. Aberle DR, Brown K. Lung Cancer Screening with CT. Clin Chest Med. 2008
Mar;29(1):114.
6. Patz EF, Black WC, Goodman PC. CT Screening for Lung Cancer: Not Ready for
Routine Practice. Radiology. 2001 Desember;221(3):58791.
7. Rasad S. Radiologi Diagnostik. Edisi-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2013.h. 148-151.
8. Black WC, Gareen IF, Soneji SS, Sicks JD, Keeler EB, Aberle DR, et al. Cost-
effectiveness of CT screening in the National Lung Screening Trial. N Engl J Med.
2014;371(19):1793802.
9. Shaw P, Hollings N. (2002). Diagnostic imaging of lung cancer. European
Respiratory Journal. 724-6.

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 31


10. Wang YJ, Jing Y, Lo GG. (2014). Magnetic resonance imaging for lung cancer
screen. Journal of Thoracic disease.
11. Rakesh R. Misra AP. AZ of Chest Radiology. 1st ed. United Kingdom: Cambridge
University Press; 2007. 56-63 p.
12. Laurent F, Montaudon M, Corneloup O. CT and MRI of Lung Cancer. Respir Int Rev
Thorac Dis. 2006;73(2):13342.
13. Munden RF, Swisher SS, Stevens CW, Stewart DJ. Imaging of the Patient with Non
Small Cell Lung Cancer. Radiology. 2005 Desember;237(3):80318.

Peran Radiologi pada Tumor Paru dan Tumor Mediastinum | 32

Anda mungkin juga menyukai