Anda di halaman 1dari 4

REORIENTASI PARADIGMA PEMBANGUNAN KESEHATAN

Oleh. Rachmad Pua Geno


Pada kesempatan peringatan Hari Kesehatan Nasional kali ini, ada baiknya kita menelaah kembali
persoalan paradigma pembangunan kesehatan yang selama ini dijalankan oleh pemerintah dalam
membangun kesehatan penduduknya. Mengapa hal itu menjadi penting dibicarakan ? Tulisan ini akan
mengurai tentang hal tersebut.

Pentingnya sebuah paradigma (Dalam makna yang lebih populer dapat diartikan menjadi visi kita
terhadap realitas) dalam proses pembangunan kesehatan, dikemukakan oleh AL Slamet Riyadi (1984)
dalam bukunya Sistem Kesehatan Nasional; Dalam Tinjauan Ilmu Kesehatan Masyarakat menyebutkan
sebuah sistem dalam proses pembangunan, tidak akan berjalan mulus apabila tidak ada pendekatan
filosofis atau paradigma yang memayunginya. Sementara Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure
of Scientific Revolutions, menyatakan bahwa hampir pada setiap terobosan baru perlu didahului dengan
perubahan paradigma untuk memecahkan atau merubah kebiasaan dan cara berpikir lama. Dengan kata
lain suatu sistem tanpa paradigma ibaratnya, setumpuk kertas tanpa makna.

Menkes saat itu (FA Moeloek), saat rapat kerja dengan komisi VI DPR RI, Selasa tanggal 15 September
1998, Depkes RI memperkenalkan paradigma baru dalam pembangunan kesehatan yaitu Paradigma
Sehat (Kompas,16/9/98). Sebelumnya, pemerintah memakai paradigma sakit. Paradigma sakit adalah
cara pandang dalam upaya kesehatan yang mengutamakan upaya kuratif dan rehabilitatif. Penanganan
kesehatan penduduk menekankan pada penyelenggaraan pelayanan di rumah sakit, penanganan
penduduk yang sakit secara individu dan spesialistis. Hal ini menjadikan kesehatan sebagai suatu yang
konsumtif. Sehingga menempatkan sektor kesehatan dalam arus pinggir (sidestream) pembangunan
(Does Sampoerna, 1998).

Munculnya Paradigma Sehat, menunjukan upaya pemerintah melakukan reorientasi pembangunan


kesehatan. Penanganan kesehatan penduduk dititikberatkan pada pembinaan kesehatan bangsa
(shaping the health nations) dan bukan sekedar penyembuhan penyakit, namun termasuk pencegahan
penyakit, perlindungan keselamatan, dan promosi kesehatan. Hal itu menyadarkan kepada kita bahwa
membina kesehatan bangsa atau menciptakan bangsa yang sehat, cerdas, trampil, tidak bisa
dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan an sich.

Namun hingga saat ini, perubahan paradigma (paradigm shift) masih sangat kecil (bila tidak ingin disebut
tidak ada), salah satu penyebabnya karena masih kuatnya dominasi kelompok status quo, yang sulit
melakukan perubahan dalam pembangunan kesehatan.

Seiring dengan waktu, diskursus (discourse) tentang arah paradigma pembangunan kesehatan bergulir
dengan cepat. Paradigma sehat yang dianut pemerintah, dipandang sebagai suatu yang terlambat alias
usang, karena adagium Pencegahan lebih baik daripada mengobati sudah lama kita dengar semenjak
jaman nenek moyang kita. Toh, baru pada tanggal 16 September 1998, adagium tradisional itu diterima
sebagai suatu kebijakan resmi pemerintah.
Kritik terhadap paradigma sehat adalah paradigma sehat terkesan memisahkan aspek kuratif dan
preventif, padahal dalam upaya kesehatan yang diperlukan adalah keterpaduan dan keseimbangan
diantara semua aspek, bukannya saling mendominasi dan meniadakan. Mengobati penderita TBC sama
pentingnya dengan dengna penyuluhan pencegahan TBC, karena penderita TBC adalah resiko bagi yang
sehat.

Dewasa ini muncul pemikiran paradigma baru di dalam pembangunan kesehatan. Pemikiran baru itu
dilandasi argumentasi bahwa pembangunan kesehatan haruslah sesuai dengan realitas politik dalam
kehidupan bernegara kita. Dimana semenjak bola reformasi digulirkan, terdapat dua isu sentral yaitu
Demokratisasi dan Penegakan HAM, yang harus direspon oleh kalangan kesehatan.

Kedua isu sentral itu, menimbulkan pemikiran baru dalam pembangunan kesehatan bahwa kesehatan
harus dilihat dari 2 aspek tersebut. Bila dikaitkan, maka paradigma pembangunan kesehatan yang lebih
tepat dan mendasar adalah Kesehatan adalah bagian dari HAM dan Kesehatan adalah sebuah
Investasi.

Kesehatan adalah bagian dari HAM merupakan cerminan proses penegakan HAM. Konstitusi WHO 1948
telah menyebutkan Memperoleh derajat kesehatan yang optimal adalah hak yang fundamental bagi
setiap manusia, tanpa membedakan ras, agama, keyakinan politik, status sosial, dan ekonomi. Bahkan
dalam UUD 45 pasal 28H ayat 1 secara eksplisit menyatakan bahwa kesehatan adalah hak setiap warga
negara. Untuk itu persoalan yang menyangkut kesehatan penduduk harus dibumikan dalam bentuk
kebujakan dan program yang mendukung paradigma ini.

Selama ini, Indonesia gagal dalam memenuhi hak atas kesehatan penduduknya. Bisa dilihat dari indikator
kesehatan Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 390 per 100.000 kelahiran dan Angka Kematian Bayi (AKB)
sebesar 41 per 1000 kelahiran, merupakan angka terburuk di ASEAN. Nilai Human Development Index
(HDI), yang merupakan komposit dari sisi ekonomi, kesehatan dan pendidikan menduduki urutan 109
dari 170 negara, menunjukkan kualitas SDM negara kita masih payah.

Masih banyaknya penyakit infeksi dan menular, menyebabkan beban ganda (double burden) yang
ditanggung semakin berat, karena penyakit degeneratif dan life style tergolong tinggi. Fakta lain
ditunjukkan oleh Revrisond Baswir dkk (1999), dalam bukunya Pembangunan Tanpa Perasaan
menyebutkan pelayanan kesehatan kita belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat alias tidak
merata, diperparah lagi subsidi sektor kesehatan malah dinikmati kalangan berpunya.

Ironisnya, masyarakat, media massa, politikus bahkan insan kesehatan masih memandang hak kesehatan
hanya sebatas pada hak untuk memperoleh pelayanan kuratif di rumah sakita dan puskesmas. Padahal,
hak untuk menikmati hidup sehat jauh lebih luas daripada sekedar hak akan pelayanan kuratif. Salah
satunya jaminan dari negara bahwa segala akses informasi tentang kesehatan dan ketersediaannya harus
tersedia bagi segala lapisan masyarakat.

Kesehatan sebagai Sebuah Investasi merupakan cerminan dari pentingnya SDM yang produktif.
Dibeberapa negara maju yang menggunakan konsep sehat produktif, sehat adalah sarana atau alat untuk
hidup sehari-hari secara produktif. Upaya kesehatan harus diarahkan untuk dapat membawa setiap
penduduk memiliki kesehatan yang cukup agar bisa hidup produktif.

Selama ini, pemerintah masih memandang sektor kesehatan sebagai sektor konsumtif, kesehatan tidak
dilihat sebagai investasi, tetapi hanya dilihat sebagai sektor kesejahteraan yang dinilai menjadi beban
biaya. Bukti nyatanya adalah alokasi belanja kesehatan pemerintah yang sangat rendah, hanya sekitar 2-
3% dari total belanja negara. Namun ironisnya, pelayanan kesehatan malah menjadi sumber pendapatan
pembangunan.

Disini membuktikan pemerintah menerapkan standar ganda dalam bidang kesehatan. Disatu sisi, belanja
kesehatan dianggap beban dan tidak diprioritaskan. Disisi lain, pelayanan kesehatan dijadikan sumber
pendapatan. Artinya pembangunan negara ini disokong dari uang rakyat yang sakit. Sehingga masuk akal
bila ada orang usil mengatakan Bila pemerintah ingin mendapat sumber pendapatan yang besar, sebar
saja kuman atau virus kepada masyarakat, agar masyarakat menjadi sakit dan kemudian mereka berobat
ke rumah sakit pemerintah

Padahal dengan rendahnya alokasi belanja kesehatan akan menghasilkan indikator kesehatan yang
rendah. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN, Indonesia terendah dalam belanja kesehatan. Dalam
laporan WHO tahun 1999, Indonesia hanya mengeluarkan 1,8% dari produk domestik brutonya (PDB)
untuk belanja kesehatan. Sementara negara ASEAN lain yang memiliki PDB per kapita lebih tinggi
mengeluarkan porsi lebih besar untuk kesehatan. Maka tidak mengherankan bila indikator kesehatan
Indonesia, terendah diantara negara ASEAN, karena kita menanam modal lebih kecil, maka kita
mendapat hasil yang sedikit.

Menurut Thabrany (1999), terdapat korelasi negatif antara status kesehatan dengan pendapatan per
kapita di kemudian hari, jika faktor lain konstan. Negara-negara yang di awal tahun 70-an memiliki AKB
tinggi, tidak memiliki pendapatan perkapita tinggi ditahun 1991 dan sebaliknya. Artinya, teori tentang
tingkat kesehatan yang tinggi akan meningkatkan produktifitas mempunyai bukti yang kuat .

Kondisi diatas menunjukkan, kesehatan sebagai salah satu unsur utama SDM dan sebagai modal tahan
lama (durable capital) sama sekali belum dinilai penting oleh para pembuat keputusan. Padahal adagium
di lingkungan Internasional yang menyebutkan Health is not everything, but without health, everything
is nothing merupakan cerminan dari urgensitas kesehatan dalam suatu pengembangan masyarakat dan
pembangunan secara nasional.

Pada masa otonomi daerah ini, dimana salah satu bidang yang dilimpahkan pada daerah adalah bidang
kesehatan. Maka selayaknya pemerintah daerah dan DPRD benar-benar memahami paradigma baru
pembangunan kesehatan ini. Bila mereka memahami paradigma baru pembangunan kesehatan tersebut,
mau tidak mau mereka akan menempatkan kesehatan sebagai salah satu modal dasar bagi
pengembangan kualitas SDM. Dan menempatkan bidang kesehatan sebagai pilar pembangunan daerah.
Bila tidak, pemerintah akan dituduh melakukan pelanggaran HAM dan state neglect (penelantaran
negara) terhadap warganya

Anda mungkin juga menyukai