Anda di halaman 1dari 22

RANGKUMAN PAJAK

Cara Menghitung dan Menjurnal Pajak Tangguhan (Bagian Pertama)


Seperti namanya, Pajak Tangguhan adalah pajak yang ditangguhkan alias DITUNDA.
Konsep Dasar Pajak Tangguhan (Deferred Tax)
Pajak tangguhan adalah pajak yang ditangguhkan, lalu APA-nya yang ditangguhkan? Ya
pengakuannya. Sehingga definisi singkatnya menjadi
Pajak tangguhan adalah pajak yang pengakuannya ditangguhkan.
Dari definisi sederhana di atas, timbul pertanyaan selanjutnya:
Pengakuan pajak yang mana yang ditangguhkan?
Pajak itu jenisnya kan macam-macam. Iya tidak?
Pajak yang ditangguhkan HANYA Pajak Penghasilan (PPh)baik penghasilan atas operasional di
dalam maupun di luar negeri.
Pertanyaan berikutnya: Mengapa ditangguhkan?
Kuncinya, ini: Pengakuan pajak tangguhan dalam laporan keuangan di maksudkan untuk
mengantisipasi konsekwensi kewajiban pajak penghasilan (utang PPh) baik di masa kini maupun di
masa-masa yang akan datang.
Konsekwensi apa (seperti apa)?
Konsekwensi akibat PERBEDAAN PENGAKUAN Laba Kena Pajak (baca: laba fiskal) DENGAN
Laba Akuntansialias laba sebelum pajak (baca: laba komersial).
Seperti diketahui, laporan keuangan fiskal disusun dengan menggunakan undang-undang Pajak yang
ditentukan oleh pemerintah bersama-sama DPR yang notabenanya dibuat untuk kepentingan negara
berdasarkan pendekatan politis. Sementara itu, laporan keuangan komersial disusun dengan
menggunakan prinsip-prinsip akuntansi berterima umum (PSAK untuk di Indonsia)yang
notabenanya dibuat untuk kepentingan para pelaku usaha dan stake holders (manajemen, investor,
kreditur dan pemerintah) dengan menggunakan pendekatan bisnis.
Perbedaan kepentingan antara pajak dengan akuntansi kemudian menimbulkan perbedaan cara
memandang suatu transaksi keuanganbaik dalam menentukan waktu pengakuan maupun besarnya
nilai yang diakui. Perbedaan perlakuan terhadap pendapatan dan biaya (baik itu saat pengakuan
maupun nilai-nya), sudah pasti akan menimbulkan perbedaan nilai antara Laba Sebelum Pajak
dengan Laba Kena Pajak (DPP PPh) dalam Laporan Laba/Rugi, yang pada akhirnya juga
mengakibatkan perbedaan pada pengakuan Utang Pajak Penghasilan di Neraca.
Misalnya:
Kasus-1. PT. JAK adalah perusahaan kontraktor. Untuk laporan komersial, JAK menggunakan metode
persentase penyelesaian (percentage-ofcompletion method) dimana pendapatan diakui berdasarkan
persentase tingkat penyelesaian proyek, dan untuk tahun 2012 JAK menerima pembayaran sebesar Rp
100,000,000 dari total kontrak senilai 200,000,000 yang rencananya akan rampung di 2013.
Sedangkan untuk laporan fiskal, JAK menggunakan metode penyelesaian kontrak (completed-
contract method) dimana
pendapatan baru akan diakui sekaligus ketika seluruh pembayaran diterima (saat proyek rampung di
2013.) Akibatnya, di 2012 terjadi perbedaan pengakuan pendapatan. Perbedaan pengakuan pendapatan
ini mengakibatkan perbedaan pengakuan Laba Kena Pajak yang otomatis juga akan mengakibatkan
perbedaan pengakuan Kewajiban Pajak Penghasilan (Utang PPh) baik di masa kini maupun yang
akan datang.
Kasus-2. PT. JAK adalah perusahaan retail. Dalam Neraca komersial tahun 2012, PT. JAK mengakui
adanya utang penukaran point belanja yang belum dibayar sebesar Rp 25,000,000 yang kemungkinan
akan diklaim oleh pelanggan di 2013. Di sisi lainnya, PT. JAK juga mengakui Harga Pokok
Penjualan handuk (sebagai penukar point) sebesar yang sama dalam Laporan Laba-Rugi. Sedangkan
dalam Laporan Laba-Rugi fiskal, Harga Pokok Penjualan (HPP) handuk yang belum sungguh-
sungguh terjadi tidak boleh diakui di 2012 (sesuai ketentuan pajak). Akibatnya, terjadi perbedaan
pengakuan HPP antara laporan laba-rugi komersial dengan fiskal. Perbedaan pengakuan HPP tersebut
mengakibatkan laba kena pajak (laba fiskal) dan laba sebelum pajak (laba komersial) juga
berbeda, yang pada akhirnya akan membuat Kewajiban Pajak Penghasilan (utang PPh) juga menjadi
berbeda.
Kasus-3. PT. JAK adalah perusahaan manufaktur. Selama periode 2012, PT. JAK mengeluarkan uang
makan untuk beberapa orang pegawai sebesar Rp 2,000,000. Di laporan komersial, semua jenis
pengeluaran diakui sebagai beban (atau biaya) termasuk uang makan tersebutyang akan mengurangi
Laba Kena Pajak. Sedangkan menurut aturan perpajakan, uang makan tersebut tidak boleh diakui
sebagai biaya. Sehingga, besanya laba kena pajak antara laporan fiskal dengan komersial akan
berbeda.
Perhatikan kembali contoh kasus pertama di atas. Menurut laporan fiskal 2012 pendapatan JAK nol
sehingga TIDAK ADA Laba Kena Pajak (laba fiskal), otomatis juga tidak ada utang pajak
penghasilan)karena pendapatan baru akan diakui sekaligus di 2013 sebesar Rp 200,000,000,
sehingga laba kena pajak dan utang pajak penghasilan akan terjadi sekaligus di 2013. Sedangkan
menurut laporan komersial untuk 2012 adalah Rp 100,000,000, sehingga ADA Laba Kena Pajak (laba
komersial) dan Utang Pajak Penghasilansisanya yang Rp 100,000,000 akan diakui di 2013. Total
pengakuan pendapatan, laba kena pajak dan utang pajak, sejak 2012 hingga 2013, akan sama.
Perbedaan hanya terjadi pada waktu pengakuan-nya, oleh sebab itu perbedaan yang seperti ini
diistilahkan dengan beda waktu (timing difference). Dengan kata lain: perbedaan yang terjadi di
2012 hanya bersifat sementarapada titik tertentu nanti akan menjadi sama, itu sebabnya belakangan
ini istilah beda waktu (timing difference) sudah jarang dipakai, digantikan dengan istilah beda
sementara (temporary difference.)
Demikian juga dengan contoh kedua, yang terjadi hanya beda sementara (temporary difference). Di
tahun 2012 pengakuan HPP laporan fiskal lebih besar dibandingkan laporan komersial, akan tetapi di
2013 yang terjadi adalah sebaliknyalaporan komersial akan mengakui HPP lebih besar
dibandingkan laporan fiskal. Sehingga, saat semua point diklaim oleh pelanggan, total HPP antara
laporan fiskal dan komersial akan sama, total laba fiskal dan laba komersial sama, dan total utang PPh
juga sama.
Contoh kasus yang ketiga tidak sama dengan dua contoh sebelumnya. Pada kasus ini, perbedaan yang
terjadi bersifat tetap. Dari aspek pajak, pengeluaran untuk uang makan beberapa orang pegawai
TIDAK AKAN PERNAH BISA diakui sebagai bebanartinya juga tidak akan pernah bisa dijadikan
faktor pengurang laba kena pajak dan tidak akan pernah mengurangi utang pajak di masa-masa yang
akan datang. Sedangkan dari prinsip akuntansi, pengeluaran yang sama akan tetap diakui sebagai
beban. Dengan kata lain, utang pajak antara yang di laporan fiskal dengan komersial tidak akan pernah
sama. Perbedaan yang seperti ini disitilahkan dengan Beda Tetap (Permanent Different.)
Lalu, apa hubungannya dengan pajak tangguhan?
Tanpa pemahaman yang cukup mengenai temporary dan permanent different, mustahil bisa
memahami konsep pajak tangguhan.
Jenis-Jenis Pajak Tangguhan dan Penyebabnya
Seperti sudah disampaikan diatas: definisi menurut saya (tidak usah dijadikan referensi),
sederhananya, pajak tangguhan adalah pengakuan pajak yang ditangguhkan.
Mengapa ditangguhkan?
Ada 2 faktor penyebab yang mengakibatkan timbulnya pengakuan pajak tangguhan, yaitu:
Penyebab-1. Karena adanya pengakuan Laba Kena Pajak (laba fiskal) yang UNTUK
SEMENTARA lebih kecil dibandingkan Laba Sebelum Pajak (laba komersial) di masa kinisudah
pasti akan mengakibatkan timbulnya Utang Pajak penghasilan di masa depan. Selisih inilah yang
diakui sebagai Kewajiban Pajak Tangguhan (Deferred Tax Liabilitybiasa disingkat dengan
DTL.)
Contoh Kasus Pengakuan Kewajiban Pajak Tangguhan:
Melanjutkan contoh kasus pertama di atas. Perbedaan metode pengakuan pendapatan PT. JAK antara
laporan fiskal dan komersial menyebabkan terjadinya perbedaan pengakuan pendapatan, di 2012.
Perbandingan laporan fiskal dan komersial PT. JAK untuk 2012 dan 2013 akan nampak sebagai
berikut:

2012 2013 Total


Laporan fiskal
Penddapatan 0 200.000.000 200.000.000
Beban dan biaya 0 100.000.000 100.000.000
Laba kena pajak 0 100.000.000 100.000.000
Tarif efektif PPh 30% 30%
Utang PPh 0 30.000.000 30.000.000
Laporan komersial
Pendapatan 100.000.000 100.000.000 200.000.000
Beban dan biaya 50.000.000 50.000.000 100.000.000
Laba kena pajak 50.000.000 50.000.000 100.000.000
Tarif efektif PPh 30% 30%
Utang PPh 15.000.000 15.000.000 30.000.000
Note : utang PPh antara laporan fiskal dan komersial berbeda di tahun 2012. perbedaan tersebut hanya
perbedaan sementara (temporary difference)-utang PPh akan sama jika ditotal dari 2012 hingga 2013
Dari perbandingan laporan fiskal dan komersial di atas jelas terlihat bahwa, perbedaan pengakuan
pendapatan di 2012 mengakibatkan terjadinya
perbedaan laba kena pajak sebesar Rp 50,000,000. Perbedaan laba fiskal dan komersial tersebut akan
mengakibatkan peningkatan Utang PPh di 2013 nanti sebesar:
Tarif efektif PPh x Selisih Laba Kena Pajak = 30% x 50,000,000 = Rp 15,000,000.

Peningkatan Utang PPh inilah yang diakui sebagai Kewajiban Pajak Tangguhan (Deferred Tax
Liability) di tahun 2012. Bagaimana caranya JAK menjurnal pengakuan kewajiban pajak tangguhan?
Mungkin anda sudah tahu bahwa pengakuan jurnal pengakuan Biaya dan Utang PPh biasanya, sbb:
[Debit]. Biaya PPh Badan = Rp 15,000,000
[Kredit]. Utang PPh Badan = Rp 15,000,000

Tetapi karena laporan fiskal mengakui utang PPh nihildan sebagai gantinya PT. JAK mengakui
adanya kewajiban pajak tangguhan, maka jurnalnya menjadi sbb:
[Debit]. Biaya PPh Badan = Rp 15,000,000
[Kredit]. Utang PPh Badan = 0
[Kredit]. Kewajiban Pajak Tangguhan = Rp 15,000,000
(Catatan: Untuk mengakui kewajiban pajak tangguhan)
Dengan dimasukannya jurnal ini, maka di Laporan Laba-Rugi komersial PT JAK akan menunjukan
biaya PPh sebesar Rp 15,000,000 di satu sisinya, dan di Neraca akan menunjukan Utang PPh = 0 dan
Kewajiban Pajak Tangguhan sebesar Rp 15,000,000, di sisi lainnya.

Saat proyek rampung di tahun 2013 nanti, jurnal yang dimasukan oleh PT. JAK di penutupan buku
adalah sebagai berikut:
[Debit]. Biaya PPh Badan = Rp 15,000,000 (pengkuan biaya untuk 2013 saja)
[Debit]. Kewajiban Pajak Tangguhan = Rp 15,000,000
[Kredit]. Utang PPh Badan = Rp 30,000,000
(Catatan: Untuk mengakui Utang PPh Badan sebesar 15,000,000 untuk 2013 saja, sekaligus
memulihkan Utang PPh yang ditangguhkan di 2012 sebesar Rp 15,000,000, sehingga total utang PPh
menjadi Rp 30,000,000).
Penyebab-2. Karena adanya pengakuan laba fiskal yang UNTUK SEMENTARA lebih besar
dibandingkan laba komersial di masa kiniyang nantinya bisa menjadi faktor pengurang Utang
PPh di masa depan. Selisih inilah yang diakui sebagai Aset Pajak Tangguhan (Deferred Tax Asset
biasa disingkat dengan DTA)
Contoh Kasus Pengakuan Aset Pajak Tangguhan:
Melanjutkan contoh kasus kedua yang sebelumnya. Perbedaan saat pengakuan utang point belanja
yang belum dibayar dalam neraca fiskal dan neraca komersial PT. JAK mengakibatkan perbedaan
pengakuan harga pokok penjualan (HPP) handuk (sebagai penukar point) dalam laporan laba-ruginya.
Perbedaan saat pengakuan HPP ini menyebabkan laba pajak yang LEBIH BESAR Rp 25,000,000 jika
dibandingkan dengan laporan komersial di 2012. Selisih Rp 25,000,000 ini akan bisa dipulihkan di
2013saat
pelanggan mengklaim point belanja. Jika tarif efektif PPh di 2013 nanti 30%, maka PT. JAK dapat
mengakui adanya Aset Pajak Tangguhan (deferred tax asset) sebesar:
Tarif efektif PPh x Selisih Laba Kena Pajak = 30% x 25,000,000 = 7,500,000
Pengakuan aset pajak tangguhan dijurnal dengan cara sbb:
[Debit]. Aset Pajak Tangguhan = 7,500,000
[Kredit]. Utang Pajak Penghasilan = 7,500,000
Setelah jurnal ini dimasukan, maka Utang PPh PT JAK di 2012 akan bertambah sebesar Rp 7,500,000
sehingga utang yang diakui di laporan komersial menjadi sama dengan laporan fiskal, dan sebagai
pengimbang disajikan Aset Pajak Tangguhan sebesar Rp 7,500,000 yang nantinya akan dijadikan
faktor pengurang Utang PPh di tahun 2013.
Anggap total klaim point belanja yang ditukarkan oleh pelanggan, di 2013, memang mencapai Rp
25,000,000 seperti yang di perkirakan, dan ada laba fiskal sebesar Rp 20,000,000 di periode 2013,
maka aset pajak tangguhan yang diakui di 2012 dihapuskan (istilahnya dipulihkan) dengan
mengkreditkannya (melawankannya) dengan Utang PPh 2013. Jurnalnya adalah sbb:

[Debit]. Biaya PPh = 20,000,000


[Kredit]. Aset Pajak Tangguhan = 7,500,000
[Kredit]. Utang PPh = 12,500,000
(Catatan: Utang PPh = Utang PPh 2013 Aset Pajak Tangguhan 2012 = 20,000,000 7,500,000 =
Rp 12,500,000.)
Jika saya rangkum semua, maka bisa disimpulkan bahwa:
1. Pajak tangguhan adalah pajak yang ditangguhkan, sebagai antisipasi terhadap konsekwensi utang
pajak penghasilan, baik yang timbul di masa kini maupun masa depan.
2. Salah satu penyebab terjadinya pajak tangguhan adalah adanya perbedaan sementara antara laba
fiskal dengan laba komersial, yang pada ujungnya menimbulkan perbedaan antara Utang PPh dalam
laporan fiskal dengan laporan komersial.
3. Jika laba pajak lebih besar dibandingkan dengan laba komersial, maka selisih tersebut diakui
sebagai Aset Pajak Tangguhan (Deferred Tax Asset), sebesar selisih tersebut dikalikan tarif efektif
PPh, yang nantinya bisa dikreditkan (dijadikan pengurang) di tahun fiskal berikutnya.
4. Jika laba pajak lebih kecil dibandingkan dengan laba komersial, maka selisih tersebut diakui
sebagai Kewajiban Pajak Tangguhan (Deferred Tax Liability), sebesar selisih tersebut dikalikan tarif
efektif PPh, yang nantinya dihapuskan ketika bisa dipulihkan di masa depan.

Ada beberapa catatan penting yang ingin saya sampaikan, antara lain:
[-]. Kasus yang sering saya temui adalah adanya pajak tangguhan (baik berupa aset maupun
kewajiban) yang menumpuk. Itu artinya keputusan untuk menagguhkan, kemungkinan besar diambil
dengan pertimbangan dan alasan yang tidak cukup kuat, sehingga pajak tangguhannya tidak pernah
mengalami pemulihan. Ada 2 kemungkinan penyebab:
Pengakuan kewajiban pajak tangguhan telah dilakukan, akan tetapi temporary difference yang
dijadikan dasar pertimbangan ternyata tidak memiliki potensi pemulihan yang cukupalias tidak
pernah bisa menghapusdimasa depannya.
Pengakuan aset pajak tangguhan telah dilakukan, akan tetapi temporary difference yang dijadikan
dasar pertimbangan ternyata tidak boleh dikurangkan (tidak setujui oleh otoritas pajak) sehingga, tidak
pernah bisa dikreditkan.
Agar ini tidak terjadi, pajak tangguhan sebaiknya hanya diakui jika potensi pemulihan hampir bisa
dipastikan (most probably) akan terjadi di masa depan. Jika tidak terlalu yakin sebaiknya jangan
mengakui pajak tangguhan.
[-]. Aset pajak tangguhan tidak selalu berasal dari temporary differencedimana laba fiskal lebih
besar dibandingkan dengan laba komersial. Sesuai dengan PSAK 46, asset pajak tangguhan juga bisa
terjadi akibat adanya:
Akumulasi rugi pajak belum dikompensasi, yang biasa disebut dengan istilah Loss Carry Forward
(LCF); dan Akumulasi kredit pajak belum dimanfaatkan (jika peraturan perpajakan mengizinkan.)

Demikian halnya dengan kewajiban pajak tangguhan, juga tidak selalu berasal dari temporary
differenecedimana laba fiskal lebih kecil dibandingkan laba komersial. Masih ada beberapa
kemungkinan penyebab selain temporary difference. Lagipula, pada prakteknya ragam penyebab
temporary difference juga sangat banyakyang tentunya perlu penghitungan dan pernjurnalan yang
berbeda.

Perlakuan Akuntansi Pajak Penghasilan (PPh) Setelah PP 46


Rekan yang bekerja atau menangani klien perusahaan skala mikro-kecil menengah (UMKM) pastinya
banyak berurusan dengan PP 46. Sebab, yang kena peraturan baru ini memang hanya UMKM dengan
omzet (penghasilan kotor) tak lebih dari 4,8 milyar per tahun, baik itu wajib pajak perorangan (WPO)
mapun Badan Usaha (WP Badan).
Kasarannya, sbb:
Untuk wajib pajak beromzet maksimal Rp 4,8 milyar/tahun (atau maksimal Rp 400 juta per bulan),
berlaku PP 46, artinya membayar PPh Pasal 4 (2) dengan tarif 1 persen dari omzet per bulan dan
bersifat final (tidak bisa dikreditkan).
Untuk wajib pajak beromzet di atas Rp 4,8 milyar/tahun, berlaku UU PPh normal, artinya mengangsur
PPh Pasal 25, dan menghitung Pajak Badan Terutang di akhir tahun berdasarkan PPh Pasal 31e dan
Pasal 17.
Secara umum, akuntansi jauh lebih rumit ketimbang perpajakan. Namun khusus untuk penerapan
peraturan PP 46 ini saya pribadi akui memang lebih rumit dibandingkan perlakuan akuntansinya. Dari
keluhan yang saya terima dari beberapa klien, ada 4 hal utama yang membuat PPh Final 1 persen ini
agak membingungkan, yaitu:
1. Baru PP 46 ini baru (sejak Juli 2013), wajar jika masih agak membingungkan sebagian wajib
pajak. Menjadi semakin membingungkan karena peraturan ini keluar di pertengahan tahun takwim dan
berlaku saat itu juga. Karena berlaku di seketika di pertengahan tahun maka untuk Tahun Fiskal 2013
semester pertama masih pakai aturan lama, sementara semester keduanya pakai aturan baru ini, ini
jelas membingungkan terutama saat membuat SPT di akhir 2013. Ditambah lagi kurangnya waktu
sosialisasi.
2. Penentuan Batas Omzet Terkait penentuan omzet (tidak tembus dan tembus 4,8 milyar)
membingungkan sebab: batasan 4,8 milyar adalah untuk satu tahun, sementara penghitungan setoran 1
persen harus dilakukan setiap bulan. Pertanyaan yang banyak muncul: bagaimana wajib pajak bisa
yakin akan beromzet tidak tembus atau tembus 4,8 milyar setahun, sementara tahun belum
berakhir? (lihat yang berikut ini)
3. Fluktuatif Omzet (Penjualan) bersifat fluktuatif. Contoh: omzet bulan ini hingga beberapa bulan
ke depan mungkin rata-rata Rp 450 juta, bagaimana jika nanti ternyata turun sehingga total setahunnya
tidak tembus 4,8 milyar sementara kami sudah terlanjur setor PPh Pasal 25? Atau sebaliknyaomzet
bulan ini hanya 350 juta, bagaimana jika nanti ternyata naik sehingga totalnya setahun tembus Rp 4,8
milyar sementara kami terlanjur bayar PPh Final 1 persen?
4. Istilah Final Terutama bagi saya (dan rekan-rekan orang accounting lainnya), istilah Final atau
tidak final (baca: bisa atau tidak bisa dikreditkan/dikompensasikan) sangat menentukan bagaimana
cara kita mengakuinya di dalam laporan keuangan komersial. Pajak yang sifatnya final seperti
Pajak atas Bunga Jasa Giro dan lainnyayang masuk obyek PPh Pasal 4 (2), langsung kita
bebankan (Beban PPh). Sedangkan pajak yang tidak bersifat final (e.g. PPh Pasal 22 dan 23) kita
akui sebagai Utang PPh bernilai negative (di sisi debit) yang artinya akan menjadi faktor pengurang
Utang PPh sebab di akhir tahun bisa dikreditkan (dikompensasikan). Dan, khusus PPh Pasal 25
(angsuran PPh Badan) biasanya kita akui sebagai Uang Muka PPh yang nantinya juga akan menjadi
faktor pengurang PPh Badan. Masalahnya, pajak PPh 1 persen dari omzet ini masuk kelompok Pasal 4
(2) dan disebut final, pertanyaan yang muncul kemudian: apakah tidak ada perubahan terlepas
berapapun total omzet diketahui di akhir tahun? Kerumitan macam inilah yang menghantui pikiran
kita di accountingsetidaknya di awal-awal (saat petunjuk pelaksaannya belum jelas).
Empat hal itulah yang menjadi sumber utama kebingungan terkait perlakuan akuntansi PPh pasca PP
46 Tahun 2013. Belum lagi terkait pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain, belum lagi
pemisahan perlakuan antara penghasilan usaha dan penghasilan dari pekerjaan lepas. Intinya pusing
tujuh keliling.
Solusi?
Kunci utama agar perlakuan akuntansi PPh nya menjadi PAS (tidak membingungkan lagi), menurut
saya, pahami petunjuk pelaksanaan PP 46 ini terlebih dahulu. Saya yakin semua sudah baca Peraturan
Menteri Keuangan No 107/PMK.011/2013 dan Serat Edaran Dirjen Pajak No. SE-42/PJ/2013 Dari
hasil membaca PMK dan SE tersebut serta arahan dari AR, terkait kebungungan-kebingunan di atas,
saya akan coba perjelas melalui tulisan ini. Dan untuk lebih mudahnya, saya bagi per tahun fiskal saja.
1. Untuk Tahun Fiskal 2013
Saya yakin semua sudah beres. Kan sudah lewat 2,5 tahun. Yang jelas PP 46 berlaku sejak Juli 2013,
namun batasan omzet dihitung berdasarkan tahun fiskal 2012 (artinya lihat berapa besarnya
Perederan Usaha/omzet yang tercantum pada SPT 2012):
Jika belum tembus 4,8 milyar berarti kena aturan PP 46. Jika melewati Rp 4,8 milyar namun di bawah
50 milyar berarti kenanya UU PPh Normal (ngangsur PPh Pasal 25 per bulan dan hitung kurang bayar
di akhir tahun berdasarkan Pasal 31e dan pasal 17.
2. Untuk Tahun Fiskal 2014
Saya rasa juga sudah pada rampung. Hanya persoalan berapa total omzet yang tercantum di SPT 2013.
Jika belum tembus 4,8 milyar berarti untuk tahun 2014 kemarin sepenuhnya kena PP 46bayar PPh
Pasal 4 (2) 1% x omzet per bulan. Sedangkan jika tembus 4,8 milyar berarti tahun 2014 kemarin kena
UU PPh normal (ngangsur PPh Pasal 25 setiap bulan dan hitung PPh Badan kurang bayar di akhir
tahun berdasarkan Pasal 31e dan 17). Catatan: Jikapun ada perubahan omzet di pertengahan tahun
entah ke atas 4,8 milyar atau ke bawah 4,8 milyarmaka yang diberlakukan tetap ketentuan di awal
hingga akhir tahun Fiskal (perubahan baru diberlakukan di tahun Fiskal berikutnya.)
3. Untuk Tahun Fiskal 2015
Apakah kena PP 46 atau tidak, patokannya total omzet tahun 2014 (lihat SPT). Pertanyaan: Jika
kenanya PP 46, bagaimana perlakuan akuntansinya?
Jawaban: Transaksi penjualan harian dijurnal seperti biasamengikuti standar pengakuan pendapatan
(revenue recognition)untuk sementara lupakan urusan PPh (nanti di akhir bulan baru dipikirkan):
[Debit]. Piutang = Rp xx
[Kredit]. Penjualan Rp xx
Dan;
[Debit]. HPP = Rp xx
[Kredit]. Persediaan Rp xx
Asumsi: tanpa PPN (WP non-PKP sebab beromzet tak lebih dari 4,8 milyar per tahun). Begitulah
jurnal pengakuan atas penjualan dibuat setiap hari sampai akhir bulan.

Katakanlah posisi saldo di akhir Januari 2015, sbb:


Saldo (Buku Besar) akun Piutang, bertambah Rp 300 Juta (Lap Posisi Keuangan)
Saldo (Buku Besar) akun Penjualan, bertambah Rp 300 Juta (Lap Laba/Rugi)
Saldo (Buku Besar) akun HPP, bertambah Rp 170 Juta (Lap Laba/Rugi)
Saldo (Buku Besar) akun Persediaan, berkurang Rp 170 Juta (Lap Posisi Keuangan, asumsi tidak ada
pembelian)
Ini berarti, total omzetnya Rp 300 juta. Karena kena PP 46, maka total PPh Pasal 4 (2) yang harus
dibayar adalah Rp 300 Juta x 1% = Rp 3 juta. Saat diketahui (di akhir bulan) diakui dengan jurnal:
[Debit]. Beban PPh Pasal 4 (2) = Rp 3 juta
[Kredit]. Utang PPh Pasal 4 (2) = Rp 3 juta
Sehingga, jika Beban Operasional Rp 100 juta misalnya, maka Laba Setelah Pajak pada Laporan
Laba/Rugi (1 s/d 31 Jan 2015) menjadi = 300 Juta 170 Juta 100 Juta Rp 3 juta = 27 Juta. Angka
Laba inilah yang ditutup buku.
Dan, pada Laporan Posisi Keuangan (alias Neraca) per 31 Januari 2015 muncul Utang PPh Pasal 4 (2)
sebesar Rp 3 Juta. Jika dilunasi tanggal 9 Februari 2015, maka atas pelunasan tersebut dijurnal:
[Debit]. Utang PPh Pasal 4 (2) = Rp 3 Juta
[Kredit]. Kas = Rp 3 Juta.
Note: setelah dilunasi saldo Utang PPh Pasal 4 (2) menjadi 0 (nol). Demikian terus setiap bulannya
dari Januari s/d Desember 2015 nanti. Jika total penjualan tidak lebih dari Rp 4,8 Milyar maka artinya
sudah tidak ada persoalan:
Berapapun besarnya total penjualan, itulah nilai Penjualan yang disajikan pada Laporan Laba/Rugi
2015.
Berapapun total PPh Pasal 4 (2) yang disetor dari Januari s/d Desember 2015, itulah Beban PPh
Badan (Corporate Income Tax) yang disajikan pada Laporan Laba/Rugi 2015. Berapapun nilai Laba
setelah dikurangi Beban PPh Badan itulah Laba Setelah Pajak yang ditutup dengan cara
melawankannya dengan akun Laba Ditahan (Retained Earning) dan menjadi faktor penambah nilai
Ekuitas pada Laporan Posisi Keuangan 31 Desember 2015.
Pertanyaan: Bagaimana, kumaha, piye, what if, di akhir 2015 ternyata total penjualan (omzet)
melewati angka Rp 4,8 milyar, katakankanlah Rp 5,2 milyar misalnya?
Jawaban: Berarti mulai Januari 2016 berlaku UU PPh normal (bukan PP 46 lagi), artinya mengangsur
dengan PPh Pasal 25. Berapa besarnya angsuran mulau Januari 2016? Dihitung berdasarkan
Laba/Rugi dan Perhitungan PPh Badan bulan Januari 2016. Misalnya, diketahui:
Penjualan = Rp 460 Juta
HPP = Rp 300 Juta
BOP = Rp 100 Juta
Maka:
Langkah-1. Hitung Laba Sebelum Pajak untuk bulan tersebut:
Laba Sebelum Pajak Sebulan = 460 300 100 = Rp 60 Juta
Langkah-2. Setahunkan Laba Sebelum Pajak:
Laba Sebelum Pajak Disetahunkan = Rp 60 Juta x 12 = Rp 720,000,000
Langkah-3. Pisahkan porsi laba yang memperoleh fasilitas potongan 50% dari yang tidak
memperoleh fasilitas:
Porsi Laba mendapat potongan = [4,800,000,000/(460 juta x 12)] x 720,000,000 = Rp 626,086,957
Porsi Laba tidak mendapat potongan = 720,000,000 626,086,957 = Rp 93,913,043
Langkah-4. Hitung PPh Badan:
PPh Pasal 31e (dengan potongan) = 50% x 25% x 626,086,957 = Rp 78,260,870
PPh Pasal 17 (tanpa potongan) = 25% x 93,913,043 = Rp 23,478,261
Total PPh Badan = 78,260,870 + 23,478,261 = Rp 101,739,130
Langkah-5. Hitung angsuran PPh Pasal 25
PPh Pasal 25 = 1/12 x 101,739,130 = Rp 8,478,261
Hasil Akhir: Nilai PPh Pasal 25 yang harus dibayar setiap bulan dari Jan s/d Des 2016 sebesar
8,478,261 dan diakui dengan jurnal:
[Debit]. Uang Muka PPh Badan = Rp 8,478,261 (masuk kelompok Aset pada Lap Posisi Keuangan)
[Kredit]. Kas = Rp 8,478,261
Itu jika total omzet tahun 2014 tidak tembus 4,8 milyar (tetapi baru tembus di 2015)
Pertanyaan: Bagaimana jika total omzet 2014 tembus 4,8 milyar?
Bagaimana perlakuan akuntansinya untuk 2015?
Jawaban: Berarti sejak Januari 2015 lalu berlaku UU PPh normal (bukan PP 46) mengangsur PPh
Pasal 25 dengan tata cara penghitungan seperti contoh di atas. Dan perlu diingat kembali bahwa,
ketika yang berlaku adalah UU PPh normal (bukan PP 46), maka besarnya angsuran bersifat tetap
setiap bulannya dari Jan s/d Des 2015 nanti. Katakanlah, setelah dihitung, besarnya PPh Pasal 25 yang
harus dibayar pada Januari 2015 sebesar Rp 10 Juta (saya tidak perlu buatkan contoh kasus lagi
silakan liat contoh di atas). Maka, angka angsuran Rp 10 juta tersebut dibayarkan masing-masing
untuk Januari, Februari, Maret, April, dan seterusnya, hingga Desember 2015, dengan jurnal yang
selalu sama setiap bulannya, yaitu:
[Debit]. Uang Muka PPh Badan = Rp 10,000,000
[Kredit]. Kas = Rp 10,000,000
Tidak peduli berapapun besarnya omzet dan laba setiap bulannya.
Sehingga, total PPh Pasal 25 yang dibayarkan dari Jan s/d Des 2015 otomatis Rp 10 juta x 12 = Rp
120 Juta, dan tercermin dalam saldo akun Uang Muka PPh Badan pada Laporan Posisi Keuangan
per 31 Desember 2015 nanti.
Pertanyaan: Bagaimana jika di pertengahan tahun Oktober 2015 total omzet diketahui tembus Rp 4,8
milyar?
Jawaban: Yang berlaku tetap UU PPh normal (bukan PP 46), artinya tetap mengangsur PPh Pasal 25
sebesar Rp 10 Juta, tanpa perlu pusing-pusing berpikir tentang PPh final 1%, hingga Desember 2015.
Pertanyaan: Lalu bagaimana perhitungan dan pengakuan PPh Badan Tahunan untuk 2015?
Jawaban: Buat Laporan Laba/Rugi normal untuk 12 bulan (Jan s/d Des 2015) hingga diketahui
besarnya Laba Sebelum Pajak. Misalnya, diketahui:
Penjualan = Rp 12 Milyar
HPP = Rp 8 Milyar
BOP = Rp 2 Milyar
Maka:
Langkah-1. Hitung Laba Sebelum Pajak
Laba Sebelum Pajak = 12 8 2 = 2 Milyar
Langkah-2. Pisahkan porsi Laba
Mendapat potongan = 4,8/12 x 2 Milyar = Rp 800,000,000
Tidak dapat potongan = 2,000,000,000 800,000,000 = 1,200,000,000
Langkah-3. Hitung PPh Badan:
PPh Badan Pasal 31e = 50% x 25% x 800,000,000 = Rp 100,000,000
PPh Badan Pasal 17 = 25% x 1,200,000,000 = Rp 300,000,000
Total PPh Badan = Rp 400,000,000
Langkah-4. Akui Beban PPh Badan dan Utang PPh Badan dengan jurnal:
[Debit]. Beban PPh Badan = Rp 400,000,000
[Kredit]. Utang Beban PPh Badan = Rp 400,000,000
Setelah jurnal dimasukkan, maka:
Pada Laporan Laba Rugi akan muncul Beban PPh Badan sebesar Rp 400,000,000. Sehingga Laba
Setelah Pajak menjadi: Rp 2 Milyar Rp 0,4 Milyar = Rp 1,6 Milyar. Angka 1,6 Milyar inilah yang
ditutup ke akun Laba Ditahan (Retained Earning). Pada Laporan Posisi Keuangan akan muncul
Utang PPh Badan sebesar
Rp 400,000,000.
Langkah-5. Buat penyesuaian untuk menghapus Uang Muka PPh Badan (angsuran PPh Pasal 25
dari Jan s/d Des) dengan jurnal:
[Debit]. Utang PPh Badan = Rp 120,000,000
[Kredit]. Uang Muka PPh Badan = Rp 120,000,000 (=10 juta x 12)
Dengan masuknya jurnal tersebut maka:
Saldo Uang Muka PPh Badan menjadi = 120,000,000 120,000,000 = 0 (nol)
Saldo Utang PPh Badan menjadi = 400,000,000 120,000,000 = Rp 280,000,000
Utang PPh Badan sebesar Rp 280,000,000 itulah yang menjadi PPh Badan Kurang Bayar yang akan
muncul pada SPT PPh Badan tahun 2015. Saat dibayar pada tanggal 25 Maret 2016 misalnya, dijurnal:
[Debit]. Utang PPh Badan = Rp 280,000,000
[Debit]. Kas = Rp 280,000,000
Sehingga saldo Utang PPh Badan menjadi 0 (nol).
Pertanyaan: Bagaimana jika diakhir tahun ternyata total omzet dibawah 4,8 milyar?
Jawaban: Tetap menggunakan perhitungan PPh Normal yaitu Pasal 31e (tanpa pasal 17 karena total
omzet dibawah 4,8 milyar), dengan perlakuan akuntansi yang juga sama seperti di atas. Hanya saja,
mulai Januari s/d Desember 2016 berlaku PP 46 yaitu: Bayar PPh Pasal 4 (2) 1% dari omzet setiap
bulan (bukan angsuran PPh Pasal 25).
Simpulan
1. Atas kebingungan terkait PPh Badan Pasca PP 46, pahami UU PPh Pasal 17 dan 31e, pahami PP 46
dan petunjuk pelaksanaannya (terutama Peraturan Menteri Keuangan No 107/PMK.011/2013 dan
Serat Edaran Dirjen Pajak No. SE- 42/PJ/2013).
2. Apakah kena PP 46 atau UU PPh Normal, tergantung omzet tahun pajak sebelumnya (lihat SPT
tahun sebelumnya).
3. Jika omzet tahun sebelumnya tidak tembus 4,8 milyar, berarti kena PP 46 yang artinya juga bayar
PPh Pasal 4 (2) dengan tarif 1 persen dari omzet per bulan (dari Januari s/d Des) selama tahun tahun
pajak bersangkutan, tanpa mempedulikan fluktuasi omzet yang sedang terjadi.
4. Jika omzet tahun sebelumnya tembus 4,8 milyar, berarti kena UU PPh Normal, yang artinya juga
bayar angsuran PPh Pasal 25. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar PPh Pasal 29 tahun lalu
dibagi 12 (atau dikalikan 1/12) apabila tahun sebelumnya juga kena UU PPh normal. Apabila tahun
sebelumnya kena PP 46, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung dengan cara mencari laba
kena pajak bulan tersebut untuk kemudian disetahunkan, dicari PPh Badan setahun untuk kemudian di
bagi 12 (atau kali 1/12). Angsuran PPh Pasal 25 bersifat tetap setiap bulannya selama satu tahun pajak
bersangkutan, tanpa mempedulikan fluktuasi omzet yang sedang terjadi.
5. Dari perspektif akuntansi, PPh Pasal 4 (2) yang dibayarkan tiap bulan (dalam hal kena PP 46)
langsung diakui sebagai Beban PPh Badan. Akumulasi saldo akun Beban PPh Badan selama satu
tahun disajikan sebagai Beban PPh Badan pada Laporan Laba/Rugi dan akan menjadi pengurang
besarnya nilai Laba Setelah Pajak yang akan ditutup ke rekening Laba Ditahan (Retained
Earning).
6. Dari perspektif akuntansi, angsuran PPh Pasal 25 yang dibayarkan tiap bulan (dalam hal kena UU
PPh normal) untuk sementara diakui sebagai Uang Muka PPh Badan yang di akhir tahun buku
dihapus (write off atau washed) dengan jurnal penyesuaian yang melawankannya dengan saldo akun
Utang PPh Badan dari hasil perhitungan PPh Pasal 31e dan PPh Pasal 17 (jika ada).
7. Dari perspektif akuntansi, setiap pemotongan dan pemungutan (potput) oleh pihak lain yang
TIDAK DAPAT DIKREDITKAN langsung diakui sebagai Beban PPh Badan yang nantinya akan
menjadi penambah Beban PPh Badan dari hasil perhitungan Laba/Rugi di akhir tahun. Sedangkan
yang DAPAT DIKREDITKAN diakui sebagai Utang PPh Badan bernilai negatif (bersaldo debit)
sehingga akumulasinya akan menjadi pengurang Utang PPh Badan dari hasil perhitungan Laba/Rugi
di akhir tahun.
8. Hal-hal terkait koreksi fiskal (positif maupun negatif) diperlakukan seperti biasanya, tentunya
dengan tetap memperhatikan kemungkinan adanya perubahan dari sisi UU Pajak yang berlaku. Aset
dan Liabilitas Pajak Tangguhan, tetap mengikuti standar (PSAK) terkait.

Mulai 2014 Pengusaha Beromzet 4,8 Milyar Tak Wajib PKP

Mulai 1 Januari 2014, pengusaha dengan penjualan (omzet) tak lebih dari Rp 4,8 Milyar setahun tidak
wajib berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP). Artinya, dikecualikan dari kewajiban memungut,
menyetor, dan melaporkan PPN terutang. Hal itu dinyatakan dalam Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) Nomor 197/PMK.03/2013 yang diterbitkan baru-baru ini. Peraturan yang ditetapkan per
tanggal 20 Desember 2013 ini, akan mulai berlaku efektif sejak 1 Januari 2014, jelas Kepala Seksi
Hubungan Eksternal DJP Chandra Budi, dalam siaran persnya. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 3A
Undang-Undang PPN, pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa
Kena Pajak (JKP), wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP dan wajib memungut,
menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang, KECUALI pengusaha kecil yang batasannya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan. PMK No 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil
Pajak Pertambahan Nilai menyebutkan, yang dikecualikan dari kewajiban memungut-menyetor-
melaporkan PPN terutang adalah pengusaha dengan omzet per tahun tak lebih dari Rp 600 juta. Pada
tanggal 20 Desember 2013 lalu, PMK No 68/PMK.03/2010 resmi dicabut dan digantikan oleh PMK
Nomor 197/PMK.03/2013.
Jika ditilik, angka 4.8 Milyar ini rasanya tidak asing lagi. Dan benar saja, PMK yang menaikkan
batasan omzet PKP ini ternyata memang terkait dengan PP 46/2013 (PPh Final tarif 1%) yang telah
berjalan sejak Juli 2013 lalu. Dalam siaran persnya, Chandra Budi mengakui bahwa tujuan
diterbitkannya PMK ini tak lain dan tak bukan untuk mendorong wajib pajak dengan omzet tidak
melebihi Rp 4,8 miliar setahun lebih banyak berpatisipasi menggunakan skema Pajak Penghasilan
(PPh) Final.
Sebagaimana dimuat di berbagai media, PP nomor 46/2013 ini menuai protes dari para pengusaha
kecil. Esensi dari Peraturan Pemerintah ini mewajibkan pengusaha kecil dengan omzet tak lebih dari
4.8 Milyar setahun untuk membayar PPh final sebesar 1% dari omzet bruto. Dengan kata lain, mereka
dikenakan PPh 1% dari total penjualan terlepas apakah untung atau rugi. Hal itu dinilai memberatkan.
Apakah Perubahan Batas Omzet PKP Ini Meringankan Pengusaha Kecil?
Menurut saya, samasekali TIDAK berpengaruh terhadap UKM yang beromzet di bawah Rp 600 Juta
setahun, karena selama ini toh mereka memang tidak wajib PKP. Terlepas apakah keberatan atau tidak,
tetap saja mereka dikenakan PPh 1% baik dalam kondisi untung atau rugi. Namun, lumayan
membantu pengusaha kecil beromzet antara Rp 600 juta 4.8 Milyar setahun, karena selama ini
mereka diwajibkan PKP. Dengan dinaikkannya batasan PKP menjadi 4.8 Miliar, berarti mereka tak
perlu lagi direpotkan oleh kewajiban melaksanakan pemungutan dan pelaporan PPN.
Bagaimana jika perusahaan saya beromzet tak lebih dari 4.8 miliar setahun tapi terlanjur sudah
berstatus PKP?
Omzet Tak Lebih Dari 4.8 Milyar Tapi Terlanjur Berstatus PKP
Saya yakin banyak Wajib Pajak dengan omzet tak lebih dari 4.8 Milyar setahun tapi terlanjur berstatus
PKP. Jika mau, bisa mengajukan pencabutan status PKP, sehingga terbebas dari kewajiban
melaksanakan PPN. Dalam PMK 197/2013 ini, kententuan pasal 7 PMK 68/2010 telah diubah
menjadi sbb:
Dalam hal pengusaha telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan jumlah peredaran bruto
dan/atau penerimaan brutonya dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah), Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan pencabutan
pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Apakah perlu mohon pencabutan status PKP?
Menurut saya, sebaiknya jangan buru-buru. Sama seperti batasan pada PPh Final 1%, saya pribadi
menangkap sinyal batasan Rp 4.8 Miliar ini bukan sesuatu yang bisa WP nilai sendiri, melainkan
masih perlu diverifikasi oleh fiscus (kantor pajak), cepat atau lambat. Hal ini jelas tersirat dalam Pasal
5 PMK 68/2010 (sebagaimana telah diubah menjadi PMK 197/2013) yang bunyinya sebagai berikut:
(1) Apabila diperoleh data dan/ atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) tidak dipenuhi pengusaha, Direktur Jenderal Pajak
secara jabatan dapat mengukuhkan pengusaha tersebut sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak
untuk Masa Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), terhitung sejak saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya
melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Sekalilagi, hati-hati. Jangan sampai jadi blunder. Dengan mengajukan pencabutan status PKP, bisa jadi
akan membuat seorang WP masuk radar pemeriksaan.
Lalu, apa yang perlu dilakukan?
Pertimbangkan untung-ruginya. Selama di lapangan, saya menemukan masing-masing WP
menghadapi kondisi yang berbeda-beda. Untuk memutuskan apakah perlu mengajukan pencabutan
status PKP atau tidak, bisa mempertimbangkan 2 faktor di bawah ini:
Pengaruh PPN terhadap Daya Saing Produk/Jasa
Kalkulasi, apakah faktor PPN selama ini berpengaruh terhadap harga jual produk/jasa yang dijual
thus berpengaruh terhadap daya saing? Jika iya berarti pencabutan status PKP akan menguntungkan.
Penjualan yang lebih banyak ekspor misalnya, harga jualnya tak dipengaruhi oleh PPN (tarif PPN
untuk ekspor 0%), sehingga tak perlu mengajukan pencabutan status PKP. Sebagai pembanding, Mas
Wongso (adminnya JAK), PPN tak berpengaruh banyak ke harga jual consumer goods yang dijual di
pada mini-marketnya, sehingga dia memutuskan untuk tetap berstatus PKP meskipun omzetnya tak
lebih dari 4.8 milyar setahun. Menurut saya, itu pilihan yang cerdas.
Tersedia/Tidaknya Tenaga Perpajakan
Jika selama ini urusan perpajakan ditangani sendiri sementara tak punya banyak waktu, kewajiban
memungut-menyetor-melaporkan PPN mungkin sangat merepotkan, sehingga pencabutan status PKP
akan lumayan membantu. Jika tidak, maka tak perlu dilakukan.
Setelah mempertimbangkan faktor-faktor di atas, jika masih merasa perlu mengajukan pencabutan
status PKP, WP sebaiknya berkonsultasi dengan Account Representative (AR) di KPP terlebih dahulu.
Minta pendapat, masukan dan petunjuk yang diperlukan. Sebagai persiapan, mungkin bisa mengunduh
PMK 197/2013 ini di website resminya DJP, print out dan bawa saat menemui AR, siapa tahu dia
belum mengetahui keberadaan PMK ini.

PPN Masuk ke Laba-Rugi atau Neraca? (Penjurnalan dan Penyajian PPN)


Pertanyaannya: Bagaimana dengan administrasi di dalam perusahaan itu sendiri? Apakah yang
tersaji di laporan fiskal sudah sinkron dengan apa yang disajikan di laporan komersial?
Dari pengalaman yang sudah-sudah, terutama di perusahaan-perusahaan berskala kecil hingga
menengah, saya jarang menemukan catatan komersial perusahaankhusus PPNyang bisa sinkron
dengan laporan pajaknya. Lebih banyak yang nggak nyambung (jika tidak mau disebut kacau.) Lha
bagaimana bisa sinkron, wong mau dibawa ke Laporan Laba-rugi atau Neraca saja tidak tahu. Saya
khawatir debit-kreditnyapun tak begitu jelas. Tapi ya tidak apa-apa, yang penting pelaporan pajaknya
benar dahulu. Untuk sinskronisasi di laporan komersial bisa dilakukan pelan-pelan. Bagaimanapun
juga, sebagian besar dari kita berangkat dari tidak tahu, lalu belajar, membiasakan diri untuk disiplin,
lama-lama pasti lancar. Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bisa menjadi titik awal untuk mulai
merapikan administrasi dalam perusahaan, terutama sekali yang terkait dengan PPN.
Hal-Hal Penting Untuk Diketahui Sehubungan Dengan PPN
Sekedar kilas balik, berikut ini adalah beberapa hal yang penting untuk diketahui, sehubungan dengan
PPN:
1. Nyaris setiap transaksi dagang adalah obyek PPN, namun ada beberapa golongan barang dan jasa
yang memang dikecualikan alias tidak kena PPN (lihat daftar kelompok barang/jasa yg dikecualikan
di dasar-dasar PPN).
2. Wajib pajak (baik perseorangan atau badan usaha), yang wajib melakukan pemungutan dan
pelaporan PPN adalah yang telah berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP).
3. Batas minimal omset setahun untuk status PKP adalah 600 juta. Artinya, wajib pajak yang omset
per tahunnya 600 juta atau lebih, wajib hukumnya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak
(PKP). Wajib pajak yang omset per tahunnya masih dibawah 600 juta bisa mengajukan permintaan
agar dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, namun TIDAK bersifat wajib.
4. PENJUAL barang/jasa yang telah berstatus PKP, wajib melakukan pemungutan PPN atas setiap
barang (mereka) yang terjual, terlepas apakah pembelinya sudah berstatus PKP atau belum.
5. Pembeli barang/jasa yang telah berstatus PKP, berhak menerima Faktur Pajak(FP) sebagai bukti
bahwa pembeliannya telah dipungut PPN. Baginya, faktur pajak yang diterima atas pembelian ini
disebut dengan Faktur Pajak Masukan (FPM) yang sering disebut dengan kredit pajak. Sedangkan
bagi penjual, faktur pajak yang ditebitkan (dikeluarkan) untuk pembeli disebut dengan Faktur Pajak
Keluaran (FPK).
6. Tarif PPN adalah 10%
7. Besarnya PPN Dipungut dihitung dengan = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif = Nilai invoice x 10%.
8. Besarnya PPN Terutang dihitung dengan = PPN Dipungut Kredit Pajak (Faktur Pajak Masukan)
9. Transaksi penjuaalan ekspor (ke luar wilayah pabean Indonesia) tarif PPNnya nol, sehingga PPN-
nya otomatis juga nol.
Mengenai ketentuan dasar hukum dan lain-lainnya bisa baca Undang- Undang No. 8/1983 berikut
revisinya-revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No. 18/2000. Mengenai
konsep dasar PPN bisa baca seri sebelumnya (Perlakuan Akuntansi PPN: Dasar-dasar Pajak
Pertambahan Nilai). Selanjutnya langsung ke perlakuan akuntansi PPN: penjurnalan dan
penyajiannya di laporan keuangan. Menjurnal Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Perlukah saya membuat jurnal PPN? Perlukah saya menyajikan PPN di Laporan Keuangan
perusahaan?
Jika perusahaannya BELUM berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka TIDAK PERLU. Tetapi
jika SUDAH berstatus PKP, maka WAJIB untuk melakukan pencatatan (penjurnalan) dan penyajian
(pelaporan) PPN di Laporan Keuangan.
Bagimana saya bisa tahu apakah perusahaan (atau wajib pajak) sudah berstatus PKP atau
belum?
Surat pengukuhan status pengusaha kena pajak itu berupa selembar kertas, mirip lembaran sertifikat.
Lembar surat pengukuhan status pengusaha kena pajak ini biasanya diarsipkan bersama-sama dengan
NPWP. Kalau anda pegawai accounting yang baru bekerja di suatu perusahaan, ada baiknya anda
tanyakan apakah perusahaan sudah ada NPWP dan berstatus PKP. Jika dibilang sudah ada, minta
copy-nya, arsipkan sendiriagar tidak bingung mencarinya jika suatu saat anda perlu. Jika dibilang
belum, minta folder arsip NPWPkatakan bahwa anda perlu photocopy NPWP-nya (sekalian anda
periksa apakah ada PKP-nya atau tidak, siapa tahu mereka lupa), bisa jadi juga di simpan di folder
akte pendirian perusahaan. Hal-hal yang terlihat sepele ini sangat sering dispelekan, setelah kena
pemeriksaan pajak baru kalang kabut. Bagaimanapun anda akan sangat memerlukan kedua lembar
kertas ini untuk hal-hal terkait dengan perpajakan perusahaan yang anda tangani.
Jika BELUM PKP, berarti tidak usah pusing-pusing memikirkan PPN:
(a) PEMBELIAN Jika perusahaannya belum PKP, maka setiap transaksi pembelian (baik itu kena
pajak atau tidak), dicatat sebesar Total Tagihan yang tertera di nota atau invoice. Misalnya: anda
bekerja untuk PT. JAK yang kebetulan belum PKP. JAK membeli plastik pembungkus barang
dagangan di PT. ABC yang kebetulan SUDAH PKP,
sehingga atas pembelian tersebut PT. JAK dikenakan PPN 10%, dengan surat tagihan(invoice) sbb:
Plastic bag polypropylene ukuran 8 inch, 200 meter @15,000 = Rp 3,000,000
PPN 10% = Rp 300,000
Total Tagihan = Rp 3,300,000
Bagaimana menjurnal tagihan ini? Karena PT. JAK belum PKP maka dicatat sebesar Total Tagihan.
Sekedar mengingat kembali prosedur menjurnal:
Langkah-1. Akun apa saja yang terlibat? Jawab: (1) Akun Persediaan Bahan Penolong karena
plastic tersebut digunakan untuk membungkus barang dagangan; dan (2) akun Utang Dagang karena
pembelian kredit (jika pembelian tunai maka akun yang terlibat adalah akun Kas).
Langkah-2. Akun mana yang di sisi debit dan mana yang di kredit? Jawab: Akun Persediaan Bahan
Penolong saldonya bertambah, karena termasuk kelompok akun aktiva maka dimasukan ke sisi
debit. Akun Utang Dagang saldonya juga bertambah, tapi karena termasuk kelompok akun
passive di neraca maka dicatat di sisi kerdit.
Langkah-3. Berapa saldo bertambah atau berkurang? Jawab: masing-masing bertambah sebesar Rp
3,300,000 (sebesar total tagihan).
Langkah-4. Bagaimana jurnalnya?
[Debit]. Persediaan Bahan Penolong = Rp 3,300,000
[Kredit]. Utang Dagang PT ABC = Rp 3,300,000
(Untuk pembelian 200 meter plastic bag di PT. ABC)
Bagimana jika PT. ABC belum PKP? Jelas PT. ABC tidak akan memungut PPN, sehingga surat
tagihannya pasti hanya sebesar Rp 3,000,000. Itulah yang dicatat.
Intinya: Setiap pembelian dicatat sebesar total tagihan (lihat angka paling ujung bawah yang ada
tulisan Total Tagihan tidaj usah pedulikan ada PPN atau tidak). Artinya semua tagihan masuk ke
akun Persediaan atau Biaya tergantung apa yang dibeli.
(b) PENJUALAN Karena PT. JAK belum PKP, maka tidak boleh memungut PPN kepada pembeli.
Sehingga, setiap penjualan dicatat sebesar nilai barang yang dijual saja.
Misalnya: PT. JAK belum PKP, menjual barang dagangan kepada PT. XYZ sebesar Rp 5,000,000,
dengan harga pokok penjualan sebesar Rp 4,000,000. Atas transaksi penjualan ini dijurnal (ingat jurnal
penjualan terdiri dari dua pasang):
[Debit]. Piutang Dagang PT. XYZ = Rp 5,000,000
[Kredit]. Penjualan = Rp 5,000,000
(Untuk mengakui penjualan dan piutang dagang)
Dan;
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 4,000,000
[Kredit]. Persediaan Barang = Rp 4,000,000
(Untuk mengakui Harga Pokok Penjualan, dan berkurangnya Persediaan Barang)
Intinya: Perusahaan belum PKP tidak memungut PPN.
Secara keseluruhan: Perusahaan yang BELUM berstatus PKP samasekali tidak mencatat dan tidak
melaporkan adanya PPN baik itu di laporan komersial maupun fiskal.
Bagimana jika perusahaan SUDAH berstatus PKP?
(a) PEMBELIAN Supplier, dimana perusahaan membeli barang, bisa jadi sudah PKP atau belum
PKP. Ini akan mempengaruhi penjurnalan:
(1) Jika supplier belum PKP maka sudah pasti tidak akan ada PPN-nya. Artinya, mereka tidak
memungut PPN terlepas apakah perusahaan anda (sebagai pembeli) sudah berstatus PKP atau belum.
Artinya juga, atas pembelian pada supplier yang belum PKP tidak melibatkan akun PPN, sehingga
Total Tagihan diakui sebagai biaya atau persediaan sajatergantung barang apa yang dibeli.
Misalnya: PT. JAK sudah PKP, membeli platic bag dari PT. Makmur Sentosa yang belum berstatus
PKP sebesar Rp 3,000,000 secara kredit. Maka jurnalnya:
[Debit]. Persediaan Bahan Penolong = Rp 3,000,000
[Kredit]. Utang Dagang PT. Makmur Sentosa = Rp 3,000,000
(2) Jika supplier sudah PKP, maka wajib memungut PPN. Misalnya: Tanggal 22 Februari 2012 PT.
JAK Membeli benang jahit dari PT. Maju Jaya yang sudah PKP sebasar Rp 3,000,000. Atas pebelian
tersebut maka PT. Maju Jaya memungut PPN sebesar Rp 300,000 (=10% x 3,000,000). Sehingga
invoicenya akan menjadi sbb:
Benang jahit = Rp 3,000,000
PPN 10% = Rp 300,000
Total Tagihan = Rp 3,300,000
Dan atas pemungutan tersebut PT. Maju Jaya wajib menerbitkan Faktur Pajak.
Bagi PT. Maju Jaya faktur pajak yang mereka terbitkan adalah Faktur Pajak Keluaran (FPK).
Sedangkan bagi PT. JAK faktur pajak yang sama adalah Faktur Pajak Masukan (FPM).
Bagaimana menjurnal pembelian tersebut?
Benang jahit yang nilainya Rp 3,000,000 sudah jelas diakui sebagai Persediaan Bahan Penolong.
Bagaimana dengan PPN-nya yang Rp 300,000, masuk ke akun mana? Debit atau kredit?
Bagi PT. JAK (yang sudah PKP), faktur pajak masukan senilai Rp 300,000 tersebut adalah kredit
pajakdengan kata lain: mengurangi Utang PPN yang akan dilaporkan nanti. Bisa dibilang bahwa
setiap lembar Faktur Pajak Masukan (yang diterima dari supplier) adalah pengurang Utang PPN.
Dengan demikian, maka nominal yang ada di Faktur Pajak Masukan (FPM) dicatat sebagai Utang
PPN namun dimasukan di sisi debit (alias pengurang saldo utang yang biasanya ada di sisi kredit).
Sehingga oleh PT. JAK pembelian benang tersebut dicatat dengan jurnal sbb:
[Debit]. Persediaan Bahan Penolong = Rp 3,000,000 (aset)
[Debit]. Utang PPN Ditjen Pajak = Rp 300,000 (kewajiban di sisi debit)
[Kredit]. Utang Dagang PT. Makmur Sentosa = Rp 3,300,000 (kewajiban)
Sebagai tambahan, tanggal 25 Februari 2012 PT. JAK membeli bahan baku kain dari PT. PQR (sudah
PKP) sebesar Rp 20,000,000. Atas pembelian tersebut, PT. PQR meneribitkan invoice sbb:
Kain polyester @Rp 10,000, sebanyak 2000 meter = Rp 20,000,000
PPN 10% = Rp 2,000,000
Total Tagihan = Rp 22,000,000
Maka PT. JAK mencatat pembelian tersebut dengan jurnal:
[Debit]. Persediaan Bahan Baku = Rp 20,000,000
[Debit]. Utang PPN Ditjen Pajak = Rp 2,000,000
[Kredit]. Utang Dagang PT. PQR = Rp 22,000,000
Intinya: setiap pembelian (apapun itu) yang disertai dengan Faktur Pajak Masukan (FPM), maka
nominal yang ada dalam FPM dicatat sebagai Utang PPN di sisi DEBIT (lihat contoh di atas).
(b) PENJUALAN Perusahaan yang sudah berstatus PKP wajib memungut PPN, terlepas apakah
pembelinya sudah PKP atau belum. Bedanya hanya soal menerbitkan faktur pajak atau tidak saja.
Untuk pembeli yang sudah PKP wajib diberikan Faktur Pajak, sedangkan yang belum tentu saja tidak.
Misalnya: PT. JAK sudah PKP, tanggal 26 Februari 2012 menjual barang dagangan berupa pakaian
jadi kepada PT XYZ yang kebetulan juga sudah PKP sebesar Rp 100,000,000 (harga pokok
penjualannya sebesar Rp 80,000,000).
Atas transaksi tersebut PT. JAK wajib memungut PPN sebesa Rp 10,000,000 (10% x 100,000,000).
Maka invoice yang diterbitkan menjadi:
Pakaian Jadi = Rp 100,000,000
PPN 10% = Rp 10,000,000
Total Tagihan = Rp 110,000,000
PT. JAK mencatat penjualan tersebut dengan jurnal:
[Debit]. Piutang Dagang PT. XYZ = Rp 110,000,000 (aset)
[Kredit]. Penjualan = Rp 100,000,000 (pendapatan di L/R)
[Kredit]. Utang PPN Ditjen Pajak = Rp 10,000,000 (kewajiban)
(Untuk mengakui Penjualan dan PPN)
Dan;
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 80,000,000 (HPP di L/R)
[Kredit]. Persediaan Barang Jadi = Rp 80,000,000 (aset)
Karena pembeli berstatus PKP, maka PT. JAK menerbitkan Faktur Pajak. Bagi PT. JAK (penjual)
faktur ini adalah Faktur Pajak Keluaran (FPK) sedangkan bagi PT. XYZ faktur yang sama sadalah
Faktur Pajak Masukan (FPM).
Sebagai tambahan, tanggal 27 Februari 2012 PT. JAK menjual pakaian jadi ke Boutique Cempaka
yang belum PKP sebesar Rp 10,000,000. Karena PT. JAK sudah PKP maka wajib memungut PPN
sebesa Rp 1,000,000 (=10% x Rp 10,000,000) terlepas apakah pembelinya sudah atau belum PKP.
Hanya saja, karena Boutique Cempaka belum PKP maka PT. JAK tidak perlu menerbitkan Faktur
Pajak (standar DJP). Cukup hanya dengan menerbitkan invoice yang mencantumkan PPN sbb:
Pakaian Jadi @Rp 100,000 sebanyak 100 pcs = Rp 10,000,000
PPN 10% = Rp 1,000,000
Total Tagihan = Rp 11,000,000
Jurnalnya sama seperti yang sebelumnya.
Bagaimana dengan penyajiannya di Laporan Keuangan?
Dari semua transaksi pembelian dan penjualan PT. JAK di atas (mulai dari PT. Maju Jaya sampai
dengan Boutique Cempaka), jelas terlihat bahwa semua unsur PPN masuk ke akun Utang PPN.
Hanya beda sisi sebit dan kredit saja:
Untuk Pembelian yang ada Faktur Pajak Masukannya dicatat di sisi DEBIT pada akun Utang
PPN.
Untuk pembelian tanpa faktur Pajak Masukan, tidak ada pengakuan utang PPN karena memang tidak
dipungut PPN, sehingga tidak mempengaruhi saldo akun Utang PPN
Untuk penjualanbaik yang ada Faktur Pajak Keluaran maupun yang tidak, semuanya dicatat di sisi
KREDIT akun Utang PPN.
Sehingga di penutupan buku PT. JAK untuk bulan Februari 2012, saldo buku besar akun Utang
Pajak akan nampak sbb (kita asumsikan saldo awal akun ini nol):
Tanggal Debit Kredit
22-Feb 300,000
25-Feb 2,000,000
26-Feb 10,000,000
27-Feb 1,000,000
Total 2,300,000 11,000,000
Saldo 8,700,000
Saldo akun Utang PPN PT. JAK di penutupan buku 28 Februari 2012 yang sebesar Rp 8,700,000
(=11,00,000 2,300,000) itulah yang dibayarkan ke kas negara via bank persepsi. Katakanlah tanggal
8 Maret 2012 pegawai accounting PT. JAK melunasi utang PPN tersebut via bank. Maka atas
pelunasan itu dicatat dengan jurnal:
[Debit]. Utang PPN Ditjen Pajak = Rp 8,700,000
[Kredit]. Kas = Rp 8,700,000
Setelah jurnal tersebut dimasukan maka saldo Utang PPN, logikanya, jadi nol.
Mungkin tidak saldo Utang-PPN tidak nol setelah pelunasan?
Jawabannya:
Mungkin saja. Itu bisa terjadi jika total nominal PPN-pembelian lebih tinggi dibandingkan PPN-
penjualan. Kasus seperti ini lumrah terjadi pada perusahaan-perusahaan yang berorientasi ekspor
(dimana pungutan PPNpenjualan
nyaris tidak ada karena tarif PPN penjualan ekspor nol) di satu sisinya, sementara di sisi lainnya
perusahaan memiliki banyak faktur pajak masukan dari pembelian bahan baku, bahan penolong, dll.
Untuk masalah ini saya akan bahas nanti secara khusus di topik Restitusi Pajak (tax refund).
Sebagai simpulan akhir, untuk menjawab pertanyaan dalam judul tulisan ini: PPN Masuk ke Laba-
Rugi atau Neraca? Jawabannya: tergantung apakah perusahaan yang ditangani sudah berstatus PKP
atau belum. Jika sudah, maka setiap unsur PPN (baik atas pembelian maupun penjualan) masuk ke
NERACA, persisnya ke dalam akun Utang PPN di sisi passiva.
Sedangkan jika perusahaannya belum berstatus PKP maka tidak perlu mencatat PPN, setiap pembelian
(terlepas apakah supplier mengitung PPN atau tidak) diakui sebesar total tagihan untuk kemudian
dialokasikan entah itu ke akun biaya (Laba-Rugi) atau atau akun persediaan barang (neraca)
tergantung barang apa yang dibeli.

Anda mungkin juga menyukai