Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Jakarta (antara news.com) Mengutip Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Maret 2010, ada 31,02 juta
penduduk miskin di Indonesia, atau 13,33 persen dari total penduduk Indonesia.
Angka ini turun dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang sebanyak 32,53 juta.
Bagian terbesar penduduk miskin hidup di desa. Mereka ini lalu menoleh perkotaan untuk
mengatasi kemiskinan mereka. Maka arus urbanisasi pun mengencang.
Namun karena banyak dari mereka tak cukup terdidik dan tak cukup keahlian, kehadiran mereka
di kota malah memindahkan kemiskinan dari desa ke kota atau mempertinggi angka kemiskinan
kota.
Keadaan itu terjadi pula di Jakarta. Malah, persaingan hidup yang sengit dan lahan yang kian
menyempit, memaksa jutaan orang miskin kota tinggal di daerah-daerah tak layak ditempati,
sampai-sampai ada yang harus menempati sudut-sudut yang selain membahayakan dan merusak
tata kota, tapi juga bukan haknya.
Mereka ini termasuk yang tinggal di wilayah bantaran rel kereta api milik PT Kereta Api
Indonesia (KAI). Diataranya yang terdapat di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat, tepatnya
depan kampus STIA LAN, Jakarta.
Mereka sudah tidak mempedulikan keselamatan diri mereka. Namun, karena sudah biasa, dan
pastinya karena dipaksa oleh tuntutan hidup, mereka menjalani juga kehidupan penuh risiko itu.
Kebanyakan dari mereka adalah kaum pendatang yang berurbanisasi dari wilayah-wilayah
seperti Indramayu, Cirebon, Madura, dan banyak tempat lainnya.
Setiap keluarga menyesaki ruangan seukuran 3x3 meter persegi yang disusun dari potongan-
potongan kayu. Di ruang sesempit ini rata-rata ada tiga orang di dalamnya.
Mereka rata-rata berdagang, tukang bangunan, supir taksi, sopir bajay, tukang ojek, tukang cuci
pakaiaan, pembantu rumah tangga, dan profesi informal lainnya.
Jangan anggap mereka gratis menempati gubuk-gubuk itu, sebaliknya mereka harus membayar
sewa kepada penghuni awal lahan milik PT KAI tersebut.
"Jangan salah lho, kami ngontrak untuk bisa tinggal di rel ini," kata Ujang Supriatna (29).
Bayarannya, kata penjual gorengan keliling ini, adalah Rp200 ribu sebulan, dengan fasilitas
aliran listrik dan tempat MCK. Ujang mengaku sudah tiga tahun tinggal di situ. Tentu saja dia
tinggal bersama keluarganya.
Mereka sadar
Sulit membayangkan bisa hidup di tempat sesumpek itu. Tapi, mereka bahkan ada yang sudah
berpuluh tahun tinggal di situ. "Saya tinggal di sini sejak tahun 1985," kata Oom komariyah (47).
Ibu rumah tangga beranak tiga itu mengungkapkan kehidupan seperti ini sudah ada sejak dia dan
suaminya hijrah dari Tasikmalayua ke Jakarta 25 tahun silam untuk mengadu nasib.
Demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Oom membuka warung di sisi rel yang berjarak
hanya satu meter dari jalur kereta api, sementara suaminya menjadi tukang bangunan.
"Ya mau gimana lagi, orang lahannya sempit," kata Kosim Rohimat (33).
Kosim berprofesi sebagai pedagang mie ayam dan kadang nyambi menjadi tukang bangunan,
sedangkan sang istrinya bekerja sebagai tukang cuci di rumah susun tak jauh dari tempat mereka
tinggal.
Bukan hanya kalangan dewasa yang terbiasa di kesumpekan, anak-anak mereka pun terbiasa
bermain di wilayah yang tak menyisakan sejengkal pun tanah untuk tempat bermain anak itu.
Meski menganggap gubuk-gubuk itu istananya, tapi mereka sadar telah menempati lahan yang
bukan haknya, sehingga kalau ditertibkan mereka akan menerimanya.
"Kita sih terima aja ditertibkan karena memang ini bukan tanah saya," kata Oom.
Yang Oom dan warga bantaran rel lainnya minta adalah mengkomunikasikannya dulu kepada
mereka, jangan asal bongkar dan gusur.
"Ditertibkan sih boleh boleh saja, yang penting diberitahukan kepada semua warga di sini," kata
Usep.
Warga asal Garut ini ingin ada musyawarah terlebih dahulu sebelum ditertibkan, termasuk
membincangkan kompensasi untuk mereka.
Warga seperti Oom mengharapkan kompensasi itu diantaranya pinjaman usaha dan biaya
pemulangan mereka ke kampung. "Saya sih terima kasih kalau nanti ada bantuan, moga-moga
bisa lancarin usaha saya," kata Oom.
Selama ini hanya keterpaksaan yang membuat mereka tinggal di bantaran rel. Mereka
melakukannya dmei mencoba bertahan hidup di Jakarta, apalagi mereka sudah beranak pinak.
Pemerintah sendiri dalam waktu dekat akan menertibkan wilayah bantaran rel, mulai kawasan
dekat flyover Slipi sampai kawasan Pintu Air Pejompongan. Jadi termasuk area di mana Oom,
Ujang, Kosim dan ratusan keluarga lainnya tinggal.
Penertiban kawasan itu diberlakukan kepada wilayah di dua sisi bantaran rel, yaitu sisi wilayah
Petamburan sejauh 1 meter dari rel dan sisi Pejompongan sejauh 5 meter dari rel.
Sebelum penertiban dilaksanakan, ada baiknya mendengar dulu keluhan warga itu yang
umumnya berharap mendapatkan kompensasi berupa bantuan modal. Tentu saja sebagai warga
negara, mereka berhak difasilitasi negara.
Selama ini mereka mengandalkan pinjaman dari para rentenir karena mana mau bank
menyalurkan kredit kepada warga miskin seperti mereka. Mereka menyebut para rentenir
dengan "bank keliling".
Pemerintah sendiri, diantaranya Kementerian Sosial, tak berdiam diri menjawab aspirasi warga
miskin ini.
Kementerian Sosial sendiri, bersama PT. KAI, menyatakan kesiapannya membantu penduduk
miskin yang rumah sumpek mereka itu akan segera ditertibkan. Kementerian akan
memberdayakan masyarakat miskin kota, termasuk yang ada di bantaran rel kereta api.
Humas Kementrian Sosial Tati Nurhayati menyatakan, pihaknya siap mendampingi masyarakat
yang menempati lahan milik PT. KAI.
"Nantinya mereka akan dipulangkan ke kampung halaman masing masing," kata Tati.
Khusus anak-anak yang tinggal di kawasan miskin itu, pemerintah menyediakan pelayanan
khusus untuk anak balita, anak terlantar dan jalanan, anak yang berhadapan dengan hukum, anak
cacat dan anak yang membutuhkan perlindungan khusus.
Sementara untuk merespons keluhan seperti disampaikan warga bantaran rel, Kementerian Sosial
memiliki progam khusus Kelompok Usaha Bersama (KUBE).
Dalam skema ini, kelompok warga miskin bisa mendapat bantuan Rp20 juta. Dengan dana ini
warga miskin mesti bisa mengembangkan usahanya sendiri.
Di Palu, Sulawesi Tengah, program KUBE mencatat sukses. Warga miskin yang mendapat
bantuan skema ini berhasil mengembangkan usaha batu bata, sementara di Kabupaten Bangli,
Bali, program serupa sukses mendorong usaha ternak sapi di sana.
Dengan keberhasilan seperti itu, program serupa bisa pula membantu mengeluarkan Oom dan
banyak lagi warga miskin di bantaran rel atau warga miskin perkotaan lainnya, keluar dari jerat
kemiskinan.
Salah satu kebijaksanaan pemerintah terutama didaerah perkotaan yang ada adalah
kebijaksanaan pengelola kota atau wilayah perkotaan yang terutama untuk
menangani masalah dan kinerja masing-masing kota, dimana telah dikeluarkan
pemerintah Indonesia yang menyatakan bahwa Pembangunan
nasional Bangsa Indonesia pada hakekatnya adalah Pembangunan Manusia
Seutuhnya, yang terdapat dalam tujuan pembangunan nasional dimana pernyataan
itu mempunyai ciri-ciri adalah : pertama, memiliki keselarasan hubungan manusia
dengan tuhannya. Kedua, keselarasan hubungan manusia dengan masyarakat.
Ketiga, pada lingkungan yang dibangun kita harus memperhatikan hubungan
manusia dengan alamnya. Kesemua ciri-ciri tersebut mengartikan manusia sebagai
insan sosial merupakan faktor utama didalamnya adalah pembangunan yang
menitikberatkan untuk kebutuhan dasar manusia, salah-satunya mengenai
perumahan. Adapun untuk pemenuhan aspek perumahan dan permukiman yang
merupakan salah satu kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan terendah pada
kota-kota di Indonesia dikarenakan kemiskinan yang terjadi pada kota-kota di
Indonesia saat ini yang meningkat dengan pesat. Upaya pemenuhan kebutuhan
umunya mereka penuhi sendiri. Akan tetapi peran sektor masyarakat terutama kaum
yang berpenghasilan terendah sebagai penyedia akan mulai digantikan oleh sektor
formal. Oleh sebab itu membiarkan pembangunan permukiman ke tangan
masyarakat secara spontan dan individual, seperti yang telah banyak terjadi dikota-
kota besar di Indonesia (contoh : bantaran banjir, jalur kereta api dan lokasi-lokasi
lain), juga bukan tindakan yang bijaksana. Namun pengalaman pun memperlihatkan
bahwa sektor publik apalagi swasta, tidak dapat diandalkan untuk memenuhi
kebutuhan perumahan masyarakat yang berpenghasilan terendah, yang jumlahnya
lebih besar dari masyarakat yang berpenghasilan tinggi.
Berlatar belakang konsep manusia sebagai subjek pembangunan, maka muncullah
pendekatan pembangunan perumahan yang bertumpu pada kelompok masyarakat,
yang bahkan sudah dituangkan kedalam bentuk Keputusan Menteri Perumahan
Rakyat, pada tahun 1994. Dengan pendekatan ini, maka anggota
masyarakat yang mempunyai kepentingan bersama secara spasial dan atau pekerjaan
atau kepentingan bersama lainnya, yang membutuhkan perumahan, diorganisasikan
agar mampu bertindak menjadi pengembang permukiman bagi kebutuhan
kelompoknya. Dalam pelaksanaan pembangunan fisiknya, kelompok ini dapat
berlaku sebagai pengembang lain, yaitu menggunakan kredit, tenaga kontraktor dan
lain sebagainya dengan keputusan akhir berada ditangan sendiri. Pelaksanaan
konsep ini umumnya memadu dengan tujuan-tujuan pemberdayaan, terutama jika
kelompok tersebut adalah kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah atau
tidak mampu. Dalam SK Menteri tahun 1994 itu, disebutkan perlunya ada peran
Konsultan Pembangunan, yang akan mendampingi kelompok tersebut melalui proses
pembelajaran pembangunannya. Pendekatan ini menjanjikan terbentuknya
permukiman yang terjangkau dan sesuai dengan kebutuhan kelompok yang
bersangkutan, komunitas hunian yang lebih padu dan siap untuk mengelola
permukimannya. Kedalam organisasi ini informasi mengenai keberlanjutan tentang
permukiman dapat disebarluaskan, akan tetapi proses pengorganisasiannya mungkin
memerlukan waktu yang cukup lama, untuk menjadi organisasi yang mendapat
kepercayaan dari pemegang sumber daya, seperti misalnya perbankan dan
pemerintahan kota, sehingga dapat membangun. Selain hal-hal yang telah dijelaskan
diatas tentang kebijaksanaan pemerintah tentang perumahan dan permukiman
diperkotaan, ada pun kebijaksanaan pemerintah dalam hal pembangunan
perumahan dikota-kota besar di Indonesiaditujukan untuk memenuhi kebutuhan
pokok warga kota, dengan sasaran strategis pada umumnya yaitu dengan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara membuat permukiman baru
yang ideal yang dileksanakan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat secara
terpadu dan terencana
Melihat arti strategis masalah permukiman bagi kesejahteraan kota yang saat ini
banyak mengalami dilema kemiskinan kota, maka pemerintah dengan terencana dan
melaksanakan program-program penyehatan lingkungan permukiman dengan sebaik-
baiknya antara lain dengan program-program perbaikan kampung, pengelolaan
lingkungan (sampah, kebersihan, keindahan danb ketertiban), pembangunan rumah
susun, pembangunan perumahan untuk masyarakat golongan tidak mampu dan lain
sebagainya. Agar tujuan pemerataan dan pengentasan kemiskinan serta pemenuhan
kebutuhan yang terjadi pada perkotaan dapat terlaksana maka prioritas ditujukan
bagi masyarakat berpenghasilan rendah, antara lain penyediaan Rumah Sangat
Sederhana, Rumah Susun dan lain-lain yang kesemuanya diharapkan dapat
memperbaiki struktur sosial masyarakat yang terlihat pada kemiskinan kota dapat
diredam dengan baik. Khusus untuk lingkungan permukiman kumuh akibat dari
masyarakat yang berpenghasilan rendah dipusat kota, pemerintah telah melakukan
program antara lain adalah ;
1. Program perbaikan kampung dengan memperbaiki kondisi kesehatan lingkungan
serta sarana dan prasarana.
2. Program uji coba peremajaan lingkungan kumuh dan perumahan kumuh yang ada
serta menggantinya dengan rumah susun yang memenuhi syaraat.
Dalam peremajaan lingkungan, pada prinsipnya adalah bahwa penduduk lama tetap diusahakan agar
dapat ditampung kembali dalam rumah yang dibangun dilokasi yang sama atau berdekatan agar kondisi
perumahan menjadi lebih baik, mereka tidak akan kehilangan segi-segi posistif dari lokasi yang lama
yang telah dirasakan sebelumnya.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi jumlah penduduk
didaerah-daerah yang padat adalah Program Transmigrasi. Artikel Bulettin TERAS Dampak
Kemiskinan KotaTerhadap Perumahan Dan Pemukiman Di Kota Besar Indonesia, 2009 18
Transmigrasi di Indonesia mengalami berbagai tahap perkembangan, yaitu semasa jaman penjajahan
yang pada waktu itu disebut dengan kolonialisasi, jaman kemerdekaan dan program transmigrasi yang
dilakukan secara terprogram sejak PELITA I. (sumber ; Siswono Yudohusodo, Ir. Rumah Untuk seluruh
rakyat. 1991). Selain penyebaran penduduk, kegiatan transmigrasi diharapkan dapat menunjang
pencapaian Trilogi Pembangunan melalui penyebaran tenaga kerja yang terampil, penyebaran usaha,
peningkatan mutu kehidupan penduduk yang terlibat dalam pembangunan transmigrasi. Ada beberapa
bentuk transmigrasi yang dikenal selama ini, yaitu berupa : transmigrasi umum, transmigrasi keluarga,
transmigrasi atas biaya sendiri, transmigrasi spontan dan transmigrasi lokal. Dimasa-masa mendatang
akan lebih ditingkatkan pelaksanaan transmigrasi swakarsa. (Siswono Yudohusodo, Ir. Rumah Untuk
seluruh rakyat. 1991). Dari beberapa indikasi yang ada dan didasarkan kepada angka-angka statistik,
kondisi perumahan di Indonesia berdasarkan aspek kependudukan yang sedang marak saat ini, pada
umumnya dapat dikatakan membaik, sehingga usaha-usaha yang mengarah kepada perumahan dan
lingkungan pemukiman didaerah perkotaan yang layak, sehat, teratur dan berkelanjutan bagi seluruh
rakyat, khususnya didaerah perkotaan dapat tercapai secara bertahap. Untuk mencapai hal itu, memang
membutuhkan waktu, keuletan serta kesabaran dan keberhasilan kita sekalian, pemerintah, organisasi-
organisasi kemasyarakatan, usaha-usaha swasta, BUMN dan koperasi serta masyarakat luas dalam
meningkatkan kemampuan, keswakarsaan dan keswadayaan masyarakat agar perumahan dan
lingkungan pemukiman baik didesa maupun di perkotaan pada umumnya dapat tercapai dan
berkesinambungan untuk masa yang akan datang