Anda di halaman 1dari 26

Makalah: Iman & Taqwa

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya kepada kita dan tak lupa pula kita mengirim salam dan
salawat kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawakan
kita suatu ajaran yang benar yaitu agama Islam, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Implementasi Iman dan Takwa dalam
Kehidupan Modern ini dengan lancar.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang kami
peroleh dari berbagai sumber yang berkaitan dengan agama islam serta
infomasi dari media massa yang berhubungan dengan agama islam, tak lupa
kami ucapkan terima kasih kepada pengajar matakuliah Pendidikan Agama
Islam atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada
rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya
makalah ini.
Kami harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi
kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai
implementasi iman dan takwa dalam kehidupan modern, khususnya bagi
penulis. Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang
lebih baik.

JAKARTA,
Desember 2011
Penulis

Kelompok 5

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Implementasi Iman Dan Taqwa Dalam Kehidupan Modern
BAB II
MASALAH
2.1 Rumusan Masalah
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian iman dan taqwa
3.2 Problematika tantangan dan resiko dalam kehidupan modern
3.3 Hubungan timbal balik antara taqwa dan iman
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Implementasi Iman Dan Taqwa Dalam Kehidupan Modern


Aktualisasi taqwa adalah bagian dari sikap bertaqwa seseorang. Karena
begitu pentingnya taqwa yang harus dimiliki oleh setiap mukmin dalam
kehidupan dunia ini sehingga beberapa syariat islam yang diantaranya puasa
adalah sebagai wujud pembentukan diri seorang muslim supaya menjadi orang
yang bertaqwa, dan lebih sering lagi setiap khatib pada hari jumat atau shalat
hari raya selalu menganjurkan jamaah untuk selalu bertaqwa. Begitu seringnya
sosialisasi taqwa dalam kehidupan beragama membuktikan bahwa taqwa
adalah hasil utama yang diharapkan dari tujuan hidup manusia (ibadah).
Taqwa adalah satu hal yang sangat penting dan harus dimiliki setiap
muslim. Signifikansi taqwa bagi umat islam diantaranya adalah sebagai
spesifikasi pembeda dengan umat lain bahkan dengan jin dan hewan, karena
taqwa adalah refleksi iman seorang muslim. Seorang muslim yang beriman
tidak ubahnya seperti binatang, jin dan iblis jika tidak mangimplementasikan
keimanannya dengan sikap taqwa, karena binatang, jin dan iblis mereka
semuanya dalam arti sederhana beriman kepada Allah yang menciptakannya,
karena arti iman itu sendiri secara sederhana adalah percaya, maka taqwa
adalah satu-satunya sikap pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya.
Seorang muslim yang beriman dan sudah mengucapkan dua kalimat syahadat
akan tetapi tidak merealisasikan keimanannya dengan bertaqwa dalam arti
menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya, dan dia
juga tidak mau terikat dengan segala aturan agamanya dikarenakan
kesibukannya atau asumsi pribadinya yang mengaggap eksistensi syariat
agama sebagai pembatasan berkehendak yang itu adalah hak asasi manusia,
kendatipun dia beragama akan tetapi agamanya itu hanya sebagai identitas
pelengkap dalam kehidupan sosialnya, maka orang semacam ini tidak sama
dengan binatang akan tetapi kedudukannya lebih rendah dari binatang, karena
manusia dibekali akal yang dengan akal tersebut manusia dapat melakukan
analisis hidup, sehingga pada akhirnya menjadikan taqwa sebagai wujud
implementasi dari keimanannya.
Taqwa adalah sikap abstrak yang tertanam dalam hati setiap muslim,
yang aplikasinya berhubungan dengan syariat agama dan kehidupan sosial.
Seorang muslim yang bertaqwa pasti selalu berusaha melaksanakan perintah
Tuhannya dan menjauhi segala laranganNya dalam kehidupan ini. Yang
menjadi permasalahan sekarang adalah bahwa umat islam berada dalam
kehidupan modern yang serba mudah, serba bisa bahkan cenderung serba
boleh. Setiap detik dalam kehidupan umat islam selalu berhadapan dengan hal-
hal yang dilarang agamanya akan tetapi sangat menarik naluri kemanusiaanya,
ditambah lagi kondisi religius yang kurang mendukung. Keadaan seperti ini
sangat berbeda dengan kondisi umat islam terdahulu yang kental dalam
kehidupan beragama dan situasi zaman pada waktu itu yang cukup mendukung
kualitas iman seseorang. Olah karenanya dirasa perlu mewujudkan satu konsep
khusus mengenai pelatihan individu muslim menuju sikap taqwa sebagai
tongkat penuntun yang dapat digunakan (dipahami) muslim siapapun. Karena
realitas membuktikan bahwa sosialisasi taqwa sekarang, baik yang berbentuk
syariat seperti puasa dan lain-lain atau bentuk normatif seperti himbauan khatib
dan lain-lain terlihat kurang mengena, ini dikarenakan beberapa faktor,
diantaranya yang pertama muslim yang bersangkutan belum paham betul
makna dari taqwa itu sendiri, sehingga membuatnya enggan untuk memulai,
dan yang kedua ketidaktahuannya tentang bagaimana, darimana dan kapan dia
harus mulai merilis sikap taqwa, kemudian yang ketiga kondisi sosial dimana
dia hidup tidak mendukung dirinya dalam membangun sikap taqwa, seperti
saat sekarang kehidupan yang serba bisa dan cenderung serba boleh. Oleh
karenanya setiap individu muslim harus paham pos pos alternatif yang harus
dilaluinya, diantaranya yang paling awal dan utama adalah gadhul bashar
(memalingkan pandangan), karena pandangan (dalam arti mata dan telinga)
adalah awal dari segala tindakan, penglihatan atau pendengaran yang ditangkap
oleh panca indera kemudian diteruskan ke otak lalu direfleksikan oleh anggota
tubuh dan akhirnya berimbas ke hati sebagai tempat bersemayam taqwa, jika
penglihatan atau pendengaran tersebut bersifat negatif dalam arti sesuatu yang
dilarang agama maka akan membuat hati menjadi kotor, jika hati sudah kotor
maka pikiran (akal) juga ikut kotor, dan ini berakibat pada aktualisasi
kehidupan nyata, dan jika prilaku, pikiran dan hati sudah kotor tentu akan sulit
mencapai sikap taqwa. Oleh karenanya dalam situasi yang serba bisa dan
sangat plural ini dirasa perlu menjaga pandangan (dalam arti mata dan telinga)
dari hal hal yang dilarang agama sebagai cara awal dan utama dalam
mendidik diri menjadi muslim yang bertaqwa. Menjaga mata, telinga, pikiran,
hati dan perbuatan dari hal-hal yang dilarang agama, menjadikan seorang
muslim memiliki kesempatan besar dalam memperoleh taqwa. Karena taqwa
adalah sebaikbaik bekal yang harus kita peroleh dalam mengarungi kehidupan
dunia yang fana dan pasti hancur ini, untuk dibawa kepada kehidupan akhirat
yang kekal dan pasti adanya. Adanya kematian sebagai sesuatu yang pasti dan
tidak dapat dikira-kirakan serta adanya kehidupan setelah kematian menjadikan
taqwa sebagai obyek vital yang harus digapai dalam kehidupan manusia yang
sangat singkat ini. Memulai untuk bertaqwa adalah dengan mulai melakukan
hal-hal yang terkecil seperti menjaga pandangan, serta melatih diri untuk
terbiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya, karena
arti taqwa itu sendiri sebagaimana dikatakan oleh Imam Jalaluddin Al-Mahally
dalam tafsirnya bahwa arti taqwa adalah imtitsalu awamrillahi
wajtinabinnawahih, menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala
laranganya.

BAB II
MASALAH

2.1 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian Iman dan Taqwa?
2. Bagaimana Problematika tantangan dan resiko dalam kehidupan modern?
3. Hubungan timbal balik antara Taqwa dan Iman ?
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengertian iman dan taqwa


Pengertian Iman menurut bahasa adalah membenarkan. Adapun
menurut istilah syariat yaitu meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan
dan membuktikannya dalam amal perbuatan yang terdiri dari tujuh puluh tiga
hingga tujuh puluh sembilan cabang. Yang tertinggi adalah ucapan
dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan yang menggangu
orang yang sedang berjalan, baik berupa batu, duri, barang bekas, sampah, dan
sesuatu yang berbau tak sedap atau semisalnya. Iman merupakan perpaduan
antara aqidah dengan syariah atau perpaduan keyakinan dan amal dan
perbuatan,tetapi jika tidak melaksanakan ketentuan Allah dan rasulnya maka
orang itu belum bias dikatakan beriman.
Rasulullah Shallahualaihi wa sallam bersabda, Iman lebih dari tujuh puluh
atau enam puluh cabang, paling utamanya perkataan dan yang paling
rendahnya menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu merupakan cabang
dari keimanan. (Riwayat Muslim: 35, Abu Dawud: 4676, Tirmidzi: 2614).
Adapun cakupan dan jenisnya, keimanan mencakup seluruh bentuk amal
kebaikan yang kurang lebih ada tujuh puluh tiga cabang. Karena itu Allah
menggolongkan dan menyebut ibadah shalat dengan sebutan iman dalam
firmanNya, Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu (QS. Al-
Baqarah:143). Para ahli tafsir menyatakan, yang dimaksud imanmu adalah
shalatmu tatkala engkau menghadap ke arah baitul maqdis, karena sebelum
turun perintah shalat menghadap ke Baitullah (Kabah) para sahabat
mengahadap ke Baitul Maqdis.
Iman kepada Allah adalah mempercayai bahwa Dia itu maujud (ada) yang
disifati dengan sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan, yang suci dari sifat-
sifat kekurangan. Dia Maha Esa, Mahabenar, Tempat bergantung para
makhluk, tunggal (tidak ada yang setara dengan Dia), Pencipta segala makhluk,
Yang melakukan segala yang dikehendakiNya, dan mengerjakan dalam
kerajaanNya apa yang dikehendakiNya. Beriman kepada Allah juga bisa
diartikan, berikrar dengan macam-macam tauhid yang tiga serta beritiqad
(berkeyakinan) dan beramal dengannya yaitu tauhid rububiyyah, tauhid
uluhiyyah dan tauhid al-asma wa ash-shifaat.
Iman kepada Allah mengandung empat unsur:
1. Beriman akan adanya Allah. Mengimani adanya Allah ini bisa dibuktikan
dengan:
(a). Bahwa manusia mempunyai fitrah mengimani adanya Tuhan
Tanpa harus di dahului dengan berfikir dan sebelumnya. Fitrah ini tidak akan
berubah kecuali ada sesuatu pengaruh lain yang mengubah hatinya. Nabi
Shallahualaihi wa sallam bersabda: Tidaklah anak itu lahir melainkan dalam
keadaan fitrah, kedua orangtuanya lah yang menjadikan mereka Yahudi,
Nashrani, atau Majusi. (HR. Bukhori). Bahwa makhluk tersebut tidak muncul
begitu saja secara kebetulan, karena segala sesuatu yang wujud pasti ada yang
mewujudkan yang tidak lain adalah Allah, Tuhan semesta alam. Allah
berfirman, Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang
menciptakan (diri mereka sendiri)? (QS. Ath-Thur: 35)
Maksudnya, tidak mungkin mereka tercipta tanpa ada yang menciptakan dan
tidak mungkin mereka mampu menciptakan dirinya sendiri. Berarti mereka
pasti ada yang menciptakan, yaitu Allah yang maha suci.
(b). Adannya kitab-kitab samawi
Yang membicarakan tentang adanya Allah. Demikian pula hukum serta aturan
dalam kitab-kitab tersebut yang mengatur kehidupan demi kemaslahatan
manusia menunjukkan bahwa kitab-kitab tersebut berasal dari Tuhan Yang
Maha Esa
(c). Adanya orang-orang yang dikabulkan doanya.
Ditolongnya orang-orang yang sedang mengalami kesulitan, ini menjadi bukti-
bukti kuat adanya Allah.
(d). Adanya tanda-tanda kenabian seorang utusan yang disebut mukjizat
suatu bukti kuat adanya Dzat yang mengutus mereka yang tidak lain Dia adalah
Allah Azza wa Jalla. Misalnya: Mukjizat nabi Musa Alahissalam. Tatkala
belau diperintah memukulkan tongkatnya ke laut sehngga terbelahlah lautan
tersebut menjadi dua belas jalan yang kering dan air di antara jalan-jalan
tersebut laksana gunung. Firman Allah, Lalu kami wahyukan kepada Musa:
Pukullah lautan itu dengan tongkatmu. Maka terbelahlah lautan itu dan
tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar (QS. Asy-Syuara: 63)
Pengertian TAQWA secara dasar adalah Menjalankan perintah, dan menjauhi
larangan. Kepada siapa ??? maka dilanjukan dengan kalimat Taqwallah yaitu
taqwa kepada Allah SWT. Kelihatan kata-kata tersebut ringan diucapkan tapi
kenyataan-nya banyak orang yang belum sanggup bahkan terkesan asal-asalan
dalam menerapkan arti kata Taqwa tersebut, lihat sekitar kita ada beberapa
orang yang tidak berpuasa dan terang-terangan makan di tempat umum,
padahal bila ditanya mas, agama-nya apa? jawab-nya muslim, ada juga yang
sudah berpuasa tapi masih suka melirik kanan-kiri dan ketika ditanya mas, ini
kan lagi puasa? jawabnya cuma sebentar kan boleh. Ya Allah, manusia,
manusia.., sebenarnya banyak contoh bagaimana lingkungan di sekitar kita atau
mungkin diri saya pribadi masih belum mampu mengemban amanah Taqwallah
dengan sepenuhnya.
TAQWA = Terdiri dari 3 Huruf :
Ta = TAWADHU artinya sikap rendah dirii (hati), patuh, taat baik kepada
aturan Allah SWT, maupun kepada sesama muslim jangan menyombongkan
diri.
Qof = Qonaah artinya Sikap menerima apa adanya (ikhlas), dalam semua
aspek, baik ketika mendapat rahmat atau ujian, barokah atau musibah,
kebahagiaan atau teguran dari Allah SWT, harus di syukuri dengan hati yang
lapang dada.
Wau = Wara artinya Sikap menjaga hati / diri (Introspeksi), ketika menemui
hal yang bersifat subhat (tidak jelas hukum-nya) atau yang bersifat haram
(yang dilarang) oleh Allah SWT. beberapa ulama mendifinisikan dengan :
Taqwa = dari kata = waqa-yaqi-wiqayah = memelihara yang artinya
memelihara iman agar terhindar dari hal-hal yang dibenci dan dilarang oleh
Allah SWT.
Taqwa = Takut yang artinya takut akan murka da adzab allah SWT.
Taqwa = Menghindar yang artinya menjauh dari segala keburukan dan
kejelekan dari sifat syetan.
Taqwa = Sadar yang artinya menyadari bahwa diri kita makhluk ciptaan Allah
sehingga apapun bentuk perintah-nya harus di taati, dan jangan sekali-kali
menutup mata akan hal ini. Hai Orang-orang beriman bertaqwalah kamu
kepada Allah, dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah kalian mati,
melainkan dalam keadaan beragama islam. (Al-Imron) :
Dr. Abdullah Nashih Ulwan menyebut ada 5 langkah yang dapat dilakukan
untuk mencapai taqwa, iaitu ;
a. Muahadah Muahadah
berarti selalu mengingat perjanjian kepada Allah swt., bahawa dia akan selalu
beribadah kepada Allah swt. Seperti merenungkan sekurang-kurangnya 17 kali
dalam sehari semalam dia membaca ayat surat Al Fatihah : 5 Hanya kepada
Engkau kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan
b. Muraqabah Muraqabah
berarti merasakan kebersamaan dengan Allah swt. dengan selalu menyedari
bahawa Allah swt. selalu bersama para makhluk-Nya dimana saja dan pada
waktu apa sahaja. Terdapat beberapa jenis muraqabah, pertamanya muraqabah
kepada Allah swt. dalam melaksanakan ketaatan dengan selalu ikhlas
kepadaNya. Kedua muraqabah dalam kemaksiatan adalah dengan taubat,
penyesalan dan meninggalkannya secara total. Ketiga, muraqabah dalam hal-
hal yang mubah adalah dengan menjaga adab-adab kepada Allah dan bersyukur
atas segala nikmatNya. Keempat muraqabah dalam mushibah adalah dengan
redha. atas ketentuan Allah serta memohon pertolonganNya dengan penuh
kesabaran.
c. Muhasabah
Muhasabah sebagaimana yang ditegaskan dalam Al Quran surat Al Hasyr:
18, Wahai orang-orang yang beriman! Takwalah kepada Allah dan
hendaklah merenungkan setiap diri, apalah yang telah diperbuatnya untuk
hari esok. Dan takwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah itu Maha Menge-
tahui apa jua pun yang kamu kerjakan
Ini bermakna hendaklah seorang mukmin menghisab dirinya tatkala selesai
melakukan amal perbuatan, apakah tujuan amalnya untuk mendapatkan redha.
Allah? Atau apakah amalnya dicampuri sifat riya? Apakah ia sudah memenuhi
hak-hak Allah dan hak-hak manusia.
d. Muaqabah Muaqabah
ialah memberikan hukuman atau denda terhadap diri apabila melakukan
kesilapan ataupun kekurangan dalam amalan. Muaqabah ini lahir selepas
Muslim melakukan ciri ketiga iaitu muhasabah. Hukuman ini bukan bermaksud
deraan atau pukulan memudaratkan, sebaliknya bermaksud Muslim yang insaf
dan bertaubat berusaha menghapuskan kesilapan lalu dengan melakukan
amalan lebih utama meskipun dia berasa berat.dalam Islam, orang yang paling
bijaksana ialah orang yang sentiasa bermuhasabah diri dan melaksanakan
amalan soleh.
e. Mujahadah
Makna mujahadah sebagaimana disebutkan dalam surat Al Ankabut ayat 69
adalah apabila seorang mukmin terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia
dan tidak lagi melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya
tepat pada waktunya, maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal
sunnah lebih banyak dari sebelumnya. Dalam hal ini ia harus tegas, serius dan
penuh semangat sehingga pada akhirnya ketaatan merupakan kebiasaan yang
mulia baginya dan menjadi sikap yang melekat dalam dirinya. Sebagai
penutup, Allah swt. telah berfirman dalam Al-Quran yang bermaksud: Wahai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-
benar taqwa, dan janganlah kamu mati melainkan di dalam keadaan
Islam. (Ali Imran: 102)

3.2 Problematika tantangan dan resiko dalam kehidupan modern


Problem-problem manusia dalam kehidupan modern adalah munculnya
dampak negatif (residu), mulai dari berbagai penemuan teknologi yang
berdampak terjadinya pencemaran lingkungan, rusaknya habitat hewan
maupun tumbuhan, munculnya beberapa penyakit, sehingga belum lagi dalam
peningkatan yang makro yaitu berlobangnya lapisan ozon dan penasan global
akibat akibat rumah kaca.
Manusia tidak mampu lari seperti kuda dan mengangkat benda-benda
berat seperti sekuat gajah, namun akal manusia telah menciptakan alat yang
melebihi kecepatan kuda dan sekuat gajah. Kelebihi manusia dengan mahkluk
lain adalah dari Akalnya. Sedangkan dalam bidang ekonomi kapitalisme-
kapitalisme yang telah melahirkan manusia yang konsumtif, meterialistik dan
ekspoloitatif.
Aktualisasi taqwa adalah bagian dari sikap bertaqwa seseorang. Karena
begitu pentingnya taqwa yang harus dimiliki oleh setiap mukmin dalam
kehidupan dunia ini sehingga beberapa syariat islam yang diantaranya puasa
adalah sebagai wujud pembentukan diri seorang muslim supaya menjadi orang
yang bertaqwa, dan lebih sering lagi setiap khatib pada hari jumat atau shalat
hari raya selalu menganjurkan jamaah untuk selalu bertaqwa. Begitu seringnya
sosialisasi taqwa dalam kehidupan beragama membuktikan bahwa taqwa
adalah hasil utama yang diharapkan dari tujuan hidup manusia (ibadah).
Taqwa adalah satu hal yang sangat penting dan harus dimiliki setiap
muslim. Signifikansi taqwa bagi umat islam diantaranya adalah sebagai
spesifikasi pembeda dengan umat lain bahkan dengan jin dan hewan, karena
taqwa adalah refleksi iman seorang muslim. Seorang muslim yang beriman
tidak ubahnya seperti binatang, jin dan iblis jika tidak mangimplementasikan
keimanannya dengan sikap taqwa, karena binatang, jin dan iblis mereka
semuanya dalam arti sederhana beriman kepada Allah yang menciptakannya,
karena arti iman itu sendiri secara sederhana adalah percaya, maka taqwa
adalah satu-satunya sikap pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya.
Seorang muslim yang beriman dan sudah mengucapkan dua kalimat syahadat
akan tetapi tidak merealisasikan keimanannya dengan bertaqwa dalam arti
menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya, dan dia
juga tidak mau terikat dengan segala aturan agamanya dikarenakan
kesibukannya atau asumsi pribadinya yang mengaggap eksistensi syariat
agama sebagai pembatasan berkehendak yang itu adalah hak asasi manusia,
kendatipun dia beragama akan tetapi agamanya itu hanya sebagai identitas
pelengkap dalam kehidupan sosialnya, maka orang semacam ini tidak sama
dengan binatang akan tetapi kedudukannya lebih rendah dari binatang, karena
manusia dibekali akal yang dengan akal tersebut manusia dapat melakukan
analisis hidup, sehingga pada akhirnya menjadikan taqwa sebagai wujud
implementasi dari keimanannya.
Taqwa adalah sikap abstrak yang tertanam dalam hati setiap muslim,
yang aplikasinya berhubungan dengan syariat agama dan kehidupan sosial.
Seorang muslim yang bertaqwa pasti selalu berusaha melaksanakan perintah
Tuhannya dan menjauhi segala laranganNya dalam kehidupan ini. Yang
menjadi permasalahan sekarang adalah bahwa umat islam berada dalam
kehidupan modern yang serba mudah, serba bisa bahkan cenderung serba
boleh. Setiap detik dalam kehidupan umat islam selalu berhadapan dengan hal-
hal yang dilarang agamanya akan tetapi sangat menarik naluri kemanusiaanya,
ditambah lagi kondisi religius yang kurang mendukung. Keadaan seperti ini
sangat berbeda dengan kondisi umat islam terdahulu yang kental dalam
kehidupan beragama dan situasi zaman pada waktu itu yang cukup mendukung
kualitas iman seseorang. Olah karenanya dirasa perlu mewujudkan satu konsep
khusus mengenai pelatihan individu muslim menuju sikap taqwa sebagai
tongkat penuntun yang dapat digunakan (dipahami) muslim siapapun. Karena
realitas membuktikan bahwa sosialisasi taqwa sekarang, baik yang berbentuk
syariat seperti puasa dan lain-lain atau bentuk normatif seperti himbauan khatib
dan lain-lain terlihat kurang mengena, ini dikarenakan beberapa faktor,
diantaranya yang pertama muslim yang bersangkutan belum paham betul
makna dari taqwa itu sendiri, sehingga membuatnya enggan untuk memulai,
dan yang kedua ketidaktahuannya tentang bagaimana, darimana dan kapan dia
harus mulai merilis sikap taqwa, kemudian yang ketiga kondisi sosial dimana
dia hidup tidak mendukung dirinya dalam membangun sikap taqwa, seperti
saat sekarang kehidupan yang serba bisa dan cenderung serba boleh. Oleh
karenanya setiap individu muslim harus paham pos pos alternatif yang harus
dilaluinya, diantaranya yang paling awal dan utama adalah gadhul bashar
(memalingkan pandangan), karena pandangan (dalam arti mata dan telinga)
adalah awal dari segala tindakan, penglihatan atau pendengaran yang ditangkap
oleh panca indera kemudian diteruskan ke otak lalu direfleksikan oleh anggota
tubuh dan akhirnya berimbas ke hati sebagai tempat bersemayam taqwa, jika
penglihatan atau pendengaran tersebut bersifat negatif dalam arti sesuatu yang
dilarang agama maka akan membuat hati menjadi kotor, jika hati sudah kotor
maka pikiran (akal) juga ikut kotor, dan ini berakibat pada aktualisasi
kehidupan nyata, dan jika prilaku, pikiran dan hati sudah kotor tentu akan sulit
mencapai sikap taqwa. Oleh karenanya dalam situasi yang serba bisa dan
sangat plural ini dirasa perlu menjaga pandangan (dalam arti mata dan telinga)
dari hal hal yang dilarang agama sebagai cara awal dan utama dalam
mendidik diri menjadi muslim yang bertaqwa. Menjaga mata, telinga, pikiran,
hati dan perbuatan dari hal-hal yang dilarang agama, menjadikan seorang
muslim memiliki kesempatan besar dalam memperoleh taqwa. Karena taqwa
adalah sebaikbaik bekal yang harus kita peroleh dalam mengarungi kehidupan
dunia yang fana dan pasti hancur ini, untuk dibawa kepada kehidupan akhirat
yang kekal dan pasti adanya. Adanya kematian sebagai sesuatu yang pasti dan
tidak dapat dikira-kirakan serta adanya kehidupan setelah kematian menjadikan
taqwa sebagai obyek vital yang harus digapai dalam kehidupan manusia yang
sangat singkat ini. Memulai untuk bertaqwa adalah dengan mulai melakukan
hal-hal yang terkecil seperti menjaga pandangan, serta melatih diri untuk
terbiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya, karena
arti taqwa itu sendiri sebagaimana dikatakan oleh Imam Jalaluddin Al-Mahally
dalam tafsirnya bahwa arti taqwa adalah imtitsalu awamrillahi
wajtinabinnawahih, menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala
laranganya.

Problem dalam Hal Ekonomi


Semakin lama manusia semakin menganggap bahwa dirinya merupakan homo
economicus, yaitu merupakan makhluk yang memenuhi kebutuhan hidupnya
dan melupakan dirinya sebagai homo religious yang erat dengan kaidah
kaidah moral.Ekonomi kapitalisme materialisme yang menyatakan bahwa
berkorban sekecil kecilnya dengan menghasilkan keuntungan yang sebesar
besarnya telah membuat manusia menjadi makhluk konsumtif yang egois dan
serakah (saya sendiri mengakuinya).
Problem dalam Bidang Moral
Pada hakikatnya Globalisasi adalah sama halnya dengan Westernisasi. Ini
tidak lain hanyalah kata lain dari penanaman nilai nilai Barat yang
menginginkan lepasnya ikatan ikatan nilai moralitas agama yang
menyebabkan manusia Indonesia pada khususnya selalu berkiblat kepada
dunia Barat dan menjadikannya sebagai suatu symbol dan tolok ukur suatu
kemajuan.
Problem dalam Bidang Agama
Tantangan agama dalam kehidupan modern ini lebih dihadapkan kepada faham
Sekulerisme yang menyatakan bahwa urusan dunia hendaknya dipisahkan dari
urusan agama. Hal yang demikian akan menimbulkan apa yang disebut dengan
split personality di mana seseorang bisa berkepribadian ganda. Misal pada saat
yang sama seorang yang rajin beribadah juga bisa menjadi seorang koruptor.
Problem dalam Bidang Keilmuan
Masalah yang paling kritis dalam bidang keilmuan adalah pada corak
kepemikirannya yang pada kehidupan modern ini adalah menganut faham
positivisme dimana tolok ukur kebenaran yang rasional, empiris,
eksperimental, dan terukur lebih ditekankan. Dengan kata lain sesuatu
dikatakan benar apabila telah memenuhi criteria ini. Tentu apabila direnungkan
kembali hal ini tidak seluruhnya dapat digunakan untuk menguji kebenaran
agama yang kadang kala kita harus menerima kebenarannya dengan
menggunakan keimanan yang tidak begitu poluler di kalangan ilmuwan
ilmuwan karena keterbatasan rasio manusia dalam memahaminya. Anda
merasakan itu?
Perbedaan metodologi yang lain bahwa dalam keilmuan dikenal istilah
falsifikasi. Apa itu? Artinya setiap saat kebenaran yang sudah diterima dapat
gugur ketika ada penemuan baru yang lebih akurat. Sangat jauh dan bertolak
belakang dengan bidang keagamaan.Jika anda tidak salah lihat, maka akan
banyak anda temukan banyak ilmuwan yang telah menganut faham atheis
(tidak percaya adanya tuhan) akibat dari masalah masalah dalam bidang
keilmuan yang telah tersebut di atas.
Kalau bersama sama kita telah melihat sebagian kecil dari beberapa bagian
besar problematika dalam kehidupan kita saat ini, apa yang sebaiknya menjadi
solusi bersama dalam meningkatkan ketahanan tubuh Negara kita terhadap
prediksi prediksi kehancuran moral bangsa Indonesia akibat dari kekurang
selektifan kita terhadap apa yang namanya Westernisasi?
3.3 Hubungan timbal balik antara taqwa dan iman
Iman dan taqwa adalah dua unsur pokok bagi pemeluk agama.
Keduanya merupakan elemen yang penting dalam kehidupan makhluq
manusia dan sangat erat hubungannya dalam menentukan nasib hidupnya
serta memiliki fungsi yang urgen.
Menurut ahli hukum, iman itu hanya sekedar pengakuan suatu makna
yang terkandung dalam lubuk hati, menurut para teolog, iman itu adalah
kepercayaan yang tertanam dalam lubuk hati dengan keyakinan yang kuat
tanpa tercampuri oleh keraguan dan berperan terhadap pendangan hidup atau
amal perbuatan sehari-hari. Sedangkan menurut berbagai filosof, iman
diartikan lebih jauh dari lafidz dan makna serta tidak terikat dengan dalil-
dalil apologis. Misalnya Karl Teodor Yoeper seorang filosof Jerman
mengetengahkan istilah iman falsafi yang universil yang berlaku untuk
semua zaman dan kebudayaan. Isi iman falsafi baginya, bahwa Allah itu ada,
manusia harus mampu memilih memilih yang baik secara tak bersarat, dunia
tidak merupakan kenyataan terakhir dan bahwa cinta kasih manusia
merupakan suatu bukti adanya Allah. Semua pengertian-pengertian yang
dikemukakan diatas pada dasarnya menunjukkan, bahwa iman itu berperanan
dan berpengaruh terhadap tindak laku manusia dalam segala aspek kahidupan
manusia.
Menurut filosof islam Imam Ghozali bahwa iman itu berkaitan dengan
hal-hal yang bersifat spiritual atau batin, dimana hati dapat menangkap iman
dalam pengertian hakiki melalui kasyaf yang diperoleh berkat pancaran sinar
Ilahi padanya. Dalam kesempatan lain beliau menegaskan, bahwa arti iman
adalah pengakuan yang kuat tidak ada pembuat (faa`il) selain Allah. Makna
iman yang dikemukakan ini menimbulkan problema metafisis, diantaranya
membatasi sebab pembuat (illah faa`iliyah) hanya kepada Allah, manafikan
kebebasan berikhtiar dari manusia serta penyerahan diri (tawakkal) kepada-
Nya. Pemikiran Imam Ghozali ini disebut dengan istilah tauhid, sebab artinya
keimanan itu tidak boleh menghubungkan sebab tersebut kepada selai Allah.
Dialah pembuat satu-satunya dan selain-Nya hanya sekedar washilah
(perantara). Hukumnya perantara itu dalam tinjauan filsafat juga sebab,
namun sebab pokok.
Bagi Imam Ghozali iman itu bukan lawan dari syirik, tetapi peng-Esaan
kepada Kholiq (Pencipta). Oleh karena itu bagi orang yang meng-Esakan
Allah harus bersikap tawakkal. Tawakkal bukan berarti maniadakan ikhtiar,
tetapi maniadakan kebebasan berikhtiar, karena dalam tawakkal manusia
berkesempatan untuk kasab (berusaha). Bahkan dengan tawakkal itu dapat
mengenal hakekat ikhtiar dan sekaligus dapat mengetahui nilai dan kualitas
iman. Iman yang sebenarnya harus membuahkan tawakkal, sehingga dapat
memperoleh ridho Allah. Dalam kitab suci dikemukakan, bahwa Nabi Hud,
Nabi Musa dan tang lainya telah menjadikan tawakkal sebagai benteng
kekuatan bertaqwa dalam menghadapi kaumnya. Ini semua menunjukkan,
bahwa antara iman dan taqwa saling berpengaruh dalam membentuk
membentuk manusia berkepribadian luhur.
Taqwa itu pada prinsipnya adalah amal batin atau lahir, baik yang
bersifat mengikuti perintah Tuhan maupun amal yang berbentuk menjauhi
larangan Tuhan. Yang menjadi problema apakah unsur amal itu menjadi
syarat iman, dengan pengertian, bahwa apakah tanpa amal seseoran tidak
dianggap beriman. Iman adalah sesuatu yang tersembunyi dalam jiwa (Ma
waqaro fil qalbi). Berdasarkan eksperimen sebagian besar ahli jiwa
berkesimpulan, bahwa iman kepada Allah termasuk obat yang manjur untuk
menyembuhkan penyakit jiwa atau menghilangkan gangguan jiwa.
Kesimpulan inin diperkuat oleh filosof-silosof besar diantaranya Francis
Bacon, William James, Kierkegoor dan lain-lain.
Menurut filosof Islam Jamaluddin Alafghoni, bahwa iman kepada Allah
menumbuhkan keteguahan pendirian dalam menghadapi kesulitan dan
bahaya, bahkan mampu untuk membentuk kerelaan dan meninggalkan
kemewahan hidup, manakala ada seruan untuk bejuang dijalan Allah. Dalam
Islam pengaruh iman diantaranya rasa tawakkal (Ali Imron: 160). Tawakkal
dalam tinjauan tasawuf ini harus seiring dengan kesabaran. Keberhasilan
manusia tidak mungkin sepenuhnya dari usaha sendiri. Sedangkan kecil dan
tidaknya ditentukan oleh berbagai faktor diluar kemampuannya. Faktor-
faktor itu adalah sebab keberhasilan. Banyak akibat yang sebabnya
bermacam-macam dan sebaliknya, banyak sebab yang akibatnya bermacam-
macam. Banyak akibat yang sulit diketahui sebabnya dan banyak sebab yang
sulit diketahui akibatnya. Dalam situasi diatas sikap tawakkal sangat
diperlukan.
Iman dan Taqwa landasan mencapai kesuksesan
Kita diciptakan didunia ini untuk satu hikmah yang agung dan bukan hanya
untuk bersenang-senang dan bermain-main. Tujuan dan himah penciptaan ini
telah dijelaskan dalam firman Allah:




Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka
dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah
Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.
(QS. 51:56-58)
Allah telah menjelaskan dalam ayat-ayat ini bahwa tujuan asasi dari penciptaan
manusia adalah ibadah kepadaNya saja tanpa berbuat syirik. Sehingga Allah
pun menjelaskan salahnya dugaan dan keyakinan sekelompok manusia yang
belum mengetahui hikmah tersebut dengan menyakini mereka diciptakan tanpa
satu tujuan tertentu dalam firmanNya :

Artinya : Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami
menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan
dikembalikan kepada Kami. (QS. 23:115)
Ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa manusia tidak diciptakan secara main-
main saja, namun diciptakan untuk satu hikmah. Allah tidak menjadikan
manusia hanya untuk makan, minum dan bersenang-senang dengan perhiasan
dunia, serta tidak dimintai pertanggung jawaban atas semua prilakunya didunia
ini. Tentu saja jawabannya adalah kita semua diciptakan untuk satu himah dan
tujuan yang agung dan dibebani perintah dan larangan, kewajiban dan
pengharaman, untuk kemudian dibalas dengan pahala atas kebaikan dan disiksa
atas keburukan (yang dia amalkan) serta (mendapatkan) syurga atau neraka.
Demikianlah seorang manusia yang ingin sukses harus dapat bersikap
profesional dan proforsonal dalam mencapai tujuan tersebut, sebab
sesungguhnya tujuan akhir seorang manusia adalah mewujudkan peribadatan
kepada Allah dengan iman dan taqwa. Oleh karena itu orang yang paling
sukses dan paling mulia disisi Allah adalah yang paling taqwa, sebagaimana
dijelaskan dalam firman Allah:



Artinya : Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. 49:13)
Namun untuk mencapai kemulian tersebut membutuhkan dua hal:
1. Itishom bihablillah. Hal ini dengan komitmen terhadap syariat Allah dan
berusaha merealisasikannya dalam semua sisi kehidupan kita. Sehingga
dengan ini kita selamat dari kesesatan. Namun hal inipun tidak cukup tanpa
perkara yang berikutnya, yaitu;
2. Itishom billah. Hal ini diwujudkan dalam tawakkal dan berserah diri serta
memohon pertolongan kepada Allah dari seluruh rintangan dan halangan
mewujudkan yang pertama tersebut. Sehingga dengannya kita selamat dari
rintangan mengamalkannya.
Sebab seorang bila ingin mencapai satu tujuan tertentu, pasti membutuhkan
dua hal, pertama, pengetahuan tentang tujuan tersebut dan bagaimana cara
mencapainya dan kedua, selamat dari rintangan yang menghalangi terwujudnya
tujuan tersebut.
Imam Ibnu Al Qayyim menyatakan: Poros kebahagian duniawi dan ukhrowi
ada pada Itishom billahi dan Itishom bihablillah dan tidak ada kesuksesan
kecuali bagi orang yang komitmen dengan dua hal ini. Sedangkan Itishom bi
hablillah melindungi seseorang dari kesesatan dan Itishom billahi melindungi
seseorang dari kehancuran. Sebab orang yang berjalan mencapai (keridhoan)
Allah seperti seorang yang berjalan diatas satu jalanan menuju tujuannya. Ia
pasti membutuhkan petunjuk jalan dan selamat dalam perjalanan, sehingga
tidak mencapai tujuan tersebut kecuali setelah memiliki dua hal ini. Dalil
(petunjuk) menjadi penjamin perlindungan dari kesesatan dan menunjukinya
kejalan (yang benar) dan persiapan, kekuatan dan senjata menjadi alat
keselamatan dari para perampok dan halangan perjalanan. Itishom bi hablillah
memberikan hidayah petunjuk dan mengikuti dalil sedang Itishom billah
memberikan kesiapan, kekuatan dan senjata yang menjadi penyebab
keselamatannya di perjalanan.
Oleh karena itu hendaknya kita menekuni bidang kita masing-masing sehingga
menjadi ahlinya tanpa meninggalkan upaya mengenal, mengetahui dan
mengamalkan ajaran islam yang merupakan satu kewajiban pokok setiap
muslim. Agar dapat mencapai tujuan penciptaan tersebut dengan menjadikan
keahlian dan kemampuan kita sebagai sarana ibadah dan peningkatan iman dan
takwa kita semua.
Tentu saja hal ini menuntut kita untuk dapat mengambil faedah dan
pengetahuan tantang syariat sebagai wujud syukur kita atas nikmat yang Allah
anugerahkan. Semua itu agar mereka mengakui bahwa mereka adalah makhluk
yang tunduk dan diatur dan mereka memiliki Rabb yang maha pencipta dan
maha mengatur mereka.

Hubungan manusia dengan lingkungan hidup


Bagi insan yang bertaqwa, kita harus memandang alam dari empat segi,yaitu:
1. Apresiasi 2. Kreatif 3. Proaktif 4. Produktif.
Peran iman dan taqwa di dalam problem dan tantangan kehidupan
moderen
Adalah suatu masalah besar yang harus di hadapi oleh setiap orang (Manusia)
karna seperti yang kita lihat selama ini semakin bertambahnya Zaman pasti
akan ada perubahan! baik dalam segi moral, agama, budaya, maupun dalam
segi sosial kehidupan di dalam masyarakat. Dan yang paling utama dalam segi
agama, kepercayaan dan keyakinan sehingga dalam segi iman dan taqwapun
berkurang.
Peranan Iman dan Taqwa dalam Menjawab Problema dan Tantangan
Kehidupan Modern
Pengaruh iman terhadap kehidupan manusia sangat besar. Berikut ini
dikemukakan beberapa pokok manfaat dan pengaruh iman pada kehidupan
manusia.
1. Iman melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda.
Orang yang beriman hanya percaya pada kekuatan dan kekuasaan Allah.
Kepercayaan dan keyakinan demikian menghilangkan sifat mendewa-dewakan
manusia yang kebetulan sedang memegang kekuasaan, menghilangkan
kepercayaan pada kesaktian benda-benda keramat, mengikis kepercayaan pada
khurafat, takhyul, jampi-jampi dan sebagainya. Pegangan orang yang beriman
adalah surat al-Fatihah ayat 1-7.
2. Iman menanamkan semangat berani menghadap maut.
Orang yang beriman yakin sepenuhnya bahwa kematian di tangan Allah.
Pegangan orang beriman mengenai soal hidup dan mati adalah firman Allah
dalam QS. an-Nisa/4:78.
3. Iman menanamkan sikap self-help dalam kehidupan.
Rezeki atau mata pencaharian memegang peranan penting dalam kehidupan
manusia. manusia tidak segan-segan melepaskan prinsip, menjual kehormatan
dan bermuka dua, menjilat dan memperbudak diri untuk kepentingan materi.
Pegangan orang beriman dalam hal ini ialah firman Allah dalam QS. Hud/11:6.
4. Iman memberikan ketenteraman jiwa.
Orang yang beriman mempunyai keseimbangan, hatinya tenteram
(mutmainnah), dan jiwanya tenang (sakinah), seperti dijelaskan dalam firman
Allah surat ar-Rad/13:28.

5. Iman mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan tayyibah).


Kehidupan manusia yang baik adalah kehidupan orang yang selalu
menekankan kepada kebaikan dan mengerjakan perbuatan yang baik. Hal ini
dijelaskan Allah dalam firman-Nya QS. an-Nahl/16:97.
6. Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen.
Iman memberi pengaruh pada seseorang untuk selalu berbuat dengan ikhlas,
tanpa pamrih, kecuali keridhaan Allah. Orang yang beriman senantiasa
konsekuen dengan apa yang telah diikrarkannya, baik dengan lidahnya maupun
dengan hatinya. Ia senantiasa berpedoman pada firman Allah dalam QS. al-
Anam/6:162
7. Iman memberi keberuntungan
Allah membimbing dan mengarahkan pada tujuan hidup yang hakiki. Dengan
demikian orang yang beriman adalah orang yang beruntung dalam hidupnya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2:5.
8. Iman mencegah penyakit
Akhlak, tingkah laku, perbuatan fisik seorang mukmin, atau fungsi biologis
tubuh manusia mukmin dipengaruhi oleh iman. Hal itu karena semua gerak dan
perbuatan manusia mukmin, baik yang dipengaruhi oleh kemauan, seperti
makan, minum, berdiri, melihat, dan berpikir, maupun yang tidak dipengaruhi
oleh kemauan, seperti gerak jantung, proses pencernaan, dan pembuatan darah,
tidak lebih dari serangkaian proses atau reaksi kimia yang terjadi di dalam
tubuh. Organ-organ tubuh yang melaksanakan proses biokimia ini bekerja di
bawah perintah hormon. Kerja bermacam-macam hormon diatur oleh hormon
yang diproduksi oleh kelenjar hipofise yang terletak di samping bawah otak.
Pengaruh dan keberhasilan kelenjar hipofise ditentukan oleh gen (pembawa
sifat) yang dibawa manusia semenjak ia masih berbentuk zigot dalam rahim
ibunya. Dalam hal ini iman mampu mengatur hormon dan selanjutnya
membentuk gerak, tingkah laku, dan akhlak manusia.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Iman dan taqwa sangat penting di kehidupan modern, jika dalam kehidupan
modern yang serba canggih tidak menghiraukan lagi keimanan dan ketaqwaan
kepada Allah maka akan banyak timbul problem dan tantangan yang terjadi,
baik dibidang ekonomi, social, agama, maupun keilmuan itu sendiri.
Iman dan taqwa juga mempunyai peran penting dalam kehidupan dunia
modern, dalam kehidupan modern yang serba cepat sering kali memicu
timbulnya stress dan berbagai penyakit. Iman dan taqwa mempunyai peran
antara lain:
1) Iman dan taqwa melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda,
2) Iman dan taqwa menanamkan semangat berani menghadap maut
3) Iman dan taqwa menanamkan sikap self-help dalam kehidupan.
4) Iman dan taqwa memberikan ketenteraman jiwa.
5) Iman dan taqwa mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan tayyibah).
6) Iman dan taqwa melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen.
7) Iman dan taqwa memberi keberuntunganIman mencegah penyakit
Iman didefinisikan dengan keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan,
dan diwujudkan dengan amal perbuatan (Al-Iimaanu aqdun bil qalbi
waiqraarun billisaani waamalun bil arkaan). Dengan demikian, iman
merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati, ucapan, dan laku perbuatan,
serta dapat juga dikatakan sebagai pandangan dan sikap hidup atau gaya hidup.
Sedangkan takwa adalah menjadikan jiwa berada dalam perlindungan dari
sesuatu yang ditakuti, kemudian rasa takut juga dinamakan takwa. Sehingga
takwa dalam istilah syarI adalah menjaga diri dari perbuatan dosa.
Dapat disimpulkan, bahwa peran iman, diantaranya menghilangkan
gangguan jiwa, menumbuhkan keteguahan pendirian, menumbuhkan kekuatan
pengendali hawa nafsu, menumbuhkan tawakkal, menciptakan tekat berbuat
baik dan berperan menciptakan rasa cinta dan bahagia. Pegaruh kekuatan iman
melahirkan akhlak dan moral dalam kehidupan manusia, seperti jujur, adil dala
segala situasi, diucapkan kebenaran walaupun terasa sangat berat, ditegakkan
kebenaran sekalipun berakibat merugikan dirinya dan keluarganya, bersikap
adil terhadap lawan sebagaimana bersikap adil di tengah-tengah kawan, masih
banyak lagi norma-norma luhur yang dicetuskan oleh kekuatan iman. Oleh
karena itu sangat patut sekali apabila dinyatakan bahawa iman dan taqwa
adalah kunci pengalaman nilai-nilai luhur.

DAFTAR PUSTAKA
Imtihana,aida.dkk.2009.Buku Ajar Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi
Umum.Palembang:Universitas Sriwijaya.
Labay,Mawardi.2000.Zikir dan Doa Iman Pengaman Dunia.Jakarta:Al
Mawardi Prima
http://google.search./implementasi.imandantaqwa .com
IMAN DAN TAQWA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT, Oleh: Prof.
DR. K. H. Achmad Mudlor, SH.
http://meyheriadi.blogspot.com/2011/02/pengertian-iman-dan-
taqwa.html (Online ) Di Akses Tanggal 17 oktober 2011
IMAN DAN TAQWA
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT

Oleh: Prof. DR. K. H. Achmad Mudlor, SH.


1. Pengantar
Karangan ilmiah ini berjudul Iman Dan Taqwa Dalam Perspektif Filsafat. Untuk menganalisis judul ini
perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa Iman danTaqwa adalah dua unsur agamis yang esensiil dari suatu
agama dan tidak mungkin terlepas dari pembahasan filsafat, khususnya filsafat agama yaitu membahas
masalah agama dari segi filsafat.
Filsafat agama dalam pandangan berbagai filosof bukanlah pembahasan filsafat secara bebas, tetapi ia
membahas agama dari segi aspek filsafat dengan titik tolak yang tertentu. Karena agama itu bermacam-
macam pedoman dan landasannya, maka sudah barang tentu landasan yang dipergunakan sebagai titik tolak
pembahasan tulisan ini adalah ajaran Islam.
Landasan berfilsafat adalah akal bukan wahyu, oleh karena itu dalam sejarah filsafat terdapat filosof
yang beriman dan ada pula filosof yang kufur yang hanya percaya pada pengetahuan indra yang didukung
oelh akal, terutama folisof yang beraliran meterialistisme.
Sebenarnya antara berfikir filosofis dan berfikir religius mempunyai titik mulai yang sama, keduanya
mulai dengan percaya. Dalam filsafat dimulai dengan percaya pada kemampuan akal, sedangkan dalam
agama dimulai dengan percaya pada ketetapan wahyu. Menurut agama Islam, Iman diartikan secara
sederhana adalah kepercayaan, sedangkan dalam filsafat agama Iman tersebut dipahami secara radikal.
Dalam menghadapi kepercayaan kepada kebaradaan Tuhan, setiap manusia atau setiap agama
mempunyai konsep yang berlain-lainan tentang apa yang dinamakan Tuhan. Misalnya Plato sering menyebut
Tuhan dengan kata (The Good), yaitu Tuhan yangb baik, tetapi dia tidak pernah menyebut Tuhan yang hidup
(Yhe Live). Bagi Aristoteles, bahwa kepercayaan terhadap adanya Tuhan adalah kepecayaan kepada adanya
zat yang memberi arti kepada alam, tetapi Tuhan yang tidak dapat kita hubungi, artinya bukan Tuhan yang
dapat kita sembah dan kita mintai. Tuhan menurut Aristoteles merupakan it bukan he. Tuhan menurut
kepercayaan agama greek adalah Tuhan yan dianggab mempunyai hubungan dengan masalah kerohanian
atau suatu kekuatan dalam dunia spiritual. Kita sedikit agak setuju Tuhan seperti yang dikemukakan Pascal,
yaitu Tuhannya Nabi Ibrahim, Nabi Ishak, Nabi Ya`qub, sebab Tuhan ditambah predikat Nabi-Nabi yang diakui
oleh agama Islam, sekalipun sifat-sifat Tuhan tidak disebutkan. Tuhan yang dibahas dalam tulisan ini adalah
Tuhan yang diberi predikat 99 asmaa`ul chusna.
Iman dan taqwa dalam judul diatas bukan merupakan kesatuan yang utuh, akan tetapi antara
keduanya merupakan dua pengetahuan yang mempunyai hubungan yang erat sekali. Tinggi rendahnya nilai
keimanan berpengaruh besar terhadap tinggi rendahnya nilai ketaqwaan. Sedangkan tinggi rendahnya nilai
ketaqwaan sebagai bukti nilai kebenaran nilai Iman yang dimiliki. Oleh karena itu makalah ini perlu sekali
terlebih dahulu memnbahas pengertian iman dan taqwa serta hubungan antara keduanya.
Setiap lubuk hati manusia tidak boleh kosong dari potensi kepercayaan. Dalam filsafat ilmu ini ia
sebagai alat tahu. Tidak percaya terhadap adanya sesuatu berarti percaya bahwa sesuatu itu tidak ada. Usaha
filosof untuk menjelaskan seluruh kenyataan secara tuntas ternyata masih ada sesuatu sisa yang tidak dapat
dijelaskan yang berperan besar terhadap kehidupan manusia. Sisa ini oleh Herbert Spencer diberi istilah The
great of imknowable yang harus diterima dengan sikap percaya atau tidak percaya. Bahkan dalam kehidupan
manusia sering dihadapkan dengan sesuatu misteri yang tersembunyi dibalik gejala-gejala, bahwa dibalik
segala sesuatu yang terpaksa harus dipercaya. Hal ini mendorong untuk dibahas secara radikal oleh berbagai
filosof yang tekun dengan filsafatnya. Oleh karena itu dari sisi ini perlu dibahas tentang peran iman dalam
meningkatkan amal ketaqwaan.
Dalam agama Islam iman mempunyai peran dan pengaruh yang besar terhadap penghidupan manusia
dialam semesta ini, baik dalam segi hubungannya dengan Tuhan dan dan sesama manusia maupun
hubungannay dengan alam fisika dan metafisika. Wilian James seorang filosof kelahiran New York dengan
teori dogmatisnya telah membahas masalah-masalah agama, khususnya tentang iman kepada Allah. James
tidak mempersoalkan tentang kebenaran kepercayaan-kepercayaan dalam agama, tetapi yang dipersoalkan
adalah hasil menjadikan agama sebagai pedoman hidup. Baginya kalau kepercayaan atau ide-ide agama itu
memperkaya hidup maka itu adalah benar. Kalau ada anggapan yang dapat menjadi dasar suatu hidup yang
baik, maka sebaiknya percaya terhadap anggapan itu. Kalau harus memilih antara anggapan yang berbeda
maka harus berfikir dari titik akhir. Perspektif tentang manusia dan dunia dengan Allah menggambarakan
masa depan yang lebih baik dan sesuai dengan keinginan kita dari pada perspektif tanpa Allah. Perspektif
pertama lebih berguna, maka lebih benar. Dari sisi ini maka perlu dibahas pengaruh iman terhadap
kahidupan manusia.
Jadi makalah yang berjudul Iman dan Taqwa dalam Perspektif Filsafat dibatasi pembahasan sebagai
berikut.
Iman dan taqwa serta hubungan anatara keduanya
Peranan iman dalam membentuk ketaqwaan
Pengaruh kekuaatan iman terhadap kehidupan individu dan masyarakat.

Tiga rumusan tersebut akan dibahas dalam tulisan yang singkat dan kesempatan yang terabatas.
Namun semoga memenuhi hajat bagi para pembaca dan dapat dijadikan pandangan untuk membahas yang
lebih luas.

2. Iman dan taqwa serta hubungan antara keduanya


Iman dan taqwa adalah dua unsur pokok bagi pemeluk agama. Keduanya merupakan elemen yang
penting dalam kehidupan makhluq manusia dan sangat erat hubungannya dalam menentukan nasib
hidupnya serta memiliki fungsi yang urgen.
Menurut ahli hukum, iman itu hanya sekedar pengakuan suatu makna yang terkandung dalam lubuk
hati, menurut para teolog, iman itu adalah kepercayaan yang tertanam dalam lubuk hati dengan keyakinan
yang kuat tanpa tercampuri oleh keraguan dan berperan terhadap pendangan hidup atau amal perbuatan
sehari-hari. Sedangkan menurut berbagai filosof, iman diartikan lebih jauh dari lafidz dan makna serta tidak
terikat dengan dalil-dalil apologis. Misalnya Karl Teodor Yoeper seorang filosof Jerman mengetengahkan
istilah iman falsafi yang universil yang berlaku untuk semua zaman dan kebudayaan. Isi iman falsafi baginya,
bahwa Allah itu ada, manusia harus mampu memilih memilih yang baik secara tak bersarat, dunia tidak
merupakan kenyataan terakhir dan bahwa cinta kasih manusia merupakan suatu bukti adanya Allah. Semua
pengertian-pengertian yang dikemukakan diatas pada dasarnya menunjukkan, bahwa iman itu berperanan
dan berpengaruh terhadap tindak laku manusia dalam segala aspek kahidupan manusia.
Menurut filosof islam Imam Ghozali bahwa iman itu berkaitan dengan hal-hal yang bersifat spiritual
atau batin, dimana hati dapat menangkap iman dalam pengertian hakiki melalui kasyaf yang diperoleh berkat
pancaran sinar Ilahi padanya. Dalam kesempatan lain beliau menegaskan, bahwa arti iman adalah pengakuan
yang kuat tidak ada pembuat (faa`il) selain Allah. Makna iman yang dikemukakan ini menimbulkan problema
metafisis, diantaranya membatasi sebab pembuat (illah faa`iliyah) hanya kepada Allah, manafikan kebebasan
berikhtiar dari manusia serta penyerahan diri (tawakkal) kepada-Nya. Pemikiran Imam Ghozali ini disebut
dengan istilah tauhid, sebab artinya keimanan itu tidak boleh menghubungkan sebab tersebut kepada selai
Allah. Dialah pembuat satu-satunya dan selain-Nya hanya sekedar washilah (perantara). Hukumnya perantara
itu dalam tinjauan filsafat juga sebab, namun sebab pokok.
Bagi Imam Ghozali iman itu bukan lawan dari syirik, tetapi peng-Esaan kepada Kholiq (Pencipta). Oleh
karena itu bagi orang yang meng-Esakan Allah harus bersikap tawakkal. Tawakkal bukan berarti maniadakan
ikhtiar, tetapi maniadakan kebebasan berikhtiar, karena dalam tawakkal manusia berkesempatan untuk
kasab (berusaha). Bahkan dengan tawakkal itu dapat mengenal hakekat ikhtiar dan sekaligus dapat
mengetahui nilai dan kualitas iman. Iman yang sebenarnya harus membuahkan tawakkal, sehingga dapat
memperoleh ridho Allah. Dalam kitab suci dikemukakan, bahwa Nabi Hud, Nabi Musa dan tang lainya telah
menjadikan tawakkal sebagai benteng kekuatan bertaqwa dalam menghadapi kaumnya. Ini semua
menunjukkan, bahwa antara iman dan taqwa saling berpengaruh dalam membentuk membentuk manusia
berkepribadian luhur.
Iman menurut pemikiran Imam Ghozali diatas mengandung implikasi yang sangat luas. Diantaranya
sekaligus sebagai garis pemisah terhadap pandangan orang yang mengingkari wujud dibalik materi, menolak
dengan tegas faham polotisme, atheisme, animisme, dan lainnya. Penafsiran sebab tauhid sebagaimana yang
telah diterangkan oleh Imam Ghozali tidak dapat disamakan dengan penafsiran sebab yang dengan
dikemukakan oleh Aristoteles, sebab Aristoteles tidak bermaksud dengan konsepnya itu menafikan sebab
material. Gerak alam ini dipandang olehnya sebagai gerak tujuan (illah ghoyah) yaitu Tuhan adalah tujuan
yang menjadi arah gerak alam, sedangkan Imam Ghozali menafsirkan Allah penggerak satu-satunya. Dialah
pencipta segala sesuatu, pencipta absolut sebagaimana ditegaskan oleh wahyu-Nya.
Pada umumnya pada filosof yang tidak mengenal ide-ide agama, maka dalam filsafat ketuhanan perlu
berpendirian, bahwa permulaan alam hanya sebagai pengatur dan penyusun materia in prima (materi
pertama) sebagai Tuhan sendiri. Pengertian pengatur dan penyusun lebih menunjukkan keterampilan
daripada pencipta. Pendirian mereka menjadikan wujud keseluruhannya tersusun dari sebab akibat. Tuhan
dan materi tunduk di bawah hukum kemestian (nesessity).
Jadi kenyataan isi dari iman antara filosof murni dengan filosof yang mengakui ide-ide agama,
khususnya Islam jauh berbeda, sehingga konsekuensinya dalam pembentukan kepribadian luhur dan pola
pikir dalam mengarungi kehidupan ditengah-tengah masyarakat akan terjadi perbedaan juga. Disini tampak
dengan jelas, bahwa sila pertama dari Pancasila sebagai asas tunggal bermasyarakat dan bernegara tidak
sama dengan kepercayaan para filosof yang tidak mengenal agama dalam mempercayai keberadaan Tuhan.
Tuhan dalam Pancasila adalah Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta alam semesta, Penagsih, Penyayang, dan
sebagainya seperti dijelaskan oleh ajaran agama khususnya ajaran Islam. Pemikiran ketuhanan yang
terkandung dalam Pancasila ternyata berpengaruh besar dalam merumuskan Tujuan Pendidikan Nasional,
Pedoman Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila dan aturan-aturan yang lain di Negara kita yang hampir
kesemuanya mengandung norma-norma luhur.
Filosof-filosof Islam, baik Mu`tazilah maupun Ahli Sunnah berpendapat bahwa hukum beriman kepada
Allah adalah wajib karena iman itu dapat diharapkan terbentuk masyarakat yang bertaqwa. Mereka
berselisih tentang dasar terjadinya kewajiban itu dari agama, sebab akal tidak mengenal hukum wajib. Akal
hanya mengenal tepat dan tidak tepat, sesuai dan tidak sesuai, benar dan salah. Abu Mansur Maturidi dan
pemikir Ahli Sunnah memberikan penyelesaian kontradiksi tersebut dengan penegasannya bahwa dasar
kewajiban beriman itu dari agama dan dapat difahami kebenarannya oleh akal.
Taqwa itu pada prinsipnya adalah amal batin atau lahir, baik yang bersifat mengikuti perintah Tuhan
maupun amal yang berbentuk menjauhi larangan Tuhan. Yang menjadi problema apakah unsur amal itu
menjadi syarat iman, dengan pengertian, bahwa apakah tanpa amal seseoran tidak dianggap beriman.
Mayoritas ahli pikir Mu`tazilah dan Khowarij berpendirian, bahwa amal adalah rukun iman. Iman
seseorang tidak dapat diterima tanpa amal dengan argumentasi, bahwa kalimat Innal ladzina Amanuu
dalam firman Allah selalu diiringi kalimat wa Amilush sholihahat atau kalimat lain yang maksudnya sama.
Tetapi menurut ahli pikir Ahli Sunnah, bahwa amal bukan sebagian rukun iman dengan alasan, bahwa apabila
amal termasuk rukun iman berarti Iman dan Islam merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah, sedangkan
berdasar penjelasan Hadist antara keduanya berlainan, dimana Jibril bertanya kepada Nabi Muhammad SAW
tentang apa rukun Iman dan rukun Islam. Masing-masing dijawab dengan jawaban yang berbeda. Bagi ahli
pikir Ahli Sunnah kalimat Alladzina Amanu memang selalu diikuti kalimat wa amilush sholihat ini
menurut analisa bahasa bahkan menunjukkna perbedaan, sebab Wau Athaf disitu menunjukkan perbedaan
(Taqtadli Mughoyarah). Artinya iman itu bukan amal dan amal itu bukan iman. Hal ini sama dengan kalau
orang yang makan telah pergi. Ini menunjukkan, bahwa berkata itu bukan makan dan makan itu bukan
berkata. Tetapi ahli pikir Ahli Sunnah mengakui bahwa antara keduanya mempunyai pengaruh yang erat
sekali. Apabila antara dua pendapat tersebut diatas dikomparasikan maka pendapat ahli pikir Ahli Sunnah
lebih kuat argumentasinya. Sebab manakala amal itu termasuk rukun iman dan iman tidak diterima tanpa
amal sholeh, maka alangkah sedikitnya orang-orang yang masuk surga. Dalam pada itu dikemukakan oleh
suatu hadits, bahwa akan keluar dari neraka siapa saja yang didalam lubuk hatinya teradapat sedikit dari
iman. Hadits ini menunjukkan orang yang beriman tanpa amal bagaimanapun akan masuk surga sekalipun
sangat lama sekali merasakan neraka.

3. Peranan Iman dalam membentuk amal ketaqwaan


Peranan iman tidak dapat terhitung jumlahnya. Yang tidak diketahui lebih banyak dari pada yang
diketahui. Bahkan peranannya dalam dunia metafisika sedikit sekali yang dapat dijelasakan.
Iman adalah sesuatu yang tersembunyi dalam jiwa (Ma waqaro fil qalbi). Berdasarkan eksperimen
sebagian besar ahli jiwa berkesimpulan, bahwa iman kepada Allah termasuk obat yang manjur untuk
menyembuhkan penyakit jiwa atau menghilangkan gangguan jiwa. Kesimpulan inin diperkuat oleh filosof-
silosof besar diantaranya Francis Bacon, William James, Kierkegoor dan lain-lain.
Menurut filosof Islam Jamaluddin Alafghoni, bahwa iman kepada Allah menumbuhkan keteguahan
pendirian dalam menghadapi kesulitan dan bahaya, bahkan mampu untuk membentuk kerelaan dan
meninggalkan kemewahan hidup, manakala ada seruan untuk bejuang dijalan Allah. Keteguhan pendirian
tersebut menjadikan kekuatan yang sangat teguh walaupun bahtera kehidupannya terombang ambing oleh
ombak dari segala penjuru. Kekuatan tersebut sekalipun merupakan pendirian setiap individu, namun
menjadi kekuatan masyarakat dan bangsa. Pemikiran Jamaluddin ini sejalan dengan kepercayaan filosof
Plato, bahwa suatu bangsa tidak dapat menjadi kuat, kecuali bila ia percaya kepada Tuhan, sekedar kekuatan
alam atau sebab pertama atau elan vital, yang tidak berupa person, jarang sekali dapat berhasil
mengilhamkan harapan, pengabdian atau pengorabanan. Akan tetapi Tuhan yang hidup dapat berbuat
semua ini. Kedua pemikiran tersebut menunjukkan, bahwa peranan iman adalah menumbuhkan kekuatan
pendirian.
Telah disepakati oleh semua ilmuan, bahwa manusia adalah makhluk sosial tidak mungkin terlaksana
tanpa dukungan kerjasama anggota masyarkat. Kerjasama tidak akan langgeng tanpa adanya aturan atau
hukum atau undang-undang yang mengatur hubungan untuk mematuhi hak dan kewajiban masing-masing
anggota masyarakat. Untuk merealisasinya sangat membutuhkan pendukung atau kekuatan. Kekuatan
pemerintah hanya dapat mencegah pelanggaran yang nyata dan dapat dibuktikan. Sedangkan para hakim
yang berstatus penegak hukum sering dikuasai oleh hawa nafsunya. Maka untuk menghadapi kejahatan atau
kekejaman yang terselubung membutuhkan kekuatan yang mampu mengendalikan nilai hukum dan norma-
norma luhur. Hampir semua ahli-ahli agama mengakui, bahwa iman dan taqwa berperan sebagaikekuatan
pengeandali hawa nafsu untuk menegakkan norma dan nilai tersebut.
Orang yang beriman kepada Allah mempunyai rasa atau kesadaran tentang kelamahan dan
kekurangannya. Kelamahan dan kekurangnnya ini dapat menimbulkan sifat menyerah kepada Allah yang
diimani. Hal ini Islam mengakui berdasarkan wahyunya, menurut Th. Steinbuchel, bahwa dalam kepercayaan
kepada Tuhan, manusia mempunyai rasa enfurcht und mertven (rasa hormat dan menyerah dengan percaya).
Dalam Islam pengaruh iman diantaranya rasa tawakkal (Ali Imron: 160). Tawakkal dalam tinjauan tasawuf ini
harus seiring dengan kesabaran. Keberhasilan manusia tidak mungkin sepenuhnya dari usaha sendiri.
Sedangkan kecil dan tidaknya ditentukan oleh berbagai faktor diluar kemampuannya. Faktor-faktor itu adalah
sebab keberhasilan. Banyak akibat yang sebabnya bermacam-macam dan sebaliknya, banyak sebab yang
akibatnya bermacam-macam. Banyak akibat yang sulit diketahui sebabnya dan banyak sebab yang sulit
diketahui akibatnya. Dalam situasi diatas sikap tawakkal sangat diperlukan. Iman yang kuat mempunyai peran
untuk menimbulkan tawakkal. Dari sini manusia akan mengetahui hakekat usahanya.
Orang beriman mempunyai tekat untuk berbuat baik. Kalau kita pinjam istilah filosof dari Max Scheler
ialah Wollen de Tuns (Niat untuk berbuat). Kalau kita menukil istilah wahyu adalah `azam atau iradatun
jaazimatun (kehendak yang sudah pasti). Oleh Max Scheler dinyatakan, bahwa kesiapan yang fundamental ini
disebut tekad, sebab didalamnya terdapat keberanian dan tanggung jawab. Memang menegakkan norma
yang luhur itu membutuhkan keberanian. Menurut ajaran wahyu disebut tekat menegakkan yang haq itu
bukan didorong oleh hawa nafsu, kepentingan pribadi dan golongan, akan tetapi didorong oleh pikiran yang
suci yang tumbuh berkat kekuatan iman. Karena itu mereka tidak takut menghadapi penegak-penegak
kebathilan, karena yakin, bahwa pelindungnya adalah Allah.
Manusia menurut mandangan Max Scheler memiliki tiga suasana (sphare), yaitu suasana keindraan,
suasana vital dan suasana rohani. Dengan tiga suasana ini maka dapat dibedakan tiga macam peranan
(gepuhle). Perasaan keindraan adalah rasa seperti enak, pahit dan semacamnya. Rasa vital ada dua cabang
yaitu, rasa kehidupan jasmani (lebengepuhle) seperti lelah dan segar bugar, dan rasa kejiwaan (seeliche-
gepuhle) seperti apabila orang yang berkata bingung, aku sedih dan aku susah. Kemudian yang ketiga adalah
rasa rohani, misalnya bahagia dan damai. Disini badan tidak tersangkut. Orang yang sedang sedang
menderita tubuhnya bisa juga merasa bahagia. Diantara tiga nilai diatas nilai rohani lebih atas. Sedangkan
Allah menurut Scheler sebagai Maha Nilai. Baginya menyerah kepada Allah tidak kehilangan nilai, melainkan
bertambahnya nilainya.
Menurut ajaran wahyu orang mu`min yang sebenaranya ialah orang cinta tertingginya diarahkan
kepada Allah (Asyaddu Cubban Lillah). Bahkan menurut wahyu manusia diancam oleh Allah manakala
cintanya kepada Allah tidak diatas segala macam cinta. Cinta yang tinggi ini menjadi dasar semua cinta kita.
Manakala manusia beriman salah satu jenis kecintaannya gagal arau tidak terpenuhi, maka tidak akan
merusak kebahagiaan hidup asal cinta tertingginya tetap bercokol. Uraian diatas dapat dirumuskan, bahwa
iman yang kokoh berperan menumbuhkan rasa cinta kepada Allah dan sekaligus berperan menumbuhkan
kebahagiaan hidup.
Uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa peran iman, diantaranya menghilangkan gangguan jiwa,
menumbuhkan keteguahan pendirian, menumbuhkan kekuatan pengendali hawa nafsu, menumbuhkan
tawakkal, menciptakan tekat berbuat baik dan berperan menciptakan rasa cinta dan bahagia.
Enam macam peranan tersebut hanya merupakan peranan yang asasi secara minim akan tumbuh
pada orang-orang yang benar-benar beriman. Totalitas peranan tersebut secara integral dapat
menumbuhkan ketaqwaan dalam hkehidupan manusia, baik sebagai makhluk individual maupun koletif.
Sedangkan gambaran rinci tentang proses peranan iman yang menumbuhkan ketaqwaan sebagai berikut,
yaitu gambaran singkat sebagai perspektif filsafat agama terhadap iman dan taqwa.
Manusia adalah makhluk yang membutuhkan keselamatan, bukan untuk sekedar beberapa tahun,
namun untuk selama-lamanya. Bukan keselamatan fisik berupa kesehatan saja, namun juga keselamatan
rohani berupa ketenangan jiwa. Disini iman berperan untuk melenyapkan semua gangguan jiwa. Lebih dari
pada itu ia juga membutuhkan keselamatan dalam arti yang tinggi. Keselamatan dalam artian ini menurut
wahyu adalah kebahagiaan didunia dan di alam baka.dalam hal ini dibutuhkan peranan iman berupa
menciptakan tekat berbuat baik bersama-sama peranan iman yang lain yang berfungsi secara integral.
Keberhasilan keselamatan manusia tidak berkat usaha sendiri, namun masih tergantung dengan lainnya,
karena realitasnya dia sebagai suatu titik yang kecil terletak dalam suatu kosmos yang maha besar dan tidak
terhingga. Bahkan dalam kemerdekaannya dia masih terikat. Oleh karena itu dia membutuhkan dukungan
sesamanya dan dukungan lingkungan. Tetapi ternyatab tidak semuanya mendukung, bahkan menjadi
penghambat dan perintang, karena masing-masing mempunyai keinginan dan kemampuan yang berbeda.
Peranan iman berupa tumbuhnya keteguhan pendirian dan kekuatan pengendalian hawa nafsu mutlak
dibutuhkan. Sudah barang tentu tidak semua keselamatan berhasil dengan memuaskan bahka sering terjadi
kegagalan. Dalam situasi ini tidak akan terjadi keputusasaan sebab sifat iman yang sebenarnya berperan
menumbuhkan sifat tawakkal. Baik berhasil maupun gagal tetap bersyukur sebab iman yang sesungguhnya
menumbuhkan rasa cinta dan bahagia dalam situasi apapun. Demikian gambaran proses integral peranan-
peranan iman yang mampu menumbuhkan ketaqwaan yang didambakan oleh kejayaan bangasa dan negara.

4. Pengaruh kekuatan iman terhadap kehidupan individu dan masyarakat


Sebagaimana peranan iman yang jumlahnya sulit dihitung demikian juga pengaruhnya, dimana yang
tidak diketahui lebih banyak. Lebih sulit lagi apabila dianalisis pengaruh iman terhadap hal-hal bersifat
metafisik.
William James, seorang guru besar dalam ilmu filsafat di Harvard University berpendapat, bahwa
pengaruh keimanan menumbuhkan keberanian, semangat, berpengharapan, menghilangkan perasaan takut
serta keluh kesah, memberikan perbekalan hidup yang berupa cita-cita dan tujuan hidup, menimbulkan
dihadapannya lapangan kebahagiaan dan alam subur ditengah-tengah gurun kehidupan.
Dr. Paul Erneet Adolf seorang guru besar pada Universitas Saint Jones dan anggota himpunan ahli
bedah Amerika berpendapat bahwa ilmu kedokterran dan ilmu kepercayaaan kepada Allah SWT keduanya
patut menjadi landasan untuk membangun filsafat modern.
Sebenarnya banyak sekali filosof-filosof dan cendekiawan yang mengakui adanya pengaruh positif dari
iman, misalnya Max Scheler, filosof Jerman, Karl filosof Jerman, Karl ospers seorang filosof eksistensialisme, J.
Kant filosof dari Rusia yang terkenal dengan teorinya kopernikan ke subyek dan filosof-filosof lain yang
terkenal. Pemikiran para filosof dan cendekiawan tersebut pada umumnya tidak secara jelas diterangkan
proses terjadinya pengaruh tersebut, sehingga sulit untuk diterima oleh ahli-ahli pikir lainnya.
Misalnya watak dasar manusia adalah egoisme. Watak inilah yang sering menimbulkan permusuhan,
perampasan hak orang lain, penguasaan dan lain sebagainya. Namun iman yang mengandung ajaran social
dan susila mampu menumbuhkan perdamaian dan kedamaian di tengah-tengah kehidupan yang saling
bermusuhan.
Dalam wahyu ditetapkan, bahwa manusia itu mempunyai kecenderungan akeduniaan tanpa suatu
pedoman dan batas merupakan biang pokok timbulnya kerusakan masyarakat. Namun disamping itu
keimanan mampu mengendalikan dan menolak kecenderungan itu, karena iman mengandung ajaran tentang
batas diperbolehkannya mencintai keduniaan, yaitu selama tidak menimbulkan kerusakan dan bahaya bagi
kehidupan masyarakat.
Sejak dahulu kala sampai sekarang, khususnya dalam era globalisasi banyak sekali kegiatan-kegiatan
negative yang tejadi di suatu Negara. Pemerintah dengan undang-undangnya dan hukuman terpaksa mundur
dan tidak mampu menyelesaikan kebiaaan negative tersebut. Ternyat kekuatan iman yang memilki pengaruh
melumpuhka kebiasaan yang tidak dapat dihadapi oleh kekuasaan dan kekuatan lahir.
Pegaruh ekuatan iman melahirkan akhlak dan moral yang luhur dalam kehidupan manusia, seperti
jujur, adil dala segala situasi, diucapkan kebenaran walaupun terasa sangat berat, ditegakkan kebenaran
sekalipun berakibat merugikan dirinya dan keluarganya, bersikap adil terhadap lawan sebagaimana bersikap
adil di tengah-tengah kawan, masih banyak lagi norma-norma luhu yang dicetuskan oleh kekuatan iman.
Oleh karena sangat patut sekali apabila dinyatakan bahawa iman dan taqwa adalah kunci pengalaman nilai-
nilai luhur.
Dengan kunci iman yang menentukan damai atau perang, aman atau kacau, hidup atau mati, tentram
atau gelisah, mujur atau malang, kuat atau lemah, halal atau haram, dan sebagainya. Oleh karena itu
kepercayaan tentang keesaan Tuhan tidak saja merupakan akibat dai terutusnya nabi Muhammad saw, tapi
juga menjadi akibat pokok dan dasar terutusnya nabi-nabi semuanya.
Perubahan jiwa seseorang aau masyarakat merupakan suatu reformasi dala pandang filsafat. Setiap
pembangunan dan kebangkitan umat dalam situasi apapun harus sejalan dengan reformasi jiwa tersebut.
Apabla tidak sejalan maka usaha pembangunan dan kebangkitan ummat itu hanya berupa rencana atau
program semata-mata.
Reformasi jiwa bukanlah suatu hal yang rinagn dilakukan, tetapi merupakan suatu hal yang berat dan
sulit, sebab manusia merupakan makhluk yang dalam dirinya bertemu secara integral semua sifat-sifat, baik
positif maupun negative yang memerlukan media yang mampu sebagai mekanisme spiritual yang
menormalisir sifat-sifat yang paradok itu. Oleh karena itu wajar perubahan jiwa manusia termasuk usaha
yang sangat berat, membendung aliran air yang dahsyat dan mengubah arah aliarannya, membuat
terowongan tanah dibawah laut merupakan pekerjaan yang lebih ringan daripada usaha mengubah jiwa dan
pandangan hidup.
Tetapi ternyata dalam pengalaman sejarah pengaruh kekuatan iman yang mampu menciptakan
perubahan jiwa manusia dan menjadikan manusia dalam bentuk baru, sehingga berubah juga pandangan
hidupnya didua masa, yaitu masa di dalam keadaan kafir dan masa didalam keaadaan beriman, maka jelaslah
bahwa dalam masa kedua itu bukan lagi seperti dalam masa pertama, sekalipun nama dan bentuk tubuhnya
berubah.
Kadang pengaruh iman terhadap seseorang terjadi secara drastic, tanpa memandang umur dan
tingkat penghidupan. Sering pengaruh tersebut bertentangan dengan teori para psikolog, dimana mereka
menetapka teorinya, bahwa keberhasilan pendidikan terikat oleh masa-masa tertentu. Hal ini berbeda
dengan pengaruh iman, apabila iman telah tertanam dalam jiwa seseorang, maka iman tersebut mampu
mengubah jiwa dan pandangan hidup. Semuanya itu tidak terbatas pada masa-masa tertentu, baik masa
remaja, dan masa dewasa maupun tua.
Pengaruh iman terhadap jiwa bukan suatu hal yang diragukan sebagaimana dapat disaksikan pada
fakta sejarah bangsa arab. Pengaruh iman terhadap perubahan jiwa tidak hanya terjadi pada kehidupan
masyarakat dan bangsa, namun juga terjadi terhadap individu, baik pria maupun wanita, seperti terjadi pada
seorang laki-laki bernama Umar bin Khattab dan seorang wanita bernama Khansa`. Ternyata pribadi
keduanya sebelum dan sesudah beriman jauh berbeda. Berkat pengaruh iman keduanya menjadi hamba
Allah yang penuh taqwa dalam segala situasi dan kondisi.
Semoga tulisan singkat ini bermanfaat bagi kita semua.

Penulis adalah dosen Filsafat Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Malang.

Bahan bacaan

Al-Qur`an wa al Ilmi al Hadits, Musthofa Shodiq Al Rofi`i.


Ihya` al `Ulum al Din, Abu Hamid Muhammad Al Ghozali.
Al Munqis min al Dlolal, Abu Hamid Muhammad Al Ghozali.
A. Modern Philosophy of Religion, Henry Regnery.
Al Wujud al Haq, Dr. Hasan Al Huwaidy.
Percikan Filsafat, Prof. Dr. N. Drijerkara S.J.
Tarikh al Hukama, Al Qifti.
Berkenalan dengan eksistensialisme, Prof. Dr. Fuad Hasan.

Anda mungkin juga menyukai