Anda di halaman 1dari 32

Case Report Session

ASMA

Oleh:

Rahmatushubhan

1110312073

Preseptor:

dr. Iskandar Syarif, Sp.A(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2017

1
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Asma merupakan salah satu penyakit kronik yang tersebar diseluruh

belahan dunia dan sejak 20 tahun terakhir prevalensinya semakin meningkat pada

anak-anak baik di negara maju maupun di negara berkembang. Peningkatan

tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor

lingkungan terutama polusi, baik indoor maupun outdoor.1 Prevalensi asma pada

anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak sekitar 10%

pada usia sekolah dasar dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.2

Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal tahun 60-an,

bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an

berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain

inflamasi juga disertai adanya remodelling. Berkembangnya patogenesis tersebut

berdampak pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah

dilakukan untuk mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan untuk

mengatasi bronkokonstriksi dengan pemberian bronkodilator, kemudian

berkembang dengan antiinflamasi sehingga obat antiinflamasi dianjurkan diberikan

pada asma, kecuali pada asma yang sangat ringan.3

Penatalaksanaan asma pada anak bertujuan untuk mencegah terjadinya

serangan asma seminimal mungkin sehingga memungkinkan anak dapat tumbuh

dan berkembang secara optimal sesuai dengan usianya. Serangan asma biasanya

2
mencerminkan kegagalan pencegahan asma, kegagalan tatalaksana asma jangka

panjang dan kegagalan penghindaran dari faktor pencetus.4

Pengetahuan mengenai definisi, cara mendiagnosis, pencetus, patogenesis

dan tatalaksana yang tepat dapat mengurangi kesalahan berupa diagnosis yang

kurang tepatdan pengobatan yang tidak sesuai. Sehingga diharapkan dapat

mempengaruhi kualitas hidup anak dan keluarganya serta mengurangi biaya

pelayanan kesehatan yang besar.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

GINA mendefinisikan asma sebagai suatu penyakit heterogen, biasanya

ditandai dengan inflamasi kronik saluran respiratori. Inflamasi kronik ini ditandai

dengan riwayat gejala-gejala pada saluran respiratori seperti wheezing (mengi),

sesak nafas, dan batuk yang bervariasi dalam waktu dan intensitas, disertai dengan

limitasi aliran udara ekspiratori.1

International Consensus on (ICON) Pediatric Asthma mendefinisikan asma

sebagai gangguan inflamasi kronik yang berhubungan dengan obstruksi saluran

respiratori dan hiperresponsif bronkus, yang secara klinis ditandai dengan adanya

wheezing, batuk, dan sesak nafas yang berulang.3

UKK Respirologi IDAI mendefiniskan asma sebagai penyakit saluran

respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi dan

hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi. Manifestasi klinis

asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak nafas, dada tertekan yang timbul secara

kronik dan atau berulang, reversible, cenderung memburuk pada malam atau dini

hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus.3

2.2 Epidemiologi

Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10%

pada anak). Prevalensi pada anak yang menderita asma meningkat 8-10 kali di

negara berkembang dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat bervariasi.

Di Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk

usia 13-14 tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National Center for Health

4
Statistics (NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57

per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun adalah 38 per

1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas, prevalensi asma pada laki-

laki 3 kali lebih banyak dibanding perempuan, selama masa remaja prevalensinya

hampir sama dan pada dewasa laki-laki lebih banyak menderita asma dibanding

wanita.5

Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2 dekade

terakhir. Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan peningkatan urbanisasi. WHO

memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Berdasarkan

laporan NCHS terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu.

Sedangkan, laporan dari CDC menyatakan terdapat 187 pasien asma yang

meninggal pada usia 0-17 tahun atau 0.3 kematian per 100,000 anak. Namun secara

umum kematian pada anak akibat asma jarang.5

2.3 Faktor Risiko

Faktor-faktor yang mempengaruhi risiko asma meliputi faktor pejamu

(host) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik

yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma yaitu genetik, alergik (atopi), atau

hipereaktivitas bronkus, faktor jenis kelamin dan ras, serta obesitas.1

Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan

predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya

eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala menetap. Yang merupakan faktor

lingkungan yaitu alergen (baik dalam ruangan maupun di luar ruangan), sensitisasi

lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, adanya infeksi pernapasan (terutama

virus), diet, serta status ekonomi.2

5
2.4 Patogenesis

Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang

timbul mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan.

Mekanisme utama timbulnya gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus,

sehingga pengobatan utama asma adalah untuk mengatasi bronkospasme.5,6

Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang

khas, melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran

udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi

saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T

pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun

asmanya ringan atau tidak bergejala.5,6

Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma

dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada

populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita asma

anak dan dewasa.5,6

Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada

awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE spesifik oleh sel

plasma. IgE melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil. Bila ada

rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat

(immediate asthma reaction). Terjadi degranulasi sel mast dan dilepaskan

mediator-mediator seperti histamin, leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin D2

(PGD2), tromboksan A2 dan tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan

spasme otot bronkus, hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas

kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul

6
adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali karena serangan

asma hilang dengan pengobatan. 5,6

Mediator inflamasi yang berperan merupakan mediator inflamasi yang

meningkatkan proses keradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator

inflamasi tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus

mudah konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi

peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non spesifik.

Secara klinis, gejala asma menjadi menetap, penderita akan lebih peka terhadap

rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel bila paparan berlangsung

terus dan penatalaksanaan kurang adekuat.7

Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus

merangsang proses reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan

struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal

dengan istilah remodeling atau repair. Pada proses remodeling yang berperan

adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil Growth Factor (EGF). TGF beta

7
merangsang sel fibroblast berproliferasi, epitel mengalami hiperplasia,

pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses remodeling tersebut terjadi

pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa menebal

(pseudothickening), hiperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang

dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis,

tetapi mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang persisten dan memberikan

gambaran klinis asma kronis.7

Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat

kerusakan epitel bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga

apabila obat antiinflamasi tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka

inflamasi berlangsung terus dan obstruksi saluran napas menjadi irreversibel dan

proses remodeling bertambah hebat. Pada penelitian terhadap anak dengan riwayat

keluarga atopi yang belum bermanifestasi sebagai asma ternyata ditemukan

infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa

proses remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi.

Apabila intervensi dini diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa jadi

tindakan kita telah terlambat untuk mencegah terjadinya proses remodeling.7

8
2.5 Patofisiologi

Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini

merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap inflamasi pada

mukosa saluran napas pasien asma ini menyebabkan hiperreaktifitas bronkus yang

merupakan tanda utama asma. Pada saat terjadi hiperreaktivitas saluran napas

sejumlah pemicu dapat memulai gejala asma. Pemicu ini meliputi respon

hipersensitivitas tipe 1 (dimediasi IgE) terhadap alergen debu rumah dan serbuk

sari yang tersensitisasi, iritan seperti udara dingin, polutan atau asap rokok, infeksi

virus, dan aktivitas fisik/olahraga. Hiperreaktivitas saluran napas akan

menyebabkan obstruksi saluran napas menyebabkan hambatan aliran udara yang

dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Proses patologis utama yang

mendukung obstruksi saluran napas adalah edema mukosa, kontraksi otot polos dan

produksi mukus. Obstruksi terjadi selama ekspirasi ketika saluran napas mengalami

volume penutupan dan menyebabkan gas di saluran napas terperangkap. Bahkan,

pada asma yang berat dapat mengurangi aliran udara selama inspirasi. Sejumlah

karakteristik anatomi dan fisiologi memberi kecenderungan bayi dan anak kecil

terhadap peningkatan risiko obstruksi saluran napas antara lain ukuran saluran

napas yang lebih kecil, recoil elastic paru yang lebih lemah, kurangnya bantuan otot

polos saluran napas kecil, hiperplasia kelenjar mukosa relatif dan kurangnya saluran

ventilasi kolateral (pori cohn) antar alveolus.7,8

2.6 Manifestasi klinis dan Diagnosis

Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada anak. Pada

anak yang lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat berupa sesak napas, dada terasa

9
berat gejala biasanya akan memburuk pada malam hari yang dipicu dengan infeksi

pernapasan dan inhalasi alergen. Gejala lainnya dapat tersembunyi dan tidak

spesifik seperti keterbatasan aktivitas dan cepat lelah. Riwayat penggunaan

bronkodilator dan atopi pada pasien atau keluarganya dapat menunjang penegakan

diagnosis.7

GINA, konsensus Internasional dan PNAA menekankan diagnosis asma

didahului batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut ditelusuri dengan algoritme

kemungkinan diagnosis asma. Pada algoritme tampak bahwa batuk dan/atau mengi

yang berulang (episodik), nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas, dan

adanya riwayat atopi pada penderita maupun keluarganya merupakan gejala atau

tanda yang patut diduga suatu asma.6

Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil.,

khususnya anak di bawah 3 tahun, respons yang baik terhadap obat bronkodilator

dan steroid sistemik (5 hari) dan dengan penyingkiran penyakit lain diagnosis asma

menjadi lebih definitif. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal

paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter,

atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan

histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin atau dengan NaCl

hipertonis, sangat menunjang diagnosis. 7

10
Batuk/wheezing/sesak nafas/ dada tertekan/
produksi sputum

Patut diduga asma bila memenuhi 2 dari 5 kriteria:


Timbul kronik atau berulang
Gejala berfluktuasi intensitasnya seiring waktu
Gejala memberat pada malam atau dini hari
Timbul bila ada pencetus
Riwayat alergi pada pasien/keluarga
Ya
Tidak

Spirometri Pikirkan diagnosis lain


Pertimbangkan
Tersedia Tidak tersedia
pemeriksaan berikut
(sesuai indikasi):
- Uji tuberkulin
Reversibilitas > 125% Tidak Berikan -agonis - Rontgen thorak
Atau Selama 3-5 hari - Pemeriksaan refluks
Variabilitas > 13% - CT Scan dada/sinus

Ya Tatalaksana sesuai
ASMA Respon diagnosis

Tidak

Ya Tambah Steroid
sistemik 3-5 hari
Tentukan derajat
penyakit dan
serangan
Respon Tidak

2.7 Klasifikasi

Dalam GINA asma di klasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat penyakit

asma, serta pola obstruksi aliran udara di saluran nafas. Walaupun berbagai usaha

11
telah dilakukan, klasifikasi berdasarkan etiologi sulit digunakan karena dapat

kesulitan dalam penentuan etiologi spesifik dari sekitar pasien. 6

Derajat penyakit asma ditemukan berdasarkan gabungan penilaian

gambaran klinis, jumlah penggunaan agonis-2 untuk mengatasi gejala, dan

pemeriksaan fungsi paru pada evaluasi awal pasien. 6

Table 1. klasifikasi asma berdasarkan GINA


Gejala/hari Gejala/malam PEF atau FEV1
PEF variability
Derajat 1 < 1x/minggu, 2 kali sebulan 80%
Intermiten asimtomatik dan < 20 %
nilai PEF normal
diantara serangan
Derajat 2 >1 kali perminggu, > 2 kali sebulan 80%
Persisten ringan < 1 kali perhari, 20%-30%
serangan
mengganggu
aktivitas
Derajat 3 Sehari sekali, >1 kali perminggu 60-80%
Persisten sedang serangan >30%
mengganggu
aktivitas
Derajat 4 Terus menerus Sering 60%
Persisten berat sepanjang hari, >30%
aktivitas fisik
terbatas

Selain pembagian berdasarkan GINA, PNAA membagi asma menjadi 3

yaitu asma episodik jarang, asma episodik sering dan asma persisten. Berikut ini

tabel klasifikasi asma berdasarkan PNAA: 6

Tabel 2. Klasifikasi asma berdasarkan PNAA

Derajat Asma Uraian Kekerapan Gejala Asma


Intermitten Episode gejala asma < 6x/tahun atau jarak antar gejala 6 minggu
Persisten ringan Episode gejala asma > 1x/bulan, < 1x/minggu
Persisten sedang Episode gejala asma > 1x/minggu, namun tidak setiap hari
Persisten berat Episode gejala asma terjadi hampir setiap hari

12
Table 3. Klasifikasi derajat serangan asma

Parameter klinis, Ringan Sedang Berat


fungsi paru, Tanpa ancaman Dengan ancaman
laboratorium henti nafas henti nafas
Sesak Berjalan, bayi: Berbicara, Istirahat
menangis keras Bayi: tangis Bayi: tidak mau
pendek dan minum/ makan
lemah, kesulitan
menyusu atau
makan
Posisi Bisa berbaring Lebih suka Duduk
duduk bertopang
lengan
Bicara kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya Kebingungan
irritable irritable irritable
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Mengi Sedang, sering Nyaring, Sangat nyaring, Sulit/tidak
hanya pada sepanjang terdengan tanpa terdengar
akhir ekspirasi ekspirasi stetoskop
inspirasi sepanjang
ekspirasi dan
inspirasi
Penggunaan otot Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan paradox
bantu respiratorik torako-
abdominal
Retraksi Dangkal, Sedang ditambah Dalam, Dangkal/ hilang
retraksi retraksi ditambah nafas
interkostal suprasternal cuping hidung
Frekuensi nafas Takipnea Takipnea Takipnea Bradipnea
Pedoman nilai baku laju napas pada anak sadar:
Usia frekuensi nafas normal
< 2 bulan <60 x/ menit
2-12 bulan <50 x/ menit
1-5 tahun <40 x/menit
6-8 tahun <30 x/menit
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak
Usia laju nadi normal
2-12 bulan <160 x/menit
1-2 tahun <120 x/menit
3-8 tahun <110 x/ menit
Pulsus Tidak ada Ada Ada Tidak ada, tanda
paradoksus <10 mmHg 10-20 mmHg >20 mmHg kelelahan otot
nafas
PEFR atau FEV1
(% nilai prediksi
terbaik)
Pra-bonkodilator >60% 40-60% <40%
Pasca- >80 % 60-80% <60 %, respon <
brokodilator 2 jam
Sa O2 >95% 91-95% 90%
Pa O2 Normal >60 mmHg <60 mmHg
(biasanya tidak
perlu diperiksa)
Pa CO2 < 45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

13
2.8 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan fungsi paru

Ada banyak cara yang digunakan untuk mengukur fungsi paru, tetapi tidak

banyak yang dapat dilakukan dengan mudah. Pemeriksaan fungsi paru mulai dari

pengukuran sederhana, yaitu peak expiratory flow rate (PEFR) atau arus puncak

ekspirasi (APE), pulse, oximetry, spirometri. Pemeriksaan paru yang objektif dan

lengkap dapat bermanfaat dalam evaluasi diagnostik anak dengan batuk, mengi

rekuren, aktifitas terbatas, dan keadaan lain yang berkaitan dengan sistem

respiratorik. Pemeriksaan fungsi paru ini terutama bermanfaat apabila ada

manifestasi gejala asma yang tidak khas. Kebanyakan uji fungsi paru mengevaluasi

satu atau lebih aspek fungsi paru, yaitu: 1) volume paru, 2) fungsi jalan napas, 3)

pertukaran gas. Pengukuran volume paru bermanfaat pada penyakit paru restriktif

seperti kelemahan otot nafas, deformitas dinding dada, atau penyakit interstitial

paru, serta pada beberapa anak dengan kelainan obstruktif jalan nafas.6

Walau pemeriksaan analisis gas darah merupakan baku emas untuk menilai

parameter pertukaran gas, pulse oximetry masih merupakan pemeriksaan yang

berguna dan efisien.

Pada uji fungsi jalan nafas, hal yang paling penting adalah melakukan

manuver ekspirasi paksa secara maksimal. Hal ini tertutama berguna pada penyakit

dengan obstruksi jalan nafas, misalnya asma dan fibrosis kistik. Pengukuran dengan

manuver ini yang dapat dilakukan pada anak di atas 6 tahun adalah forced

expiratory volume in 1 second (FEV1) dan vital capacity (VC) dengan alat

spirometer serta pengukuran peak expiratory flow (PEF) atau arus puncak ekspirasi

(APE) dengan peak flow meter. Pengukuran variabilitas dan reversibilitas fungsi

14
paru dalam 24 jam sangat penting untuk mendignosis asma, melalui derajat berat

penyakit asma dan menjadi acuan dalam strategi pedoman pengelolaan asma. 6

Pengukuran PEF pada asma tidak selalu berkorelasi dengan pengukuran

fungsi paru lainnya. Dengan alasan ini, pengukuran PEF harus dibandingkan

dengan nilai terbaik anak sendiri. Untuk menilai derajat asma dan respons terapi

PEF harus diukur secara serial dalam 24 jam. Bahkan jika perlu, diukur selama

beberapa minggu, karena derajat asma tidak ditentukan oleh nilai baseline

melainkan oleh variabilitas, terutama dalam 24 jam. Variabilitas harian adalah

perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) PEF dalam 1 hari. Metode yang dianggap

merupakan cara mengukur nilai diural PEF terbaik adalah pengukuran selama

paling sedikit 1 minggu dan hasilnya dinyatakan sebagai persen nilai terbaik dari
6
selisih nilai PEF pagi hari terendah dan nilai PEF malam hari tertinggi.

Pemeriksaan peak flow meter merupakan hal yang penting dan perlu

diupayakan. Meskipun pemeriksaan ini digunakan salah satu parameter untuk

menentukan derejar penyakit asma, namun masih sedikit yang menggunakannya.

Pada pemeriksaan spirometry, adanya perbaikan FEV1 sebanyak minimal

12% setelah pemberian bronkodilator inhalasi dengan atau tanpa glukokortikoid

mendukung diagnosis asma. 6

Pada PNAA, untuk mendukung diagnosis asma anak dipakai batasan:

1. Variabilitas PEF atau FEV1 15%,

2. Kenaikan PEF atau FEV1 15% setelah pemberian inhalasi bronkodilator,

3. Penurunan PEF atau FEV1 20% setelah provokasi bronkus.

Pengukuran variabilitas sebaiknya dilakukan dengan mengukur selama 2 minggu.

15
b. Pemeriksaan hiperreaktivitas saluran nafas

Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, olahraga, udara kering

dan dingin, atau dengan salin hipertonik sangat menunjang diagnosis. Pada pasien

yang mempunyai gejala asma tetapi fungsi parunya tampak normal, penilaian

respons saluran nafas terhadap metakolin, histamine, atau olahraga dapat membantu

menegakkan diagnosis asma. Artinya hasil yang negatif dapat membantu

menyingkirkan diagnosis asma persisten, sedangkan hasi positif tidak selalu berarti

bahwa pasien tersebut memiliki asma. Hal ini disebabkan karena hiperreaktivitas

saluran nafas juga terdapat pada pasien rhinitis alergi dan kondisi lain seperti

fibrosis kistik, bronkieltasis, dan penyakit paru obstruksi menahun. 6

c. Pengukuran petanda inflamasi saluran nafas non-invasif

Penilaian terhadap inflamasi saluran nafas akibat asma dapat dilakukan

dengan cara memeriksa eosinophil sputum, baik yang spontan maupun yang

diinduksi dengan garam hipertonik. Selain itu, pengukutan kadar NO ekshalasi juga

merupakan cara menilai petanda inflamasi yang noninvasive. Walaupun pada

pasien asma (yang tidak menerima kortikosteroid inhalasi) didapatkan eosinosilia

pada sputum pasien dan peningkatan kadar NO ekshalasi dibandingkan dengan

orang yang tidak menderita asma, hasil ini tidak spesifik untuk asma dan belum

terdapat penlitian yang menyatakan bahwa hal yang dapat membatu dalam

diagnosis asma. 6

d. Penilaian status alergi


Penilaian status alergi dengan uji kulit atau pemeriksaan IgE spesifik dalam

serum tidak banyak membantu diagnosis asma, tetapi pemeriksaan ini dapat

16
membantu menentukan faktor risiko atau pencetus asma. Tes alergi untuk

kelompok usia <5 tahun dapat digunakan:

1. Menentukan apakah anaknya atopi

2. Mengarahkan manipulasi lingkungan

3. Memprediksi prognosis anak dengan mengi.

2.9 Tatalaksana Asma

a. Obat obat untuk serangan asma 9

1. Agonis 2 kerja pendek

Gejala asma serangan ringan-sedang memberikan respon yang cepat terhadap

inhalasi agonis 2 kerja pendek tunggal sehingga obat ini menjadi pilihan utama

bagi asma serangan ringan-sedang yang terjadi di rumah maupun fasilitas

kesehatan. Contoh agonis 2 kerja pendek adalah salbutamol, terbutalin dan

prokaterol. Agonis 2 kerja pendek harus diberikan dengan dosis terendah dan

frekuensi terkecil, yaitu hanya bila diperlukan.

2. Ipratropium bromida

Ipratropium bromida terbukti memberikan efek dilatasi bronkus lewat

penurunan tonus parasimpatis dalam inervasi saraf otonom di saluran nafas.

Pemberian kombinasi agonis 2 kerja pendek dan ipratropium bromida

(antikolinergik) pada inhalasi ketiga saat serangan asma menurunkan risiko rawat

inap dan memperbaiki PEF dan FEV1 dibanding dengan agonis 2 kerja pendek

saja.

3. Steroid sistemik

Pemberian steroid sistemik dapat mempercepat perbaikan serangan dan

mencegah kekambuhan, direkomendasikan untuk diberikan pada semua jenis

17
serangan. Jika memungkinkan, steroid oral diberikan dalam satu jam pertama.

Pemberian secara oral memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk memberikan

perbaikan klinis. Pemberian secara oral sama efektifnya dengan pemberian secara

intravena. Steroid sistemik prednison diberikan peroral dengan dosis 1-2

mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum sampai 40 mg perhari, maksimal 1 kali

dalam sebulan. Lama pemberian 3-5 hari tanpa tappering off.

4. Aminofilin intravena

Aminofilin intravena diberikan pada anak dengan asma serangan berat atau dengan

ancaman henti nafas yang tidak berespon dengan dosis maksimal agonis 2 dan

steroid sistemik. Penambahan aminofilin pada terapi awal (inhalasi agonis 2 dan

steroid) meingkatkan fungsi paru dalam 6 jam pertama. Dosis yang

direkomendasikan yaitu dosis inisial bolus pelan 6-8 mg/kgBB diberikan dalam 20

menit dilanjutkan dengan pemberian rumatan secara drip 1mg/kgBB/jam. Loading

1 mg/kgBB akan meningkatkan kadar aminofilin serum 2gml. Untuk efek terapi

yang maksimal, target kadar aminofilin serum adalah 10-20g/ml. Oleh karena itu

kadar aminofilin serum seharusnya diukut 1-2 jam setelah loading dose diberikan

5. Magnesium sulfat (MgSO4)

Pertimbangan pemberian injeksi MgSO4 pada pasien dengan asma serangan berat

yang tidak membaik atau dengan hipoksemia yang menetap setalah satu jam

pemberian terapi awal dengan dosis maksimal (agonis2 kerja pendek dan steroid

sistemik). MgSO4 diberikan dengan dosis berikut:

Cara pemberian Dosis pengenceran Lama pemberian


Bolus tunggal 20-100 mg/kgBB Dilarutkan dalam 20 menit
(maksimum 2 gram) dekstrose 5% atau
Bolus berulang 20-50 mg/kgBB/dosis dengan larutan salin 20 menit
setipa 4 jam dengan

18
Tetes berulang Kecepatan 240-480 pengenceran 60 Berkelanjutan
mg/kgBB/hari mg/ml
Target kadar
Magnesium 4 mg/dl

6. Adrenalin

Apabila tidak tersedia obat-obatan lain, dapat digunakan adrenalin. Adrenalin

intramuskular diberikan sebagai terapi tambahan pada asma yang berhubungan

dengan anafilaksis dan angioedema dengan dosis 10 g/kgBB (0,01 ml/kgBB

adrenalin 1:1.000), dengan dosis maksimal 500g (0,5ml).

7. Steroid inhalasi

Steroid inhalasi nebulisasi dengan dosis tinggi (1600-2400 g atau 2-5 ampul

budesonid) dapat digunakan untuk serangan asma, namun perlu diperhatikan untuk

memberi dalam dosis tinggi karena steroid nebulisasi dosis rendah tidak bermanfaat

mengatasi serangan asma.

19
BAB II

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : Anak GM

Usia : 10 tahun 9 bulan

Jenis kelamin : Laki-laki

Tanggal lahir : 18 Juni 2006

Tanggal di rawat : 6 Maret 2017

Alamat : Komp. Fakhristudo Blok A No. 16 Pauh Padang

Identitas orangtua

Nama : Ayah : Tn. JE

Ibu : Ny. E

Umur : Ayah : 46 tahun.

Ibu : 43 tahun.

Alamat : Komp. Fakhristudo Blok A No. 16 Pauh Padang.

Pendidikan terakhir : Ayah : SMA

Ibu : SMA

Pekerjaan : Ayah : TNI

Ibu : Ibu rumah tangga.

20
Anamnesis

Alloanamnesis: Ibu kandung

Keluhan utama:

Sesak nafas semakin bertambah sejak 12 jam yang lalu

Riwayat penyakit sekarang:

- Pilek sejak 2 hari yang lalu sebelum masukrumah sakit

- Batuk berdahak sejak 1 hari yang lalu, dahak susah dikeluarkan

- Sesak nafas sejak 1 hari yang lalu, semakin bertambah sesak sejak 12 jam

yang lalu, berbunyi menciut. Sesak dipengaruhi oleh makanan, terutama yang

mengandung pemanis buatan. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca atau aktivitas.

Anak masih bisa mengucapkan kalimat lengkap

- Riwayat biring susu tidak ada

- Riwayat alergi debu tidak ada

- Riwayat bersin-bersin di pagi hari tidak ada

- Demam tidak ada, kejang tidak ada

- Mual tidak ada, muntah tidak ada, nyeri menelan tidak ada

- Makan frekuensi 3 kali sehari, menghabiskan 2/3 porsi dewasa

- Buang air kecil jumlah dan warna biasa

- Buang air besar jumlah dan konsistensi biasa

- Sebelumnya anak telah dibawa ke IGD RST pukul 10.00, dilakukan nebulisasi

dan diperbolehkan pulang. Kemudian anak kembali sesak sejak 3 jam yang

lalu dan dibawa ke IGD RST, dilakukan nebulisasi 2x namun tidak ada

perbaikan sehingga anak dirujuk ke RSUP M. Djamil. Di IGD RSUP M. Djamil

21
anak dilakukan nebulisasi 2x dengan salbutamol, anak masih tampak sesak

nafas, dan bunyi menciutnya masih ada

Riwayat Penyakit Dahulu

- Anak telah dikenal asma sejak 6 tahun yang lalu sejak usia 4 tahun, selama 3

tahun terakhir rata-rata serangan asma 3x dalam 1 tahun. Serangan asma

sebelumnya 3 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Keluarga

- Ibu kandung dan nenek dari pihak Ibu juga menderita asma

Riwayat Kelahiran

Anak ke 2 dari 4 bersaudara, lahir spontan, ditolong bidan, kehamilan cukup bulan,

BBL 3400 g dan PBL 49 cm, langsung menangis kuat.

Riwayat Imunisasi

BCG : 1 bulan, skar (+)

Hepatitis B : Lahir, 1 bulan, 7 bulan

DPT : 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan

Polio : 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan

Campak : 9 bulan

Kesan : Imunisasi dasar lengkap

22
Riwayat Makanan dan Minuman

Bayi

ASI : Sejak lahir sampai umur 2 tahun

MP-ASI : Umur 6 bulan

Nasi tim : Umur 8 bulan

Nasi lunak : Umur 12 bulan

Nasi biasa : Umur 14 bulan sekarang

Anak

Makanan utama : 2-3x sehari menghhabiskan - 2/3 porsi orang dewasa

Daging : 2x seminggu

Ayam : 3x seminggu

Ikan : 3x seminggu

Telur : 7x seminggu

Sayur mayur : 3-4x seminggu

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

BB : 22 kg

TB : 128 cm

BB/TB : 88%

Status Gizi : gizi kurang

Tengkurap : 6 bulan

Duduk : 8 bulan

23
Berdiri : 10 bulan

Berjalan : 12 bulan

Bicara : 12 bulan

Kesan : Pertumbuhan dan perkembangan dalam batas normal

Riwayat Lingkungan

Rumah : Permanen

Sumber air minum : Sumur

Jamban : Di dalam rumah

Pekarangan : Ada, cukup luas

Sampah : Dibuang ke tempat sampah

Kesan : Hygene dan sanitasi lingkungan baik.

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan umum : Sakit sedang

Kesadaran : Sadar

Frekuensi nadi : 108 x/menit, reguler, kuat angkat

Frekuensi nafas : 38x /menit

Suhu : 36,8 C

Berat badan : 22 kg

Tinggi badan : 128 cm

24
BB/U : 62,35%

TB/U : 90,7%

BB/TB : 88 %

Status Gizi : Gizi kurang (persentil 70-90)

Sianosis : Tidak ada

Edema : Tidak ada

Anemis : Tidak ada

Ikterus : Tidak ada

Kulit : Teraba hangat, turgor kembali baik di keempat ekstrimitas

KGB : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening

Kepala : Bentuk bulat, simetris

Rambut : Hitam, tidak mudah rontok

Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik,

pupil isokor, diameter 2mm/2mm, reflek cahaya +/+

normal

Telinga : riwayat telinga keluar cairan tidak ada

Hidung : nafas cuping hidung tidak ada

Tenggorok : tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis

Mulut : mukosa mulut dan bibir basah

25
Thorak :

Paru

Inspeksi : normochest, terdapat retraksi epigastrium

Palpasi : fremitus kiri sama dengan kanan

Perkusi : sonor kiri sama dengan kanan

Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronki -/- terdapat wheezing di kedua

lapangan paru

Jantung

Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat

Palpasi : iktus teraba pada 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : batas jantung atas RIC II, kanan LSD, kiri pada LMCS RIC

Auskultasi : Irama teratur, bising tidak ada

Abdomen

Inspeksi : Distensi tidak ada

Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus ada normal

Punggung : Tidak lordosis, tidak kifosis, tidak skoliosis

26
Alat kelamin : Tidak ditemukan kelainan, Status Pubertas A1P1G1

Anus : Ada. Colok dubur tidak dilakukan

Anggota gerak : Akral hangat, CRT <2 detik, refleks fisiologis +/+ refleks

patologis-/-

Edema (-/-)

Pemeriksaan laboratorium

Darah :

HB 11,6 g/dL

Leukosit 9.480/mm3

Diff. Count 0/0/0/78/22/0

Kesan: neutrofilia shift to

the right

Diagnosis Kerja

Asma intermiten, serangan ringan-sedang

Tatalaksana

O2 2l/I (nasal)

Prednison 3x 1,5 tab PO

Ambroxol syrup 3x1 cth (dosis : 0.5 mg/kgBB/kali)

27
Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad Bonam

Quo ad functionam : dubia ad Bonam

Quo ad sanationam : dubia ad Bonam

Follow Up

7 Maret 2017, jam 09.00

S/ Anak tidak demam

Sesak nafas berkurang

Intake masuk, toleransi baik

Buang air kecil warna biasa dan jumlah cukup

Buang air besar warna dan konsistensi biasa

O/

KU Kes TD Nadi Nafas T(C)

(x/menit) (x/menit)

Sedang Sadar 100/60 108 30 36,8

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

28
Thoraks : normochest, terdapat retraksi epigastrium minimal

Pulmo : suara nafas vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing ada di kedua

lapangan paru

Abd : tidak terdapat distensi, supel, bising usus ada normal, tidak teraba

pembesaran

Ext : Akral hangat, CRT <2 detik

Kulit : Teraba hangat, turgor kembali baik di keempat ekstremitas.

A/ Asma Intermiten serangan ringan-sedang

P/ MB 1600 kkal

Nebulisasi ventolin 1 respul/4 jam

Prednison 3x 1,5 tab PO

Ambroxol cyr 3x1 cth

29
BAB IV

DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien laki-laki berusia sepuluh tahun sembilan bulan

dengan diagnosa asma intermitten serangan ringan sampai sedang. Diagnosis

ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien dibawa oleh keluarganya dengan

keluhan utama semakin bertambah sesak sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit.

Pasien mengalami sesak nafas sejak 1 hari yang lalu, berbunyi menciut,

dipengaruhi oleh makanan terutama yang mengandung pemanis buatan. Sesak

semakin bertambah sejak 12 jam yang lalu. Pasien juga menderita pilek sejak 2 hari

yang lalu. Pasien juga menderita batuk berdahak sejak 1 hari yang lalu. Pasien

sudah dikenal menderita asma sejak 6 tahun yang lalu saat usia 4 tahun. Serangan

asma terakhir 3 bulan yang lalu.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 100/60 mmHg, nadi

108x/menit, nafas 38x/menit dan suhu 36,80C. Dari pemeriksaan fisik didapatkan

nafas cuping hidung tidak ada, terdapat retraksi epigastrium, dan ditemukan

wheezing pada auskultasi paru.

Asma adalah penyakit saluran pernapasan dengan dasar inflamasi kronik

yang mengakibatkan penyempitan dan hiperreaktivitas saluran pernapasan dengan

derajat bervariasi. Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk, sesak nafas, dada

tertekan yang timbul kronik dan atau berulang, reversibel, dan biasanya timbul jika

ada pencetus.

30
Faktor risiko asma meliputi faktor pejamu (host) dan faktor lingkungan.

Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk

berkembangnya asma seperti genetik, riwayat atopi, atau hipereaktivitas bronkus.

Sedangkan faktor risiko lingkungan dapat berupa allergen, asap rokok, polusi udara

dan adanya infeksi pernapasan terutama virus.

Pada pasien didapatkan keluhan berupa sesak nafas yang semakin

bertambah sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit, dipengaruhi oleh makanan

terutama makanan yang mengandung pemanis buatan. Kemudian terdapat keluarga

yang menderita penyakit asma, yaitu ibu pasien dan nenek dari pihak ibu pasien.

Dari pemeriksaan fisik ditemukan retraksi epigastrium dan pada auskultasi paru

didapatkan adanya wheezing, sehingga diagnosis pada pasien ini mengarah ke

asma.

Pada anamnesis diketahui bahwa pasien terakhir mengalami asma 3 bulan

yang lalu. Dan pada saat serangan asma, pasien masih bisa bicara kalimat lengkap.

Hal ini mengarah kepada diagnosis asma intermitten serangan ringan - sedang.

Pengobatan yang diberikan pada pasien berupa pemberian Oksigen 2 liter

per menit, Ambroxol syr 3x1 cth, dan prednison 3x 1,5 tab.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide management and


prevention asthma in children. 2011
2. Supriyanto, B. Diagnosis dan penatalaksanaan terkini asma pada anak. Majalah
Kedokteran Indonesia. 2005 Maret; 55(3)
3. Asma Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia. 2003.
4. Stempel DA. The pharmacologic management of childhood asthma. Pediatr
Clin N Am 2003; 50: 609-29.
5. Supriyatno B. Tatalaksana Serangan Asma Pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI-RSCM, Jakarta.
6. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrhman RE. Nelson ilmu
kesehatan anak esensial. Singapore: Elsevier; 2011. 339-49.
7. Hendarto A, Trihono P, Oswari H, Gunardi H. State of art:common problems
in hospitalized children. Jakarta: Ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta; 2011:
32-9.
8. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Dapertemen Kesehatan RI. 2009.
9. Pedoman Nasional Asma Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016

32

Anda mungkin juga menyukai