Anda di halaman 1dari 3

Pemerintah Tidak Serius Bantu Nelayan Cantrang

Oleh Chamim Irfani


Ketua Komisi B DPRD Provisi Jawa Tengah

Awal tahun 2015 yang lalu, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 2/2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat
Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) Di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia. Salah satu alat penangkapan ikan sebagaimana tersebut
dalam peraturan menteri KKP tersebut adalah jenis Cantrang.

Alat tangkap Cantrang ini sudah secara tradisional selama puluhan tahun bahkan mungkin
ratusan tahun digunakan oleh nelayan terutama di Jawa Tengah. Tercatat 10.000 lebih kapal
Cantrang dengan bobot sampai 10 GT, 368 kapal Cantrang 10 30 GT dan 858 kapal diatas 30
GT. Ribuan kapal Cantrang ini menyerap tenaga kerja nelayan lebih dari 100.000 orang yang
terlibat langsung diatas kapal.

Jumlah produksi ikan yang dihasilkan nelayan berdasar data dari BPS Tahun 2015 sebesar
214.498.721 kg. Angka tersebut merupakan produksi ikan laut yang dilelang di TPI. Padahal
berdasarkan pengamatan penulis, diperkirakan hanya 10 persen produksi ikan yang dilelang di
TPI. Sisanya dijual langsung ke pedagang atau sudah terjerat sistem ijon dengan pihak yang
mendanai perjalanan kapal baik dari bahan bakar maupun perbekalan. Dengan asumsi tersebut
jumlah produksi ikan laut diperkirakan mencapai 2 juta ton lebih.

Produksi ikan laut sebesar tersebut sebagian besar dihasilkan oleh nelayan pengguna jaring
Cantrang, mengingat di Jawa Tengah pengguna Cantrang jumlahnya sangat banyak. Bisa
dibayangkan berapa juta penduduk yang menggantungkan perekonomiannya dari tangkapan
ikan ini. Mereka terdiri dari pedagang, buruh bongkar muat dan belum lagi industri yang
berbahan baku ikan.

Dengan diterbitkannya Permen KP No 2 Tahun 2015 telah mengancam turunnya produksi ikan
dan terganggunya proses perekonomian masyarakat yang menggantungkan ekonominya dari
produksi ikan laut ini. Walaupun dalih yang digunakan Menteri Kel;autan dan Perikanan Susi
Pujiastuti adalah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Namun kenyataannya nelayan
sudah secara tradisional dan turun temurun menggunakan Cantrang sehingga tidak mudah
untuk merubahnya.

Perubahan penggunaan alat tangkap Cantrang tidak serta merta mudah dilakukan, disamping
sudah mendarah daging turun temurun, penggantian alat tangkap jenis ini juga membutuhkan
beaya yang tidak sedikit yakni berkisar antara Rp. 600 juta rupiah sampai Rp 1 miliar lebih.
Angka itu baru berupa harga alat tangkapnya saja belum lagi komponen lainnya mengingat
kapal cantrang dibuat khusus untuk alat tangkap cantrang. Kalau mau diganti dengan alat
tangkap jenis lain maka idealnya juga harus ganti semua komponen penangkapan termasuk
kapalnya. Dengan demikian maka beaya yang harus dikeluarkan untuk mengganti Cantrang
sangat besar.

Sejak Permen ini dikeluarkan Tahun 2015 yang lalu, berbagai gejolak terus bermunculan,
sebagai respon atas ketidaksiapan nelayan Cantrang berganti alat dan banyaknya tekanan dari
masyarakat, maka pemberlakuan Permen ini terus mengalami penundaan. Terakhir atas saran
Presiden Joko Widodo, Menteri Susi menunda lagi pemberlakuan Cantrang sampai akhir tahun
2017. Namun demikian Nelayan yang masih menggunakan Cantrang hanya boleh mencari ikan
di wilayahnya sendiri dan tidak boleh keluar dari wilayah asal nelayan. Kalau nekat, ancaman
ditangkap aparat sangat besar.

Kebijakan Menteri Susi yang memundurkan tenggat waktu pemberlakuan Permen Nomor
2/2015 tentu saja menambah panjang nafas nelayan, namun sebenarnya penundaan tersebut
hanya menjadi bom waktu mengingat sebagian besar nelayan sebenarnya tidak mampu untuk
mengganti alat tangkap. Disisi lain penundaan tersebut selalu saja hanya sebatas lesan semata
sehingga tidak bisa menjadi pijakan yang kuat bagi setiap stakeholder perikanan kelautan.

Derita nelayan akan semakin lengkap selain identic dengan kehidupan yang serba kurang,
ancaman dimasukkan di penjara semakin jelas didepan mata karena dalam masa transisi
sampai akhir 2017 hanya boleh melaut di wilayahnya saja. Padahal berdasarkan hasil uji petik
penggunaan alat tangkap Cantrang yang dilakukan oleh Komisi B DPRD Jawa Tengah bersama
dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jateng pada awal 2016 yang lalu, Cantrang hanya
bisa dioperasikan di laut lepas diatas 12 mil. Hal ini mengingat, tebaran jaring Cantrang bisa
mencapai seribu meter sehingga membutuhkan area yang tidak banyak nelayannya. Kalau di
area 12 mil kebawah, wilayah tersebut sudah dipenuhi oleh nelayan yang berlayar
menggunakan system one day fishing.

Masih berdasar hasil uji petik penggunaan Cantrang, salah satu dalih yang serig dilontarkan
Menteri Susi adalah alat ini tidak ramah lingkungan karena bisa merusak terumbu karang.
Kekawatiran menteri nyentik ini tidak sepenuhnya benar mengingat hasil uji petik yang
melakukan tebar jaring sampai 10 kali di laut Jawa sekitar 40 mil utara Pelabuhan Tegal tidak
terindikasi sedikitpun terangkat terumbu karang, bahkan bunga karangnya saja tidak terangkat.

Kalau Menteri Susi menghawatirkan terjadinya konflik horizontal yang kemugkinan terjadi
akibat penggunaan alat tangkap Cantrang, menurut penulis kekawatiran tersebut sangat
berlebihan mengingat di atas12 mil jumlah nelayannya tidak padat bahkan bisa dibilang seperti
tidak ada teman atau kapal lain yang melaut. Dengan demikian konflik horizontal nyaris tidak
ditemukan. Terjadinya beberapa kasus konflik antar nelayan di beberapa tempat justru dipicu
adanya kecemburuan karena beberapa nelayan masih bisa menggunakan Cantrang. Penyebab
lain juga belum disusunnya zonasi yang jelas yang mengatur wilayah penangkapan.

Sifat Menteri Susi yang kaku dan malu untuk merevisi Permen No 2 Tahun 2015 sangat
disayangkan banyak pihak. Menteri yang dipandang sukses menangani illegal fishing dengan
punishment berupa peledakan dan penenggelaman kapal nelayan asing ini dinilai keras kepala
tidak mau memperhatikan nasib nelayan dan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari
sector kelautan. Bisa dihitung berapa jumlah nelayan yang akan menganggur, berap masyarakat
yang kehilangan mata pencaharian karena ikannya tidak ada yang dibongkar.

Kalau menteri Susi tetap malu dan keras kepala tidak mau mencabut atau merevisi Permen
tersebut maka dampaknya akan sangat besar, yakni semakin meningkatnya angka kemiskinan
di Jawa Tengah. Hal ini mengingat sector nelayan adalah salah satu penyumbang terbesar angka
kemiskinan selain petani. Kekerasan dan urat malu yang terus dipelihara Menteri Susi akan
memicu semakin kronisnya jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah.

Berdasar data statistic pada akhir tahun 2016 kemarin, jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah
sebesar 4.506.890 jiwa atau sebesar 13,27 persen. Kalau Permen 2/2015 diberlakukan secara
efektif tanpa kompensasi penggantian alat tangkap yang memadai untuk semua pemakai
Cantrang maka angka kemiskinan di Jawa Tengah akan mengalami kenaikan yang drastis. Bisa
dikatakan bahwa pemerintah terutama Menteri Susi harus memikul tanggung jawab atas
peristiwa ini. Oleh karena itu sebelum terlambat, menurut hemat penulis, Menteri susi harus
menanggalkan rasa malu dan keras kepala agar tidak disebut memiliki kontribusi dalam
meningkatnya akan kemiskinan di Jawa Tengah. ***

Anda mungkin juga menyukai