Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah Negara merdeka yang memiliki system pemerintahan
Demokrasi Pancasila. Pada setiap elemen kehidupan bernegaranya, Indonesia sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai demokrasi dengan berdasarkan Pancasila. Baik dalam hubungan pemerintah
dengan rakyat, hubungan antar rakyat maupun hubungan di lingkungan pemerintahan. Secara
etimologis, demokrasi merupakan gabungan antara dua kata dari bahasa Yunani, yaitu demos yang
berarti rakyat dan cratein atau cratos yang berarti kekuasaan. Jadi,secara terminologis demokrasi
berarti kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Dengan kata lain, kedulatan rakyat mengandung
pengetian bahwa sistem kekuasaan tertinggi dalam sebuah Negara dibawah kendali rakyat1
Dalam sebuah negara bersistem pemerintahan demokrasi, pemilihan pemimpin menjadi
suatu hal yang sangat besar bagi Indonesia. Di Indonesia, demokrasi sangat memegang peranan
dalam hal ini untuk menjaga agar wewenang di setiap daerah tetap pada jalurnya sesuai yang
diinginkan oleh seluruh rakyat Indonesia agar jangan sampai menerapkan demokrasi yang
berlebihan. Dalam sebuah republik demokrasi, kontrak sosial atau perjanjian masyarakat ini
diwujudkan dalam sebuah pemilihan umum. Melalui pemilihan umum, rakyat dapat memilih siapa
yang menjadi wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang selanjutnya menentukan masa
depan sebuah negara.
Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Kesadaran akan pentingnya demokrasi
sekarang ini sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari peran rakyat Indonesia yang dalam
melaksanakan Pemilihan Umum dengan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya
yang sedikit. Pemilihan umum ini langsung dilaksanakan secara langsung pertama kali untuk
memilih presiden dan wakil presiden serta anggota MPR, DPR, DPD, DPRD di tahun 2004.
Walaupun masih terdapat masalah yang timbul ketika pelaksanaan namun dapat dikatakan sukses.
Reformasi yang terjadi di Indonesia berimplikasi pada sistem pemilihan kepala
daerah, dimana sebelum terjadinya reformasi yakni pada pemerintahan orde baru sistem

1
R.Masri Sareb Putra (ed), Etika dan Tertib Warga Negara, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010),hal.148
pemilihan kepala daerah dimana DPRD bertugas mengusulkan nama-nama calon kepala
daerah dan selanjutnya yang memilih dari nama-nama calon yang diusulkan oleh DPRD
adalah Presiden.2 Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pemilukada)
secara langsung mulai dilaksanakan pada tahun 2005. Sistem ini lahir sejak Undang-
undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah diundangkan pada tanggal 15
oktober 2004. Pemilukada langsung mengantikan pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang dilaksanakan oleh Dewan perwakilan Rakyat Daerah.
Tingkat pluralitas yang sangat tinggi dan pemilahan sosial yang saling
berkonsolidasi antara agama, etnisitas, dan kelas sosial masyarakat Indonesia akan sangat
sulit membentuk sebuah pemerintahan yang stabil yang mampu mewujudkan dirinya untuk
memberikan pelayanan dan perlindungan masyarakat.3
Hal yang sama juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan demokrasi yang
ada di Indonesia. Sengketa terkait dengan pemilukada sudah menjadi konsumsi public
dalam pemberitaan berbagai media. Sengketa pada hakikatnya terjadi terjadi karena adanya
benturan kepentingan. Oleh karena itu seiring dengan perkembangan masyarakat muncul
hukum yang berusaha untuk meminimalisir berbagai benturan kepentingan dalam
masyarakat. Beberapa abad yang lalu seorang ahli filsafat yang bernama Cicero
mengatakan, Ubi Societas Ibi Ius , artinya, dimana ada masyarakat maka di situ ada
hukum. Pernyataan ini sangat tepat sekali karena adanya hukum itu adalah berfungsi
sebagai kaidah atau norma dalam masyarakat. Kaidah atau norma itu adalah patokan-
patokan mengenai perilaku yang dianggap pantas.
Penyelengaraan Pemilihan Kepala Daerah seringkali menimbulkan sengketa baik
sengketa yang bersifat administratif atau sengketa proses dan sengketa hasil. Penyelesaian
sengketa administratif menjadi kewenangan peradilan tata usaha negara sesuai dengan
surat edaran mahkamah agung Nomor 7 tahun 2010 tentang petunjuk teknis penyelesaian
sengketa pemilihan kepala daerah yang membagi jenis sengketa pilkada menjadi dua yaitu:
sengketa administrasi yang menjadi kewenangan peratun dan sengketa hasil menjadi
kewenangan mahkamah konstitusi.

2
Koirudin, Kebijakan Desentralisasi di Indonesia: Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian Daerah,
Averoes, Malang: 2005, hlm. 75
3
Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 353
Ketika penyelenggaraan pemilu dilaksanakan oleh sebuah lembaga negara, maka
kegiatan penyelenggaraan Pemilu oleh komisi pemilihan umum tersebut mengandung
kegiatan atau tindakan administrasi negara. Terkait dengan masalah administrasi negara,
di dalam pelaksanaan kegiatan atau aktivitas penyelenggaraan Pemilu, terdapat pengaturan
mengenai pelanggaran administrasi dan sengketa tata usaha Negara.4
Berdasarkan data yang diperoleh Bawaslu, jenis pelanggaran administrasi
menempati urutan teratas jumlah pelanggaran yang sering terjadi pada setiap tahunnya.
Pada tahun 2012, terdapat 211 kasus pelanggaran administrasi yang diteruskan ke KPU,
sedangkan tahun sebelumnya jumlah pelanggaran administrasi mencapai 565 kasus.
Bentuk pelanggaran administrasi yang seringkali terjadi di antaranya adalah Daftar Pemilih
Sementara (DPS) tidak diumumkan, Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tidak akurat,
ketidaksesuaian berkas syarat pencalonan, kesalahan dalam pemasangan alat peraga
kampanye, dan surat undangan pemilih yang tidak dibagi.5
Munculnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor. 07 Tahun 2010
memicu dinamika dalam berperkara di PTUN. Beberapa PTUN kemudian mengalami
lonjakan jumlah perkara mengingat pelaksanaan Pemilukada di daerah berlangsung secara
intens. Dalam tahapan pemilukada itulah muncul persoalan-persoalan hukum, termasuk
persoalan hukum administratif terkait terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
oleh KPUD. Dalam pengamatan penulis, tahapan yang paling dominan menjadi obyek
gugatan di PTUN dalam perkara Pemilukada 2010 adalah Tahapan Verifikasi Bakal Calon
menjadi Calon Tetap.6
Keberadaan pasal 2 huruf g Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU
PTUN) masih sering memicu munculnya berbagai macam penafsiran. Pasal ini
merumuskan Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut
Undang-Undang ini adalah: Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di
daerah mengenai hasil pemilihan umum.

4
Novianto Hantoro, Pelanggaran Administrasi Pemilu Dan Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu Anggota Dpr, Dpd,
Dan Dprd Tahun 2014, Jurnal Negara Hukum, Vol. 5 No. 2, 2014, hlm 108.
5
Muhammad, Menilik Kesiapan Bawaslu dalam Menangani Pelanggaran dan Sengketa Pemilu 2014, Jurnal Pemilu
dan Demokrasi yang diterbitkan oleh Yayasan Perludem No. 6 Tahun 2013, hal. 8.
6
Priyan Affandi, Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Sengketa Pemilihan Kepala Daerah Yang
Bersifat Administratif, Fakultas Hukum Universitas Lampung, 2017, hlm.2
Sebab, apabila harus dibedakan kewenangan lembaga-lembaga pengadilan yang
berhak memutusnya, padahal dilakukan terhadap produk keputusan atau penetapan yang
diterbitkan oleh badan yang sama, yaitu KPUD dan terkait dengan peristiwa hukum yang
sama pula, yaitu perihal pemilihan umum, maka perbedaan kewenangan tersebut akan
dapat menimbulkan inkonsistensi putusan pengadilan.
Oleh karena permasalahan tersebut diatas, maka penulis akan menjelaskannya
dalam makalah yang berjudul Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara Dalam
Penanganan Sengketa Pemilukada

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana wewenang PTUN dalam sengketa pemilukada?
2. Bagaimana pnyelesaian sengketa pemilukada?
Tinjauan Pustaka

Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum
administrasi. Begitu pentingnya kedudukan kewenangan ini sehingga F.A.M Sroink J.G Steenbeek
menyebutkan sebagai konsep inti dalam kedudukan tata Negara dan hukum administrasi.7 Menurut
Bagir Manan wewenang dalam bahasan hukum tidak sama dengan kekuasaaan (macht).
Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Dalam
hukum, kewenangan sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechteen en plichten). Dalam kaitan
otonomi daerah hak mengandung pengertian kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan
sebagaimana mestinya8

Sedangkan pengertian mengenai Hukum Administrasi Negara adalah sebagai berikut.


Hukum Administrasi Negara mengatur empat hal9, yaitu:

1. organisasi atau institusi;

2. bagaimana mengisi jabatan-jabatan dalam organisasi tersebut,

3. bagaimana berlangsungnya kegiatan atau pelaksanaan tugas dari jabatan-jabatan tersebut;

4. bagaimana pemberian pelayanan dari aparatur pemerintahan kepada masyarakat.

C.S.T. Kansil mengemukakan arti Administrasi Negara sebagai berikut:10

1. Sebagai aparatur negara, aparatur pemerintahan, atau instansi politik (kenegaraan) artinya
meliputi organ yang berada di bawah pemerintah, mulai dari presiden, menteri, termasuk gubernur,
bupati/walikota (semua organ yang menjalankan administrasi negara).

2. Sebagai fungsi atau sebagai aktivitas, yakni sebagai kegiatan mengurus kepentingan negara

7
Ridwan HR,Hukum Administrasi Negara.UII Press,Yogyakarta: 2002
8
Grace, Kewengangan Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum Kepala
Daerah, Jom Fakultas Hukum Volume 1 No. 2 Oktober 2014, hal 3
9
Murtir Jeddawi, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Total Media, 2012, hal. 7.
10
C.S.T. Kansil, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, cetakan ke-2, Jakarta: Ghalia, 1985, hal. 2.
3. Sebagai proses teknis penyelenggaraan undang-undang, artinya meliputi segala tindakan
aparatur negara dalam menjalankan undang-undang.

Hukum administrasi negara merupakan bagian operasional dan pengkhususan teknis dari
hukum tata negara, atau hukum konstitusi negara atau hukum politik negara. Hukum administrasi
negara sebagai hukum operasional negara di dalam menghadapi masyarakat serta penyelesaian
pada kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat tersebut. Hukum Administrasi Negara diartikan juga
sebagai sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara administrasi Negara dengan warga
masyarakat, dimana administrasi Negara diberi wewenang untuk melakukan tindakan hukumnya
sebagai implementasi dari policy suatu pemerintahan.

Sebagai pelaksana dan penyelenggara dari tujuan negara, maka fungsi administrasi Negara
juga sebagai fungsi hukum, yaitu:11

1. Pengaturan (regeling) yang berarti menetapkan peraturan-peraturan pelaksanaan/

penyelenggaraan undang-undang.

2. Pembinaan masyarakat, yang berarti penggunaan kekuasaan terhadap orang/ masyarakat dalam
rangka menjalankan dan mencapai apa yang menjadi fungsi, kewajiban, dan tujuan negara;

3. Kepolisian, berarti Penegakan hukum secara langsung, yaitu pengawasan dan pemeliharaan
ketertiban dan keamanan terhadap pelaksanaan hukum, dengan cara bertindak langsung terhadap
pelanggar undang-undang.

4. Penyelesaian persengketaan (rechtspleging), berarti penyelesaian perkara-perkara/sengketa


yang tidak dapat diselesaikan oleh peradilan

Berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Tata Usaha Negara
adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan pemerintahan,
baik di pusat maupun di daerah. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-undang yang
sama, sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara
antaraorang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat

11
Wiratno, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Universitas Trisakti, 2013, hal. 81.
maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Keputusan Tata Usaha
Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Berdasarkan pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. Tidak termasuk dalam keputusan tata usaha Negara dalam undang-undang adalah:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;

2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;

3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;

4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-
undangan lain yang bersifat hukum pidana;

5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaanbadan peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;

7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan
umum.
Ada beberapa 4 hal tujuan pemilihan umum, yaitu:12

1. Untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan


damai;

2. Untuk memungkinkan terjadinya penggantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat
dilembaga perwakilan;
3. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan
4. Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.

12
Asshiddiqie, jimly, 2009, Pengantar ilmu hukum tata negara, Konstitusi Press, jakarta, Hal. 417
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Wewenang PTUN Dalam Sengketa Pemilukada


Peradilan Tata Usaha Negara memiliki kompetensi relative yaitu:
Suatu badan pengadilan ditentuan oleh batas daerah hukum yang menjadi kewenanganya. Suatu
badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak
sedang bersengketa (pengugat/tergugat) berkediaman disuatu daerah hukum yang menjadi wilayah
hukum pengadilan itu. Untuk pengadilan tata usaha, kompetensi relatifnya diatur dalam pasal 6
undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang peradlan TUN sebagaimana telah diubah dengan
undang-undang No. 9 tahun 2004 dan undang-undang No. 51 tahun 2009 menyatakan:
a. Pengadilan tata usaha Negara berkedudukan diibukota kabupaten/kota, dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kabupaten/kota.
b. Pengadilan tinggi tata usaha Negara berkedudukan diibukota provinsi dan daerah hukumnya
meliputi wilayah provinsi.
Sedangkan untuk kompetensi absolute PTUN adalah:13
Kompetensi absolute suatu badan pengadilan adalah kewenangan yang berkaitan untuk mengadili
suatu perkara menurut objek atau pokok sengketa. Adapun yang menjadi obyek sengketa di
pengadilan tata usaha Negara adalah keputusan tata usaha Negara (beschikking) yang diterbitkan
badan atau pejabat TUN sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor
51 tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986.
Sedangkan perbuatan badan/pejabat TUN lainnya baik materiil maupun penerbitan
peraturan (regeling) masing-masing merupakan kewenangan peradilan umum dan Mahkamah
Agung kompetensi absoliute pengadilan TUN diatur dalam pasal 1 angka 10 Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang
peradilan yang menyebutkan : sengketa tata usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam
bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau pejabat tata
usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha

13
M. Nasir . Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Djambatan, Jakarta, 2003. Hlm. 27
Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.14 Menurut Toerbechke berkaitan dengan masalah kompetensi peradilan tata usaha
negara, bilamana pokok sengketa (fundamentum petendi) terletak dilapangan hukum public yang
berwenang memutuskanya adalah hakim administrasi.
Sedangkan menurut buys, ukuran yang digunakan untuk menentukan kewenangan
mengadili hakim administrasi Negara ialah pokok dalam perselisihan (objektum litis). Bilamana
yang bersangkutan dirugikan dalam hak privatnya dan oleh karena itu meminta ganti kerugian,
jadi, objektum litis adalah suatu hak privat maka perkara yang harus diselesaikan oleh hukum
biasa.15 Kompetensi sebagaimana dikemukakan oleh buys ini lebih sempit dibandingkan
kompetensi torbechke. Menurut buys walaupun pokok dalam perselisihanya (objektum litis)
terletak dilapangan hukum public, bila yang dirugikan adalah hak privat sehingga perlu meminta
ganti rugi, maka yang berwenang mengadili adalah hakim biasa atau peradilan umum.16

B. Penyelesaian Sengketa Pemilukada


Dalam rangka penyelesaian sengketa administrasi, terdapat beberapa lembaga
penyelesaian sengketa yang digunakan, yakni sebagai berikut:27
1. Pengaduan (administratief beroep), yakni penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam
lingkungan administrasi sendiri. Pengajuan sengketa ditujukan kepada atasan atau instansi
yang lebih tinggi.
2. Badan peradilan semu (Quasi), yakni penyelesaian sengketa dalam lingkungan administrasi
dengan menggunakan tata cara seperti badan peradilan. Kegiatan peradilannya dilakukan oleh
badan, dewan, komisi atau panitia. Cara kerjanya hamper sama dengan peradilan umum tetapi
keputusannya masih bisa dibatalkan oleh menteri yang bersangkutan.
3. Badan peradilan administrasi,yakni penyelesaian sengketa melalui badan peradilan dengan
anggota badan berkedudukan sebagai hakim. Putusan pengadilan tidak bisa dibatalkan atau
dipengaruhi oleh menteri atau kelembagaan lain. Peradilan administrasi ini bisa dibentuk dan
melekat di badan/kelembagaan terkait atau terpisah sebagai peradilan administrasi seperti
Pengadilan Tata Usaha Negara.

14
W. riawan tjandra, hukum acara peradilan tata usaha Negara, universitas atmajaya, Yogyakarta, 1999. Hlm. 32
15
E. Utrecht, pengantar hukum administrasi republic Indonesia. Pustaka tinta mas, Surabaya, 1986, Hlm. 252-253
16
Rojali Abdullah, hukum acara peradilan tata usaha Negara, rajawali pers, Jakarta, 1992, hal. 20
4. Badan peradilan umum. Sengketa ini di putus oleh peradilan umum termasuk gugatan ganti rugi
berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata yakni mengenai perbuatan melawan hukum oleh pejabat
pemerintah/penguasa (onrechtmatige overheid daad).
5. Badan arbitrasi seperti Badan Arbitrase Nasional indonesia (BANI)
6. Badan teknis atau panitia teknis atau panitia ad hoc atau panitia khusus yang dibentuk
departemen atau instansi lain.

Penyelesaian Sengketa Melalui Upaya Administratif

Upaya administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN) merupakan bagian dari suatu sistem peradilan administrasi. Upaya administratif
tersebut ialah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata apabila
ia tidak puas terhadap keputusan TUN yang dilaksanakan di lingkunagan pemerintahan itu sendiri.
Upaya administraif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 05 tahun 1986 terdiri atas
dua macam prosedur:

a. Banding Administratif

Ialah penyelesaian sengketa TUN secara administratif yang dilakukan oleh instansi atasan atau
instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang berangkutan. Banding administratif
dilakukan dengan prosedur pengajuan surat banding administratif yang ditujukan pada atasan
pejabat atau instansi lain dan badan/pejabat tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan yang
berwenang memeriksa ulang KTUN yang disengketakan (SEMA No.2 tahun 1991 tanggal 9 juli
1991).

b. Keberatan

Ialah penyelesaian sengketa TUN secara administratif yang dilakukan sendiri oleh badan/pejabat
TUN yang mengeluarkan keputusan itu. Keberatan dilakukan dengan prosedur pengajuan surat
keberatan yang ditujukan kepada badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan keputuan semula.17

17
W.Riawan Tjandra, Op. Cit, hlm..38-39.
Dengan adanya ketentuan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di atas, maka
proses pemeriksaan perkara di PTUN harus ditunda dalam waktu yang cukup lama karena
menunggu putusan pidananya inkracht. Hal ini tentunya akan menjadi kendala jika gugatan TUN
tersebut berkaitan dengan pemilukada, karena akan berdampak pada berlarut-larutnya proses
penyelenggaraan dan hasil akhir dari pemilukada itu sendiri

Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara


Mekanisme Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Berdasarkan Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor
51 Tahun 2009. Berkaitan dengan mekanisme eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara,
dalam bagian ini akan dikemukakan mekanisme eksekusi putusan berdasarkan phase sebelum
berlakunya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 yaitu ketentuan yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986, phase setelah berlakunya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004
dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

1) Eksekusi Berdasarkan Ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.


Ketentuan eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Undang-undang Nomor
5 Tahun 1986 diatur pada Bagian Kelima mengenai Pelaksanaan Putusan Pengadilan dalam
Pasal 115 sampai dengan Pasal 119. Pasal 115 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
menentukan bahwa Hanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap yang dapat dilaksanakan.
Adapun mekanisme eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara menurut ketentuan
diatur dalam Pasal 116 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, isi selengkapnya adalah:
a. Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada
para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan
yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari.
b. Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan tergugat tidak melaksanakan
kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata
Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
c. Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut
tidak dilaksanakannya, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan
putusan Pengadilan tersebut.
d. Jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, Ketua Pengadilan mengajukan Hal ini
kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan.
e. Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu 2 (dua) bulan setelah
menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
f. Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak mengindahkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada
Presiden sebagaimana pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat
tersebut melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dikenal ada 2 (dua) jenis eksekusi
putusan, yaitu: eksekusi putusan yang berisi kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam
ketentuan Pasal 97 ayat (9) Sub a, yakni (a) Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang
bersangkutan, dan eksekusi putusan yang berisi kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 97 ayat (9) Sub b dan c Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yakni (b) pencabutan
Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara
yang baru, atau (c) penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada
Pasal 3. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang berisi kewajiban Pencabutan Keputusan Tata
Usaha Negara kepada Tergugat, maka diterapkanlah eksekusi putusan menurut ketentuan Pasal
116 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yaitu 4 (empat) bulan setelah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116
ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, maka Keputusan Tata Usaha
Negara yang disengketakan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Philipus M. Hadjon
menyebut mekanisme eksekusi ini sebagai eksekusi otomatis. Dikatakan otomatis oleh karena
apabila dikaitkan dengan prinsip keabsahan (rechtmatigheid) tindakan Pemerintah, dalam hal ini
Keputusan Tata Usaha Negara di mana prinsip tersebut terkait dengan batas kepatuhan kepada
hukum, maka keputusan hukum yang tidak sah, dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan
mengikat dan dengan demikian tidak ada kewajiban untuk memenuhi keputusan yang tidak sah
dan dengan demikian pula tidak perlu adanya eksekusi putusan, kecuali yang menyangkut
kewajiban tertentu yang harus dilaksanakan sehubungan dengan dinyatakan tidak sahnya
Keputusan Tata Usaha Negara18

18
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya, PT. Bina Ilmu, Hal 3-4
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pengadilan Tata Usaha Negara memiliki 2 kompetensi yaitu Absolute dan Relative.
Kompetensi absolute suatu badan pengadilan adalah kewenangan yang berkaitan untuk
mengadili suatu perkara menurut objek atau pokok sengketa, sedangkan komoeensi relativenya
adalah diatur dalam pasal 6 undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang peradlan TUN
sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No. 9 tahun 2004 dan undang-undang No. 51
tahun 2009 menyatakan:
a. Pengadilan tata usaha Negara berkedudukan diibukota kabupaten/kota, dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kabupaten/kota.
b. Pengadilan tinggi tata usaha Negara berkedudukan diibukota provinsi dan daerah hukumnya
meliputi wilayah provinsi.
Yang menjadi obyek sengketa di pengadilan tata usaha Negara adalah keputusan tata
usaha Negara (beschikking) yang diterbitkan badan atau pejabat TUN. Sedangkan perbuatan
badan/pejabat TUN lainnya baik materiil maupun penerbitan peraturan (regeling) masing-masing
merupakan kewenangan peradilan umum dan Mahkamah Agung kompetensi absoliute
pengadilan TUN diatur dalam pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
perubahan kedua Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang peradilan
Ukuran yang digunakan untuk menentukan kewenangan mengadili hakim administrasi
Negara ialah pokok dalam perselisihan (objektum litis). Bilamana yang bersangkutan dirugikan
dalam hak privatnya dan oleh karena itu meminta ganti kerugian, jadi, objektum litis adalah
suatu hak privat maka perkara yang harus diselesaikan oleh hukum biasa. Kompetensi
sebagaimana dikemukakan oleh buys ini lebih sempit dibandingkan kompetensi torbechke.
Menurut buys walaupun pokok dalam perselisihanya (objektum litis) terletak dilapangan hukum
public, bila yang dirugikan adalah hak privat sehingga perlu meminta ganti rugi, maka yang
berwenang mengadili adalah hakim biasa atau peradilan umum
B. Saran
Seharusnya terdapat peraturan khusus mengenai pemilihan umum yang secara
gamblang dan jelas menerangkan lembaga mana saja yang menjadi kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa pemilihan umum. Terdapat pembagian dan pemisahan secara jelas
sengketa apa yang menjadi Peradilan Tata Usaha Negara agar tidak terdapat perbedaan persepsi
oleh penegak hukum dan tidak terjadi dualism. Sebab, apabila dualism terjadi antara kewenangan
lembaga-lembaga pengadilan yang berhak memutusnya, padahal dilakukan terhadap produk
keputusan atau penetapan yang diterbitkan oleh badan yang sama, yaitu KPUD dan terkait
dengan peristiwa hukum yang sama pula, yaitu perihal pemilihan umum, maka perbedaan
kewenangan tersebut akan dapat menimbulkan inkonsistensi putusan pengadilan.
Daftar Pustaka

Buku-Buku:

1. Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
2. Asshiddiqie, jimly, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Konstitusi Press, Jakarta,
3. C.S.T. Kansil, 1985, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, cetakan ke-2, Jakarta: Ghalia,
4. E. Utrecht, 1986, Pengantar Hukum Administrasi Republic Indonesia. Pustaka tinta mas,
Surabaya
5. Koirudin, 2005, Kebijakan Desentralisasi di Indonesia: Format Masa Depan Otonomi
Menuju Kemandirian Daerah, Averoes, Malang
6. M. Nasir . 2003, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Djambatan, Jakarta.
7. Murtir Jeddawi, 2012, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Total Media.
8. Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya, PT.
Bina Ilmu,
9. R.Masri Sareb Putra (ed), 2010, Etika dan Tertib Warga Negara, Jakarta: Salemba
Humanika,
10. Ridwan HR,2002, Hukum Administrasi Negara.UII Press,Yogyakarta.
11. Rojali Abdullah, 1992, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, rajawali pers,
Jakarta.
12. W. riawan tjandra, 1999, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, universitas
atmajaya, Yogyakarta.
13. Wiratno, 2013, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Universitas Trisakti

Jurnal:

1. Grace, Kewengangan Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian Sengketa


Pemilihan Umum Kepala Daerah, Jom Fakultas Hukum Volume 1 No. 2 Oktober 2014
2. Novianto Hantoro, Pelanggaran Administrasi Pemilu Dan Sengketa Tata Usaha Negara
Pemilu Anggota Dpr, Dpd, Dan Dprd Tahun 2014, Jurnal Negara Hukum, Vol. 5 No. 2,
2014
3. Muhammad, Menilik Kesiapan Bawaslu dalam Menangani Pelanggaran dan Sengketa
Pemilu 2014, Jurnal Pemilu dan Demokrasi yang diterbitkan oleh Yayasan Perludem No.
6 Tahun 2013
4. Priyan Affandi, Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Sengketa Pemilihan
Kepala Daerah Yang Bersifat Administratif, Fakultas Hukum Universitas Lampung,
2017

Peraturan Perundang-undangan

1. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5


Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN)
2. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Anda mungkin juga menyukai