Anda di halaman 1dari 5

Tulisan ciamik Kiai Husein Muhammad

HUKUM ISLAM YANG TETAP DAN YANG BERUBAH


Islam adalah Din, Syariat (al-Syariah) dan Akhlaq. Din adalah keyakinan kepada Tuhan Yang Esa
dan kehidupan eskatologis. Syariat adalah jalan/aturan/ tatacara berkehidupan. Dan Akhlaq adalah
moral/etik. Jika tiga komponen Islam ini digambarkan sebagai pohon, maka Din adalah akar, syariat
adalah batang berikut cabang-cabangnya, dan akhlaq adalah bunga dan buahnya.
Al-Din dan al-Akhlaq (moral-etika) bersifat universal. Semua agama mengajarkan
keimanan/kepercayaan/keyakinan kepada Adanya Tuhan, dengan sebutan yang berbeda-beda, dan
kehidupan setelah mati (alam akhirat). Semua agama juga mengajarkan nilai-nilai moral dan etika
kemanusiaan, seperti keadilan, persaudaraan, kasih-sayang, kejujuran, dan penghormatan kepada
manusia.
Berbeda dengan dua komponen di atas, Syariah adalah kontekstual dan beragam. Imam Qatadah
Ibn Daamah (w.117 H), seorang ahli tafsir klasik terkemuka dari kalangan Tabiin (generasi kedua
sesudah generasi sahabat Nabi) mengatakan; Al-Dn Whid wa al-Syarah Mukhtalifah (Dn atau
agama hanyalah satu, sementara syariat berbeda-beda). Pernyataan ini dikemukakan oleh Imam
Qatadah untuk menjelaskan makna Syirah (Syariah) dan Minhj yang terdapat dalam ayat al-
Qur`an, surah al-Maidah, [5: 48]: Li kullin jaaln minkum syiratan wa minhja (Untuk tiap-tiap
umat di antara kamu, Kami berikan syirah dan minhj).
Pandangan Qatadah tersebut kemudian dikutip oleh Ibn Jarir al-Thabari (310 H), seorang guru
besar para ahli Tafsir al-Qur`an dalam karya masterpeacenya yang amat terkenal Jmi al-Bayn
an Ta`wl y al-Qurn. Al-Thabari mengelaborasi ayat ini lebih lanjut. Ia mengatakan, Masing-
masing umat ditetapkan sabl (jalan/aturan) dan sunnah (tradisi) yang berbeda-beda. Kitab Taurat
menetapkan syariat sendiri, Injil menetapkan syariat sendiri. Di dalamnya Allah menghalalkan apa
yang dikehendaki-Nya dan mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya. Hal ini dimaksudkan agar
Dia mengetahui siapa yang mentaati dan siapa yang mendurhakai-Nya. Tetapi al-Dn yang
diterima Tuhan adalah keyakinan akan ke-Esa-an Tuhan sebagaimana keyakinan yang dibawa dan
diajarkan para utusan Tuhan.[1]
Al-Syahrastani (w. 548 H), ahli teologi Islam terkemuka dalam bukunya Al-Milal wa al-Nihal
menyampaikan bahwa al-Dn adalah ketaatan/kepatuhan dan ketundukan (al-th'ah wa al-inqiyd),
pembalasan (al-Jaz`), dan perhitungan pada hari Akhirat (al-hisb f yawm al-Ma'd). Maka
menurutnya, al-mutadayyin (orang yang beragama) adalah orang Islam yang taat, yang mengakui
adanya balasan dan perhitungan amal pada hari Akhirat.[2]
Tafsir serupa atas ayat ini juga dikemukakan oleh Ibn Katsir (w. 774 H). Ia mengutip sebuah hadits
otentik (shahh) Nabi Muhammad saw. yang mengatakan, Nahnu masyir al-Anbiy` ikhwah liallat.
Dnun whid (Kami para Nabi adalah saudara. Agama kami satu). Menurut Ibn Katsir, Agama
yang satu tersebut adalah Tauhid, sebuah prinsip ke-Esa-an Tuhan. Prinsip agama ini diajarkan
oleh semua Nabi dan diberitakan dalam kitab-kitab suci Tuhan. Sementara syariat mereka berbeda
satu atas yang lain. Boleh jadi satu hal diharamkan oleh suatu syariat tertentu tetapi dihalalkan oleh
syariat yang lain. Perbedaan syariat (aturan, jalan, metode dan cara) ini merupakan
kemahabijaksanaan Tuhan.[3] Perbedaan di antara para penganut agama-agama yang dibawa para
utusan Tuhan tersebut hanyalah dalam hal cara pendekatan kepada Tuhan yang disebut dengan
syirah dan minhj (metode). Dalam terminologi Islam Syarah merupakan cara atau jalan
mendekati Tuhan dalam bentuknya yang lahiriyah. Ia tidak terkait dengan kepercayaan yang
bersumber dari pikiran atau hati. Al-Qurthubi mengatakan, Al-Syirah wa al-Syarah al-Tharqah al-
Zhhirah Allat Yatawasshalu bih il al-najh (Syariat adalah jalan yang bersifat lahiriyah yang
dapat mengantarkan kepada keselamatan).[4]
Syariah dan Fiqh
Dari uraian singkat di atas, tampak jelas bahwa Syariah dibedakan dari aqidah/keyakinan/keimanan
dan akhlak, moral. Syariah merupakan hukum atau aturan yang berdimensi aktifitas fisik-lahiriyah
(tingkah-laku) manusia, bukan hukum atau aturan yang dimensi akal-intelektual atau hati (spiritual).
Dalam terminology para ahli hukum Islam ia dirumuskan sebagai aturan-aturan tentang tingkah-laku
manusia yang bersumber dari teks-teks al-Quran dan al-Sunnah (hadits Nabi).
Di samping Syariah, ada kata lain yang popular di dalam masyarakat muslim. Yaitu Fiqh. Menurut
makna generiknya Fiqh adalah pengetahuan dan pemahaman tentang sesuatu. Sebagai disiplin
ilmu, fiqh dipahami sebagai suatu pengetahuan hukum Islam yang dirumuskan para ahli hukum
Islam (mujtahid) melalui proses eksplorasi nalar (akal-pikiran) terhadap ayat-ayat al-Quran dan teks
hadits yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang berakal dan dewasa. Dengan demikian,
maka fiqh sesungguhnya identik dengan syariat pada aspek produknya, yakni hukum-
hukum/aturan-aturan (law). Hal yang membedakan antara keduanya adalah bahwa Syariah adalah
keputusan Nabi yang didasarkan pada wahyu Tuhan, sementara Fiqh adalah produk ijtihad (aktifitas
intelektual/ilmiyah) para ahli hukum pasca Nabi dengan mengacu/mendasarkan diri pada teks-teks
yang disampaikan Nabi Muhammad, baik dalam bentuk wahyu Tuhan yang terhimpun dalam al-
Quran maupun ucapan dan tradisi Nabi. Apa yang disebut fakultas syariah atau bank syariah,
misalnya, sejatinya adalah fakultas hukum atau aturan-aturan perbankan yang diambil dari hasil
pikiran para ulama atas teks-teks Islam. Hukum-hukum Islam yang dibicarakan masyarakat muslim
sekarang ini sesungguhnya adalah fiqh. Ibnu Taimiyah menyebut hukum-hukum Islam yang
dihasilkan para ahli (mujtahid) ini sebagai syariah muawwalah(syariat/aturan yang ditafsirkan),
sedangkan hukum-hukum Islam yang disampaikan Nabi sebagai syariah munazzalah (syariah
yang diturunkan).
Yang Tetap dan yang Berubah

Uraian di atas mengantarkan kita pada pemahaman bahwa ada hal-hal dari ajaran Islam yang
berlaku baku (tetap, tidak berubah-ubah) dan ada hal-hal yang bisa berubah-ubah. Hal-hal yang
baku dan tidak berubah-ubah sepanjang masa, pertama adalah kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, Utusan-utusan Tuhan, kitab-kitab suci dan pada kehidupan sesudah kematian atau yang
popular disebut hari akhirat. Kedua, adalah pokok-pokok ibadah, seperti shalat, puasa, zakat dan
haji, dan ketiga adalah prinsip-prinsip kemanusiaan universal.
Sementara hukum-hukum yang bisa berubah adalah masalah-masalah yang menyangkut relasi atau
pergaulan antar manusia dalam suatu komunitas, atau dalam konteks fiqh Islam ia popular disebut
Muamalat. Bidang ini meliputi aturan-aturan mengenai relasi manusia dalam keluarga (family law),
dan aturan-aturan mengenai relasi antar manusia dalam kehidupan domestic (rumah tangga),
social, budaya, ekonomi, politik, serta pergaulan antar bangsa. Muamalat adalah dimensi hukum
Islam yang paling luas, dinamis dan terus bergerak dalam proses yang tidak akan pernah berhenti
sejalan dengan keniscayaan perubahan kehidupan manusia sendiri.
Dalam konteks perubahan yang terus menerus ini, maka adalah kebijaksanaan Tuhan bahwa teks-
teks keagamaan tidak mengatur detail-detail masalah dan hukum-hukumnya, melainkan lebih
banyak menetapkan dasar-dasarnya (mabadi) yang bersifat moral-etis. Beberapa di antaranya
adalah ; Adam al-Dharar (tidak merugikan/merusak), Adam al-Gharar (tidak menipu), Adam al-
Ihtiqar (non diskriminatif), Adam al-Ikrah (non kekerasan), al-Taradhi (kerelaan pihak-pihak yang
terlibat), Muasyarah bi al-Maruf (pergaulan yang baik), syura/musyawarah (dialog konsultatif) dan
sebagainya. Semua dasar ini pada akhirnya bermuara pada satu dasar utama yang bernama
Maslahat, kebaikan umum (human welfare). Dengan kata lain, keputusan hukum terhadap problem-
problem muamalat (social/public) didasarkan pada kemaslatan umum ini. Para ulama ahli hukum
telah sepakat bahwa kemaslahatan adalah tujuan hukum/syariat.
Pertanyaan yang selalu muncul terkait dengan isu ini, adalah bagaimana apabila pertimbangan
hukum atas dasar kemaslahatan tersebut bertentangan dengan bunyi literal teks suci, baik Al-Quran
maupun hadits dan dengan Ijma ulama (consensus). Mengenai hal ini menarik sekali untuk
dikemukakan pandangan Dr. Musthafa Syalabi dalam bukunya Talil al-Ahkam.
Apabila kemaslahatan bertentangan dengan nash(teks)[5], dalam bidang muamalat dan adat-
kebiasaan (tradisi) yang kemaslahatannya telah berubah, maka kemaslahatanlah yang harus
dipertimbangkan, dan hal ini tidaklah dapat dikatakan sebagai menentang nash melalui semata-
mata pendapat nalar. Sebaliknya ia justeru mengaplikasikan nash-nash yang sangat banyak yang
menunjukkan keharusan menjaga kemaslahatan tersebut. Akan tetapi apabila kemaslahatan dalam
nash tidak berubah, maka nash sama sekali tidak boleh diabaikan.[6]
Syalabi selanjutnya mengatakan :
Siapapun yang merenungkan secara mendalam tentang adanya kontradiksi tersebut, hal itu
sebenarnya hanyalah dalam bentuk lahiriyahnya saja. Hal ini karena nash sesungguhnya diturunkan
(dibuat) dalam rangka menegakkan kemaslahatan tertentu. Manakala kemasalahatan tersebut telah
hilang, maka ia tidak relevan lagi untuk diimplementasikan. Demikian pula apabila nash disertai
dengan illat (logika kausalitas) nya. Manakala illat tersebut hilang, maka hukum tersebut juga
selesai. Ini adalah pemahaman para sahabat dan generasi sesudahnya.[7]
Demikian juga halnya terhadap masalah hukum yang telah diputuskan secara consensus (Ijma).
Adalah benar bahwa kesepakatan ulama tidak boleh dilanggar. Akan tetapi hal ini terjadi hanya
pada kesepakatan atas masalah hukum yang kemaslahatannya tidak berubah-ubah sepanjang
masa. Syalabi mengatakan :
,
(327 , ) .
Aku sepakat dengan para ulama bahwa Ijma ulama tidak boleh dilanggar. Akan tetapi hal ini
apabila Ijma tersebut telah benar-benar nyata dan disampaikan kepada kita melalui jalan
(transimisi) yang sahih atas hukum yang kemaslahatannya tidak mengalami perubahan sepanjang
zaman.[8]
Umar bin Khattab, sahabat Nabi adalah tokoh besar yang banyak sekali mendasarkan keputusanya
berdasarkan prinsip kemaslahatan ini. Beberapa di antaranya adalah pembatalan hukuman potong
tangan ketika masyarakat menghadapi situasi krisis ekonomi yang luas. Ia juga tidak membagikan
tanah rampasan perang hanya kepada para tentera yang ikut dalam perang yang tak digaji (al-
ghuzzat ghair al-murtaziqin), tetapi menyerahkannya kepada Negara untuk kepentingan masyarakat
secara lebih luas, dan talak tiga yang diucapkan suami kepada isterinya menjadi jatuh tiga.
Keputusan-keputusan Umar ini berbeda dari keputusan Nabi. Hal ini tidaklah berarti bahwa dia
menentang Nabi. Umar justeru menegakkan maksud dan visi al-Quran. Ia memahami bahwa
hukum yang diputuskan Nabi adalah relevan dengan kemaslahatan sosial beliau. Akan tetapi akibat
perkembangan social pada masanya, keputusan Nabi tersebut tidak lagi sesuai dengan
kemaslahatan sosial yang dihadapi pada masa Umar. Mengenai talak tiga yang jatuh tiga, Ibnu al-
Qayyim menginformasikan argument Umar dengan mengatakan :
Talak (cerai) tiga pada masa Nabi saw, dan pada masa pemerintahan Abu Bakr serta dua tahun
masa Umar jatuh satu. Akan tetapi masyarakat kemudian menuntut kesegeraan pada masalah yang
seharusnya dilakukan bertahap. Mereka berharap kami memenuhinya. Maka aku putuskan sesuai
dengan kehendak mereka.[9]
Membaca fiqh para ulama pendiri mazhab maupun para pengikutnya, tampak jelas bahwa
pandangan mereka berbeda-beda, meskipun mendasarkan diri pada sumber hukum yang sama.
Beberapa contoh kasus, misalnya wali nikah perempuan, saksi nikah, usia dewasa, talak tiga dan
sebagainya.[10] Keputusan mereka sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu mereka yang berbeda
dan dinamis. Dr. Faruq Abu Zaid mengatakan: Pandangan-pandangan fiqh Islam tidak lain kecuali
merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan sosial dalam masyarakat Islam. Pandangan-
pandangan fiqh itu berubah, berkembang dan berganti-ganti sejalan dengan situasi zaman dan
konteks sosialnya masing-masing.[11]
Para ulama ahli fiqh sepakat bahwa hukum-hukum yang berdiri di atas landasan yang berubah dan
berkembang, niscaya ia juga akan berubah dan berkembang. Mereka kemudian melahirkan kaedah
hukum La Yunkaru Taghayyur al-Ahkam bi Taghayyur al-Azminah wa al-Amkinah wa al-Ahwal
(perubahan hukum terjadi karena perubahan zaman, lokalitas dan situasi sosial).[12]
Ibnu al-Qayyim menyampaikan kaedah ini secara lebih lengkap. Ia mengatakan : Taghayyur al-
Fatwa wa Ikhtilafuha bi Hasab Taghayyur al-Azminah wa al-Amkinah wa al-Ahwal wa al-Niyyat wa
al-Awaid.(Perubahan fatwa dan perbedaannya berdasarkan perubahan zaman, tempat, kondisi
social, motivasi dan adat-istiadat (tradisi).[13]
Prinsip-Prinsip Kemanusiaan Universal
Lebih jauh dari sekedar keharusan terjadinya perubahan hukum karena perubahan ruang, waktu
dan perkembangan social, perumusan hukum juga meniscayakan bimbingan dari prinsip-prinsip
yang lebih mendasar dan universal. Yaitu prinsip-prinsip kemanusiaan Universal. Para ulama
menyebutnya sebagai Al-Kulliyyat al-Khams (lima prinsip universal) atau al-Dharuriyyat al-Khams
(lima prinsip niscaya) dan Maqashid al-Syariah (tujuan syariat/agama). Prinsip- prinsip ini telah
dirumuskan dengan cerdas oleh antara lain Imam al-Ghazali dalam Al-Mustashfa Min Ilm al-Ushul.
Boleh jadi sebelumnya telah diisyaratkan oleh gurunya : Imam al-Haramain. Ia kemudian diuraikan
secara lebih luas oleh Imam Al-Syathibi dalam bukunya Al-Muwafaqat fi Ushul a-Syariah. Lima
prinsip itu ialah : Hifzh al-Din (perlindungan terhadap agama/keyakinan, Hifzh al-Nafs (perlindungan
terhadap hak hidup (life), Hifzh al-Aql (perlindungan terhadap hak berpikir dan
mengekspresikannya, Hifzh al-Nasl (perlindungan terhadap hak-hak reproduksi dan Hifzh al-Mal
(perlindungan terhadap hak-hak milik/property.
Lima prinsip di atas dinyatakan oleh Imam Abu Ishaq al-Syathibi sebagai konsensus agama-agama
(Ittifaq al-Milal). Sementara Dr. Abdullah Darraz mengatakan bahwa lima prinsip di atas merupakan
dasar-dasar pembangunan/kemajuan masyarakat dalam semua agama. Tanpa lima dasar ini
kehidupan bersama manusia tidak akan stabil dan kebahagiaan di akhirat tak akan dicapai.[14]
Bagi saya, lima prinsip di atas identik dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Deklarasi Hak-Hak
Asasi Manusia Universal, termasuk Konvensi CEDAW (Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan). Di dunia Islam, hak-hak asasi manusia ini telah dideklarasikan di
Kairo tahun 1990. Bebera pasalnya menyatakan :
Manusia adalah satu keluarga, sebagai hamba Allah dan berasal dari Adam. Semua orang adalah
sama dipandang dari martabat dasar manusia dan kewajiban dasar mereka tanpa diskriminasi ras,
warna kulit,bahasa, jenis kelamin, kepercayaan agama, ideologi politik, status sosial atau
pertimbangan-pertimbangan lain. Keyakinan yang benar menjamin berkembangnya penghormatan
terhadap martabat manusia ini..(ps. 1 ayat 1).
Perempuan dan laki-laki adalah setara dalam martabat sebagai manusia dan mempunyai hak yang
dinikmati ataupun kewajiban yang dilaksanakan; ia (perempuan) mempunyai kapasitas sipil dan
kemandirian keuangannya sendiri, dan hak untuk mempertahankan nama dan silsilahnya(ps. 6).
Semua pasal-pasal dalam deklarasi Kairo di atas mempunyai legitimasi dari sumber-sumber
otoritatif Islam, yaitu al-Qur;an dan al-Sunnah. Para ulama yang hadir dalam konferensi
internasional itu tentu tidak sekedar mengekor atau mengadopsi DUHAM, tetapi menggalinya sendiri
dari khazanah Islam, terutama al-Quran dan Hadits Nabi. Oleh karena itu, maka nilai-nilai
kemanusiaan universal di atas sudah seharusnya menjadi basis bagi dan membimbing seluruh
aktifitas manusia dan terutama bagi perumusan kebijakan publik, perundang-undangan dan
regulasi-regulasi lainnya di dalam masyarakat muslim.
Cirebon, 12-April-2012
*Dipresentasikan dalam Seminar Rethinking the Muslim Marriage Contract at the Nasional
University of Singapore, on the 14th of April, 2012.
[1] Ibn Jarir al-Thabari, Jmi al-Bayn an Ta`wl y al-Qurn, Mustahafa al-Babi al-Halabi Mesir,
cet. III, 1968, vol. VI, hal. 269-272).
[ 48 : } ]
-[494]- : , , : , : ,
, , , , :
.






, "

[2] Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Juz I, hal. 1. Pengertian al-Dn sebagai Tauhid, lihat juga
dalam Muqatil bin Sulaiman (150 H/204 M); Al-Asybh wa al-Nazh`ir f al-Qur`n al-Karm, al-
Hai`ah al-Mishriyah al Ammah li al-Kitab, 1994, hal. 133-134.
[3] Ibn Katsir, Tafsr al-Qur`n al-Azhm, Dar al Marifah Beirut, 1969, vol. II, hal. 66
[4] Abu Abd Allah al-Qurthubi, al-Jmi li Ahkm al-Qur`n, Dar al-Katib al-Arabi Kairo 1967, vol. VI,
hal. 211.
[5] Nash adalah teks eksplisit yang jelas dan tidak dapat ditafsirkan. Imam al-Ghazali mengatakan
Nash adalah :
,
. ) , ,386-384 ,(
[6] Muhammad Musthafa Syalabi, Talil al-Ahkam, Dar al-Nahdhah al-Arabiyyah, Beirut, 1981, hlm.
322.
)( ,
, .
[7] Ibid,
, , , ,
.
[8] Ibid, hlm. 327
[9] H.R. Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Thalaq, Hadits No. 1472
.
, .
[10] Detail isu-isu ini dapat dibaca dalam buku-buku fiqh.
[11] Faruq Abu Zaid, Al Syariah al Islamiyah Baina al Muhafizhin wa al Mujaddidin, kairo, Dari al
Makmun, h. 16.
[12] Baca : Dr. Subhi Mahmashani, Falsafah al-Tasyri fi al-Islam, Dar al-Ilm li al-Malayiin, Beirut,
cet. V, hlm.220-223
[13] Ibnu al-Qayyim, Ilam al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin, Mathbaah al-Muniriyah, Kairo, vol. III,
hlm. 1
[14] Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Vol. I, hlm. 3-4.
: : ,

Anda mungkin juga menyukai