Anda di halaman 1dari 16

GAGAL GINJAL KRONIK PADA ANAK

(CHRONIC RENAL FAILURE IN CHILDREN)

Mohammad Sjaifullah Noer

Divisi Nefrologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak

FK UNAIR / RSU Dr. Soetomo - Surabaya

Korespondensi: Mohammad Sjaifullah Noer, dr.SpA(K). Divisi Nefrologi Anak Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK UNAIR / RSU Dr. Soetomo Surabaya, Jalan Mayjen Prof. Dr.
Moestopo 6-8, Surabaya 60286. Telepon: 031-5501748 Fax: 031-5501748. E-mail:
msnoer@pediatrik.com

ABSTRAK
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu keadaan menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) yang bersifat tidak
reversibel dan terbagi dalam 4 stadium sesuai dengan jumlah nefron yang masih berfungsi. Pada anak-anak GGK
dapat disebabkan oleh berbagai hal, terutama karena kelainan kongenital, glomerulonefritis, penyakit multisistem,
dan lain-lain. Gejala klinis GGK merupakan manifestasi dari penurunan fungsi filtrasi glomerulus yang
mengakibatkan terjadinya uremia, gangguan keseimbangan cairan-elektrolit dan asam-basa, serta gangguan
fungsi endokrin berupa berkurangnya kadar eritropoietin dan vitamin D3. Penanganan GGK disesuaikan dengan
tahap penurunan laju filtrasi glomerulus, yang secara prinsip dibagi menjadi terapi konservatif dan terapi
pengganti ginjal (TPG).
Kata kunci: Gagal ginjal kronik, filtrasi glomerulus.

ABSTRACT
Chronic Renal Failure (CRF) is defined as an irreversible reduction in glomerular filtration rate (GFR), its
severity being proportional to reduction in functioning renal mass. The cause of CRF in children are congenital
abnormalities, glomerulonephritis, multi-system diseases, et cetera. The clinical presentation of CRF is the
manifestation of declining of GFR that causes uremia, water and electrolyte disequilbrium, acid-base
disequilibrium, and hormonal disturbances e.g. decrease of erythropoietin and vitamin D3. The management of
CRF is adjusted to the reduction of GFR, where in principe the management of CRF is devided into conservative
treatment and renal replacement therapy (RRT).
Key word: Chronic Renal Failure, glomerular filtration.

PENDAHULUAN
Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG)
yang bersifat tidak reversibel, dan terbagi dalam beberapa stadium sesuai dengan jumlah
nefron yang masih berfungsi, seperti tertera dalam tabel 1 dibawah ini.1 Gagal ginjal kronik
2

adalah apabila laju filtrasi glomerulus kurang dari 50 ml/menit/1.73m2 luas permukaan tubuh,
oleh karena dibawah kadar fungsi ginjal tersebut gangguan asidosis metabolik dan
hiperparatiroidisme sekunder telah tampak nyata, pertumbuhan mulai terganggu, dan
progresivitas penurunan fungsi ginjal akan terus berlanjut. Terapi pengganti ginjal (TPG) baik
dialisis maupun transplantasi tidak serta merta diperlukan sampai laju filtrasi glomerulus
turun dibawah 10 ml/menit/1.73m2. Dengan dimulainya TPG berarti dimulailah onset dari
gagal ginjal terminal (GGT). Gagal ginjal pra-terminal adalah stadium yang belum
memerlukan TPG.2
Perawatan anak dengan gagal ginjal haruslah merupakan perawatan yang
berkesinambungan sejak dari stadium gagal ginjal pra-trermial, dimana mereka membutuhkan
perawatan konservatif untuk mencegah gangguan metabolik, mengoptimalkan
pertumbuhannya, dan mempertahankan fungsi ginjalnya selama mungkin, yang bahkan
beberapa diantara mereka sampai memasuki masa dewasa. Anak-anak dengan GGT
memerlukan perawatan yang lebih kompleks, sebaiknya ditangani dengan pendekatan secara
tim. Tim tersebut selain terdiri dari penderita, orang tua penderita dan keluarganya, sebaiknya
mengikutsertakan dokter spesialis ginjal anak, perawat yang telah mendapat latihan khusus
dalam hal penyakit ginjal anak, ahli gizi yang berpengalaman dalam diet anak dengan
penyakit ginjal, guru, pekerja sosial, psikolog anak dan atau psikiater anak.3

Tabel 1. Stadium gagal ginjal


Residual
GFR
functional
(ml/min/
renal mass
1.73m2)
(%)
Mild renal insufficiency 50-25 80-50 Asymptomatic
Moderaterenal insufficiency 25-15 50-30 Metabolic abnormalities,
Impaired growth, Progressive
Severe renal insufficiency 15-5 30-10
renal failuire
End-stage renal failure <5 <10 RRT required
(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children.
In: Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd edition. Oxford: Oxford
University Press Inc., pp. 427-45)

EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 1972, American Society of Pediatric Nephrology memperkirakan diantara
anak yang berumur di bawah 16 tahun terdapat 2.5-4 persejuta populasi dari umur yang sama
menderita GGK pertahunnya.4 Di negara Inggris, Gagal Ginjal Terminal pada anak dalam
tahun 1997- 1999 penderita Gagal Ginjal Terminal per tahun pada anak berumur kurang dari
18 tahun adalah 7.4 persejuta populasi pada umur yang sama, dimana anak laki-laki lebih
banyak dibandingkan dengan anak perempuan, dengan perbandingan laki-laki : perempuan
adalah 1.76:1. Esbjorner (1997) dari Swedia melaporkan insiden tahunan Gagal Ginjal
3

Terminal sebesar 6.4 (4.4-9.5) per sejuta anak berusia 16 tahun pada periode tahun 1986-
1994.
Di Jepang, Hattori (2002) melaporkan pada tahun 1998, prevalensi Gagal Ginjal
Terminal pada anak-anak yang berusia antara 0-19 tahun sebanyak 22 per sejuta populasi dari
umur yang sama. Anak-anak yang berusia lebih tua mempunyai prevalensi yang lebih tinggi
dibandingkan adik-adiknya. Penyebab utama terjadinya Gagal Ginjal Terminal di Jepang
adalah hipoplasia/displasia ginjal dan glomerulosklerosis fokal segmental. Insiden pasien baru
Gagal Ginjal Terminal adalah 4 per sejuta populasi dari umur yang sama pada tahun 1998.5
Angka kejadian GGK pada anak di Indonesia yang bersifat nasional belum ada. Pada
penelitian di 7 rumah sakit Pendidikan Dokter Spesialis Anak di Indonesia didapatkan 2%
dari 2889 anak yang dirawat dengan penyakit ginjal (tahun 1984-1988) menderita GGK. Di
RSCM Jakarta antara tahun 1991-1995 ditemukan GGK sebesar 4.9% dari 668 anak penderita
penyakit ginjal yang dirawat inap, dan 2.6% dari 865 penderita penyakit ginjal yang berobat
jalan. GGK pada anak umumnya disebabkan oleh karena penyakit ginjal menahun atau
penyakit ginjal kongenital. Angka kejadian di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo
Surabaya selama 5 tahun (1988-1992) adalah 0,07% dari seluruh penderita rawat tinggal di
bangsal anak dibandingkan di RSCM Jakarta dalam periode 5 tahun (1984-1988) sebesar
0,17%.

ETIOLOGI
Gagal Ginjal Terminal disebabkan oleh berbagai hal, terutama kelainan kongenital,
glomerulonefritis, penyakit multisistem, dan lain-lain. Kelainan kongenital, yang lebih banyak
dijumpai pada anak laki-laki pada usia lebih muda, menempati porsi terbanyak dari seluruh
kelainan kongenital, berkisar antara 13.3-35%. Oleh karena itu 50% penyebab GGT telah
dapat ditentukan antenatal.2

PATOFISIOLOGI
Penurunan fungsi ginjal yang progresif tetap berlangsung terus meskipun penyakit
primernya telah diatasi atau telah menjadi tidak aktif. Hal ini menunjukkan adanya
mekanisme adaptasi sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang sedang berlangsung
pada penyakit ginjal kronik. Bukti lain yang menguatkan adanya mekanisme tersebut ialah
adanya gambaran histologik ginjal yang sama pada penyakit ginjal kronik yang disebabkan
oleh penyakit primer apapun. Perubahan dan adaptasi nefron yang tersisa setelah kerusakan
ginjal yang awal akan menyebabkan pembentukan jaringan ikat, dan kerusakan nefron yang
lebih lanjut. Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir
dengan gagal ginjal terminal.6
4

Penyakit primer ginjal

Glomerulosklerosis Jumlah nefron berkurang

Hiperfiltrasi Protein flux Kerusakan sel


glomerulus meningkat glomerulus

Diabetes
Hipertensi

Tekanan dan aliran kapiler


meningkat

Gambar 1. Siklus terjadinya gagal ginjal progresif.

(Dikutip dari: Wassner SJ, Baum M (1999). Chronic Renal Failure. Physiology and Management. In:
Barratt TM, Avner ED, Harmon WE, editors. Pediatric Nephrology, 4th edition. Baltimore: Lippincott
Williams & Wilkins, pp. 1155-82)

MANIFESTASI KLINIK
Anak-anak dengan GGK datang ke dokter dengan berbagai keluhan, yang
berhubungan dengan penyakit utamanya, atau sebagai konsekuensi akibat pnurunan fungsi
ginjalnya. Awal GGK biasanya tanpa gejala, atau hanya menunjukkan keluhan-keluhan yang
tidak khas seperti sakit kepala, lelah, letargi, nafsu makan menurun, muntah, gangguan
pertumbuhan. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai anak yang tampak pucat, lemah,
5

hipertensi. Keadaan tersebut dapat berlangsung menahun, dan perburukan terus berlangsung
secara tersembunyi, dimana gejala akan bermunculan setelah anak memasuki stadium gagal
ginjal terminal.
Uremia adalah sindrom toksik yang disebabkan oleh kerusakan glomerulus yang
berat, yang disertai dengan gangguan fungsi tubulus dan fungsi endokrin ginjal.
Gejala klinis GGK merupakan manifestasi dari:
1. kegagalan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. menumpuknya toksin uremia yang merupakan metabolit toksik.
3. gangguan fungsi hormon yaitu berkurangnya eritropoietin dan vitamin D3 (1,25 dihidroksi
vitamin D3).
4. gangguan respon dari end organ terhadap hormon pertumbuhan.

INVESTIGASI
Kadang-kadang sulit membedakan apakah anak menderita GGA yang reversible, atau
GGK. Oleh karena itu sebaiknya dikenal kriteria atau indikasi kapan seorang anak harus
segera dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis (lihat Tabel 2.)

Table 2. Indications for transfer to a specialist pediatric nephrology centre.


Symptomatic electrolyte abnormalities
Hyperkalemia: K+ > 6 mmol/l
Hypernatremia, hyponatremia
Metabolic acidosis
Hypocalcemia, hyperphosphatemia
Severe hypertension
Pulmonary edema
Anuria/oligouria
(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children.
In: Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd edition. Oxford:
Oxford University Press Inc., pp. 427-45)

Anamnesis dan pemeriksaan fisik penting untuk mengungkap penyebab gagal ginjal,
meskipun pada beberapa anak hal tersebut baru bisa diungkapkan melalui pemeriksaan2 yang
spesifik (Table 3.). Table 4 menunjukkan gejala2 yang dapat membantu membedakan GGA
dan GGK, dan Table 5 menunjukkan pemeriksaan2 untuk menetapkan tingkat keparahan dan
lamanya GGK.
6

Table 3. Specific investigations to elucidate the underlying cause of chronic renal failure.
Renal tract ultrasound
Micturating cystourethrogram
Radio-isotope scans: DMSA, MAG3, or DTPA
Antegrade pressure flow studies
Intravenous urogram
Urinalysis
Urine microscopy and culture
C3, C4, antinuclear antibody, anti-DNA antibodies, anti-GBM antibodies, ANCA
Renal biopsy
White cell cystine level
Oxalate excretion
Purine excretion
(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children.
In: Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd edition. Oxford:
Oxford University Press Inc., pp. 427-45)

Table 4. Features suggestive of acute and chronic renal failure.


Acute renal failure Chronic renal failure
Previously healthy Family history of renal disease
Normal or slightly enlarged kidneys on ultrasound Small/asymmetric kidneys, cystic kidneys,
abnormal collecting systems, ureters, and
bladder on ultrasound
Microangiopathic hemolytic anemia, Normochromic, normocytic anemia
thrombocytopenia End-organ effects of hypertension, e.g.
retinopathy
Poor growth
Radiological evidence of rickets or secondary
hyperparathyroidism
(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children.
In: Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd edition. Oxford:
Oxford University Press Inc., pp. 427-45)

Table 5. Investigations to assess the severity and duration of CRF


Full blood count
Biochemistry Blood electrolyte, urea, creatinine, calcium,
phosphate, alkaline phosphatase, total protein,
albumin, urate
GFR Of less value in severe chronic renal failure
Left hand and wrist X-ray For bone age and evidence of renal
osteodystrophy
Chest X-ray
ECG or echocardiogram To asses left ventricular hypertrophy
(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children.
In: Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd edition. Oxford:
Oxford University Press Inc., pp. 427-45)

TERAPI KONSERVATIF
Tujuan terapi konservatif gagal ginjal pra-terminal, adalah:
1. Anak merasa sehat, tidak ada keluhan atau rasa sakit yang disebabkan oleh uremia, seperti
misalnya mual, muntah.
7

2. Merasa normal, seperti teman-temannya, mempunyai cukup energi untuk berpartisipasi


dalam kegiatan sekolah dan aktivitas sosial lainnya; sehingga dapat mencapai
pertumbuhan motorik, sosial, dan intelektual yang optimal.
3. Mempertahankan pertumbuhan fisik yang normal.
4. Mempertahankan agar fungsi keluarga berjalan seperti biasanya.
5. Memperlambat progresivitas penurunan LFG.
6. Mempersiapkan anak dan keluarganya untuk menghadapi keadaan gagal ginjal terminal.

Nutrisi
Malnutrisi energi protein seringkali ditemukan pada anak-anak dengan GGK.
Patogenesis terjadinya malnutrisi ini multifaktorial. Faktor-faktor tersebut, antara lain adalah
anoreksia, diet protein yang rendah, proses katabolisme akibat uremia yang menyebabkan
pemecahan protein otot dan inhibisi sintesis protein, sekresi kortisol dan hormon paratiroid
yang meningkat, resistensi insulin, asidosis metabolik, dan toksin uremia lain. Pada pasien
yang mendapat terapi dialisis, terjadi pembuangan asam amino, peptida dan protein melalui
dialisis, dan proses katabolisme pada hemodialisis yang akan memperberat malnutrisinya.
Bila nutrisi tidak diperhatikan, pasien gagal ginjal akan jatuh dalam keadaan
malnutrisi, dan anak-anak akan mengalami gagal tumbuh. Terapi nutrisi, berperan dalam
menghambat kecepatan penurunan fungsi ginjal dan akan dapat meningkatkan perasaan well-
being serta pertumbuhan. 7
Intake nutrisi yang direkomendasikan untuk anak-anak dengan GGK hendaklah
memperhatikan hal-hal berikut:
1. Asupan nutrisi sebaiknya dipantau melalui cara penilaian diet secara prospektif 3 hari
berturut-turut 2 kali setahun, dan lebih sering bila ada indikasi klinik.
2. Anak-anak dengan GGK cenderung kehilangan nafsu makan dan seringkali mendapatkan
intake dibawah kebutuhan yang dianjurkan. EAR adalah estimasi kebutuhan rata-rata
energi, protein, vitamin, mineral. Kriteria ini dipakai untuk menggantikan Recommended
Daily Allowance (RDA), yang didefinisikan sebagai kecukupan kebutuhan nutrisi untuk
anak sehat dengan jenis kelamin, tinggi badan dan umur yang sama. Asupan energi
kurang dari 80% dari RDA telah terbukti berasosiasi dengan gagal tumbuh (Rizzoni
1984), yang dapat dipulihkan dengan meningkatkan energi menjadi 100% RDA. Asupan
energi berlebih tidak memberikan manfaat, kecuali pada anak-anak dengan ratio berat
terhadap tinggi badan yang rendah, yang membutuhkan asupan energi sampai 120%
RDA. Untuk mencapai EAR yang sesuai umur dan energi, sebagian besar anak dengan
GGK membutuhkan suplemen kalori dalam bentuk polimer glukosa atau emulsi lemak,
8

dimana pada bayi dan anak-anak kecil, diperlukan nutrisi tambahan melalui pipa
nasogastrik.8
3. Untuk mencegah atau mengobati hiperparatiroidisme sekunder, kadar fosfat plasma harus
dipertahankan antara mean dan -2SD untuk umurnya, dengan cara membatasi diet fosfat
dan pemakaian kalsium karbonat sebagai pengikat fosfat.9 Sumber fosfat terbanyak
adalah susu, keju dan yoghurt.
4. Pada binatang coba, diet rendah protein terbukti mampu menghambat laju penurunan
fungsi ginjal. Pada anak-anak, yang kebutuhan proteinnya lebih tinggi untuk
pertumbuhannya, restriksi protein ternyata tidak bermanfaat dalam menghambat laju
penurunan fungsi ginjal,10 dan bahkan akan mengakibatkan gagal tumbuh.11 Anak-anak
dengan GGK sebaiknya memperoleh asupan protein minimum sesuai EAR for age (lihat
tabel). Tetapi bila kadar urea darah anak tetap diatas 120 mg/dl, barulah dilakukan
restriksi protein secara bertahap sampai kadar ureumny menurun. Restriksi protein tidak
perlu diberlakukan bila protein telah mencapai 6% dari kebutuhan total kalori. Beberapa
penelitian mengenai pemberian diet protein yang dicampur dengan asam amino essensial
atau analog ketoasidnya menunjukkan perbaikan keadaan umum, perbaikan pertumbuhan
dan fungsi ginjal, namun diet ini sangat kompleks, mahal, rasanya tidak enak, dan belum
ada penelitian yang membuktikan bahwa diet ini lebih unggul dibanding kelompok
kontrol dengan makanan yang kurang kompleks.6

Table 6. Recommended daily energy and nutrient intakes for children with chronic renal faliure.

Mean Energy Protein Sodium Calcium Phosphorus


Age weight EAR RNI RNI RNI
EAR (g) RNI (g)
(kg) (kcal) (mmol) (mg) (mg)
0-3 months 5.9 115/kg - 2.1/kg 9 525 400
4-6 months 7.7 100/kg 1.4/kg 1.6/kg 12 525 400
7-9 months 8.8 95/kg 1.3/kg 1.6/kg 14 525 400
10-12
9.7 95/kg 1.2/kg 1.5/kg 15 525 400
months
1-3 years 12.5 1230 11.7 14.5 22 350 270
4-6 years 17.8 1715 14.8 19.7 30 450 350
7-10 years 28.3 1970 22.8 28.3 52 550 450
11-14 years
Males 43 2220 33.8 42.1 70 1000 775
Females 43.8 1845 33.1 41.2 70 800 625
15-18 years
Males 64.5 2755 46.1 55.2 70 1000 775
Females 55.5 2110 37.1 45.4 70 800 625
Based on UK dietary reference values (Department of Health, 1991)
EAR, Estimated Average Requirement
RNI, Reference Nutrient Intake = EAR + 2 SD
(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children. In:
Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd edition. Oxford: Oxford
University Press Inc., pp. 427-45)
9

Keseimbangan air dan elektrolit


Penilaian secara klinik adanya dehidrasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan turgor
kulit, kekeringan mukosa, tekanan darah, tekanan vena juguler, dan berat badan, yang harus
selalu dilakukan pada setiap kunjungan. Anak dengan uropati obstruktif atau displasia ginjal
umumnya cenderung menderita kekurangan garam natrium dan kalium, yang akan
mengganggu pertumbuhannya. Suplemen natrium khlorida sebaiknya diberikan pada kasus-
kasus tersebut dengan pemantauan ketat terhadap pertumbuhan, sembab, hipertensi, atau
hipernatremia. Kebutuhan air disesuaikan dengan jumlah urine yang keluar.
Anak-anak dengan penyakit ginjal primer yang menimbulkan hipertensi, dianjurkan
untuk membatasi asupan natrium dan air.
Sebagian besar anak dengan GGK mampu mempertahankan homeostasis kalium. Bila
terjadi hiperkalemia, perlu dipikirkan apakah tidak ada obat2an seperti misalnya ACE
inhibitors, katabolisme, atau asidosis metabolik, sebagai penyebabnya, sebelum membatasi
asupan kalium atau memberikan kalium exchange resin.

Keseimbangan asam basa


Metabolik asidosis yang menetap seringkali menyebabkan gagal tumbuh pada bayi
dan menimbulkan demineralisasi tulang, serta hiperkalemia. Untuk mempertahankan
keseimbangan asam basa perlu diberikan suplemen natrium bikarbonat dimulai dari dosis 2
mmol/kg/hari, dengan pemantauan pH dan kadar bikarbonat pada analisis gas darahnya.

Osteodistrofi Renal
1. Kadar hormon paratiroid (PTH) meningkat dan kadar 1,25 dihydroxycholecalciferol
menurun, sejak mulai terjadinya insufisiensi ginjal ringan, yaitu pada LFG 50-80
ml/menit/1.73m2. Kadar fosfat plasma merupakan sebab utama terjadinya
hiperparatiroidisme sekunder. Fosfat mengatur sel paratiroid secara independen pada
kadar calcium serum dan kadar 1,25-dihydroxycholecalciferol endogen. Oleh
karenanya kontrol terhadap fosfat plasma adalah hal paling penting sebagai prevensi
dan terapi hiperparatiroidisme sekunder, meskipun hal tersebut paling sulit dicapai
dalam jangka panjang, oleh karena membutuhkan kepatuhan akan diet rendah fosfat
yang ketat and pemberian pengikat fosfat untuk mengurangi absorbsinya. Diet rendah
fosfat berarti membatasi intake susu sapi dan produknya. Bila kadar fosfat plasma
tetap diatas harga rata-rata untuk umur, pengikat fosfat misalnya kalsium karbonat
100 mg/kg/hari diberikan bersama makanan, dosis disesuaikan sampai kadar fosfat
plasma berada antara harga rata-rata dan -2SD sesuai umurnya. Kalsium asetat, dan
10

yang lebih baru, sevelamer (non-calcium/non-aluminium containing polymer) juga


merupakan pengikat fosfat yang bermanfaat.
2. Penurunan kadar fosfat plasma dapat meningkatkan kadar 1,25-
dihydroxycholecalciferol endogen dan kalsium ion, yang mampu menormalkan kadar
PTH. Namun, bila kadar PTH tetap tinggi dan kadar fosfat plasma normal, perlu
ditambahkan vitamin D3 hidroksilasi.
3. Tipe, dosis, frekuensi, dan rute pemberian vitamin D sebagai prevensi dan terapi
osteodistrofi renal masih merupakan kontroversi. Dianjurkan pemberian dosis rendah
1,25-dihydroxycholecalciferol 15-30 ng/kg/sekali sehari untuk anak-anak dengan
berat kurang dari 20 kg, dan 250-500 ng sekali sehari untuk anak-anak yang lebih
besar, untuk menaikkan kadar kalsium plasma sampai batas normal atas: bila kadar
PTH telah normal, 1,25-dihydroxycholecalciferol dapat dihentikan sementara.
Pemberian 1,25-dihydroxycholecalciferol secara intravena lebih efektif untuk
menurunkan kadar PTH, tetapi dapat menyebabkan adynamic bone, oleh karena 1,25-
dihydroxycholecalciferol pada dosis tinggi mempunyai efek antiproliferatif pada
osteoblast.
4. Kadar kalsium, fosfat, dan alkali fosfatase plasma hendaknya diperiksa setiap
kunjungan. Kadar PTH diukur setiap bulan, atau setiap kunjungan bila anak
melakukan kunjungan yang lebih jarang, dan terapi disesuaikan. Bila anak
asimtomatik dan parameter biokimia normal, hanya perlu dilakukan pemeriksaan
radiologi manus kiri dan pergelangan tangan setiap tahun untuk menilai usia tulang.

Hipertensi
Hipertensi dapat berasal dari penyakit ginjal primer, misalnya nefropati refluks,
penyakit ginjal polikistik autosomal resesif, atau karena GGK yang telah lanjut, akibat retensi
natrium dan air. Pengendalian tekanan darah pada GGK, bukan saja untuk mencegah
morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi itu sendiri, melainkan juga untuk mencegah
progresivitas penurunan fungsi ginjal. Bila tidak ada circulatory volume overload, sistolik dan
diastolik dalam pemeriksaan berulang lebih dari 90 persentil untuk umur, perlu diberikan
terapi antihipertensi untuk prevensi komplikasi hipertensi dan menghambat laju GGK. Bila
ada tanda-tanda circulatory volume overload sebagai penyebab hipertensi, diberikan diuretik
dari golongan furosemide dengan dosis 1-3 mg/kg dan diet rendah garam
11

Infeksi
Anak-anak dengan kelainan ginjal rentan mengalami infeksi saluran kemih berulang.
Bila menderita refluks vesiko-ureter perlu diberikan antibiotik dosis rendah sebagai
profilaksis.

Anemia
Anemia pada GGK adalah anemia normokromik normositer, karena produksi
eritropoietin yang tidak adekuat. Eritropoietin rekombinan (rHuEPO) telah dipakai secara
luas untuk mencegah anemia pada GGK. Disamping eritropoietin masih ada faktor lain yang
dapat mempermudah terjadinya anemia antara lain menurunnya daya survival sel darah
merah, inhibisi sumsum tulang terutama oleh PTH, kehilangan darah intestinal, dan paling
sering defisiensi besi dan folat.
Sebagian besar anak-anak dengan pra-GGT dapat mempertahankan kadar hemoglobin
tanpa bantuan terapi eritropoietin rekombinan, dengan cara pengaturan nutrisi yang baik,
suplemen besi dan folat, dan bila diperlukan supresi hiperparatiroid sekunder dengan
memakai pengikat fosfat yang tidak mengandung aluminium. Bila anemia tetap terjadi, dapat
diberikan eritropoietin rekombinan dengan dosis 50 unit/kg secara subkutan dua kali
seminggu, dosis dapat dinaikkan sesuai respon agar mencapai target hemoglobin 10-12 g/dl.
Kadar ferritin serum dipertahankan diatas 100 mcg/l agar tercapai suplemen besi yang
adekuat. Anak-anak dengan pra-GGT biasanya mendapatkan suplemen besi peroral,
sedangkan mereka yang telah dilakukan dialisis biasanya memerlukan suplemen besi secara
intra-vena.

Pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan indikator yang paing sensitif untuk terapi GGK yang
adekuat. Pengukuran tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, status pubertal, volume testes,
dan lingkar lengan atas sangat dianjurkan untuk dilakukan secara rutin, sehingga akan dapat
dideteksi secara dini setiap gangguan kecepatan pertumbuhan. Faktor-faktor yang
menyebabkan gangguan pertumbuhan adalah multifaktorial, seperti tercantum dalam tabel
dibawah ini.
12

Table 7. Possible factors contributing to growth retardation in chronic renal failure

Inadequate energy intake


Inappropriate protein intake
Disturbances of water and electrolyte balance, particularly sodium chloride deficiency and metabolic
acidosis
Renal osteodystrophy
Hypertension
Infection
Anemia
Hormonal abnormalities
Corticosteroid therapy
Psychosocial factors

(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children.
In: Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd edition. Oxford:
Oxford University Press Inc., pp. 427-45)

Pola pertumbuhan masing-masing anak dengan GGK dipengaruhi oleh umur anak,
umur saat onset GGK dan terapi yang diberikan. Pada anak normal, kecepatan pertumbuhan
maksimal selama tahun pertama kehidupan, pertumbuhan kemudian melambat selama masa
anak-anak, dan meningkat lagi dengan pubertal growth spurt. Pertumbuhan yang tidak
optimal pada salah satu atau kedua periode kritis tersebut akan mengakibatkan berkurangnya
tinggi badan akhir.
Anak-anak pra-pubertas dengan GGK yang tumbuh dibawah persentil ke-3
untuk umurnya akan menunjukkan respon yang baik terhadap hormon pertumbuhan
rekombinan dengan dosis supra-fisiologik.

Mempertahankan fungsi ginjal


Pada sebagian besar anak dengan GGK, fungsi ginjalnya akan terus menurun secara
progresif, meskipun penyakit ginjal primernya telah tidak aktif. Progresifitas GGK berkaitan
dengan kelainan histologinya yaitu glomerulosklerosis progresif, fibrosis interstitial, dan
sklerosis vaskuler atau arterioler.
Untuk mempertahankan fungsi ginjal yang berada pada suatu fase tertentu, dapat
dilakukan dengan cara-cara: pengendalian hipertensi, menghilangkan proteinuria, mencegah
terjadinya hiperparatiroidisme sekunder, dan diet protein yang cukup.
Berbagai penelitian baik invivo maupun invitro membuktikan bahwa lipid
mempunyai peran penting dalam progresivitas penyakit ginjal kronik. Gangguan metabolisme
lipid sering ditemukan pada GGK sehingga menimbulkan keadaan hiperlipoproteinemia,
kadar HDL menurun, LDL meningkat, dan VLDL kholesterol sangat menurun, disertai
hipertrigliseridemia, dan gangguan apolipoprotein. Hal ini disebabkan karena terjadinya
gangguan klirens lipoprotein LDL, dan menurunnya aktivitas lipolitik yang sebagian
13

disebabkan oleh hiperparatiroidisme sekunder dan resistensi insulin. Selain dengan


manipulasi diet, beberapa penelitian juga membuktikan manfaat penggunaan zat untuk
menurunkan kadar lipid darah terhadap perbaikan LFG dan aliran plasma ginjal.

Edukasi dan persiapan


Masa terapi konservatif GGK, merupakan saat terbaik untuk melaksanakan program
edukasi bagi pasien dan keluarganya, untuk menjelaskan tentang apa yang sebenarnya terjadi
sehingga mereka dan keluarganya akan ikut secara aktif dalam program pengobatan tersebut.
Masa tersebut juga dapat digunakan untuk mempersiapkan mereka menghadapi stadium gagal
ginjal terminal.
1. Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum anak masuk dalam stadium GGT:
2. Anak harus telah mendapatkan imunisasi lengkap sebelum dilakukan
transplantasi, setidak-tidaknya 3 bulan sebelum dimulainya TPG.
3. Anak-anak dengan GGK yang mengalami disfungsi buli-buli, misalnya buli-
buli neurogenik, atau katup uretra posterior harus diatasi terlebih dahulu
sebelum transplantasi dilakukan.
4. Anak-anak yang membutuhkan dialisis sebelum transplantasi, tetapi tidak
sesuai untuk dialisis peritoneal, hendaknya dibuatkan fistula arteri-vena untuk
akses hemodialisis.

TERAPI PENGGANTI GINJAL


Tujuan terapi Gagal Ginjal Terminal pada anak-anak tidak hanya untuk
memperpanjang hidup anak, namun juga untuk meningkatkan kualitas hidup secara
keseluruhan, dengan tujuan utama adalah kehidupan masa dewasa yang lebih baik.
Transplantasi ginjal yang berhasil merupakan terapi pilihan untuk semua anak dengan
gagal ginjal terminal. Transplantasi ginjal dapat dilakukan dengan donor ginjal yang berasal
dari keluarga hidup atau jenazah.
Dialisis merupakan pelengkap dari transplantasi yang diperlukan pada saat sebelum
atau antara transplantasi, dan bukanlah merupakan pilihan alternatif dari transplantasi. Ada 2
pilihan dasar yaitu hemodialisis atau dialisis peritoneal. Tetapi pilihan tidak selalu dapat
dilakukan, bila misalnya terdapat kesulitan untuk memperoleh akses fistula A-V, maka pilihan
hanyalah dialisis peritoneal, atau misalnya adanya adhesi intra-abdominal, maka dialisis
peritoneal tidak bisa dipilih, kecuali hemodialisis.
Seorang anak dipersiapkan untuk dilakukan transplantasi apabila laju filtrasi
glomerulus telah menurun sampai 10 ml/menit/1.73m2. Secara ideal sebenarnya adalah
melakukan transplantasi sebelum timbul gejala-gejala akibat gagal ginjal kronik dan sebelum
14

dialisis dibutuhkan. Tetapi hal tersebut jarang bisa dilakukan karena masa tunggu untuk
mendapatkan donor yang cocok tidak bisa dipastikan, masalah-masalah medis yang tidak
memungkinkan anak segera menjalani transplantasi, atau yang paling sering adalah
memberikan waktu yang cukup untuk pasien dan keluarganya guna mempersiapkan dan
menyesuaikan diri menghadapi situasi yang baru.
Indikasi untuk memulai dialisis adalah:
1. timbulnya gejala sindrom uremia berupa letargi, anoreksia, atau muntah yang
mengganggu aktivitas sehari-harinya.
2. gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam jiwa, misalnya
hiperkalemia yang tidak respon terhadap pengobatan konservatif.
3. gejala kelebihan cairan yang tidak dapat diatasi dengan terapi diuretik.
4. terjadi gagal tumbuh yang menetap meskipun telah dilakukan terapi konservatif yang
adekuat.

DIALISIS
Keuntungan dan kerugian dialisis peritoneal dan hemodialisis dapat dilihat pada tabel
di bawah ini. Di Inggeris, Amerika Serikat, dan banyak negara-negara lain, dialisis peritoneal
lebih banyak dilakukan pada anak-anak.
Hemodialisis adalah suatu teknik untuk memindahkan atau membersihkan solut
dengan berat molekul kecil dari darah secara difusi melalui membran semipermeabel.
Hemodialisis membutuhkan akses sirkulasi, yang paling baik adalah pembuatan fistula A-V
pada vasa radial atau brachial dari lengan yang tidak dominan.
Pada dialisis peritoneal, membran peritoneal berfungsi sebagai membran semi-
permeabel untuk melakukan pertukaran dengan solute antara darah dan cairan dialisat. Untuk
memasukkan cairan dialisat kedalam rongga peritoneum perlu dipasang kateter peritoneal dari
Tenckhoff. Ada 2 cara pelaksanaan dialisis peritoneal, yaitu:
1. Automated Peritoneal Dialysis (APD), dimana dialisis dilakukan malam hari dengan
mesin dialisis peritoneal, sehingga pada siang hari pasien bebas dari dialisis.
2. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dialisis berlangsung 24 jam sehari
dengan rata-rata pertukuran cairan dialisat setiap 6 jam sekali.
Meskipun hemodialisis dan dialisis peritoneal merupakan TPG yang efektif, angka
mortalitas dialisis lebih tinggi daripada transplantasi untuk semua kelompok umur.2
15

Tabel 8. Relative merits of peritoneal and haemodialysis


Peritoneal dialysis Haemodialysis

Technically easier to perform Can provide greater levels of small molecule mass
Avoids sudden shifts of fluid and metabolites tranfer
Preferable for young/small patients Only available in specialized centres
Can be performed at home and on holiday Usually requires greater fluid restriction
Minimizes fluid and dietary restrictions Relieves family of stress and responsibility
Associated with a less severe degree of anaemia Usually requires 3 X 3-5 hour session/week
High level of responsibility for principle care- depending on patient size
giver
Can lead to treatment fatique/burn-out
Less disruptive to daily routine
Facilitates regular school attendance

Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children. In: Webb NJA
and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd edition. Oxford: Oxford University
Press Inc., pp. 427-45.

TRANSPLANTASI
Merupakan terapi terbaik bagi anak-anak dengan gagal ginjal terminal oleh karena
akan memberikan rehabiltasi terbaik untuk hidup yang sangat mendekati wajar.4 Transplantasi
dilakukan dengan ginjal jenazah atau ginjal yang berasal dari keluarga hidup yang berusia
relatif lebih tua, biasanya dari orang tuanya.
Di Eropah pada tahun 1984-1993 hampir 21% anak yang berusia kurang dari
21 tahun mendapat ginjal dari donor hidup,12 sedangkan di Amerika Utara donor
hidup mencapai 50% dari seluruh donor yang diterima anak-anak yang berusia kurang
dari 21 tahun pada tahun 1987-2000.

PROGNOSIS
Angka kelangsungan hidup anak-anak dengan gagal ginjal kronik saat ini semakin
baik. Dari 1070 anak yang berumur kurang dari 18 tahun saat menerima ginjal donor jenazah
di Inggeris dan Irandia dalam periode 10 tahun (1986-1995): 91 (9%) meninggal dengan
penyebab kematian: 19% oleh karena infeksi, 4.5% lymphoid malignant disease, 4.5% uremia
karena graft failure.13 Sedangkan data dari Amerika Utara melaporkan angka kelangsungan
hidup 5 tahun setelah transplantasi donor hidup berkisar antara 80.8% pada anak-anak yang
berusia kurang dari 1 tahun saat ditransplantasi, sampai 97.4% pada anak-anak yang berusia
antara 6-10 tahun.14
Sebagai penutup ingin kami tekankan bahwa terapi GGK adalah seumur hidup,
meskipun telah dilakukan transpantasi ginjal. Tetapi masa depan mereka tidaklah seburuk
16

seperti yang dibayangkan, banyak diantara mereka sekarang telah berhasil dalam profesi dan
kehidupan keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaufman JM, DiMeola HJ, Siegel NJ, Lytton B, Kasgharian M, Hayslett JP (1974).Compensatory
adaptation of structure and function following progressive renal ablation. Kidney Int 6: 10-7.
2. Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children. In: Webb NJA
and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd edition. Oxford: Oxford University
Press Inc., pp. 427-45.
3. Trihono PP (1998). Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik pada Anak. In: Rauf S, Albar H, Adoe TH,
Hasanuddin A, editors. Naskah Lengkap Simposium Nasional Nefrologi Anak VII dan Pertemuan Ilmiah
Berkala Ilmu Kesehatan Anak VIII Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang: Ikatan
Dokter Anak Indonesia Sulawesi Selatan, pp 135-50.
4. Fine RN (1985). Renal transplantation for children the only realistic choice. Kidney Int 1: 15-7.
5. Hattori, S., K. Yosioka, et al. (2002). "The 1998 report of the Japanese National Registry data on
pediatric end-stage renal disease patients. Pediatr Nephrol 17(6): 456-61.
6. Wassner SJ, Baum M (1999). Chronic Renal Failure. Physiology and Management. In: Barratt TM,
Avner ED, Harmon WE, editors. Pediatric Nephrology, 4th edition. Baltimore: Lippincott Williams &
Wilkins, pp. 1155-82
7. Shaw V (1999). Nutritional management of renal disease. Paediatric Nursing 11(4):37-42.
8. Kari JA, Gonzales C, Ledermann SE, Shaw V, Rees L (2000). Outcome and growth of infants with
severe chronic renal failure. Kidney Int 57: 1681-7.
9. Rigden SPA (1996). The treatment of renal osteodystrophy. Pediatr Nephrol 10:653-5.
10. Wingen AM, Fabian-Bach C, Schaefer F, Mehls O, the European Study Group for Nutritional Treatment
of Chronic Renal Failure in Childhood (1997). Randomised multicenter study of a low protein diet on
the progression of chronic renal failure in children. Lancet 349: 1117-23.
11. Uauy RD, Hogg RJ, Brewer ED, Reisch JS, Cunningham C, Holliday MA (1994). Dietary protein and
growth in infants with chronic renal insufficiency: a report from the Southwest Pediatric Nephrology
Study Group and the University of California, San Francisco. Pediatr Nephrol 8: 45-50.
12. Suthanthiran M, Strom TB (1997). Immunoregulatory drugs: machanistic basis for use in organ
transplantation. Pediatr Nephrol 11: 651-7.
13. Johnson R, Belger M, Postlethwaite RJ, Rigde SPA, Verrier-Jones K for UKTSSA, Bristol and the
British Association for Paediatric Nephrology (1998). UKTSSA Paediatric Task Force report on factors
affecting paediatric transplant survival. Pediatr Nephrol 12: C61.
14. U.S. Scientific Registry for Transplant Recipients and the Organ Procurement and Transplant Network
(1997). The 1997 Annual Report of the U.S. Scientific Registry for Transplant Recipients and the Organ
Procurement and Transplant Network: 1998-1996 UNOS and DHSS, 101-94.

Anda mungkin juga menyukai