Anda di halaman 1dari 9

ISSN 2338-7785

PENJATUHAN PIDANA MATI DI INDONESIA


DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

Warih Anjari
FH UTA 45 Jakarta
E-mail: a.warih@yahoo.com

Abstrak: Penjatuhan pidana merupakan bagian terpenting dari proses peradilan pidana. Penerapan pidana mati oleh negara melalui putusan
pengadilan berarti negara mengambil hak hidup terpidana yang merupakan hak asasi manusia yang bersifat tidak dapat dibatasi (non derogable).
Oleh karena itu penerapannya harus memperhatikan Hak Asasi Manusia terpidana. Tujuan penulisan ini yaitu untuk mengetahui: (1) Penjatuhan
pidana mati bagi pelaku kejahatan bertentangan atau tidak dengan Hak asasi Manusia.(2) Kriteria penjatuhan pidana mati bagi pelaku kejahatan
yang tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Metode yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan data
sekunder. Dapat disimpulkam bahwa:: (1) Penjatuhan pidana mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. (2) Penerapannya dapat dibenarkan
dengan alasan membela hak asasi manusia, dan hanya pada kejahatan yang bersifat melampaui batas kemanusiaan serta merusak peradaban
manusia. Pelaksanaan proses peradilan pidana sebaiknya dilakukan transparan dan berkeadilan.

Kata kunci: tujuan pidana, penjatuhan pidana mati, dan hak asasi manusia.

Abstract: Criminal punishment is the most important part of the criminal justice process . Application of capital punishment by the state
through the state court decision means taking the right convict life . The right to life is a human right that is non derogable . Therefore, its
application should pay attention to the Human Rights convicted . The objective of this paper is to know: (1). whether the imposition of the
death penalty for offenders is contrary to the Human Rights (2). The criteria for the imposition of the death penalty for crimes that do not
conflict with the Human Rights. The method used is a normative juridical approach using secondary data. The conclusions that: (1) the
imposition of the death penalty is contrary to human rights, but its application can be justified by reason of defending human rights, (2)
only applied to crimes that are beyond the limits of humanity and the destruction of human civilization. Suggestions author implementation
of the criminal justice process is transparent and fair.

Key words: goal criminal punishment, criminal imposition of death, and human rights.

PENDAHULUAN dan kebijakan criminal (penal policy) (Ancel dalam


Latar belakang penulisan makalah ini adalah bahwa Barda Nawawi Arief,2014:23).
hukum pidana memiliki tujuan untuk mencapai keadilan, Penjatuhan pidana sebagai upaya penal,
kepastian, dan kegunaan bagi masyarakat dan dimaksudkan untuk menjerakan pelaku dan menakut-
negara,sedangkan fungsinya untuk menjaga ketertiban nakuti orang yang potensial menjadi pelaku tindak pidana.
(social control). Pencapaian hal tersebut dilakukan Upaya penjeraan merupakan pengaruh dari penerapan
melalui sarana yang bersifat penal maupun non penal teori dasar pemidanaan absolut dan aliran pemidanaan
yang penentuannya melalui proses kebijakan hukum klasik yang sampai saat ini masih diterapkan di Indonesia.
pidana (penal policy). Sarana penal dilakukan dengan Di samping penerapan penjeraan, sistem hukum pidana
menjatuhkan pidana yang bersifat pembalasan, dan Indonesia menganut teori dasar pemidanaan relatif dan
tindakan yang bersifat pembimbingan (treatment) aliran pemidanaan modern, dengan menerapkan tindakan
sertapemulihan (restore). Sedangkan sarana non penal dan pemulihan situasi yang rusak sebagai akibat dari
dilakukan dengan mengedepankan pendekatan sosial tindak pidana (restoratif justice). Guna sinkronisasi dan
kemasyarakatan sebagai upaya preventif mencegah harmonisasi penerapan pidana dengan ketentuan nasional
terjadinya tindak pidana. Dalam hukum pidana modern maupun internasional diterapkan teoriintegratif dengan
(modern criminal science), terdiri dari 3 komponen yaitu pendekatan multi dimensional (multy dimentional
kriminologi (criminology), hukum pidana (criminal law), approach) (Muladi,2002:53).

E-Journal WIDYA Yustisia 107 Volume 1 Nomor 2 Maret 2015


Penjatuhan Pidana Mati di Indonesia dalam
Warih Anjari, 107 - 115 Perspektif Hak Asasi Manusia

Penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana m e (HAM). Bukti nyata perubahan status pidana mati
rupakankewenanganhakimdengan tercantum dalam Draf Konsep KUHP yang telah siap
mempertimbangkan secara yuridis dan sosiologis agar untuk ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam
pidana yang dijatuhkan dapat bermanfaat baik bagi Pasal 66 Rancangan KUHP, pidana mati menjadi pidana
terpidana maupun masyarakat. Oleh karena itu konsep pokok yang bersifat khusus dan diancamkan alternatif
penjeraan dimodifikasi dalam pelaksanaan putusan pidana dengan pidana pokok lainnya. Pelaksanaan pidana ini
penjaradengankonseppembinaan dengan cara menembak terpidana sampai mati dan tidak
(www.hukumonline.com) diakses 4 Desember 2014). dilaksanakan di muka umum.
Untuk itu penerapan pidana harus memperhatikan tujuan Penjatuhan pidana mati berarti mengambil hak hidup
pemidanaan (straf soort), berat ringan pidana (straf seseorang. Setiap orang berhak untuk hidup dan berhak
maart), dan cara penjatuhan pidana (straf modus). mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28A
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana UUD 1945). Bahkan pidana mati tidak selaras lagi dengan
(KUHP) Indonesia, stelsel pidana diatur dalam Pasal 10 perkembangan HAM (Imparsial, www.hukumonline.com
KUHP, yang menyebutkan ada 2 jenis pidana yaitu: (1). diakses 5 Desember 2014). Semua negara memiliki
Pidana Pokok, yang terdiri dari: (a). Pidana mati, (b) konsep menjunjung tinggi HAM. Indonesia sebagai
Pidana penjara, (c) Pidana kurungan, dan (d) Pidana bagian dari negara di dunia ikut serta dalam mewujudkan
denda, (2) Pidana Tambahan, yang terdiri dari: (a) HAM, terbukti diaturnya HAM secara legal formal. HAM
Pencabutan hak tertentu, (b) Perampasan barang tertentu, terutama hak hidup dinyatakan sebagai hak yang tidak
(c) Pengumuman putusan hakim, (3). Pidana Tutupan, dapat dikurangi dalam bentuk apapun (non derogable
dengan dasar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 rights). Hal ini disebutkan dalam Pasal 28 I ayat (1) dan
tentang Pidana Tutupan. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, Pasal 4 Undang-Undang
Pidana mati berstatus sebagai pidana pokok, Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
merupakan jenis pidana yang mengandung pro dan Namun secara positif, penerapan pidana mati masih
kontra. Ditingkat internasional pidana jenis ini dilarang banyak diputus oleh hakim. Sebagai contoh kasus
untuk dijatuhkan kepada terpidana. Perserikatan terbunuhnya Sisca Yofie yang pelakunya adalah Wawan
Bangsa-Bangsa (PBB) mendorong untuk ditiadakannya dipidana oleh Mahkamah Agung melalui putusannyapada
penerapan jenis pidana ini berdasarkan Deklarasi Hak- tanggal 11 November 2014 dari pidana seumur hidup
Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human menjadi pidana mati. Pertimbangannya adalah perbuatan
Rights) yang di adopsi pada tanggal 10 Desember 1948, yang dilakukan terdakwa terhadap korban dengan cara
dengan menjamin hak hidup dan perlindungan terhadap yang sadis dan untuk memberikan efek jera serta agar
penyiksaan. Demikian pula dijaminnya hak untuk masyarakat menghargai hak hidup orang lain.
hidup terdapat dalam Pasal 6 International Convenant (www.tempo.com diakses tanggal 4 Desember 2014).
on Civil and Political Rights/ICCPR) yang diadopsi Jaksa Agung akan melaksanakan eksekusi mati terhadap 5
tahun 1966 dan diratifikasi dengan Undang-Undang orang terpidana mati pada tahun 2014, dan 20 orang pada
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR. tahun 2015 (www.hukumonline.com diakses tanggal 5
Sistem hukum pidana Indonesia berusaha melepaskan Desember 2014). Presiden Jokowi menolak seluruh
pidana mati diluar pidana pokok, dengan mengaturnya permohonan grasi yang diajukan 64 terpidana mati
sebagai pidana alternatif. Pidana mati tidak lagi merupakan perkara narkoba (Kompas, Rabu, 10 Desember 2014: 3).
pidana pokok pertama, tetapi mejadi pidana yang bersifat Indonesia di satu sisi menjunjung tinggi hak hidup
khusus. Langkah ini dilakukan mengingat penerapan pidana yang merupakan hak yang bersifat non derogable right,
mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia namun pada implementasinya hak hidup tidak

E-Journal WIDYA Yustisia 108 Volume 1 Nomor 2 Maret 2015


Penjatuhan Pidana Mati di Indonesia dalam
Warih Anjari, 107 - 115 Perspektif Hak Asasi Manusia

dipertahankan keberlangsungannya. Penjatuhan pidana diterapkan kepada sipelanggar (Barda Nawawi Arief,
mati oleh hakim melalui putusannya berarti negara tidak 2014: 30). Penentuan kedua hal tersebut, akan
menjaga kelangsungan hak hidup pelaku tindak pidana. berkaitan dengan penentuan politik sosial yang integral
Tujuan penulisan makalah ini, untuk mengetahui: (integritysocial policy) sebagai cara untuk mencapai
(1) Penjatuhan pidana mati bagi pelaku kejahatan kesejahteraan sosial.
bertentangan atau tidak dengan Hak asasi Manusia, dan Dalam rangka mencapai tujuan negara yaitu
(2) Kriteria penjatuhan pidana mati bagi pelaku kesejahteraan sosial, hukum pidana ikut andil pula dengan
kejahatan yang tidak bertentangan dengan Hak Asasi mencegah terjadinya kejahatan. Upaya ini dilakukan
Manusia. Metode yang digunakan adalah pendekatan dengan sarana penal yaitu dengan menerapkan pidana
yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. mati bagi pelaku tindak pidana. Hukum pidana memiliki
tujuan dan fungsi. Tujuan hukum pidana secara umum
PEMBAHASAN adalah mencapai keadilan, kepastian, dan kegunaan,
Kebijakan Kriminal (Criminal Policy), Pemidanaan, sedangkan secara khusus adalah untuk menjatuhkan
dan Hak Asasi Manusia pidana bagi pelaku tindak pidana dan mencegah
Penjatuhan pidana mati bagi pelaku kejahatan terjadinya tindak pidana terhadap orang, badan dan harta
mendasarkan pada kebijakan kriminal yang ditetapkan benda. Tercapainya tujuan dan fungsi bukum pidana akan
oleh penyelengara negara. Kebijakan kriminal (politik menyumbang peningkatan kesejahteraan rakyat.
hukum pidana) merupakan bagian dari politik hukum Untuk mencapai tujuan tersebut hukum pidana
nasional (legal policy) secara keseluruhan, serta berusaha menerapkan pidana mati bagi pelaku tindak
merupakan bagian dari politik sosial (social welfare pidana tertentu. Konsep dasar pembenar dan tujuan
policy maupun social defense policy). (M. Najih, 2013: penjatuhan pidana meliputi 3 teori, yaitu: (1) Teori
194-195).Politik kriminal pada hakekatnya merupakan Absolut (Retributif) menyatakan bahwa pemidanaan
bagian integral dari politik sosial yaitu kebijakan atau merupakan pembalasan atas kejahatan yang telah
upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial, politik dilakukan oleh pelaku. Sanksi yang dijatuhkan untuk
kriminal terdiri dari penal policy dan non penal policy memuaskan tuntutan keadilan dan sebagai pembalasan.
(Barda Nawawi Arief,2014: 4-5). (2) Teori Tujuan (Doeltheorie) menyatakan bahwa
Penerapan pidana mati adalah upaya penal dalam pemidanaan sebagai sarana untuk mencapai tujuan
menanggulangi kejahatan. Dalam memutuskan penerapan tertentu yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat
pidana mati bagi pelaku kejahatan tertentu akan (social defence), (3). Teori integratif menyatakan bahwa
dipengaruhi oleh kebijakan penegakan hukum pada pemidanaan dilihat dalam perspektif multy dimenstional,
umumnya, dan dipengaruhi pula oleh kebijakan sosial sehingga tujuannya bersifat plural (Muladi, 2002: 49-51).
yang tujuannya untuk mencapai kesejahteraan sosial. Oleh Suatu sistem hukum pidana harus bersifat praktis
karena itu dalam menjatuhkan pidana mati terhadap dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Untuk
pelaku kejahatan harus dipertimbangkan tujuan dari dapat mencapainya maka diterapkan aliran-aliran
penjatuhan tersebut apakah berdampak pada peningkatan dalam hukum pidana, yang meliputi:
kesejahteraan masyarakat, atau bahkan sebaliknya. 1. Aliran Klasik; menghendaki hukum pidana yang
Penjatuhan pidana mati merupakan kebijakan tersusun secara sistematis dan menitikberatkan pada
kriminal dengan sarana penal (penal policy). Dalam kepastian hukum. Aliran ini penganut pandangan
menerapkan politik hukum pidana (penal policy) terdapat indeterministis mengenai kebebasan kehendak sehingga
dua masalah sentral, yaitu: perbuatan apa yang seharusnya mengutamakan perbuatan dan tidak kepada orang. Aliran
dijadikan tindak pidana, dan sanksi apa yang sebaiknya ini berpijak pada: asas legalitas, asas kesalahan, dan asas

E-Journal WIDYA Yustisia 109 Volume 1 Nomor 2 Maret 2015


Penjatuhan Pidana Mati di Indonesia dalam
Warih Anjari, 107 - 115 Perspektif Hak Asasi Manusia

pembalasan. dapat diberlakukan terhadap kejahatan yang paling


2. Aliran Modern; bertitik tolak dari pandangan serius (most serious crime) dan hukuman dijatuhkan
determinisme, bahwa manusia tidak mempunyai oleh suatu pengadilan yang berwenang.
kebebasan kehendak sehingga tidak dapat
dipertanggungjawabkan dan dipidana. Aliran ini menolak Penjatuhan Pidana Mati dan Hak Asasi Manusia
pembalasan, dan kesalahan subyektif diganti dengan sifat Pidana mati merupakan sarana penal dalam
berbahayanya perbuatan pelaku. Oleh karena itu bentuk menanggulangi kejahatan. Pemilihan sarana penal
pertanggungjawaban pelaku berupa tindakan untuk dalam menanggulangi kejahatan untuk mendapatkan
perlindungan masyarakat, menghendaki individualisiasi efek jera bagi masyarakat dan terhadap terpidana itu
pidana dan bertujuan mengadakan resosialisasi pelaku. sendiri agar tidak melakukan tindak pidana kembali
3. Aliran Neo Klasik; sama dengan aliran klasik dengan (mencegah pengulangan tindak pidana). Penekanannya
doktrin kebebasan kehendak (free will). Adapun pada upaya represif terhadap pelaku kejahatan. Di
perbedaannya: (a) Doktrin kebebasan kehendak (free will) samping sarana penal, cara lain untuk menanggulangi
dipengaruhi oleh ketidakmampuan bertangungjawab dan kejahatan melalui sarana non penal. Sarana ini
penyakit jiwa, (b) Diterimanya keadaan yang meringankan dilakukan secara kontinuitas sehingga membutuhkan
baik fisik maupun mental, (c) adanya peringan pidana dan waktu yang lama, dan lebih bersifat himbauan secara
pertanggungjawaban pidana sebagian pada hal khusus, sosiologis. Pelaksanaanya menekankan pada aspek
misalnya gila, dibawah umur dan keadaan lainnya, (d) preventif (pencegahan) terjadinya kejahatan.
masuknya kesaksian ahli untuk menentukan derajat Melalui penjatuhan pidana mati, general deterrence
pertanggungjawaban (Muladi & Barda Nawawi,1992:25- (pencegahan umum) yang berupa efek penjeraan,
44). diharapkan angka kejahatan dapat menurun. Pada
Penerapan pidana mati bagi pelaku kejahatan yang kenyataannya tidak ada pertautan antara penjatuhan
diputuskan oleh hakim, berarti hakim telah mengambil pidana mati dan turunnya angka kejahatan.Pencantuman
hak hidup manusia. Dalam konsepsi HAM, hak hidup pidana mati sebagai pidana pokok pertama dalam Pasal 10
merupakan HAM yang bersifat tidak dapat dibatasi KUHP, secara psikologis tidak menimbulkan efek jera di
(non derogable), dimana hak ini tidak dapat dikurangi masyarakat. Senada dengan hal tersebut disampaikan oleh
dalam bentuk apapun. Bahkan negara harus menjamin Sahetapy bahwa pelaksanaan pidana mati tidak
keberlangsungan hak ini. Hak yang berkedudukan sama menimbulkan efek jera (TV One Apa Kabar Indonesia
dengan hak hidup antara lain hak untuk tidak disiksa, Malam, Sabtu 13 Desember 2014). Dipertegas oleh Haris
hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak Azhar koordinator kontras yang berpendapat bahwa
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk pemberian hukuman mati tidak menjawab problem
diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tingginya angka kejahatan (Kompas, Jumat 14 November
tidak dituntut oleh hukum yang berlaku surut. (Pasal 2014: 4), sehingga penjatuhan pidana mati pada beberapa
28I UUD 1945), bahkan setiap orang berhak untuk kasus kejahatan tidak menjadikan tujuan mencegah
hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kejahatan secara penal tercapai.
kehidupannya (Pasal 28A UUD 1945). Dalam hukum pidana Indonesia terdapat beberapa
Instrumen internasional yaitu Pasal 6 ICCPR, tidak kejahatan yang diancam dengan pidana mati, yaitu:
melarang pidana mati, tetapi memberikan batasan 1. Tindak pidana makar, diatur dalam Pasal 104 KUHP
penerapannya. Dalam ketentuan tersebut, dinyatakan berupa membunuh presiden dan wakil presiden; Pasal
bahwa bagi negara yang belum menghapuskan pidana 111 ayat (2) berupa melakukan hubungan dengan
mati, masih dapat menerapkan hukuman mati tetapi hanya negara asing sehingga terjadi perang.

E-Journal WIDYA Yustisia 110 Volume 1 Nomor 2 Maret 2015


Penjatuhan Pidana Mati di Indonesia dalam
Warih Anjari, 107 - 115 Perspektif Hak Asasi Manusia

2. Tindak pidana pembunuhan berencana, diatur dalam Muhammad Abdul Hafeez ditangkap 2001 dieksekusi 17
Pasal 340 KUHP berupa menghilangkan nyawa orang November 2013 (Kompas, Jumat 14 November 2014:14),
lain dengan sengaja dan berencana. (6) Pembunuhan disertai dengan sodomi terhadap anak-
3. Tindak pidana korupsi, diatur dalam Pasal 2 ayat (2) anak atas nama terpidana Baekuni yang diputus pada
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yo Nomor 20 tanggal 21 April 2011, (7) Pembunuhan berencana 11
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana orang dengan cara mutilasi atas nama terpidana Verry
Korupsi, berupa korupsi dalam keadaan tertentu. Idham Henyansyah yang diputus pada tanggal 5 Juli 2012,
4. Tindak pidana genoside dan kejahatan terhadap (8) Pembunuhan sadis dan pemerkosa atas nama terpidana
kemanusiaan, diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Herris Marbun yang divonis tanggal 8 Januari 2014, (9)
Tahun 2000 Tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 36 Pembunuhan istri dan 2 orang anaknya atas nama terpidana
mengatur tentang genoside yaitu setiap perbuatan yang Herman Jumat Masan yang divonnis pada tanggal 11
dilakukan untuk menhancurkan atau memusnahkan Pebruari 2014, (10) Pembunuhan berencana dan
seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok penganiayaan berat atas nama terpidana Slamet Riyanto yang
etnis, kelompok agama. Pasal 37 tentang mengatur divonis pada tanggal 17 September 2014, (11) Pencurian
tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu dengan kekerasan yang berakibat hilangnya nyawa orang
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan lain pada tanggal 5 Agustus 2013 atas nama terpidana
yang meluas atau sistematik yang ditujukan secara Wawan. (Kompas, Kamis 13 November 2013:1).
langsung terhadap penduduk sipil. Pada akhir tahun 2014 ini terdapat 148 orang
5. Tindak pidana Narkotika, diatur dalam Pasal 114, 116, narapidana yang divonis mati oleh pengadilan menunggu
118, 119, dan 121 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 eksekusi. Kasus yang dilakukan oleh terpidana mati karena
tentang Narkotika. Pada intinya pasal tersebut menyatakan terbukti melakukan pembunuhan berencana dan bandar
menawar, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara narkoba (Kompas, Jumat 14 November 2014:4). Namun
dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika. berbeda pada putusan pidana mati atas nama terpidana
6. Tindak pidana melakukan Mobilisasi Anak dalam Wawan yang awalnya terbukti melakukan pencurian dengan
Perdagangan Gelap Narkotika, diatur dalam Pasal 89 kekerasan yang berakibat hilangnya nyawa orang lain.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002tentang Pembunuhan ini dilakukan tanpa alasan yang kuat, tanpa
Perlindungan Anak, yang menyatakan secara sengaja empati, sadis dan tidak berperikemanusiaan. Dalam
melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi, atau pertimbangannya Majelis Hakim Mahkamah Agung
distribusi narkotika dan/psikotropika. menyatakan terpidana terbukti secara sah dan meyakinkan
Penjatuhan pidana mati berdasarkan putusan melakukan pembunuhan berencana terhadap korban, pelaku
pengadilan, pernah dijatuhkan dalam beberapa kasus, menyeret korban sejauh 800 meter dalam keadaan masih
antara lain: (1) Pembunuhan berencana di Sumatera hidup lalu mengeksekusi korban (Kompas, Sabtu 15
Selatan tahun 1992 atas nama terpidana Suryadi November 2014:2). Pidana mati yang dijatuhkan oleh
Swabhuana alias Adi Kumis alias Dodi bin Soekarno, Mahkamah Agung dengan alasan membela hak asasi, orang
(2) Pembunuhan dan mutilasi di Sumatera Selatan tidak dapat mencabut nyawa orang lain apalagi disertai
tahun 1997 atas nama terpidana Jurit bin Abdullah, (3) dengan kekerasan dan penganiayaan terhadap korban. Hal ini
Pembunuhan dan mutilasi di Sumatera Selatan tahun tercantum dalam Pasal 28J UUD 1945 yang menyatakan
1997 atas nama Ibrahim bin Ujang, (4) Penyelundupan setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dan
100 gram heroin atas nama Adami Wilson alias Adam wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-
alias Abu ditangkap 2003 dieksekusi 14 Maret 2014, undang untuk menjamin pengakuan serta penghormatan hak
(5) Membawa 1050 gram heroin atas nama terpidana dan kebebasan orang lain.

E-Journal WIDYA Yustisia 111 Volume 1 Nomor 2 Maret 2015


Penjatuhan Pidana Mati di Indonesia dalam
Warih Anjari, 107 - 115 Perspektif Hak Asasi Manusia

Sedangkan sistem hukum pidana Indonesia masih kesalahan dalam praktek peradilan pidana Indonesia.
menganut hukuman mati yang diperkuat dengan Beberapa kasus salah tangkap yang terjadi dalam praktek
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU- pengadilan: (1). Kasus pembunuhan dengan terpidana
V/2007 tanggal 30 Oktober 2007. Sengkon dan Karta, terpidana terbukti bersalah
Penjatuhan pidana mati memunculkan kontroversi melakukan pembunuhan di pengadilan, namun saat
yang beragam. Mendasarkan pada konsep HAM bahwa dipenjara bertemu dengan pembunuh aslinya., (2) Kasus
hak hidup adalah hak yang bersifat nonderogable rights. pembunuhan dengan terpidana Rusman Lakoro dan
Instrumen internasional mendukung keberadaan hak hidup Rostin Mahaji, terpidana dipaksa mengaku membunuh
yang tercantum dalam Deklarasi HAM (Declaration of anaknya Alta Lakoro. Namun korban muncul kembali ke
Human Rights) dan ICCPR. Demikian pula Pasal 28 A kampung halamannya dalam keadaah masih hidup,
UUD 1945 yang menegaskan setiap orang berhak untuk korban hanya melarikan diri, (3). Kasus pembunuhan
hidup, serta berhak mempertahankan hidup dan dengan terpidana Imam Hambali alias Kemat dan David
kehidupannya. Pasal 28 I menyatakan hak untuk hidup Eko Priyanto, terpidana dipidana 17 dan 12 tahun penjara
merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam karena divonis sebagai pembunuh Asrori, ternyata
keadaan apapun. Dalam Pasal 28 I mengharuskan orang pelakunya adalah Ryan. (www.mimbar-opini.com diakses
untuk memperhatikan hak hidup. Namun dalam Pasal 28 J 27 Desember 2014), (4). Kasus pembunuhan dengan
menyebutkan setiap orang wajib menghormati hak asasi terpidana Budi Harjono, terpidana dijatuhi pidana karena
orang lain dan wajib tunduk pada pembatasan yang membunuh ayahnya. Setelah 4 tahun dipenjara, seorang
ditetapkan boleh undang-undang untuk menjamin laki-laki bernama Marsin mengaku sebagai pelaku
pengakuan serta pernghormatan hak dan kebebasan orang sesungguhnya. (www.indosiar.com diakses 27 Desember
lain. Dalam pasal tersebut terdapat pertangungjawaban 2014). Melalui pidana mati dapat dikatakan negara
bagi yang melanggar HAM, dan sistem hukum pidana memperpanjang rantai kekerasan dan bersifat pembalasan,
Indonesia masih menerapkan pidana mati. sehingga penerapannya merupakan suatu kemunduran.
Pertimbangan hakim dalam putusan pidana mati Hal ini dapat dipahami karena pada dasarnya hukuman
pada dasarnya untuk membela hak asasi manusia pada mati tidak dapat menyelesaikan masalah kejahatan yang
korban yang dirampas oleh terpidana. Pesan yang ingin meningkat seiring dengan perkembangan peradaban
disampaikan adalah setiap orang tidak dapat mencabut manusia. Jika terpidana mati telah dieksekusi kemudian
nyawa orang lain dan harus saling menghormati hak ditemukan novum bahwa pelaku sebenarnya bukan
asasi sesama. Hal ini mengacu pada Pasal 28 J UUD terpidana yang telah dieksekusi, maka tidak dapat
1945, dimana setiap orang wajib menghormati hak diperbaiki kembali. Efek jera yang sangat diharapkan
asasi manusia orang lain dan wajib tunduk pada tidak termanifestasi dengan menjatuhkan hukuman mati.
pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang. Kejahatan akan turun jika setiap kejahatan yang dilakukan
Kontroversi penerapan pidana mati yang berupa oleh seseorang dipastikan aparat penegak hukum
penolakan diantaranya disampaikan oleh Komisi Nasional memproses sesuai dengan peraturan yang ada. Dengan
Hak Asasi Manusia, Lembaga Perlindungan Saksi dan demikian orang akan tercegah karena adanya kepastian
Korban, dan Kontras. Pandangan tersebut karena alasan proses yang transparan sesuai dengan peraturan. Hak
kemanusiaan, dimana hak hidup adalah hak yang tidak Asasi Manusia merupakan hak yang berhubungan
dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hal ini disebutkan dengan hakekat keberadaan manusia. Penjatuhan pidana
dalam Pasal 6 ayat (1) ICCPR, Pasal 28 A, dan Pasal 28 I terhadap terpidana pelaku kejahatan harus berorientasi
UUD 1945. Di samping itu hukum pidana Indonesia pada perlindungan HAM. Model pemidanaan ini
masih bersifat diskriminatif, dimana banyak ditemukan merupakan model pemidanaan yang

E-Journal WIDYA Yustisia 112 Volume 1 Nomor 2 Maret 2015


Penjatuhan Pidana Mati di Indonesia dalam
Warih Anjari, 107 - 115 Perspektif Hak Asasi Manusia

humanistis atau pemidanaan yang berorientasi pada merupakan pengurangan sewenang-wenang atas hak
individualisasi pidana, dengan ciri-ciri sebagai berikut: hidup. Pembatasan tersebut yaitu putusan pidana mati
(1) Penerapan asas culpabilitas (tiada pidana tanpa hanya dapat dijatuhkan pada: (a) Kejahatan yang bersifat
kesalahan), (2) Adanya flesibilitas atau elastisitas serius, (b) Tidak bertentangan dengan ketentuan kejahatan
pemidanaan, (3) Modifikasi (perubahan/penyesuaian) genoside, dan (c) Diputuskan oleh pengadilan yang
pemidanaan. (Barda Nawawi Arief, 2014: 58-59). berwenang. Namun bagi negara yang telah menghapuskan
Melalui model ini, hakim dapat menerapkan pidana pidana mati tidak boleh menggunakan ketentuan tersebut
yang dianggap cocok dengan keberadaan pelaku baik sebagai dasar menerapkan pidana mati kembali, dan tidak
kejiwaan maupun kondisi fisiknya sehingga diharapkan boleh berkontribusi terhadap pelaksanaan pidana mati
adanya perubahan dari pelaku kearah yang lebih baik dengan jalan mengekstradisi terpidana ke negara yang
untuk dapat kembali ke masyarakat (resosialisasi). menerapkan pidana mati.
Implementasi hal tersebut tercermin dalam Dalam praktek di Indonesia, eksekusi mati tidaklah
Rancangan KUHP Indonesia mengenai pidana mati atau pasti walaupun putusan pidana mati telah mendapatkan
perampasan hak hidup, yaitu: (1) Pidana mati tidak keputusan hakim yang bersifat tetap (in kracht van gewisjd).
dimasukkan sebagai pidana pokok, tetapi merupakan Pelaksanaan pidana mati menunggu upaya hukum luar biasa
pidana yang bersifat khusus, dan pelaksanannya bersifat (peninjauan kembali dan grasi) yang wajib ditempuh oleh
melindungi masyarakat (defense social). (2) Penjatuhan terpidana. Data dari Kejaksaan Agung pada tahun 2014,
pidana mati tidak boleh dilakukan terhadap anak dibawah terpidana mati sebanyak 148 orang, sebanyak 76 terpidana
usia 18 tahun, (3) Pelaksanaan pidana mati bagi wanita mati masih menunggu putusan peninjauan kembali, banding,
hamil ditunda sampai dengan wanita tersebut melahirkan, kasasi dan grasi, 38 orang belum menentukan sikap, dan 5
dan (4) Pidana mati dilaksanakan setelah ada persetujuan terpidana meninggal dunia (Kompas, Minggu 30 November
atau penolakan grasi oleh presiden. 2014:2).
Kebijakan formulasi penerapan pidana mati dalam Periode untuk mengajukan sampai dengan
Konsep Rancangan KUHP tersebut menuju pada diputuskan oleh Mahkamah Agung dan Presiden cukum
trend/kecenderungan penghapusan keberadaan pidana lama. Bahkan terjadi terpidana mati menunggu hingga 20
mati. Dari mulai pembatasan, pengurangan sampai tahun untuk menjemput ajalnya melalui eksekusi mati
dengan penghapusan pidana mati. Kecenderungan ini yaitu kasus t e r p i d a n a m a t i S u m i a r s i h d a n S u
sesuai dengan penerapan pidana mati yang tercermin g e n g (www.antaranews.com diakses 26 Desember
dalam praktek negara-negara lain di dunia, mengarah 2014). Menurut Al Araf, terpidana mati mendapatkan
pada trend menghapuskan pidana mati. Ada praktek siksaan saat menunggu waktu eksekusi yang tidak pasti,
khusus yaitu di Filipina terjadi penghapusan pidana sehingga terabaikan sisi psikologis terpidana mati
mati dari hukum dan prakteknya, kemudian (Kompas, Minggu 30 November 2014:2) Penjatuhan
menerapkan kembali, dan pada tahun 2006 pidana mati yang legalitasnya disahkan oleh negara justru
menghapuskan sama sekali (Lubis & Lay,2009: 84). menyiksa terpidana. Dalam hal ini terjadi victimisasi
Dalam ketentuan internasional yaitu Pasal 6 ayat (2) sruktural yang dilakukan oleh negara yang sah terhadap
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik warganya. Sebagai bentuk perlindungan HAM terpidana,
(International Convenant on Civil and Political Amnesti Internasional memberikam masukan kepada
Rights/ICCPR), memberikan kemungkinan penerapan pemerintah Indonesia untuk tidak menerapkan pidana
pidana mati bagi negara-negara yang belum menghapus mati terhadap pelaku kejahatan di Indonesia.
pidana mati dengan pembatasan yang spesifik, walaupun (www.newsliputan6.com diakses 18 Desember 2014).
pada Pasal 6 ayat (1) menyatakan hukuman mati Pelaksanaan eksekusi pidana mati yang berlarut-

E-Journal WIDYA Yustisia 113 Volume 1 Nomor 2 Maret 2015


Penjatuhan Pidana Mati di Indonesia dalam
Warih Anjari, 107 - 115 Perspektif Hak Asasi Manusia

larut tanpa batas waktu yang strict berakibat terpidana Hal ini menjadi tugas pengadilan sebagai garda terdepan
menjalani 2 jenis pidana pokok, yaitu pidana mati dan penjatuhan pidana, agar dalam menjatuhkan pidana mati
pidana penjara waktu tentu hingga maksimum umum. harus benar-benar dapat membuktikan ada atau tidaknya
Dalam sistem hukum pidana Indonesia bertentangan kesalahan terpidana melalui proses pengadilan yang adil dan
dengan Pasal 10 KUHP yang mengatur pidana mati dan pembuktian yang faktual berdasarkan undang-undang.
pidana penjara tidak boleh dijatuhkan bersamaan.Untuk Tujuan pemidanaa integratif dalam menjatuhkan
menghindari keharusan ini pelaksanaan pidana mati yang pidana terutama pidana mati, harus memperhatikan
trendnya mengarah pada pidana khusus dan dilepas dari faktor faktor yang menyangkut HAM terpidana, dan
pidana pokok, pelaksanaannya sesegera mungkin. menjadikan pidana bersifat oprasional dan fungsional.
Ketepatan dan kecepatan eksekusi mati, agar waktu lama Oleh karena itu pendekatan multi dimensional untuk
menunggu dapat dihindari dan tidak memungkinkan dapat melihat dampak pemidanaan individual maupun
depresi yang merupakan siksaan tersendiri bagi terpidana. sosial (Muladi,2002:53). Penjatuhan pidana mati dapat
dikalkulasi terhadap dampaknya bagi perlindungan
Kriteri Penjatuhan Pidana Mati yang Tidak masyarakat (defense social) dan bagi terpidana sendiri.
Bertentangan dengan Hak Asasi Manusia Aliran modern pemidanaan menekankan pada
Penjatuhan pidana merupakan bagian yang berperan doktrin determinisme dimana manusia dianggap tidak
dalam proses pengadilan pidana. Oleh karena itu mempunyai kebebasan kehendak, tapi kehendak
pelaksanannya harus mendasarkan pada perspektif manusia dipengaruhi oleh watak dari pelaku dan motif
humanistis dan tujuan pidana integratif serta aliran dari lingkungan di luar p e l a k u . S e h i n g g a m a n
pemidanaan modern yang mengutamakan perlindungan u s i a t i d a k d a p a t dipertanggunhgkawabkan dan
masyarakat. Perspektif humanistis menekankan pada menolak pembalasan berdasarkan kesalahan subyektif .
syarat penjatuhan pidana yang meliputi perbuatan pidana Bentuk pertanggungjawaban berupa tindakan bersifat
(criminal act/ actus reus) dan pertanggungjawaban pidana perlindungan masyarakat (Muladi,2002:33).
(criminal responsibility/ mens rea). Dalam hukum pidana Mendasarkan pada konsep tersebut di atas maka
biasa disebut hukum pidana yang menekankan pada dalam menerapkan pidana mati terhadap pelaku kejahatan
perbuatan (strafbaar heid van het feit) dan hukum pidana dengan mengedepankan kriteria tindak pidana yang
yang menekankan pada orang (strafbaar heid van de dilakukan sebagai berikut: (1) Melampaui batas
person). Ada 3 hal yang menjadi titik pembicaraan dalam kemanusiaan, (2) Mencelakai dan mengancam banyak
hukum pidana yaitu tindak pidana/ criminal act, manusia, (3) Merusak generasi bangsa, (4) Merusak
pertanggungjawaban pidana/criminal responsibility, dan peradaban bangsa, (5) Merusak tatanan di muka bumi,
pengenaan pidana/punishment. Penerapan pidana dalam (6) Merugikan serta menghancurkan perekonomian negara.
perspektif humanistis harus berdasarkan pada kesalahan Jenis tindak pidana ini meliputi: narkoba, terorisme,
pelaku atau yang dikenal dengan asas culpabilitas (Barda pembunuhan berencana, penganiayaan berakibat mati
Nawawi Arief,2014:58). Asas ini menyatakan bahwa secara sadis dan kejam, dan korupsi.
Nulla Poena Sine Culpa yang artinya tiada pidana tanpa Dalam penjatuhan pidana mati harus tetap
kesalahan dari pelaku. Kesalahan dimanifestasikan dalam memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) Proses peradilan
sikap batin tindak pidana yang berupa dengan sengaja atau dilakukan dengan adil dan atas dasar pembuktian yang
dengan kealpaan. Dengan penerapan dualistis dalam faktual, (2) Kesalahan atau mental state terpidana harus
mengkaji unsur tindak pidana, maka tidak ada tempat bagi benar-benar dibuktikan di pengadilan, (3) Pengadilan yang
kedua bentuk sikap batin/mental tersebut menjadi bagian memproses merupakan pengadilan yang berwenang, (4)
inti dari tindak pidana (Chairul Huda,2006:35). Hukum yang digunakan harus hukum yang sah,

E-Journal WIDYA Yustisia 114 Volume 1 Nomor 2 Maret 2015


Penjatuhan Pidana Mati di Indonesia dalam
Warih Anjari, 107 - 115 Perspektif Hak Asasi Manusia

(5) Hukuman mati dijatuhkan secara selektif dan telah 2. Penerapan pidana mati dilakukan dengan segera untuk
berkekuatan hukum tetap, (6) Terpidana mati menghindari pidana berganda (double punish) bagi
didampingi rohaniawan sejak putusan bersifat tetap terpidana jika hak-hak terpidana telah dilaksanakan, dan
hingga menjelang eksekusi, (7) Permintaan terakhir menghindari penerapan pidana diskriminatif dengan
terpidana mati harus dapat dipenuhi oleh negara, (8) memperbaiki kinerja sistem peradilan pidana.
Eksekusi dilaksanakan setelah semua hak-hak terpidana
mati terpenuhi, (9) Eksekusi dilaksanakan seeklusif DAFTAR PUSTAKA
mungkin dan tanpa menimbulkan penderitaan Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.
terpidana, (10) Jenazah diperlakukan sebagaimana Kencana. Jakarta. 2014.
Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan
layaknya manusia tanpa mengadakan pembedaan. Hukum Pidana dalam Menanggulangi Kejahatan. Kencana.
Jakarta. 2014.
PENUTUP Chairul Huda. Dari Pidana Tanpa Kesalahan Menuju kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Kencana.
Kesimpulan Jakarta. 2006.
1. Penjatuhan pidana mati pada hakekatnya negara Komisi Hukum Nasional. Problematika Pembaruan Hukum Pidana
Nasional. KHN. Jakarta. 2013.
mengambil hak hidup warganyasehingga bertentangan
Lubis, Todung Mulya & Alexander Lay. Kontroversi Hukuman Mati.
dengan Hak Asasi Manusia. Namun dapat dibenarkan Kompas. Jakarta. 2009.
sepanjang penerapannya dengan alasan membela hak asasi Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung. 2002.
Muladi & Barda Nawawi Arief. Teori dan Kebijakan Hukum Pidana.
manusia warga negara lainnya dan secara hukum positif Alumni. Bandung. 1992.
pengaturan oleh negara menuju pada kecenderungan Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Republik
pengurangan dan pada akhirnya penghapusan sama sekali. Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana.
2. Penerapan pidana mati hanya dapat dilakukan terhadap Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tindak pidana yang melampaui batas kemanusiaan, tentang Hak Asasi Manusia.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yo 20
mengancam hidup banyak orang, merusak tata kehidupan
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
dan peradaban manusia, dan merusak perekonomian Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
negara. Tindak pidana yang dapat dijatuhi pidana mati tentang Perlindungan Anak.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
antara lain: pembunuhan berencana, terorisme, narkoba tentang Narkotika.
bagi pengedar dan bandar, dan korupsi. Republik Indonesia. Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 2-
3/PUU-V/2007.
Republik Indonesia. Rancangan Undang-Undang KUHP
Saran-saran www.hukumonline.com
1. Penjatuhan pidana mati dilaksanakan seeksklusif www.m.tempo.com
www.indosiar.com
mungkin untuk menghindari efek imitasi masyarakat www.mimbar-opini.com
dengan memperhatikan dampak psikologis terpidana. www.newsliputan6.com

E-Journal WIDYA Yustisia 115 Volume 1 Nomor 2 Maret 2015

Anda mungkin juga menyukai