Tugas KGD
Tugas KGD
OLEH
NAMA :SYOFRIANI
NIM :1114202098
TAHUN 2013
Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan CKB
A. PENGERTIAN
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan
garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi decelerasi) yang
merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan
faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga
oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.
B. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi.
Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak
mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar
metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan
glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma
turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui
proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat,
hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob.
Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 60 ml / menit / 100 gr.
jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
2. Subdural Hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi
akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater,
perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam 2 hari atau 2 minggu dan
kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda-tanda dan gejalanya adalah : nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir
lambat, kejang dan udem pupil.
Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah
arteri; kapiler; vena.
Tanda dan gejalanya :
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegia kontra lateral, dilatasi
pupil, dan perubahan tanda-tanda vital.
3. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak,
hampir selalu ada pad cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala :
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk
A. PENGKAJIAN
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem persarafan sehubungan
dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada
organ vital lainnya. Data yang perlu didapati adalah sebagai berikut :
1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan, hubungan klien dengan
penanggung jawab.
2. Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah simetris /
tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor dari
hidung dan telinga dan kejang.
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem persarafan
maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang
mempunyai penyakit menular.
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data
ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.
3. Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15, disorientasi orang,
tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital kaku
kuduk, hemiparese.
Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak karena udema otak
atau perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII.
4. Pemeriksaan Penujang
CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan
ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia
jangan dilekukan pada 24 72 jam setelah injuri.
MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak
sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
CSF, Lumbal Punksi: Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial
Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrkranial
Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran.
Penatalaksanaan
Konservatif:
Bedrest total
Pemberian obat-obatan
Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
Prioritas Perawatan:
1. Maksimalkan perfusi / fungsi otak
2. Mencegah komplikasi
3. Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal
4. Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga
5. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi.
Tujuan:
1. Fungsi otak membaik : defisit neurologis berkurang/tetap
2. Komplikasi tidak terjadi
3. Kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi sendiri atau dibantu orang lain
4. Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan
5. Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh keluarga sebagai
sumber informasi.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan yang biasanya muncul adalah:
1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.
2. Tidakefektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum.
3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak
4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos coma)
5. Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya
sirkulasi perifer.
C. INTERVENSI
Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.
Tujuan :
Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.
Kriteria evaluasi :
Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda hipoksia tidak ada dan
gas darah dalam batas-batas normal.
Rencana tindakan :
Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. pernapasan yang cepat dari pasien dapat
menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa Co2 dan
menyebabkan asidosis respiratorik.
Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian tidal volume.
Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih panjang dari
inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan
pertukaran gas.
Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat mengeringkan sekresi / cairan
paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan resiko infeksi.
Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak
adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat.
Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu membarikan ventilasi yang adekuat
bila ada gangguan pada ventilator.
Rencana tindakan :
Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat disebabkan
pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah terhadap tube.
Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan yang simetris dan suara
napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya penumpukan sputum.
Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum banyak. Pengisapan
lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia.
Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru dan
memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum.
Reaksi pupil digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan untuk menentukan refleks batang
otak.
Pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda awal peningkatan tekanan
intracranial adalah terganggunya abduksi mata.
Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan pengukuran urin dan hindari
konstipasi yang berkepanjangan.
Dapat mencetuskan respon otomatik penngkatan intrakranial.
Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga lingkungan yang aman dan
bersih.
Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk menjaga hubungan klien keluarga. Penjelasan perlu
agar keluarga dapat memahami peraturan yang ada di ruangan.
Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan.
Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan.
Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya
sirkulasi perifer.
Tujuan :
Gangguan integritas kulit tidak terjadi
Rencana tindakan :
Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk menetapkan kemungkinan
terjadinya lecet pada kulit.
Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.
Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk daerah yang menonjol.
Ganti posisi pasien setiap 2 jam
Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan memudahkan terjadinya
kerusakan kulit.
Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali.
Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang.
Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8 jam.
Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 8 jam dengan menggunakan
H2O2.
PENGERTIAN
Ruptur uretra adalah ruptur pada uretra yang terjadi langsung akibat trauma dan
kebanyakan disertai fraktur tulang panggul, khususnya os pubis (simpiolisis).
GAMBARAN KLINIK
PENATALAKSANAAN
- Pada ruptur anterior yang partial cukup dengan memasang kateter dan melakukan drainase bila
ada.
- Pada anterior ruptur yang total hendaknya sedapat mungkin dilakukan penyambungan dengan
membuat end-to-end, anastomosis dan suprapubic cystostomy.
- Pada ruptur uretra posterior yang total suprapubic cystostomy 6-8 minggu.
- Pada ruptur uretra posterior yang partial cukup dengan memasang douwer kateter.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
PEMERIKSAAN RADIOLOGIK
- Tampak adanya defek uretra anterior daerah bulbus dengan ekstravasasi bahan kontras uretografi
retrograd.
KOMPLIKASI
A. Komplikasi dini setelah rekonstruksi uretra
- Infeksi
- Hematoma
- Abses periuretral
- Fistel uretrokutan
- Epididimitis
B. Komplikasi lanjut
- Striktura uretra
- Khusus pada ruptur uretra posterior dapat timbul :
* Impotensi
* Inkontinensia
Syok adalah kondisi hilangnya volume darah sirkulasi efektif. Kemudian diikuti perfusi
jaringan dan organ yang tidak adekuat, yang akibat akhirnya gangguan metabolik selular. Pada
beberapa situasi kedaruratan adalah bijaksana untuk mengantisipasi kemungkinan syok. Seseorang
dengan cidera harus dikaji segera untuk menentukan adanya syok. Penyebab syok harus ditentukan
(hipovolemik, kardiogenik, neurogenik, atau septik syok).
Syok adalah suatu sindrom klinis kegagalan akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan
ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat gangguan mekanisme
homeostasis.
Syok hipovolemik diinduksi oleh penurunan volume darah, yang terjadi secara langsung
karena perdarahan hebat atau tudak langsung karena hilangnya cairan yang berasal dari plasma
(misalnya, diare berat, pengeluaran urin berlebihan, atau keringat berlebihan) (sherwood, )
Syok dapat didefinisikan sebagai gangguan sistem sirkulasi yang menyebabkan tidak adekuatnya
perfusi dan oksigenasi jaringan. Bahaya syok adalah tidak adekuatnya perfusi ke jaringan atau
tidak adekuatnya aliran darah ke jaringan. Jaringan akan kekurangan oksigen dan bisacedera.
B. Etiologi
Menurut Toni Ashadi, 2006, Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan
intravaskuler, misalnya terjadi pada:
1. kehilangan darah atau syok hemorargik karena perdarahan yang mengalir keluar tubuh seperti
hematotoraks, ruptur limpa, dan kehamilan ektopik terganggu.
2. trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah yang besar.
Misalnya: fraktur humerus menghasilkan 500-1000 ml perdarahan atau fraktur femur menampung
1000-1500 ml perdarahan.
3. kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein plasma atau
cairan ekstraseluler, misalnya pada:
a. Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis
b. Renal: terapi diuretik, krisis penyakit addison
c. Luka bakar (kompustio) dan anafilaksis
C. Manifestasi klinis
Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid,
besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan
tubuh merupakan faktor kritis respon kompensasi. Pasian muda dapat dengan mudah
mengkompensasi kehilangan cairan dengan jumlah sedang vasokontriksinya dan takikardia.
Kehilangan volume yang cukup besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia
lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat atau singkat.
Apabila syok talah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan hipovolemia,
penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali dalam beberapa menit. Tanda-
tanda syok adalah menurut Toni Ashadi, 2006 adalah:
1. Kilit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian kapiler selalu berkaitan
dengan berkurangnya perfusi jaringan.
2. Takhikardi: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respon homeostasis penting untuk
hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke homeostasis penting untuk
hopovolemia.peningkatan kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi mengurangi asidosis
jaringan.
3. Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah sistemik dan curah
jantung, vasokontriksi perifer adalah faktor yang esensial dalam mempertahankan tekanan darah.
Autoregulasi aliran darah otak dapat dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak dibawah 70
mmHg.
4. Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik. Oliguria pada orang
dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30ml/jam.
D. Patofisiologi
Tahap-tahap syok:
Karena sifat-sifat khas dari syok sirkulasi dapat berubah pada berbagai derajat keseriusan, Menurut
Guyton, (1997) syok dibagi dalam tida tahap utama yaitu:
a. Tahap nonprogresif (atau tahap kompensasi), sehingga mekanisme kompensasi sirkulasi normal
akhirnya akan menyebabkan pemulihan sempurna tanpa dibantu terapi dari luar.
b. Tahap progresif, ketika syok menjadi semakin buruk sampai timbul kematian.
c. Tahap ireversibel, ketika syok telah jauh berkembang sedemikian rupa sehingga semua bentuk
terapi yang diketahui tidak mampu lagi menolong penderita, meskipun pada saat itu, orang
tersebut masih hidup.
E. Penatalaksanaan
a. Pastikan jalan nafas pasien dan nafas dan sirkulasi dipertahankan. Beri bantuan ventilator
tambahan sesuai kebutuhan.
b. Perbaiki volume darah sirkulasi dengan penggantian cairan dan darah cepat sesuai ketentuan
untuk mengoptimalkan preload jantung, memperbaiki hipotensi, dan mempertahankan perfusi
jaringan.
1) Kateter tekan vena sentra dimasukkan dalam atau didekat atrium kanan untuk bertindak sebagai
petunjuk penggantian cairan. Pembacaan tekanan vena sentral kontinu (CVP) memberi petunjuk
dan derajat perubahan dari pembacaan data dasar; kateter juga sebagai alat untuk penggantian
volume cairan darurat.
2) Jarum atau kateter IV diameter besar dimasukkan kedalam vena perifer. Dua atau lebih kateter
mungkin perlu untuk penggantiaqn cairan cepat dan pengembalian ketidakstabilan hemodinamik;
penekanan pada penggantian volume.
a) Buat jalur IV diameter besar dimasukkan ke vena periver. Dua tau lebih kateter mungkin perlu
untuk penggantian cairan cepat dan pengembalian ketidakstabilan hemodinamik; penekanan pada
penggantian volume.
b) Ambil darah untuk spesimen; garis darah arteri, pemeriksaan kimia, golongan darah dan
pencocokan silang, dan hemtokrit.
c) Mulai infus IV dengan cepat sampai CVP meningkat pada tingkat pada tingkat yang
memuaskan diatas pengukuran dasar atau sampai terdapat perbaikan pada kondisi klinis pasien.
3) Infus larutan Ringer Laktat digunakan pada awal penangana karena cairan ini mendekati
komposisi elektrolit plasma, begitu juga dengan osmolalitasnya, sediakan waktu untuk
pemeriksaan golongan darah danm pencocockan silang, perbaiki sirkulasi, dan bertindak sebgai
tambahan terapi komponen darah.
4) Mulai tranfusi terapi komponen darah sesuai program, khususnya saat kehilangan darah telah
parah atau pasien terus mengalami hemoragi.
5) Kontrol hemoragi; hemoragi menyertai status syok. Lakukan pemeriksaan hematokrit sering
bila dicurigai berlanjutnya perdarahan.
6) Pertahankan tekanan darah sistolik pada tingkat yang memuaskan dengan memberi cairan dan
darah sesuai ketentuan.
c. Pasang kateter urine tidak menetap: catat haluaran urine setiap 15-30 menit, volume urine
menunjukkan keadekuatan perfusi ginjal.
e. Pertahankan surveilens keperawatan terus menerus terhadap pasien total-tekanan darah, denyut
jantung, pernafasan, suhu kulit, warna, CVP, EKG, hematokrit, Hb, gambaran koagulasi, elektrolit,
haluaran urine-untuk mengkaji respon pasien terhadap tindakan. Pertahankan lembar alur tentang
parameter ini; analisis kecenderungan menytakan perbaikan atau pentimpangan pasien.
f. Tinggikan kaki sedikit untuk memperbaiki sirkulasi serebral lebih baik dan mendorong aliran
darah vena kembali kejantung (posisi ini kontraindikasi pada pasien dengan cidera kepala).
Hindarkan gejala yang tidak perlu.
g. Berikan obat khusus yang telah diresepkan (misalnya inotropik seperti dopamen) untuk
meningkatkan kerja kardiovaskuler.
1) Terlalu panas menimbulkan vasodilatasi yang merupakan mekanisme kompensasi tubuh dari
vasokontriksi dan meningkatnya hilangnya caiiran karena perspirasi.
2) Pasien yang mengalami septik harus dijaga tetap dingin: demam tinggi meningkatkan efek
metabolik selular terhadap syok.
F. Komplikasi
G. Primari survay
Pemeriksaaan jasmaninya diarahkan kepada diagnosis cidera yang mengancam nyawa dan
meliputi penilaian dari A,B,C,D,E. Mencatat tanda vital awal (baseline recordings) penting untuk
memantau respon penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital,
produksi urin dan tingkat kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih rinci akan menyusul bila
keadaan penderita mengijinkan.
H. Skunderu survey
Harus segera dapat akses kesistem pembulu darah. Ini paling baik dilakukan dengan
memasukkan dua kateter intravena ukuran besar (minimun 16 gaguage) sebelum dipertimbangkan
jalur vena sentral kecepatan aliran berbanding lirus dengan empat kali radius kanul, dan
berbanding terbalik dengan panjangnya (hukum poiseuille). Karena itu lebih baik kateter pendek
dan kaliber besar agar dapat memasukkan cairan terbesar dengan cepat.
Tempat yang terbaik untuk jalur intravena bagi orang dewasa adalah lengan bawah atau pembulu
darah lengan bawah.
Kalau keadaan tidak memungkunkan pembulu darah periver, maka digunakan akses
pembulu sentral (vena-vena femuralis, jugularis atau vena subklavia dengan kateter besar) dengan
menggunakan tektik seldinger atau melakukan vena seksi pada vena safena dikaki, tergantung
tingkat ketrampilan dokternya. Seringkali akses vena sentral didalam situasi gawat darurat tidak
bisa dilaksanakan dengan sempurna atau pu tidak seratus persen steril, karena itu bila keadaan
penderita sedah memungkinya, maka jalur vena sentral ini harus diubah atau diperbaiki.
Juga harus dipertimbangkan potensi untuk komplikasi yang serius sehubungan
dengan usaha penempatan kateter vena sentral, yaitu pneumo- atau hemotorak, pada penderita
pada saat itu mungkin sudah tidak stabil.
Pada anak-anak dibawah 6 tahun, teknik penempatan jarum intra-osseus harus dicoba
sebelum menggunakan jalur vena sentral. Faktor penentu yang penting untuk memilih prosedur
atau caranya adalah pengalaman dan tingkat ketrampilan dokternya.
Kalau kateter intravena telah terpasang, diambil contoh darah untuk jenis dan crossmatch,
pemerikasaan laboratorium yang sesuai, pemeriksaan toksikologi, dan tes kehamilan pada wanita
usia subur. Analisis gas darah arteri juga harus dilakukan pada saat ini. Foto torak haris diambil
setelah pemasangan CVP pada vena subklavia atau vena jugularis interna untuk mengetahui
posisinya dan penilaian kemungkinan terjadinya pneumo atau hemotorak.
I. Tersieri survey
Terapi awal cairan
Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan ini mengisi intravaskuler
dalam wakti singkat dan juga menstabilkan volume vaskuler dengan cara menggantikan
kehilangan cairan berikutnya kedalam ruang intersisial dan intraseluler. Larutan Ringer Laktat
adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua. Walaupun NaCL fisiologis
merupakan pengganti cairan terbaik namun cairan ini memiliki potensi untuk terjadinya asidosis
hiperkloremik. Kemungkinan ini bertambah besar bila fungi ginjalnya kurang baik.
* sebagai laktat
: sebagai asetat
J. Diagnosa
1. Gangguan pola nafas tidak efektif b/d penurunan ekspansi paru.
2. Perubahan perfusi jaringn b/d penurunan suplay darah ke jaringan.
3. Nyeri b/d trauma hebat.
4. Gangguan keseimbangan cairan b/d mual, muntah.
5. Gangguan pola eliminasi urine b/d Oliguria.
6. Kurangnya pengetahuan b/d kurangnya informasi mengenai pengobatan.
PENGERTIAN
Rongga abdomen merupakan suatu rongga dengan dukungan bagian belakang oleh susunan
tulang belakang torako-lumbo-sakralis dengan seluruh rongga yang diliputi otot dan jaringan
pengikat yang relatif rentan terhadap trauma, bila dibandingkan dengan kerangka dada. Dibagian
atas terdapat diaphragma dan dibawah didasari oleh diaphragma pelvis yang tersangga oleh
kerangka pelvis. Bagian sisi dari muka seluruhnya di bentuk oleh otot, yang kekuatannya sangat
relatif tergantung atas derajat beban yang diberikan secara rutin terhadap otot tersebut. Akibat dari
konstruksi pelindung rongga abdomen ini, organ yang terdapat didalam rongga abdomen menjadi
sangat rentan terhadap trauma baik trauma tajam maupun trauma tumpul, trauma yang relative
Ringan sudah cukup untuk menimbulkan kerusakan organ intra-torakal, namun tanpa ditangani
secara cepat dan tepat, akan mampu menyebabkan keadaan fatal.
1. Perdarahan akibat trauma yang merusak hepar, limfa, aorta atau vena abdominalis, pembuluh
darah besar dari mesenterium, mesokolon dan omentum, dan kerusakan organ retroperitoneal.
2. Peritonitis difusa akibat tercecernya isi usus kedalam rongga peritoneum akibat kebocoran usus.
3. Diseminasi urine akibat kerusakan ginjal dan kandung kencing.
Patofisiologi
Trauma abdomen secara garis besar terbagi atas trauma tajam, trauma tembakan peluru dan trauma
tumpul. Trauma tajam atau tusukan benda tajam memberi jejas pada kutis dan subkutis, bila lebih
dalam akan melibatkan otot abdomen, dan tusukan lebih dalam akan menembus peritoneum dan
mampu mencederai organ intraperitoneal atau mungkin langsung mencederai organ retroperitoneal
bila trauma berasal dari arah belakang. Sangat jarang ditemui trauma tajam yang menembus dari
muka sampai belakang dinding abdomen atau sebaliknya. Trauma tajam dinding abdomen akan
menimbulkan perdarahan in situ, bila trauma menembus peritoneum, mungkin terdapat polas
omentum. Trauma tajam dapat dengan mudah mencederai hepar, mesenterium dan mesokolon,
gaster, pancreas atau buli-buli, namun karena sifat mobilitasnya, jarang mencederai usus halus,
kolon, limpa dan ginjal. Akibat dari trauma tajam pada umumnya adalah perdarahan yang
terpantau, atau bila yang terkena cedera adalah gaster, akan didapati penyebaran asam lambung
dalam rongga peritoneum, yang akan memberi perangsangan yang cukup hebat, berupa tanda-
tanda peritonitis. Keadaan agak lain pada trauma tembus peluru, dimana kerusakan organ agak
Complicated, karena dimungkinkan timbulnya kerusakan multi-organ. Akibat kecepatan tembus
peluru dan perputaran yang terjadi, luka yang terjadi berupa laserasi yang lebih besar dari diameter
peluru. Bila terjadi penembusan diameter abdomen, dimungkinkan terjadinya kerusakan organ
intraperitoneal maupun retroperitoneal sekaligus. Dalam keadaan tersebut, selain perdarahan,
sering ditemukan juga perforasi usus yang multipel, dan perdarahan luas retroperitoneal. Trauma
tumpul dari arah muka, kerusakan umumnya terjadi akibat jepitan antara trauma dengan tulang
belakang lumbal. Keadaan yang sering dijumpai adalah perforasi gaster atau ruptura hepar.
Ruptura hepar dan limpa dijumpai pada keadaan adanya hepatomegali dan / atau splenomegali.
Ruptura buli-buli dijumpai, bila pada trauma tepat dimuka buli buli dalam keadaan penuh urine.
Penegakan Diagnosa
Trauma tajam dan trauma tembus peluru sangat mudah didiagnosa, yang perlu ditetapkan dengan
pasti adalah : apakah trauma tersebut menembus dinding abdomen. Trauma tumpul abdomen
memerlukan pemeriksaan fisik yang cermat, untuk menentukan adanya kerusakan organ
intraperitoneal. Perlu dibedakan adanya peritonitis atau reaksi peritonitis akibat tertumpahnya isi
usus atau darah dalam rongga peritoneum secara bebas, atau tanda-tanda peritonismus akibat
rangsangan perdarahan dinding perut atau perdarahan retroperitoneal. Bilamana secara klinis fisis-
diagnosis tidak diperoleh kepastian, perlu dibuat foto rontgen abdomen dalam posisi tegak atau
setengah duduk dan posisi lateral dekubitus, dengan harapan ditemukannya udara bebas atau
cairan bebas intraperitoneal. Dugaan perdarahan intraperitoneal didukung oleh lokasi trauma,
keadaan umum pasien, khususnya keadaan kadar hemoglobin dan hematokrit darah, dan bila
diperlukan pungsi dinding perut dengan kanula. Dugaan trauma ginjal, yang diantarannya
didukung dengan adanya hematuria, dapat dievaluasi dengan pembuatan nefrografi dengan kontras
intra vena (IVP) dan ruptura buli- buli, dapat dideteksi dengan sistografi, bila mana ditemukan
trauma tumpul suprasimfisis disertai tanda-tanda peritonitis, hematuria dengan diuresis yang relatif
sedikit.
Tindakan Penanggulangan
Evaluasi keadaan jantung-paru
Atasi keadaan syok serta perbaikan kondisi cairan dan balans elektrolit
Pasang kateter secara dauer
Eksplorasi luka/laparotomi pada semua kasus trauma tajam dan trauma tembus peluru,
dilaksanakan di kamar bedah, dalam narkose umum, dengan persiapan alat untuk laparotomi.
Eksplorasi luka untuk menyakinkan, apakah luka menembus peritoneum atau tidak, bila luka
menembus peritoneum, diteruskan tindakan eksplorasi laparotomi.
Eksplorasi laparotomi dilaksanakan terhadap trauma tumpul abdomen, bilamana jejas adanya
tanda-tanda perdarahan dan / atau udara bebas intra peritoneal.
Persiapan darah transfuse secukupnya dengan patokan kadar Hb minimal 10.
Kebijakan khusus :
Perdarahan arteri : dikuasai dengan ligasi
Perforasi usus/gaster : tertutup perforasi. Bila terdapat perforasi multipel usus, atau laserasi luas
dari usus/kolon, sebaiknya dilakukan reseksi sederhana sampai hemikolektomi, agar trauma
seminimal mungkin dan waktu operasi dipersingkat.
Ruptura hepar : dilakukan penjahitan sederhana sampai lobektomia hepar secukupnya.
Ruptura limpa : dilakukan splenektomi, penjahitan limpa tidak memuaskan, karena kerapukan
jaringan dan tingginya tingkat perdarahan.
Kerusakan pankreas : dicoba rekonstruksi, bila mana trauma mengenai kepala pankreas, bila
kerusakan dibagian badan pankreas kearah kauda, sebaiknya dilakukan reseksi pankreas.
Ruptura buli-buli : biasanya cukup dengan penjahitan sederhana
Ruptura ginjal : cenderung terapi konservatif, antibiotik dan hemostatikum. Dalam keadaan
Hancur Ginjal atau perdarahan progresif hilus ginjal, dipertimbangkan tindakan nefrektomi.
Prolaps omentum : tidak boleh sekali-kali memasukkan omentum bukan di kamar bedah dalam
kaitan dengan eksplorasi laparotomi
PENGERTIAN
Rongga toraks merupakan suatu rongga yang diisi oleh berbagai organ tubuh yang sangat
vital, diantarannya : jantung, paru, pembuluh darah besar. Rongga toraks dibentuk oleh suatu
kerangka dada berbentuk cungkup yang tersusun dari tulang otot yang kokoh dan kuat, namun
dengan konstruksi yang lentur dan dengan dasar suatu lembar jaringan ikat yang sangat kuat yang
disebut Diaphragma. Konstruksi kerangka dada tersebut diatas sangat menunjang fleksibelitas
fungsinya, diantaranya : fungsi perlindungan terhadap trauma dan fungsi pernafasan. Hanya
trauma tajam dan trauma tumpul dengan kekuatan yang cukup besar saja yang mampu
menimbulkan cedera pada alat / organ dalam yang vital tersebut diatas.
Patofisiologi
Trauma terhadap thoraks terdiri atas trauma tajam dan trauma tumpul. Pada trauma tajam, terdapat
luka pada jaringan kutis dan subkutis, mungkin lebih mencapai jaringan otot ataupun lebih dalam
lagi hingga melukai pleura parietalis atau perikardium parietalis. Dapat juga menembus lebih
dalam lagi, sehingga merusak jaringan paru, menembus dinding jantung atau pembuluh darah
besar di mediastinum. Trauma tajam yang menembus pleura parietalis akan menyebabkan kolaps
paru, akibat masuknya udara atmosfer luar kedalam rongga paru. Bila pleura viseralispun
tertembus, kemungkinan trauma tajam terhadap jaringan paru sangat besar, sehingga selain terjadi
penurunan ventilasi akibat hubungan pendek bronkho udara luar melalui luka tajam, mungkin
terjadi pula Hemoptoe massif dengan akibat akibatnya. Trauma tajam yang melukai perikardium
parietalis dapat menimbulkan tamponade jantung dengan tertimbunya darah dalam rongga
pericardium, yang akan mampu meredam aktivitas Diastolik jantung. Eksanguinasi akibat
tembusnya dinding jantung atau pembuluh darah besar di mediasternum, mampu menimbulkan
henti jantung dalam waktu 2 5 menit, tergantung derajat perdarahannya.
Satu jenis lain dari trauma tajam, yaitu trauma tertembus peluru. Fatalitas akibat trauma peluru ini
lebih besar dari jenis trauma tajam lainnya, karena faktor kerusakan jaringan yang lebih besar
akibat rotasi berkecepatan tinggi dari pleura, berakibat luka tembus keluar yang relatif lebih besar
dari luka tembus masuk. Trauma tumpul toraks, bila kekuatan trauma tidak cukup besar, hanya
akan menimbulkan desakan terhadap kerangka dada, yang karena kelenturannya akan mengambil
bentuk semula bila desakan hilang.
. Keadaan tersebut diatas, meskipun secara morfologis hanya di dapat fraktur sederhana
dan tertutup dari iga dalam kedudukan baik, namun mampu menimbulkan hematotoraks atau
pneumotoraks, bahkan tidak tertutup kemungkinan terjadi Tension Pneumotorax, karena terjadi
keadaan dimana alveoli terbuka, pleura viseralis dengan luka yang berfungsi Pentil dan luka
pleura parietalis yang menutup akibat desakan udara yang makin meningkat di rongga pleura.
Tension pneumotoraks selanjutnya akan mendesak paru unilateral, sehingga terjadi penurunan
Penegakkan diagnose
Tindakan penanggulangan
Emfisema Subkutis :
Tertuju pada penyebab utamanya. Dalam keadaan emfisema subkutis yang hebat, bila mana terjadi
penekanan leher dan gangguan pernafasan, dilakukan trakheostomi dan insisi kutis-subkutis.
Tension Pneumotoraks :
Secara darurat dengan menusukan jarum yang cukup besar kedalam rongga pleura untuk drainase
udara.
Pneumotoraks dan Hematotoraks :
Pada keadaan dimana terdapat gangguan ventilasi dan / atau kolaps paru, dipasang Water Sealed
Drainage dari rongga pleura (Drainage Kedap Air Rongga Pleura).
Flail Chest
Dapat dipasang filtrasi plester pada kutis dinding dada. Bila tidak berhasil, perlu dilakukan fiksasi
iga secara operatif.
Hemoperikardium
Yang menyebabkan Cardiac Distress akibat tamponade jantung dilakukan aspirasi darah untuk
tindakan sementara. Tindakan terpilih adalah segera dilakukan operasi torakotomi.
PENATALAKSANAAN STROKE
1. Pendahuluan
Stroke adalah masalah kesehatan global yang meningkat di masyarakat dan pusat pelayanan
kesehatan. Meskipun insiden stroke menurun dengan adanya peningkatan kesadaran dan
modifikasi gaya hidup dan faktor resiko seperti merokok dan hipertensi, jumlah total absolute terus
meningkat disebabkan oleh populasi yang menua dan peningkatan harapan hidup.
Banyak pedoman yang digunakan pada keperawatan gawat darurat dalam menangani stroke akut
berfokus pada identifikasi segera apakah pasien memenuhi syarat untuk trombolisis (rt-PA) waktu
pemberian pada pasien yang memenuhi criteria. Trombolisis bermanfaat bila bisa memilih pasien
dengan acute ischemic stroke dalam waktu 3 jam setelah gejala onset serangan terjadi dan banyak
penelitian terbaru merekomendasikan bahwa trombolisis aman digunakan dalam batas waktu 4,5
jam setelah gejala serangan.
Bagian terpenting dalam manajemen stroke akut dan penurunan stroke yang menyebabkan
kematian adalah mencegah komplikasi dalam waktu 24-48 jam pertama.
2. Bahan dan Cara Penelitian
Penelitian ini merupakan studi literature yang dilakukan di Deakin university autralia dengan
sampel 6 pedoman manajemen stroke akut. Pedoman yang digunakan adalah pedoman yang
evidence based guidelines yang kurang dari 10 tahun terakhir. Adapun pedoman yang direview
adalah :
1. Victorian department of human service (2007). Stroke care strategy for Victoria,
2. National stroke foundation (2007). National guidelines for acute stroke management.
Melbourne, National Stroke Foundation
3. American heart association / American stroke association (2007). Guidelines or early
management of adult with ischemic stroke.
4. Institute for clinical system improvement . (2008). Health are guideline : diagnosis and
initial treatment of ischemic stroke.
5. European stroke organization (2008). Guidelines for management of ischemic stroke and
transient ischaemic attack 2008
6. Royal college of physician (2004). National clinical guidelines for stroke.
Hal-hal yang direview adalah triage, evaluasi segera, pengkajian inisial/pertama, pengkajian dan
perujukan pada spesialis / unit stroke, pencegahan komplikasi.
1. Menyelidiki evidence yang berhubungan dengan asuhan keperawatan pada stroke akut
2. Identifikasi elemen evidence based perawatan stroke akut yang paling mudah diaplikasikan
pada keperawatan gawat darurat
3. Menggunakan rekomendasi evidence based stroke care untuk mengembangkan pedoman
untuk manajemen kegawatdaruratan stroke akut untuk hasil yang optimal.
3. Etiologi
Penyebab terjadinya stroke adalah :
a. Stroke Non Haemoragik
1). Trombosis
Trombosis merupakan penyebab stroke paling sering. Trombosis ditemukan pada 40% dari semua
kasus stroke yang telah dibuktikan oleh para ahli patologi. Biasanya ada kaitannya dengan
kerusakan lokal dinding pembuluh darah akibat aterosklerosis.
2). Embolus
Embolisme serebri termasuk urutan kedua dan merupakan 5-15% dari berbagai penyebab utama
stroke. Dari penelitian epidemiologi (community based) didapatkan bahwa sekitar 50% dari semua
serangan iskemia otak, apakah yang permanen atau yang transien, diakibatkan oleh komplikasi
trombotik atau embolik dari ateroma, yang merupakan kelainan dari arteri ukuran besar atau
sedang; dan sekitar 25% disebabkan oleh penyakit pembuluh darah kecil di intra cranial dan 20%
oleh emboli dari jantung (Lumbantobing, 2001). Penderita embolisme biasanya lebih muda
dibanding dengan penderita trombosis Kebanyakan emboli serebri berasal dari suatu thrombus
dalam jantung, sehingga masalah yang dihadapi sesungguhnya merupakan perwujudan penyakit
jantung.
b. Stroke Haemoragik
1). Perdarahan serebri
Perdarahan serebri termasuk urutan ketiga dari semua penyebab kasus gangguan pembuluh darah
otak dan merupakan persepuluh dari semua kasus penyakit ini. Perdarahan intrakranial biasanya
disebabkan oleh ruptura arteria serebri.
2). Pecahnya aneurisma
Biasanya perdarahan serebri terjadi akibat aneurisme yang pecah maka penderita biasanya masih
muda dan 20% mempunyai lebih dari satu aneurisme. Dan salah satu dari ciri khas aneurisme
adalah kecendrungan mengalami perdarahan ulang (Sylvia A. Price, 1995)
3). Penyebab lain (dapat menimbulkan infark atau perdarahan).
- Trombosis sinus dura
- Diseksi arteri karotis atau vertebralis
- Vaskulitis sistem saraf pusat
- Penyakit moya-moya (oklusi arteri besar intrakranial yang progresif)
- Migran
- Kondisi hyperkoagulasi
- Penyalahgunaan obat (kokain dan amfetamin)
- Kelainan hematologis (anemia sel sabit, polisitemia atau leukemia)
- Miksoma atrium.
Faktor Resiko :
- Yang tidak dapat diubah : usia, jenis kelamin pria, ras, riwayat keluarga, riwayat TIA atau stroke,
penyakit jantung koroner, fibrilasi atrium, dan heterozigot atau homozigot untuk homosistinuria.
- Yang dapat diubah : hypertensi, diabetes mellitus, merokok, penyalahgunaan obat dan alcohol,
hematokrit meningkat, bruit karotis asimtomatis, hyperurisemia dan dislidemia.
3. Patofisiologi
Otak sendiri merupakan 2% dari berat tubuh total. Dalam keadaan istirahat otak menerima
seperenam dari curah jantung. Otak mempergunakan 20% dari oksigen tubuh. Otak sangat
tergantung kepada oksigen, bila terjadi anoksia seperti yang terjadi pada CVA di otak mengalami
perubahan metabolik, kematian sel dan kerusakan permanen yang terjadi dalam 3 sampai dengan
10 menit (non aktif total). Pembuluh darah yang paling sering terkena ialah arteri serebral dan
arteri karotis Interna.
Adanya gangguan peredaran darah otak dapat menimbulkan jejas atau cedera pada otak melalui
empat mekanisme, yaitu :
1. Penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan penyempitan atau penyumbatan lumen
sehingga aliran darah dan suplainya ke sebagian otak tidak adekuat, selanjutnya akan
mengakibatkan perubahan-perubahan iskemik otak. Bila hal ini terjadi sedemikian hebatnya, dapat
menimbulkan nekrosis.
2. Pecahnya dinding arteri serebral akan menyebabkan bocornya darah ke kejaringan
(hemorrhage).
3. Pembesaran sebuah atau sekelompok pembuluh darah yang menekan jaringan otak.
4. Edema serebri yang merupakan pengumpulan cairan di ruang interstitial jaringan otak.
Konstriksi lokal sebuah arteri mula-mula menyebabkan sedikit perubahan pada aliran darah dan
baru setelah stenosis cukup hebat dan melampaui batas kritis terjadi pengurangan darah secara
drastis dan cepat. Oklusi suatu arteri otak akan menimbulkan reduksi suatu area dimana jaringan
otak normal sekitarnya yang masih mempunyai pendarahan yang baik berusaha membantu suplai
darah melalui jalur-jalur anastomosis yang ada. Perubahan awal yang terjadi pada korteks akibat
oklusi pembuluh darah adalah gelapnya warna darah vena, penurunan kecepatan aliran darah dan
sedikit dilatasi arteri serta arteriole. Selanjutnya akan terjadi edema pada daerah ini. Selama
berlangsungnya perisriwa ini, otoregulasi sudah tidak berfungsi sehingga aliran darah mengikuti
secara pasif segala perubahan tekanan darah arteri. Di samping itu reaktivitas serebrovaskuler
terhadap PCO2 terganggu. Berkurangnya aliran darah serebral sampai ambang tertentu akan
memulai serangkaian gangguan fungsi neural dan terjadi kerusakan jaringan secara permanen
4. Tanda dan Gejala
a. Vertebro basilaris, sirkulasi posterior, manifestasi biasanya bilateral :
- Kelemahan salah satu dari empat anggota gerak tubuh
- Peningkatan refleks tendon
- Ataksia
- Tanda babinski
- Tanda-tanda serebral
- Disfagia
- Disartria
- Sincope, stupor, koma, pusing, gangguan ingatan.
- Gangguan penglihatan (diplopia, nistagmus, ptosis, paralysis satu mata).
- Muka terasa baal.
b. Arteri Karotis Interna
- Kebutaan Monokular disebabkan karena insufisiensi aliran darah arteri ke retina
- Terasa baal pada ekstremitas atas dan juga mungkin menyerang wajah.
c. Arteri Serebri Anterior
- Gejala paling primer adalah kebingungan
- Rasa kontralateral lebih besar pada tungkai
- Lengan bagian proksimal mungkin ikut terserang
- Timbul gerakan volunter pada tungkai terganggu
- Gangguan sensorik kontra lateral
- Dimensi reflek mencengkeram dan refleks patologis
d. Arteri Serebri Posterior
- Koma
- Hemiparesis kontralateral
- Afasia visual atau buta kata (aleksia)
- Kelumpuhan saraf kranial ketiga hemianopsia, koreo athetosis
e. Arteri Serebri Media
- Mono paresis atau hemiparesis kontra lateral (biasanya mengenai lengan)
- Kadang-kadang heminopsia kontralateral (kebutaan)
- Afasia global (kalau hemisfer dominan yang terkena)
- Gangguan semua fungsi yang ada hubungannya dengan percakapan dan komunikasi
- Disfagia
5. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan umum 5 B dengan penurunan kesadaran :
1) Breathing (Pernapasan)
- Usahakan jalan napas lancar.
- Lakukan penghisapan lendir jika sesak.
- Posisi kepala harus baik, jangan sampai saluran napas tertekuk.
- Oksigenisasi terutama pada pasien tidak sadar.
6. Komplikasi
a. TIK meningkat
b. Aspirasi
c. Atelektasis
d. Kontraktur
e. Disritmia jantung
f. Malnutrisi
g. Gagal napas
7. Tindakan Pencegahan
Beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah :
a. Pembatasan makan garam; dimulai dari masa muda, membiasakan memakan makanan tanpa
garam atau makanan bayi rendah garam.
b. Khususnya pada orang tua, perawatan yang intensif untuk mempertahankan tekanan darah
selama tindakan pembedahan. Cegah jangan sampai penderita diberi obat penenang berlebihan dan
istirahat ditempat tidur yang terlalu lama.
c. Peningkatan kegiatan fisik; jalan setiap hari sebagai bagian dari program kebugaran.
d. Penurunan berat badan apabila kegemukan
e. Berhenti merokok
f. Penghentian pemakaian kontrasepsi oral pada wanita yang merokok, karena resiko timbulnya
serebrovaskular pada wanita yang merokok dan menelan kontrasepsi oral meningkat sampai 16
kali dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok dan tidak menelan pil kontrasepsi.
8. Dampak Masalah
a. Bagi Individu
1). Biologis
Penderita akan mengalami gangguan pernapasan akibat hilannya reflek batuk dan penurunan
kesadaran hingga terjadi akumulasi secret. Nyeri kepala akibat infark serebri yang luas, penurunan
kesadaran, gangguan kognitif, disorientasi, mual dan muntah, gangguan menelan, tidak bisa
menjalin komunikasi karena klien aphasia, terjadi konstipasi akibat tirah baring dan kurangnya
mobilisasi, dan dekubitus akibat tirah baring yang lama.
2). Psikologis
Cemas sedang akibat hemiparese, terutama pada penderita yang mempunyai beban tanggung
jawab pada keluarganya. Penderita dapat mengalami depresi disamping rasa rendah diri yang bisa
dipahami sebagai suatu reaksi emosional terhadap kemunduran kualitas dan keberadaannya.
3). Sosial
Apabila keadaan sakitnya sampai terjadi kelumpuhan dan gangguan komunikasi, klien akan
mengalami kesulitan untuk mengadakan interaksi dengan keluarga maupun masyarakat. Mungkin
juga klien akan menarik diri dari interaksi sosial karena merasa harga dirinya rendah dan merasa
tidak berguna.
4). Spiritual
Penderita mungkin akan mengalami kesulitan didalam melakukan kewajiban kepada Tuhan Yang
Maha Esa karena keterbatasannya. Mungkin juga penderita akan merasa bahwa Tuhan tidak adil
kepada dirinya akibat dari depresi. Penderita juga mengingkari dan menolak keberadaan dari Yang
Maha Kuasa.
b. Bagi keluarga
Penderita akan menjadikan beban bagi keluarga, karena keluarga yang sehat berupaya untuk
mencarikan biaya pengobatan, membantu memberikan perawatan, karena penderita sendiri sangat
tergantung dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Keluarga akan merasa cemas mengenai
keadaannya. Apabila penderita suami atau isteri mungkin menghadapi resiko depresi dan
perubahan emosional.
PEMBAHASAN
1. Triage :
Pasien dengan suspect stroke akut harus ditriage dengan pioritas yang sama dengan pasien
dengan acute myocardial infarction atau trauma serius berhubungan dengan beratnya defist yang
bisa terjadi. Waktu triage kurang dari 10 menit.
2. Evaluasi segera
Yang meliputi stroke scale scoring, brain imaging, mobilisasi ke tim stroke atau spesialis stroke.
AHA /ASA 2007 merekomendasikan bahwa pemeriksaan lengkap dan pengambilan keputusan
untuk pengobatan harus dilaksanakan dalam waktu 60 menit sejak pasien tiba di IGD.
Royal college of physician menyatakan bahwa pemeriksaan kepala harus dilaksanakan dalam
waktu 24 jam setelah serangan. Tetapi pemeriksaan brain imaging cyto harus dilaksanakan bila
pasien :
National stroke foundation dan the European stroke organization merekomendasikan pemeriksaan
CT kepala sesegera mungkin kurang dari 24 jam.
3. Pengkajian inisial :
1) Airway
Pengkajian jalan nafas meliputi mengkaji tingkat kesadaran, kemampuan berbicara, dan nil orally
status. Bila pasien mengalami penurunan kesadaran, lakukan airway support dengan endotracheal
intubation. Gangguan menelan meningkatkan kematian akibat stroke sehingga pasien dengan
gangguan menelan harus dipertahankan nil orally sampai aman saat menelan.
2) Breathing
Pengkajian breathing meliputi respiratory rate, usaha bernapas, saturasi oksigen,dan auskultasi
dada. Mengkaji saturasi oksigen penting pada pasien stroke akut. Saturasi oksigen yang menurun
dapat meningkatkan injury cerebral akibat stroke. Suplementasi oksigen hanya direkomendasikan
bila saturasi oksigen perifer tubuh lebih rendah dari 92%-95%. Pengunaan oksigen tambahan pada
pasien stroke tidak direkomendasikan karena tidak ada evidence manfaat dari oksigen pada
pasien stroke non hypoxia dan beberapa evidence hyperoksia meningkatkan injury serebral.
3) Circulation
Pengkajian sirkulasi meliputi mengkaji heart rate, tekanan darah, dan cardiac rhythm dengan
cardiac monitoring dan 12 lead EKG. Pada pasien dengan hipotensi akan menurunkan perfusi
cerebral dan potensial meningkatkan luasnya infark sehingga perlu cairan intravena yang agresif
dan atau pengobatan. Hipertensi umumnya diikuti dengan kejadian akut stroke sebagai respon
fisiologis peningkatan perfusi jaringan serebral karena keadaan iskemia serebral dan peningkatan
tekanan intra kranial. Penurunan tekanan darah yang agresif tidak direkomendasikan karena untuk
kompromi dalam mempertahan perfusi jaringan serebral. Hipertensi bisa disebabkan karena nyeri,
muntah, retensi urin dan hal ini harus ditangani terlebih dahulu.
Beberapa pedoman merekomendasikan penanganan pada hipertensi berat (TD sistolik >220 mmhg
atau TD diastolic > 120 mmhg) menggunakan pengobatan intravena yang dititrasi. Penggunaan
obat oral dan sublingual tidak direkomendasikan karena penggunaannya dapat menyebabkan
penurunan tekanan darah yang cepat dan tidak terkontrol.
Pasien dengan hipertensi yang boleh mendapat pengobatan trombolisis adalah dengan tekanan
darah sistolik 185 mmhg dan Td diastolic 110 mmhg sebelum trombolisis.
ECG diindikasikan pada pasien stroke untuk mengidentifikasi sumber emboli kardiogenik seperti
atrial fibrillation atau AMI dan gejala penyakit jantung sebelumnya. Ketidaknormalan gambaran
Eck terjadi pada 60% pasien dengan cerebral infarction dan 50% pada pasien dengan intracerebral
haemorragic. ECG dengan gelombang T inversion dapat terjadi pada 75% pasien dengan stroke
akut dan cardiac arrytmia sebagai hasil dari peningkatan tonus simpatik, penurunan tonus
parasimpatik dan pengeluaran katekolamin.
Bila terjadi hipertermi pada awal akut stroke akan meningkatkan kematian dan luasnya infark,
sehingga sangat penting perawat emergency melakukan monitor suhu dan memanajemen
hipertermia.
Pengkajian gula darah juga penting dilakukan untuk mengeksklusi adanya hipoglikemi sebagai
gejala mimic stroke. Kedua diabetes adalah faktor yang signifikan terjadinya stroke. Dan banyak
sekali pasien dengan DM tipe 2 tidak terdiagnosa. Ketiga Hiperglikemia diasosiasikan dengan
peningkatan luasnya ifark serebral dan outcome pasien yang buruk.
Beberpa komplikasi akibat stroke yaitu DVT (deep vein thrombosis) 25%-50%, PE (pulmonary
embolism), dan VTE (venous tromboembolism). Pencegahan VTE dilakukan dengan mobilisasi
awal, hidrasi secara adekuat, pemberian antitrombolitik, antiplatelet pada pasien ischemic stroke).
Meskipun elemen pedoman stroke biasanya merupakan refleksi dari keperawatan gawat darurat,
penting juga untuk mengenali tingginya level perpindahan atau pertukaran staff (staff keperawatan,
lulusan keperawatan dan mahasiswa keperawatan) yang memberikan pelayanan keperawatan pada
pasien sroke akut.
Dalam mengembangkan menejemen keperawatan gawat darurat pada pasien stroke,
jurnal ini merekomendasikan instrument yang dikembangkan pada bulan Juni 2007 dan direvisi
Januari 2009 yaitu Emergency Nursing Management of Acute Stroke. Instrument ini menjelaskan
bahwa triage adalah kunci utama dalam memulai pelayanan gawat darurat. Pasien dengan stroke
akut didahulukan seperti pada pasien dengan myocardial infraction. Evaluasi komplit dan
ketegasan penanganan seharusnya dilakukan 60 menit dimulai saat pasien masuk UGD. Perawat
gawat darurat memiliki peranan dalam menurunkan kematian akibat stroke yaitu dengan
pencegahan komplikasi pada 24-48 jam pertama setelah stroke. Pasien dengan suspek atau stroke
akut seharusnya ditriase sebagai kategori ke 2 TIA menggunakan criteria FAST untuk
mengidentivikasi stroke:
Merujuk ke tenaga kesehatan lain untuk pengkajian menelan, hidrasi dan nutrisi dan mobilitas
penting dilakukan dalam 24-48 jam setelah stroke terjadi.disfasgia terjadi pada 50% pasien stroke
akut dan menyebabkan komplikasi seperti aspirasi, pneumonia, dehidrasi dan malutrisi.
Dehidrasi pada stroke akut terjadi karena status pasien yang dipuasakan sampai pengkajian
kemampuan menelan selesai, gangguan menelan dan imobilitas dan status nutrisi pasien yang
buruk akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
Mobilisasi awal (<48 jam) mencegah komplikasi yang berhubungan dengan imobilitas (deep vein
thrombosis /DVT, joint disorder, kontraktur dan decubitus). Mobilisasi awal meningkatkan
outcome kesehatan yang positif pada pasien. Mobilisasi awal juga menurunkan komplikasi karena
imobilitas seperti pneumonia, DVT, emboli paru dan decubitus.juga ada evidence bahwa
mobilisasi awal setelah stroke menurunkan morbiditas dan mortalitas dan memperbaiki proses
penyembuhan fisiologis dengane menurunkan depresi dan ansiety.
Inkontinesia feses dan urin dapat terjadi karena kerusakan yang disebabkan stroke misalnya
kelemahan, kerusakan kognitif dan penurunan mobilitas.
Inkontinensia dapat dihubungkan dengna komplikasi stroke lainnya yaitu depresi yang dapat
mencetuskan terjadinya jatuh atau penyembuhan yang lama.pengkajian penyebab inkontinensia
sangat vital untuk target dan intervensi yang sesuai. Penggunaan kateter indwelling sebagai
manajemen inisial harus dihindari. 63% pemasangan kateter di IGD tidak memadai dan
penggunaan kateter menempatkan pasien pada resiko untuk terjadinya infeksi nasokomial sepsis
5. Pencegahan komplikasi:
Beberapa minggu pertama setelah stroke pasien beresiko mengalami DVT dan PE. PE adalah
penyebab ketiga penyebab kematian setelah stroke.faktor resiko DVT adalah penurunan mobilitas,
stroke severity, usia, dehidrasi, dan prophylaksis VTE yang terlambat. strategi untuk mencegah
VTE setelah stroke adalah mobilisasi awal, hidrasi yang adekuat, antitrombotic stocking dan
pemberian anti platelet therapy pada pasien dengan ischemic stroke.
IMPLIKASI KEPERAWATAN
Format manajemen keperawatan gawat darurat pada pasien dengan stroke akut:
Nama pasien :
Definisi :
Serangan gejala neurologis mendadak yang dapat berlangsung lebih dari 24 jam behubungan
dengan blockade pada pembuluh arteri otak atau perdarahan di dalam atau di sekitar otak
Triage :
AIRWAY
BREATHING
Frekuensi pernapasan, usaha bernapas, SpO2 (berikan oksigen tambahan bila SpO2 <92%),
auskultasi dada
CIRCULATION
Pemasangan IV line (pertimbangkan pemberian infuse bila ada tanda klinis dehidrasi/
mempertahankan cairan bila tidak ada masukan cairan per oral (dipuasakan) diskusikan dengan
dokter.
DISABILITY
Suhu
Airway/ breathing:
Circulation :
Disability :
Perawatan lanjutan
rekomendasi rasional
Vital sign (HR,RR, TD, Spo2, suhu) Hypoxia meningkatkan injury
serebral
Semua diobservasi setiap jam selama
Hipertermia pada stroke akit
4 jam pertama ( 2 jam bila normal)
meningkatkan resiko hasil yang
Lapor bila ada ketidaknormalan
buruk, kematian dan infark size
Lanjutkan observasi tiap jam bila ada
(luasnya infark)
ketidaknormalan
Identifikasi dan tangani penyebab
lain dari hipertensi (nyeri, muntah da
retensi urin)
Observasi neurologis:
Manajemen cairan:
Continence care:
CT kepala:
Aspirin < 48 jam dari serangan stroke
Cek CT kepala setelah pada saat di
akut menurunkan kematian awal dan
iGD atau setelah keluar dari igd (
kekambuhan stroke
lebih awal bila ada indikasi klinis)
Aspirin:
1. Bahwa penanganan stroke akut harus ditangani dengan segera dan dipandang sebagai suatu
kegawatdaruratan. Prosedur dan pedoman yang bisa diterapkan sudah terlampir diatas.
2. Perawat bertanggung jawab dalam melacak hasil pemeriksaan CT kepala dan menemani
dan mengantar pasien menjalani pemeriksaan T kepala
3. Perawat yang menangani kasus gawat darurat pada stroke mempunyai peran penting
dalam menurunkan mortalitas yang disebabkan stroke dengan mencegah komplikasi pada
24-48 jam setelah stroke.
4. Pemberian oksigen sering dikelola oleh perawat dalam situasi gawat darurat. Penggunaan
oksigen rutin pada stroke akut tanpa mempertimbangkan saturasi oksigen kemungkinan
berbahaya. Penting sekali untuk memasukkan protap penggunaan oksigen pada stroke akut.
5. Monitor tanda-tanda vital merupakan tanggung jawab perawat
6. Identifikasi dan manajemen masalah lain yang bisa menyebabkan hipertensi seperti nyeri,
muntah dan retensi urin adalah tanggung jawab perawat.
7. Sangat penting bagi perawat untuk memonitor suhu dan menangani hipertemia pada stroke
akut karena dampak hipertemia yang dapat meningkatkan kematian dan luasnya infark
pada stroke akut. Perawat harus mempertimbangkan dan menangani penyebab hipertermia
misalnya infeksi, tromboembolism dan kemungkinan pemberian atipiretik pada pasien
stroke akut yang demam.
8. Monitor gula darah dan kolaborasi dalam penanganan hiperglikemia adalah tanggung
jawab perawat karena hiperglikemia dapat sangat mempengaruhi outcome pasien yang
buruk.
9. Perawat harus bisa menentukan criteria kapan pemasangan kateter urinaria diperlukan dan
mengetahui resiko intervensi. Selain itu perawat juga harus mempertahankan teknik steril
dalam pemasangan kateter di ruangan rawat inap.
10. Peran perawat juga sangat penting dalam mencegah DVT dengan mobilisasi awal dan
mempertahankan balance cairan yang adekuat.