PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Miasis berasal dari bahasa Yunani, yaitu myia yang berarti lalat. pertama kali
diperkenalkan oleh Hope pada tahun 1840 untuk menunjukkan suatu keadaan
penyakit yang disebabkan oleh infestasi larva lalat dari ordo Diptera pada manusia
atau vertebrae hidup dan memakan jaringan mati atau jaringan hidup serta cairan
tubuh atau makanan yang ditelan oleh hospesnya. Masyarakat Indonesia lebih
mengenal penyakit ini dengan nama belatungan, sedangkan penduduk India
menyebutnya sebagai peenash atau scholeiasis.1,2,6
Miasis pada hidung adalah infestasi pada rongga hidung oleh lalat yang bertelur
baik secara langsung dalam rongga hidung atau di sekitarnya pada manusia saat
sedang tidur.1
B. Anatomi
Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari
biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap
lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung
dalam. Struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian yakni : tulang yang tak dapat
digerakkan, kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan lobules hidung yang mudah
digerakkan. Bentuk luar hidung seperti pyramid dengan struktur dari atas ke bawah :
pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala nasi,
kolumela dan lubang hidung (nares anterior).7,8
Gambar 1. Anatomi Hidung Luar
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang yang terdiri dari ; tulang hidung (os
nasal), prosesus frontalus os maksila, dan proscessus nasalis os frontal; sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung yaitu; sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang
kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan
tepi anterior kartilago septum.7
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum
disebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Rongga hidung berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan
oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau
lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan vestibulum. Vestibulum ini dilapisi
oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
dengan vibrise. 7,8
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini
dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina
perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis os maksila, dan 4) krista nasalis
os palatina. Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis)
dan 2) kolumela. Dinding lateral terdapat 4 buah konka yakni; konka superior, konka
media dan konka inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka
inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka
superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya
rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os
maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar
hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior
disebut meatus media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior.7
Suplai darah
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:
1. Arteri Etmoidalis anterior
2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika
3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari
arteri karotis eksterna.8
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoidalis anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari areteri karotis. Bagian
bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung
dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan
dari cabang-cabang arteri fasialis.7
Persyarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal
dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang
oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus
trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang
kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior
dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina
kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior
melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis
internus medial dan lateral.7,8
Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus
maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatina, selain memberi
persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk
mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.
Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum
terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha media. Nervus
Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius
dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung.7,8
Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologis dan fungsional
dibagi atas mukosa atas pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa pnghidu
(mukosa olfaktorius). Mukosa pernapasan terpadapat pada atap rongga hidung dan
permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia (ciliated
pseudostratified collumner epithelium) dan diantaranya terdapat sel sel goblet.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga
atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak bersilia
(pseudostratified collumner non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh 3
macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa
penghidu berwarna cokelat kekuningan.7
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang
kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal
mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah karena diiputi palut lendir
(mucous blanket) pada permukaannya. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang
banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa, dan jaringan limfoid.7
C. Fisiologi
D. Klasifikasi Miasis
1. Berdasarkan Etiologi
a. Miasis spesifik ( Miasis Obligatori ) , miasis yang berkembang pada berkembang
pada jaringan atau manusia yang hidup
b. Miasis semi spesifik ( Miasis fakultatif ), parasit ini dapat tumbuh pada jaringan
yang hidup atau yang mati
c. Miasis Akidental ( Miasis Accidental ), telur dari lalat akan masuk kedalam tubuh
melalui makanan yang sudah terkontaminasi.3
Larva mempunyai kait-kait dibagian mulutnya berwarna coklat tua atau coklat
orange. Larva menyerupai cacing yang mempunyai 11 segmen dengan kait-kait
anterior berlokasi pada segmen kedua dan kait-kait posterior berlokasi pada segmen
terakhir. Larva juga memiliki tanduk yang dapat mengelilingi setiap segmen
tubuhnya. Kait-kait anterior memiliki 4-6 bibir.6,12
Gambar 5. Morfologi dari larva Chrysomyia bezziana 12
Siklus hidup lalat C.bezziana terbagi menjadi empat tahap, yaitu telur, larva,
pupa dan lalat. Dari telur menetas menjadi larva instar I (L1) sampai dengan larva
instar III (L3) memerlukan waktu enam hingga tujuh hari, selanjutnya L3 akan jatuh
ke tanah dan membentuk pupa. Dalam waktu tujuh sampai delapan hari, pupa akan
menetas menjadi lalat (imago). Setelah kawin pada umur 4 - 8 hari, lalat betina akan
bertelur pada jaringan yang terluka.6,10,11
Lalat betina akan meletakkan kumpulan telurnya di tepi luka pada sore hari atau
menjelang petang dalam waktu 4,1 menit. Jumlah telur yang dikeluarkan oleh lalat
betina berkisar antara 95 sampai 245 (rata rata 180 telur). Telur akan menetas
menjadi L1 dalam waktu 12 24 jam atau sepuluh jam pada suhu 30oC, selanjutnya
L1 menuju ke daerah luka yang basah. Sehari kemudian, L1 akan berubah menjadi L2
dan mulai membuat terowongan yang lebih dalam di daerah luka tersebut dengan cara
masuk ke dalam jaringan inang.6,10,11
Larva instar II (L2) akan berkembang menjadi L3, selanjutnya pada hari keempat
bermigrasi keluar dari daerah luka tersebut dan jatuh ke tanah. Larva instar III (L3)
akan membuat terowongan sepanjang 2 3 cm untuk menghindari sinar matahari
secara langsung. Larva akan membentuk pupa dalam waktu 24 jam pada suhu 28oC.
Penetasan lalat dari pupa sangat tergantung dari lingkungan. Pupa akan menetas
menjadi lalat selama seminggu pada kondisi 25 30oC sedangkan pada temperatur
yang lebih rendah akan lebih lama bahkan samai berbulan bulan. 6,10,11
F. Patogenesis
Patogenesis miasis pada hewan dan manusia tidak berbeda. Awal terjadinya
miasis adalah apabila manusia mengalami luka. Bau darah segar yang mengalir akan
menarik lalat betina C. bezziana untuk meletakkan telurnya di tepi luka tersebut.
Telur ini mempunyai daya rekat yang kuat sehingga tidak mudah jatuh. Dalam waktu
kurang dari 12 jam, telur akan menetas mejadi larva dan bergerak masuk ke dalam
jaringan. Aktivitas larva dalam jaringan tubuh mengakibatkan luka semakin besar dan
kerusakan jaringan semakin parah. Kondisi ini menyebabkan bau yang menyengat
dan mengundang lalat lain (lalat sekunder dan tersier) untuk hinggap (Sarcophaga sp,
C.megacephala, C.rufifacies, Musca sp) dan memicu terjadinya infeksi sekunder oleh
bakteri.12
Setelah telur lalat menetas, larva akan masuk lebih dalam dengan kait tajam pada
mulut dan duri halus intersegmental yang akan mengikis jaringan dan melukai
pembuluh darah sekitar serta membuat terowongan di dalam jaringan sehingga akan
memperparah kerusakan dan memakan jaringan sekitar. Saat larva memakan jaringan
yang hidup ataupun jaringan yang mati, ujung kaudal larva dengan peritreme yang
berwarna kehitaman muncul terlihat pada permukaan lesi yang memungkinkan larva
untuk bernapas. Ujung kaudal larva ini sangat mudah terlihat saat pemeriksaan
endoskopi.12
Larva menghasilkan toksin yang dapat merusak jaringan hostnya. Sekresi enzim
proteolitik oleh bakteri di sekitarnya akan menguraikan jaringan yang kemudian akan
dimakan oleh larva. Interaksi dari enzim dan toksin bakteri-larva dapat pula
menyebabkan erosi pada tulang pada basis kranii sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya meningitis. 12
Telur dapat berpindah ke tempat lain melalui tangan pasien apabila pasien
memiliki higienitas yang buruk atau terasa gatal. Faktor predisposisi terjadinya miasis
nasal antara lain kondisi higienitas terutama dengan penyakit rhinitis atrofi, lepra,
diabetes dengan penyakit sinus purulent, granuloma midline, keganasan dan sifilis
yang melibatkan hidung. Hidung kanan lebih sering terserang miasis dibandingkan
hidung kiri, hal ini dikaitkan dengan kecenderungan tidur ke posisi lateral kanan atau
meletakkan tangan kanan pada hidung pada orang yang dominan tangan kanan. Satu
lalat tidak dapat bertelur pada kedua lubang hidung, namun perpindahan larva dari
sisi hidung yang lain dapat terjadi melalui choana atau melalui jari tangan.12
G. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala umum dari miasis hidung diantaranya adalah :
1. Obstruksi nasal,
2. Nyeri wajah,
3. Nyeri kepala,
4. Sekret purulen atau mukopurulen,
5. Epistaksis,
6. Bau yang sangat tidak tertahankan dari hidung pasien,
7. Sensasi gerakan benda asing dalam hidung, dan
8. Anosmia.
Gejala penyertanya diantaranya demam, anoreksia, dan mudah lelah. Pada satu
studi 20% dari 252 pasien dilaporkan adanya riwayat ulat keluar dari hidung.
Gejalanya mirip dengan gejala alergi atau rhinosinusitis. Hal ini terjadi jika ulat jatuh
ke tenggorokan yang kemudian bermanifestasi sebagai batuk, laringospasme,
dyspnea, dan stridor.1,3
H. Diagnosis
1. Anamnesis
Tanda-tanda miasis hidung biasanya berkaitan dengan keberadaan dan
pergerakan larva, yang meliputi sensasi adanya benda asing, dengan atau tanpa
sensasi gerakan, hidung dan wajah menjadi edema dan eritem yang dapat meluas ke
dahi dan bibir, adanya noda darah atau cairan hidung mukopurulen, berbau busuk,
dan anosmia. Terjadi obstruksi hidung sehingga bernapas melalui mulut dan suara
sengau. Dapat menjadi epistaksis dan mungkin ada ulat yang keluar dari hidung. Jika
belatung jatuh ke dalam tenggorokan dapat bermanifestasi sebagai batuk,
laringospasme, dispnea, dan stridor.1,3
2. Pemeriksaan Fisik
a. Rhinoskopi Anterior
Pemeriksaan rhinoskopi tampak edema, ulserasi membran mukosa yang berisi
material nekrotik dan belatung. Dapat pula tampak perforasi septum, palatal, ataupun
keduanya pada pasien. Sekret mukopurulen berbau busuk. Pada kasus yang lanjut
dapat menyebabkan sumbatan duktus nasolakrimalis. Ulat dapat merayap ke dalam
sinus atau menembus ke intrakranial. Pemeriksaan Rhinoskopi mungkin tidak hanya
mengkonfirmasi diagnosis tetapi juga dapat digunakan untuk mengobati pasien,
membantu dalam mengeluarkan belatung dengan forsep.1,6,7,12
3. Pemeriksaan penunjang
a. Nasoendoskopi1,7,12
Dapat memperlihatkan keadaan rongga hidung lebih jelas. Tampak jaringan
nekrotik luas berisi kelompok belatung. Kadang-kadang, larva tidak dapat terlihat
karena mereka fotofobik dan cenderung bersembunyi di bagian terdalam dari rongga
hidung hingga ke tuba eustachius.
J. Komplikasi
Beberapa komplikasi dapat terjadi selama infestasi pada rongga hidung. Apabila
tidak diobati maka larva dapat bergerak ke atas dan masuk ke saluran air mata,
selanjutnya merusak tulang rawan dan tulang septum, menghancurkan os nasal dan os
frontal. Komplikasi ini dapat berupa selulit pada wajah, ulserasi dinding faring
posterior, perforasi septum nasi dengan gambaran hidung pelana/saddle nose,
perforasi palatal, perforasi periorbital dengan edema ringan tanpa adanya diplopia.
Selain itu, larva dapat masuk ke dalam paranasal bahkan dalam kasus yang ekstrim
dapat menyebabkan penetrasi ke dalam sistem saraf pusat, menembus dasar
tengkorak dan menyebabkan meningitis sampai kematian, dengan tingkat kematian
hingga 1,19%. Setelah belatung telah dikeluarkan, semua pasien disarankan untuk
operasi korektif untuk perforasi palatal, perforasi septum nasi, maupun perforasi
periorbital. Namun sebagian besar pasien tidak setuju untuk dilakukan tindakan.1,2,5
Prognosis miasis hidung baik jika perawatan dilakukan dengan benar. Dua bulan
setelah operasi endoskopi, tidak ada tanda-tanda kekambuhan pada pasien. Dalam
sebuah penelitian, 80% pasien yang menolak pengobatan memiliki miasis hidung
2,4
berulang.
L. Pencegahan
KESIMPULAN
Miasis pada hidung adalah infestasi pada rongga hidung oleh lalat yang bertelur
baik secara langsung dalam rongga hidung atau di sekitarnya pada manusia saat
sedang tidur. Miasis dapat digolongkan berdasarkan etiologi dan berdasarkan
jaringan yang terkena. Penyebab miasis tersering adalah Chrysomia bezziana. Tanda
dan gejala umum dari miasis hidung diantaranya adalah obstruksi nasal, nyeri wajah,
nyeri kepala, sekret purulen atau mukopurulen, epistaksis, bau yang sangat tidak
tertahankan dari hidung pasien, sensasi gerakan larva. Penegakan diagnosis
dilakukan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Pemeriksaan
CT-Scan penunjang Nasoendoskopi
CT-Scan
Konservatif :
Miasis nasal
kloroform dan minyak
turpentin (1 : 4),
ethylene klorida,
Penatalaksanaan irigasi area dengan
naphta, ether dan
kokain, ivermectin 1%,
dan lidokain
Prognosis bonam
- Selulit pada wajah,
- Ulserasi dinding
faring posterior,
- Perforasi septum Komplikasi
nasi,
- Perforasi palatal
- Perforasi periorbital
- Meningitis
DAFTAR PUSTAKA
7. Soepardi F A,et al. Sumbatan Hidung. In Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.Edisi keenam. Jakarta; FKUI.2011.
p.118-22,143
11. Spradbery J C.Life Cycle. In A Manual for the Diagnosis of Srew-worm Fly.
Australia ; Commonwealth of Australia. 2002.p.4-8