PENDAHULUAN
Kulit manusia normal dikolonisasi setelah kelahiran oleh bakteri dengan jumlah
yang banyak yang hidup komensal pada epidermis dan aksesorisnya. Beberapa
minggu setelah kelahiran, flora kulit neonatus sama seperti orang dewasa
(Fredberg, 2003).
Pioderma primer dan sekunder kebanyakan disebabkan oleh S. Aureus atau grup
A streptococcus. Pioderma yang disebabkan oleh S. aureus terjadi pada individu
yang membawa organisme dari hidung, yang bertranslokasi ke kulit dan dapat
masuk ke epidermis melalui celah kulit dan menyebabkan infeksi superfisial.
Pioderma akibat streptokokus grus A menyebabkan gambaran klinis yang luas
menjadi superfisial dan infeksi jaringan lunak invasif, bergantung pada
organisme, lokasi anatomis dan faktor host (Fredberg, 2003).
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus,
Streptococcus, atau oleh kedua-duanya (Djuanda, 2010).
B. Etiologi
Sebenarnya infeksi kulit dapat pula disebabkan oleh kuman negative-Gram,
misalnya Pseudomonas aerugunosa, Proteus vulgaris, Proteus mirabilis,
Escherichia coli dan Klebsiella. Penyebab yang umum ialah kuman positif-
Gram yaitu Streptococcus B hemolyticus dan Staphylococcus aureus
(Djuanda, 2010).
C. Epidemiologi
Pioderma merupakan penyakit yang paling sering dijumpai. Penyakit
ini berhubungan erat dengan keadaan social ekonomi. Tidak ada ras tertentu
yang cenderung terkena pioderma. Pioderma dapat menyerang laki-laki
maupun perempuan pada semua usia (Djuanda, 2010).
D. Faktor Predisposisi
Higiene yang kurang
Menurunnya daya tahan tubuh, biasanya karena kelelahan, anemia,
atau penyakit-penyakit tertentu seperti penyakit kronis, neoplasma, dan
diabetes mellitus
Telah ada penyakit lain di kulit, hal ini dapat merangsang terjadinya
pioderma yang hampir bisa dipastikan akan memperparah penyakit
kulit sebelumnya tersebut, hal itu juga terjadi karena fungsi kulit
sebagai pelindung yang terganggu oleh penyakit. Karena terjadi
kerusakan di epidermis, maka fungsi kulit sebagai pelindung akan
terganggu sehingga memudahkan terjadinya infeksi (Djuanda, 2010).
2
E. Klasifikasi
Pioderma Primer
Infeksi terjadi pada kulit yang normal. Gambaran klinisnya tertentu,
penyebabnya biasanya satu macam mikroorganisme.
Pioderma Sekunder
Pada kulit telah ada penyakit kulit yang lain. Gambaran klinisnya tak
khas dan mengikuti penyakit yang telah ada. Jika penyakit kulit
disertai pioderma sekunder disebut impetigenisata, contohnya:
dermatitis impetigenisata, scabies impetigenisata. Tanda
impetigenisata ialah jika terdapat pus, kustul, bula purulen, krusta
berwarna kuning kehijauan, pembesaran kelenjar getah bening
regional, leukositosis, dapat pula disertai demam (Djuanda, 2010).
Impetigo
Ektima
Superfisial Folikulitis
Furukulosis
Karbunkel
Erisipelas
Selulitis
Profunda Flegmon
Abses multipel kelenjar keringat
Hidraadenitis
F. Pengobatan Umum
Sistemik
Contoh obat untuk pengobatan pioderma
a. Penisilin G prokain dan semi-sintetiknya
3
- Penisilin G prokain, dosisnya 1,2 juta/hari i.m, obat ini sudah
tidak dipakai lagi karena dianggap tidak praktis dan
pemakaiannya sering menimbulkan syok anafilaktik
- Ampisillin, dosis 4500 mg, ante cunam
- Amoksisilin, dosisnya sama dengan ampisilin, dipakai post-
cunam dan absorbsinya lebih cepat sehingga kadar dalam
plasma lebih tinggi.
- Golongan obat penisilin resisten-penisillinase, contohnya
adalah oksasillin, kloksasillin, dikloksasillin, flukloksasillin.
Dosis 3250 mg/hari ante-cunam. Kelebihan obat ini adalah
juga berkashiat pada Staphylococcus yang telah membentuk
penisilinase.
b. Linkomisin dan Klindamisin
Dosis linkomisin, 3500 mg/hari. Klindamisin diabsorbsi lebih
banyak karenanya dosisnya lebih kecil yaitu 4150 mg/hari/os,
pada infeksi berat dosisnya 4300-450 mg/hari. Linkomisin agar
tidak dipakai lagi dan digantikan oleh Klindamisin karena potensial
antibakterinya lebih besar dan efek sampingnya lebih sedikit dan
tidak terlalu terhambat oleh adanya makanan dalam lambung.
c. Eritromisin
Dosis 4500 mg/hari/os. Efektivitasnya kurang dibandingkan
Linkomisin/klindamisin dan obat golongan penisilin resisten-
penisillinase. Cepat menyebabkan resistensi dan kadang terjadi tak
enak di lambung.
d. Sefalosporin
Bila terjadi pioderma berat yang dengat obat diatas tidak
menunjukan hasil maka dipakailah Sefalosporin. Ada empat
generasi yang berkhasiat untuk kuman gram positif yaitu generasi I
juga generasi IV. Contohnya adalah sefadoksil dari generasi I
dengan dosis dewasa, 2500 mg atau 21000 mg/hari
Topikal
4
Bermacam obat topical dapat digunakan untuk pioderma, contohnya
basitrasin, neomisin, mupirosin. Neomisin berkhasiat juga untuk
bakteri gram negative, Neomisin dituliskan sering mengalami
sensitisasi, sedangkan teramisin dan kloramfenikol sebenarnya tidak
terlalu efektif namun sering dipakai karenanya harganya murah. Obat-
obatan ini biasanya berbentuk salep atau krim.
Selain itu juga baik agar diberikan kompres terbuka contohnya, larutan
permanganas kalikus 1/5000, larutan rivanol 1 o/oo dan yodium
povidon 7,5 % yang dilarutkan 10 kali (Djuanda, 2010).
G. Pemeriksaan
Pada pemeriksaan laboratorik (darah tepi) terdapat leukositosis. Pada kasus
yang kronis dan sukar sembuh dilakukan kultur dan tes resistensi. Ada
kemungkinan penyebabnya bukan stafilokokus melainkan kuman negative-
Gram. Hasil tes resistensi hanya bersifat menyokong, invivo tidak selalu
sesuai dengan in vitro. Terdapat leukositosis pada pemeriksaan lab. Pada
kasus yang sulit sembuh dilakukan kultur dan tes resistensi. Ada kemungkinan
penyebabnya buka kedua bakteri penyebab pioderma yang sering terjadi
(Djuanda, 2010).
H. Bentuk Pioderma
1. IMPETIGO
5
Terdapat 2 bentuk impetigo krustosa dan impetigo bulosa (Djuanda, 2010).
a) Impetigo krustosa
6
krusta tebal berwarna kuning seperti madu. Jika dilepaskan akan tampak erosi
di bawahnya. Sering krusta menyebar ke perifer dan sembuh di bagian
tengah.
Terapi antibiotik yang disarankan jika lesi banyak dan disertai gejala
konstitusi (demam,dll) adalah dengan diberikan antibiotic sistemik, misalnya
penisilin, kloksasilin, atau sefalosporin. Untuk antibiotik topikal dapat
menggunakan polimiksin, neomisin, dan basitrasin (Siregar, 2005).
o Impetigo bulosa
7
o Impetigo neonatorum
Penyakit ini merupakan varian impetigo bulosa yang terdapat pada neonates.
Kelainan kulit serupa impetigo bulosa hanya likasinya menyeluruh, dapat
disertai demam.
Diagnosa banding dengan sifilis congenital. Pada penyakit ini bula juga
terdapat ditelapak tangan dan kaki, terdapat pula snuffle nose, saddle nose,
dan pseudo paralisis parrot. Antibiotic harus diberika secara sistemik. Topical
dapat diberikan bedak salisil 2%.
8
Bila tidak ditangani, infeksi yang invasif daat berkomplikasi menjadi selulitis,
limfangitis, dan bakteremia dengan resultan osteomielitis, septik artritis,
pneumonitis, dan septikemi. Exfoliatin yang diproduksi dapat menyebabkan
scalded skin syndrome pada bayi dan dewasa dengan imunokompromis atau
yang memiliki fungsi renal buruk.
2. FOLIKULITIS
9
Folikulitis superfisialis: terbatad di dalam epidermis.
Gejala klinis : Pustul kecil berbentuk kubah dan mudah pecah pada
infundibulum (ostium) dari folikel rambut, sering pada kepala anak dan
pada area yang berjanggut, aksia, ekstremitas, dan bokong pada dewasa.
10
Terapi antibiotik yang disarankan ialah antibiotic sistemik jika luas : eritromisi
3x250 mg selama 7 14 hari ; atau penisilin 600.000 1,5 juta IU intramuscular
selama 7 14 hari. Antibiotic topical, isalnya kemicetin 2% ; jika eksudasi
kompres PK 1/5.000 (Siregar, 2005). Pengobatan lokal dengan kompres hangat
salin serta krim musiprosin cukup untuk mengontrol infeksi (Fredberg, 2003).
3. FURUNKEL/KARBUNKEL
Furunkel ialah pembentukan abses akut pada multipel folikel rambut., Karbunkel
ialah abses dalam pada kumpulan furunkel yang terasa nyeri. Biasanya
disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Keluhan yang muncul adalah nyeri,
dengan kelainan berupa nodus eritem berbentuk kerucut dengan pustule
ditengahnya. Kemudian melunak menjadi abses berisi pus dan jaringan nekrotik
lalu memecah membentuk fistel.
11
Predileksi adalah tempat yang banyak friksi, misalnya aksila dan bokong.
Pengobatan jika hanya sedikit furunkel, cukup dengan antibiotic topical, jika
banyak perlu gabungan dengan antibiotic sistemik. Jika terjadi furunkulosis atau
karbunkel berulang-ulang cari faktor predisposisi, misalnya diabetes mellitus
(Djuanda, 2010).
12
pada karbunkel adalah eritromisin 4x250 mg selama 7 - 14 hari ; penisilin 600.000
IU selama 5 - 10 hari. Antibiotik yang masih sensitif memberi hasil yang
memuaskan seperti sefalosporin atau golongan kuinolon. Basitrasin topikal juga
efektif untuk pengobatan furunkel (Siregar, 2005).
4. EKTIMA
13
5. PIONIKIA
6. ERISIPELAS
14
tempat predileksinya tungkai bawah. kelainan yang utama adalah eritema merah
cerah, berbatas tegas, dan pinggirnya meninggi dengan tanda radang akut. Dapat
disertai edem, vesikel dan bula. Terdapat leukosistosis. Jika sering residif
ditempat yang sama dapat terjadi limfedema (Djuanda, 2010).
15
Terapi awal diberikan benzylpenicillin selama 2 hingga beberapa hari kemudian
diberikan penisilin V selama 7-14 hari (Gawkrodger, 2003). Terapi antibiotik
yang diberikan adalah penisilin 0,6 - 1,5 mega unit selama 5 - 10 hari,
sefalosporin 4 x 400 mg selama 5 hari memberi hasil yang baik (Siregar, 2010).
7. SELULITIS
Inflamasi kulit ini berada lebih dalam daripada erisipelas. Jaringan subkutan
terlibat dan areanya lebih meninggi dan bengkak serta eritemanya lebih tidak
tegas daripada erisipelas (Hunter, 2003). Kadang pada perabaan teraba krepitasi
pada selulitis dan terasa lebih keras daripada erisipelas (Fredberg, 2003). Selulitis
sering diakibatkan adanya trauma sebelumnya dan sering terjadi edema hipostatik.
Streptokokus, stafilokokus dan organisme lain bisa menjadi penyebab.
Pengobatannya berupa elevasi, rawat inap dan antibiotik sistemik (Hunter, 2003).
16
atau doxycycline 200 mg per oral pada hari pertamaa lalu dilanjutkan dengan 100
mg per oral (GETIA, 2013).
8. FLEGMON
Selulitis yang mengalami supurasi. Terapi sama dengan selulitis hanya saja
ditambah dengan insisi (Djuanda, 2010).
9. ULKUS PIOGENIK
Berbentuk ulkus, gambaran klinisnya tidak khas dengan disertai pus diatasnya.
Dibedakan dengan ulkus lain yang disebabkan oleh kuman gram negative
sehingga perlu dilakukan kultur (Djuanda, 2010).
17
selama 7 hari. Siprofloksasin atau sefalosporin memberi hasil yang baik (Siregar,
2005).
11. HIDRADENITIS
Hidradenitis adalah kelainan kronis berat dari kelenjar apokrin. Banyak papul,
pustul, kista, sinus dan jaringan parut terdapat pada aksila, selangkangan dan
daerah perianal. Kondisi ini mungkin berbarengan dengan akne konglobata.
Penyebabnya belum diketahui tetapi kelainan folikel mungkin penyebabnya.
Peningkatan androgen ditemukan pada beberapa wanita. Hal ini mungkin bukan
merupakan suatu imonodefisiensi atau suatu infeksi primer dari kelebjar apokrin,
walaupun stafilokokus aureus, streptokokus anaerob dan bacterioides spp. Sering
ditemukan. Sebuah grup peneliti mengatakan patogen utama penyebabnya adalah
streptococcus milleri.
18
beberapa wanita. Kasus yang berat membutuhkan operasi plastik untuk
membuang area yang terjangkit (Hunter, 2003).
.
S4 pertama kali oleh Ritter von Rittershain, sehingga sering disebut penyakit
Ritter. S.S.S.S ialah infeksi kulit oleh Staphylococcus aureus tipe tertentu dengan
ciri yang khas ialah terdapatnya epidermolisis. Penyakit ini terutama terdapat pada
anak dibawah 5 tahun, pria lebih banyak dari wanita. Etiologinya ialah
Staphylococcus aureus grup II faga 52, 55 dan/atau faga 71. Sumber infeksi
penyakit ini ialah infeksi pada mata, hidung, tenggorok, dan telinga. Eksotoksin
yang dikeluarkan bersifat epidermolitik (epidermolin, eksofoliatin) yang beredar
di seluruh tubuh sampai pada epidermis dan menyebabkan kerusakan. Pada kulit
tidak selalu ditemukan kuman penyebab. Fungsi ginjal yang baik diperlukan
untuk mengekskresikan eksofoliatin, pada bayi diduga fungsi ginjal belum
sempurna sehingga penyakit ini terjadi pada golongan usia tersebut (Djuanda,
2010).
19
Pada umumnya terdapat demam yang tinggi disertai infeksi disaluran nafas bagian
atas. Kelainan kulit yang pertama timbul adalah eritema, yang timbul mendadak
pada muka, leher, ketiak dan lipat paha, kemudian menyeluruh dalam waktu 24
jam. Dalam waktu 1-2 hari akan muncul bula-bula berdinding kendur, tanda
nikolsky positif. Dalam 2-3 hari terjadi pengeriputan spontan disertai
pengelupasan lembaran-lembaran kulit sehingga tanpak daerah erosif. Akibat
epidermolisis tersebut gambarannya mirip dengan kambustio. Daerah-daerah
tersebut akan mongering dalam beberapa hari dan terjadi deskuamasi.
Penyembuhan penyakit akan terjadi setelah 10-14 hari tanpa disertai sikatriks.
Meskipun dapat sembuh spontan, dapat pula terjadi komplikasi seperti selulitis,
pneumonia dan septicemia. Jika terdapat infeksi ditempat lain maka dapat
dilakukan pemeriksaan bakteriologi. Juga dilihat tipe kuman karena tidak semua
Satphylococcus aureus dapat menyebabkan penyakit ini, hanya tipe tertentu. Pada
kulit tidak ditemukan kuman penyebab karena kerusakan kulit akibat toksin
(Djuanda, 2010).
20
Pada pemeriksaan histopatologi akan terdapat gambaran yang khas yaitu terlihat
lepuh intraepidermal, celah terdapat di stratum granulosum, meskipun ruang lepuh
sering mengandung sel-sel akantolitik, epidermis sisanya tampaknya utuh tanpa
disertai nekrosis sel. Penyakit ini mirip N.E.T (Nekrolisis Epidermal Toksik,
bahkan pada awalnya disebut N.E.T sebelum dilaporkan oleh Ritter).
Perbedaannya S4 umumnya menyerang anak-anak dibawah usia 5 tahun,
mulainya kelainan kulit didaerah muka, leher, dan lipat paha, mukosa umumnya
tidak diserang dan angka kematian lebih rendah (meskipun begitu penyakit ini
adalah pioderma penyebab kematian paling mungkin). Kedua penyakit ini sulit
dibedakan sehingga ada baiknya dilakukan pemeriksaan histopatologi secara
frozen section agar hasilnya cepat diketahui, karena prinsip pengobatan keduanya
berbeda. Perbedaan terletak pada celah, S4 di stratum granulosum, N.E.T di sub
epidermal. Perbedaan lain pada N.E.T terdapat nekrosis disekitar celah dan
terdapat sel radang (Djuanda, 2010).
Kematian dapat terjadi terutama pada bayi berusia kurang dari 1 tahun dengan
prevalensi sekitar 1-10%. Penyebab utama kematian adalah tidak adanya
keseimbangan cairan dan elektrolit juga karena sepsis (Djuanda, 2010).
Pilihan obat pada penyakit Stafilokokus Scalded Skin Syndrom adalah derivat
penicilin misalnya nafcilin. Alternaif lain adalah generasi pertama sefalosporin.
Tetapi jika pasien alergi dengan penisilin dapat diberikan golongan makrolid atau
aminoglikosid. Vancomycin juga dapat menjadi salah satu pilihan apabila pasien
tidak berespon pada nafcilin (King, 2014).
21
BAB III
KESIMPULAN
22
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, Adhi. dkk. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi VI. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI
Fredberg, I. 2003. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 6th Ed. New
York: Mc Grawhill
Guideline for the Empirical Treatment of Infections in Adults. 2013. Diunduh dari
http://www.ruh.nhs.uk/about/policies/documents/clinical_policies/blue_clinic
al/Blue_796.pdf 13 May 2016
Hunter, J., Savin, J., Dahl, M. 2003. Clinical Dermatology 3rd Ed. Minessota:
Blackwell
King, R.W. Staphylococca scalded skin syndrome medication. 2016. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1073117-medication#1 13 Mei 2016.
R.S. Siregar. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta : EGC
23