Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara berdasarkan hokum. Hal ini terdapat dalam UUD 1945
sehingga setiap tindakan baik yang dilakukan oleh penyelenggara negara maupun rakyat
haruslah berdasarkan pada hukum. Dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dikenal adanya
2 jenis hukum yaitu hukum privat dan hukum publik. Hukum Pidana sebagai bagian dari
lapangan hukum publik memiliki suatu kodifikasi tersendiri yaitu Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP).

KUHP saat ini merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia yang
dulunya bernama W.v.S. (Wetboek van Straftrecht) dan berlaku berdasarkan asas
konkordansi. KUHP saat ini sudah berumur lebih dari 60 tahun. KUHP yang sudah berumur
dan belum berubah sejak dahulu dipandang dapat menghambat Pembinaan hukum nasional
yang secara bertahap terus menerus ditingkatkan dalam rangka pembaharuan hukum dan
pembinaan tertib hukum untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum serta memberikan
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dalam jangka panjang. Oleh karena itu
perumusan kembali KUHP menjadi salah satu elemen penting dalam mewujudkan
pembaharuan hukum pidana Indonesia.

Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa usaha melakukan pembaharuan hukum


(pidana) pada dasarnya merupakan kegiatan yang berlanjut dan terus menerus (kontinu) tak
kenal henti. Jerome Hall menyebutkan dengan istilah a permanent on going enterprise.
Khususnya di bidang pembaharuan hukum pidana, Jerome Hall menyatakan improvement of
the criminal law should be a permanent on going enterprise and detailed records should be
kept. Dengan demikian menurut Jerome Hall perbaikan/pembaharuan atau pengembangan
hukum pidana harus merupakan suatu usaha permanen yang terus menerus dan berbagai
catatan/dokumen rinci mengenai hal itu seharusnya disimpan dan dipelihara.1

1
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan dan Pengembangan Hukum Pidana (Edisi
Perumusan KUHP dalam bentuk Rancangan KUHP dimulai sejak tahun 1958 dengan
terbentuknya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) yang kemudian diubah menjadi
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Konsep Rancangan ini tidak terlepas dari
pemikiran bahwa karakteristik Hukum di Indonesia merupakan adopsi dari tatanan sosial
masyarakat yang tercermin dalam tata laku hidup dan kehidupan bersosialisasi dalam ranah
keragaman Masyarakat Indonesia yang heterogen.

Dalam sistem hukum Indonesia juga dikenal tiga sistem hukum yang menjadi bagian
yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya, yakni hukum adat, hukum Islam, dan
hukum barat. Keberadaan Hukum Adat sebagai hukum yang hidup itu tidak dapat dipungkiri
peranannya sebagai suatu kerangka dasar penyusunan hukum nasional di masa yang akan
datang.

Salah satu konsep pokok bentuk pengakuan hukum yang berkembang atau hidup di
masyarakat adalah dengan diadopsinya system sanksi dalam hukum adat (pidana adat) dalam
sistem hukum nasional. Pengakuan dan perlindungan atas penerapan sanksi hukum adat
menjadi suatu yang penting dalam kehidupan masyarakat adat, sebab dengan sanksi adat,
maka dapat terkonstruksi atau tercipta keseimbangan dan harmonisasi sosial, kepentingan
antara golongan manusia dan perorangan, antara persekutuan (kelompok) dan masyarakat
luas yang merupakan dasar dari alam pikiran tradisional bangsa Indonesia.

Sebagai identitas bangsa, eksistensi hukum adat mesti memiliki ciri dan karakteristik
yang sesuai dengan filosofi dan budaya bangsa. Hukum pidana yang berlaku secara Nasional
sekarang menentukan bahwa dalam hal menetapkan adanya tindak pidana dilarang
menggunakan analogi. Ketentuan tersebut mempertegas prinsip legalitas yang menjadi
prinsip utama dalam hukum pidana Nasional yang secara positif berlaku sekarang.

Realitasnya, kebiasaan masyarakat Indonesia memunyai kaidah tersendiri yang


diantaranya memunyai sanksi yang biasa dikenal dengan hukum adat. Hukum adat yang
demikian tentu tidak tertulis, dalam arti tidak menjadi hukum tertulis yang resmi disahkan
negara sebagaimana halnya undang-undang. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat

Revisi), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 135


Indonesia masih memegang teguh hukum tidak tertulis yaitu hukum adat itu sendiri beserta
sanksi atas pelanggaran hukum tidak tertulis tersebut.

Atas dasar penjelasan diatas, penulis akan mencoba untuk membahas mengenai nilai
hukum adat dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia.

B. Perumusan Masalah
1. Dimanakah posisi hukum adat dalam pembaharuan hukum pidana?
2. Bagaimana perbedaan pokok KUHP dengan Hukum Pidana Adat?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Posisi Hukum Adat di Indonesia


Hukum adat merupakan hukum yang tidak tertulis yang lahir dari kearifan lokal
masyarakat asli Indonesia. Terbentuk karena adanya interaksi antar warga masyarakat
dalam suatu wilayah tertentu sehingga berlakunya hukum adat mengikat hanya untuk
warga masyarakat dan dalam wilayah tertentu.
Menurut M.M. Djojodiguno Hukum Adat adalah suatu karya masyarakat tertentu
yang bertujuan tata yang adil dalam tingkah laku dan perbuatan di dalam masyarakat
demi kesejahteraan masyarakat sendiri. Menurut R. Soepomo, Hukum Adat adalah
hukum yang tidak tertulis yang meliputi peraturan hidup yang tidak ditetapkan oleh pihak
yang berwajib, tetapi ditaati masyarakat berdasar keyakinan bahwa peraturan tersebut
mempunyai kekuatan hukum. Menurut Van Vollenhoven Hukum Adat adalah
keseluruhan aturan tingkah laku positif dimana di satu pihak mempunyai sanksi
sedangkan di pihak lain tidak dikodifikasi. Sedangkan Surojo Wignyodipuro memberikan
definisi Hukum Adat pada umumnya belum atau tidak tertulis yaitu kompleks norma-
norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang meliputi
peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, senantiasa ditaati dan
dihormati karena mempunyai akibat hukum atau sanksi.2
Jika dilihat dari 4 definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Adat merupakan
sebuah aturan yang tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan, namun tetap ditaati dalam
masyarakat karena mempunyai suatu sanksi tertentu bila tidak ditaati. Kemudian
mengenai bentuknya, hukum adat sebagian besar adalah hukum tidak tertulis dan tidak
dikodifikasikan.
Hukum Adat dan Hukum Pidana Adat berasal dari kebudayaan masyarakat. Sistem
nilai-nilai budaya bangsa terdiri dari konsep-konsep yang hidup dalam alam pikiran
sebagian besar warga masyarakat yang merupakan warga kebudayaan yang bersangkutan

2
Dikutip dari http://wisnu.blog.uns.ac.id/2009/07/28/kedudukan-hukum-adat-dalam-hukum-nasional/ pada
tanggal 14 Juni 2017 pukul 12.48
yang berfungsi sebagai pedoman untuk berbuat atau tidak berbuat. Menurut Soepomo,
didalam hukum adat segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat
dan perbuatan ilegal dan hukum adat mengenal pula ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki
hukum jika hukum diperkosa.3
Menurut Hilman Hadikusuma, Hukum pidana adat adalah hukum yang hidup dan
akan terus hidup, selama ada manusia dan budaya, ia tidak akan dihapus dengan
perundang-undangan. Andaikata diadakan juga undang-undang yang akan
menghapuskannya, maka akan percuma saja, malahan hukum pidana perundang-
undangan akan kehilangan sumber kekayaannya, oleh karena hukum pidana adat lebih
dekat dengan hubungannya dengan antropologi dan sosiologi daripada hukum perundang-
undangan.4
Sedangkan menurut Teer Haar BZN bahwa yang dianggap suatu pelanggaran ialah
setiap gangguan segi satu terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu
pada barang-barang kehidupan materil dan imateril orang-seorang atau dari orang-orang
banyak yang merupakan suatu kesatuan. Tindakan demikian itu menimbulkan suatu
reaksi yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat, karena reaksi mana
keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kembali dengan jalan pembayaran
pelanggaran.5
Dari pemikiran-pemikiran tersebut terdapat adanya suatu kesamaan bahwa pada
suatu tindak pidana adat itu merupakan tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan
kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang menyebabkan terganggunya ketentraman
dan keseimbangan masyarakat yang bersangkutan. Guna memulihkan ketentraman dan
keseimbangan itu maka terjadilah reaksi-reaksi adat. Reaksi-reaksi adat untuk
mengembalikan keadaan yang diganggu oleh Pelanggaran adat.
Dilihat dari perspektif normatif, teoritis, asas dan praktik dimensi dasar hukum dan
eksistensi keberlakuan hukum pidana adat di Indonesia bertitik tolak berdasar dari
ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang
Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan

3
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Pramita, 1982, hal.110.
4
Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 20.
5
Teer Haar BZN, Azas-azas Hukum Adat, Bandung, Alumni, 1979, hal.255
dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil (LN 1951 Nomor 9). Pada ketentuan dalam
undang-undang tersebut dinyatakan bahwa:
Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktupun hukum materiil pidana sipil
yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang
dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu
dengan pengertian bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus
dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana
Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara
dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman
adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang
dimaksud dianggap sepadan oleh Hakim dengan besar kesalahan terhukum, bahwa
bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya
dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan
terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan
pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan
jaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas, bahwa suatu perbuatan yang menurut
hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana yang ada bandingnya dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman sama
dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana tersebut.
Selain ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun
1951, maka dasar hukum berlakunya hukum pidana adat juga mengacu ketentuan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Secara eksplisit
maupun implisit ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) dalam
undang-undang tersebut meletakkan dasar eksistensi hukum pidana adat. Ketentuan Pasal
5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa:
Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Kemudian ketentuan Pasal 10 ayat (1) menyebutkan bahwa:
Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada dan kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 50 ayai (1) disebutkan:
Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan juga memuat
pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum
tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Ada tiga konklusi dasar dari ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang
Darurat Nomor 1 Tahun 1952 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil.
Pertama, bahwa tindak pidana adat yang tiada bandingan atau padanan dalam KUHP
dimana sifatnya tidak berat atau dianggap tindak pidana adat yang ringan ancaman
pidananya adalah pidana penjara dengan ancaman paling lama tiga bulan dan/atau denda
sebanyak lima ratus rupiah (setara dengan kejahatan ringan), minimumnya sebagaimana
termaktub dalam ketentuan Pasal 12 KUHP yaitu 1 hari untuk pidana penjara dan pidana
denda minimal 25 sen sesuai dengan ketentuan Pasal 30 KUHP. Akan tetapi, untuk tindak
pidana adat yang berat ancaman pidana paling lama 10 tahun , sebagai pengganti dari
hukuman adat yang tidak dijalani oleh terdakwa.
Kedua, tindak pidana adat yang bandingannya dalam KUHP maka ancaman
pidananya sama dengan ancaman pidana yang ada dalam KUHP seperti misalnya tindak
pidana adat Drati Kerama di Bali atau Mapangaddi (Bugis) Zina (Makassar) yang
sebanding dengan tindak pidana zinah sebagaimana ketentuan Pasal 284 KUHP.
Ketiga, sanksi adat sebagaimana ketentuan konteks di atas dapat dijadikan pidana
pokok dan atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus
perbuatan yang menurut hukum yang hidup (living law) dianggap sebagai tindak pidana
yang tiada bandingnya dalam KUHP sedangkan tindak pidana yang ada bandingnya
dalam KUHP harus dijatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan KUHP.6
Secara umum pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan
kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia merupakan bagian dari suatu langkah
kebijakan atau policy (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum
pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Di dalam setiap kebijakan (policy)

6
Dikutip dari http://pn-kepanjen.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=117&Itemid=36
diakses pada tanggal 14 Juni pukul 13.09
terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana harus
pula berorientasi pada pendekatan nilai.
Jika Hukum Adat dijadikan sumber hukum dalam Pembaharuan Hukum Pidana,
maka dapat dilihat dari sudut pendekatan kebijakan. Pertama, sebagai bagian dari
kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari
upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam
rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).
Kedua, sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya
penanggulangan kejahatan). Ketiga, sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum,
pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya
memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan
penegakan hukum.7
Dilihat dari sudut pendekatan nilai, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya
merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan
reevaluasi) nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan
memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan.
Bukanlah pembaharuan (reformasi) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum
pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari
hukum pidana lama warisan penjajah (Wetboek van Strafrechts).8

2.2. Perbedaan Pokok KUHP dengan Hukum Pidana Adat


Pada awalnya terjadi dualisme dalam KUHP yaitu dengan dikeluarkannya Undang-
undang No.1 tahun 1946 yang menyatakan bahwa W.V.S. berlaku untuk bekas daerah
Republik Indonesia Yogya dan W.v.S.v.I. berlaku bagi daerah-daerah yang dulunya
dikuasai Belanda. Namun sejak dikeluarkannya Undang-undang No.73 tahun 1958
menandai berakhirnya dualisme itu dan menyatakan bahwa Undang-undang No.1 tahun

7
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP
Baru), Edisi Kedua Cetakan ke-4, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hlm. 29-30
8
ibid
1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana berlaku untuk seluruh wilayah
Republik Indonesia.
Hukum Pidana Adat berasal dari kebudayaan masyarakat dan proses terbentuknya
pun mengikuti perkembangan masyarakat adat setempat. Oleh karena itu hukum yang
berlaku pun dikenal hidup dalam masyarakat setempat.
KUHP dan Hukum Pidana Adat memiliki karakterik perbedaan dikarenakan latar
belakang terbentuknya pun berbeda. KUHP berasal dari warisan kolonial Belanda yang
diadopsi dari Perancis sedangkan Hukum Pidana Adat berakar dan bersumber dari
masyarakat itu sendiri.
Hukum barat memisahkan antara hukum pidana dan hukum perdata, karena tidak
setiap perbuatan yang melanggar hukum adalah termasuk perbuatan pidana /delict. Hanya
pelanggaran/perbuatan yang diancam dengan pidana (straf=penderitaan=punishment) saja
yang termasuik dalam pengertian hukum pidana.
Hukum Adat tidak memisahkan antara perbuatan pelanggaran hukum yang
mewajibkan tuntutan pembalasan yang berupa pidana dengan pelanggaran hukum yang
hanya dapat dituntut dengan penggantian kerugian dalam lapangan hukum perdata. Oleh
karena itu dalam hukum adat tidak ada perbedaan dalam acara penuntutan dimuka hakim
antaa penuntutan dimuka hakim antara penuntutan ganti kerugian dalam lapangan perdata
dan penuntutan kriminal.
Perbedaan sistem hukum barat dengan sistem hukum adat dalam pemisahan atau
pembedaan hukum perdata dengan hukum pidana ini berpangkal pada perbedaan alam
fikiran dari kedua masyarakat. Barat (individualistis-liberalistis, rasionalistis) Timur
(tradisional-kosmis, yaitu meliputi segala-galanya sebagai satukesatuan/totaliter).
Beberapa perbedaan pokok antara sistem hukum pidana dalam KUHP dan sistem pidana
adat antara lain :9
1. Subyek Hukum
Subyek Hukum dalam KUHP hanyalah seorang man usia dan tidak berlaku bagi
Persekutuan hukum Indonesia seperti Desa, kerabat atau famili. Sedangkan dalam Hukum
pidana adat, diantaranya di daerah Minangkabau, Tanah Gayo, Nias, Kalimantan,

9
Dikutip dari http://bayuruhulazam.blogspot.co.id/2011/01/relevansi-hukum-pidana-adat-dalam.html dikases
pada tanggal 14 Juni 2017 pukul 13.15
Gorontalo, Ambon, Bali, Lombok adalah sering terjadi apabila terjadi kejahatan di
kampung daerah asal penjahat itu atau di kampung tempat terjadinya pembunuhan atau
pencurian terhadap orang asing maka kerabat si penjahat diharuskan menanggung
hukuman yang dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan warganya.
2. Kesengajaan atau Kesalahan
KUHP mengandung prinsip bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila
perbuatannya dilakukan dengan sengaja ataupun dengan kealpaan. Sedangkan dalam
Hukum Pidana Adat unsur kesalahan ini tidak merupakan syarat mutlak bahkan tidak
perlu adanya pembuktian tentang kesengajan atau kesalahan.
3. Pelaku Kejahatan
Pelaku kejahatan yang diatur oleh KUHP membedakan antara turut serta
(mededaderschap), membujuk (uitlokking) dan perbantuan (medeplictigeheid) seperti
tercantum dalam pasal 55 dan 56 KUHP. Dalam Hukum Pidana Adat tidak dikenal
adanya pembedaan itu karena siapa saja yang turut serta menentang/melanggar peraturan
adat maka harus memenuhi usaha yang diputskan pemuka adat dalam memulihkan
kembali hukum adat yang ternoda.
4. Delik Percobaan
KUHP mengenal adanya suatu kejahatan yang dilakukan namun tidak selesai bukan
karena kehendak si pelaku atau lebih dikenal dengan delik percobaan. Sedangkan Hukum
Adat tidak menghukum seseorang karena mencoba melakukan kejahatan. Sebagai contoh
dalam hukum adat, apabila ada seseorang ingin membunuh orang lain dengan memanah,
namun ternyata orang itu hanya terluka maka si pelaku tidak dikenai hukuman mencoba
membunuh namun hukuman karena melukai orang lain.
5. Sifat pelanggaran
KUHP menganut sistem pelanggaran hukum yang ditetapkan lebih dahulu (prae
existence regels) sedangkan hukum pidana adat tidak menganut sistem itu karena delik
yang telah ditetapkan tidak berlaku sepanjang masa. Lahirnya suatu delik adat diikuti
hilangnya delik adat yang lain. Jadi berkembang mengikuti pola peradaban masyarakat
adat itu.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Hukum adat yang lahir dan berkembang di masyarakat harus menjadi dasar
pertimbangan dan sumber dalam perumusan dan penyusunan rancangan KUHP karena
KUHP Indonesia lama adalah warisan colonial Belanda yang belakangan ini dirasa
kurang bida menjawab persoalan yang berkembang di masyarakat. Terdapat beberapa
perbedaan mendasar atau perbedaan pokok antara Hukum Pidana Adat dengan KUHP
warisan colonial.
Perbedaan itu dirasa cukup sebagai dasar untuk menjadikan Hukum Pidana Adat
masih dipakai dan eksis hingga sekarang, karena didalamnya terdapat nilai-nilai yang
hidup dimasyarakat. Oleh karena itu hukum pidana adat sangat relevan untuk dijadikan
bahan penyusunan Rancangan KUHP yang akan berlaku secara efektif. Sehingga KUHP
Nasional Indonesia akan mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat dan sesuai
dengan kebudayaan bangsa yang berasal dari jiwa serta kepribadian bangsa
Daftar Pustaka

1. Arief, Barda Nawawi. 2005. Beberapa Aspek Kebijakan dan Pengembangan


Hukum Pidana (Edisi Revisi). Bandung: Citra Aditya Bakti.
2. Arief, Barda Nawawi. 2014. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana
(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Edisi Kedua Cetakan ke-4.
Jakarta: Prenadamedia Group.
3. Soepomo, 1982. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Pramita.
4. Hilman Hadikusuma. 1984. Hukum Pidana Adat. Bandung: Alumni.
5. Teer Haar BZN, 1979. Azas-azas Hukum Adat. Bandung: Alumni.
6. http://wisnu.blog.uns.ac.id/2009/07/28/kedudukan-hukum-adat-dalam-hukum-
nasional/ pada tanggal 14 Juni 2017 pukul 12.48
7. http://pn-
kepanjen.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=117&Itemid= 36
diakses pada tanggal 14 Juni pukul 13.09
8. http://bayuruhulazam.blogspot.co.id/2011/01/relevansi-hukum-pidana-adat-
dalam.html dikases pada tanggal 14 Juni 2017 pukul 13.15

Anda mungkin juga menyukai