Anda di halaman 1dari 3

Analisis: Polemik Pembangunan Gedung Baru DPR

Akhir-akhir ini kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara kian mengecewakan.


Banyak lembaga negara yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Persoalan ini menimpa
hampir seluruh lembaga negara mulai dari lembaga hukum, legislatif, eksekutif hingga partai
politik yang jadi pilar demokrasi.

Hal ini tentunya dapat terjadi karena gagalnya salah satu proses pada proses
pengendalian manajemen sektor publik. Salah satu bentuk kegagalan ini dapat terlihat dari
salah satu contoh kasus yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia dan menimbulkan polemik
selama kurang lebih delapan bulan. Kasus tersebut adalah kasus rencana dan tertundanya
pembangunan gedung baru untuk DPR.

Lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan rakyat (DPR) yang seharusnya bekerja
mewakili kepentingan rakyat dan memperjuangkan spirasi rakyat, nyatanya bekerja untuk
kepentingan diri, kelompok dan partainya. Fenomena itu tampak dari tidak sensitif dan
responsifnya anggota DPR terhadap kebutuhan dasar dan kondisi kehidupan masyarakat. Di
tengah himpitan ekonomi serta merosotnya daya beli masyarakat misalnya, anggota DPR
malah berinisiatif membangun kantor DPR dengan harga mencapai kurang lebih Rp 1, 138
triliun. Rencana tersebut jelas mencederai rasa keadilan masyarakat. Publik pun bereaksi serta
mempersoalkannya hingga rencana pembangunan gedung DPR itu tak terdengar lagi
kejelasannya sekarang.

Ketidakjelasan bahkan dapat dikatakan sebagai tertundanya pembangunan gedung baru


untuk DPR ini terjadi karena gagalnya proses penganggaran. Peristiwa ini menjadi polemik di
masyarakat dan menyebabkan aksi kontra terhadap rencana pembangunan gedung DPR yang
disebabkan oleh jumlah dana yang dianggarkan terlalu besar. Berikut ini adalah hal-hal yang
menjadi penyebab tertundanya proses penganggaran perencanaan pembagunan gedung baru
untuk DPR:

1) Jumlah dana yang dianggarkan tidak masuk akal.


Hal ini dikarenakan jumlah dari setiap biaya yang dianggarkan dianggap
terlalu besar oleh publik. Biaya yang dianggarkan untuk rencana awal
pembangunan gedung DPR tersebut ternyata hanya untuk biaya konstruksi fisik
luar saja. Dengan luas 112 m2 untuk masing-masing ruangan, dianggarkan dapat
mengeluarkan biaya sebesar Rp 800.000.000. Hal ini menyebabkan timbulnya
berbagai macam pertanyaan di benak publik dan terasa tidak masuk akal terkait
dengan besarnya jumlah dana yang dianggarkan. Rencana biaya untuk
konstruksi dan struktur gedung DPR tersebut terdiri dari:
biaya konstruksi fisik : Rp1.125.074.721.000
biaya konsultan perencana : Rp19.126.270.257
biaya konsultan manajemen konstruksi : Rp16.876.120.815
biaya pengelolaan kegiatan : Rp1.125.074.720

2) Ketidakjelasan nominal biaya yang dianggarkan.


Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, anggaran sebesar Rp1,1
triliun hanya dijelaskan untuk keperluan pembangunan fisik gedung. Sedangkan
biaya furnitur, IT, dan sistem keamanan serta instalasi listrik tidak dijelaskan.

Jadi, ada indikasi rencana pemecahan paket, sehingga potensi kerugian negara

akan sangat besar jika pembangunan gedung ini tetap diteruskan.


Selain itu, yang menjadi sorotan adalah anggaran untuk membangun
ruang kerja sebanyak 560 anggota dewan. Untuk satu ruang anggota DPR
dianggarkan dana Rp800 juta. Rencana anggaran itu, belum termasuk interior
dan fasilitas pendukung lainnya.
Oleh karena, itu penting dilakukan untuk transparansi dan menjawab
keraguan masyarakat. Karena selama ini pembangunan gedung yang
rencananya menghabiskan anggaran lebih dari Rp1 triliun dapat dinilai tidak
efisien dan hanya menghabiskan anggaran negara.

3) Rencana anggaran pembangunan gedung baru DPR tidak terperinci, transparan


dan tidak efisien.
Untuk membangun gedung pemerintahan seperti gedung baru DPR
tidak bisa seenaknya. Ada peraturan Menteri PU No 45 tahun 2007 tentang
pedoman teknis pembangunan bangunan gedung negara. Selain itu, terlihat
adanya mekanisme yang cacat dalam perencanaan dan penganggaran gedung
baru tersebut. Ada upaya sistematis dan memaksakan legitimasi. Hal ini
bertentangan dengan UU No 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota
DPR, DPD, dan DPRD. Dalam UU itu, dijelaskan dalam kebijakan itu, wajib
melakukan kosultasi publik. Hal ini dapat dinyatakan tidak adil terhadap
kebijakan publik.
Selain itu, pengumuman tender sudah dilakukan terlebih dahulu.
Seharusnya pengumuman mengendai tender ini harus dikonsultasikan terlebih
dahulu ke Kementrian PU. Nyatanya, anggaran pembangungan gedung baru
DPR sudah dibuat dan sudah dilelang terlebih dahulu. Tentunya hal ini dapat
dikatakan bahwa perencanaan pembagunan gedung DPR telah menyalahi
aturan.

4) Adanya pelanggaran prosedur dan penyimpangan proses penghitungan


pembangunan gedung baru.
Selain hal tersebut, terhadap penyimpangan pembangunan gedung baru
DPR, yakni para pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga dan DPR serta Setjen
DPR telah menyalahi Undang-undang Keuangan negara dan Peraturan Menteri
PU sehingga berpotensi memboroskan keuangan negara sebesar Rp 602 miliar.
Selain itu ICW (Indonesian Corruption Watch) juga menemukan dugaan mark
up dalam menyusun kebutuhan standar biaya pembangunan gedung baru DPR
sebesar Rp 602 Milyar.
Pembangunan gedung baru tersebut telah menyalahi prinsip azas
pengelolaan keuangan negara, dari dimensi tersebutlah ICW menilai bahwa
pembangunan tersebut jelas melanggar karena dinilai tidak efisien dengan
pemborosan yang terjadi
Oleh karena itu, ICW juga berharap agar DPR untuk menghentikan
proses pembangunan gedung mewah, seharusnya DPR mengoptimalkan
penggunaan ruangan yang ada dengan melakukan desain ulang tata ruang dan
tata guna atau fungsi bangunan.

Anda mungkin juga menyukai