S2 2015 277799 Chapter1 PDF
S2 2015 277799 Chapter1 PDF
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
keadaan telah membaik dan pada tahun 2013 menjadi peringkat 5 dunia
(Wikipedia, 2014).
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang menjadi tantangan global. Indonesia merupakan negara pertama di negara-
negara dengan beban TB yang tinggi di wilayah Asia Tenggara yang berhasil
mencapai target Millenium Development Goals (MDG) untuk TB pada tahun
2006, yaitu 70% penemuan kasus baru BTA positif dan 85% kesembuhan. Saat ini
Indonesia telah turun dari urutan ke tiga menjadi urutan ke lima negara dengan
beban TB tertinggi di dunia (WHO, 2010). Di level global, situasi penyakit
tuberkulosis semakin memburuk, jumlah kasus penyakit tuberkulosis meningkat
dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang
dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah penyakit tuberkulosis besar
(high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO
mencanangkan penyakit tuberkulosis sebagai kedaruratan dunia (global
emergency) (Kemenkes RI, 2012).
Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit menular kronis yang
menjadi isu global yang menjadi sasaran di dalam MDGs dan juga tercantum di
dalam SPM kesehatan. Di Indonesia penyakit ini termasuk salah satu prioritas
nasional untuk program pengendalian penyakit karena berdampak luas terhadap
kualitas hidup dan ekonomi, serta sering mengakibatkan kematian (Laksono,
2012).
Indonesia menduduki ranking ke 5 dari 22 negara-negara yang
mempunyai beban tinggi untuk TB dan memberikan kontribusi jumlah kasus TB
di dunia sebesar 4,7%. Pada tahun 2009, perkiraan insidensi TB semua tipe adalah
189 kasus per 100.000 penduduk per tahun dengan penemuan kasus TB baru dan
kambuh adalah 127 per 100.000 penduduk per tahun dan angka prevalensi sebesar
285 per 100.000 penduduk per tahun. Angka kematian karena TB diperkirakan
sebesar 27 per 100.000 penduduk per tahun. Dengan jumlah penduduk 230 juta,
angka ini didukung dengan penemuan 660.000 total kasus, penemuan kasus baru
semua tipe 430.000 dengan 169.213 kasus baru BTA-positif dan jumlah kematian
61.000 (WHO, 2010).
2
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif
secara ekonomis (15 - 50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada
kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia
meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun.
Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya
secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat (Kemenkes RI, 2009).
Berdasarkan data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010
terdapat Lima provinsi yang memiliki angka prevalensi tertinggi yaitu Papua
1.441 per 100.000 penduduk, Banten 1.282 per 100.000 penduduk, Sulawesi
Utara 1.221 per 100.000 penduduk, Gorontalo 1.200 per 100.000 penduduk, dan
DKI Jakarta 1.032 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2010). Data dari hasil
Riskesdas tahun 2013 prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB paru
oleh tenaga kesehatan adalah 0,4 persen, tidak berbeda dengan tahun 2007. Lima
provinsi dengan TB paru tertinggi adalah Jawa Barat (0,7%), Papua (0,6%), DKI
Jakarta (0,6%), Gorontalo (0,5%), dan Papua Barat (0,4%) (Kemenkes RI, 2013).
Pada tahun 2013 ditemukan jumlah kasus baru BTA positif (BTA+)
sebanyak 196.310 kasus, menurun bila dibandingkan kasus baru BTA+ yang
ditemukan tahun 2012 yang sebesar 202.301 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang
dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa
Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus baru BTA+ di tiga provinsi tersebut
hampir sebesar 40% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia (Kemenkes RI,
2014).
Sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2012 proporsi pasien baru BTA
positif di antara seluruh kasus belum mencapai target yang diharapkan meskipun
tidak terlalu jauh berada di bawah target minimal (yang sebesar 65%). Hal itu
mengindikasikan kurangnya prioritas menemukan kasus BTA positif. Proporsi
BTA positif pada tahun 2012 di antara seluruh kasus TB paru tertinggi dicapai
oleh Provinsi Sulawesi Tenggara (94%), Sulawesi Utara dan Jambi masing-
masing 92%. Sedangkan capaian terendah yaitu Provinsi Papua Barat (31%), DKI
Jakarta (33%) dan Papua (38%). Jawa Barat termasuk diantara provinsi yang
3
proporsi pencapaiannya masih rendah yaitu sebesar 55% (Kemenkes RI, 2013). Di
Provinsi Jawa Barat, persentase pasien TB Paru BTA positif terhadap suspek TB
Paru sebesar 11,5%, dengan kasus TB Paru BTA positif sebanyak 29.413 kasus
(Dinkes Jawa Barat, 2008). Di tahun 2011 terdapat 34.658 kasus tuberkulosis di
Provinsi Jawa Barat, dengan jumlah terbesar terjadi di Kabupaten Bogor sebanyak
3.835 kasus (Dinkes Jawa Barat, 2012).
Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak
dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain karakteristik individu,
memburuknya kondisi sosial ekonomi, lingkungan fisik yang kurang memadai,
belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya
jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari
infeksi HIV. Daya tahan tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman
merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi TBC
(Girsang, 2011).
Kriteria rumah sehat yang digunakan bila memenuhi tujuh kriteria,
yaitu atap berplafon, dinding permanen (tembok/papan), jenis lantai bukan tanah,
tersedia jendela, ventilasi cukup, pencahayaan alami cukup, dan tidak padat huni
(lebih besar atau sama dengan 8 m/orang). Sebanyak 24,9% rumah penduduk di
Indonesia termasuk dalam kriteria rumah sehat. Provinsi yang paling rendah
persentasenya yaitu Nusa Tenggara Timur (7,50%), sedangkan provinsi yang
persentasenya paling tinggi yaitu Kalimantan Timur (43,60%). Sedangkan untuk
provinsi Jawa Barat memiliki persentase dengan kriteria rumah sehat sebesar
24,40% (Kemenkes RI, 2012).
Hasil penelitian Lismarni (2004), menunjukkan bahwa jumlah
tersangka penderita TB paru di Indonesia sebanyak 6.17%, dengan kasus di
daerah pedesaan sebesar 3,41%, lebih tinggi dari daerah perkotaan yang sebesar
2,76%. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa faktor lingkungan fisik
rumah yaitu kepadatan hunian, ventilasi dan pencahayaan alami dalam rumah
merupakan faktor risiko terhadap tersangka penderita TB paru dengan nilai yang
bervariasi antar wilayah. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Darwel (2012),
yang menemukan bahwa faktor lingkungan fisik rumah yang berisiko terhadap
4
kejadian TB paru di Sumatera adalah ventilasi rumah, pencahayaan, dan
kepadatan hunian. Dari penelitian tersebut juga ditemukan bahwa hubungan
lingkungan fisik rumah dengan kejadian TB paru berbeda signifikan berdasarkan
faktor umur dan jenis kelamin.
Berdasarkan permasalahan di atas dan merujuk pada hasil penelitian-
penelitian terdahulu maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan fisik rumah yang
tidak memenuhi syarat akan menjadi faktor risiko yang tinggi terhadap penularan
dan kejadian tuberkulosis paru di Indonesia. Di antara faktor-faktor risiko
lingkungan fisik rumah yang dapat mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru di
antaranya adalah terdapatnya ventilasi, pencahayaan alami yang cukup, jenis
lantai rumah yang bukan tanah, serta kepadatan hunian yang memadai dengan
luas rumah yang ditempati. Ke empat faktor tersebut dijadikan variabel dalam
penelitian ini karena merupakan faktor-faktor lingkungan fisik rumah yang paling
sering menjadi faktor risiko terhadap kejadian TB paru di Indonesia, seperti
penelitian Versitaria (2004) yang menunjukkan bahwa lingkungan fisik rumah
yang berhubungan dengan TB paru adalah ventilasi kamar (OR=3), sinar matahari
langsung (OR=2), dan kepadatan hunian (OR=2). Sedangkan penelitian Darwel
(2012) menemukan bahwa faktor lingkungan fisik rumah yang berisiko terhadap
kejadian TB paru adalah ventilasi rumah (PR=1,3), pencahayaan (PR=1,5), jenis
lantai rumah (PR=0,8)serta kepadatan hunian (PR=1).
Provinsi Jawa Barat dipilih sebagai terget populasi yang akan diteliti
karena berdasarkan data Riskesdas 2013 prevalensi penduduknya yang
didiagnosis terkena TB paru adalah sebesar 0,7%, cukup jauh di atas prevalensi di
tingkat nasional yang sebesar 0,4%. Angka tersebut juga menunjukkan bahwa
Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah prevalensi tertinggi dibandingkan
provinsi lainnya di Indonesia.
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru
yang menjadi faktor risiko selain lingkungan fisik rumah. Berdasarkan uraian
tersebut di atas peneliti ingin melakukan penelitian mengenai hubungan kondisi
lingkungan fisik rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di Jawa Barat.
5
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan fisik rumah
dengan kejadian TB paru pada penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa Barat.
Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan ventilasi ruangan dalam rumah dengan kejadian
TB paru pada penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa Barat.
b. Untuk mengetahui hubungan pencahayaan alami ruangan dengan kejadian TB
paru pada penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa Barat.
c. Untuk mengetahui hubungan jenis lantai rumah dengan kejadian TB paru
pada penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa Barat.
d. Untuk mengetahui hubungan kepadatan hunian rumah dengan kejadian TB
paru pada penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa Barat.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Keilmuan
Memberikan informasi ilmiah tentang faktor-faktor yang berkolerasi terhadap
hubungan kondisi lingkungan fisik rumah dengan kejadian TB paru di Jawa
Barat.
6
2. Manfaat untuk Program Kesehatan
Sebagai bahan masukan bagi pembuat kebijakan program TB paru dalam
menyusun strategi pengendalian TB paru di Indonesia.
3. Manfaat Bagi Peneliti
Meningkatkan pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan penelitian
sehingga dapat memperkaya hasil-hasil penelitian sebelumnya.
E. Keaslian Penelitian
7
3. Ruswanto (2010), melaporkan penelitian dengan judul Analisis Spasial
Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru Ditinjau Dari Faktor Lingkungan Dalam
dan Luar Rumah DI Kabupaten Pekalongan. Penelitian ini menggunakan
metode case control study. Subyek penelitiannya adalah 70 kasus (penderita
TB BTA positif) dan kontrol 70 (penderita TB BTA negatif). Persamaan
dengan penelitian ini adalah pada variabel bebas dan terikat yang digunakan.
Sedangkan perbedaannya terletak pada metode penelitian yang digunakan.