Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Meningkatnya perjalanan internasional, baik itu untuk pariwisata maupun


perjalanan bisnis, berdampak pada perlunya para dokter menguasai secara luas setiap
penyakit, terutama penyakit yang disebabkan oleh agen infeksi. Penyakit kulit dan
juga penyakit demam sistemik serta diare akut merupakan penyebab masalah
kesehatan terbesar pada wisatawan yaitu sekitar 8% -12% . Miasis biasanya
merupakan salah satu diantara 5 masalah penyakit dermatologi terbanyak, yaitu
sekitar 7,3 % hingga 11% kasus.1

Infestasi miasis pada jaringan akan mengakibatkan berbagai gejala tergantung


pada lokasi yang terkena. Larva yang menyebabkan miasis dapat hidup sebagai
parasit di kulit, jaringan subkutan, soft tissue, mulut, traktus gastrointestinal, sistem
urogenital, hidung, telinga dan mata. Miasis hidung merupakan kasus yang jarang
namun kemungkinan untuk terjadi selalu ada. Faktor predisposisi seperti sosial
ekonomi rendah, higienitas yang buruk, daya imunitas yang rendah, rhinitis atopik,
penyakit keganasan, dan penyakit sinonasal merupakan faktor predisposisi infestasi
parasit ini.2,3,4,5

Penyakit ini sering ditemukan pada negara-negara masyarakat golongan sosial


ekonomi rendah. Miasis pada hidung endemik terutama di negara Afrika dan
Amerika di daerah tropis maupun subtropik, terutama pada musim panas. Insidensi
miasis hidung di Korea dan Malaysia masing masing satu kasus. Miasis hidung
akibat Lucilia sericata dan Eristalis tenax dilaporkan terjadi di Iran, serta kasus
miasis hidung nosokomial dilaporkan terjadi di Taiwan. Di Indonesia dilaporkan
satu kasus miasis hidung pada seorang perempuan berusia 63 tahun yang
disebabkan oleh Chrysomyia sp. pernah dilaporkan oleh bagian Telinga, Hidung dan
Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto
Mangunkusomo (RSCM) sebanyak 108 larva berhasil diambil dari miasis hidung
tersebut. Berdasarkan data riwayat pasien THT di Rumah Sakit Muhammad Hoesin
Palembang dari Januari 2009 sampai November 2014 didapatkan 3 kasus miasis
hidung. 4,5

Petugas kesehatan di negara negara berkembang di utara kurang mengenal


infeksi parasite ini sehingga sering terjadi kesalahan diagnosis dan terapi yang tidak
tepat. Perhatian yang besar dari petugas kesehatan mengenai gejala klinis serta
riwayat penularan penyakit perlu diketahui untuk dapat melakukan terapi.3

Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui definisi, etiologi, gejala


klinis, prosedur penegakan diagnosis dan penatalaksaan dari miasis hidung.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Miasis berasal dari bahasa Yunani, yaitu myia yang berarti lalat. pertama kali
diperkenalkan oleh Hope pada tahun 1840 untuk menunjukkan suatu keadaan
penyakit yang disebabkan oleh infestasi larva lalat dari ordo Diptera pada manusia
atau vertebrae hidup dan memakan jaringan mati atau jaringan hidup serta cairan
tubuh atau makanan yang ditelan oleh hospesnya. Masyarakat Indonesia lebih
mengenal penyakit ini dengan nama belatungan, sedangkan penduduk India
menyebutnya sebagai peenash atau scholeiasis.1,2,6
Miasis pada hidung adalah infestasi pada rongga hidung oleh lalat yang bertelur
baik secara langsung dalam rongga hidung atau di sekitarnya pada manusia saat
sedang tidur.1

B. Anatomi
Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari
biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap
lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung
dalam. Struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian yakni : tulang yang tak dapat
digerakkan, kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan lobules hidung yang mudah
digerakkan. Bentuk luar hidung seperti pyramid dengan struktur dari atas ke bawah :
pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala nasi,
kolumela dan lubang hidung (nares anterior).7,8
Gambar 1. Anatomi Hidung Luar

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang yang terdiri dari ; tulang hidung (os
nasal), prosesus frontalus os maksila, dan proscessus nasalis os frontal; sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung yaitu; sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang
kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan
tepi anterior kartilago septum.7

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum
disebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Rongga hidung berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan
oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau
lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan vestibulum. Vestibulum ini dilapisi
oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
dengan vibrise. 7,8
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini
dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina
perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis os maksila, dan 4) krista nasalis
os palatina. Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis)
dan 2) kolumela. Dinding lateral terdapat 4 buah konka yakni; konka superior, konka
media dan konka inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka
inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka
superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya
rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os
maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar
hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior
disebut meatus media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior.7

Gambar 2. Anatomi Dinding Lateral Hidung9


Batas rongga hidung pada dinding inferior adalah os maksila dan os palatum,
dinding superior atau atap hidung sangat sempit dibentuk oleh lamina kribriformis,
dan dibagian posterior atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.7

Suplai darah
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:
1. Arteri Etmoidalis anterior
2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika
3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari
arteri karotis eksterna.8

Gambar 3.Suplai darah dinding lateral hidung7

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoidalis anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari areteri karotis. Bagian
bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung
dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan
dari cabang-cabang arteri fasialis.7

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri


sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatine mayor,
yang disebut pleksus Kieesselbach (littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisialis dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus.7

Persyarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal
dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang
oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus
trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang
kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior
dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina
kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior
melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis
internus medial dan lateral.7,8

Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus
maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatina, selain memberi
persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk
mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.
Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum
terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha media. Nervus
Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius
dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung.7,8

Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologis dan fungsional
dibagi atas mukosa atas pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa pnghidu
(mukosa olfaktorius). Mukosa pernapasan terpadapat pada atap rongga hidung dan
permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia (ciliated
pseudostratified collumner epithelium) dan diantaranya terdapat sel sel goblet.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga
atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak bersilia
(pseudostratified collumner non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh 3
macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa
penghidu berwarna cokelat kekuningan.7

Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang
kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal
mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah karena diiputi palut lendir
(mucous blanket) pada permukaannya. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang
banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa, dan jaringan limfoid.7

C. Fisiologi

Hidung berfungsi sebagai indera penghidu, menyiapkan udara inhalasi agar


dapat digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki
epitel olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga
macam sel-sel syaraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi,
memanaskan dan melembabkan udara inspirasi akan melindungi saluran napas
dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang besarnya 5-6 mikrometer atau lebih, 85% -
90% disaring didalam hidung. Fungsi hidung terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu
(1) Sebagai jalan nafas untuk mengatur keluar masuknya udara, (2) Alat pengatur
kondisi udara (Air Conditioning) fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur
kelembapan udara dan mengatur suhu, (3) Penyaring udara dan pelindung, (4)
Sebagai indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut membantu proses
bicara, (7) Reflek nasal, mukosa hidung merupakan reseptor reflek yang berhubungan
dengan saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernafasan.6,7

D. Klasifikasi Miasis

1. Berdasarkan Etiologi
a. Miasis spesifik ( Miasis Obligatori ) , miasis yang berkembang pada berkembang
pada jaringan atau manusia yang hidup
b. Miasis semi spesifik ( Miasis fakultatif ), parasit ini dapat tumbuh pada jaringan
yang hidup atau yang mati
c. Miasis Akidental ( Miasis Accidental ), telur dari lalat akan masuk kedalam tubuh
melalui makanan yang sudah terkontaminasi.3

2. Berdasarkan Jaringan yang Terkena


a. Kutan, jaringan mukokutan, mata, hidung dan telinga. Larva masuk ke jaringan
menimbulkan berbagai macam kelainan mulai dari iritasi, pruritus sampai invasi ke
organ organ yang lain
b. Intestinal, Lalat betina menempel pada makanan atau minuman kemudian bertelur
lalu bias berubah menjadi larva, kemudian makanan / minuman tersebut tertelan oleh
manusia atau hewan lain
c. Tempat tempat lain, pernah dilaporkan ditemukannya larva di urin, vagina dan
paru paru ( inhalasi secara tidak sengaja dari lalat dewasa betina gravid atau melalui
telur yang berterbangan.3
E. Etiologi

Penyebab miasis di Indonesia dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu


lalat primer (Chrysomyia bezziana atau the Old World Screwworm Fly), lalat
sekunder (C. megacephala, C. rufifaces, C.varipes, Hemypirellia, Sarcophaga sp)
dan lalat tertier (Musca spp). Larva Chrysomyia bezziana bersifat obligat parasite
yang hanya memakan jaringan hidup tubuh inangnya. Lalat ini pertama kali dikoleksi
di Kongo (Zaire) pada tahun 1909 dari sapi dan diidentifikasinya kurang tepat, tetapi
untuk menghargai jasa beliau maka lalat tersebut diberi nama bezziana oleh
Entomologis dari Perancis, Joseph Villeneuve. Adapun miasis di Australia
disebabkan oleh Lucilia cuprina dan L. sericata, miasis di benua Amerika disebabkan
oleh Cochlyomyia hominivorax (the New World Screwworm Fly) dan miasis di
benua Eropa dan sebagian Asia disebabkan oleh Wohlfahrtia magnifica.10

Gambar 4. Morfologi Tubuh lalat10


Lalat dewasa C. bezziana berwarna biru metalik, biru keunguan, atau biru
kehijauan. Kepala lalat ini berwarna orange dengan mata berwarna merah gelap.
Perbedaan antara lalat betina dan jantan terletak pada matanya. Lalat betina memiliki
celah yang memisahkan mata kanan dan kiri lebih lebar dibandingkan lalat jantan.
Ukuran lalat ini bervariasi tergantung pada ukuran larvanya. Pada tubuhnya rata
rata 10 mm dengan lebar kepala berkisar rata rata 4,1 mm. Tidak ada tanda-tanda
makroskopik yang khas untuk dapat mengenalinya dengan kasat mata sehingga
identifikasi hanya dapat dilakukan melalui pemeriksaan mikroskopik.6

Telur C.bezziana berwarna putih transparan dengan panjang 1,25 mm dan


berdiameter 0,26 mm, berbentuk silindris serta tumpul pada kedua ujungnya. Larva
C. bezziana terbagi menjadi tiga instar, yaitu L1, L2, dan L3. Larva ini mempunyai
12 segmen, yaitu satu segmen kepala, tiga segmen torak, dan delapan segmen
abdominal. Ketiga instar tersebut dapat di bedakan dari panjang tubuh dan warnanya.
Panjang L1 adalah 1,6 mm dengan diameter 0,25 mm dan berwarna putih, sedangkan
L2 mempunyai panjang 3,5-5,5 mm dengan diameter 0,5-0,75 mm dan berwarna
putih samapi krem. Adapun panjang L3 mencapai 6,1-15,7 mm dengan diameter 1,1-
3,6 mm. L3 muda berwarna krem namun jika telah dewasa berwarna merah muda.6

Larva mempunyai kait-kait dibagian mulutnya berwarna coklat tua atau coklat
orange. Larva menyerupai cacing yang mempunyai 11 segmen dengan kait-kait
anterior berlokasi pada segmen kedua dan kait-kait posterior berlokasi pada segmen
terakhir. Larva juga memiliki tanduk yang dapat mengelilingi setiap segmen
tubuhnya. Kait-kait anterior memiliki 4-6 bibir.6,12
Gambar 5. Morfologi dari larva Chrysomyia bezziana 12

Siklus hidup lalat C.bezziana terbagi menjadi empat tahap, yaitu telur, larva,
pupa dan lalat. Dari telur menetas menjadi larva instar I (L1) sampai dengan larva
instar III (L3) memerlukan waktu enam hingga tujuh hari, selanjutnya L3 akan jatuh
ke tanah dan membentuk pupa. Dalam waktu tujuh sampai delapan hari, pupa akan
menetas menjadi lalat (imago). Setelah kawin pada umur 4 - 8 hari, lalat betina akan
bertelur pada jaringan yang terluka.6,10,11

Lalat betina akan meletakkan kumpulan telurnya di tepi luka pada sore hari atau
menjelang petang dalam waktu 4,1 menit. Jumlah telur yang dikeluarkan oleh lalat
betina berkisar antara 95 sampai 245 (rata rata 180 telur). Telur akan menetas
menjadi L1 dalam waktu 12 24 jam atau sepuluh jam pada suhu 30oC, selanjutnya
L1 menuju ke daerah luka yang basah. Sehari kemudian, L1 akan berubah menjadi L2
dan mulai membuat terowongan yang lebih dalam di daerah luka tersebut dengan cara
masuk ke dalam jaringan inang.6,10,11

Larva instar II (L2) akan berkembang menjadi L3, selanjutnya pada hari keempat
bermigrasi keluar dari daerah luka tersebut dan jatuh ke tanah. Larva instar III (L3)
akan membuat terowongan sepanjang 2 3 cm untuk menghindari sinar matahari
secara langsung. Larva akan membentuk pupa dalam waktu 24 jam pada suhu 28oC.
Penetasan lalat dari pupa sangat tergantung dari lingkungan. Pupa akan menetas
menjadi lalat selama seminggu pada kondisi 25 30oC sedangkan pada temperatur
yang lebih rendah akan lebih lama bahkan samai berbulan bulan. 6,10,11

Gambar 6. Siklus hidup Chrysomyia bezziana10

F. Patogenesis

Patogenesis miasis pada hewan dan manusia tidak berbeda. Awal terjadinya
miasis adalah apabila manusia mengalami luka. Bau darah segar yang mengalir akan
menarik lalat betina C. bezziana untuk meletakkan telurnya di tepi luka tersebut.
Telur ini mempunyai daya rekat yang kuat sehingga tidak mudah jatuh. Dalam waktu
kurang dari 12 jam, telur akan menetas mejadi larva dan bergerak masuk ke dalam
jaringan. Aktivitas larva dalam jaringan tubuh mengakibatkan luka semakin besar dan
kerusakan jaringan semakin parah. Kondisi ini menyebabkan bau yang menyengat
dan mengundang lalat lain (lalat sekunder dan tersier) untuk hinggap (Sarcophaga sp,
C.megacephala, C.rufifacies, Musca sp) dan memicu terjadinya infeksi sekunder oleh
bakteri.12

Setelah telur lalat menetas, larva akan masuk lebih dalam dengan kait tajam pada
mulut dan duri halus intersegmental yang akan mengikis jaringan dan melukai
pembuluh darah sekitar serta membuat terowongan di dalam jaringan sehingga akan
memperparah kerusakan dan memakan jaringan sekitar. Saat larva memakan jaringan
yang hidup ataupun jaringan yang mati, ujung kaudal larva dengan peritreme yang
berwarna kehitaman muncul terlihat pada permukaan lesi yang memungkinkan larva
untuk bernapas. Ujung kaudal larva ini sangat mudah terlihat saat pemeriksaan
endoskopi.12

Larva menghasilkan toksin yang dapat merusak jaringan hostnya. Sekresi enzim
proteolitik oleh bakteri di sekitarnya akan menguraikan jaringan yang kemudian akan
dimakan oleh larva. Interaksi dari enzim dan toksin bakteri-larva dapat pula
menyebabkan erosi pada tulang pada basis kranii sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya meningitis. 12

Telur dapat berpindah ke tempat lain melalui tangan pasien apabila pasien
memiliki higienitas yang buruk atau terasa gatal. Faktor predisposisi terjadinya miasis
nasal antara lain kondisi higienitas terutama dengan penyakit rhinitis atrofi, lepra,
diabetes dengan penyakit sinus purulent, granuloma midline, keganasan dan sifilis
yang melibatkan hidung. Hidung kanan lebih sering terserang miasis dibandingkan
hidung kiri, hal ini dikaitkan dengan kecenderungan tidur ke posisi lateral kanan atau
meletakkan tangan kanan pada hidung pada orang yang dominan tangan kanan. Satu
lalat tidak dapat bertelur pada kedua lubang hidung, namun perpindahan larva dari
sisi hidung yang lain dapat terjadi melalui choana atau melalui jari tangan.12

G. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala umum dari miasis hidung diantaranya adalah :
1. Obstruksi nasal,
2. Nyeri wajah,
3. Nyeri kepala,
4. Sekret purulen atau mukopurulen,
5. Epistaksis,
6. Bau yang sangat tidak tertahankan dari hidung pasien,
7. Sensasi gerakan benda asing dalam hidung, dan
8. Anosmia.
Gejala penyertanya diantaranya demam, anoreksia, dan mudah lelah. Pada satu
studi 20% dari 252 pasien dilaporkan adanya riwayat ulat keluar dari hidung.
Gejalanya mirip dengan gejala alergi atau rhinosinusitis. Hal ini terjadi jika ulat jatuh
ke tenggorokan yang kemudian bermanifestasi sebagai batuk, laringospasme,
dyspnea, dan stridor.1,3

H. Diagnosis

1. Anamnesis
Tanda-tanda miasis hidung biasanya berkaitan dengan keberadaan dan
pergerakan larva, yang meliputi sensasi adanya benda asing, dengan atau tanpa
sensasi gerakan, hidung dan wajah menjadi edema dan eritem yang dapat meluas ke
dahi dan bibir, adanya noda darah atau cairan hidung mukopurulen, berbau busuk,
dan anosmia. Terjadi obstruksi hidung sehingga bernapas melalui mulut dan suara
sengau. Dapat menjadi epistaksis dan mungkin ada ulat yang keluar dari hidung. Jika
belatung jatuh ke dalam tenggorokan dapat bermanifestasi sebagai batuk,
laringospasme, dispnea, dan stridor.1,3
2. Pemeriksaan Fisik
a. Rhinoskopi Anterior
Pemeriksaan rhinoskopi tampak edema, ulserasi membran mukosa yang berisi
material nekrotik dan belatung. Dapat pula tampak perforasi septum, palatal, ataupun
keduanya pada pasien. Sekret mukopurulen berbau busuk. Pada kasus yang lanjut
dapat menyebabkan sumbatan duktus nasolakrimalis. Ulat dapat merayap ke dalam
sinus atau menembus ke intrakranial. Pemeriksaan Rhinoskopi mungkin tidak hanya
mengkonfirmasi diagnosis tetapi juga dapat digunakan untuk mengobati pasien,
membantu dalam mengeluarkan belatung dengan forsep.1,6,7,12

3. Pemeriksaan penunjang
a. Nasoendoskopi1,7,12
Dapat memperlihatkan keadaan rongga hidung lebih jelas. Tampak jaringan
nekrotik luas berisi kelompok belatung. Kadang-kadang, larva tidak dapat terlihat
karena mereka fotofobik dan cenderung bersembunyi di bagian terdalam dari rongga
hidung hingga ke tuba eustachius.

Gambar 7. Endoskopi intranasal13


b. CT-Scan
Pada pemeriksaan CT-Scan berguna untuk mengevaluasi tingkat kerusakan
tulang dan invasi jaringan. CT-Scan kepala potongan aksial dapat terlihat bayangan
bulat yang bersegmen-segmen di dalam sinus paranasal. gambaran CT scan yang
paling sering ditemukan pada pasien miasis yaitu gambaran inflamasi atau edema
mukosa rongga hidung,destruksi tulang dan invasi jaringan. Gambaran radiologik CT
Scan yang sering didapatkan adalah gambaran hipolusen melingkar.2,5

Gambar 8. CT-Scan paranasal-potongan aksial :obstruksi pada fosa nasalis dengan


pergeseran septum nasi 14

Gambar 9. CT sinus paranasal potongan aksial: penutupan komprehensif pada sinus


maksilaris kiri dengan implikasi dari anterior kiri dan ethmoid posterior dan sinus
sfenoid.14
I. Penatalaksanaan

Pengobatan ini sebagian besar konservatif yang bertujuan mengeluarkan parasit


dan membatasi kerusakan jaringan. Untuk mengobati infeksi sekunder yang
menyertai myiasis (bakteri), yaitu dengan pemberian antibiotik spectrum luas atau
antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur bakteri yang berasal dari luka myiasis dan
resistensi kuman. Belatung muda lebih sulit untuk dikeluarkan karena perlekatan
yang lebih kuat dibandingkan belatung dewasa. Minyak terpentin dan parafin cair
digunakan dalam semua kasus pada hari pertama. Terpentin mengiritasi belatung dan
kemudian akan keluar dari sarangnya sementara paraffin cair mencegah akses
oksigen pada belatung dan kemudian akan mati lemas akibat kekurangan oksigen
yang dilanjutkan dengan ekstraksi larva secara manual menggunakan forcep. Larva
yang terletak di dalam dan tidak dapat dijangkau dapat dikeluarkan lebih mudah
dengan menggunakan nasal endoskopi dengan pembiusan. 2,3,5,7

Pengobatan lokal dilakukan dengan menggunakan kloroform dan minyak


turpentin (1 : 4), ethylene klorida, irigasi area dengan naphta, ether dan kokain,
ivermectin 1%, dan lidokain. Ivermectin oral sudah merupakan terapi pilihan untuk
miasis dengan dosis tunggal 200g/Kg, akan memberikan perbaikan dalam 48 jam.14

J. Komplikasi

Beberapa komplikasi dapat terjadi selama infestasi pada rongga hidung. Apabila
tidak diobati maka larva dapat bergerak ke atas dan masuk ke saluran air mata,
selanjutnya merusak tulang rawan dan tulang septum, menghancurkan os nasal dan os
frontal. Komplikasi ini dapat berupa selulit pada wajah, ulserasi dinding faring
posterior, perforasi septum nasi dengan gambaran hidung pelana/saddle nose,
perforasi palatal, perforasi periorbital dengan edema ringan tanpa adanya diplopia.
Selain itu, larva dapat masuk ke dalam paranasal bahkan dalam kasus yang ekstrim
dapat menyebabkan penetrasi ke dalam sistem saraf pusat, menembus dasar
tengkorak dan menyebabkan meningitis sampai kematian, dengan tingkat kematian
hingga 1,19%. Setelah belatung telah dikeluarkan, semua pasien disarankan untuk
operasi korektif untuk perforasi palatal, perforasi septum nasi, maupun perforasi
periorbital. Namun sebagian besar pasien tidak setuju untuk dilakukan tindakan.1,2,5

Gambar 10. Pasien dengan perforasi septal 15


K. Prognosis

Prognosis miasis hidung baik jika perawatan dilakukan dengan benar. Dua bulan
setelah operasi endoskopi, tidak ada tanda-tanda kekambuhan pada pasien. Dalam
sebuah penelitian, 80% pasien yang menolak pengobatan memiliki miasis hidung
2,4
berulang.

L. Pencegahan

Pencegahan miasis hidung memerlukan pengendalikan populasi lalat dan


perlindungan terhadap pasien dengan hambatan fisik. Efisiensi dalam pembuangan
limbah dilengkapi dengan insektisida dapat meminimalkan populasi lalat. Menutup
jendela dan pintu dengan rapat serta meningkatkan hygienitas juga akan mengurangi
kontak antara lalat dengan pasien. Metode Sterile Insect Technique (SIT) yaitu
pelepasan lalat jantan yang disterilisasi dengan teknik radiasi dan pengembangan
pemikat lalat (attraktan) juga masih dilakukan dan menunjukkan hasil yang cukup
memuaskan.3,6,12
BAB III

KESIMPULAN

Miasis pada hidung adalah infestasi pada rongga hidung oleh lalat yang bertelur
baik secara langsung dalam rongga hidung atau di sekitarnya pada manusia saat
sedang tidur. Miasis dapat digolongkan berdasarkan etiologi dan berdasarkan
jaringan yang terkena. Penyebab miasis tersering adalah Chrysomia bezziana. Tanda
dan gejala umum dari miasis hidung diantaranya adalah obstruksi nasal, nyeri wajah,
nyeri kepala, sekret purulen atau mukopurulen, epistaksis, bau yang sangat tidak
tertahankan dari hidung pasien, sensasi gerakan larva. Penegakan diagnosis
dilakukan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.

Pengobatan miasis sebagian besar konservatif yang bertujuan mengeluarkan


parasit dan membatasi kerusakan jaringan. Prognosis miasis adalah baik jika
dilakukan penanganan yang baik pula. Komplikasi yang dapat terjadi berupa Selulit
pada wajah, ulserasi dinding faring posterior, perforasi septum nasi, perforasi palatal,
perforasi periorbital, meningitis, hingga kematian.
ALGORITMA
1.Obstruksi nasal,
2.Nyeri wajah,
3.Nyeri kepala,
Anamnesis 4.Sekret purulen atau
mukopurulen,
5.Epistaksis,
6.Bau yang sangat
tidak tertahankan dari
Rhinoskopi anterior : hidung pasien,
Larva 7.Sensasi gerakan
Sekret mukopurulen Pemeriksaan Fisik benda asing dalam
edema hidung, dan
ulserasi membranm ukosa 8. Anosmia.

Pemeriksaan
CT-Scan penunjang Nasoendoskopi

CT-Scan

Konservatif :
Miasis nasal
kloroform dan minyak
turpentin (1 : 4),
ethylene klorida,
Penatalaksanaan irigasi area dengan
naphta, ether dan
kokain, ivermectin 1%,
dan lidokain

Prognosis bonam
- Selulit pada wajah,
- Ulserasi dinding
faring posterior,
- Perforasi septum Komplikasi
nasi,
- Perforasi palatal
- Perforasi periorbital
- Meningitis
DAFTAR PUSTAKA

1. Francesconia F, Lupi O. Myiasis. Clinical Microbiology Reviews. Journal


ASM Volume 25, no 1. Brazil. 2012.p.79-105

2. Wu C J.Nasal Myiasis in a Bedridden Patient and Literature Review. Journal


Medical Science. Taiwan.2012.p.39-41

3. Widyaningsih I, Supriyono B. Miasis. Surabaya; Universitas Wijaya


Kusuma..p.1-5

4. Lee T Y, et al. Nosocomial Nasal Myiasis in an Intubated Patient. Journal of


the Chinese Medical Association. A Case Report.2011.p.369-71

5. Zuleika P. Penatalaksanaan Tiga Kasus Miasis Hidung. Jurnal Kedokteran


dan Kesehatan, Volume 2, no. 3. Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Palembang. 2015.p.325-31

6. Wardhana A H. Chrysomya Bezziana; Penyebab Myiasis pada Hewan dan


Manusia : Permasalahan dan Penanggulangannya. Bogor; Balai Penelitian
Veteriner.2006.p.146-59

7. Soepardi F A,et al. Sumbatan Hidung. In Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.Edisi keenam. Jakarta; FKUI.2011.
p.118-22,143

8. Adams, George L. Boies: buku ajar penyakit THT (Boeis fundamentals of


otolaryngology). Edisi ke-6. Jakarta: EGC.1997. p.174, 240-247

9. Netter F H, Machado C A G. Netters Atlas of Human Anatomy. Acces on :


May 13th 2015.Available at : www.netterart.com.

10. Myiasis. Manual Penyakit Hewan Mamalia.p 418 -430

11. Spradbery J C.Life Cycle. In A Manual for the Diagnosis of Srew-worm Fly.
Australia ; Commonwealth of Australia. 2002.p.4-8

12. Ranga R K, et al. Endoscopic Management of Nasal Myiasia : A 10 Years


Experience. A Case series.2013.p.58-60

13. Baptista M A F B. Nasal Myiasis. The New England Journal of Medicine.


2015.p.e17
14. Manfirm A M, et.al. Nasal Myiasis : Case Report and Literature Review.
Acces on : Mei 14th 2014. Available at
http://www.internationalarchivesent.org/conteudo/acervo_eng.asp?id=409

15. Arora S, et al.Clinical Etiology of Myiasis in ENT: a Retrogade Period-


Interval Study. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology. An Original
Article.2009.p.356-61

Anda mungkin juga menyukai