Anda di halaman 1dari 9

Adelia Agil Meilani

XI MIPA 7
01

Ia, Senjaku

Kucabut satu per satu kesepian di ruang kelas baruku ini. Kutatap
tajamnya sinar mentari pagi yang menembus kelambu biru langit di sampingku.
Aku duduk di bangku paling belakang. Kesunyian kelas membuatku termangu
dalam lamunan. Teringat sebelum aku berada di sekolah ini, aku akan berkawan.
Namun nyatanya, sudah tiga hari melewati proses perkenalan di depan kelas
dengan guru bidang studi yang berbeda aku masih seorang diri di sudut kelas
setiap jeda kelas - bahkan saat kelas sedang berlangsung.
Sudah kedua kalinya aku pindah sekolah. Begitu menyedihkan menjadi
orang asing untuk kedua kalinya. Seharusnya aku mendapat teman. Tapi kali ini
beda. Sendunya terasa kejam, khususnya di kelas ini. Aku terenyah duka melihat
sudut demi sudut kelas. Aku terasa ditahan oleh tombak-tombak penghalang, yang
mungkin akan berubah menjadi samurai dalam kediaman ini.
Aku mencoba menginjakkan kaki ke luar kelas. Suasana ramai dan
kerumunan orang-orang yang tengah asyik dengan topiknya masing-masing. Aku
masih berjalan, sendirian. Koridor kelas tampaknya tega melihatku jalan sendiri di
atasnya, berwajah kaku dan tak tentu arah, menyakitkan. Beberapa siswi
melihatku asing. Sedikit-sedikit, ada yang berbisik dengan wajah beragam - dari
yang penasaran sampai berkerut dahinya. Tak satu pun yang gemar menyapaku,
apalagi menyambut, runyam. Usahaku untuk melepas duri-duri kebosanan sedari
tadi tak berhasil. Aku ingin memulai percakapan sedang, tapi rasanya mereka tak
akan menghiraukanku.
Aku tertuju pada sebuah kursi panjang hitam di pinggir taman sekolah.
Sekolah ini memang luas dan lengkap. Tak salah Mama memilihkan sekolah yang
cukup memadai fasilitasnya untuk anak semanja diSongu. Aku duduk sendiri.
Semilir angin mengayunkan kain jilbabku pelan-pelan. Kubuka komik yang
kugulung di kantongku dan berusaha fokus pada ceritanya. Pikiranku melayang.
Bagaimana aku bisa betah hanya dengan ini? Pikirku yang tertuju pada lembaran
komik di jemaSongu. Aku bukanlah pendongeng ulung yang tahu akhir kisahku
ini. Duduk dan tak berkawan di tengah sini mengundang kegundahan hati. Aku
pemalu. Aku tak bisa memulai pertemanan. Aku kira mereka akan datang
kepadaku, nyatanya tidak sama sekali. Kesepian menumpuk menjadi lembaran
cerita yang tersusun dalam buku kehidupan. Mereka terlihat bahagia dengan
teman-temannya. Mereka, gadis-gadis sebayaku.
Kamu anak baru? tiba-tiba ada suara dari samping kiSongu. Sebelum
aku refleks menoleh, aku tahu itu suara laki-laki. Aku menoleh bisu. Di
sampingku duduk seorang lelaki. Pandangannya lurus ke depan - kami duduk di
kursi yang sama. Sesaat aku memicingkan mataku dan tersenyum menyambut
hadirnya. Agak ragu, kutelaah kembali dirinya, sekiranya mungkin dia
mengenalku. Tapi kurasa tidak. Mataku menangkap tiga bintang emas terbordir di
dasinya. Jelas, dia siswa kelas XII.
Iya. jawabku ragu. Aku masih bingung. Dia duduk agak berjarak jauh,
tapi kurasakan embusan napasnya melanjutkan pertanyaan.
Kelas XI Bahasa B, kan? tebaknya cepat.
Mengapa sendirian? Belum punya teman, ya? tanyanya lagi sebelum
kusempat membalas pertanyaan sebelumnya.
Aku terdiam. Rasa gundah yang menyerang lubuk hati seolah pergi senada
dengan datangnya anak laki-laki di sampingku ini. Rasanya aku bisa mulai
berkawan. Ini yang kutunggu, bukan?
Aku meringis di hadapannya. Tak satu pun kata yang dapat aku keluarkan.
Sekejap senyumnya mengembang, manis di sudut bibirnya. Aku masih terdiam
merasa minder tak berdaya.
Kenapa meringis? tanyanya singkat. Aku belum mengenalnya, aku
masih malu untuk membukan percakapan. Mulutku membeku, susah untuk
menjawab apalagi bertanya. Namaku Song, kelas dua belas, ungkapnya
menoleh ke arahku, yang sedari tadi bertatap ke depan. Tangannya berayun di
sampingku, ia ingin bersalaman.
Tanganku kaku. Kutoleh dengan senyuman dan berusaha membalas
tangannya dengan anggukan. Aku belum terbiasa bersalaman dengan seseorang
yang bukan mukhrim. Suasana menaSong rumpang hati yang kosong. Kucoba
untuk biasa, tapi tak bisa.
Namaku Ann, ucapku singkat. Aku memalingkan pandanganku ke
depan - lurus dengan gedung-gedung kelas XI.
Boleh berteman? tanya lelaki yang bernama Song itu.
Aku mengangguk tersenyum. Aku rasa ini saatnya aku membuka diri,
untuk tidak tertutup dan berkawan. Beberapa potong percakapan terurai diselingi
senyum ramah. Aku mengenal sosok Song hari ini, di kursi hitam taman sekolah.
Sesekali jarum-jarum gugup menjahit bibirku - sebab salah tingkah.
Jangan ragu, apalagi takut untuk memulai jalin ukhuwah. Bersaudara itu
menyenangkan. Mempunyai teman yang sejati itu seorang yang muncul di balik
pintu ketika yang lainnya pergi. Jika kamu tak memulai pertemanan yang baik itu,
bagaimana kamu punya teman sejati di balik pintu tadi? Mengerti, kan
maksudku? ucap Song.
Hatiku tersentuh ilalang nasihatnya. Aku sadar dengan itu semua. Aku
hanya mengangguk malu di sampingnya.
Perkenalan hari ini berakhir saat bel sekolah berbunyi nyaring di sebagian
tempat bersamaan. Sesalku terpaut dalam, saat aku berlalu darinya. Aku lupa
bertanya tentangnya. Sosok itu, tak pernah kabur dari benakku. Namanya, selalu
teringat setiap kali aku memulai hari.
Seminggu setelah perkenalan itu, aku tak pernah bertemu dirinya lagi. Tak
kutemukan lagi senyuman damai di taman sekolah seperti siang itu. Sering kali
aku mencoba duduk melamun di kursi yang sama. Aku menantinya di sini.
Semangatku redup. Hariku datar. Lagi-lagi aku teriris kesepian. Luka lama akan
sekolah yang membosankan ini kembali menggeluti hati. Aku kembali menjadi
anak baru yang asing.
Dua pekan berlalu, aku mulai mengenal banyak teman di sekolahku. Aku
tak lagi canggung memulai kata. Ini karena pesan dari seseorang yang datang dua
minggu lalu, meninggalkan pesan dan tak kembali lagi. Kerisauan akan rindunya
sekolah lama pun terobati. Tampaknya aku mampu beradaptasi di sekolah ini.
Pikiranku tak terhenti pada titik temu beberapa hari lalu. Namanya masih
jelas terngiang di telinga. Pertanyaan yang sama menjamur dalam benak yang
sesak ini.
Song? Kelas dua belas? gumam Kak Nui. Dia adalah senior di ekstra
madingku yang paling dekat denganku.
Harus kamu ketahui, sekolah kita itu luas, Ann. Ada 46 kelas di sekolah
ini. Nama Song itu banyak, bukan hanya satu, jelas Kak Nui meyakinkan.
Kekecewaan mulai menukas kesedihan. Di mana aku bisa bertemu Song lagi?
Sesering mungkin aku bercerita tentang Song - walau aku hanya beberapa
menit mengenalnya, kepada Kak Nui. Kak Nui begitu antusias mendengarkanku
akan deskripsi tentang Song. Akhirnya Kak Nui menawariku untuk mencari sang
empunya nama. Tujuh belas kelas XII yang ada harus kami lampaui.
Sepenting apa dirinya? Jika kamu bertemu dengannya, apa yang ingin
kamu sampaikan? tanya Kak Nui heran sambil menyeruput es jeruk. Kami
sedang ada di kantin siang itu. Baru setengah dari jumlah kelas kami arungi,
belum juga bertemu Song.
Baru kusadar, mengapa hatiku begitu menyeruak penasaran oleh lelaki
pemilik nama Song itu? Sedang ia mungkin tak memikirkan pertemuan beberapa
pekan lalu. Ia menghilang bak ditelan bumi.
Dia hebat. Dia menyadarkanku untuk menjadi wanita yang ramah dan
berkawan, jawabku lancar. Seperti ada yang mengendalikan untaian kata-kataku
tadi.
Kak Nui menaikkan alisnya nakal, Apa kau menyukainya?
Pertanyaan itu mengundang kekesalan. Kupukul pundaknya. Ia berlari ke luar
kantin. Sejak pertanyaan sakral itu dijuruskan, aku mulai menanyai diriku sendiri.
Apa benar aku menyukai seorang yang baru kukenal? Apalagi kami hanya
bertemu sebentar.

Aku menunggu Mama di depan sekolah. Aku harap Mama tak lama
menjemputku. Terik sinar matahari siang itu begitu menusuk hingga menerobos
kain seragam putihku. Terlukis fatamorgana di kejauhan langkah kaki ini. Topi
oranyeku tak berpengaruh sebagaimana perannya. Sesekali keringat kuusap
hingga kurasa satu-dua tetesan di setiap usapannya.
Aku mulai tak sabar. Aku meninggalkan kursi tunggu itu. Aku berjalan pelan
meninggalkan sekolah. Ah, Mama lama sekali! aku bersungut-sungut sendiri.
Bersabarlah. Seorang yang hebat itu bukan yang berharta, tapi yang mempunyai
kiasan hati yang sabar. Semua akan datang, ucap seseorang dari belakangku.
Refleks aku menoleh cepat ke sumber suara. Seseorang di bawah pohon angsana.
Senyumnya masih sama seperti beberapa pekan lalu.
Pandanganku tak terlepas pada lelaki di depanku. Aku terkejut tak percaya. Kini
cahaya itu berada dekat. Lagi-lagi, mulutku membeku. Lelaki misterius beberapa
pekan lalu, Song.
Kak Song! senyumku mengembang. Segera aku mendekatinya.
Ke mana saja kamu? seruku, tak terkendali. Tanganku menggengggam
tali tas ransel yang ikut berguncang dalam lari kecil.
Hehe Aku masih di sekolah ini, kok, guraunya.
Aku berharap bertemu kamu setelah hari itu berlalu. Tapi aku tak tahu
harus mencari ke mana. Kamu hilang. Padahal kamu siswa di sekolah ini, kataku,
cerewet.
Senyum Song hilang, sekejap kembali lagi, Ah, ada-ada saja kamu. Aku
sering melihatmu di sekolah. Masa kamu tidak pernah melihatku?
Justru itu aku mencarimu. Jika aku melihatmu, tak akan kucari kamu dari
satu kelas ke kelas lain, kataku, mulai akrab. Jelas terlihat senyumku tak terhenti.
Hati ini terasa penuh dengan kegembiraan.
Song menemaniku menunggu Mama di bawah pohon besar itu. Sesekali
aku bercerita tentang keseharianku di sekolah.
Jadi kamu suka jalan-jalan sore? tanya Song sembari melipat tangannya.
Dia terlihat begitu bersahabat.
Iya. Apalagi melihat senja dan matahari tenggelam di pantai barat. Itu
menyenangkan sekali, jawabku mantap. Tak ada lagi gundahku. Semua terbayar
akan rasa ingin jumpa.
Jika kamu mau, aku ingin mengajakmu ke tempat yang indah. Di sana
kamu bisa melihat senja yang jingganya menenggelamkan mentari. Aku yakin
kamu menyukainya. Jika iya, Rabu depan aku tunggu kamu di taman kota,
tawarnya.
Aku terkesima dengan tawarannya. Sepertinya itu ajakan yang hebat.
Boleh juga, jawabku singkat.
Semenit kemudian, mobil Blazer perak berjalan pelan. Kuyakinkan
pandanganku. Ternyata benar, itu Mama.
Ma! teriakku. Aku beranjak dari dudukku.
Tunggu sebentar, ya, kak. Itu Mama, pesanku sambil berlari kecil ke
arah mobil Blazer perak.
Mama membuka kacanya. Mama memicingkan matanya yang diserang
sinar terik matahari.
Ke mana saja? Mama bingung mencarimu, sayang. Ayo, segera masuk ke
dalam. Kamu belum makan siang, kata Mama.
Apa aku boleh mengajak teman baruku? aku menunjuk ke arah
belakang. Mama mengecek keadaan di belakangku, aku menunggu jawabannya.
Siapa? Mama rupanya masih bingung dengan maksudku. Aku menoleh
ke belakang. Aku terkejut, tak satu pun orang duduk di bawah pohon itu, sepi.
Hanya ada sinar-sinar kecil yang menembus celah dedaunan pohon. Aku menoleh
ke kanan dan ke kiri. Song menghilang.
Ada siapa, sayang? tanya Mama lagi. Mama lihat kamu sendirian di
bawah pohon tadi, ucap Mama.
Aku masih bingung. Aku membuka pelan pintu mobil dan menutupnya
kembali. Tapi tadi ada temanku yang menemaniku menunggu Mama, ku
yakinkan pernyataanku. Mama hanya diam sambil menggeleng, sepertinya Mama
menganggapku bercanda.

Aku lupa menanyakannya, aku menepuk dahiku.


Ah, karena rasa cinta, ya? Jadi lupa karena terlalu bahagia berjumpa,
kata Kak Nui dengan alis jahilnya. Aku mendorong pundaknya.
Eh, jangan begitu. Cinta datangnya tiba-tiba. Bisa-bisa terpikirkan.
Bahkan tersembunyi, kata Kak Nui lagi. Aku cemberut.
Aku rasa Kak Nui benar. Aku jatuh cinta. Tapi apakah ini yang namanya cinta?

Sore itu, aku bertemu Song di balik bukit itu. Dia tersenyum. Kamu
hampir terlambat. Ayo, ikut aku! serunya.
Kami berdua berjalan menyusuri rerumputan. Kami tiba di ujung bukit.
Dia mengajakku duduk di antara batu-batu itu. Dia terlihat lebih tampan daripada
biasanya. Kemeja biru yang ia kenakan senada dengan senyumnya. Aku sesekali
menatapnya malu, seakan kucuri pandang tanpa menoleh.
Jingganya senja itu mewarnai mataku. Embusan angin di atas bukit ini mengelus
lembut kulitku. Terlukis kisah di antara aku dan Song. Lelaki misterius yang
kutemui di hari-hari kesepianku.
Indah, ya? gumamnya di sampingku. Aku terasa nyaman di sampingnya.
Aku berharap hari ini tak cepat berlalu. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya.
Ia mengelus lembut jilbab merahku. Terayun kenangan saat pertama aku bertemu
dirinya, sesaat aku tersenyum. Mataku tersiram indahnya rasa. Rasa yang susah
diungkapkan.
Kamu lelah? tanyanya pelan.
Aku tersadar dan langsung bangun dari lamunanku di atas bahunya. Aku
menunduk seraya menutup wajahku dengan jemariku. Aku meminta maaf. Dia
tersenyum. Senyumannya begitu indah di mataku. Aku memandangnya dalam.
Cahaya matanya menembus hati yang tersendu eloknya pandang. Aku tak pernah
mengira akan bertemu seseorang yang akan datang di hari-hari sepiku.
Ingin hati menyeruak dinding kepalsuan. Aku tak bisa meninggalkannya. Titik-
titik yang aku pasrahkan tak bisa aku buang begitu saja. Aku terperosok dalam
lantunan cinta yang mengalir deras. Ini memang yang pertama kalinya, dan aku
harap ini bukan hanya ilusiku saja.
Kak, apa yang kamu lihat di sini? tanyaku memecah kebisuan.
Kamu lihat itu, ada senja. Senja itu berwarna jingga. Jingganya menghias dunia,
bagai layar tertumpu pada silaunya cahaya mentari. Mentari itu indah, seindah
hati seorang wanita, wanita yang aku temui. Dan aku ingin menjadi senja agar
bisa menenggelamkan hati sang mentari. Tapi tak tau kapan itu akan terjadi. Atau
mungkin sudah terjadi, jelasnya sambil menatap matahari yang tenggelam oleh
jingganya.
Sayup-sayup terdengar burung-burung kembali ke sarangnya.
Aku menatapnya kaget. Kata-kata itu menyentuh fantasi. Apakah ia mendengar isi
hatiku di sini? Aku tak tahu. Aku hanya tersenyum, mengerti maksud dirinya.
Aku tak mengira ini akan menjadi akhir dari semuanya. Senyum damai itu,
senyum di akhir senja.

Ann! teriak Kak Nui saat aku melangkahkan kaki ke kelasku.


Lihat ini, aku mendekatinya. Kak Nui menunjukkan foto angkatan yang
lulus tiga tahun yang lalu. Aku masih bingung maksud Kak Nui.
Aku harap kamu tak akan pernah mengira ini, ajak Kak Nui.
Aku menurutinya. Sepertinya ini penting. Aku mengikutinya hingga berujung di
pemakaman umum.
Mengapa kakak mengajakku kesini? tanyaku.
Lihat itu! katanya.
Aku mulai mengerti kata-katanya. Kulihat selembar koran di tangannya.
Berdiri sebuah nisan bertuliskan nama yang dimaksud. Seperti ada yang mencabut
nyawaku. Suara teriakan dalam diriku tak terkendali. Rasanya seperti
menggoncangkan diri ini. Kuingat semuanya. Orang yang dimaksud adalah yang
ada di dalam berita koran yang kusut itu.
Dia meninggal di umurnya yang ke-19 tahun. Dia meninggal karena
penyakit kanker hati, jelas Kak Nui membaca berita dalam koran yang terbit dua
tahun yang lalu.
Namanya Song Senja,
Selama ini yang kukenal nyata tersarukan oleh rahasianya sendiri. Ia
adalah sosok gaib dibalik cerita kehidupanku. Ternyata seram, terdengar.
Gerahamku seakan-akan terlepas dari naungannya. Aku menganga kaget melihat
realita yang terjadi di depanku. Bibir bergetar lalu membisu.
Tidak mungkin! teriakku.
Aku bak teriris pisau tajam. Foto yang kulihat adalah empunya senyum
senja kemarin. Namanya terlukis di atas batu nisan itu. Dia, yang selalu
memberiku nasihat kecil yang mengubah titik-titik kesedihanku. Dia, Song Senja.

Anda mungkin juga menyukai