Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lanjut Usia adalah seorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.

(menurut UU No. 13/ 1998 tentang Kesejahteraan Lansia). Organisasi

Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu : Usia

pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun,

lanjut usia tua (old) 75 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90

tahun.

WHO memperkirakan tahun 2025 jumlah lansia di seluruh dunia akan

mencapai 1,2 miliar orang yang akan terus bertambah hingga 2 miliar orang

di tahun 2050. Data WHO juga memperkirakan 75% populasi lansia di

dunia pada tahun 2025 berada di negara berkembang.

Populasi lansia di Indonesia, Hasil sensus penduduk tahun 2010

menunjukkan bahwa Indonesia termasuk 5 besar negara dengan jumlah

penduduk lansia terbanyak di dunia. Pada tahun 2010 jumlah lansia di

Indonesia mencapai 18,1 juta orang. Sementara itu Data Susenas BPS 2012

menunjukkan lansia di Indonesia sebesar 7,56% dari total penduduk

Indonesia. Menurut data tersebut sebagian besar lansia di Indonesia berjenis

kelamin perempuan.

Jumlah lansia di provinsi lampung sebanyak 48545 atau 17.10% dari

283813 jumlah penduduk di provinsi lampung. (bkkbn.go.id)

1
Pada lanjut usia kondisi dan fungsi tubuh pun semakin menurun

sehingga semakin banyak keluhan yang terjadi. Masalah kesehatan yang

sering terjadi pada lansia berbeda dari orang dewasa, yang menurut Kane

dan Ouslander sering disebut dengan istilah 14, yaitu immobility (kurang

bergerak), instability (berdiri dan berjalan tidak stabil atau mudah jatuh),

incontinence (beser buang air kecil dan atau buang air besar), intellectual

impairment (gangguan intelektual/dementia), infection (infeksi), impairment

of vision and hearing, taste, smell, communication, convalescence, skin

integrity (gangguan panca indera), komunikasi, penyembuhan, dan kulit),

impaction (sulit buang air besar), isolation (depresi), inanition (kurang gizi),

impecunity (tidak punya uang), iatrogenesis (menderita penyakit akibat

obat-obatan), insomnia (gangguan tidur), immune deficiency (daya tahan

tubuh yang menurun), impotence (impotensi) (Poniyah Simanullang,

Fikarwin Zuska, Asfriyati, 2011 dalam Bustan, 2007, Tamher, 2009

Pengaruh Gaya Hidup Terhadap Status Keseshatan Lanjut Usia (Lansia) Di

Wilayah Kerja Puskesmas Darusalam Medan. di unduh

http://uda.ac.id/jurnal/files/6.pdf. Di akses tanggal 18/01/2015)

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan di Panti Sosial Tresna Werdha

Lampung yang terletak di Natar. Petugas Panti mengatakan jumlah Lansia

yang berada di Panti 100 Lansia.dan kebanyakan para Lansia mengalami

penyakit gangguan ketika akan tidur malam (insomnia) ,hipertensi dan juga

nyeri pada persendian.

2
Tidur merupakan kebutuhan dasar manusia; tidur merupakan sebuah

proses biologis yang umum pada semua orang. Tidur dianggap sebagai

keadaan tidak sadar. Tidur telah dianggap sebagai perubahan status

kesadaran yang di dalamnya persepsi dan reaksi individu terhadap

lingkungannya mengalami penurunan. Tidur dicirikan dengan aktivitas

minimal, tingkat kesadaran bervariasi, perubahan pada proses fisiologi

tubuh, dan penurunan respons terhadap stimulus eksternal (kozier et al,

2010).

Lansia tidur sekitar 6 jam setiap malam. Sekitar 20% smpai 25% tidur

berupa tidur REM. Tidur tahap IV menurun dengan mencolok dan pada

beberapa keadaan, tidak terjadi tidur tahap IV. Periode tidur REM pertama

berlangsung lebih lama. Banyak lansia terbangun lebih sering di malam hari

dan sering kali memerlukan waktu yang lama untuk dapat kembali tidur.

Karena perubahan dalam tidur tahap IV, lansia mengalami tidur pemulihan

yang lebih sedikit. (kozier et al, 2010). Keragaman dalam perilaku tidur

lansia adalah umum. Keluhan tentang kesulitan tidur di waktu malam

seringkali terjadi diantara lansia,seringkali akibat keberadaan penyakit

kronik yang lain. sebagai contoh ,seorang lansia yang mengalami arttritis

mempunyai keluhan tidur akibat nyeri pada sendi. Kecenderungan untuk

tidur siang kelihatannya meningkat secara progresif dengan bertambahnya

usia. Peningkatan waktu siang hari yang dipakai untuk tidur dapat terjadi

karena seringnya terbangun pada malam hari. Dibandingkan dengan jumlah

waktu yang dihabiskan di tempat tidur, waktu yang dipakai untuk tidur

3
menurun sejam atau lebih. (Evan dan Rogers, 1994 dalam Potter &

Perry:2005)

Gangguan tidur merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering

dihadapi oleh lansia. Gangguan tidur adalah kondisi yang jika tidak diobati,

secara umum akan menyebabkan gangguan tidur malam yang

mengakibatkan munculnya salah satu dari ketiga masalah berikut: insomnia;

gerakan atau sensasi abnormal di kala tidur atau ketika terjaga di tengah

malam; atau rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari (Naylor dan

Aldrich, 1994 dalam Potter & Perry:2005).

Insomnia adalah gejala yang dialami oleh klien yang mengalami

kesulitan kronis untuk tidur, sering terbangun dari tidur, dan/ atau tidur

singkat atau tidur nonrestoratif (Zorick, 1994 dalam Potter & Perry : 2005).

Penderita insomnia mengeluhkan rassa kantuk yang berlebihan di siang hari

dan kuantitas serta kualitas tidurnya tidak cukup. Namun serigkali klien

tidur lebih banyak dari yang disadarinya. Insomnia dapat menandakan

adanya gangguan fisik atau psikologis. Kondisi ini membutuhkan perhatian

yang serius. Buruknya kualitas tidur lansia disebabkan oleh meningkatnya

latensi tidur, berkurangnya efisiensi tidur dan terbangun lebih awal karena

proses penuaan. Proses penuaan tersebut menyebabkan penurunan fungsi

neurontransmiter 2 yang ditandai dengan menurunnya distribusi

norepinefrin. Hal itu menyebabkan perubahan irama sirkadian, dimana

terjadi perubahan tidur lansia pada fase NREM 3 dan 4. Sehingga lansia

hampir tidak memiliki fase 4 atau tidur dalam (Stanley, 2006 ; Potter &

Perry:2005)

4
Metode penatalaksanaan yang bertujuan meningkatkan kualitas tidur

pada lansia pada umumnya terbagi atas terapi farmakologis dan non

farmakologis. Terapi farmakologis memiliki efek yang cepat. Namun

demikian, penggunaan obat-obatan ini menimbulkan dampak jangka

panjang yang berbahaya bagi kesehatan lansia. Hal ini ditunjukkan dari hasil

penelitian bahwa terjadi peningkatan angka mortalitas pada lansia yang

menggunakan obat tidur. Penggunaan obat tidur secara terus menerus pada

lansia menimbulkan efek toksisitas yang tinggi. Toksisitas ini meningkat

karena adanya penurunan aliran darah dan motilitas gastrointestinal.

Penurunan fungsi ginjal pada lansia yang diperburuk dengan konsumsi obat-

obatan secara terus menerus akan menyebabkan gagal ginjal. Hal inilah

yang menyebabkan terjadinya peningkatan angka mortalitas pada lansia.

Dengan demikian diperlukan terapi non farmakologis yang efektif dan aman

untuk meningkatkan kualitas tidur lansia (Stanley, 2006).

Prinsip penatalaksanaan non farmakologis untuk mengatasi gangguan

tidur adalah peningkatan kenyamanan dan rileks. Upaya yang membuat

nyaman sangat penting untuk membuat klien tertidur, terutama jika efek

penyakit seseorang mempengaruhi tidur. (Potter & Perry, 2005). Salah satu

terapi non farmakologi yang berpotensi memperbaiki kualitas tidur lansia

adalah terapi madu (Kiswah, 2006) dengan meminum madu.

Madu mengandung vitamin A, B1, B2, B3, B5, B6, C, D, E, K, beta

karoten, flavonoid, asam fenolik, asam urat dan asam nikotinat. Di dalam

madu juga terdapat kandungan mineral dan garam atau zat lain seperti zat

5
besi, sulfur, magnesium, kalsium, kalium, khlor, natrium, fosfor dan sodium

serta antibiotika dan enzim pencernaan. Rata-rata komposisi madu adalah

17,1 % air ; 82,4 % karbohidrat ; 0,5 % protein, asam amino, vitamin dan

mineral. Karbohidrat madu termasuk tipe sederhana, dimana karbohidrat

tersebut terdiri dari 38,5 % fruktosa dan 31 % glukosa. (M. Oka Adi

Parwata, K. Ratnayani, dan Ana Listya. 2010. Aktivitas Anti radikal Bebas

Serta Kadar Beta Karoten Pada Madu Randu (Ceiba pentandra) dan Madu

Kelengkeng (Nephelium longata L).

Madu berfungsi memberikan kenyamanan pada tubuh karena asam

amino triptofan yang di miliki madu mampu mensintesis hormon melatonin

yang mampu memperbaiki kualitas tidur pada lansia. Melatonin merupakan

hormon yang disintesis dan disekresikan oleh kelenjar pineal sebuah

kelenjar yang berukuran sekitar 1 cm, terletak pada midline, melekat pada

ujung posterior dari third ventricle di otak. Secara histologis, kelenjar pineal

tersusun oleh pinealocytes dan sel-sel glial. Melatonin disintesis dari

tryptophan melalui 5-hidoksilasi oleh tryptophan-5-hydroxylase menjadi 5-

hydroxytryptophan, kemudian mengalami dekarboksilasi oleh aromatic

aminoacid decarboxylase menjadi 5-hydroxy tryptamine (serotonin).

Di kelenjar pineal, serotonin mengalami N-asetilasi oleh N-acetyl

transferase (NAT) menjadi N-acetylserotonin, kemudian mengalami O-

metilasi oleh hydoxyindole-O-methyl transferase (HIOMT) menjadi

melatonin (N-acetyl-5-methoxytryptamine). Melatonin disekresikan

langsung ke dalam sirkulasi dan didistribusikan ke seluruh tubuh. Melatonin

6
juga disekresikan ke dalam cairan cerebrospinal melalui pineal recess,

mencapai konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan melatonin pada serum.

Sleep-wake cycle pada manusia mengikuti ritme sirkadian yang diatur

oleh uprachiasmatic nucleus (SCN) yang terletak di hipotalamus anterior

pada otak. SCN sering disebut sebagai master circadian clock of the body

karena perannya dalam mengatur semua fungsi tubuh yang berhubungan

dengan ritme sirkadian termasuk core body temperature, sekresi hormon,

fungsi kardio-pulmoner, ginjal, gastrointestinal, dan fungsi neurobehavioral.

Mekanisme molekuler dasar dimana neuron pada SCN mengatur dan

mempertahankan ritmenya adalah melalui autoregulatory feedback loop

yang mengatur produk gen sirkadian melalui proses transkripsi, translasi,

dan posttranslasi yang kompleks. Penyesuaian antara ritme sirkadian

internal 24 jam dengan kondisi lingkungan dipengaruhi oleh beberapa

faktor, terutama cahaya, aktivitas fisik dan sekresi hormon melatonin oleh

kelenjar pineal. aktivitas NAT akan meningkat 30-70 kali dalam keadaan

tidak adanya cahaya.

Sekresi melatonin mulai meningkat pada malam hari, sekitar 2 jam

sebelum jam tidur normal, kemudian terus meningkat selama malam hari

dan mencapai puncak antara pukul 02.00-04.00 pagi. Setelah itu, sekresi

melatonin akan menurun secara gradual pada pagi hari dan mencapai level

yang sangat rendah pada siang hari. (Ni Luh Putu Ayu Maha Iswari,

Melatonin dan Melatonin Receptor Agonist Sebagai Penanganan Insomnia

Primer dan Kronis. Di unduh

7
dihttp://download.portalgaruda.org/article.php?article=82532&val=970. Di

akses tanggal 17/01/2015)

Dalam kitab suci Al-Quran, Allah Subhanahu wataala berfirman

Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah, buatlah sarang di gunung-

gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia,

kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan lalu tempuhlah jalan

Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar

minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat

obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sungguh pada yang demikian itu

benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir.

(An-Nahl [16] : 68-69).

Firman Allah SWT : Di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan

bagi manusia. (An-Nahl [16] :69 ).

Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di Panti

Sosial Tresna Werdha bahwa terdapat 100 lansia yang dirawat disana.

Wawancara dengan petugas Panti mengatakan diantaranya para Lansia atau

yang dipanggil Embah mengalami gangguan tidur. Lansia mengeluh sulit

untuk tertidur pada malam hari, sering terbangun malam hari, merasa tidak

puas dengan tidurnya dan rata-rata mereka tidur hanya 4-5 jam perhari.

Padahal menurut Stanley (2006), seorang lansia membutuhkan waktu tidur

minimal 4 sekitar 6 jam perhari, berarti dalam hal ini lansia memiliki

kualitas tidur yang buruk. Selain itu penggunaan terapi alternatif non

farmakologis juga belum diterapkan di Panti sosial Tresna Werdha Natar

8
Lampung. Berdasarkan hal tersebut di atas peneliti tertarik untuk meneliti

pengaruh terapi meminum madu terhadap kualitas tidur pada lansia di panti

sosial werdha natar kabupaten lampung selatan, Provinsi lampung.

B. Rumusan Masalah

Peningkatan jumlah lansia di satu sisi menunjukkan membaiknya

pembangunan negara tetapi di sisi lain diikuti dengan munculnya berbagai

permasalahan pada lansia. Kualitas tidur yang buruk merupakan salah satu

masalah kesehatan yang sering dihadapi oleh lansia. Penatalaksanaan kualitas

tidur yang buruk masih mengacu pada terapi farmakologis yang memiliki efek

samping bagi kesehatan lansia. Dengan demikian dibutuhkan terapi alternatif

yang efektif dan aman. Terapi meminum madu merupakan salah satu terapi non

farmakologi yang berpotensi memperbaiki kualitas tidur pada lansia.

Berdasarkan uraian di atas maka rumusan penelitian ini adalah Bagaimanakah

pengaruh terapi Madu terhadap kualitas tidur pada lansia di Panti Sosial

Tresna Werdha Natar Lampung selatan tahun 2015 ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui adanya pengaruh terapi meminum madu terhadap kualitas

tidur pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Natar Lampung selatan.

2. Tujuan Khusus

Tujuan Khusus penelitian ini adalah :

9
1. Mengidentifikasi karakteristik (jenis kelamin, umur, pendidikan, dan

kualitas tidur) responden di Panti Sosial Tresna Werda Natar Lampung

Selatan.

2. Mengidentifikasi perbedaan kualitas tidur sebelum di lakukannya

intervensi pada kelompok perlakuan di Panti Sosial Tresna Werda Natar

Lampung Selatan.

3. Mengidentifikasi perbedaan kualitas tidur setelah di lakukannya

intervensi pada kelompok perlakuan di Panti Sosial Tresna Werda Natar

Lampung Selatan.

4. Mengidentifikasi perbandingan kualitas tidur sebelum dan setelah di

lakukannya intervensi pada kelompok perlakuan di Panti Sosial Tresna

Werdha Natar Lampung Selatan.

D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian yang dilakukan dapat memberikan manfaat bagi

berbagai pihak diantaranya:

1. Bagi Masyarakat

Memberikan informasi tentang manfaat terapi meminum madu

sebagai terapi yang efektif dalam meningkatkan kualitas tidur pada

lansia dan juga sebagai terapi modalitas pengganti dari obat-obatan

sebagai penanggulangan dari penyakit gangguan sulit tidur (insomnia).

2. Bagi Institusi Pendidikan

10
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan

dan pengetahuan bagi Politeknik Kesehatan Tanjungkarang Jurusan

Keperawatan terutama Program Studi (Prodi) D-III Keperawatan

Tanjungkarang untuk mengembangkan pengobatan komplementer

dalam lingkup keperawatan gerontik khusus nya ilmu pengobatan Islam

yaitu Terapi meminum madu bagi penderita gangguan sulit tidur

(insomnia).

3. Bagi lansia di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Lampung

Diharapkan bagi lansia dan juga para pengurus panti sosial tresna

werdha untuk menjadikan terapi meminum madu khususnya

Untuk memingkatkan kualitas tidur para lansia dan meningkatkan

kualitas kesehatan para lansia agar menjadi semakin baik.

4. Bagi Ilmu Keperawatan

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat mendukung

penelitian-penelitian yang dilakukan dalam lingkup peran terapi

meminum madu sebagai ilmu pengobatan komplementer dan

diharapkan dapat menambah khasanah ilmu keperawatan yang selalu

berkembang.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah pengaruh terapi meminum madu

terhadap kualitas tidur pada lansia di Panti Sosial Werdha Natar Lampung

selatan. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah terapi meminum

madu sebagai variabel independen dan kualitas tidur sebagai variabel

dependen.

11

Anda mungkin juga menyukai