ASMA
Oleh:
Rahmatushubhan
1110312073
Preseptor:
1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
belahan dunia dan sejak 20 tahun terakhir prevalensinya semakin meningkat pada
tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor
lingkungan terutama polusi, baik indoor maupun outdoor.1 Prevalensi asma pada
anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak sekitar 10%
pada usia sekolah dasar dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.2
berdampak pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah
dilakukan untuk mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan untuk
dan berkembang secara optimal sesuai dengan usianya. Serangan asma biasanya
2
mencerminkan kegagalan pencegahan asma, kegagalan tatalaksana asma jangka
dan tatalaksana yang tepat dapat mengurangi kesalahan berupa diagnosis yang
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
ditandai dengan inflamasi kronik saluran respiratori. Inflamasi kronik ini ditandai
sesak nafas, dan batuk yang bervariasi dalam waktu dan intensitas, disertai dengan
respiratori dan hiperresponsif bronkus, yang secara klinis ditandai dengan adanya
asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak nafas, dada tertekan yang timbul secara
kronik dan atau berulang, reversible, cenderung memburuk pada malam atau dini
2.2 Epidemiologi
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10%
pada anak). Prevalensi pada anak yang menderita asma meningkat 8-10 kali di
Di Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk
usia 13-14 tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National Center for Health
4
Statistics (NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57
per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun adalah 38 per
1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas, prevalensi asma pada laki-
laki 3 kali lebih banyak dibanding perempuan, selama masa remaja prevalensinya
hampir sama dan pada dewasa laki-laki lebih banyak menderita asma dibanding
wanita.5
laporan NCHS terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu.
Sedangkan, laporan dari CDC menyatakan terdapat 187 pasien asma yang
meninggal pada usia 0-17 tahun atau 0.3 kematian per 100,000 anak. Namun secara
(host) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik
yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma yaitu genetik, alergik (atopi), atau
lingkungan yaitu alergen (baik dalam ruangan maupun di luar ruangan), sensitisasi
lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, adanya infeksi pernapasan (terutama
5
2.4 Patogenesis
Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang
timbul mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan.
Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang
udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi
saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T
pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun
Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma
populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita asma
awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE spesifik oleh sel
plasma. IgE melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil. Bila ada
rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat
kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul
6
adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali karena serangan
Secara klinis, gejala asma menjadi menetap, penderita akan lebih peka terhadap
struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal
dengan istilah remodeling atau repair. Pada proses remodeling yang berperan
adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil Growth Factor (EGF). TGF beta
7
merangsang sel fibroblast berproliferasi, epitel mengalami hiperplasia,
dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis,
kerusakan epitel bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga
apabila obat antiinflamasi tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka
inflamasi berlangsung terus dan obstruksi saluran napas menjadi irreversibel dan
proses remodeling bertambah hebat. Pada penelitian terhadap anak dengan riwayat
infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa
proses remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi.
Apabila intervensi dini diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa jadi
8
2.5 Patofisiologi
merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap inflamasi pada
mukosa saluran napas pasien asma ini menyebabkan hiperreaktifitas bronkus yang
merupakan tanda utama asma. Pada saat terjadi hiperreaktivitas saluran napas
sejumlah pemicu dapat memulai gejala asma. Pemicu ini meliputi respon
hipersensitivitas tipe 1 (dimediasi IgE) terhadap alergen debu rumah dan serbuk
sari yang tersensitisasi, iritan seperti udara dingin, polutan atau asap rokok, infeksi
dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Proses patologis utama yang
mendukung obstruksi saluran napas adalah edema mukosa, kontraksi otot polos dan
produksi mukus. Obstruksi terjadi selama ekspirasi ketika saluran napas mengalami
pada asma yang berat dapat mengurangi aliran udara selama inspirasi. Sejumlah
karakteristik anatomi dan fisiologi memberi kecenderungan bayi dan anak kecil
terhadap peningkatan risiko obstruksi saluran napas antara lain ukuran saluran
napas yang lebih kecil, recoil elastic paru yang lebih lemah, kurangnya bantuan otot
polos saluran napas kecil, hiperplasia kelenjar mukosa relatif dan kurangnya saluran
Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada anak. Pada
anak yang lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat berupa sesak napas, dada terasa
9
berat gejala biasanya akan memburuk pada malam hari yang dipicu dengan infeksi
pernapasan dan inhalasi alergen. Gejala lainnya dapat tersembunyi dan tidak
bronkodilator dan atopi pada pasien atau keluarganya dapat menunjang penegakan
diagnosis.7
didahului batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut ditelusuri dengan algoritme
kemungkinan diagnosis asma. Pada algoritme tampak bahwa batuk dan/atau mengi
adanya riwayat atopi pada penderita maupun keluarganya merupakan gejala atau
khususnya anak di bawah 3 tahun, respons yang baik terhadap obat bronkodilator
dan steroid sistemik (5 hari) dan dengan penyingkiran penyakit lain diagnosis asma
menjadi lebih definitif. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal
paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter,
atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan
histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin atau dengan NaCl
10
Batuk/wheezing/sesak nafas/ dada tertekan/
produksi sputum
Ya Tatalaksana sesuai
ASMA Respon diagnosis
Tidak
Ya Tambah Steroid
sistemik 3-5 hari
Tentukan derajat
penyakit dan
serangan
Respon Tidak
2.7 Klasifikasi
asma, serta pola obstruksi aliran udara di saluran nafas. Walaupun berbagai usaha
11
telah dilakukan, klasifikasi berdasarkan etiologi sulit digunakan karena dapat
yaitu asma episodik jarang, asma episodik sering dan asma persisten. Berikut ini
12
Table 3. Klasifikasi derajat serangan asma
13
2.8 Pemeriksaan Penunjang
Ada banyak cara yang digunakan untuk mengukur fungsi paru, tetapi tidak
banyak yang dapat dilakukan dengan mudah. Pemeriksaan fungsi paru mulai dari
pengukuran sederhana, yaitu peak expiratory flow rate (PEFR) atau arus puncak
ekspirasi (APE), pulse, oximetry, spirometri. Pemeriksaan paru yang objektif dan
lengkap dapat bermanfaat dalam evaluasi diagnostik anak dengan batuk, mengi
rekuren, aktifitas terbatas, dan keadaan lain yang berkaitan dengan sistem
manifestasi gejala asma yang tidak khas. Kebanyakan uji fungsi paru mengevaluasi
satu atau lebih aspek fungsi paru, yaitu: 1) volume paru, 2) fungsi jalan napas, 3)
pertukaran gas. Pengukuran volume paru bermanfaat pada penyakit paru restriktif
seperti kelemahan otot nafas, deformitas dinding dada, atau penyakit interstitial
paru, serta pada beberapa anak dengan kelainan obstruktif jalan nafas.6
Walau pemeriksaan analisis gas darah merupakan baku emas untuk menilai
Pada uji fungsi jalan nafas, hal yang paling penting adalah melakukan
manuver ekspirasi paksa secara maksimal. Hal ini tertutama berguna pada penyakit
dengan obstruksi jalan nafas, misalnya asma dan fibrosis kistik. Pengukuran dengan
manuver ini yang dapat dilakukan pada anak di atas 6 tahun adalah forced
expiratory volume in 1 second (FEV1) dan vital capacity (VC) dengan alat
spirometer serta pengukuran peak expiratory flow (PEF) atau arus puncak ekspirasi
(APE) dengan peak flow meter. Pengukuran variabilitas dan reversibilitas fungsi
14
paru dalam 24 jam sangat penting untuk mendignosis asma, melalui derajat berat
penyakit asma dan menjadi acuan dalam strategi pedoman pengelolaan asma. 6
fungsi paru lainnya. Dengan alasan ini, pengukuran PEF harus dibandingkan
dengan nilai terbaik anak sendiri. Untuk menilai derajat asma dan respons terapi
PEF harus diukur secara serial dalam 24 jam. Bahkan jika perlu, diukur selama
beberapa minggu, karena derajat asma tidak ditentukan oleh nilai baseline
merupakan cara mengukur nilai diural PEF terbaik adalah pengukuran selama
paling sedikit 1 minggu dan hasilnya dinyatakan sebagai persen nilai terbaik dari
6
selisih nilai PEF pagi hari terendah dan nilai PEF malam hari tertinggi.
Pemeriksaan peak flow meter merupakan hal yang penting dan perlu
15
b. Pemeriksaan hiperreaktivitas saluran nafas
dan dingin, atau dengan salin hipertonik sangat menunjang diagnosis. Pada pasien
yang mempunyai gejala asma tetapi fungsi parunya tampak normal, penilaian
respons saluran nafas terhadap metakolin, histamine, atau olahraga dapat membantu
menyingkirkan diagnosis asma persisten, sedangkan hasi positif tidak selalu berarti
bahwa pasien tersebut memiliki asma. Hal ini disebabkan karena hiperreaktivitas
saluran nafas juga terdapat pada pasien rhinitis alergi dan kondisi lain seperti
dengan cara memeriksa eosinophil sputum, baik yang spontan maupun yang
diinduksi dengan garam hipertonik. Selain itu, pengukutan kadar NO ekshalasi juga
orang yang tidak menderita asma, hasil ini tidak spesifik untuk asma dan belum
terdapat penlitian yang menyatakan bahwa hal yang dapat membatu dalam
diagnosis asma. 6
serum tidak banyak membantu diagnosis asma, tetapi pemeriksaan ini dapat
16
membantu menentukan faktor risiko atau pencetus asma. Tes alergi untuk
inhalasi agonis 2 kerja pendek tunggal sehingga obat ini menjadi pilihan utama
prokaterol. Agonis 2 kerja pendek harus diberikan dengan dosis terendah dan
2. Ipratropium bromida
(antikolinergik) pada inhalasi ketiga saat serangan asma menurunkan risiko rawat
inap dan memperbaiki PEF dan FEV1 dibanding dengan agonis 2 kerja pendek
saja.
3. Steroid sistemik
17
serangan. Jika memungkinkan, steroid oral diberikan dalam satu jam pertama.
perbaikan klinis. Pemberian secara oral sama efektifnya dengan pemberian secara
4. Aminofilin intravena
Aminofilin intravena diberikan pada anak dengan asma serangan berat atau dengan
ancaman henti nafas yang tidak berespon dengan dosis maksimal agonis 2 dan
steroid sistemik. Penambahan aminofilin pada terapi awal (inhalasi agonis 2 dan
direkomendasikan yaitu dosis inisial bolus pelan 6-8 mg/kgBB diberikan dalam 20
1 mg/kgBB akan meningkatkan kadar aminofilin serum 2gml. Untuk efek terapi
yang maksimal, target kadar aminofilin serum adalah 10-20g/ml. Oleh karena itu
kadar aminofilin serum seharusnya diukut 1-2 jam setelah loading dose diberikan
Pertimbangan pemberian injeksi MgSO4 pada pasien dengan asma serangan berat
yang tidak membaik atau dengan hipoksemia yang menetap setalah satu jam
pemberian terapi awal dengan dosis maksimal (agonis2 kerja pendek dan steroid
18
Tetes berulang Kecepatan 240-480 pengenceran 60 Berkelanjutan
mg/kgBB/hari mg/ml
Target kadar
Magnesium 4 mg/dl
6. Adrenalin
7. Steroid inhalasi
Steroid inhalasi nebulisasi dengan dosis tinggi (1600-2400 g atau 2-5 ampul
budesonid) dapat digunakan untuk serangan asma, namun perlu diperhatikan untuk
memberi dalam dosis tinggi karena steroid nebulisasi dosis rendah tidak bermanfaat
19
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Anak GM
Identitas orangtua
Ibu : Ny. E
Ibu : 43 tahun.
Ibu : SMA
20
Anamnesis
Keluhan utama:
- Sesak nafas sejak 1 hari yang lalu, semakin bertambah sesak sejak 12 jam
yang lalu, berbunyi menciut. Sesak dipengaruhi oleh makanan, terutama yang
mengandung pemanis buatan. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca atau aktivitas.
- Mual tidak ada, muntah tidak ada, nyeri menelan tidak ada
- Sebelumnya anak telah dibawa ke IGD RST pukul 10.00, dilakukan nebulisasi
dan diperbolehkan pulang. Kemudian anak kembali sesak sejak 3 jam yang
lalu dan dibawa ke IGD RST, dilakukan nebulisasi 2x namun tidak ada
21
anak dilakukan nebulisasi 2x dengan salbutamol, anak masih tampak sesak
- Anak telah dikenal asma sejak 6 tahun yang lalu sejak usia 4 tahun, selama 3
- Ibu kandung dan nenek dari pihak Ibu juga menderita asma
Riwayat Kelahiran
Anak ke 2 dari 4 bersaudara, lahir spontan, ditolong bidan, kehamilan cukup bulan,
Riwayat Imunisasi
Campak : 9 bulan
22
Riwayat Makanan dan Minuman
Bayi
Anak
Daging : 2x seminggu
Ayam : 3x seminggu
Ikan : 3x seminggu
Telur : 7x seminggu
BB : 22 kg
TB : 128 cm
BB/TB : 88%
Tengkurap : 6 bulan
Duduk : 8 bulan
23
Berdiri : 10 bulan
Berjalan : 12 bulan
Bicara : 12 bulan
Riwayat Lingkungan
Rumah : Permanen
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Kesadaran : Sadar
Suhu : 36,8 C
Berat badan : 22 kg
24
BB/U : 62,35%
TB/U : 90,7%
BB/TB : 88 %
normal
25
Thorak :
Paru
lapangan paru
Jantung
Perkusi : batas jantung atas RIC II, kanan LSD, kiri pada LMCS RIC
Abdomen
Perkusi : Timpani
26
Alat kelamin : Tidak ditemukan kelainan, Status Pubertas A1P1G1
Anggota gerak : Akral hangat, CRT <2 detik, refleks fisiologis +/+ refleks
patologis-/-
Edema (-/-)
Pemeriksaan laboratorium
Darah :
HB 11,6 g/dL
Leukosit 9.480/mm3
the right
Diagnosis Kerja
Tatalaksana
O2 2l/I (nasal)
27
Prognosis
Follow Up
O/
(x/menit) (x/menit)
28
Thoraks : normochest, terdapat retraksi epigastrium minimal
Pulmo : suara nafas vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing ada di kedua
lapangan paru
Abd : tidak terdapat distensi, supel, bising usus ada normal, tidak teraba
pembesaran
P/ MB 1600 kkal
29
BAB IV
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien laki-laki berusia sepuluh tahun sembilan bulan
keluhan utama semakin bertambah sesak sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit.
Pasien mengalami sesak nafas sejak 1 hari yang lalu, berbunyi menciut,
semakin bertambah sejak 12 jam yang lalu. Pasien juga menderita pilek sejak 2 hari
yang lalu. Pasien juga menderita batuk berdahak sejak 1 hari yang lalu. Pasien
sudah dikenal menderita asma sejak 6 tahun yang lalu saat usia 4 tahun. Serangan
108x/menit, nafas 38x/menit dan suhu 36,80C. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
nafas cuping hidung tidak ada, terdapat retraksi epigastrium, dan ditemukan
derajat bervariasi. Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk, sesak nafas, dada
tertekan yang timbul kronik dan atau berulang, reversibel, dan biasanya timbul jika
ada pencetus.
30
Faktor risiko asma meliputi faktor pejamu (host) dan faktor lingkungan.
Sedangkan faktor risiko lingkungan dapat berupa allergen, asap rokok, polusi udara
bertambah sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit, dipengaruhi oleh makanan
yang menderita penyakit asma, yaitu ibu pasien dan nenek dari pihak ibu pasien.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan retraksi epigastrium dan pada auskultasi paru
asma.
yang lalu. Dan pada saat serangan asma, pasien masih bisa bicara kalimat lengkap.
Hal ini mengarah kepada diagnosis asma intermitten serangan ringan - sedang.
per menit, Ambroxol syr 3x1 cth, dan prednison 3x 1,5 tab.
31
DAFTAR PUSTAKA
32