Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian


Trauma merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di dunia. Tingkat
kematian (mortality rate) kasus trauma lebih tinggi pada negara-negara
berpenghasilan menengah ke bawah, hal ini berhubungan dengan penggunaan
transportasi bermotor, kurang maksimalnya pembangunan jalan, dan sistem
penanganan trauma yang terbatas. Secara statistik, lebih banyak yang berakhir dengan
kecacatan baik sementara maupun permanen. Statistik gabungan kasus trauma akibat
jatuh dan kecelakaan lalu lintas, mendapatkan angka antara 1000-2600/100.000 jiwa
per tahun pada negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah. Di negara-negara
berpenghasilan tinggi angka ini hanya sekitar 500/100.000 jiwa per tahun.1

Patah tulang atau fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang
yang disebabkan oleh trauma atau non trauma. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh
tulang patah, sedangkan fraktur tidak lengkap adalah fraktur yang tidak melibatkan
seluruh ketebalan tulang. Pada beberapa keadaan trauma musculoskeletal, fraktur dan
dislokasi dapat terjadi bersamaan. Hal ini terjadi apabila kehilangan hubungan yang
normal antara kedua permukaan tulang disertai dengan fraktur persendian tersebut.2

Neglected fracture dengan atau tanpa dislokasi adalah suatu fraktur yang tidak
ditangani dengan tidak semestinya sehingga menghasilkan keadaan keterlambatan
dalam penanganan, atau kondisi yang lebih buruk dan bahkan kecatatan. Penanganan
fraktur yang salahini biasanya dilakukan oleh bone setter (dukun patah) yang masiih
sering dijumpai di masyarakat Indonesia.2
Secara epidemiologis, presentase kejadian patah tulang tertinggi di Indonesia
terdapat di propinsi Papua yaitu sebesar 8,3 % sedangkan di Jawa Barat memiliki
presentase sebesar 6,0%. Berdasarkan kelompok umur, angka kejadian patah tulang
tertinggi terjadi pada usia diatas 75 tahun. Berdasarkan kelompok jenis kelamin,
angka kejadian patah tulang lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan
dengan presentase 6,6%. Berdasarkan tingkat pendidikan, angka kejadian patah
tulang tertinggi pada tingkat diploma/perguruan tinggi. Berdasarkan status pekerjaan,
angka kejadian patah tulang tertinggi terjadi pada wiraswasta dengan presentase
sebesar 7,3%. Berdasarkan tempat tinggal, angka kejadian patah tulang lebih banyak
terjadi di perdesaan daripada di perkotaan dengan presentase 6,0%. Berdasarkan
kuintil indeks kepemilikan, angka kejadian patah tulang tertinggi terjadi pada
kelompok menengah dan teratas dengan presentase sebesar 6,0%.3
Berdasarkan hasil penelitian penderita neglected fracture di RSUD dr. Abdoer
Rahem pada periode 1 Januari 2012 sampai dengan 31 Desember 2013 didapatkan
data 26 pasien neglected fracture yang terdiri dari 11 kasus (42,31%) pada tahun
2012 dan 15 kasus (57,69%) pada tahun 2013. Dari 26 penderita neglected fracture,
20 orang (76,92%) laki-laki dan 6 orang (23,08%) perempuan. Sebanyak 1 orang
(3,85%) berusia kurang dari 24 tahun, 24 orang (92,5%) berusia dewasa atau
produktif, dan 1 orang (3,85%) lanjut usia. Umur rata-rata penderita neglected
fracture adalah 36,38 tahun. Sebanyak 10 orang (38,46%) masuk kelas I, 1 orang
(3,85%) masuk pelayanan kelas 2, sisanya 15 orang (57,69%) masuk pelayanan kelas
3. Dari 26 orang penderita tersebut, sebagian besar (69,23%) pasien mengalami
neglected fracture di ektremitas bawah, yaitu femur, tibia, dan fi bula, sebanyak
30,76% pasien me-ngalami neglected fracture pada ekstremitas atas Sebanyak 12
orang (46,155%) mengalami komplikasi nonunion, 12 orang (46,155%) mengalami
komplikasi malunion, dan 2 orang (7,69%) mengalami komplikasi infeksi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang dapat dikemukakan
yaitu:
Bagaimana karakteristik neglected fracture berdasarkan usia, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, latar belakang pekerjaan dan ekonomi yang ditemukan pada
pasien di bagian Bedah Rumah Sakit Dustira?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui karakteristik neglected fracture pada pasien di bagian Bedah
Rumah Sakit Dustira.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengetahui karakteristik neglected fracture berdasarkan usia, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, latar belakang pekerjaan dan ekonomi yang ditemukan pada
pasien di bagian Bedah Rumah Sakit Dustira

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Akademik
Memberikan informasi mengenai karakteristik neglected fracture dan data hasil
penelitian bisa dipakai untuk penelitian selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
Memberikan informasi dan pengetahuan mengenai karakteristik neglected fracture
di masyarakat, dan data ini sebagai dasar pertimbangan bagi Rumah Sakit Dustira
untuk dapat meningkatkan program penanganan fraktur kedepann
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Patah tulang atau fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang
yang disebabkan oleh trauma atau non trauma. Neglected fracture dengan atau tanpa
dislokasi adalah suatu fraktur yang tidak ditangani dengan tidak semestinya sehingga
menghasilkan keadaan keterlambatan dalam penanganan, atau kondisi yang lebih
buruk dan bahkan kecatatan adalah hilangnya kontinuitas. (Apley & Solomon, 2013)
2.2 Anatomi dan Histologi Tulang
Tulang adalah jaringan ikat hidup yang mengalami kalsifikasi, yang membentuk
sebagian besar kerangka. Tulang berfungsi sebagai penyokong struktur tubuh,
pelindung organ vital, tempat penyimpanan kalsium dan fosfor, pengunngkit otot
untuk menghasilkan gerak serta tempat untuk sel-sel yang memproduksi darah. Ada
dua jenis tulang, yakni compacta dan spongiosa (trabekularis atau cancellous).
Tulang compacta adalah tulang padat yang membentuk lapisan/ cangkang terluar dari
semua tulang dan mengelilingi tulang spongiosa. Tulang spongiosa terdiri dari
spiculae/ berkas-berkas tulang di antara rongga-rongga yang mengandung sel-sel
pembentuk darah (sumsum). Drake, R.L., Vogl, A.W., Mitchell, A.W.M., 2012. Gray
Dasar-Dasar Anatomi. Elsevier Churchill Livingstone, Singapore.
Tulang mendapat vaskularisasi dan persarafan. Umumnya, arteria yang berdekatan
berfungsi sebagai arteria nutriciae, biasanya satu di setiap tulang yang secara
langsung memasuki rongga di dalam tulang dan menyuplai sumsum tulang., tulang
spongiosa, dan lapisan-lapisan dalam tulang compacta. Selain itu, semua tulang
ditutupi dari luar oleh suatu jaringan ikat, membrane fibrosum yang disebut
periosteum, yang memiliki kemamuan unik untuk membentuk tulang baru, kecuali
pada daerah persendian, dimana didapatkan persendian tulang rawan. Membrane ini
menerima pembuluh-pembuluh darah yang cabang-cabangnya menyuplai lapisan-

5
lapisan luar tulang compacta. Tulang yang dilepaskan dari periosteumnya tidak akan
bertahan hidup. Persarafan beserta pembuluh-pembuluh darah menyuplai tulang dan
periosteum. Sebagian besar nervus/ saraf yang memasuki rongga dalam dengan
arteria nutriciae adalah serabut nervus vasomotorius yang mengatur aliran darah.
Tulang sendiri mempunyai sedikit serabut nervus sensorius. Di sisi lain, periosteum
disuplai oleh banyak serabut nervus sensorius dan sangat sensitif terhadap setiap jenis
cedera. Drake, R.L., Vogl, A.W., Mitchell, A.W.M., 2012. Gray Dasar-Dasar
Anatomi. Elsevier Churchill Livingstone, Singapore.
Di sepanjang garis tengah tulang panjang (seperti femur, tibia atau humerus)
terdapat kanal medulari atau rongga sumsum. Rongga ini berisi sumsum tulang merah
yang menghasilkan sel darah; sumsum kuning yang sebagian besar berupa jaringan
lemak; dan banyak pembuluh darah. Lapisan tulang spons mengelilingi rongga
sumsum, dengan rongga menyerupai sarang lebah di lapisan tersebut yang juga
mengandung sumsum. Lapisan spons dikelilingi lapisan tulang padat yang
menyerupai cangkang keras, padat, dan kuat. Kanal-kanal kecil menghubungkan
rongga sumsum dengan periosteum, yaitu membrane yang menyelubungi permukaan
tulang. Ensiklopedia tubuh manusia
Jaringan tulang terbentuk dari sel khusus dan serta protein, terutama kolagen,
terajut dengan air, kristal mineral dan garam, karbohidrat, dan zat lain. Di dalam
tulang terdiri atas materi antar sel berkapur yaitu matriks tulang dan sel-sel tulang
(osteosit, osteoblast, dan osteoklas). Osteoblas berperan dalam sintesis komponen
organik matriks tulang yang terdiri atas kolagen tipe I, proteoglikan dan glikoprotein
termasuk osteonektin. Osteoblas melepaskan vesikel berselubung membran yang
kaya akan fosfatase alkali dan enzim lain yang aktivitasnya meningkatkan konsentrasi
ion PO4- setempat. Dengan konsentrasi kedua ion tersebut yang tinggi, vesikel
matriks tersebut berfungsi sebagai tempat untuk pembentukan Kristal hidroksiapatit
[Ca10(PO4)6(OH)2], yang merupakan permulaan dari kalsifikasi. Osteosit merupakan
hasil dari sekresi osteoblas yang terselubung dalam lakuna dan mengelilingi
osteoblast. Osteosit memiliki sedikit retikulo endotelial kasar dan apparatus Golgi
serta kromatin inti yang padat. Sel-sel ini secara aktif terlibat dalam mempertahankan
matriks tulang dan kematiannya diikuti oleh resorpsi matriks tersebut. Osteoklas
adalah sel motil bercabang yang sangat besar dengan inti multipel yang berasal dari
penggabungan sel dari sumsum tulang. Osteoklas terdapat di lekukan atau kriptus
yang terbentuk akibat kerja enzim pada matriks di area terjadinya resorpsi tulang.
Osteoklas menyekresi kolagenase, proton dan enzim lain ke dalam kantong subseluler
yang menciptakan suasana asam untuk pencernaan kolagen. Ensiklopedia tubuh
manusia. Junqueira
Pertukaran antara osteosit dan kapiler darah bergantung pada komunikasi pada
kanalikuli hal ini karena metabolit tidak dapat berdifusi melalui matriks tulang yang
telah mengapur. Permukaan luar dan dalam tulang ditutupu lapisan sel-sel pembentuk
tulang dan jaringan ikat yang disebut periosteum dan endosterum. Periosteum terdiri
atas lapisan luar berkas kolagen dan fibroblas. Lapisan ini mengandung sel punca
mesenkimal yang disebut sel osteoprogenitor yang berpotensi membelah melalui
mitosis dan berkembang menjadi osteoblast. Sel osteoprogenitor berperan penting
dalam pertumbuhan dan perbaika tulang. Endosteum melapisi rongga dalam di bagian
dalam tulang yang merupakan selapis sel jaringan ikat yang sangat tipis berisi
trabekula atau spikula kecil tulang yang berprojeksi ke dalam rongga. Fungsi utama
periosteum dan endosteum adalah memberi nutrisi pada jaringan tulang dan
menyediakan osteoblast baru secara kontinu untuk perbaikan atau pertumbuhan
tulang. Junqueira
2.3 Epidemiologi
Secara epidemiologis, presentase kejadian patah tulang tertinggi di Indonesia
terdapat di propinsi Papua yaitu sebesar 8,3 % sedangkan di Jawa Barat memiliki
presentase sebesar 6,0%. Berdasarkan kelompok umur, angka kejadian patah tulang
tertinggi terjadi pada usia diatas 75 tahun. Berdasarkan kelompok jenis kelamin,
angka kejadian patah tulang lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan
dengan presentase 6,6%. Berdasarkan tingkat pendidikan, angka kejadian patah
tulang tertinggi pada tingkat diploma/perguruan tinggi. Berdasarkan status pekerjaan,
angka kejadian patah tulang tertinggi terjadi pada wiraswasta dengan presentase
sebesar 7,3%. Berdasarkan tempat tinggal, angka kejadian patah tulang lebih banyak
terjadi di perdesaan daripada di perkotaan dengan presentase 6,0%. Berdasarkan
kuintil indeks kepemilikan, angka kejadian patah tulang tertinggi terjadi pada
kelompok menengah dan teratas dengan presentase sebesar 6,0%. Riset Kesehatan
Dasar(Riskesdas). (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian RI tahun 2013.Diakses: 19 Oktober 2014, dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%20
2013.pdf.
Berdasarkan hasil penelitian penderita neglected fracture di RSUD dr. Abdoer
Rahem pada periode 1 Januari 2012 sampai dengan 31 Desember 2013 didapatkan
data 26 pasien neglected fracture yang terdiri dari 11 kasus (42,31%) pada tahun
2012 dan 15 kasus (57,69%) pada tahun 2013. Dari 26 penderita neglected fracture,
20 orang (76,92%) laki-laki dan 6 orang (23,08%) perempuan. Sebanyak 1 orang
(3,85%) berusia kurang dari 24 tahun, 24 orang (92,5%) berusia dewasa atau
produktif, dan 1 orang (3,85%) lanjut usia. Umur rata-rata penderita neglected
fracture adalah 36,38 tahun. Sebanyak 10 orang (38,46%) masuk kelas I, 1 orang
(3,85%) masuk pelayanan kelas 2, sisanya 15 orang (57,69%) masuk pelayanan kelas
3. Dari 26 orang penderita tersebut, sebagian besar (69,23%) pasien mengalami
neglected fracture di ektremitas bawah, yaitu femur, tibia, dan fi bula, sebanyak
30,76% pasien me-ngalami neglected fracture pada ekstremitas atas Sebanyak 12
orang (46,155%) mengalami komplikasi nonunion, 12 orang (46,155%) mengalami
komplikasi malunion, dan 2 orang (7,69%) mengalami komplikasi infeksi. Jurnal

2.5 Faktor Risiko


2.5.1 Usia
Berdasarkan hasil penelitian neglected fracture di RSUD dr. Abdoer Rahem
periode 1 Januari 2012 hingga 31 Desember 2013 risiko untuk terjadinya neglected
fracture meningkat pada usia 15-64 tahun atau usia produktif (92,5 %). Pada
penelitian Aries, dkk. (2007) prevalensi penderita neglected fracture terbesar pada
umur di atas 40 tahun, yaitu sebesar 53,33%. Dominasi penderita berusia 15-64 tahun
ini sesuai data Riskesdas (2007), yaitu 28,2%.Hal ini dapat disebabkan karena usia
15-64 tahun merupakan usia produktif, sebagian boesar bekerja dan memiliki
mobilitas tinggi, sehingga meningkatkan risiko trauma. Jurnal

2.5.2 Jenis kelamin


Dari 26 orang penderita neglected fracture di RSUD dr. Abdoer Rahem periode 1
Januari 2012 hingga 31 Desember 2013, lebih banyak penderita berjenis kelamin
laki-laki . Data Riskesdas (2007) juga menghasilkan prevalensi penderita patah tulang
laki-laki lebih besar daripada perempuan. Hal ini dapat terjadi karena laki-laki secara
umum bekerja dan memiliki mobilitas tinggi, sehingga lebih berisiko menderita
trauma yang menyebabkan patah tulang, termasuk neglected fracture.
2.5.3 Obesitas
Pada tahun 2007-2008 lebih dari sepertiga warga di Amerika Serikat dewasa yang
obesitas akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit seperi diabetes melitus,
penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit kanker tertentu.25
Penelitian kohort American Cancer Society menyatakan bahwa lebih dari 900.000
orang dewasa yang obesitas telah teridentifikasi memiliki risiko yang relatif
menyebabkan kematian karena kanker dibandingkan dengan orang-orang yang
memliki berat badan normal. Terdapat juga hubungan yang signifikan antara Body
Mass Index (BMI) dan tingkat kematian untuk kanker usus besar dan kanker rektum.
Dalam sebuah studi prospektif di Kanada, risiko yang lebih besar untuk terjadinya
penyakit ini terkait dengan obesitas ditemukan terutama pada wanita premenopause.26
2.5.4 Merokok
Dari 51 kasus-kontrol atau kohort mengenai kanker kolorektal, 22 diantaranya
menunjukkan 50% peningkatan risiko dari merokok, dan 10 diantaranya adalah
signifikan secara statistik.26 Pria dan wanita perokok yang berusia kurang dari 20
tahun atau merokok dalam jangka waktu yang lama mempunyai risiko tiga kali untuk
memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan jika
merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk
menderita adenoma yang berukuran besar. Data yang lebih konsisten untuk adenoma,
dengan 22 dari 27 kasus-kontrol atau kohort yang menunjukkan setidaknya50%
peningkatan risiko. Sembilan belas yang signifikan dan 9 dari 10 memiliki respon
dosis yang positif. Dengan demikian, efek utama merokok tampaknya masih dalam
proses selama pembentukan adenoma, dan berlaku terutama untuk bagian distal usus
besar.26 Diperkirakan 5000-7000 kematian karena kanker kolorektal di Amerika
dihubungkan dengan penggunaan rokok.5
2.5.5 Usia
Risiko untuk terjadinya penyakit kanker kolorektal meningkat tajam setelah usia
40 tahun pada populasi umum, dengan 90% dari kanker yang terjadi pada orang
berusia 50 tahun dan lebih tua dari usia tersebut. Seseorang yang berusia 50 tahun
sekitar 5% memiliki kemungkinan terkena kanker kolorektal dan jika ia bertahan
sampai dengan usia 80 tahun ia memiliki 2,5% risiko untuk terjadinya kematian
akibat penyakit ini.15
Namun tidak menutup kemungkinan bahwa orang muda atau dewasa muda yang
berusia sekitar dekade 3-4 tidak dapat terkena penyakit ini. Maka dari itu, screening
dan diagnosis dini pada pasien yang lebih muda dengan tanda dan gejala yang khas
harus segera ditegakkan, terutama jika mereka memiliki riwayat keluraga neoplasia
kolorektal.27
2.5.6 Faktor danSindrom Herediter
Hampir 25% pasien kanker kolorektal memiliki riwayat penyakit ini dalam
keluarga, yang menandakan adanya predisposisi herediter. Kanker usus besar
herediter dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu sindrom poliposis yang
banyak dipelajari tetapi jarang dan sindrom non-poliposis yang lebih sering.28
2.5.7 Riwayat Inflammatory Bowel Disease (IBD)
Karsinoma usus besar meningkat insidensnya pada pasien dengan penyakit radang
usus. Karsinoma lebih sering terbentuk pada pasien dengan kolitis ulseratif
dibandingkan dengan kolitis granulomatosa. Risiko karsinoma kolorektal pada pasien
dengan IBD relatif kecil selama 10 tahun pertama penyakit, tetapi kemudian
tampaknya meningkat dengan laju sekitar 0,5-1% per tahun. Karsinoma dapat
terbentuk pada 8-30% pasien setelah usia 25 tahun. Risiko lebih tinggi pada pasien
yang lebih muda yang mengidap pankolitis.27, 28

2.5.8Familial Polyposis of The Colon


Poliposis kolon adalah suatu penyakit jarang yang ditandai oleh terbentuknya
ribuan polip adenomatosa di sepanjang usus besar. Penyakit ini diwariskan sebagai
sifat dominan autosom, kadang dijumpai pasien tanpa riwayat keluarga dan hal ini
mungkin terjadi akibat mutasi spontan. Polip kolon di semua penyakit ini jarang
muncul sebelum pubertas, tetapi umumnya telah tampak pada usia 25 tahun. Jika
poliposis tidak tidak diterapi secara bedah maka karsinoma kolorektal akan terbentuk
pada hampir semua pasien sebelum usia 40 tahun. Poliposis kolon terjadi akibat defek
di mukosa kolon yang menyebabkan terbentuknya pola proliferasi abnormal dan
gangguan mekanisme perbaikan Deoxyribose Nucleid Acid (DNA).27, 28
2.5.9Hereditary Non-polyposis Colon Cancer (HNPCC)
Kanker kolon non-poliposis herediter (HNPCC), juga dikenal sebagai sindrom
Lynch, adalah penyakit dominan autosom lainnya. Penyakit ini ditandai oleh adanya
tiga atau lebih anggota keluarga yang terbukti mengidap karsinoma kolorektal,
dengan salah satunya adalah anggota keluarga dekat (first degree) dari dua lainnya,
satu atau lebih kasus karsinoma kolorektal yang terdiagnosis sebelum usia 50 tahun
dalam keluarga, dan karsinoma kolorektal yang mengenai paling tidak dua generasi.
Berbeda dari poliposis kolon, HNPCC memperlihatkan frekuensi kemunculan
karsinoma di usus besar proksimal yang sangat tinggi dan muncul 10-15 tahun lebih
muda.28
2.5.10 Faktor predisposisi
Penyakit kronis kolon tertentu merupakan predisposisi dari kanker. Terutama
kolitis ulserativa yang berkepanjangan, dan yang lebih sedikit, penyakit Crohn yang
berhubungan dengan perubahan karsinomatosa. Penyebab lain peradangan kronis,
seperti skistosomiasis, disentri amuba, dan tuberkulosa, tidak mempredisposisi
kanker. Implantasi ureter ke dalam kolon sigmoid merupakan predisposisi neoplasia
usus besar, tetapi bentuk diversi traktus urunarius ini telah disangkal secara luas.
Kolesistektomi telah dipikirkan berhubungan dengan peningkatan risiko kanker
kolorektal, tetapi bukti masih samar-samar.29

2.6 Patogenesis
Karsinoma kolorektal timbul sebagai lesi polipoid, ulserasi atau stenosis. Lesi-lesi
menyebar secara langsung untuk menginvasi struktur lokal, ini terutama penting pada
kanker rectal karena dekatnya dengan struktur pelvis. Metastasis terjadi melalui
pembuluh limfe ke kelenjar limfe paraaortik dan mesenterik, dan melalui sistem vena
porta ke hepar dan organ dalam lain.29
Perubahan pola proliferasi mukosa kolon menyebabkan perkembangan menjadi
polip lalu berkembang menjadi karsinoma, hal ini berkaitan dengan pengaktifan
mutasional suatu onkogen yang diikuti hilangnya gen-gen yang menekan
tumorigenesis.28
Karsinoma kolorektal terjadi karena adanya abrasi DNA.26 Gen APC sebagai
tumor suppresor gene mengalai mutasi. Hal ini dapat menginduksi terbentuknya
polip. Selain itu, mutasi terjadi karena penghentian codon terjadi secara prematur.30
Aktivasi K-ras onkogen dan mutasi pada tumor suppressor genesdeleted in
colorectal carcinoma (DCC) dan p53 berperan pada timbulnya karsinoma kolorektal.
K-ras berperan sebagai proto-oncogene dan dapat menghasilkan protein G. Ketika
aktif, K-ras berikatan dengan guanosinetriphospate (GTP) dan akan menginaktifasi
protein G. Mutasi pada K-ras menyebabkan hidrolisis GTP terganggu sehingga
aktifitas protein G menjadi tidak terkendali yang menyebabkan perkembangan sel
yang tidak terkontrol.30
DCC adalah tumor suppressor gene. Mutasi pada DCC terjadi lebih dari 70% pada
orang yang mengalami karsinoma kolorektal dan akan berdampak buruk terhadap
prognosis. Selain itu, Sifat tumor suppressore gene dimiliki oleh protein p53. Ketika
terjadi mutasi pada gen p53 maka, terjadi gangguan pada apoptosis sel. Mutasi gen
p53 terjadi 75% pada orang yang mengalami karsinoma kolorektal.30

2.7 Stadium
Metode klasifikasi kanker usus besar menurut Dukes3, 7
1) Stadium A : kedalaman invasi kanker belum menembus tunika muskularis,
tidakada metastasis kelenjar limfe.

Gambar 2.3 Stage 1 kanker usus besar.(Dikutipdari: National Cancer Institute).7

2) Stadium B : kanker sudah menembus tunika muskularis dalam, dapat


menginvasi tunika serosa, di luar serosa atau jaringan
perirektal, tapi tak ada metastasis kelenjar limfe.
Gambar 2.4Stage 2 kanker usus besar. (Dikutip dari National Cancer Institut).7

3) Stadium C : kanker disertai metastasis kelenjar limfe. Menurut lokasi


kelenjar limfe yang terkena dibagi menjadi stadium C1 dan
C2.
4) Stadium C1 : kanker disertai metastasis kelenjar limfe samping usus dan
mesenterium.
5) Stadium C2 : kanker disertai metastasis kelenjar limfe di pangkal arteri
mesenterium.

Gambar 2.5Stage 3 kanker usus besar. (Dikutip dar National Cancer Institut).7

6) Stadium D : kanker disertai metastasis organ jauh, atau karena infiltrasi


luas lokal atau metastasis luas kelenjar limfe sehingga pasca
reseksi tak mungkin kuratif atau nonresektabel.
2.8 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala kanker kolorektal tergantung pada tempat tumor. Sekitar
seperempat tumor usus besar terletak pada kolon asenden. Kolon transversum dan
kolon desenden relatif jarang terkena, sehingga kebanyakan tumor terletak pada kolon
sigmoid dan rektum.29 Sekitar setengah tumor usus besar terletak pada rektum. Tanda
dan gejala klinis bervariasi tergantung daerah usus yang terkena.
2.8.1 Kolon Asenden
Terdapat perbedaan tanda dan gejala klinis dari rektum, sigmoid, kolon desenden,
kolon transversum, dan kolon asenden. Pada tanda dan gejala kolon asenden
umumnya berjenis menonjol, tumor tumbuh di dalam lumen usus dan membentuk
massa abdomen yang teraba pada pemeriksaan fisik. Selain itu, kolon
asendenmemiliki daya absorpsi lebih kuat, bila tumor megalami nekrosis iskemik
disertai infeksi, toksin yang dihasilkan kuman diabsorpsi oleh usus sehingga secara
klinis dapat timbul gejala toksikosis. Lesi di kolon asenden sering mengalami ulserasi
yang menyebabkan kehilangan darah kronik yang tersamar tanpa terjadinya
perubahan bentuk feses.28 Sekitar seperempat pasien datang dengan tanda obstruksi
usus kecil bagian bawah yaitu, kolik, muntah, konstipasi, dan distensi. Namun,
banyak juga pasien yang datang tanpa obstruksi dan tidak mempunyai gejala yang
berhubungan dengan traktus gastrointestinal. Mereka memberikan keluhan rasa lelah,
berdebar-debar, angina pektoris, penurunan berat badan, serta anemia hipokromik
yang menunjukan defisiensi besi akibat perdarahan gastrointestinal samar.28Diagnosis
ditegakkan dengan ditemukannya massa di fossa iliaka kanan. Adanya tumor di kolon
asenden atau tidak, harus diperiksa dengan kolonoskopi atau colon in loop.29
2.8.2 Kolon Transversum dan Kolon Desenden
Karena tinja mulai berbentuk sewaktu masuk ke dalam kolon transversum dan
desenden, maka tumor yang timbul di tempat-tempat ini cenderung menghambat
perjalanan feses, menyebabkan keram perut, kadang obstruksi, dan bahkan
perforasi.28 Sekitar 25-30% dari seluruh pasien yang mengalami keluhan obstruksi
datang sebagai pasien gawat darurat. Sejauh ini, penyebab paling umum dari
obstruksi usus besar adalah karsinoma. Penting untuk menyingkirkan penyebab lain
dari obstruksi yang mungkin dapat ditangani dengan terapi konservatif. Pemeriksaan
colon in loop diindikasikan pada semua kasus obstruksi usus besar untuk
mengkonfirmasi derajat obstruksi dan untuk mendiagnosis pseudo-obstruksi yang
tidak membutuhkan pembedahan. Pemeriksaan kolonoskopi pun telah dianjurkan
sebagai alternatif dari pemeriksaan colon in loop.29
Gangguan kebiasaan defekasi merupakan keluhan pasien yang datang tanpa
obstruksi. Hal ini bisa berupa konstipasi yang meningkat, diare, atau berubah-ubah
antara kedua hal tersebut. Pasien biasanya menemukan darah bersama feses dan
mengeluh nyeri atau rasa tidak enak pada perut bawah. Penurunan berat badan umum
ditemukan, dan pada umumnya merupakan tanda yang buruk. Karsinoma kadang-
kadang dapat diraba dengan palpasi abdomen.29
2.8.3 Regio rektosigmoid
Karsinoma yang muncul di rectosigmoid sering berkaitan dengan hematokezia,
tenesmus, dan penyempitan kaliber tinja, anemia jarang dijumpai. Pasien dengan
karsinoma rektum, hampir tidak pernah datang sebagai pasien gawat darurat. Pasien
mengalami perdarahan yang jelas melalui rektum. Mungkin terdapat perubahan
kebiasaan defekasi, perasaan defekasi yang belum selesai, dengan keinginan defekasi
yang berulang-ulang, tetapi yang keluar hanya lendir dan darah. Gejala-gejala ini
dapat menyebabkan pasien dan dokter mencurigai adanya hemoroid, terjadinya
perdarahan rektum dan/atau perubahan kebiasaan defekasi mengharuskan untuk
dilakukannya pemeriksaan rektum dengan jari dan proktosigmoid.28

2.9 Pemeriksaan CT-scan


Computed Tomography (CT-scan) merupakan pemeriksaan radiologi untuk
menilai untuk menilai kelayakan pembedahan dengan membuat staging pada berbagai
tumor esofagus, lambung dan kolon serta menilai infiltrasi ke jaringan sekitar dan
deposit sekunder yang memiliki tingkat sensitifitas 55%. Pemeriksaan CT-scan
dilakukan dengan menggunakan kontras yang bisa diberikan secara oral maupun
intravena. Pemeriksaan CT-scan dapat melihat invasi ekstra rektal dan invasi organ
sekitar rektum, metastasis ke kelenjar getah bening, retroperitoneal dan hepar.
Pemeriksaan ini memiliki tingkat akurasi sebesar 80% untuk menilai stadium pada
kanker dibandingkan dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) yang tingkat
akurasinya hanya mencapai 59%. Untuk metastasis kgb akurasi CT-scan 65%
sedangkan untuk MRI 39%.8, 9, 31 (deteksi dini, diagnosa dan penatalaksanaan kanker
kolon dan rektum by asril zahari hal 110)

2.9.1 Indikasi dan Kontraindikasi


CT-scan abdomen biasanya digunakan senagai pemeriksaan penunjang atau
tambahan ketika seorang dokter mencurigai bahwa terdapat hal yang patologis di
daerah perut pasien tetapi tidak dapat menemukannya secara spesifik hanya dengan
melakukan pemeriksaan fisik. Beberapa alasan yang mendasari untuk dilakukannya
pemeriksaan ini adalah nyeri di daerah perut, terabanya massa di perut pasien yang
terasa nyeri untuk menentukan diagnosis,batu ginjal untuk menilai ukuran dan lokasi
batu, persiapan operasi, infeksi saluran pencernaan atau usus buntu, obstruksi saluran
pencernaan, radang usus seperti penyakit Chorn, trauma pada abdomen, infeksi atau
batu pada kandung kemih dan pemeriksaan pembekuan darah. Sedangkan untuk
kontraindikasi dilakukannya pemeriksaan ini adalah pasien yang mempunyai alergi
terhadap kontras, kehamilan, dan pasien kencing manis yang sedang melakukan atau
menerima pengobatan dengan obat metformin.32, 33

2.9.2 Persiapan Pemeriksaan CT-scan


Untuk melakukan pemeriksaan CT-scan ini, hal yang perlu dipersiapkan adalah
pemberian zat kontras atau pewarna khusus yang kegunaannya untuk lebih
memperjelas dari hasil gambaran pada daerah-daerah tertentu pada x-ray. Maksud
pemberian konras pada umumnya adalah untuk melihat apakah ada jarigan yang
menyerap kontras banyak, sedikit, atau tidak sama sekali, dibandingkan dengan
jaringan sehat sekitarnya. Hal ini disebut penyangatan atau enhancment.32, 34
Kontras dapat diberikan secara intravena (iv) di tangan atau lengan bawah pasien.
Sebelumnya, pasien diminta untuk tidak makan atau meminum apa pun selama empat
sampai enam jam sebelum melakukan tes. Tetapi, mungkin pasien akan diminta
untuk meminum kontas sebelum melaksanakan tes. Kontras yang diminum oleh
pasien berasal dari barium yang merupakan zat kimia untuk membantu dokter melihat
gambaran hasil tes lebih jelas pada organ yang akan diperiksa. Pasien akan diminta
untuk menunggu sekitar 60-90 menit hingga kontras akan keluar dari tubuh pasien
melalui kotoran pasien. Pemeriksa akan melihat apakah terjadi reaksi pada tubuh
pasien setelah meminum kontras atau tidak. Pasien perlu memberi tahu kepada
pemeriksa jika pasien sedang mendapat terapi metformin atau bagi penderita kencing
manis dan jika pasien memiliki masalah pada ginjal, maka pemberian kontras tidak
boleh dilakukan karena kontras akan memperburuk fungsi ginjal pasien.32, 33 (medline
plus dan healthline jurnal)

2.10 Pemeriksaan Penunjang lainnya


Colon in loop (CIL) merupakan pemeriksaan radiologi untuk menilai usus besar
yang memiliki tingkat sensitifitas 96,5%. Pemeriksaan ini disebut juga barium enema
atau lower GI series. Pemeriksaan CIL dapat dilakukan dengan menggunakan kontras
tunggal maupun kontras ganda. Pemeriksaan CIL berfungsi untuk menilai besar,
bentuk, dan posisi serta lesi afek atau defek pada usus besar.13
Gambar 2.6 Hasil pemeriksaan colon in loop dengan kontras ganda, tampak karsinoma kolon asenden.
(Dikutip dari National Center for Biotechnology Information).35

Kolonoskopi adalah prosedur yang dilakukan untuk memeriksa secara keseluruhan


lapisan dinding usus dan rektum. Pasien dengan kemungkinan obstruksi harus
diperhatikan, dimana volume enema yang besar lebih baik daripada purgatif kuat.
Kolonoskopi biasanya dilakukan di bawah sedasi ringan dengan midazolam atau
diazepam. Sering ditambah dengan obat antispasmodik (misalnya, hiosin
butilbromida) dan analgesik seperti petidin. Teknik ini menginduksi hipoksia,
sehingga idealnya saturasi oksigen pasien harus dimonitor dengan oksimetri denyut
dan diberikan oksigen sesuai kebutuhan.29

Gambar 2.13 Polip yang terdeteksi oleh kolonoskopi (Dikutip dari UW Health).36
Ultrasonografi (USG) abdomen preoperatif dapat memperlihatkan metastasis yang
tak terlihat secara klinis pada pasien dengan karsinoma kolorektal. Ultrasonografi
rektal dengan probe intraluminal memberikan informasi tentang penyebaran lokal
dari karsinoma, yang dapat bermanfaat dalam menentukan stadium, memilih pasien
yang sesuai untuk dilakukannya reseksi lokal, dan merencanakan radioterapi.29

2.11 Tindakan Terapi


Terapi yang paling efektif untuk karsinoma kolorektal adalah operasi dengan
menggunakan metode operasi reseksi radikal. Namun, bagi yang tidak dapat direseksi
radikal harus diupayakan untuk dilakukan reseksi paliatif atau debulking. Selain
tindakan operasi, terapi yang dapat dilakukan adalah kemoterapi, radioterapi, terapi
biologis, dan terapi kombinasi.3, 37

2.12 Prognosis
Prognosis dari karsinoma kolorektal bila dibandingkan dengan karsinoma gaster, hati,
esofagus, pankreas dan tunor ganas lainnya relatif baik. Faktor yang mempengaruhi
prognosis karsinoma kolorektal sangat banyak, antara lain yang terpenting adalah
stadium penyakit. Faktor lain seperti usia, perjalanan penyakit, ukuran tumor lingkup
sirkumferens usus yang terkena, tipe patologi dan derajat diferensiasi, kondisi
imunitas, metode terapi dll. juga mempengaruhi prognosis.3

2.13 Kerangka Pemikiran


Karsinoma kolorektal merupakan salah satu keganasan saluran cerna yang berasal
dari usus besar sampairektum. Karsinoma inijugadapat disebutsecara terpisah
sebagai karsinoma usus besar atau karsinoma rektosigmoid, tergantung di
manamereka berasal.1-4Di Indonesia sendiri, insidensi karsinoma kolorektal masih
cukup tinggi dan demikian juga angka kematiannya. Insidensi pada pria sebanding
dengan wanita, dan lebih banyak pada orang muda. Data dari Universitas Indonesia
(UI) menyatakan bahwa sekitar 75% ditemukan di rectosigmoid dan untuk usia di
bawah 40 tahun data dari Bagian Patologi Anatomi FKUI didapatkan angka
35,265%.6Di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung kejadian karsinoma kolorektal
pada tahun 2010 sampai 2014 terjadi sebanyak 582 kasus, angka kejadian tertinggi
terjadi pada tahun 2012 sebanyak 154 kasus.Pemeriksaan radiologi yang umum
digunakan untuk menunjang diagnosis karsinoma kolorektal adalah foto polos
abdomen, foto abdomen 3 posisi, colon inloop dan CT-scan. Dari keempat
pemeriksaan radiologi tersebut, yang paling sering digunakan untuk menunjang
diagnosis penyakit ini adalah pemeriksaan colon in loop (CIL). Pemeriksaan ini dapat
menilai beberapa aspek, antara lain pasase kontras, besar, bentuk, dan posisi kolon,
mukosa (namun lebih optimal dengan menggunakan double-contrast) adanya luput
isi (filling deffect) atau bayangan tambahan (filling affect).8, 13, 30

Karsinoma kolorektal

Tanda dan gejala klinis

Pemeriksaan radiologi

Foto polos abdomen: Foto abdomen 3 posisi:


Rutin dilakukan, namun hanya Hanya untuk beberapa kasus.
dapat melihat massa dan melihat ada atau tidaknya
bayangan lain udara bebas dan peritonitis

Colon in loop:
CT-Scan :
Rutin dilakukan, murah, mudah
Dapat mengetahui letak dari
dan efisien serta dapat melihat
tumor namun biaya mahal
letak dari tumor

Kolon asenden Kolon desenden Kolon transversum Rektum Sigmoid


2.14 Hipotesis
Terdapat kesesuaian yang tinggi untuk diagnosis lokasi tumor berdasarkan tanda dan
gejala klinis dengan hasil pemeriksaan barium enema pada pasien karsinoma
kolorektal di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.

1. Abdullah M. Tumor kolorektal. In: W.Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S,


editors. Ilmu Penyakit Dalam. V ed. Jakarta Pusat: InternaPublishing; 2009. p. 567-75.
2. Colon cancer statistics. Colon Cancer Alliance.
3. Buku ajar onkologi klinis. Tumor abdomen. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2013. p. 423-41.
4. Crawford JM, Kumar V. Rongga mulut dan saluran gastrointestinal. In: Hartanto H,
Darmaniah N, Wulandari N, editors. Buku ajar patologi. 2. 7 ed. Jakarta: EGC; 2007. p. 653-7.
5. Colorectal cancer facts and figures. American Cancer Society. 2011:9-10.
6. Riwanto I, Hamami AH, Pieter J, Tjambolang T, Ahmadsyah I. Usus halus, apendiks,
kolon dan rektum. In: Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R,
editors. Buku ajar ilmu bedah. 3 ed. Jakarta: EGC; 2010. p. 762-81.
7. Sadikin RDH. Rangking penyakit rawat inap. Bandung: Instalasi rekam
medis; 2015.
8. Halligan S. The large bowel. In: Sutton D, editor. Textbook of radiology and imaging.
1. 7 ed. UK: Elsevier; 2003. p. 636-52.
9. Patel PR. Lecture notes radiologi. 2 ed. Jakarta: Erlangga; 2007.
10. Colorectal carcinoma. http://radiopaediaorg/articles/colorectal-carcinoma.
11. Mescher AL. Histologi dasar junqueira. 12 ed. Jakarta: EGC; 2011.
12. Eroschenko VP. Atlas histologi diFiore. 11 ed. Jakarta: EGC; 2010.
13. Soetikno RD. Prosedur pemeriksaan radiologi gastrointestinal & urogenital.
Bandung: PT Refika Aditama; 2014.
14. Sherwood L. Human physiology from cells to systems. USA: Brooks/Cole; 2010.
15. Moore KL, Agur AMR. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates; 2002.
16. Kapoor VK. Colon anatomy. Medscape. 2013.
17. Standring S. Gray's anatomy the anatomical basis od clinical practice. 40 ed. US:
Elsevier; 2008.
18. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. 11 ed. Jakarta: EGC; 2007.
19. Palmer KR, Penman L. Alimentary tract and pancreatic disease. In: Colledge NR,
Walker BR, Ralston SH, editors. Davidson's principles and practice of medicine. Edinburgh:
Churchill Livingstone; 2010.
20. Ganong WF. Buku ajar fisiologi kedokteran. 22 ed. Jakarta: EGC; 2005.
21. Irving MH, Catchpole B. Anatomi dan fisiologi kolon, rektum dan anus. In: Jones DJ,
Irving MH, editors. Petunjuk penting penyakit kolorektal. Jakarta: EGC; 1996. p. 1-3t.
22. Surveillance of screening-detected cancers (colon and rectum, breast, and
cervix). United States: Centers for Disease Control and Prevention; 2010. p. 4-5.
23. : Lancet Asia Medical Forum; 2007.
24. Gambaran pasien kanker kolorektal di RSUD Dr. Soedarso Pontianak periode
tahun 2006-2010. 2012.
25. Obesity and socioeconomic status in adults. United States: Centers for
Disease Control and Prevention; 2010. p. 1.
26. Macrae FA, Young GP. neoplastic and nonneoplastic polyps of the colon and rectum.
In: Yamada T, editor. Text book of Gastroenterology. 1c. 5 ed. UK: Blackwell Publishing Ltd;
2009. p. 1611-30.
27. Bresalier RS. Malignant neoplasms of the large intestine. In: Feldman M, Friedman
LS, Brandt LJ, editors. Gastrointestinal and liver disease. 2. 8 ed. Philadelphia: Elsevier; 2006.
p. 2759-806.
28. Mayer RJ. Kanker saluran cerna. In: Longo DL, Fauci AS, editors. Harrison
gastroenterologi & hepatologi. Jakarta: EGC; 2013. p. 451-7.
29. Schofield PF, Jones DJ. Kanker usus besar. In: Jones DJ, Irving MH, editors. Petunjung
penting penyakit kolorektal. Jakarta: EGC; 1996. p. 58-60.
30. Schwartz's. Principles of surgery. 9th ed. United States: McGraw-Hill; 2010.
31. Zahari A. Deteksi Dini, Diagnosa, dan Penatalaksanaan Kanker Kolon dan Rektum. p.
110.
32. Abdominal CT scan for Colorectal Cancer. 2014.
33. Abdominal CT scan. http://wwwhealthlinecom/health/abdominal-ct-
scan#Overview1. 2015.
34. Kartoleksono S. Tomografi Komputer (Computerized Tomography, CT). In: Ekayuda I,
editor. Radiologi diagnostik. 2 ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. p. 577.
35. Double contrast barium enema and colorectal carcinoma: sensitivity and
potential role in screening. National Center for Biotechnology Information; 2001.
36. Radiology home. UW Health.
37. Lukito P. Perkembangan ilmu bedah onkologi di indonesia menuju perbaikan
penanganan tumor ganas dan tantangannya di masa depan2003.

Anda mungkin juga menyukai