Uraian di atas mengantarkan kita pada pemahaman bahwa ada hal-hal dari ajaran Islam yang
berlaku baku (tetap, tidak berubah-ubah) dan ada hal-hal yang bisa berubah-ubah. Hal-hal yang
baku dan tidak berubah-ubah sepanjang masa, pertama adalah kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, Utusan-utusan Tuhan, kitab-kitab suci dan pada kehidupan sesudah kematian atau yang
popular disebut hari akhirat. Kedua, adalah pokok-pokok ibadah, seperti shalat, puasa, zakat dan
haji, dan ketiga adalah prinsip-prinsip kemanusiaan universal.
Sementara hukum-hukum yang bisa berubah adalah masalah-masalah yang menyangkut relasi atau
pergaulan antar manusia dalam suatu komunitas, atau dalam konteks fiqh Islam ia popular disebut
Muamalat. Bidang ini meliputi aturan-aturan mengenai relasi manusia dalam keluarga (family law),
dan aturan-aturan mengenai relasi antar manusia dalam kehidupan domestic (rumah tangga),
social, budaya, ekonomi, politik, serta pergaulan antar bangsa. Muamalat adalah dimensi hukum
Islam yang paling luas, dinamis dan terus bergerak dalam proses yang tidak akan pernah berhenti
sejalan dengan keniscayaan perubahan kehidupan manusia sendiri.
Dalam konteks perubahan yang terus menerus ini, maka adalah kebijaksanaan Tuhan bahwa teks-
teks keagamaan tidak mengatur detail-detail masalah dan hukum-hukumnya, melainkan lebih
banyak menetapkan dasar-dasarnya (mabadi) yang bersifat moral-etis. Beberapa di antaranya
adalah ; Adam al-Dharar (tidak merugikan/merusak), Adam al-Gharar (tidak menipu), Adam al-
Ihtiqar (non diskriminatif), Adam al-Ikrah (non kekerasan), al-Taradhi (kerelaan pihak-pihak yang
terlibat), Muasyarah bi al-Maruf (pergaulan yang baik), syura/musyawarah (dialog konsultatif) dan
sebagainya. Semua dasar ini pada akhirnya bermuara pada satu dasar utama yang bernama
Maslahat, kebaikan umum (human welfare). Dengan kata lain, keputusan hukum terhadap problem-
problem muamalat (social/public) didasarkan pada kemaslatan umum ini. Para ulama ahli hukum
telah sepakat bahwa kemaslahatan adalah tujuan hukum/syariat.
Pertanyaan yang selalu muncul terkait dengan isu ini, adalah bagaimana apabila pertimbangan
hukum atas dasar kemaslahatan tersebut bertentangan dengan bunyi literal teks suci, baik Al-Quran
maupun hadits dan dengan Ijma ulama (consensus). Mengenai hal ini menarik sekali untuk
dikemukakan pandangan Dr. Musthafa Syalabi dalam bukunya Talil al-Ahkam.
Apabila kemaslahatan bertentangan dengan nash(teks)[5], dalam bidang muamalat dan adat-
kebiasaan (tradisi) yang kemaslahatannya telah berubah, maka kemaslahatanlah yang harus
dipertimbangkan, dan hal ini tidaklah dapat dikatakan sebagai menentang nash melalui semata-
mata pendapat nalar. Sebaliknya ia justeru mengaplikasikan nash-nash yang sangat banyak yang
menunjukkan keharusan menjaga kemaslahatan tersebut. Akan tetapi apabila kemaslahatan dalam
nash tidak berubah, maka nash sama sekali tidak boleh diabaikan.[6]
Syalabi selanjutnya mengatakan :
Siapapun yang merenungkan secara mendalam tentang adanya kontradiksi tersebut, hal itu
sebenarnya hanyalah dalam bentuk lahiriyahnya saja. Hal ini karena nash sesungguhnya diturunkan
(dibuat) dalam rangka menegakkan kemaslahatan tertentu. Manakala kemasalahatan tersebut telah
hilang, maka ia tidak relevan lagi untuk diimplementasikan. Demikian pula apabila nash disertai
dengan illat (logika kausalitas) nya. Manakala illat tersebut hilang, maka hukum tersebut juga
selesai. Ini adalah pemahaman para sahabat dan generasi sesudahnya.[7]
Demikian juga halnya terhadap masalah hukum yang telah diputuskan secara consensus (Ijma).
Adalah benar bahwa kesepakatan ulama tidak boleh dilanggar. Akan tetapi hal ini terjadi hanya
pada kesepakatan atas masalah hukum yang kemaslahatannya tidak berubah-ubah sepanjang
masa. Syalabi mengatakan :
,
(327 , ) .
Aku sepakat dengan para ulama bahwa Ijma ulama tidak boleh dilanggar. Akan tetapi hal ini
apabila Ijma tersebut telah benar-benar nyata dan disampaikan kepada kita melalui jalan
(transimisi) yang sahih atas hukum yang kemaslahatannya tidak mengalami perubahan sepanjang
zaman.[8]
Umar bin Khattab, sahabat Nabi adalah tokoh besar yang banyak sekali mendasarkan keputusanya
berdasarkan prinsip kemaslahatan ini. Beberapa di antaranya adalah pembatalan hukuman potong
tangan ketika masyarakat menghadapi situasi krisis ekonomi yang luas. Ia juga tidak membagikan
tanah rampasan perang hanya kepada para tentera yang ikut dalam perang yang tak digaji (al-
ghuzzat ghair al-murtaziqin), tetapi menyerahkannya kepada Negara untuk kepentingan masyarakat
secara lebih luas, dan talak tiga yang diucapkan suami kepada isterinya menjadi jatuh tiga.
Keputusan-keputusan Umar ini berbeda dari keputusan Nabi. Hal ini tidaklah berarti bahwa dia
menentang Nabi. Umar justeru menegakkan maksud dan visi al-Quran. Ia memahami bahwa
hukum yang diputuskan Nabi adalah relevan dengan kemaslahatan sosial beliau. Akan tetapi akibat
perkembangan social pada masanya, keputusan Nabi tersebut tidak lagi sesuai dengan
kemaslahatan sosial yang dihadapi pada masa Umar. Mengenai talak tiga yang jatuh tiga, Ibnu al-
Qayyim menginformasikan argument Umar dengan mengatakan :
Talak (cerai) tiga pada masa Nabi saw, dan pada masa pemerintahan Abu Bakr serta dua tahun
masa Umar jatuh satu. Akan tetapi masyarakat kemudian menuntut kesegeraan pada masalah yang
seharusnya dilakukan bertahap. Mereka berharap kami memenuhinya. Maka aku putuskan sesuai
dengan kehendak mereka.[9]
Membaca fiqh para ulama pendiri mazhab maupun para pengikutnya, tampak jelas bahwa
pandangan mereka berbeda-beda, meskipun mendasarkan diri pada sumber hukum yang sama.
Beberapa contoh kasus, misalnya wali nikah perempuan, saksi nikah, usia dewasa, talak tiga dan
sebagainya.[10] Keputusan mereka sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu mereka yang berbeda
dan dinamis. Dr. Faruq Abu Zaid mengatakan: Pandangan-pandangan fiqh Islam tidak lain kecuali
merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan sosial dalam masyarakat Islam. Pandangan-
pandangan fiqh itu berubah, berkembang dan berganti-ganti sejalan dengan situasi zaman dan
konteks sosialnya masing-masing.[11]
Para ulama ahli fiqh sepakat bahwa hukum-hukum yang berdiri di atas landasan yang berubah dan
berkembang, niscaya ia juga akan berubah dan berkembang. Mereka kemudian melahirkan kaedah
hukum La Yunkaru Taghayyur al-Ahkam bi Taghayyur al-Azminah wa al-Amkinah wa al-Ahwal
(perubahan hukum terjadi karena perubahan zaman, lokalitas dan situasi sosial).[12]
Ibnu al-Qayyim menyampaikan kaedah ini secara lebih lengkap. Ia mengatakan : Taghayyur al-
Fatwa wa Ikhtilafuha bi Hasab Taghayyur al-Azminah wa al-Amkinah wa al-Ahwal wa al-Niyyat wa
al-Awaid.(Perubahan fatwa dan perbedaannya berdasarkan perubahan zaman, tempat, kondisi
social, motivasi dan adat-istiadat (tradisi).[13]
Prinsip-Prinsip Kemanusiaan Universal
Lebih jauh dari sekedar keharusan terjadinya perubahan hukum karena perubahan ruang, waktu
dan perkembangan social, perumusan hukum juga meniscayakan bimbingan dari prinsip-prinsip
yang lebih mendasar dan universal. Yaitu prinsip-prinsip kemanusiaan Universal. Para ulama
menyebutnya sebagai Al-Kulliyyat al-Khams (lima prinsip universal) atau al-Dharuriyyat al-Khams
(lima prinsip niscaya) dan Maqashid al-Syariah (tujuan syariat/agama). Prinsip- prinsip ini telah
dirumuskan dengan cerdas oleh antara lain Imam al-Ghazali dalam Al-Mustashfa Min Ilm al-Ushul.
Boleh jadi sebelumnya telah diisyaratkan oleh gurunya : Imam al-Haramain. Ia kemudian diuraikan
secara lebih luas oleh Imam Al-Syathibi dalam bukunya Al-Muwafaqat fi Ushul a-Syariah. Lima
prinsip itu ialah : Hifzh al-Din (perlindungan terhadap agama/keyakinan, Hifzh al-Nafs (perlindungan
terhadap hak hidup (life), Hifzh al-Aql (perlindungan terhadap hak berpikir dan
mengekspresikannya, Hifzh al-Nasl (perlindungan terhadap hak-hak reproduksi dan Hifzh al-Mal
(perlindungan terhadap hak-hak milik/property.
Lima prinsip di atas dinyatakan oleh Imam Abu Ishaq al-Syathibi sebagai konsensus agama-agama
(Ittifaq al-Milal). Sementara Dr. Abdullah Darraz mengatakan bahwa lima prinsip di atas merupakan
dasar-dasar pembangunan/kemajuan masyarakat dalam semua agama. Tanpa lima dasar ini
kehidupan bersama manusia tidak akan stabil dan kebahagiaan di akhirat tak akan dicapai.[14]
Bagi saya, lima prinsip di atas identik dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Deklarasi Hak-Hak
Asasi Manusia Universal, termasuk Konvensi CEDAW (Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan). Di dunia Islam, hak-hak asasi manusia ini telah dideklarasikan di
Kairo tahun 1990. Bebera pasalnya menyatakan :
Manusia adalah satu keluarga, sebagai hamba Allah dan berasal dari Adam. Semua orang adalah
sama dipandang dari martabat dasar manusia dan kewajiban dasar mereka tanpa diskriminasi ras,
warna kulit,bahasa, jenis kelamin, kepercayaan agama, ideologi politik, status sosial atau
pertimbangan-pertimbangan lain. Keyakinan yang benar menjamin berkembangnya penghormatan
terhadap martabat manusia ini..(ps. 1 ayat 1).
Perempuan dan laki-laki adalah setara dalam martabat sebagai manusia dan mempunyai hak yang
dinikmati ataupun kewajiban yang dilaksanakan; ia (perempuan) mempunyai kapasitas sipil dan
kemandirian keuangannya sendiri, dan hak untuk mempertahankan nama dan silsilahnya(ps. 6).
Semua pasal-pasal dalam deklarasi Kairo di atas mempunyai legitimasi dari sumber-sumber
otoritatif Islam, yaitu al-Qur;an dan al-Sunnah. Para ulama yang hadir dalam konferensi
internasional itu tentu tidak sekedar mengekor atau mengadopsi DUHAM, tetapi menggalinya sendiri
dari khazanah Islam, terutama al-Quran dan Hadits Nabi. Oleh karena itu, maka nilai-nilai
kemanusiaan universal di atas sudah seharusnya menjadi basis bagi dan membimbing seluruh
aktifitas manusia dan terutama bagi perumusan kebijakan publik, perundang-undangan dan
regulasi-regulasi lainnya di dalam masyarakat muslim.
Cirebon, 12-April-2012
*Dipresentasikan dalam Seminar Rethinking the Muslim Marriage Contract at the Nasional
University of Singapore, on the 14th of April, 2012.
[1] Ibn Jarir al-Thabari, Jmi al-Bayn an Ta`wl y al-Qurn, Mustahafa al-Babi al-Halabi Mesir,
cet. III, 1968, vol. VI, hal. 269-272).
[ 48 : } ]
-[494]- : , , : , : ,
, , , , :
.
, "
[2] Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Juz I, hal. 1. Pengertian al-Dn sebagai Tauhid, lihat juga
dalam Muqatil bin Sulaiman (150 H/204 M); Al-Asybh wa al-Nazh`ir f al-Qur`n al-Karm, al-
Hai`ah al-Mishriyah al Ammah li al-Kitab, 1994, hal. 133-134.
[3] Ibn Katsir, Tafsr al-Qur`n al-Azhm, Dar al Marifah Beirut, 1969, vol. II, hal. 66
[4] Abu Abd Allah al-Qurthubi, al-Jmi li Ahkm al-Qur`n, Dar al-Katib al-Arabi Kairo 1967, vol. VI,
hal. 211.
[5] Nash adalah teks eksplisit yang jelas dan tidak dapat ditafsirkan. Imam al-Ghazali mengatakan
Nash adalah :
,
. ) , ,386-384 ,(
[6] Muhammad Musthafa Syalabi, Talil al-Ahkam, Dar al-Nahdhah al-Arabiyyah, Beirut, 1981, hlm.
322.
)( ,
, .
[7] Ibid,
, , , ,
.
[8] Ibid, hlm. 327
[9] H.R. Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Thalaq, Hadits No. 1472
.
, .
[10] Detail isu-isu ini dapat dibaca dalam buku-buku fiqh.
[11] Faruq Abu Zaid, Al Syariah al Islamiyah Baina al Muhafizhin wa al Mujaddidin, kairo, Dari al
Makmun, h. 16.
[12] Baca : Dr. Subhi Mahmashani, Falsafah al-Tasyri fi al-Islam, Dar al-Ilm li al-Malayiin, Beirut,
cet. V, hlm.220-223
[13] Ibnu al-Qayyim, Ilam al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin, Mathbaah al-Muniriyah, Kairo, vol. III,
hlm. 1
[14] Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Vol. I, hlm. 3-4.
: : ,