Iman adalah rasa percaya yang dibenarkan oleh hati diucapkan lisan dan ditunjukan
dalam perbuatan. Iman kepada Allah artinya meyakini dan membenarkan adanya Allah, satu-
satunya pencipta dan pemelihara alam semesta dengan segala kesempurnaan-Nya.
Taqwa yang berarti takut, menjaga, memelihara dan melindungi, maka taqwa dapat
diartikan sikap memelihara keimanan yang diwujudkan dalam pengamalan ajaran agama
Islam secara utuh dan konsisten
Kita sebagai umat Islam, harus meningkatkan mutu keimanan dan ketaqwaan kita
kepada Allah SWT agar mendapat ketenteraman lahir dan batin.
Iman adalah Makrifat dengan hati, pengakuan dengan lidah dan tindakan dengan anggota-
anggota badan (dengan kata lain; Diyakini dalam Hati, diucapkan dengan lisan, dan diwujudkan
dengan perbuatan).
Sesungguhnya Iman muncul sebagai titik di dalam hati, setiap kali Iman itu bertambah,
bertambah pula titik itu
Tidak akan sempurna Iman seorang hamba sehingga apa yang ada di tangan Alloh SWT lebih
dipercayainya daripada apa yang ada di tangannya sendiri.
\Di antara tanda-tanda yang dapat dipercaya atas agama Alloh SWT setelah pengakuan dan
perbuatan adalah tegas dalam perintahnya, jujur dalam perkataannya, adil dalam hukumnya, dan
mempunyai sifat belas kasih terhadap rakyatnya.
Kekuasaannya tidak menjadikannya melampaui batas. Keramahannya tidak menjadikannya
lemah. Keagungannya tidak mencegahnya untuk memberikan ampunan. Dan pengampunannya
tidak menjadikannya menyia-nyiakan hukum.
Keimanan dan Ketaqwaan dalam Islam menurut Imam 'Ali bin Abi Tholib k.w.
1. Sabar
2. Yakin
3. Keadilan
4. Jihad
1. Rindu (Syauq), maka barang siapa yang rindu pada Surga, dia akan melupakan segala
godaan hawa nafsu.
2. Takut (Syafaq), barangsiapa yang takut akan Neraka, dia akan meninggalkan segala
yang diharamkan.
3. Zuhud, barangsiapa yang zuhud di dunia, dia akan menganggap ringan segala musibah.
4. Antisipasi (Taroqqub), barangsiapa yang mengantisipasi kematian, dia akan bergegas
melakukan amal-amal kebajikan.
1. Mengajak Kepada Kebaikan, barangsiapa yang mengajak kepada kebaikan, dia telah
membantu orang-orang Mukmin
2. Mencegah Kemungkaran, barangsiapa yang mencegah kemungkaran, dia telah
merendahkan orang-orang kafir
3. Lurus Dalam Setiap Keadaan, barangsiapa yang lurus dalam setiap keadaannya, semua
kebutuhannya akan terpenuhi
4. Membenci Orang-orang Fasik, barangsiapa yang membenci orang-orang fasik dan
marah karena Alloh, maka Alloh akan marah karena marahnya, dan Dia akan
menjadikannya ridho pada hari kiamat.
PERBEDAAN HAM (hak asasi manusia) VERSI PBB DAN VERSI ISLAM . .
Barat mendefinisikan HAM sebagai hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak lahir secara
alami tanpa ada kaitan sama sekali dengan ajaran agama apa pun. HAM dalam pandangan Barat
murni merupakan hasil pemikiran dan penetapan akal semata, terlepas sama sekali dari dogma
agama.
Definisi tersebut melepaskan ikatan HAM dari doktrin ajaran agama, sehingga norma-norma
agama sama sekali tidak menjadi ukuran penting dalam terminologi HAM. Dengan makna HAM
seperti ini, maka HAM sering dihadap-hadapkan dengan agama, sehingga HAM sering dipahami
sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama. Bahkan karena HAM sering digunakan
untuk mengkerdilkan agama, akhirnya HAM dianggap sebagai musuh agama.
Berdasarkan definisi tersebut pula, maka setiap manusia berhak untuk memenuhi kebutuhan
biologisnya dengan melakukan aneka hubungan sex yang diinginkannya, sebagaimana setiap
manusia berhak untuk makan dan minum apa saja yang disukainya. Karenanya, menurut Barat
bahwa perzinahan dan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender) serta aneka
penyimpangan sex lainnya, adalah merupakan HAM. Begitu pula mengkonsumsi makanan dan
minuman haram, semuanya adalah HAM.
Selain itu, HAM dalam pandangan Barat tidak statis, tapi berubah-ubah tergantung penilaian akal
yang dikuasai hawa nafsu terhadap situasi dan kondisi serta kepentingan, karena lepas dari
doktrin agama sama sekali. Bisa jadi, sesuatu yang dianggap HAM pada saat ini, namun di
kemudian hari tidak lagi dianggap sebagai HAM. Begitu pula sebaliknya, sesuatu yang tidak
dianggap HAM pada saat ini, namun di kemudian hari bisa dianggap sebagai HAM.
Misalnya, saat ini mengkonsumsi khamar (miras) di Amerika Serikat dianggap sebagai HAM,
bahkan menjadi gaya hidup modern. Padahal pada tahun 1919, pemerintah AS menganggap
Miras bukan bagian HAM, bahkan AS menyatakan perang terhadap Miras dan melarangnya
sama sekali. Saat itu pemerintah AS mengeluarkan Undang-Undang Anti Miras yang
sosialisasinya menelan biaya US $ 60 ribu dan dana pelaksanaannya mencapai Rp.75 Milyar,
sesuai dengan nilai mata uang di zaman itu. Dan menghabiskan 250 juta lembar kertas berbentuk
selebaran.
Selama 14 tahun pemberlakuan UU Anti Miras di AS, telah dihukum mati sebanyak 300 orang
peminum miras dan dihukum penjara sebanyak 532.335 orang. Tapi ternyata, masyarakat AS
justru makin hobby meminum miras, yang pada akhirnya memaksa pemerintah mencabut UU
Anti Miras pada tahun 1933 M, dan membebaskan miras sama sekali.
Nah, bisa jadi saat ini mengkonsumsi Narkoba dianggap musuh besar HAM di berbagai belahan
dunia, namun di kemudian hari justru Narkoba dianggap sebagai HAM, bahkan gaya hidup masa
depan, sebagaimana Kasus Miras. Gejala itu sudah mulai ada, misalnya sejak beberapa tahun lalu
di Indonesia ada usulan dari Lingkar Ganja Nusantara kepada Badan Narkotik Nasional dan
pemerintah serta DPR RI agar melegalisasi ganja.
Itulah sebabnya, HAM dalam pandangan Barat tidak memiliki kaidah dan batasan yang jelas,
sehingga manakala definisi HAM mereka berbenturan dengan kepentingan mereka sendiri atau
kemauan hawa nafsu mereka, maka mereka berlindung dibalik pengecualian-pengecualian atau
ketentuan-ketentuan hukum khusus atau perubahan ketetapan Konvensi HAM.
HAM MENURUT ISLAM
Dalam Islam definisi HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak lahir sebagai
karunia Allah SWT, sehingga hak tersebut tidak akan pernah bertentangan dengan Kewajiban
Asasi Manusia (KAM) yang telah digariskan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Inti dari KAM adalah kewajiban manusia beribadah kepada Allah SWT sebagaimana firman-
Nya dalam QS.51.Adz-Dzaariyaat : 56 yang terjemahnya : "Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." Dengan KAM segenap umat Islam
wajib tunduk, patuh dan taat menjalankan semua perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, serta wajib
pula meninggalkan segala larangan Allah SWT dan Rasul-Nya, semata-mata hanya untuk
mencari ridho-Nya.
Dengan demikian, HAM tidak berdiri sendiri, tapi selalu diikat dengan KAM. Jadi, definisi
HAM terikat erat dengan doktrin ajaran agama Islam, sehingga norma-norma agama Islam
menjadi tolok ukur paling utama dalam terminologi HAM.
Berdasarkan definisi ini, maka setiap manusia berhak untuk memenuhi kebutuhan biologisnya,
namun harus dengan cara yang dibenarkan Syariat Islam, sebagaimana setiap manusia berhak
untuk makan dan minum apa saja yang disukainya, namun tetap dalam batasan makanan dan
minuman yang dihalalkan Syariat Islam.
Karenanya, dalam Islam ditegaskan bahwa perzinahan dan LGBT serta aneka penyimpangan sex
lainnya, merupakan pelanggaran KAM, sehingga bukan merupakan HAM. Begitu pula
mengkonsumsi makanan dan minuman haram, semuanya pelanggaran KAM, dan bukan
merupakan HAM.
Selain itu, HAM dalam pandangan Islam statis, tidak berubah-ubah. Artinya, apa-apa yang
diharamkan atau dihalalkan Syariat Islam akan tetap berlaku hingga Hari Akhir. Sesuatu yang
telah ditetapkan sebagai HAM mau pun KAM oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW, maka dari
dulu hingga kini, bahkan sampai masa yang akan datang, akan tetap menjadi HAM dan KAM.
Dengan demikian, keharaman khamar (miras) yang mencakup segala jenis minuman atau
makanan yang memabukkan. Dari bahan apa pun dibuatnya, apakah dari kurma, anggur atau
buah lainnya, termasuk dari bahan kimia sekali pun. Dan apa pun bentuknya, apakah cair, gas,
asap, jeli, bubuk, pil, serta bentuk lainnya. Dan bagaimana pun cara mengkonsumsinya, apakah
diminum, dimakan, dikunyah, dioleskan, disedot, atau pun disuntikkan. Dan apa pun namanya,
apakah Alkohol, Arak, Bir, Rum, Vodka, Cognac, dan sebagainya. Dan berapa pun kadar
penggunaannya, banyak atau pun sedikit. Serta kapan dan dimana pun minumnya, apakah di
musim panas mau pun dingin, atau apakah di negeri Arab mau pun di negeri China atau di negeri
lainnya. Maka sejak dulu hingga sekarang, bahkan sampai yang akan datang, khamar adalah
haram, dan bukan merupakan HAM, serta sampai kapan pun tidak akan pernah menjadi HAM.
Jadi jelas, bahwa HAM dalam pandangan Islam memiliki kaidah dan batasan yang jelas,
sehingga tidak akan pernah berbenturan dengan KAM.
Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 217 A (III)
tentang Deklarasi Universal HAM. Secara umum resolusi tersebut cukup baik, karena didorong
oleh semangat penegakan keadilan bagi seluruh umat manusia. Namun karena dasar pemikiran
resolusinya bersumber dari HAM Barat, maka sejumlah item yang diatur di dalamnya
bertentangan dengan ajaran agama, khususnya agama Islam.
Pasal 16 resolusi tersebut adalah "Pasal Kawin Bebas", karena menjamin kebebasan bagi pria
mau pun wanita yang sudah dewasa dengan hak yang sama untuk menikah tanpa batasan agama
dan tanpa peran Wali Nikah. Padahal dalam pandangan umum Islam diharamkan "Kawin Beda
Agama" dan "Kawin Tanpa Wali".
Dan Pasal 18 resolusi tersebut adalah "Pasal Murtad", karena menjamin kebebasan bagi setiap
orang untuk berganti agama apa pun, termasuk yang murtad dari Islam. Padahal dalam Islam
setiap muslim diharamkan untuk keluar dari Islam, bahkan diancam Hukuman Mati.
Pasal 21 resolusi tersebut adalah "Pasal Demokrasi" karena mewajibkan setiap negara untuk
menerapkan "Demokrasi" dengan memberikan kedaulatan sepenuhnya kepada keinginan rakyat
dan mewajibkan Pemilu di setiap negara. Padahal Islam bukan Demokrasi, dan Demokrasi bukan
Islam.
Pada tanggal 16 Desember 1966, Majelis Umum PBB menetapkan Resolusi 2200 A (XXI).
Dalam Resolusi ini ada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang menekankan
kembali tentang "Pasal Kawin Bebas" dan "Pasal Murtad" serta "Pasal Demokrasi", yaitu pada
Pasal 1, 2, 23 dan 25. Sedang Pasal 6 kovenan ini masih mengakui dan membolehkan
pemberlakuan Hukuman Mati, namun kemudian dibatalkan melalui Protokol Opsional Kedua
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik untuk penghapusan Hukuman Mati yang
ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB No. 44 / 128 tertanggal 15 Desember 1989.
Padahal dalam Islam ada pemberlakuan Hukuman Mati dalam masalah Qishash mau pun Hudud,
seperti hukuman mati bagi pembunuh dan zani muhson serta murtad.
Majelis Umum PBB mengeluarkan sejumlah resolusi tentang Anak dan Wanita atas dasar
semangat untuk memberi perlindungan terhadap anak dan wanita. Tentu ini merupakan suatu
upaya terpuji yang harus didukung semua pihak. Namun sayang, lagi-lagi dasar pemikiran
resolusinya bersumber dari HAM Barat, sehingga sering bertentangan dengan ajaran agama,
khususnya agama Islam.
Salah satu resolusi PBB terkait Anak adalah Konvensi Hak Anak yang ditetapkan Majelis Umum
PBB melalui Resolusi No. 44 / 25 tertanggal 20 November 1989. Pasal 20 resolusi ini secara
eksplisit mengakui eksitensi Kafalah dalam Hukum Islam. Dan Pasal 24 resolusi ini secara rinci
menjamin perlindungan terhadap anak dari segala bentuk eksploitasi sex dan pornografi. Ini
merupakan hal yang sangat bagus dari resolusi ini. Hanya saja, resolusi ini tidak memberi
batasan jelas tentang definisi anak.
Pasal 1 resolusi ini menetapkan bahwa permulaan usia dewasa seseorang, baik pria mau pun
wanita, adalah 18 tahun, kecuali apabila menurut hukum yang berlaku bagi anak tersebut
ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Dasar penetapan usia dewasa dalam pasal ini
tidak jelas, dan semakin bias dengan pengecualian yang juga tidak memiliki indikator
kedewasaan yang pasti.
Dalam Islam dasar dan indikator kedewasaan sesorang sangat jelas dan pasti. Islam menetapkan
bahwa kedewasaan bagi pria ditandai dengan salah satu dari dua perkara, yaitu "mimpi" yang
menyebabkan junub pertama atau usia yang sudah genap 15 tahun qomariyyah. Sedang
kedewasaan bagi wanita ditandai juga dengan salah satu dari dua perkara, yaitu "Haidh" yang
pertama atau juga usia yang sudah genap 15 tahun qomariyyah. Penetapan ini sangat sederhana
tapi jelas dan terang, sehingga mudah diidentifikasi oleh siapa pun.
Dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 34 / 180 tanggal 18 Desember 1979 tentang Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan disebutkan antara lain :
Pelarangan kawin dan hamil di bawah usia 18 tahun dan Pelarangan Khitan bagi anak
perempuan. Padahal dalam Islam, soal usia perkawinan kembali kepada ketetapan Islam tentang
usia dewasa sebagaimana tersebut di atas, sehingga siapa telah dewasa maka ia berhak untuk
kawin dan hamil sesuai aturan Syariat Islam.
Ada pun soal Pelarangan Khitan Perempuan, PBB mengambil sampel "Khitan Fir'aun" yang
marak di Benua Afrika, yaitu "Pemotongan Alat Kelamin Wanita", lalu menggeneralisir bahwa
semua bentuk khitan dilarang. Padahal "Khitan Islam" berbeda dengan "Khitan Fir'aun". Dalam
Khitan Islam cukup hanya menghilangkan selaput (jaldah / colum / praeputium) yang menutupi
klitoris, bukan melukai atau memotong klitorisnya, apalagi memotong alat kelaminnya. Bahkan
dalam Islam sudah dianggap cukup hanya dengan melakukan goresan pada kulit yang menutupi
bagian depan klitoris (frenulum klitoris).
Selain itu, dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966,
sebagaimana telah disinggung sebelumnya, ternyata juga ada soal perempuan dalam Kovenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pasal 3 kovenan tersebut adalah "Pasal
Kesetaraan Gender", karena menjamin persamaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita
dalam semua aspek kehidupan, termasuk waris. Selain itu, masih ada Deklarasi dan Program
Aksi di Wina pada tanggal 25 Juni 1993 tentang Hak Anak dan Wanita yang secara rinci
menetapkan soal "Kesetaraan Gender". Padahal Islam tidak mengenal "Kesetaraan Gender", tapi
Islam memperkenalkan "Keserasian Gender". Ada pun Hukum Waris dalam Islam sudah final.
Dengan fakta dan data tersebut di atas tentang kontroversialnya berbagai Resolusi HAM PBB,
maka umat Islam di seluruh dunia berkewajiban untuk selalu melakukan pengawasan dan
pengkajian terhadap setiap Resolusi HAM PBB. Apalagi disana masih banyak sekali pasal-pasal
dalam berbagai Resolusi HAM PBB yang mesti disorot, dikaji dan dikoreksi agar tidak dijadikan
senjata untuk membombardir Syariat Islam.
Tanggung jawab negara-negara Islam, khususnya yang tergabung dalam Organisasi Konferensi
Islam (OKI) dan menjadi anggota PBB, tentu lebih besar lagi. Mereka mesti secara pro aktif
mengikuti semua agenda sidang PBB, dan harus menyoroti secara cermat semua draf rencana
keputusan PBB yang berpotensi menabrak ajaran agama Islam, serta wajib menolak segala
keputusan PBB yang dipaksakan dan bertentangan dengan Syariat Islam. Jangan sebaliknya,
negara-negara Islam di PBB hanya menjadi "skrup" untuk menguatkan visi misi PBB yang
"sangat Barat". Apalagi sampai ikut mengkampanyekan resolusi PBB yang bertentangan dengan
ajaran Islam.
Misalnya, pada tahun 2006 di Indonesia terbit Surat Edaran (SE) Dirjen Bina Kesehatan
Masyarakat Depkes RI No : HK. 00.07.1.31047 a tertanggal 20 April 2006 tentang Larangan
Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan, dengan alasan menyakitkan dan
membahayakan serta merusak organ reproduksi perempuan, sekaligus memenuhi tuntutan WHO
sebagai Badan Kesehatan Dunia di PBB. SE tersebut disebar-luaskan ke semua RS dan
Puskesmas, sehingga hampir semua RS menolak permintaan Khitan Anak Perempuan.
Akibatnya, selama SE tersebut berlaku banyak anak perempuan umat Islam di Indonesia yang
tidak dikhitan.
Lalu umat Islam Indonesia protes keras, karena Khitan dalam Islam bagi pria mau pun wanita
adalah bagian dari Fithrah, sehingga merupakan Syiar Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Pusat pun pada tahun 2008 mengeluarkan Fatwa No. 9A tentang Khitan tertanggal 7 Mei 2008,
sekaligus merekomendasikan kepada pemerintah agar menjadikan Fatwa tersebut sebagai acuan
dalam masalah Khitan Perempuan.
Akhirnya, pada tahun 2010 terbit Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1636 / MENKES / PER /
XI / 2010 tentang Sunat Perempuan yang mencabut SE Larangan Sunat Perempuan, sekaligus
menerima rekomendasi MUI dengan menyetujui pelaksanaan Sunat Perempuan. Namun
sayangnya Peraturan Menkes RI tersebut tidak tersosialisasikan dengan baik secara meluas,
sehingga sampai saat ini masih ada sejumlah RS yang menolak Khitan Anak Perempuan.
Selain negara-negara Islam yang harus pro aktif mengawasi berbagai resolusi PBB, maka umat
Islam pun harus pro aktif juga mengawasinya. Apalagi secara perorangan atau organisasi pun
diperkenankan untuk menyampaikan laporan ke PBB, baik usul dan saran mau pun kritik dan
protes. Untuk itu ada sejumlah alamat yang bisa digunakan sesuai dengan bidang laporannya.
Khusus masalah HAM bisa dialamatkan ke : Centre for Human Rights - United Nations Office
of Geneva, 1211 Geneva 10, Switzerland.
HAM INDONESIA
Fakta sejarah membuktikan bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang menolak segala bentuk
penjajahan di atas muka Bumi, lebih dulu ada dari pada Piagam PBB yang lahir tanggal 24
Oktober 1945. Artinya, Indonesia lebih dulu memiliki Deklarasi Universal HAM ketimbang
PBB.
Namun demikian, aturan HAM secara rinci di Indonesia baru lahir pasca Reformasi 1998 melalui
Amandemen UUD 1945 yang melahirkan Pasal 28 dan Pasal 28 huruf a s/d j tentang HAM. Lalu
dilanjutkan dengan lahirnya UU No. 33 Th. 1999 tentang HAM yang sekaligus menjadi dasar
pendirian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang disingkat Komnas HAM.
Penegakan HAM di Indonesia patut diapresiasi dan wajib kita dukung. Namun sayang sejuta
sayang, pendefinisian HAM dalam UUD dan UU HAM yang ada masih merujuk kepada definisi
HAM Barat, sehingga pada prakteknya menjadi bertolak belakang dengan pilar-pilar bangsa dan
negara Indonesia. Buktinya, Komnas HAM di Indonesia banyak melakukan tindakan yang
bertentangan dengan Asas Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi inti Pancasila dan UUD
1945 sebagai dua pilar utama negara.
Pertama, Pembelaan Komnas HAM terhadap aliran sesat Ahmadiyah dan aliran-aliran sesat
lainnya, yang secara terang-terangan telah menodai ajaran Islam. Padahal sesuai dengan UU
Penodaan Agama yang tertuang dalam Penpres No.1 / 1965, UU No.5 Th.1969 dan KUHP Pasal
156a tentang larangan Penodaan Agama, mestinya semua aliran sesat yang telah menodai dan
menistakan agama ditolak keras oleh Komnas HAM, bukan dijustifikasi dan dilegitimasi dengan
pembelaan hingga tingkat internasional. Apalagi sesuai Kovenan Internasional tentang Hak Sipil
dan Politik dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 2200 A (XXI) Pasal 18 ayat 3 yang
memberikan hak kepada negara untuk melakukan pembatasan hukum yang diperlukan untuk
melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan atau moral umum, atau hak asasi dan kebebasan
orang lain. Ditambah lagi dengan putusan Sidang PBB di Jenewa - Swiss pada tanggal 26 Maret
2009 bahwa penodaan agama adalah pelanggaran HAM.
Kedua, Pembelaan Komnas HAM secara terang-terangan terhadap LGBT. Itu terlihat dalam
pembelaan Komnas HAM terhadap Irsyad Manji dan Lady Gaga yang merupakan icon LGBT
Internasional. Bahkan Komnas HAM pernah terlibat langsung dalam rangkaian acara "Kontes
Waria" di Hotel Bumi Wiyata Jl. Margonda Raya, Depok - Jawa Barat, pada tanggal 30 April
2010. Dan kini sudah kesekian kali Komnas HAM mengajukan atau merestui para Aktivis LGBT
ikut Fit and Proper Tes di DPR RI untuk jadi anggota Komnas HAM. Padahal, LGBT itu
bertentangan dengan ajaran agama Islam dan bertentangan juga dengan empat pilar utama negara
dan bangsa Indonesia, yaitu : Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.
Ketiga, Pembelaan Komnas HAM secara terang-terangan terhadap gerakan Anti Perda Syariah
dan aksi penolakan UU Pornografi, dengan dalih menolak diskriminasi dan perlindungan
terhadap minoritas serta pelestarian budaya dan adat istiadat. Padahal, pemberlakuan Syariat
Islam hanya kepada mayoritas muslim dan tidak dipaksakan kepada minoritas non muslim,
sehingga tidak ada itu tindak diskriminatif yang merugikan kalangan non muslim. Bahkan
manakala mayoritas diwajibkan tunduk dan patuh kepada Syariat Islam, justru minoritas akan
terlindungi, karena Syariat Islam adalah Syariat Rahmat untuk semesta alam. Soal adat dan
budaya, Islam selalu memberi ruang pelestarian dan pengembangannya selama tidak melanggar
norma agama. Ada pun yang melanggar mesti diluruskan, seperti adat telanjang tanpa pakaian di
depan umum, itu bukan budaya terpuji, tapi keterbelakangan. Nah, keterbelakangan itu harus
dibina agar berperadaban, bukan dilestarikan agar tetap primitif.
Fakta dan Data di atas sudah cukup membuktikan bahwa paradigma Komnas HAM murni
merupakan paradigma HAM Barat. Bahkan ada indikasi lain yang menunjukkan bahwa Komnas
HAM memang sudah jadi Antek Barat, antara lain adalah tingginya tingkat pembelaan Komnas
HAM terhadap "kasus-kasus kecil" yang dialami minoritas seperti kasus HKBP di Ciketing
Bekasi dan Gereja Yasmin di Bogor, namun terhadap "kasus-kasus besar" seperti pembantaian
ribuan umat Islam dan pembakaran ratusan Masjid di Ambon, Poso, Sambas dan Sampit,
ternyata Komnas HAM tuli, bisu dan buta : "Shummun Bukmun 'Umyun".
KESIMPULAN
Definisi HAM yang benar adalah definisi yang diberikan Islam, yaitu bahwa HAM adalah hak
yang melekat pada diri setiap manusia sejak lahir sebagai karunia Allah SWT, sehingga hak
tersebut tidak akan pernah bertentangan dengan Kewajiban Asasi Manusia (KAM) yang telah
digariskan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Indonesia sebagai negara mayoritas berpenduduk muslim terbanyak dan terbesar di dunia yang
memiliki empat pilar negara yang berjiwakan Piagam Jakarta dengan inti Ketuhanan Yang Maha
Esa dan Syariat Islam, maka tidak ada pilihan lain dalam soal HAM, kecuali hanya boleh
mendefinisikan HAM sesuai dengan definisi Islam.
Karenanya, ke depan para Aktivis Islam dari berbagai Ormas Islam harus mampu merebut semua
posisi keanggotaan di Komnas HAM, sehingga mampu menjadikan HAM dan KAM sebagai ruh
dan jiwa dalam semua program dan aktivitas Komnas HAM.
Demikianlah, urgensi dan importensi pembahasan tentang HAM dalam Wawasan Kebangsaan
Indonesia, agar sejalan dengan pilar-pilar negara dan kebangsaan lainnya yang telah dipaparkan
selama ini dalam kolom Wawasan Kebangsaan di Suara Islam ini. Semoga bisa menambah
wawasan dan memberi wacana baru yang menyegarkan serta membuka jalan kebenaran.
Kata-kata sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari kata mashadir yang berarti
wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum. Sumber hukum Islam yang utama adalah Al
Quran dan sunah. Selain menggunakan kata sumber, juga digunakan kata dalil yang berarti
keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran. Selain itu, ijtihad, ijma, dan qiyas
juga merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum
yang dikandung oleh Al Quran dan sunah Rasulullah SAW
Secara sederhana hukum adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang
diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu;
berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya. Bila definisi ini dikaitkan dengan Islam atau
syara maka hukum Islam berarti: seperangkat peraturan bedasarkan wahyu Allah SWT dan
sunah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang
diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama Islam. Maksud kata seperangkat
peraturan disini adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci dan mempunyai kekuatan yang
mengikat, baik di dunia maupun di akhirat.
A. Al Quran
Al Quran berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur
(mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Quran diawali dengan
surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al Quran merupakan ibadah.
Al Quran merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk
berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang
taat kepada Allah SWT, yaitu menngikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala
larangnannya
Al Quran memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.
Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa kata
2. Segi Kualitas
Isi pokok Al Quran (ditinjau dari segi hukum) terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:
1. Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur hubungan rohaniyah
dengan Allah SWT dan hal hal lain yang berkaitan dengan keimanan. Ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam
2. Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur hubungan dengan Allah,
dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut
hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fiqih
3. Hukum yang berkaitan dngan akhlak. Yakni tuntutan agar setiap muslim memiliki sifat
sifat mulia sekaligus menjauhi perilaku perilaku tercela.
1. Hukum yang berkaitan dengan amal ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar,
sumpah dan sebagainya yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhannya.
2. Hukum yang berkaitan dengan amal kemasyarakatan (muamalah) seperti perjanjian
perjanjian, hukuman (pidana), perekonomian, pendidikan, perkawinan dan lain
sebagainya.
1. Hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam berkeluarga, yaitu perkawinan
dan warisan
2. Hukum yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu yang berhubungan dengan jual beli
(perdagangan), gadai-menggadai, perkongsian dan lain-lain. Maksud utamanya agar hak
setiap orang dapat terpelihara dengan tertib
3. Hukum yang berkaitan dengan gugat menggugat, yaitu yang berhubungan dengan
keputusan, persaksian dan sumpah
4. Hukum yang berkaitan dengan jinayat, yaitu yang berhubungan dengan penetapan hukum
atas pelanggaran pembunuhan dan kriminalitas
5. Hukum yang berkaitan dengan hubungan antar agama, yaitu hubungan antar kekuasan
Islam dengan non-Islam sehingga tercpai kedamaian dan kesejahteraan.
6. Hukum yang berkaitan dengan batasan pemilikan harta benda, seperti zakat, infaq dan
sedekah.
Ketetapan hukum yang terdapat dalam Al Quran ada yang rinci dan ada yang garis besar. Ayat
ahkam (hukum) yang rinci umumnya berhubungan dengan masalah ibadah, kekeluargaan dan
warisan. Pada bagian ini banyak hukum bersifat taabud (dalam rangka ibadah kepada Allah
SWT), namun tidak tertutup peluang bagi akal untuk memahaminya sesuai dengan perubahan
zaman. Sedangkan ayat ahkam (hukum) yang bersifat garis besar, umumnya berkaitan dengan
muamalah, seperti perekonomian, ketata negaraan, undang-undang sebagainya. Ayat-ayat Al
Quran yang berkaitan dengan masalah ini hanya berupa kaidah-kaidah umum, bahkan seringkali
hanya disebutkan nilai-nilainya, agar dapat ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Selain ayat-ayat Al Quran yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang berkaitan dengan
masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan lain-lainnya. Ayat yang berkaitan dengan
masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali.
B. Hadits
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al
Quran. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan
yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman
Allah SWT: (lihat Al-Quran onlines di google)
Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah, (QS Al Hasyr : 7)
Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW
mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa
meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan
Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia. Hadits sebagai sumber
hukum Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW:
Artinya: Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat selama kalian
berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah rasulnya. (HR Imam Malik)
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai berikut.
1. Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Quran, sehingga kedunya (Al
Quran dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya Allah
SWT didalam Al Quran menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana
ditetapkan dalam firmannya : (lihat Al-Quran onlines di google)
Ayat diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.
1. Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Quran yang masih bersifat
umum. Misalnya, ayat Al Quran yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan
menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah
rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat,
tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan oelh
rasullah SAW dalam haditsnya. Contoh lain, dalam Al Quran Allah SWT
mengharamkan bangkai, darah dan daging babi. Firman Allah sebagai berikut: (lihat Al-
Quran onlines di google)
2. Artinya: Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi (QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang
boleh dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh
dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah SAW:
, :
,
:
( )
Artinya: Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam
bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa (HR
Ibnu Majjah)
1. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al Quran. Misalnya,
cara menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh kali, salah
satunya dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
)
)
Artinya: Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing adlah dengan cara membasuh sebanyak
tujuh kali salah satunya dicampur dengan tanah (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)
1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan,
sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud
adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits
2. Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat
ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan
pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk
sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting
3. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat hadits
shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai
perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits
shohih atau hasan yang tidak dipenuhi
C. Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak
ada ketetapannya, baik dalam Al Quran maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang
sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah
ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini berdasarkan dialog
nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke
negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz, bagaimana kamu akan menetapkan hukum
kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?, muadz menjawab,
Saya akan menetapkan hukumdengan Al Quran, Rasul bertanya lagi, Seandainya tidak
ditemukan ketetapannya di dalam Al Quran? Muadz menjawab, Saya akan tetapkan dengan
Hadits. Rasul bertanya lagi, seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Quran
dan Hadits, Muadz menjawab saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri kemudian,
Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah mengenai Muadz
ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam setelah Al Quran dan
hadits.
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:
1. mengetahui isi Al Quran dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum
2. memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al Quran dan
hadits
3. mengetahui soal-soal ijma
4. menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan
persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah SAW bersabda:
( )
Artinya: Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata
hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam
memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia
memperoleh satu pahala. (HR Bukhari dan Muslim)
Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi juga
menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan membawa rahmat dan kelapangan
bagi umat manusia. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
( )
Artinya: Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat (HR Nashr Al
muqaddas)
Dalam berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara ijma dan qiyas. Ijma adalah
kese[akatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa
masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada hasil ijma diperbolehkan, bahkan
menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah SWT: (lihat Al-Quran onlines di
google)
Artinya: Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri diantara
kamu. (QS An Nisa : 59)
Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan dibidangnya,
seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan demikian, ijma ulam dapat
menjadi salah satu sumber hukum Islam. Contoh ijam ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang
berserakan, kemudian membukukannya menjadi mushaf Al Quran, seperti sekarang ini
Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan
kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau
sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya
minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al Quran karena antara
keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir
tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al Quran atau hadits tetap diharamkan karena mengandung
persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al Quran.
Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui
Rukun Qiyas, yaitu:
1. Dasar (dalil)
2. Masalah yang akan diqiyaskan
3. Hukum yang terdapat pada dalil
4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan
Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan secara
kongret dalam Al Quran dan hadits yang didasarkan atas kepentingan umum atau
kemashlahatan umum atau unutk kepentingan keadilan
Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah ditetapkan
suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum tersebut
Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara kongkret
dalam Al Quran dan hadits dengan didasarkan karena telah menjadi adat istiadat atau
kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-hukum agama yang
diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum agama sebelum Islam bisa diakui
atau dibenarkan oleh Islam asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Al Quran dan
hadits
Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syarak yang tidak
diperoeh dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari maslahah itu. Contohnya
seperti mengharuskan seorang tukang mengganti atau membayar kerugian pada pemilik
barang, karena kerusakan diluar kesepakatan yang telah ditetapkan.
Al Urf, ialah urursan yang disepakati oelh segolongan manusia dalam perkembangan
hidupnya
Zarai, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah atau
untuk menghilangkan mudarat.
D.Persamaan dan Perbedaan Antara Etika,Moral dan Akhlak
Persamaan
Ada beberapa persamaan antara akhlak, etika, dan moral yang dapat dipaparkan sebagai berikut:
v Pertama, akhlak, etika, dan moral mengacu kepada ajaran atau gambaran tentang perbuatan,
tingkah laku, sifat, dan perangai yang baik.
v Kedua, akhlak, etika, moral merupakan prinsip atau aturan hidup manusia untuk menakar
martabat dan harakat kemanusiaannya. Sebaliknya semakin rendah kualitas akhlak, etika, moral
seseorang atau sekelompok orang, maka semakin rendah pula kualitas kemanusiaannya.
v Ketiga, akhlak, etika, moral seseorang atau sekelompok orang tidak semata-mata
merupakan faktor keturunan yang bersifat tetap, stastis, dan konstan, tetapi merupakan potensi
positif yang dimiliki setiap orang. Untuk pengembangan dan aktualisasi potensi positif tersebut
diperlukan pendidikan, pembiasaan, dan keteladanan, serta dukungan lingkungan, mulai dari
lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat secara tersu menerus, berkesinambangan, dengan
tingkat keajegan dan konsistensi yang tinggi.
Perbedaan
Selain ada persamaan antara akhlak, etika, moral dan susila sebagaimana diuraikan di atas
terdapat pula beberapa segi perbedaan yang menjadi ciri khas masing-masing dari keempat
istilah tersebut. Berikut ini adalah uraian mengenai segi-segi perbedaan yang dimaksud:
v Akhlak merupakan istilah yang bersumber dari Al-Quran dan al-Sunnah. Nilai-nilai yang
menentukan baik dan buruk, layak atau tidak layak suatu perbuatan, kelakuan, sifat, dan perangai
dalam akhlak bersifat universal dan bersumber dari ajaran Allah. Sementara itu, etika merupakan
filsafat nilai, pengetahuan tentang nilai-nilai, dan kesusilaan tentang baik dan buruk. Jadi, etika
bersumber dari pemikiran yang mendalam dan renungan filosofis, yang pada intinya bersumber
dari akal sehat dan hati nurani. Etika besifat temporer, sangat tergantung kepada aliran filosofis
yang menjadi pilihan orang-orang yang menganutnya.
Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan
gampang dan mudah tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran. Sedangkan etika adalah
ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya,
terutama yang mengenai gerak gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan dan
perasaan sampai mengenai tujuannya yang merupakan perbuatan. Dan jika moral adalah suatu
tindakan yang sesuai dengan ukuran tindakan yang umum diterima oleh kesatuan sosial atau
lingkungan tertentu.
Yang menjadi sumber akhlak adalah yang menjadi ukuran baik dan buruk atau mulia dan tercela.
Sumber akhlak adalah Al-Quran dan sunah. Jika dalam etika untuk menentukan nilai perbuatan
manusia baik atau buruk tolak ukur yang digunakan atau sumbernya adalah akal pikiran atau
rasio (filsafat), sedangkan dalam pembicaraan moral tolak ukur yanng digunakan adalah norma-
norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung dimasyarakat.
Akhlak terbagi menjadi dua macam, yaitu: akhlak mahmudah dan akhlak madzmumah. Jika etika
terbagi menjadi tiga macam, yaitu: etika deskriptif, etika normatif dan etika metaetika.
Etika adalah ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia
semuanya, terutama yang mengenai gerak gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan
dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang merupakan perbuatan. Etika merupakan istilah
yang berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti: adat istiadat Sebagai cabang dari filsafat,
maka etika berangkat dari kesimpulan logis dan rasio guna untuk menetapkan ukuran yang sama
dan disepakati mengenai sesuatu perbuatan, apakah perbuatan itu baik atau buruk, benar atau
salah dan pantas atau tidak pantas untuk dikerjakan. Etika dapat diartikan dengan ilmu yang
mempelajari segala soal kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup manusia semuanya,
teristimewa yang mengenal gerak-gerik fikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan
dan perasaan, sampai mengenal tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.
2. Pengertian Moral
Secara bahasa moral berasal dari kata Latin Mos yang dalam bentuk jamaknya Mores yang
berarti juga adat atau cara hidup. Moral dan etika sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehari-
hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang
dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. moral juga
merupakan istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan
nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah. Jika dalam kehidupan sehari-hari dikatakan
bahwa orang tersebut bermoral, maka yang dimaksudkan adalah bahwa orang tersebut tingkah
lakunya baik.
Contoh :
Akhlak berasal dari bahasa Arab Akhlak yang merupakan bentuk jamak dari Khuluq. Secara
bahasa akhlak berarti budi pekerti, tabiat, watak. Dalam kebahasaan akhlak sering
disinonimkan dengan moral dan etika.Secara istilah, akhlak didefinisikan oleh beberapa ahli
sebagai berikut :
a. Prof. Sr. Ahmad Amin mendefinisikan akhlak sebagai kehendak yang biasa
dilakukan. Artinya, segala sesuatu kehendak yang terbiasa dilakukan disebut akhlak.
b. Sementara itu Ibnu Maskawih mengemukakan bahwa akhlak adalah perilaku jiwa
seseorang yang mendorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan tanpa melalui pertimbangan
(sebelumnya).
Manusia diciptakan oleh Allah dengan segala kesempurnaannya. Manusia diberi akal
pikiran sehingga dengan akal tersebut mereka dapat berpikir. Dengan berpikir, manusia mampu
mengajukan pertanyaan serta memecahkan masalah. Dengan adanya akal pula, manusia berbeda
dari makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Islam mendorong manusia agar menggunakan
potensi yang dimiliki secara seimbang. Akal yang berlebihan mendorong manusia pada
kemajuan materiil yang hebat, namun mengalami kekosongan dalam hal ruhaniyah, sehingga
manusia terjebak dalam segala kesombongan yang merusak dirinya sendiri.
Kata al-insan berasal dari kata nasiya yang artinya lupa, menunjukkan adanya hubungan
dengan kesadaran diri. Manusia disebut al-insan karena kecenderungannya akan sifat pelupa
sehingga memerlukan teguran dan peringatan. Kata al-insan digunakan Al-Quran untuk
menunjukkan kepada manusia secara keseluruhan dari totalitas, jiwa, serta raganya. Kata al-
insan untuk penyebutan manusia diambil dari asal kata al-uns atau anisa yang artinya jinak dan
harmonis, karena pada dasarnya manusia dapat menyesuaikan diri dengan realitas hidup dan
lingkungannya. Sedangkan kata an-nas merupakan jamak dari kata al-insan, kata ini digunakan
untuk menunjukkan sekelompok manusia, baik dalam arti jenis manusia maupun sekelompok
tertentu dari manusia.
Kata al-basyar dipakai untuk menyebut semua makhluk, baik laki-laki maupun
perempuan, baik satu maupun banyak. Kata al-basyar adalah jamak dari kata basyarah yang
artinya kulit. Al-Quran menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan satu
kali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjukkan manusia dari sudut lahiriahnya serta
persamaannya dengan manusia seluruhnya. Ayat Al-Quran yang lain mengisyaratkan bahwa
proses kejadian manusia sebagai basyar (manusia) melalui tahapan-tahapan sehingga mencapai
tahapan kedewasaan, dimana tahapan kedewasaan ini menjadikannya mampu memikul tanggung
jawabnya sebagai khalifah di bumi. Al-basyar dipakai untuk menunjukkan dimensi alamiahnya,
yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya, seperti makan, minum, dan mati sehingga
manusia disebut al-basyar karena manusia cenderung perasa dan emosional sehingga perlu
disabarkan dan didamaikan.
Manusia disebut sebagai bani Adam karena dia menunjukkan asal usul yang bermula dari
nabi Adam as sehingga dia tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya, darimana ia berasal, untuk
apa ia hidup, dan kemana dia akan kembali. Penggunaan istilah bani Adam menunjukkan bahwa
manusia bukan hasil dari evolusi makhluk anthropus (sejenis kera).
Al-Quran memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi, yang sedang dalaam perjalanan
menuju kehidupan spiritual yang suci dan abadi di akhirat kelak, meskipun ia harus melewati
rintangan dan cobaan dengan beban dosa ketika melakukan kesalahan di dalam kehidupan dunia.
Bahkan, dalam Al-Quran manusia diisyaratkan sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya
adalah berpembawaan baik (hanif). Oleh karena itu, kualitas, hakikat, fitrah, dan kesejatian
manusia adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki kemuliaan
seperti yang dimiliki manusia. Sebaliknya, kualitas yang buruk, salah, dan jelek selalu menjadi
batu sandungan bagi manusia untuk meraih predikat berkualitas tersebut.
Manusia dapat dikatakan berkualitas apabila ia memiliki kebebasan untuk berbuat dan
berkehendak. Kebebasan yang dimaksud adalah kesadaran untuk mewujudkan kualitas dan nilai
dirinya sebagai khalifah Allah di muka bumi secara bertanggung jawab. Kualitas dan nilai
manusia dapat diraih apabila manusia memiliki kemampuan untuk mengarahkan naluri bebasnya
berdasarkan pertimbangan aqliyah yang dikaruniakan Allah kepadanya dan dibimbing oleh
cahaya iman yang menerangi nuraninya yang paling murni.
HAM Menurut Pandangan Islam dan Barat
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak asasi manusia atau biasa disingkat HAM merupakan sebuah hal yang menjadi
keharusan dari sebuah negara untuk menjaminnya dalam konstitusinya. Melalui deklarasi
universal ham 10 desember 1948 merupakan tonggak bersejarah berlakunya penjaminan hak
mengenai manusia sebagai manusia. Sejarah HAM dimulai dari magna charta di inggris pada
tahun 1252 yang kemudian kemudian berlanjut pada bill of rights dan kemudian berpangkal pada
DUHAM PBB. Dalam konteks keIndonesiaan penegakan HAM masih bisa dibilang kurang
memuaskan. Banyak faktor yang menyebabkan penegakan HAM di Indonesia terhambat seperti
problem politik, dualisme peradilan dan prosedural acara (kontras, 2004;160).
Hak Asasi Manusia ( HAM ) adalah hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia
sejak lahir sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa. Sedangkan menurut Meriam Budiardjo
menegaskan bahwa hak asasi manusia sebagai hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh
dan di bawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam masyarakat.
Agama Islam yang mulia telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia menuju
kebahagian dunia dan akherat. Namun banyak orang yang tidak mengetahuinya dan banyak pula
yang enggan menerimanya dengan dalih-dalih yang beraneka ragam banyaknya.
Dalam kajian singkat ini kita mencoba menjelaskan permasalahan Hak Asasi Manusia dalam
Pandangan Islam dan pandangan Barat.
B. Rumusan Masalah
Beberapa yang menjadi topik sentral permasalahan dalam makalah ini yang akan dibahas adalah:
1. Pengertian Hak Asasi Manusia
2. Hak Asasai Manusia tinjauan Barat
3. Hak Asasi Manusia tinjauan Islam
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan pengertian dan pandangan Hak
Asasi Manusia menurut pandangan Barat dan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
1. HAK ASASI MANUSIA
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak dasar atau hak pokok yang manusia dibawa sejak
lahir sebagai anugerah Tuhan yang maha esa. Sedangkan menurut Meriam Budiardjo
menegaskan bahwa hak asasi manusia sebagai hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh
dan di bawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam masyarakat.
Secara Definitif hak merupakan unsure nominatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku,
melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga
harkat dan martabatnya.
Dalam Pasal 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa
Hak Asasi Manusia ( HAM ) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekatnya dan
keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan yang Maha Esa, dan merupakan Anugerah-Nya
yang wajib dihormati, di junjung tinggi dan di lindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Namun piagam ini hanya memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih
penting daripada kedaulatan raja. Tak seorang pun dari warga negara merdeka dapat ditahan atau
dirampas harta kekayaannya atau diasingkan atau dengan cara apapun dirampas hak-haknya,
kecuali berdasarkan pertimbangan hukum. Piagam Magna Charta itu menandakan kemenangan
telah diraih sebab hak-hak tertentu yang prinsip telah diakui dan dijamin oleh pemerintah.
Piagam tersebut menjadi lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak asasi karena ia
mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang derajatnya lebih tinggi daripada kekuasaan raja.
Revolusi Amerika dengan Declaration of Independence-nya tanggal 4 Juli 1776, suatu
deklarasi kemerdekaan yang diumumkan secara aklamasi oleh 13 negara bagian, merupakan pula
piagam hakhak asasi manusia karena mengandung pernyataan Bahwa sesungguhnya semua
bangsa diciptakan sama derajat oleh Maha Pencipta. Bahwa semua manusia dianugerahi oleh
Penciptanya hak hidup, kemerdekaan, dan kebebasan untuk menikmati kebahagiaan.
Declaration of Independence di Amerika Serikat menempatkan Amerika sebagai negara yang
memberi perlindungan dan jaminan hak-hak asasi manusia dalam konstitusinya, kendatipun
secara resmi rakyat Perancis sudah lebih dulu memulainya sejak masa Rousseau. Kesemuanya
atas jasa presiden Thomas Jefferson. Presiden Amerika Serikat lainnya yang terkenal sebagai
pendekar hak asasi manusia adalah Abraham Lincoln, kemudian Woodrow Wilson dan Jimmy
Carter. Amanat Presiden Flanklin D. Roosevelt tentang empat kebebasan yang diucapkannya
di depan Kongres Amerika Serikat tanggal 6 Januari 1941 yakni :
1. Kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran (freedom of speech and expression).
2. Kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya( freedom of
religion)
3. Kebebasan dari rasa takut (freedom from fear).
4. Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from want).
Sedangkan perjuangan hak asasi manusia di Prancis dirumuskan dalam suatu naskah pada
awal Revolusi Prancis. Hak Asasi yang tersimpul dalam deklarasi itu antara lain :
1. Manusia dilahirkan merdeka dan tetap merdeka.
2. Manusia mempunyai hak yang sama.
3. Manusia merdeka berbuat sesuatu tanpa merugikan pihak lain.
4. Warga Negara mempunyai hak yang sama dan mempunyai kedudukan serta pekerjaan umum.
5. Manusia tidak boleh dituduh dan ditangkap selain menurut undang-undang.
6. Manusia mempunai kemerdekaan agama dan kepercayaan.
7. Manusia merdeka mengeluarkan pikiran.
8. Adanya kemerdekaan surat kabar.
9. Adanya kemerdekaan bersatu dan berapat.
10. Adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul.
11. Adanya kemerdekaan bekerja,berdagang, dan melaksanakan kerajinan.
12. Adanya kemerdekaan rumah tangga.
13. Adanya kemerdekaan hak milik.
14. Adanya kemedekaan lalu lintas.
15. Adanya hak hidup dan mencari nafkah.