Tinjauan Pustaka Dan Kasus
Tinjauan Pustaka Dan Kasus
PENDAHULUAN
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan
aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Kata anestesi
diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846 yang menggambarkan
keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan
untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien. Anestesi yang
sempurna harus memenuhi 3 syarat (Trias Anestesi), yaitu: Hipnotik (hilang
kesadaran), Analgetik (hilang perasaan sakit), Relaksan (relaksasi otot-otot).1
Anestesi umum atau general anesthesia merupakan suatu keadaan dimana
hilangnya kesadaran disertai dengan hilangnya perasaan sakit di seluruh tubuh
akibat pemberian obat-obatan anestesi dan bersifat reversible. Anestesi umum
dapat diberikan secara intravena, inhalasi dan intramuskular.1
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam
kandung empedu atau di dalam duktus koledukus, atau pada kedua-duanya.
Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam
kandung empedu (kolesistolitiasis). Kalau batu kandung empedu ini berpindah ke
dalam saluran empedu ekstrahepatik, disebut batu saluran empedu sekunder atau
koledokolitiasis sekunder.
Hernia inguinalis merupakan penonjolan yang keluar dari rongga
peritoneum melalui anulus inguinalis internus yang terletak lateral dari pembuluh
epigastrika inferior, kemudian hernia masuk kedalam kanalis inguinalis dan jika
cukup panjang, menonjol keluar dari anulus inguinalis eksternus.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Teknik anestesi umum ada 3, yaitu :2
a. Anestesi umum intravena merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke
dalam pembuluh darah vena.
b. Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang
berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap dengan obat-obat pilihan
yaitu N2O, Halotan, Enfluran, Isofluran, Sevofluran, Desfluran dengan
kategori menggunakan sungkup muka, Endotrakeal tube nafas spontan,
Endotrakeal tube nafas terkontrol.
c. Anestesi berimbang merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan
kombinasi obat-obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi
inhalasi atau kombinasi teknik anestesi umum dengan analgesia regional
untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang.
3
Pemeriksaan laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan laboratorium rutin yang
sebaiknya dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap (Hb, leukosit, masa
perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis.Pada pasien yang berusia di
atas 50 tahun sebaiknya dilakukan pemeriksaan foto toraks dan EKG.
d. Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA) :2
ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas
ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap
saat
ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
kehidupannya tidak akan lebih dari 24 jam.
ASA 6 : pasien dengan kematian batang otak dan organnya siap untuk
ditransplantasi.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E: EMERGENCY), misalnya ASA IE atau
IIE.
2.3 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi. Tujuan
premedikasi:2
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anestesi
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Mengurangi refleks yang tidak diharapkan
Mengurangi isi cairan lambung
4
Mengurangi rasa sakit
Menghilangkan efek samping dari obat sebelum dan selama anestesi
Menurunkan basal metabolisme tubuh
5
Sebelum induksi anastesi
Sebelum memulai, periksalah jadwal pasien dengan teliti. Tanggung jawab
untuk pemeriksaan ulang ini berada pada ahli bedah dan ahli anatesi. Periksalah
apakah pasien sudah dipersiapkan untuk operasi dan tidak makan/minum
sekurang-kurangnya 6 jam sebelumnya, meskipun bayi yang masih menyusui
hanya dipuasakan 3 jam (untuk induksi anastesi pada operasi darurat, lambung
mungkin penuh). Ukurlah nadi dan tekanan darah dan buatlah pasien relaks sebisa
mungkin. Asisten yang membantu induksi harus terlatih dan berpengalaman.
Jangan menginduksi pasien sendirian saja tanpa asisten.
Pemeriksaan Alat
Penting sekali bila kita memeriksa alat-alat sebelum melakukan anastesi,
karena keselamatan pasien tergantung pada hal ini. Kita harus mempunyai daftar
hal-hal yang harus diperiksadan gantungkan pada alat anastesi yang sering
digunakan.
Pertama yakinlah bahwa alat yang akan dipergunakan bekerja dengan
baik. Jika kita menggunakan gas kompresi, periksalah tekanan pada silinder yang
digunakan dan silinder cadangan. Periksalah apakah vaporizer sudah disambung
dengan tepat tanpa ada yang bocor, hilang atau terlepas, sistem pernapasan dan
aliran gas ke pasien berjalan dengan baik dan aman. Jika kita tidak yakin dengan
sistem pernapasan, cobalah pada diri kita (gas anastesi dimatikan). Periksalah
fungsi alat resusitasi (harus selalu ada untuk persiapan bila terjadi kesalahan aliran
gas), laringoskop, pipa dan alat penghisap. Kita juga harus yakin bahwa pasien
berbaring pada meja atau kereta dorong yang dapat diatur dengan cepat ke dalam
posisi kepala dibawah, bila terjadi hipotensi mendadak atau muntah. Persiapkan
obat yang akan digunakan dalam spuit yang diberi label, dan yakinkan bahwa obat
itu masih baik kondisinya. Sebelum melakukan induksi anastesi, yakinkan aliran
infus adekuat dengan memasukkan jarum indwelling atau kanula dalam vena
besar, untuk operasi besar infus dengan cairan yang tepat harus segera dimulai.
6
2.4 Induksi Anestesi
Induksi anestesi ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan.
Sebelum memulai induksi anestesi, selayaknya disiapkan peralatan dan obat-
obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi
dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya
kita ingat kata STATICS:2
S = Scope
Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope, pilih
bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang.
T = Tubes
Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia< 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun
dengan balon (cuffed).
A = Airway
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar
untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan nafas
T = Tape
Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I = Introducer
Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C = Connector
Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
S = Suction
Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena
7
hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan lembut dan terkendali.
Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama
induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan
selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan
kepekatan 2,5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri.
Pada anak dan manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis
tinggi.
Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan
dosis 2-3 mg/kgBB.
Ketamin intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan
ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan
menggunakan sedative seperti midazolam. Ketamin tidak dianjurkan pada pasien
dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah >160 mmHg). Ketamin menyebabkan
pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.
Induksi Intamuskular
Sampai sekarang hanya ketamin yang dapat diberikan secara
intramuskular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
Induksi inhalasi
Induksi inhalasi hanya dapat dilakukan apabila jalan napas bersih sehingga
obat anestesi dapat masuk. Jika jalan napas tersumbat, maka obat anestesi tidak
dapat masuk dan anestesi didistribusikan ke seluruh tubuh sehingga anestesi akan
dangkal. Jika hal ini terjadi, bersihkan jalan napas. Induksi inhalasi juga
digunakan untuk anak-anak yang takut pada jarum.
8
2.5 Intubasi Endotrakeal
Yang dimaksud dengan intubasi endotrakeal ialah memasukkan pipa
pernafasan yang terbuat dari portex ke dalam trakea guna membantu pernafasan
penderita atau waktu memberikan anestesi secara inhalasi.2
9
Keberhasilan intubasi tergantung pada 3 hal penting yaitu :1
Anestesi yang adekuat dan relaksasi otot-otot kepala, leher dan laring yang
cukup
Posisi kepala dan leher yang tepat
Penggunaan apparatus yang tepat untuk prosedur tersebut
10
b. Laringoskop
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop ialah
alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat
memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua
macam laringoskop :
Bilah lurus (straight blades/ Magill/ Miller)
Bilah lengkung (curved blades/ Macintosh)
11
Penilaian Mallampati
Dalam anestesi, skor Mallampati digunakan untuk memprediksi
kemudahan intubasi. Hal ini ditentukan dengan melihat anatomi rongga mulut,
khusus, itu didasarkan pada visibilitas dasar uvula, pilar faucial. Klasifikasi
tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal
menurut Mallampati dibagi menjadi 4 grade:3
Grade I : Pilar faring, uvula dan palatum mole terlihat jelas
Grade II :Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar faring
tidak terlihat
Grade III : Hanya palatum mole yang terlihat
Grade IV : Pilar faring, uvula dan palatum mole tidak terlihat.
12
Kesulitan membuka mulut
Uvula tidak terlihat (mallampati 3 dan 4)
Abnormalitas pada daerah servikal
Kontraktur jaringan leher
13
sehingga terjadi pengenceran oksigen dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk
menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan oksigen 100% selama 5-10 menit.
2. Halotan
Halotan merupakan gas yang baunya enak dan tak merangsang jalan
napas, maka sering digunakan sebagai induksi anestesi kombinasi dengan N2O.
Halotan merupakan anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, dimana induksi
dan tahapan anestesi dilalui dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun
setelah anestetik dihentikan. Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2
vol% dan pada napas kendali sekitar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan
dengan klinis pasien.
3. Isofluran
Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi
menyebabkan pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi
dicapai dalam kurang dari 10 menit, di mana umumnya digunakan barbiturat
intravena untuk mempercepat induksi.Tanda untuk mengamati kedalaman anestesi
adalah penurunan tekanan darah, volume dan frekuensi napas, serta peningkatan
frekuensi denyut jantung. Menurunkan laju metabolisme pada otak terhadap
oksigen, tetapi meningkatkan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.
4. Desfluran
Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat
absorben dan tidak korosif untuk logam.Karena sukar menguap, dibutuhkan
vaporiser khusus untuk desfluran.Desfluran lebih digunakan untuk prosedur bedah
singkat atau bedah rawat jalan.Desfluran bersifat iritatif sehingga menimbulkan
batuk, spasme laring, sesak napas, sehingga tidak digunakan untuk induksi.
Desfluran bersifat kali lebih poten dibanding agen anestetik inhalasi lain, tapi
17 kali lebih poten dibanding N2O.
5. Sevofluran
Sama halnya dengan desfluran, sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin.
Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menajdi pilihan yang tepat
untuk induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun dewasa.
Induksi inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi N2O dan oksigen dapat
14
dicapai dalam 1-3 menit. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.
Setelah pemberian dihentikan, sevofluran cepat dieliminasi dari tubuh.
15
3. Propofol
Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak bewarna
putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml= 10 mg). Suntikan
intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya
diberikan lidokain 1-2 mg/kgBB intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2.5 mg/kgBB, dosis rumatan untuk anestesi
intravena total 4-12 mg/kgBB/jam dan dosis sedasi untuk perawatan
intensif 0.2 mg/kgBB. Pengenceran propofol hanya boleh dengan
dekstrosa 5%. Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak < 3 thn dan
pada wanita hamil tidak dianjurkan.
4. Ketamin
Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestestik dan kataleptik dengan
kerja singkat. Efek anestesinya ditimbulkan oleh penghambatan efek
membran dan neurotransmitter eksitasi asam glutamat pada reseptor N-
metil-D-aspartat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik,
tetapi lemah untuk sistem viseral. Ketamin tidak menyebabkan relaksasi
otot lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya sedikit meninggi. Dosis
ketamin adalah 1-2 mg/kgBB IV atau 3-10 mg/kgBB IM. Anestesi dengan
ketamin diawali dengan terjadinya disosiasi mental pada 15 detik pertama,
kadang sampai halusinasi. Keadaan ini dikenal sebagai anestesi disosiatif.
Disosiasi ini sering disertai keadaan kataleptik berupa dilatasi pupil,
salivasi, lakrimasi, gerakan-gerakan tungkai spontan, peningkatan tonus
otot. Kesadaran segera pulih setelah 10-15 menit, analgesia bertahan
sampai 40 menit, sedangkan amnesia berlangsung sampai 1-2 jam.
B. Analgetik2
1. Morfin
Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif,
yakni tidak begitu mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa
getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun
tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.
16
Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin
meninggikan ambang rangsang nyeri ; (2) morfin dapat mempengaharui
emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks
serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari
thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang
rangsang nyeri meningkat.
Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang
adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg
intravena dan dapat diulang sesuai yamg diperlukan.
2. Fentanil
Dosis fentanyl adalah 2-5 mcg/kgBB IV. Fentanyl merupakan opioid
sintetik dari kelompok fenilpiperidin dan bekerja sebagai agonis reseptor
. Fentanyl banyak digunakan untuk anestetik karena waktu untuk
mencapai puncak analgesia lebih singkat, efeknya cepat berakhir setelah
dosis kecil yang diberikan secara bolus, dan relatif kurang mempengaruhi
kardiovaskular.
3. Meridipin
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa
keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang
lebih pendek daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk
menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik, untuk
menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin
kurang karena menyebabkan depresi nafas pada janin.
Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25
mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml.
Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis
untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.
C. Pelumpuh Otot (Muscle Relaxant)2
Obat pelumpuh otot adalah obat/ zat anestesi yang diberikan kepada pasien
secara intramuskular atau intravena yang bertujuan untuk mencapai relaksasi dari
otot-otot rangka dan memudahkan dilakukannya operasi.
17
a. Pelumpuh otot depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah saraf otot
tidak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup lama berada di celah sipnatik,
sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi
otot lurik.Yang termasuk golongan ini adalah suksinilkolin, dengan dosis 1-2
mg/kgBB IV.
b. Pelumpuh otot non-depolarisasi
Pelumpuh otot non-depolarisasi berikatan dengan reseptor nikotinik-
kolinergik, tetapi tak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi
asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja.
18
2.7 Pemulihan Pasca Anestesi
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi baik
dari anestesi umum atau analgesia regional secara rutin dikelola di kamar pulih
atau, unit perawatan pasca anestesi (RR, Recovery Room atau PACU, Post
Anestesia Care Unit).
Sebagai ahli anastesi, anda bertanggung jawab terhadap perawatan pasien
pada saat pemulihan. Lakukan observasi dengan mengukur nadi, tekanan darah
dan frekuensi pernafasan secara teratur dan perhatikan bila ada keadaan abnormal
dan perdarahan yang berlanjut.
Pada jam pertama setelah anestesi , merupakan saat yang paling berbahaya
bagi pasien. Reflek perlindungan jalan napas masih tertekan, walaupun pasien
tampak sudah bangun, dan efek sisa obat yang diberikan dapat mendepresi
pernapasan. Nyeri pada luka khususnya pada thoraks dan abdomen bagian atas,
akan menghambat pasien untuk mengambil napas dalam atau batuk. Ini dapat
menyebabkan berkembangnya infeksi di dada atau kolaps dasar paru dengan
hipoksia lebih lanjut. Pasien yg masih belum sadar betul, sebaiknya dibaringkan
dalam posisi miring, tetapi pasien dengan insisi abdomen, bila sudah benar-benar
sadar, biasanya pernafasannya lebih enak dalam keadaan duduk atau bersandar.
Oksigen harus selalu diberikan secara rutin pada pasien yang sakit dan pasien yg
menjalani operasi yang lama. Cara yang paling ekonomis untuk memberikan
oksigen selama masa pemulihan adalah melalui kateter nasofaring lunak 0,5-1
L/menit, yang akan menghasilkan udara inspirasi dengan konsistensi oksigen 30-
40%. Jika dibutuhkan analgetik kuat, misalnya opium, berikan dosis pertama
secara intravena, sehingga anda dapat menghitung dosis yg diperlukan untuk
melawan rasa sakit dan juga bisa mengobservasi bila terjadi depresi
pernapasan.Bila dibutuhkan, dosis intravena tersebut kemudian dapat diberikan
secara intramuskular.
Tempat pemulihan
Tempat yang terbaik untuk masa pemulihan adalah kamar operasi itu
sendiri, dimana semua peralatan dan obat-obatan yang diperlukan untuk resusitasi
19
tersedia. Akan tetapi biasanya pasien dipindahkan ke ruang pemulihan, sehingga
kamar operasi dapat dibersihkan dan digunakan untuk operasi berikutnya. Ruang
pemulihan harus bersih, dekat dengan kamar operasi sehingga anda bisa cepat
melihat pasien bila terjadi sesuatu. Alat penghisap harus selalu tersedia, juga
oksigen dan peralatan resusitasi. Pasien yang tidak sadar jangan dikirim ke
bangsal.
Sebelum pasien meninggalkan ruang pemulihan, kita harus melakukan
penilaian pemulihan pasca anestesi. Salah satunya berdasarkan Aldrete Score.
Nilai 2 1 0
Kesadaran Sadar, orientasi Dapat Tidak dapat
baik dibangunkan dibangunkan
Warna Merah muda Pucat kehitaman, Sianosis, dengan
(pink), tanpa O2, perlu O2, SaO2 O2 SaO2 tetap
SaO2 92% >90% <90%
Aktivitas 4 ekstremitas 2 ekstremitas Tidak ada
bergerak bergerak ekstremitas
bergerak
Respirasi Dapat bernapas Napas dangkal Apnue atau
dalam Sesak napas obstruksi
Batuk
Kardiovaskular Tekanan darah Berubah 20-30 % Berubah >50%
berubah <20%
Kriteria pindah dari unit perawatan pasca anestesi jika nilai 9 atau 10.
2.8. Kolelitiasis
Definisi
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung
empedu atau di dalam duktus koledukus, atau pada kedua-duanya. Sebagian besar
batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu
(kolesistolitiasis). Kalau batu kandung empedu ini berpindah ke dalam saluran
20
empedu ekstrahepatik, disebut batu saluran empedu sekunder atau koledokolitiasis
sekunder.
Patogenesis
Diagnosis
A. Anamnesis
Setengah sampai dua pertiga penderita batu kandung empedu adalah
asimtomatik.
Keluhan yang mungkin timbul berupa dyspepsia yang kadang disertai
intoleransi terhadap makanan berlemak.
Pada yang simtomatik, keluhan utamanya berupa nyeri di daerah
epigastrium, kuadran atas kanan atau prekordium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik
bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit dan kadang-kadang
21
menghilang dalam beberapa jam kemudian. Penyebaran nyeri dapat ke punggung
bagian tengah, scapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih
kurang penderita melaporkan bahwa nyeri menghilang setelah makan antasida.
Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik epigastrium dan
perut kanan atas akan disertai tanda sepsis. Baisanya terdapat icterus dan urin
berwarna gelap yang hilang timbul.
Pruritus ditemukan pada icterus obstrultif yang berkepanjangan dan lebih
abnyak ditemukan di daerah tungkai daripada badan.
B. Pemeriksaan Fisik
Kalau ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi,
seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrops kandung
empedu, empiema kandung empedu atau pankreatitis.
Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum di
daerah letak anatomi kandung empedu. Tanda murphy positif apabila nyeri tekan
bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu
yang meradang tersentuh ujung jari pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala atau tanda dalam fase
tenang. Kadang teraba hati agak membesar dan sclera ikterik. Patut diketahui bila
kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dL gejala icterus tidak jelas.
C. Pemeriksaan Penunjang
Batu kandung empedu yang asimtomatik tidak menilbukan kelainan
laboratorium. Apabila terjadi peradangna akut, dapat terjadi leukositosis. Pabila
ada sindrom Mirizzi, akan ditemukan kenaikan bilirubin serum akibat penekanan
duktus koledokus oleh batu, dinding yang oedem di daerah kantong Hartman, dan
penjalaran radang ke dinding yang tertekan tersebut. Kadar pospatase alkali serum
dan mungkin juga kadar amylase serum biasanya meningkat sedang setiap kali
ada serangan akut.
Dengan USG dapat dilihat batu kandung emoedu, pelebaran saluran
empedu intrahepatic maupun ekstra hepatic, dinding kandung empedu yang
menebal karena fibrosis atau oedem. Batu yang terdapat pada duktus koledukus
distal kadang sulit dideteksi karena terhalang udara didalam usus.
22
Foto polos perut, biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengadung cairan empedu berkalsium tinggi dapat dilihat
pada foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar
atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di
kuadran kana atas yang menekan gambaran udara di dalam usus besar di pleksura
hepatica.
Foto rontgen dengan kolangiopankreatikografi endoskopi retrogard
(ERCP) di papila vater atau melalui kolangiografi transhepatik perkutan (PTC)
berguna untuk pemeriksaan batu di duktus koledokus. Indikasinya ialah batu
kandung empedu dengan gangguan fungsi hati yang tidak dapat dideteksi dengan
USG dan kolesistografi oral, misalnya karena batu oral. Kelemahan ERCP untuk
diagnosis adalah bahaya timbulnya komplikasi pankreatitis.
Komplikasi
Komplikasi kolelitiasis adalah kolisitisis akut yang dapat menimbulkan
perforasi dan peritonitis, kolesistitis kronik, icterus obstruktif, kolangitis,
kolangiolitis piogenik, ileus batu empedu, pankreatitis, dan perubahan keganasan.
Batu empedu dari duktus koledokus dapat masuk ke dalam duodenum melalui
papilla vater dan menimbulkan kolik, iritasi, perlukaan mukosa, peradangan,
oedem, striktur papila vater.
Penatalaksanaan
A. Non Bedah
Tata laksana non bedah terdiri atas lisis batu atau endoskopi. Selain itu,
dapat dilakukan pencegahan kolelitiasis pada orang yang cenderung memiliki
empedu litogenik dengan mecegah infeksi dan menurunkan kadar kolesterol
serum dengan cara mengurangi asupan atau menghambat sintesis kolesterol. Obat
golongan statin dikenal dapat menghambat sintesis kolestrol karena mengahambat
enzim HMG-CoA reduktase.
23
Lisis batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik mungkin berhasil
pada batu kolesterol. Terapi berhasil pada separuh penderita dengan pengobatan
1-2 tahun.
B. Bedah
Indikasi kolesistektomi elektif konvensional maupun laparoskopi adalah
kolelitiasis asimptomatik pada penderita diabetes mellitus karena serangan
kolesistisis akut dapat menimbulkan komplikasi berat. Indikasi lain adalah
kandung empedu yang tidak terlihat pada kolesistografi oral, atau kandung
empedu dengan batu besar, berdiameter > 2 cm karena batu yang besar lebih
sering menimbulkan kolesistisis akut dibanding dengan batu yang lebih kecil.
Indikasi lain adalah kalsifikasi kandung empedu karena dihubungkan dengan
kejadian karsinoma.
Secara umum, indikasi kolesitektomi untuk batu empedu adalah batu
empedu simptomatik, pankreatitis empedu, dan diskinesia empedu, dimana hasil
pemeriksaan injeksi empedu harus kurang dari 35%. Batu empedu yang
asimtomatik yang memerlukan kolesistektomi adalah pasien karier salmonella
yang ditandai dengan kultur feses yang positif untuk S.thypii, pasien
imunodefisensi; pasien yang akan bertugas jauh dari fasilitas kesehatan atau
menjadi anggota ekspidisi kedaerah terpencil; pasien dengan kandung empedu
jenis porselin; dan kandidat transplasntasi ginjal.
Definisi
Hernia inguinalis merupakan penonjolan yang keluar dari rongga
peritoneum melalui anulus inguinalis internus yang terletak lateral dari pembuluh
epigastrika inferior, kemudian hernia masuk kedalam kanalis inguinalis dan jika
cukup panjang, menonjol keluar dari anulus inguinalis eksternus.
24
Etiologi
25
3. Kelemahan otot dinding perut karena usia.
Dalam keadaan relaksasi otot dinding perut, bagian yang membatasi anulus
internus turut kendur. Pada keadaan itu tekanan intraabdomen tidak tinggi dan
kanalis inguinalis berjalan lebih vertikal. Sebaliknya, bila otot dinding perut
berkontraksi, kanalis inguinalis berjalan lebih transversal dan anulus inguinalis
tertutup sehingga dapat mencegah masuknya usus ke dalam kanalis inguinalis.
Kelemahan otot dinding perut antara lain terjadi akibat kerusakan n. ilioinguinalis
dan n.iliofemoralis setelah apendektomi.
Diagnosa
b. Pemeriksaan Fisik
Tanda klinis pada pemeriksaan fisik bergantung pada isi hernia. Pada
inspeksi saat pasien mengedan, dapat dilihat hernia inguinalis lateralis muncul
sebagai penonjolan di regio inguinalis yang berjalan dari lateral atas ke medial
bawah. Kantong hernia yang kosong kadang dapat diraba pada funikulus
spermatikus sebagai gesekan dari dua lapis kantong yang memberikan sensasi
gesekan dua permukaan sutera, tetapi umumnya tanda ini sukar ditentukan. Kalau
kantong hernia berisi organ, tergantung isinya, pada palpasi mungkin teraba usus,
26
omentum (seperti karet), atau ovarium. Dengan jari telunjuk atau jari kelingking,
pada anak, dapat dicoba mendorong isi hernia dengan menekan kulit skrotum
melalui anulus eksternus sehingga dapat ditentukan apakah isi hernia dapat
direposisi atau tidak. Dalam hal hernia dapat direposisi, pada waktu jari masih
berada dalam anulus eksternus, pasien diminta mengedan. Kalau ujung jari
menyentuh hernia, berarti hernia inguinalis lateralis, dan kalau bagian sisi jari
yang menyentuhnya, berarti hernia inguinalis medialis. Isi hernia, pada bayi
perempuan, yang teraba seperti sebuah massa padat biasanya terdiri atas ovarium.
Diagnosis ditegakkan atas dasar benjolan yang dapat direposisi, atas dasar
tidak adanya pembatasan jelas di sebelah kranial dan adanya hubungan ke kranial
melalui anulus eksternus.
Hernia ini harus dibedakan dari hidrokel atau elefantiasis skrotum. Testis
yang teraba dapat dipakai sebagai pegangan untuk membedakannya.
Penatalaksanaan
27
dipakai sampai sekarang. Sebaiknya cara ini tidak dianjurkan karena
menimbulkan komplikasi, antara lain merusak kulit dan tonus otot dinding perut
di daerah yang tertekan sedangkan strangulasi tetap mengancam. Pada anak-anak
cara ini dapat menimbulkan atrofi testis karena tekanan pada tali sperma yang
mengandung pembuluh darah testis.
Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan rasional hernia
inguinalis. Indikasi operasi sudah ada begitu diagnosa ditegakkan. Prinsip dasar
operasi hernia terdiri atas herniotomi dan hernioplasti.
Pada herniotomi dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke
lehernya, kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada perlekatan,
kemudian direposisi. Kantong hernia dijahit ikat setinggi mungkin lalu dipotong.
Pada hernioplastik dilakukan tindakan memperkecil anulus inguinalis
internus dan memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis. Hernioplastik lebih
penting dalam mencegah terjadinya residif dibandingkan dengan herniotomi.
Dikenal berbagai metode hernioplastik, seperti memperkecil anulus inguinalis
internus dengan jahitan terputus, menutup dan memperkuat fasia transversa, dan
menjahitkan pertemuan m.transversus internus abdominis dan m.obliqus obliqus
internus abdominis yang dikenal dengan nama conjoint tendon ke ligamentum
inguinale Poupart menurut metode Bassini, atau menjahitkan fasia transversa,
m.transversus abdominis, m. obliqus internus abdominis ke ligamentum Cooper
pada metode McVay.
Metode Bassini merupakan teknik herniorafi yang pertama dipublikasi
tahun 1887. Setelah diseksi kanalis inguinalis, dilakukan rekonstruksi dasar lipat
paha dengan cara mengaproksimasi muskulus obliqus internus, muskulus
transversus abdominis, dan fasia transversalis dengan traktus iliopubik dan
ligamentum inguinale. Teknik dapat diterapkan, baik pada hernia direk maupun
indirek.
Kelemahan teknik Bassini dan teknik lain yang berupa variasi teknik
herniotomi Bassini adalah terdapatnya regangan berlebihan dari otot-otot yang
dijahit. Untuk mengatasi masalah ini, pada tahun delapan puluhan dipopulerkan
pendekatan operasi bebas regangan. Pada teknik itu digunakan prostesis mesh
28
untuk memperkuat fasia transversalis yang membentuk dasar kanalis inguinalis
tanpa menjahitkan otot-otot ke inguinal.
Pada hernia kongenital pada bayi dan anak-anak yang faktor penyebabnya
adalah prosesus vaginalis yang tidak menutup hanya dilakukan herniotomi karena
anulus inguinalis internus cukup elastis dan dinding belakang kanalis cukup kuat.
Terapi operatif hernia bilateral pada bayi dan anak dilakukan dalam satu
tahap. Mengingat kejadian hernia bilateral cukup tinggi pada anak, kadang
dianjurkan eksplorasi kontralateral secara rutin, terutama pada hernia inguinalis
sisnistra. Hernia bilateral pada orang dewasa, dinajurkan melakukan operasi
dalam satu tahap,kecuali jika ada kontraindikasi.
Kadang ditemukan insufisiensi dinding belakang kanalis inguinalis dengan
hernia inguinalis medialis besar yang biasanya bilateral. Dalam hal ini, diperlukan
hernioplastik yang dilakukan secara cermat dan teliti. Tidak satu pun teknik yang
dapat menjamin bahwa tidak akan terjadi residif. Yang penting diperhatikan ialah
mencegah terjadinya tegangan pada jahitan dan kerusakan pada jaringan.
Umumnya dibutukan plastik dengan bahan prostesis mesh misalnya.
Terjadinya residif lebih banyak dipengaruhi oleh teknik reparasi
dibandingkan dengan faktor konstitusi.Pada hernia inguinalis lateralis penyebab
resididf yang paling sering ialah penutupan anulus inguinalis internus yang tidak
memadai, di antaranya karena diseksi kantong yang kurang sempurna, adanya
lipoma preperitoneal, atau kantung hernia tidak ditemukan. Pada hernia inguinalis
medialis penyebab residif umumnya karena tegangan yang berlebihan pada jahitan
plastik atau kekurangan lain dalam teknik.
Pada operasi hernia secara laparoskopi diletakkan prostesis mesh di bawah
peritoneum dinding perut.
29
BAB III
KESIMPULAN
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan
aesthtos,"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Anestesi umum endotrakeal merupakan teknik anestesi dengan
mempergunakan kombinasi obat-obatan baik obat anesthesia intravena maupun
obat anestesi inhalasi dan memasukkan pipa pernafasan yang terbuat dari portex ke
dalam trakea guna membantu pernafasan pada penderita atau waktu memberikan
anestesi secara inhalasi.
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam
kandung empedu atau di dalam duktus koledukus, atau pada kedua-duanya.
Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam
kandung empedu (kolesistolitiasis). Kalau batu kandung empedu ini berpindah ke
dalam saluran empedu ekstrahepatik, disebut batu saluran empedu sekunder atau
koledokolitiasis sekunder.
Hernia inguinalis merupakan penonjolan yang keluar dari rongga
peritoneum melalui anulus inguinalis internus yang terletak lateral dari pembuluh
epigastrika inferior, kemudian hernia masuk kedalam kanalis inguinalis dan jika
cukup panjang, menonjol keluar dari anulus inguinalis eksternus.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Siahaan O. Dr. Prof. 2015. Anastesi Umum dan Anastesi Lokal. Medan :
Fakultas Kedokteran UMI / UNPRI ; Hal : 1-38.
2. Latief S, dkk. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II, cetakan kelima.
Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia ; Hal : 29-90.
3. Dobson BM. Dharma A. 2012. Penuntun Praktis Anestesi. World Health
Organization. EGC. Hal 47- 110
4. Gwinnutt CL.2012. Catatan Kuliah Anestesi Klinis. Edisi 3. EGC.
5. Torpy JM, Lynm C. 2011. General Anesthesia. Vol 305. No 10. JAMA (The
Journal of the American Medical Association). (diakses tanggal 14-03-2017,
http: jama.jamanetwork.com)
6. Christoper D. 2015. General Anesthesia. Departement of Anesthesiology.
Standford University school of Medicine. (diakses 14-03-2017, http:
emedicine.medscape.com)
7. Sjamsuhidajat, R. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 3. Jakarta: EGC
31
BAB IV
LAPORAN ANESTESI
ANAMNESA PRIBADI
Nama : Mr.R
Umur : 4 tahun
Jeniskelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Suku : Minang
BB : 15 kg
No RM : 01-02-63-68
Tanggal masuk : 1 April 2017
ANAMNESA PENYAKIT
Keluhan utama : Luka bakar terkena air panas
Telaah :
Hal ini dialami os 3 minggu yang lalu, awalnya os terkena air panas
pada beberapa bagian tubuh os, os merasakan nyeri pada bagian yang terkena air
panas (+), nyeri (+), mual muntah (-), nafsu makan berkurang, riwayat BAB dan
BAK (+) Normal.
RPT :-
RPO :-
KEAADAAN PRA BEDAH
Status Present
Sensorium : Compos mentis
KU/KP/KG : Sedang /sedang/ sedang
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nadi : 80 x/i
Frekuensi nafas : 24 x/i
32
Temperatur : 37,2oC
Anemis : (-)
Ikterik : (-)
Sianosis : (-)
Dipsnoe : (-)
Oedem : (-)
Status Lokalisata
a. Kepala
Mata : RC (+/+), pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior anemis(-/-),
ikterik (-/-)
Hidung : Secret (-)
Telinga : Dalam batas normal
Mulut : Dalam batas normal
b. Leher : Pembesaran KGB (-)
c. Thorax
Inspeksi : Simetris fusiformis, luka bakar pada thorax sinistra
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri normal
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : SP = vesikuler
ST = (-)
d. Abdomen
Inspeksi : Simetris, luka bakar pada abdomen sinistra
Palpasi : Soepel
Perkusi : Dalam batas normal
Auskultasi : Peristaltik (+) Normal
e. Ekstremitas superior : Tampak luka bakar pada ekstremitas sinistra
f. Ekstremitas inferior : Tampak luka bakar pada ekstremitas sinista
g. Genitalia eksterna : Tampak luka bakar pada genitalia
Pemeriksaan Penunjang
33
Laboratorium (tanggal 23 April 2017)
Hb 29,13 g/dL
Hct 25,9 %
Leukosit 29.13 u/L
Trombosit 5 u/L
Natrium 140 mmol/L
Kalium 3,10 mmol/L
Klorida 118 mmol/L
Hb 10,9 g/dL
Hct 31,6 %
Leukosit 20,99* u/L
Trombosit 78 u/L
Natrium 136 mmol/L
Kalium 3,30 mmol/L
Klorida 113 mmol/L
Ureum 26 mg/dL
Creatinin 0,25 mg/dL
Albumin 2,50 g/dl
Rontgen thorax ( Tanggal 7 April 2017) : Tidak tampak kelainan radiologis pada
cor dan pulmo
34
Suara pernafasan : Vesikuler
Suara tambahan : (-)
Riwayat asma/sesak/batuk/alergi: -/-/-/-
B2 (Blood)
Akral : Hangat/merah/kering
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nadi : 80 x/i
T/V : Cukup
Temperatur : 37,2oC
Konj.palp inferior pucat/hiperemis/ikterik :-/-/-
B3 (Brain)
Sensorium :Compos mentis
RC : +/+
Pupil : Isokor
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-
Riwayat kejang/ muntah proyektil/ nyeri kepala/ pandangan kabur : -/ -/ -/ -
B4 (Bladder)
Urine :+
Volume : Cukup
Warna : Kuning
Kateter :-
B5 (Bowel)
Abdomen : Soepel
Peristaltic : (+) Normal
Mual/Muntah : -/-
35
BAB/Flatus : +/+
NGT :-
B6 (Bone)
Fraktur :-
Luka bakar : (+) pada bagian thorax sinistra, ekstremitas superior sinistra,
ekstremitas inferior sinistra, dan genitalia.
Oedem :-
Anestesi
Persiapan pasien
Pasien puasa sejak pukul 00.00 wib
Pemasangan infus pada dorsum manus dextra dengan cairan RL
Persiapan alat
Stetoskop
Tensimeter
Meja operasi dan perangkat operasi
Ventilator
Ambu bag
Infus set
Abocath no 22
Threeway
Spuit 3cc
Spuit 5cc
Spuit 10cc
36
Obat obat yang dipakai
- Premedikasi :
o Midazolam 2 mg
o Fentanyl 20 mcg
- Medikasi :
o Propofol 30 mg
- Sebelum operasi selesai :
o Paracetamol drip 300 mg
DURANTE OPERASI
1. Mempertahankan hemodinamik stabil dan monitoring cairan infuse.
2. Memonitoring saturasi O2, tekanan darah, nadi, dan nafas setiap 15 menit.
37
11.15 100/80 110 20 99%
11.30 98/80 120 20 99%
11.45 98/90 120 20 99%
3. Monitoring perdarahan
- Perdarahan
Kassa basah : 5 x 10 cc = 50 cc
Kassa basah : 5 x 5cc = 25 cc
Total : 75 cc
Infuse RL o/t regio dorsum manus dextra
Pre operasi : RL 500 ml
Durante operasi : RL 500 ml
Urine output :
Durante operasi : Terpasang kateter (100 cc)
KETERANGAN TAMBAHAN
- Diagnosis pasca bedah : Post debridement a/i scald burn 30%
- Lama anastesi :11.00 11.45 wib
- Lama operasi :11.05 11.40 wib
38
TD sistol <90 mmHg atau >160 mmHg, diastole <60 mmHg atau >110
mmHg, HR <60x/i atau HR>120 x/i, RR<10 x/i atau >32x/i, T < 35 oC,
atau > 38 oC, lapor dokter jaga
Pantau urin output, bila <0,5 cc/kgBB/jam, lapor dokter jaga.
39