LAHAN BASAH
Puji syukur akan selalu terucap ke hadirat Allah SWT dalam pembuatan makalah yang
dimana makalah ini berupa tugas pengembangan lahan basah yang telah disusun sesuai dengan
waktu yang diharapkan.
Walaupun penyusun dalam makalah ini sangat jauh dari harapan mahasiswa pada
umumnya dan Bapak / Ibu dosen khususnya, penyusun berharap makalah ini dapat bermanfaat,
membantu atau sedikit menambah tugas bagi mahasiswa
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Gambut merupakan jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan
yang setengah membusuk; oleh sebab itu, kandungan bahan organiknya tinggi. Tanah
yang terutama terbentuk di lahan-lahan basah ini disebut dalam bahasa Inggris sebagai
peat; dan lahan-lahan bergambut di berbagai belahan dunia dikenal dengan aneka nama
seperti bog, moor, muskeg, pocosin, mire, dan lain-lain.
Jenis tanah Gambut sebagian besar terdiri dari pasir silikat dan sebagaian lagi terdiri
atas bahan-bahan organik asal tumbuhan yang sedang dan / atau sudah melalui proses
dekomposisi. Jenis tanah ini sebagian besar terdiri atas bahan organik yang tidak
dirombak atau dirombak sedikit, terkumpul dalam keadaan air berlebihan (melimpah
ruah). Gambut terjadi pada hutan-hutan yang pohonnya tumbang dan tenggelam dalam
lumpur yang hanya mengandung sedikit oksigen, sehingga jasad renik tanah sebagai
mikroba pembusukan tidak mampu melakukan tugasnya secara baik. Akhirnya bahan-
bahan organik dari pepohonan yang telah mati dan tumbang tertumpuk dan lambat laun
berubah menjadi gambut yang tebalnya bisa mencapai 20 m.
Lahan gambut merupakan lahan yang didominasi oleh tanah gamut. Gambut mengikat
karbon dalam jumlah yang relatif besar yang terbentuk dalam prose waktu yang lama dan
dalam kondisi jenuh air. kondisi jenuh air menyebabkan proses pelapukan bahan organik
menjadi tidak sempurna, sehingga ditemukan sisa-sisa bahan organik seperti seresah,
akar, dan sejenisnya.
LANDASAN HUKUM
Dalam tata cara pengelolaan lahan gambut banyak terdapat aspek legal yang perlu
diperhatikan, namun sebelum membahas aspek legal lebih dalam lagi, kita perlu mengenali
terlebih dahulu beberapa peraturan perundangan di Indonesia yang terkait dengan gambut.
Walaupun tidak semua peraturan pemerintah dan perundang-undangan berkaitan langsung
dengan gambut namun secara tidak langsung peraturan pemerintah tersebut juga berkaitan
dengan gambut.
Berikut Peraturan Nasional yang terkait dengan perlindungan dan pengolaan gambut
di Indonesia:
1. Undang-Undang :
a. Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
b. Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
c. Undang-Undang No.39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
d. Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
e. Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolaan Lingkungan
Hidup.
2. Peraturan Pemerintah :
a. Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam.
b. Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan.
c. Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan
d. Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional
e. Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan
f. Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
g. Peraturan Pemerintah No.73 Tahun 2013 tentang Rawa
h. Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2014
i. Peraturan Pemerintah No.57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Ekosistem
Gambut
3. Keppres/Inpres/Permen :
Pada tataran Undang undang, maka UU No. 5 tahun 1990 akan terkait dengan gambut
yang berada pada wilayah konservasi (taman nasional, cagar alam, dll). Demikian juga UU
No. 41 tahun 1999 yang akan terkait dengan gambut yang berada di dalam kawasan hutan.
Sedangkan untuk sector perkebunan, maka UU No. 18 tahun 2004 akan menjadi acuan bagi
komoditi perkebunan yang ada di lahan gambut (misal : kelapa sawit). Pada aspek keruangan,
UU No. 27 tahun 2007 akan berimplikasi pada kesatuan hidrologis gambut dan
kesesuaiannya dengan tata ruang. Dari kesemuanya, UU No. 32 tahun 2009 yang paling
memiliki kaitan erat dan menjadi aturan yang memayungi ekosistem gambut.
Pada tataran yang paling rendah, terdapat Keputusan Presiden, Instruksi Presiden dan
juga Peraturan Menteri yang mengatur beberapa hal terkait gambut. Walaupun tingkatannya
dalam hierarki peraturan perundangan di Indonesia berada dibawa Undang undang dan
Peraturan Pemerintah. Namun dalam konteks gambut, pengaturan awal yang terkait secara
langsung adalah Keputusna Presiden No. 32 tahun 1990 dan memberikan pengaturan yang
cukup mendasar terhadap ekosistem gambut, yaitu ketentuan mengenai kedalaman gambut
yang perlu dilindungi. Ketentuan ini pada kemudian hari terus menjadi landasan dalam hal
perlindungan gambut. Keppres juga ternyata memberikan landasan yang sangat kuat untuk
pembukaan lahan gambut sejuta hektar yang kemudian hari disadari menjadi sebuah
kesalahan terbesar dalam konteks kebijakan.
Konvensi ini berisi tentang ketentuan konservasi lahan basah dan mengenai
Pengesahan situs-situs lahan basah yang mempunyai kepentingan internasional. Pada
pengesahan tersebut Pemerintah RI telah mengajukan Taman Nasional Berbak di Jambi dan
Taman Nasional Sembilan di Sumatera Selatan sebagai lahan basah/ekosistem rawa gambut
yang memiliki nilai penting untuk dilindungi secara internasional.
Setelah melihat kedua dasar hukum yang melingkupi gambut dalam pemanfaatan
serta perlindungannya, mulai bisa terlihat bahwa ada beberapa hal yang mencolok yaitu
terdapat beberapa istilah / definisi yang digunakan. Hal ini akan berimplikasi terhadap
konsekuensi yang diterapkan pada lahan gambut. Setidaknya terdapat 5 istilah yang perlu
digaris bawahi, yaitu 1) Kawasan bergambut yang dinyatakan dalam Kepres 32 tahun 1990,
2) Lahan gambut yang dinyatakan dalam beberapa keppres dan juga peraturan menteri, 3)
Kawasan Gambut yang dinyatakan dan didefinisikan dalam Peraturan menteri No. 14 tahun
2009, 4) ekosistem gambut, dan 5) kesatuan hidrologis gambut yang dinyatakan dalam PP no.
71 tahun 2014.
Dari beberapa perbedaan istilah yang digunakan, terdapat beberapa catatan yang perlu
diperhatikan. Pada istilah Kawasan Bergambut yang digunakan pada Keppres 32 tahun 1990
penekanan pada unsur ekosistem dan substansi (elemen) dari gambut. Pengertian ini bersifat
sangat umum dan membukan besar peluang untuk diperdebatkan dari sisi ilmiah. Untuk
istilah kawasan gambut yang digunakan dalam Permentan No. 14 tahun 2009, konteks
jurisdiksi antara kawasan hutandan non kawaan hutan. Sedangkan istilah Lahan Gambut,
walaupun sudah digunakan pada beberapa peraturan namun definisinya hanya bisa ditemukan
pada Permentan 14 tahun 2009. Walaupun demikian, pemahaman yang terdapat di peraturan
ini menjadikan pemahaman pada peraturan lain inkonsinten. Karena hanya membatasi pada
budidaya perkebunan kelapa sawit. Mungkin penyusun peraturan ini akan berargumen bahwa
karena peraturan ini memang ditujukan untuk perkebunan kelapa sawit, sehingga pemahaman
juga terbatas pada pengembangan kelapa sawit. Namun ini berarti bahwa istilah lahan gambut
memiliki beberapa arti dalam beberapa peraturan. Istilah terakhir yang terdapat dalam
peraturan di Indonesia adalah Ekosistem Gambut dan Kesatuan Hidrologis Gambut. Istilah
tersebut pada dasarnya telah sejalan dengan semangat ekoregion yang dimandatkan dalam
Undang undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Berbagai definisi dan cakupan dari lahan gambut pada prakteknya menimbulkan
banyak perdebatan secara ilmiah maupun hukum. Inkonsistensi definis yang terdapat pada
beberapa peraturan mengakibatkan adanya peluang yang sangat besar untuk terjadinya
perusakan. Dari aspek hukum, perbedaan ini bisa dicarikan solusinya melalui beberapa teori
penafsiran dan argumentasi legal. Namun dari sisi kebijakan yang pro terhadap ekosistem,
maka kondisi ini akan sangat merugikan.
BAB III
Salah satu surga penyimpanan karbon dunia kini semakin menyusut seiring dengan
hancurnya lahan gambut di kawasan tropis di Indonesia akibat konversi lahan menjadi
perkebunan kelapa sawit dan industri kertas. Hilangnya cadangan karbon, membuat lahan
gambut Indonesia kini menjadi salah satu sumber utama emisi karbon dunia.
Salah satu bencana terbesar, kebakaran hutan tropis di Sumatera yang terjadi bulan
Juni 2013 silam menghanguskan tak kurang dari 140.000 hektar hutan hanya dalam waktu
sepekan.
Sebagian besar titik api berasal dari lahan gambut, yang tengah diubah menjadi
perkebunan kelapa sawit atau perkebunan akasia untuk industri kertas. Membakar hutan,
masih menjadi pilihan termurah untuk membuka lahan dalam jumlah yang masif.
Problema kebakaran hutan ini hingga kini masih menjadi masalah yang belum
terselesaikan dalam upaya perlindungan lahan dan hutan gambut di Indonesia, dan
pentingnya tindakan yang sesegera mungkin untuk mengatasi racun akibat kebakaran, serta
pemerintahan yang lemah yang mengakibatkan habisnya salah satu surga karbon dunia.
Erik Olbrei, seorang pakar yang tengah mengambil Program Doktoral di Australian
National University membeberkan kondisi lahan gambut yang kini bak bom waktu yang
tinggal menunggu saat meledaknya dalam kolom opini yang dimuat di situs
theconversation.com.
Lahan gambut Indonesia adalah hutan kering dataran rendah yang dekat dengan
kawasan pesisir. Dibawah tanah hutan ini tersimpan jutaan ton karbon akibat akumulasi
pembusukan vegetasi selama ribuan tahun. Wilayah dengan kondisi agak berawa ini akibat
pembusukan yang tidak sempurna bisa mencapai kedalaman hingga 10 meter atau lebih
selama ribuan tahun berlalu.
Lahan gambut bagi Indonesia memiliki nilai yang sangat penting karena mampu
menyimpan karbon 20 kali lipat lebih banyak dibandingkan hutan hujan tropis biasa atau
tanah yang bermineral, dan 90% diantaranya disimpan di dalam tanah. Lahan gambut bisa
melepaskan karbon selama bertahun-tahun jika pepohonan di atasnya ditebang, dan
mengakibatkan perubahan tatanan tanah gambut atau jika dibakar.
Indonesia saat ini memiliki kawasan lahan gambut tropis terluas di dunia dengan 22
juta hektar yang tersebar di Kalimantan, Papua -yang memiliki sepertiga lahan gambut di
Indonesia- dan Sumatera.
Lahan gambut Indonesia memiliki nilai penting bagi dunia, karena menyimpan
setidaknya 57 miliar ton karbon, membuat kawasan ini sebagai salah satu kawasan utama
penyimpan karbon dunia. Surga karbon lahan gambut Indonesia, hanya mampu ditandingi
oleh hutan hujan di Amazon yang menyimpan 86 miliar ton karbon.
Peran Penting Karbon Indonesia, salah satunya adalah mencegah emisi lebih lanjut
agar suhu Bumi tidak naik hingga 2 derajat Celcius. Untuk mencegah kenaikan suhu ini,
manusia di Bumi tidak bisa melepas emisi lebih dari 600 miliar ton karbon dioksida antara
saat ini hingga 2050 mendatang. Lahan gambut Indonesia sendiri, jika lepas secara
keseluruhan ke atmosfer, maka akan melepas sepertiga cadangan karbon yang ada.
Indonesia adalah salah satu produsen utama untuk komoditi kayu, kertas dan industri
kelapa sawit dunia sejak tahun 1970-an. Akibat ekspansi sektor bisnis kehutanan ini,
deforestasi secara masif terus terjadi dan Indonesia kehilangan lebih dari setengah tutupan
lahan gambutnya. Hanya sekitar 10 juta hektar lahan gambut yang tersisa di tahun 2010.
Hanya di Papua yang masih tersisa lahan gambut yang kondisinya masih cukup baik.
Kondisi ini masih terus berlangsung. Setiap tahun Sumatera kehilangan 5% hutan
dataran rendahnya; hal serupa terjadi di Kalimantan. Papua akan menjadi korban berikutnya.
Dengan angka penabangan hutan yang meningkat, pabrik pengolahan bubur kertas sudah
direncanakan dan lahan dalam jumlah yang masif yang masuk kawasan konsesi, kini tengah
dikembangkan di Sumatera dan Kalimantan.
Kelanjutan dari degradasi hutan adalah pertanda lain munculnya masalah di masa
mendatang. Di lokasi-lokasi hutan gambut yang sudah ditebang, terfragmentasi atau
dikeringkan kini berubah dari sumberdaya yang tidak mudah terbakar menjadi sumber titik
api.
Sebuah kajian terhadap lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan di lahan gambut
seluas 10 juta hektar ditemukan bahwa sebagian besar lahan gambut ini sudah terdegradasi.
Kurang dari 4% yang masih tertutup hutan rawa gambut dan hanya sekitar 11% yang tertutup
hutan yang relatif baik. Sisanya adalah sumber titik api dan sudah diubah menjadi
perkebunan, seperti yang sudah terjadi di Pulau Sumatera.
Perubahan iklim sendiri kini terjadi salah satunya akibat dampak dari hilangnya hutan
gambut. Perubahan iklim menyebabkan musim kering lebih panjang di Indonesia,
menyebabkan titik api yang lebih banyak dan berbagai bencana alam lainnya. Sepanjang
kemunculan El Nino tahun 2006 silam di Indonesia, tak kurang dari 40.000 titik api muncul
di lahan gambut Indonesia.
Lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan kini menuju kehancuran. Sebuah tanda
tanya besar masih tersisa bagi keberadaan lahan gambut di Papua.
Seiring dengan meningkatnya angka kehilangan karbon ke udara, emisi gas rumah
kaca kini berkisar di angka 1 Gigaton karbon dioksida per tahun.
Jika lahan gambut Indonesia adalah sebuah negara, maka lahan gambut Indonesia
adalah emiter ketujuh atau kedelapan terbesar di duna. Dalam beberapa dekade mendatang,
hampir seluruh karbon dari lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan bisa menghilang.
Dengan situasi seperti ini, kecil harapan Indonesia untuk bisa menekan emisi sebesar
26% atau 41% di tahun 2020.
Apa yang bisa dilakukan telah bertarung dengan keras untuk mengatasi masalah
deforestasi dan hilangnya lahan gambut. Negeri ini telah meluncurkan kampanye besar untuk
menekan pembalakan liar. Juga telah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi yang
sempat bersitegang dengan Kepolisian Negara RI untuk menuntaskan berbagai kasus korupsi
yang melibatkan aparat kepolisian, dan dikenal dengan kasus Cicak Vs Buaya.
Namun dengan maraknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, upaya ini hanya
menunjukan kemajuan yang sangat sedikit.
Solusi yang ditawarkan sudah diketahui dan sudah disebarkan secara luas. Konversi
lahan menjadi perkebunan harus dihentikan, namun hal ini bukan berarti industri kelapa sawit
harus diakhiri. Hal ini artinya konsesi yang sudah ada di lahan gambut harus dipindahkan ke
lahan yang sudah terdegradasi di wilayah lainnya.
Penegakan hukum untuk melindungi lahan gambut dan pelarangan pembakaran lahan
gambut harus dilakukan secara tegas, termasuk melindungi lahan gambut yang tersisa di
Papua agar tidak menyusul kondisi yang terjadi Kalimantan dan Sumatera. Namun tak
satupun hal ini terjadi, pemahaman yang lebih global tetag pentingnya lahan gambut
Indonesia diperlukan untuk memberikan tekanan kepada pembuat kebijakan di level nasional
dan internasional menjadi sebuah tindakan nyata.
BAB III
Di Indonesia, gambut sudah lama dimanfaatkan. Lahan gambut digunakan untuk lokasi
bandar udara di berbagai tempat di Pulau Kalimantan. Bandara Syamsuddin Nurdi Banjar Baru,
Kalimantan Selatan, menjadi bandara pertama di atas lahan gambut pada masa penjajahan
Belanda. Untuk membangunnya digunakan kayu ulin sebagai bahan dasar konstruksi landasan
pacu, sehingga dikenal sebagai Bandara Ulin. Belanda juga mengubah lahan gambut menjadi
kebun sawit di Deli (Sumatra Utara) dan Bumi Tamiang (Aceh).
Pada awal pelaksanaan program Pelita (Pembangunan Lima Tahunan) Pertama
1969/1970- 1974/1975, lahan gambut di Desa Gambut, Kabupaten Banjar, dijadikan persawahan
untuk meningkatkan produksi padi melalui program swasembada pangan. Pemerintah kemudian
membuka lahan sejuta hektar di Pulang Pisau, Kalimantan Selatan. Bahkan pernah
dikembangkan untuk pembangkit tenaga listrik, yaitu di Palangkaraya, dengan bantuan teknik
dari Finlandia pada 1986. Sejak itu, perubahan lahan gambut menjadi perkebunan, terutama
sawit, dimulai. Kini, banyak lahan gambut telah menjadi perkebunan sawit, seperti di Aceh,
Riau, Jambi, Sumatra Selatan, dan Kalimantan.
Dari perjalanan waktu, tampak bahwa lahan gambut telah menjadi pilihan untuk
pengembangan lahan transmigrasi, perkebunan, perumahan, pengairan, dan lainnya. Hal ini
karena Indonesia tidak lagi memiliki lahan lain yang luas, datar, dan kaya sumber air untuk
pengembangan berbagai lingkungan binaan, selain lahan gambut. Namun, pengembangan lahan
gambut sebenarnya lebih cocok untuk penyediaan sumber air dan sumber energi. Sementara itu,
sifat gambut yang mudah terbakar dan akibat penambangan atasnya menjadi ancaman
keberadaan lahan gambut dan lingkungannya, sehingga konservasi menjadi sangat diperlukan.
Foto Hamparan Gambut di Ketapang Kalimantan Barat.
3.1 Pengertian
Gambut terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tanaman purba yang telah mati dan mengalami
perombakan (secara kimia, fisika, dan biologi) yang mengandung minimal 12% sampai dengan
18% karbon organik, dengan ketebalan minimal 50 cm. Dalam taksonomi ilmu tanah, ada juga
yang disebut tanah gambut. Istilah gambut dapat bermakna ganda yaitu sebagai bahan organik
(peat), dan sebagai tanah organik (peat soil).
Gambut sebagai bahan organik adalah sumber energi dan media perkecambahan biji
tanaman dan pupuk organik. Sedangkan sebagai tanah organik, gambut digunakan untuk lahan
bagi berbagai kegiatan pertanian yang dapat dikelola dalam sistem usaha tani. Terdapat tiga
macam bahan organik tanah yang dikenal berdasarkan tingkat dekomposisi bahan tanaman
aslinya, yaitu fibrik, hemik dan saprik. Mirip dengan pengertian itu adalah definisi sebagaimana
dideklarisasikan dalam Kongres Ilmu Tanah Internasional di Rusia pada 1930, yakni gambut
(peat) adalah sebagai bahan organik tanah dengan kedalaman 0,5 meter dan luasnya minimal
satu hektar. Selanjutnya, Anderson (1964) menambah pengertian tersebut di atas dengan
kalimat: jumlah mineral maksimum 35%. Apabila komposisi mineral antara 35% sampai
dengan 65% disebut gambul (muck). Buckman dan Brady (1956) membedakan gambul dan
gambut berdasarkan kandungan bahan organik, bila kandungan organik antara 18% hingga 50%
dinatakan sebagai gambul dan jika lebih disebuit gambut. Menurut Kanapathi (1975) kandungan
fraksi mineral tanah gambut kurang dari 35%, sedangkan gambul antara 35% hingga 55%.
Sedangkan Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
(Kepres No. 32/1990) menyatakan bahwa kawasan bergambut adalah kawasan yang unsur
pembentuk tanahnya sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu
yang lama dan kritera berupa tanah gambut dengan ketebalan tiga meter atau lebih yang terdapat
di bagian hulu sungai dan rawa.
Gambar Penggunaan lahan gambut dengan kanalisasi tanpa sekat yang mengakibatkan air bertambah rendah sehingga permukaan
gambut kering dan mudah terbakar. Tampak jejak kayu dalam endapan gambut.
Saat permukaan laut stabil, terjadi pengendapan organik bercampur lumpur liat seperti
lempung, lanau dan pasir dan membentuk dataran pantai yang luas dengan lumpur atau lempung
halus yang mengandung pirit (FeS2) bertekstur halus, tidak berkapur di bawah tanaman bakau.
Sungai-sungai lebar memotong dataran rendah dengan membentuk tanggul lumpur liat di antara
dua sungai besar yang menbentuk cekungan-cekungan sedimentasi yang penuh dengan air. Di
tempat lain mungkin terbentuk gambut topogenus atau eutropic, yaitu gambut yang dibentuk
pada lembah dan diendapkan dari sisa tumbuhan yang hidupnya pada tanah mineral yang kaya
kandungan air yang berasal dari penghumusan sisa-sisa tumbuhan.
Sifat fisik yang harus terpelihara pada (lahan) gambut adalah basah. Gambut mudah
kering bila sumber airnya hilang akibat pembuatan kanal yang memotong kontur rupa bumi. Bila
kanal tidak dibuat sejajar kontur rupa bumi supaya air tertahan, maka bisa mengakibatkan
gambut yang letaknya lebih tinggi akan kering. Bila sangat kering, maka gambut tidak akan bisa
basah kembali. Hal ini disebabkan gambut tidak mampu menyerap air kembali (irreversible).
Secara kimiawi, gambut juga mengandung sulfur yang terbentuk dari mineral pirit bertekstur
halus, dan nilai panas atau kalori. Oleh karenanya, gambut harus basah selamanya.
Berdasarkan hasil pengumpulan data oleh BPP Teknologi (1994), diketahui bahwa
beberapa endapan gambut di Indonesia memiliki kadar belerang (S) yang tinggi dalam kondisi
kering (adb). Kadar S pada gambut di Rawa Mesuji, Tulang Bawang, Lampung, berkisar 0,72%
5,2%; di Desa Gambut, Banjar, Kalsel, antara 0,4% 6,20%; di Riau 0,10% 0,60%; di Jambi
0,21% 0,77%, di Sumatera Selatan 0,10% 0,54%, dan Kalampangan, Kalimantan Tengah
0,04% 0,16%.
3.4 Kebakaran
Kebakaran lahan gambut menjadi berita tanpa akhir dan menjadi bencana besar dalam
sekala regional Asia Tenggara dan Asia Selatan. Tahun 2015, kebakaran lahan gambut sangat
luas dan menimbulkan kerugian ekonomi yang diperkirakan mencapai Rp. 200 trilyun lebih.
Kebakaran ini disebabkan terjadinya fenomena el-Nino yang ditandai dengan musim kemarau
yang tidak normal yang terjadi secara periodik antara 4 5 tahun. El-Nino terparah sebelumnya
terjadi pada 1997/1998 yang mengakibatkan lahan gambut dan hutan terbakar. Kebakaran
gambut juga terjadi karena disengaja untuk pembuatan kebun sawit. Terbakarnya gambut secara
sengaja terjadi pada Perang Vietnam sebagai strategi menghancurkan lawan.
Usaha pemadaman api di lahan gambut, jika terlambat dilakukan, atau apinya telah jauh
masuk kelapisan dalam gambut, akan sulit untuk dipadamkan. Selain itu, hambatan utama yang
dihadapi dalam usaha pemadaman adalah sulitnya memperoleh air di dekat lokasi kejadian
dalam jumlah besar serta akses menuju lokasi kebakaran sangat berat. Pemadaman api di lahan
gambut yang kebakarannya sudah parah/meluas hanya dapat ditanggulangi secara alami oleh air
hujan yang deras. Hal ini terbukti pada kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah dan Riau
yang bisa padam hanya setelah hujan besar melanda kedua daerah tersebut.
Luas kebakaran gambut pada 1997 diperkirakan melebihi 1 juta Ha. Menurut Tacconi
(2003), luas hutan payau dan gambut Indonesia yang terbakar pada 1997/1998 diperkirakan
mencapai 2.124.000 Ha. Kebakaran di lahan gambut sangat sulit diatasi dibandingkan dengan
kebakaran yang terjadi di daerah bukan gambut. Api yang terdapat di dalam lapisan lahan
gambut (ground fire) yang berada di bawah permukaan sangat sulit diketahui sebarannya karena
tidak dapat dilihat dari permukaan. Lahan gambut miskin dengan unsur hara yang berguna untuk
tanaman, namun sekarang lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan menjadi lahan pertanian
dan perkebunan sekala besar akibat kebakaran hebat dan luas pada 2015 yang sebenarnya telah
dimulai sejak 2014. Kebakaran beruntun ini termasuk sangat parah.
Kebakaran lahan gambut menjadi sangat menarik perhatian. Hal ini disebabkan karena
lahan gambut di Indonesia telah ditetapkan sebagai hutan lindung dan dijadikan komitmen
pemerintah Indonesia dalam rangka penurunan emisi gas karbon sebesar 26% hingga 41%
sampai tahun 2020 dengan dukungan dana dari lembaga internasional. Komitmen ini merupakan
salah satu hasil dari Konfrensi Negaranegara G-20 pada Oktober 2009 di Pitsburg Amerika
Serikat. Dalam konfrensi ini, Indonesia mendapatkan dana hibah sebesar satu miliar dolar AS
melalui Program Reducing Emmission Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+) dari
Norwegia dan potensi dagang karbon untuk perbaikan lahan gambut. Akibatnya Badan Geologi,
mulai 2010, tidak melakukan penelitian endapan gambut untuk kepentingan rekomendasi
wilayah izin usaha pertambangan gambut sebagaimana diatur dalam UU No. 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Padahal beberapa negara Nordik seperti Finlandia
telah menggunakan briket gambut dan endapan gambut tanpa olahan sebagai sumber energi
primer untuk pembangkit listrik dengan sistem panen gambut secara berencana dan teratur.
Walau demikian, Badan Geologi tetap menerbitkan Peta Sebaran Lokasi Gambut sekala 1:
5.000.000 pada 2011 yang meliputi 62 lokasi. Walau pun tidak terlalu rinci, namun data geologi,
potensi, ketebalan, dan lingkungan pengendapan gambut seperti kubah gambut yang disajikan
Badan Geologi ini setidaknya dapat digunakan sebagai acuan dalam program restorasi gambut.
Lahan gambut setelah terbakar dengan ketebalan kurang dari satu meter
Pada 2016 Pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) melalui Peraturan
Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut. BRG dibentuk dalam rangka
percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidrologis lahan gambut akibat
kebakaran secara khusus, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh. Dalam lima tahun,
BGR ditargetkan melakukan restorasi ekosistem gambut seluas 2.000.000 Ha. Lokasi
pelaksanaannya dimulai di empat kawasan gambut prioritas, yaitu Kabupaten Pulang Pisau,
Kalimantan Tengah; Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra
Selatan, dan Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Di keempat daerah prioritas ini, Badan
Geologi melalui Pusat Sumber Daya Geologi (kini Pusat Sumber Daya Mineral Batubara dan
Panas Bumi) juga telah memetakan potensi gambut untuk kepentingan bahan bakar. Terlepas
dari pertentangan antara konservasi dan penambangan, yang pasti endapan gambut di keempat
wilayah tersebut saat ini telah terbakar dan rusak parah.
Lahan gambut Indonesia memiliki nilai penting bagi dunia, karena menyimpan setidaknya 57
miliar ton karbon, membuat kawasan ini sebagai salah satu kawasan utama penyimpan karbon
dunia. Surga karbon lahan gambut Indonesia, hanya mampu ditandingi oleh hutan hujan di
Amazon yang menyimpan 86 miliar ton karbon.
Peran Penting Karbon Indonesia, salah satunya adalah mencegah emisi lebih lanjut agar suhu
Bumi tidak naik hingga 2 derajat Celcius. Untuk mencegah kenaikan suhu ini, manusia di Bumi
tidak bisa melepas emisi lebih dari 600 miliar ton karbon dioksida antara saat ini hingga 2050
mendatang. Lahan gambut Indonesia sendiri, jika lepas secara keseluruhan ke atmosfer, maka
akan melepas sepertiga cadangan karbon yang ada.
Sisa hutan gambut di Semenanjung Kampar yang tersisa, kini semakin terancam aktivitas penebangan untuk memenuhi kebutuhan
Indonesia adalah salah satu produsen utama untuk komoditi kayu, kertas dan industri kelapa
sawit dunia sejak tahun 1970-an. Akibat ekspansi sektor bisnis kehutanan ini, deforestasi secara
masif terus terjadi dan Indonesia kehilangan lebih dari setengah tutupan lahan gambutnya.
Hanya sekitar 10 juta hektar lahan gambut yang tersisa di tahun 2010. Hanya di Papua yang
masih tersisa lahan gambut yang kondisinya masih cukup baik. Kondisi ini masih terus
berlangsung. Setiap tahun Sumatera kehilangan 5% hutan dataran rendahnya; hal serupa terjadi
di Kalimantan. Papua akan menjadi korban berikutnya. Dengan angka penabangan hutan yang
meningkat, pabrik pengolahan bubur kertas sudah direncanakan dan lahan dalam jumlah yang
masif yang masuk kawasan konsesi, kini tengah dikembangkan di Sumatera dan Kalimantan.
Kelanjutan dari degradasi hutan adalah pertanda lain munculnya masalah di masa mendatang.
Di lokasi-lokasi hutan gambut yang sudah ditebang, terfragmentasi atau dikeringkan kini
berubah dari sumberdaya yang tidak mudah terbakar menjadi sumber titik api.
Sebuah kajian terhadap lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan di lahan gambut seluas 10
juta hektar ditemukan bahwa sebagian besar lahan gambut ini sudah terdegradasi. Kurang dari
4% yang masih tertutup hutan rawa gambut dan hanya sekitar 11% yang tertutup hutan yang
relatif baik. Sisanya adalah sumber titik api dan sudah diubah menjadi perkebunan, seperti yang
sudah terjadi di Pulau Sumatera. Perubahan iklim sendiri kini terjadi salah satunya akibat
dampak dari hilangnya hutan gambut. Perubahan iklim menyebabkan musim kering lebih
panjang di Indonesia, menyebabkan titik api yang lebih banyak dan berbagai bencana alam
lainnya. Sepanjang kemunculan El Nino tahun 2006 silam di Indonesia, tak kurang dari 40.000
titik api muncul di lahan gambut Indonesia.
Lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan kini menuju kehancuran. Sebuah tanda tanya besar
masih tersisa bagi keberadaan lahan gambut di Papua.
Seiring dengan meningkatnya angka kehilangan karbon ke udara, emisi gas rumah kaca kini
berkisar di angka 1 Gigaton karbon dioksida per tahun. Jika lahan gambut Indonesia adalah
sebuah negara, maka lahan gambut Indonesia adalah emiter ketujuh atau kedelapan terbesar di
duna. Dalam beberapa dekade mendatang, hampir seluruh karbon dari lahan gambut di Sumatera
dan Kalimantan bisa menghilang. Hal yang lebih mengkhawatirkan, dengan hilangnya setengah
lahan gambut Indonesia, sekitar 100 Gigaton karbon dioksida atau 150 kali emisi tahunan
Australia bisa terlepas ke udara dalam beberapa dekade mendatang. Dengan situasi seperti ini,
kecil harapan Indonesia untuk bisa menekan emisi sebesar 26% atau 41% di tahun 2020.
Gambar penjelasan bagaimana lahan sawit mengeringkan tanah gambut
BAB IV
PEMBAHASAN
Salah satu penyimpan karbon terbesar didunia adalah lahan gambut. Indonesia
memilikinya di ketiga pulau terbesar yaitu, Sumatera, Kalimantan dan Papua. Namun
pelepasan karbon di lahan gambut juga terjadi berkali lipat daripada tanah bermineral. Hal ini
terjadi jika lahan gambut mengalami gangguan seperti dikeringkan atau di buka tutupan hutan
diatasnya dengan tujuan misalnya untuk alih guna lahan.
Alih guna atau konversi besar-besaran lahan gambut menyebabkan kerusakan pada
lahan gambut dan terus-menerus mengeluarkan emisi. Oleh karena itu restorasi lahan gambut
dapat menjadi prioritas program pengurangan emisi dan juga sekaligus mengembalikan
fungsi ekologis lahan gambut.
Dalam Strategi Nasional REDD+ disebutkan bahwa rehabilitasi dan konservasi lahan
gambut sebagai sarana/cara utama untuk mencapai tujuan penanggulangan isu iklim
Indonesia. Kegiatan pengurangan emisi dari deforestrasi dan degradasi dari lahan gambut
yang terkonversi hanya dapat dimungkinkan melalui kombinasi dari mencegah drainase dan
degradasi lahan gambut lebih jauh dan membasahi lahan gambut yang terdrainase dan telah
terdegradasi. Secara legal, konservasi lahan gambut telah diatur dalam Keputusan Presiden
No.32/1990 tentang kawasan lindung.
Lahan gambut adalah suatu ekosistem dimana (dibawah kondisi jenuh air secara
permanen) bahan tanaman mati dan yang telah/tengah mengalami perombakan (decay)
terakumulasi untuk membentuk sebuah lapisan tanah yang tebal organik (gambut). Rata-rata
per hektar karbon tanah menyimpan 10 x lebih besar dari hutan tropis yang masih utuh. Hal
ini membuat lahan gambut menjadi tempat penyimpanan (reservoir) karbon yang paling
penting dan sangat terkonsentrasi di darat.
Dalam hutan rawa gambut alami, selain sebagai produsen, hutan memfasilitasi kondisi
basah untuk pembentukan gambut, penyerapan dan penyimpanan karbon. Pengeringan dan
konversi gambut akan membuatnya melepaskan karbon gambut lebih cepat daripada yang
telah diserapnya (sequester). Emisi yang dihasilkan dari hutan rawa gambut yang dikonversi
menjadi dan digunakan sebagai perkebunan (termasuk tindakan deforestrasi dan drainase)
dengan menggunakan asumsi siklus tegakan 25 tahun akan dikeluarkan hingga puluhan tahun
berikutnya atau bahkan lebih lama lagi.
Di sisi lain, aturan main dan skema restorasi masih disiapkan. "Di tahun ini yang jelas
kami lihat kawasan hidrologis gambut di empat kabupaten dan melihat kondisinya serta
keberadaan kanal ataupun sekatnya," kata Nazir Foead, Kepala Badan Restorasi Gambut,
Kamis (10/3), di Jakarta.
Seperti diberitakan, Presiden Joko Widodo memberikan tugas kepada Badan Restorasi
Gambut untuk merestorasi lahan seluas 2 juta hektar untuk kurun waktu 2016-2020. Pada
tahun ini target tersebut harus terpenuhi 30 persen atau melakukan restorasi gambut seluas
600.000 hektar.
Nazir mengatakan, empat wilayah pilot project tersebut ialah Kabupaten Pulang Pisau
di Kalimantan Tengah, Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin di Sumatera
Selatan, serta Kabupaten Kepulauan Meranti di Provinsi Riau.
Secara total, menurut Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pembentukan
Badan Restorasi Gambut, restorasi gambut dilakukan di tujuh provinsi, yaitu Riau, Jambi,
Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.
Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut Myrna A
Safitri mengatakan, restorasi gambut akan berjalan pada penguatan partisipasi masyarakat
dan kemitraan dengan para pihak.
"Restorasi tidak mungkin mengorbankan hak hidup masyarakat lokal. Restorasi adalah titik
awal kita untuk bersama-sama memperkuat kebudayaan gambut yang sudah ada di
masyarakat adat dan masyarakat lokal, tetapi saat ini telah mengalami penurunan kondisi
bersamaan dengan tuntutan ekonomi sesaat yang berdampak terhadap degradasi ekosistem
gambut," ujar Myrna.
Terkait dengan partisipasi ini, Badan Restorasi Gambut bersama para pakar, wakil
kementerian terkait, dan pemerintah daerah tengah merancang desain kebijakan untuk
restorasi gambut bersama masyarakat dan dunia usaha. Myrna menyebutkan, ada lebih
kurang 12.000 desa yang berada di kabupaten-kabupaten dengan areal gambut di tujuh
provinsi yang menjadi target restorasi. Tidak semua akan masuk ke dalam areal restorasi.
Identifikasi lebih dalam terhadap lokasi desa-desa itu tengah dilakukan.
Transparansi dan akuntabilitas Badan Restorasi Gambut menjadi titik kunci. Hal itu
ditegaskan Nazir Foead dalam pertemuan dengan para wartawan. Restorasi gambut melalui
Badan Restorasi Gambut merupakan keseriusan Pemerintah Indonesia untuk memenuhi
komitmen pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut akibat kebakaran
hutan dan lahan secara khusus, sistematis, terarah, terpadu, dan menyeluruh.
Restorasi gambut tersebut juga bagian dari langkah penting untuk mendukung
pencapaian komitmen Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen hingga
2030 secara mandiri atau sebesar 41 persen hingga 2030 dengan bantuan masyarakat
internasional.
Nazir Foead juga menambahkan, saat ini, Badan Restorasi Gambut telah melengkapi
struktur kelembagaannya dengan dilantiknya para deputi dan sekretaris badan pada 19
Februari 2016. Kemudian, Badan Restorasi Gambut juga telah menetapkan Kelompok Ahli
Badan Restorasi Gambut dan Tim Pengarah Teknis Badan Restorasi Gambut pada 3 Maret
2016.
Sebanyak 24 pakar dari berbagai disiplin ilmu telah ditunjuk sebagai Kelompok Ahli
Badan Restorasi Gambut. Mereka mewakili akademisi berbagai perguruan tinggi, termasuk
dari tujuh provinsi di mana restorasi akan dilakukan, serta wakil dari organisasi masyarakat
sipil.
Adapun Tim Pengarah Teknis Badan Restorasi Gambut terdiri atas wakil
Kementerian/lembaga terkait dan pemerintah daerah.
Dengan demikian, untuk target 2016 ini, Badan Restorasi Gambut siap bekerja untuk
mengoordinasi dan memfasilitasi restorasi 600.000 hektar ekosistem gambut yang
terdegradasi.
Badan Restorasi Gambut (BRG) menawarkan tiga cara membuka lahan tanpa
membakar. Ketiga cara itu adalah menggunakan traktor, memotong lahan dan membakarnya
di drum, dan penggunaan larutan biologis.
Menurutnya, pembukaan lahan dengan traktor jauh lebih mahal dibandingkan dengan
dua cara lainnya. Sementara yang paling murah adalah dengan menggunakan larutan
biologis.
Dari perhitungan BRG, biaya untuk metode pembakaran dalam drum sebesar Rp 1
juta per drum. Sedangkan bila menggunakan larutan biologis atau bakteri pengurai, ongkos
yang dikeluarkan mencapai Rp 200 ribu per hektare. "Tahun lalu masih skala kecil dicoba
(larutan biologis) di Kalimantan Barat," ucap Nazir.
Selain menawarkan tiga alternatif membuka lahan, BRG juga akan menambah alat
deteksi titik api sebagai langkah pencegahan. Nazir mengatakan pada 2016 sebanyak 20 alat
deteksi dipasang di lima provinsi di Kalimantan dan Sumatera.
Tahun ini penggunaan alat akan ditambah menjadi 400 unit. Lokasi pemasangan alat
itu tersebar di Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.
Tak hanya itu, BRG juga akan meneruskan target restorasi lahan gambut yang
terbakar sebelumnya. Pemerintah, kata Nazir, menargetkan merestorasi lahan gambut seluas
400 ribu hektare pada 2017.
Jakarta (ANTARA News) Pada hari kerja terakhir di 2016, Kepala Badan Restorasi
Gambut Nazir Foead bersama Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan Badan
Restorasi Gambut (BRG) Myrna A Safitri masih menemui rekan pers dari berbagai media
massa untuk menyampaikan pencapaian kinerja 2016 dan rencana kerjanya di 2017.
Secara transparan Nazir dan Myrna menyampaikan apa saja yang telah dilakukan oleh
badan khusus yang dibentuk Presiden Joko Widodo, yang belum genap berusia satu tahun ini
untuk merestorasi hutan dan lahan gambut seluas 2.492.527 hektare (ha) yang rusak karena
terbakar hebat di 2015.
Dalam kesempatan itu, Nazir beberapa kali mengatakan apa yang dikerjakan di 2016
ini benar-benar masih awal. Ada perlakuan fisik yang memang sudah dikerjakan khusus di
empat kabupaten yakni Pulang Pisau (Kalimantan Tengah), Ogan Komering Ilir dan
Banyuasin (Sumatera Selatan), dan Kepulauan Meranti (Riau).
Namun dalam masa tahun pertama badan ini berdiri lebih banyak hal lain yang juga
penting dilakukan yakni melakukan perencanaan, sosialisasi, uji coba hingga memperkuat
kelembagaan.
BRG memperkuat kelembagaan dengan membentuk Tim Restorasi Gambut Daerah
(TRGD) yang diketuai langsung oleh gubernur di enam provinsi, yakni Jambi, Sumatera
Selatan, Kalimantan Barat, Riau, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Tim yang di dalamnya secara lengkap melibatkan unsur pemerintah daerah (pemda),
akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal, pihak swasta, masyarakat hingga
wartawan ini menjadi perkuatan kinerja restorasi gambut di daerah karena lebih paham
kondisi nyata di sana.
Peta skala 1:250.000 seluas 2.492.527 ha sudah kita keluarkan September lalu. Peta restorasi
ini menjadi dasar kerja kita dalam lima tahun, ujar Nazir.
Peta lebih ditel dengan skala lebih tinggi 1:50.000 dan 1:5.000 juga sedang dikerjakan
di areal seluas 606.000 ha dengan teknologi LiDAR yang diperkiran dapat selesai bertahap di
Januari, Maret dan April 2017.
Pada langkah sosialisasi, Nazir mengatakan pelatihan membuat sumur bor dan
pencegahan kebakaran untuk masyarakat dilakukan di empat kabupaten dari mulai Riau
hingga Kalimantan Tengah pada bulan Agustus hingga November 2016.
Masyarakat yang dilatih, karena kita ingin mereka yang membangun sendiri sumur bor
bukan kontraktor yang pengerjaanya harus melalui bidding.
Ada 433 sumur bor yang, menurut dia, dibangun oleh masyarakat sendiri di Riau,
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Lega itu bisa dilakukan, karena sumur bor itu juga yang sebenarnya diminta sendiri oleh
masyarakat. Pelatihan pencegahan kebakaran dengan memanfaatkan air dari sumur bor sudah
dilakukan, terbukti mampu mencegah kebakaran di 2016.
Ada juga perusahaan yang membuat sumur bor. Jumlahnya ada 1600 dan baru di
Kalimantan Tengah saja, mereka yang buat BRG yang beri panduan teknisnya, lanjut Nazir.
Sumur bor, menurut dia, seperti first aid untuk mengatasi kebakaran di lahan
gambut, sebelum datangnya bantuan besar seperti water bombing. Paling tidak masyarakat
peduli api secara swadaya bisa mengontrol api dengan memanfaatkan air dari sumur bor.
Intervensi melalui tahap sosialisasi, menurut dia, telah dilakukan di bawah Deputi
Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG di empat kabupaten prioritas. Tim
sosialisasi turun ke 104 desa yang mencakup luas ekosistem gambut lebih dari 800.000 ha.
Karena jangan sampai kita datang lakukan intervensi membuat sekat kanal dan lain-lain tapi
masyarakat tidak setuju dan tidak paham maksudnya. Harus ada proses konsultasi masyarakat
sehingga mereka sepakat dan tahu sekat kanal dibangun di mana dan sumur bor dibuat di
mana.
Penetapan zonasi fungsi lindung dan budidaya pun sudah dilakukan. Menurut Nazir,
dari total 2.492.527 ha yang harus direstorasi sudah dipetakan area perusahaan pemegang
konsesi mencapai sekitar lebih dari 1,4 juta ha sedangkan untuk kawasan lindung dan
konservasi mencapai sekitar 400.000 ha, sisanya sekitar 600.000 ha merupakan lahan
masyarakat.
Untuk memastikan tidak terjadi lagi kebakaran besar lahan gambut BRG melakukan
berbagai percobaan yang tujuan akhirnya membuat masyarakat dan perusahaan
meninggalkan teknik bakar untuk land clearing.
Sekat kanal yang dibuat untuk menjaga air tidak lari dari lahan gambut saat musim
kemarau atau satu bulan tidak turun hujan pun masih bisa kering, rawan terbakar, karenanya
percuma jika masih ada pihak yang membakar.
Karena itu,petani harus diberi alternatif untuk membuka lahan tanpa bakar.
Nah yang kami sudah uji coba itu dengan menggunakan mikroba untuk menghilangkan
sersah, menaikkan PH tanah. Cara lainnya dengan membakar tapi di lakukan di dalam drum
untuk menghasilkan abu yang akan dikembangkan ke tanah untuk meningkatkan PH, ujar
Nazir.
Teknologi baru dengan mikroba tersebut cukup berhasil membuat PH tanah naik lebih
dari empat, bahkan pupuk kompos bisa dikurangi karena sudah pakai mikroba ini. Hasilnya,
menurut dia, di Kalimantan Barat produksi padi bisa lima ton dari yang sebelumnya hanya
tiga ton.
Petani memang cenderung konservatif, kalau ada teknologi baru mungkin hanya satu atau
dua orang yang punya rasa adventurer yang mau coba cara baru itu. Tapi jika keberhasilan
menggunakan mikroba ini banyak didokumentasikan dan dibaca mereka, lambat laun mereka
mau menggunakan ini, ujar Nazir.
Uji coba berbagai program livelihoods juga dijalankan karena BRG sadar memang
ada lahan gambut yang bisa untuk budidaya. Karena, is mengatakan program kerja budidaya
tanaman pangan atau industri dapat dikembangkan bersama masyarakat maupun perusahaan.
Yang sudah kita lihat berhasil ada sawah di Kalimantan Tengah, ada lidah buaya di
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, nanas di Sumatera, kelapa dan jelutung di
Sumatera dan Kalimantan. Ada karet bahkan kelapa sawit yang memang sejak awal sudah
ditanam masyarakat, dan mereka harus dibantu bagaimana lahan tidak perlu dikeringkan,
lanjutnya.
Uji coba peternakan sapi juga sudah berjalan di Kalimantan Tengah, dengan
memanfaatkan lahan gambut untuk menanam tanaman pakan sapi seperti rumput gajah,
sorgum dan jagung.
Uji coba menanam pakan sapi dilakukan di tanah mineral dan akan dicoba di gambut, jika
berhasil otomatis mereka tidak akan membakar gambut lagi karena jika dibakar mereka akan
kehilangan pakan sapi, ujar Nazir.
Pada 2017, lanjutnya, masih akan ada beberapa uji coba salah satunya dengan bambu.
Permintaan bambu untuk produksi bangunan maupun furniture cukup banyak, karena itu
pihaknya telah berkonsultasi dengan para ahli bambu di Indonesia dan sudah diketahui lima
jenis bambu yang diperkirakan dapat tumbuh di air tergenang seperti gambut.
4.4 Pengawasan
Alat ini sudah diujicobakan dipasang 20 unit di lima provinsi yakni di Riau, Jambi,
Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Setiap jam kita bisa pantau
ketinggian muka air di gambut, kelembapannya, sekaligus curah hujan. Kalau terlihat
ternyata di konsesi si A air turun di bawah 40 centimeter ya kita cepat-cepat minta untuk
mengisi air supaya tidak kering dan terbakar atau jaga agar bagaimana caranya supaya api
tidak muncul di sana, ujar dia.
Di mana dan bagaimana alat itu harus dipasang nanti akan ada Peraturan Menteri LHK
(Lingkungan Hidup dan Kehutanan-red) yang mengaturnya sebagai turunan dari PP 57/2016
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
4.5 Capaian
Dari intervensi fisik yang sempat dilakukan BRG di 2016, menurut Myrna, memang
belum bisa dihitung secara tepat apakah sudah menjangkau 30 persen target restorasi di tahun
tersebut.
Tapi kalau hitungan secara kasar sekitar 25 persen. Ini masih sangat awal, perhitungan
detilnya masih dimintakan para ahli, misal untuk satu sumur bor itu bisa berdampak
pembasahan untuk berapa luas gambut, ujar dia.
Hal yang, menurut dia, perlu dipahami oleh semua terkait isi Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut (BRG) bahwa yang
dimaksud target capaian 30 persen di 2016 itu bukan selesainya restorasi, tetapi jangkauan
intervensi yang dilakukan untuk restorasi.
Jadi proses restorasi yang sudah dimulai. Untuk berapa lama selesainya restorasi belum
dapat dipastikan karena kriteria pulih gambut masih belum ada dan akan ditetapkan melalui
Permen LHK, jadi indikatornya masih belum bisa dilihat, ujar Myrna.
Karena apa yang dilakukan BRG pada 2016 lebih banyak untuk melakukan
perencanaan, sosialisasi dan memperkuat kelembagaan maka, ia mengatakan hutang restorasi
KHG akan dibayar di 2017. Sesuai dengan tagline dikeluarkan Badan Restorasi Gambut,
apapun yang dilakukan untuk merestorasi gambut berarti merestorasi kemanusiaan.
Nazir Foead: Restorasi Harus Jalan Tapi Ekonomi Tidak Boleh Berhenti
Pada 20 Januari 2016, Nazir Foead resmi dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai
Kepala Badan Restorasi Gambut. Tugas yang diembannya tidaklah mudah karena harus
merestorasi lahan gambut rusak di Indonesia. Diperkirakan luas gambut yang direstorasi
mencapai 2,6 juta hektare. Dalam wawancara dengan Majalah SAWIT INDONESIA pada 4
Februari 2016, dia mengaku masih menunggu penetapan deputi di lembaganya.
Kalau sudah ada deputi, baru kita bisa membicarakan program ke depan. Begitu timnya
telah terbentuk barulah kita menyusun program. Sementara di dalam perpres (badan restorasi
gambut) masih bersifat general seperti pemetaan , kata Nazir.
Dalam perpres Nomor 1 Tahun 2016 mengenai Badan Restorasi Gambut disebutkan
bahwa Kepala BRG akan didampingi empat deputi yaitu Deputi Bidang Perencanaan dan
Kerja Sama, Deputi Bidang Konstruksi Operasi dan Pemeliharaan, Deputi Bidang Edukasi,
Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan, berikutnya Deputi Bidang Penelitian dan
Pengembangan.
Selain itu, dia berjanji untuk bertemu asosiasi bisnis untuk membahas program
restorasi gambut ini pasca pelantikan deputi BRG. Restorasi harus jalan tetapi ekonomi
tidak boleh berhenti, tegasnya.
Ketika ditanya perihal kedekatan dirinya dengan Presiden Jokowi sehingga dapat
terpilih menjadi Kepala BRG. Dia menjawab baru pertama kali bertemu Presiden Jokowi
dalam pertemuan aktivis LSM lingkungan dengan presiden di Istana Negara, pada
pertengahan Oktober 2015.
Di sana, saya pertama kalinya bertatap muka dengan presiden. Setelah itu, tidak pernah
ketemu lagi. Sebelum diangkat menjadi Kepala BRG, barulah saya bertemu Presiden untuk
berdiskusi, ujar Lulusan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada pada 1992.
Kepada dirinya, Joko Widodo berpesan supaya lembaga yang dipimpinnya dapat
bersinergi dan serasi dengan kementerian terkait. Pak Jokowi minta saya jangan sampai
tidak bisa bekerjasama dengan kementerian terkait.
Nazir optimis bahwa lembaganya mampu menjalankan tugas untuk berkoordinasi dan
menjalankan restorasi gambut bersama kementerian terkait. Setelah pelantikan, Bu Siti
(Menteri LHK) menawarkan kepada saya untuk menggunakan pos anggaran yang berkaitan
dengan program BRG. Ini dorongan positif buat kami, kata Nazir sambil tersenyum.
Berikut ini petikan wawancara Qayuum Amri, Pemimpin Redaksi Majalah SAWIT
INDONESIA dengan Nazir Foead, yang bertempat di Gedung Sekretariat Negara, Jalan
Veteran III, Jakarta Pusat, selam satu jam lamanya:
Jadi, saya baru dilantik pada 20 Januari 2016, dan masih tunggu pelantikan deputi.
Sudah muncul beberapa ide mengenai beberapa program ke depan. Kalau baca perpres
Nomor 1 Tahun 2016 mengenai Badan Restorasi Gambut artinya saya harus tunggu
deputinya karena mereka yang akan menjalankan program.
Semuanya masih dalam tahap pertimbangan begitu sudah terbentuk tim barulah
diskusi besar. Dan mereka juga bisa punya pandangan risetnya harus seperti ini dan
masyarakatnya harus seperti ini. Makanya saya harus menunggu untuk berdiskusi dengan
mereka. Sedangkan, yang yang sekarang masih secara general di dalam Perpres dimana harus
membuat pemetaan. Peta menginformasikan kedalaman dan luas gambut. Selain itu, akan
menetapkan dimana zona lindung dan zona budidaya sesuai Perpres.
Ada beberapa peta yang harus dibuat sampai kita berani ambil keputusan ini adalah
zona lindung dan ini zona budidaya. Karena kita tahu konsekuensi kalau sudah jadi zona
lindung kan sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. Pembuatan peta gambut mesti
memperhatikan siapa yang sudah punya izin di lahan tersebut, apakah berstatus hutan atau
APL dan hutan adat.
Kerja restorasi juga harus melihat hidrologi, harus liat air mengalirnya kemana. Jadi
kalau mau ditutup ya kanal yang sebelah mana, berapa sekat per kanal. Dan itu harus buat
pemetaan yang berbeda harus lebih detil karena melihat topografinya.
Ini semua harus dilihat, dikonsultasikan dan disepakati karena budidaya juga harus
berubah sesuai dengan lahan gambut basah. Kalau gambut dalam keadaan kering akan
mengundang resiko kebakaran lagi makanya harus lembab.
Kemudian harus buat monitoring, ketika kita buat konsesi mana yang harus menjadi
budidaya mana yang tidak sesuai pemetaan. Semua ini proses dilakukan dengan membuat
konsesus dengan Pemda, pemilik konsesus, dan masyarakat, sampai persetujuan.
Dalam pandangan anda, apa tantangan terberat yang akan dihadapi Badan Restorasi
Gambut?
Banyak yang berpandangan bahwa kegiatan ekonomi sulit dilakukan apabila restorasi
berjalan?
Jadi, di satu sisi restorasi harus jalan sementara di sisi lain ekonomi tidak boleh
berhenti. Makanya saya sangat ingin membuat riset dengan ahli gambut, ahli pertanian
ditambah ahli ekonomi. Kalau, kita punya gambut sedang direstorasi maka tidak boleh lagi
ditanam seperti sekarang karena tanaman seperti sekarang butuh lahan kering ditaruh di lahan
basah dia tidak kena. Kita ganti tanaman yang cocok di lahan basah tapi punya profit.
Meskipun profitnya tidak sebesar sawit.
Tapi silakan sawit di lahan kering saja, lahan gambut untuk tanaman lain. Sambil kita
ambil cara financing karena ada jutaan dollar untuk carbon financing. Pertama yang kita jual
itu komoditasnya berikutnya karbon. Kalau tanaman pertaniannya jelas butuh modal, kita
hitung kalau tanam jenis A, itu harga bahan baku mentah berapa, pasar berapa butuh berapa,
kemudian kalau diolah menjadi produk jadi harganya berapa, dan butuh investasi berapa
untuk bangun pabrik pengolahannya.
Lalu seberapa mahal ongkos transportasinya. Dan tentunya pemerintah harus investasi
APBN untuk infrastruktur. Misalkan berhasil dapat investor kita harus yakinkan infrastruktur
dibangun dengan APBN. Jadi investasi lebih cepat balik. Dan kita harus berpikir kreatif kalau
banyak masyarakat yang terlibat tentu dengan KUR dimana suku bunga bisa lebih rendah.
Coba anda diskusi dengan Wetland International, Pak Nyoman dan timnya. Akhir
tahun lalu, mereka menerbitkan laporan bahwa apabila gambut sudah terlanjur ditanami sawit
atau akasia , ya tidak apa-apa tetapi dalam siklus tertentu atau tahun ke ke berapa mesti
keluar.
Jadi gambutnya sedang direstorasi, sembari direstorasi orang masih bisa tanam. Tapi
di siklus tertentu apakah 10, 15, atau 20 tahun tanaman sawitnya bisa diganti karena air
mungkin sudah sampai akar. Jadi ganti tanaman yang memang hidup di gambut. Nah itu
usulan yang kompromis, jadi restorasi berjalan tapi tanaman pokok masih bisa hidup hanya
sampai siklus tertentu.
Restorasi gambut ditargetkan mencapai 2 juta hektare dalam waktu lima tahun.
Darimana angka ini ?
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Lahan gambut Indonesia adalah hutan kering dataran rendah yang dekat dengan
kawasan pesisir. Di bawah tanah hutan Indonesia tersimpan jutaan ton karbon akibat
akumulasi pembusukan vegetasi selama ribuan tahun.
2. Kerusakan lahan gambut itu dapat berakibat pada rusaknya kondisi lingkungan,
kesehatan manusia, dan aspek sosial ekonomi bagi masyarakat.
3. Peta KHG dan Peta Fungsi Ekosistem Gambut menjadi acuan dalam penyusunan dan
penetapan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Nasional.
Berdasarkan data Peta Fungsi Ekosistem Gambut pada skala 1:250.000, ada 2,521,822
hektare (ha) area lahan konsesi yang memiliki fungsi lindung. Luas areal HTI
mencapai 1.688.230 ha yang masuk fungsi lindung, sisanya perkebunan.
4. Badan Restorasi Gambut dibentuk oleh Presiden, bertujuan untuk menata lanskap
ekologi yang namanya gambut, yang mana gambut harus selamat dan tidak boleh
terbakar atau membuat kebakaran. Karena itu, nantinya BRG ini akan
mengkoordinasikan dan memfasilitasi restorasi lahan gambut di tujuh daerah, yaitu
Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan
Tengah, dan Papua.
5.2 Saran
Keduan belah pihak yaitu menteri kehutanan dan menteri perindustrian harus segera
menghentikan perseteruan mengenai masalah gambut agar tidak menimbulkan perselisihan
yang lebih besar lagi.