PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah Negara merdeka yang memiliki system pemerintahan
Demokrasi Pancasila. Pada setiap elemen kehidupan bernegaranya, Indonesia sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai demokrasi dengan berdasarkan Pancasila. Baik dalam hubungan pemerintah
dengan rakyat, hubungan antar rakyat maupun hubungan di lingkungan pemerintahan. Secara
etimologis, demokrasi merupakan gabungan antara dua kata dari bahasa Yunani, yaitu demos yang
berarti rakyat dan cratein atau cratos yang berarti kekuasaan. Jadi,secara terminologis demokrasi
berarti kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Dengan kata lain, kedulatan rakyat mengandung
pengetian bahwa sistem kekuasaan tertinggi dalam sebuah Negara dibawah kendali rakyat1
Dalam sebuah negara bersistem pemerintahan demokrasi, pemilihan pemimpin menjadi
suatu hal yang sangat besar bagi Indonesia. Di Indonesia, demokrasi sangat memegang peranan
dalam hal ini untuk menjaga agar wewenang di setiap daerah tetap pada jalurnya sesuai yang
diinginkan oleh seluruh rakyat Indonesia agar jangan sampai menerapkan demokrasi yang
berlebihan. Dalam sebuah republik demokrasi, kontrak sosial atau perjanjian masyarakat ini
diwujudkan dalam sebuah pemilihan umum. Melalui pemilihan umum, rakyat dapat memilih siapa
yang menjadi wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang selanjutnya menentukan masa
depan sebuah negara.
Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Kesadaran akan pentingnya demokrasi
sekarang ini sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari peran rakyat Indonesia yang dalam
melaksanakan Pemilihan Umum dengan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya
yang sedikit. Pemilihan umum ini langsung dilaksanakan secara langsung pertama kali untuk
memilih presiden dan wakil presiden serta anggota MPR, DPR, DPD, DPRD di tahun 2004.
Walaupun masih terdapat masalah yang timbul ketika pelaksanaan namun dapat dikatakan sukses.
Reformasi yang terjadi di Indonesia berimplikasi pada sistem pemilihan kepala
daerah, dimana sebelum terjadinya reformasi yakni pada pemerintahan orde baru sistem
1
R.Masri Sareb Putra (ed), Etika dan Tertib Warga Negara, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010),hal.148
pemilihan kepala daerah dimana DPRD bertugas mengusulkan nama-nama calon kepala
daerah dan selanjutnya yang memilih dari nama-nama calon yang diusulkan oleh DPRD
adalah Presiden.2 Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pemilukada)
secara langsung mulai dilaksanakan pada tahun 2005. Sistem ini lahir sejak Undang-
undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah diundangkan pada tanggal 15
oktober 2004. Pemilukada langsung mengantikan pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang dilaksanakan oleh Dewan perwakilan Rakyat Daerah.
Tingkat pluralitas yang sangat tinggi dan pemilahan sosial yang saling
berkonsolidasi antara agama, etnisitas, dan kelas sosial masyarakat Indonesia akan sangat
sulit membentuk sebuah pemerintahan yang stabil yang mampu mewujudkan dirinya untuk
memberikan pelayanan dan perlindungan masyarakat.3
Hal yang sama juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan demokrasi yang
ada di Indonesia. Sengketa terkait dengan pemilukada sudah menjadi konsumsi public
dalam pemberitaan berbagai media. Sengketa pada hakikatnya terjadi terjadi karena adanya
benturan kepentingan. Oleh karena itu seiring dengan perkembangan masyarakat muncul
hukum yang berusaha untuk meminimalisir berbagai benturan kepentingan dalam
masyarakat. Beberapa abad yang lalu seorang ahli filsafat yang bernama Cicero
mengatakan, Ubi Societas Ibi Ius , artinya, dimana ada masyarakat maka di situ ada
hukum. Pernyataan ini sangat tepat sekali karena adanya hukum itu adalah berfungsi
sebagai kaidah atau norma dalam masyarakat. Kaidah atau norma itu adalah patokan-
patokan mengenai perilaku yang dianggap pantas.
Penyelengaraan Pemilihan Kepala Daerah seringkali menimbulkan sengketa baik
sengketa yang bersifat administratif atau sengketa proses dan sengketa hasil. Penyelesaian
sengketa administratif menjadi kewenangan peradilan tata usaha negara sesuai dengan
surat edaran mahkamah agung Nomor 7 tahun 2010 tentang petunjuk teknis penyelesaian
sengketa pemilihan kepala daerah yang membagi jenis sengketa pilkada menjadi dua yaitu:
sengketa administrasi yang menjadi kewenangan peratun dan sengketa hasil menjadi
kewenangan mahkamah konstitusi.
2
Koirudin, Kebijakan Desentralisasi di Indonesia: Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian Daerah,
Averoes, Malang: 2005, hlm. 75
3
Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 353
Ketika penyelenggaraan pemilu dilaksanakan oleh sebuah lembaga negara, maka
kegiatan penyelenggaraan Pemilu oleh komisi pemilihan umum tersebut mengandung
kegiatan atau tindakan administrasi negara. Terkait dengan masalah administrasi negara,
di dalam pelaksanaan kegiatan atau aktivitas penyelenggaraan Pemilu, terdapat pengaturan
mengenai pelanggaran administrasi dan sengketa tata usaha Negara.4
Berdasarkan data yang diperoleh Bawaslu, jenis pelanggaran administrasi
menempati urutan teratas jumlah pelanggaran yang sering terjadi pada setiap tahunnya.
Pada tahun 2012, terdapat 211 kasus pelanggaran administrasi yang diteruskan ke KPU,
sedangkan tahun sebelumnya jumlah pelanggaran administrasi mencapai 565 kasus.
Bentuk pelanggaran administrasi yang seringkali terjadi di antaranya adalah Daftar Pemilih
Sementara (DPS) tidak diumumkan, Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tidak akurat,
ketidaksesuaian berkas syarat pencalonan, kesalahan dalam pemasangan alat peraga
kampanye, dan surat undangan pemilih yang tidak dibagi.5
Munculnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor. 07 Tahun 2010
memicu dinamika dalam berperkara di PTUN. Beberapa PTUN kemudian mengalami
lonjakan jumlah perkara mengingat pelaksanaan Pemilukada di daerah berlangsung secara
intens. Dalam tahapan pemilukada itulah muncul persoalan-persoalan hukum, termasuk
persoalan hukum administratif terkait terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
oleh KPUD. Dalam pengamatan penulis, tahapan yang paling dominan menjadi obyek
gugatan di PTUN dalam perkara Pemilukada 2010 adalah Tahapan Verifikasi Bakal Calon
menjadi Calon Tetap.6
Keberadaan pasal 2 huruf g Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU
PTUN) masih sering memicu munculnya berbagai macam penafsiran. Pasal ini
merumuskan Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut
Undang-Undang ini adalah: Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di
daerah mengenai hasil pemilihan umum.
4
Novianto Hantoro, Pelanggaran Administrasi Pemilu Dan Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu Anggota Dpr, Dpd,
Dan Dprd Tahun 2014, Jurnal Negara Hukum, Vol. 5 No. 2, 2014, hlm 108.
5
Muhammad, Menilik Kesiapan Bawaslu dalam Menangani Pelanggaran dan Sengketa Pemilu 2014, Jurnal Pemilu
dan Demokrasi yang diterbitkan oleh Yayasan Perludem No. 6 Tahun 2013, hal. 8.
6
Priyan Affandi, Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Sengketa Pemilihan Kepala Daerah Yang
Bersifat Administratif, Fakultas Hukum Universitas Lampung, 2017, hlm.2
Sebab, apabila harus dibedakan kewenangan lembaga-lembaga pengadilan yang
berhak memutusnya, padahal dilakukan terhadap produk keputusan atau penetapan yang
diterbitkan oleh badan yang sama, yaitu KPUD dan terkait dengan peristiwa hukum yang
sama pula, yaitu perihal pemilihan umum, maka perbedaan kewenangan tersebut akan
dapat menimbulkan inkonsistensi putusan pengadilan.
Oleh karena permasalahan tersebut diatas, maka penulis akan menjelaskannya
dalam makalah yang berjudul Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara Dalam
Penanganan Sengketa Pemilukada
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana wewenang PTUN dalam sengketa pemilukada?
2. Bagaimana pnyelesaian sengketa pemilukada?
Tinjauan Pustaka
Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum
administrasi. Begitu pentingnya kedudukan kewenangan ini sehingga F.A.M Sroink J.G Steenbeek
menyebutkan sebagai konsep inti dalam kedudukan tata Negara dan hukum administrasi.7 Menurut
Bagir Manan wewenang dalam bahasan hukum tidak sama dengan kekuasaaan (macht).
Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Dalam
hukum, kewenangan sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechteen en plichten). Dalam kaitan
otonomi daerah hak mengandung pengertian kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan
sebagaimana mestinya8
1. Sebagai aparatur negara, aparatur pemerintahan, atau instansi politik (kenegaraan) artinya
meliputi organ yang berada di bawah pemerintah, mulai dari presiden, menteri, termasuk gubernur,
bupati/walikota (semua organ yang menjalankan administrasi negara).
2. Sebagai fungsi atau sebagai aktivitas, yakni sebagai kegiatan mengurus kepentingan negara
7
Ridwan HR,Hukum Administrasi Negara.UII Press,Yogyakarta: 2002
8
Grace, Kewengangan Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum Kepala
Daerah, Jom Fakultas Hukum Volume 1 No. 2 Oktober 2014, hal 3
9
Murtir Jeddawi, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Total Media, 2012, hal. 7.
10
C.S.T. Kansil, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, cetakan ke-2, Jakarta: Ghalia, 1985, hal. 2.
3. Sebagai proses teknis penyelenggaraan undang-undang, artinya meliputi segala tindakan
aparatur negara dalam menjalankan undang-undang.
Hukum administrasi negara merupakan bagian operasional dan pengkhususan teknis dari
hukum tata negara, atau hukum konstitusi negara atau hukum politik negara. Hukum administrasi
negara sebagai hukum operasional negara di dalam menghadapi masyarakat serta penyelesaian
pada kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat tersebut. Hukum Administrasi Negara diartikan juga
sebagai sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara administrasi Negara dengan warga
masyarakat, dimana administrasi Negara diberi wewenang untuk melakukan tindakan hukumnya
sebagai implementasi dari policy suatu pemerintahan.
Sebagai pelaksana dan penyelenggara dari tujuan negara, maka fungsi administrasi Negara
juga sebagai fungsi hukum, yaitu:11
penyelenggaraan undang-undang.
2. Pembinaan masyarakat, yang berarti penggunaan kekuasaan terhadap orang/ masyarakat dalam
rangka menjalankan dan mencapai apa yang menjadi fungsi, kewajiban, dan tujuan negara;
3. Kepolisian, berarti Penegakan hukum secara langsung, yaitu pengawasan dan pemeliharaan
ketertiban dan keamanan terhadap pelaksanaan hukum, dengan cara bertindak langsung terhadap
pelanggar undang-undang.
Berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Tata Usaha Negara
adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan pemerintahan,
baik di pusat maupun di daerah. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-undang yang
sama, sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara
antaraorang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat
11
Wiratno, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Universitas Trisakti, 2013, hal. 81.
maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Keputusan Tata Usaha
Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Berdasarkan pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. Tidak termasuk dalam keputusan tata usaha Negara dalam undang-undang adalah:
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-
undangan lain yang bersifat hukum pidana;
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaanbadan peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan
umum.
Ada beberapa 4 hal tujuan pemilihan umum, yaitu:12
2. Untuk memungkinkan terjadinya penggantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat
dilembaga perwakilan;
3. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan
4. Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.
12
Asshiddiqie, jimly, 2009, Pengantar ilmu hukum tata negara, Konstitusi Press, jakarta, Hal. 417
BAB 2
PEMBAHASAN
13
M. Nasir . Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Djambatan, Jakarta, 2003. Hlm. 27
Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.14 Menurut Toerbechke berkaitan dengan masalah kompetensi peradilan tata usaha
negara, bilamana pokok sengketa (fundamentum petendi) terletak dilapangan hukum public yang
berwenang memutuskanya adalah hakim administrasi.
Sedangkan menurut buys, ukuran yang digunakan untuk menentukan kewenangan
mengadili hakim administrasi Negara ialah pokok dalam perselisihan (objektum litis). Bilamana
yang bersangkutan dirugikan dalam hak privatnya dan oleh karena itu meminta ganti kerugian,
jadi, objektum litis adalah suatu hak privat maka perkara yang harus diselesaikan oleh hukum
biasa.15 Kompetensi sebagaimana dikemukakan oleh buys ini lebih sempit dibandingkan
kompetensi torbechke. Menurut buys walaupun pokok dalam perselisihanya (objektum litis)
terletak dilapangan hukum public, bila yang dirugikan adalah hak privat sehingga perlu meminta
ganti rugi, maka yang berwenang mengadili adalah hakim biasa atau peradilan umum.16
14
W. riawan tjandra, hukum acara peradilan tata usaha Negara, universitas atmajaya, Yogyakarta, 1999. Hlm. 32
15
E. Utrecht, pengantar hukum administrasi republic Indonesia. Pustaka tinta mas, Surabaya, 1986, Hlm. 252-253
16
Rojali Abdullah, hukum acara peradilan tata usaha Negara, rajawali pers, Jakarta, 1992, hal. 20
4. Badan peradilan umum. Sengketa ini di putus oleh peradilan umum termasuk gugatan ganti rugi
berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata yakni mengenai perbuatan melawan hukum oleh pejabat
pemerintah/penguasa (onrechtmatige overheid daad).
5. Badan arbitrasi seperti Badan Arbitrase Nasional indonesia (BANI)
6. Badan teknis atau panitia teknis atau panitia ad hoc atau panitia khusus yang dibentuk
departemen atau instansi lain.
Upaya administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN) merupakan bagian dari suatu sistem peradilan administrasi. Upaya administratif
tersebut ialah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata apabila
ia tidak puas terhadap keputusan TUN yang dilaksanakan di lingkunagan pemerintahan itu sendiri.
Upaya administraif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 05 tahun 1986 terdiri atas
dua macam prosedur:
a. Banding Administratif
Ialah penyelesaian sengketa TUN secara administratif yang dilakukan oleh instansi atasan atau
instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang berangkutan. Banding administratif
dilakukan dengan prosedur pengajuan surat banding administratif yang ditujukan pada atasan
pejabat atau instansi lain dan badan/pejabat tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan yang
berwenang memeriksa ulang KTUN yang disengketakan (SEMA No.2 tahun 1991 tanggal 9 juli
1991).
b. Keberatan
Ialah penyelesaian sengketa TUN secara administratif yang dilakukan sendiri oleh badan/pejabat
TUN yang mengeluarkan keputusan itu. Keberatan dilakukan dengan prosedur pengajuan surat
keberatan yang ditujukan kepada badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan keputuan semula.17
17
W.Riawan Tjandra, Op. Cit, hlm..38-39.
Dengan adanya ketentuan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di atas, maka
proses pemeriksaan perkara di PTUN harus ditunda dalam waktu yang cukup lama karena
menunggu putusan pidananya inkracht. Hal ini tentunya akan menjadi kendala jika gugatan TUN
tersebut berkaitan dengan pemilukada, karena akan berdampak pada berlarut-larutnya proses
penyelenggaraan dan hasil akhir dari pemilukada itu sendiri
18
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya, PT. Bina Ilmu, Hal 3-4
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengadilan Tata Usaha Negara memiliki 2 kompetensi yaitu Absolute dan Relative.
Kompetensi absolute suatu badan pengadilan adalah kewenangan yang berkaitan untuk
mengadili suatu perkara menurut objek atau pokok sengketa, sedangkan komoeensi relativenya
adalah diatur dalam pasal 6 undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang peradlan TUN
sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No. 9 tahun 2004 dan undang-undang No. 51
tahun 2009 menyatakan:
a. Pengadilan tata usaha Negara berkedudukan diibukota kabupaten/kota, dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kabupaten/kota.
b. Pengadilan tinggi tata usaha Negara berkedudukan diibukota provinsi dan daerah hukumnya
meliputi wilayah provinsi.
Yang menjadi obyek sengketa di pengadilan tata usaha Negara adalah keputusan tata
usaha Negara (beschikking) yang diterbitkan badan atau pejabat TUN. Sedangkan perbuatan
badan/pejabat TUN lainnya baik materiil maupun penerbitan peraturan (regeling) masing-masing
merupakan kewenangan peradilan umum dan Mahkamah Agung kompetensi absoliute
pengadilan TUN diatur dalam pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
perubahan kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang peradilan
Ukuran yang digunakan untuk menentukan kewenangan mengadili hakim administrasi
Negara ialah pokok dalam perselisihan (objektum litis). Bilamana yang bersangkutan dirugikan
dalam hak privatnya dan oleh karena itu meminta ganti kerugian, jadi, objektum litis adalah
suatu hak privat maka perkara yang harus diselesaikan oleh hukum biasa. Kompetensi
sebagaimana dikemukakan oleh buys ini lebih sempit dibandingkan kompetensi torbechke.
Menurut buys walaupun pokok dalam perselisihanya (objektum litis) terletak dilapangan hukum
public, bila yang dirugikan adalah hak privat sehingga perlu meminta ganti rugi, maka yang
berwenang mengadili adalah hakim biasa atau peradilan umum
B. Saran
Seharusnya terdapat peraturan khusus mengenai pemilihan umum yang secara
gamblang dan jelas menerangkan lembaga mana saja yang menjadi kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa pemilihan umum. Terdapat pembagian dan pemisahan secara jelas
sengketa apa yang menjadi Peradilan Tata Usaha Negara agar tidak terdapat perbedaan persepsi
oleh penegak hukum dan tidak terjadi dualism. Sebab, apabila dualism terjadi antara kewenangan
lembaga-lembaga pengadilan yang berhak memutusnya, padahal dilakukan terhadap produk
keputusan atau penetapan yang diterbitkan oleh badan yang sama, yaitu KPUD dan terkait
dengan peristiwa hukum yang sama pula, yaitu perihal pemilihan umum, maka perbedaan
kewenangan tersebut akan dapat menimbulkan inkonsistensi putusan pengadilan.
Daftar Pustaka
Buku-Buku:
1. Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
2. Asshiddiqie, jimly, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Konstitusi Press, Jakarta,
3. C.S.T. Kansil, 1985, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, cetakan ke-2, Jakarta: Ghalia,
4. E. Utrecht, 1986, Pengantar Hukum Administrasi Republic Indonesia. Pustaka tinta mas,
Surabaya
5. Koirudin, 2005, Kebijakan Desentralisasi di Indonesia: Format Masa Depan Otonomi
Menuju Kemandirian Daerah, Averoes, Malang
6. M. Nasir . 2003, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Djambatan, Jakarta.
7. Murtir Jeddawi, 2012, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Total Media.
8. Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya, PT.
Bina Ilmu,
9. R.Masri Sareb Putra (ed), 2010, Etika dan Tertib Warga Negara, Jakarta: Salemba
Humanika,
10. Ridwan HR,2002, Hukum Administrasi Negara.UII Press,Yogyakarta.
11. Rojali Abdullah, 1992, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, rajawali pers,
Jakarta.
12. W. riawan tjandra, 1999, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, universitas
atmajaya, Yogyakarta.
13. Wiratno, 2013, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Universitas Trisakti
Jurnal:
Peraturan Perundang-undangan