Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Judul
DESAIN PELEDAKAN UNTUK MENGHASILKAN FINAL SLOPE
YANG STABIL PADA PENGGALIAN BATUBARA DI PT. ADARO, TABALONG,
KALIMANTAN SELATAN
(c r ) 2
= 1 - (c r ) 2
Dimana :
f = Diameter lubang ledak
c = Diameter bahan peledak
e = Diambil sebesar 2,72 yaitu limn-~ ( 1 + 1/n )n
Dengan persamaan diatas, maka secara matematis 2 akan mendekati harga 1 jika
c mendekati harga f dan 2 akan turun dengan besarnya coupling ratio.
Pemanfaatan fenomena tekanan dinamik sebagai fungsi dari coupling ratio dalam
teknologi peledakan dikenal dengan istilah decoupling , yaitu dengan meningkatkan
coupling ratio atau dengan kata lain menggunakan cartridge dengan diameter yang lebih
kecil dari diameter lubang tembak.
3. Faktor Perubahan ( 3 )
Faktor perubahan ini adalah menyatakan besarnya perubahan energi dari bahan
peledak yang diubah menjadi getaran, yang diperkirakan sebesar 40 %. Jadi besarnya
faktor perubahan ( 3 ) adalah 0,40 jika peledakan dilakukan di udara terbuka dan ( 3 )
kurang dari 0,40 jika peledakan dilakukan jauh di dalam tanah.
4. Kelompok Batuan
Kelompok dari tiap-tiap batuan ini dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan
karakteristik atau sifat-sifat kekerasan dari batuan tersebut, yaitu batu pasir dan kerikil,
aluvial kompak, batuan keras dan batuan keras yang kompak. Dari faktor-faktor tersebut
diatas dan beberapa penelitian telah dilakukan dalam usaha menentukan hubungan
antara faktor-faktor tersebut diatas dan beberapa penelitian telah dilakukan dalam usaha
menentukan hubungan antara faktor-faktor tersebut dngan tingkat getaran adalah sebagai
berikut :
Q 1 x 2 x 3 xx10 6
V= =
R 5 K f x log Rxx r xC
Dimana :
V = Getaran tanah ( m/s )
Q = Jumlah bahan peledak yang digunakan ( Kg )
R = Jarak titik ledak ke sensor yang dituju ( m )
= Faktor impedansi
2 = Faktor coupling
3 = Faktor perubahan
= Energi per unit massa bahan peledak ( Mj/Kg )
r = Densitas batuan ( Kg/m3 )
C = Kecepatan seismik ( m/s )
Kf = Tipe kelompok batuan
5. Frekuensi
Frekuensi disini adalah untuk menentukan besarnya perambatan gelombang pada
batuan. Besarnya frekuensi tergantung dari tipe kelompok batuan yang dirambatinya,
besarnya frekuensi dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :
f = ( Kf log R )-1
Dimana : f = Frekunsi ( Hz )
Kf = Tipe kelompo batuan
R = Jarak titik ledak ke sensor yang dituju
6. Potensi kerusakan akibat getaran
Dalam menentukan dampak getaran terhadap lereng dalam kasus yang ideal, kita
harus mengetahui sifat fisik dari massa batuan dan karakteristik dari getaran, sehingga
kita dapat membuat permodelan matematika. Dalam kasus ini, respon dari lereng
terhadap getaran dapat dihitung. Dalam praktek, karakteristik dari getaran dapt untuk
menentukan tingkat ketepatan dalam berbagai kasus dengan merekam peledakan
percobaan atau peledakan produksi sebelumnya. meskipun kita jarang bisa menentukan
dengan tepat kenampakan fisik dari massa batuan yang mempunyai potensi untuk
runtuh.
Untuk bisa menentukan potensi yang diakibatkan oleh getara dapat di dasarkan
atas unit kecepatan. Banyak data peledakan yang telah diperoleh beberapa tahun yang
lalu untuk bisa mengungkapkan permasalahan ini, kecepatan partikel lebih luas diterima
sebagai kriteria yang berhubungan erat dengan penyebab tegangan. Kecepatan partikel
lebih berhubungan langsung sebagai penyebab potensi kerusakan daripada percepatan
( acceleration ) ataupun perpindahan ( displacement ).
Dibawah ini merupakan gambaran kasar dari dampak peledakan yang di
dasarkan atas kecepatan partikel.
Jenis kerusakan Kesimpulan Limiting peak particle
velocity (in./sec)
Sekali-kali batuan lepas terjatuh dari Tidak berbahaya 2-4
muka lereng
Menyebabkan terjatuhnya batuan Bahaya terkendali 5 15
lepas dari muka lereng
Runtuhnya muka lereng, terjatuhnya Bahaya 25
batuan lepas, dan terbentuknya
rekahan pada batas lereng
Menyebabkan terjadinya backbreak Sangat berbahaya > 25
pada toe ataupun crest, rekahan dan
lepasnya bongkah batuan pada muka
lereng , serta menyebabka terjadinya
offset pada struktur batuan
6.2. Peledakan Terkendali ( control blasting )
Tujuan dari overbreak control adaah untuk mencapai dinding yang stabil dengan
meminimalisisr kerusakan akibat produksi peledakan pada batas akhir penggalian.
Kadang, tujuan keduanya adalah untuk mencapai dinding penggalian yang rata dan
menarik. Beberapa teknik pemboran dan peledakan telah dibuat untuk mengontrol
peledakan dalam rangka memenuhi tujuan tersebut ( Mc Kown, 1984; Floyd, 1998 )
termasuk :
1. Modified production blasting
2. Presplit blasting
3. trim ( chusion ) blasting
4. Line Drilling
Dua aspek yang harus di pertimbangkan dalam merancang dinding akhir
penggalian untuk memenuhi teknik kontrol peledakan atau kombinasi dari beberapa
teknik tersebut untuk pekerjaan tertentu yaitu :
1. Mendefinisikan/menggambarkan karakteristik kerusakan batuan
2. Membuat prosedur untuk mendesain peledakan yang akan meminimalisir kerusakan
batuan tanpa berdampak serius terhadap produksi
6.2.1. Modifikasi peledakan untuk produksi
Dalam modifikasi peledakan untuk produksi, tingkatan dari energi dari dinding
yang bersebelahan akan menurun untuk mengurangi terjadinya overbreak. Penurunan
energi ini kadang tercapai untuk batuan yang kompeten dengan mengurangiberat isian
bahan peledak pada baris yang terdekat dengan lereng sekitar 30 60 % ( Floyd, 1998 ).
Keuntungan utama dari teknik modifikasi peledakan produksi adalah hanya memerlukan
sedikit perubahan perencanaan. Kerugian utamanya adalah bahwa dinding batuan
dinding batuan tidak terlindungi dari crack dilatation, gas penetrasion dan block heaving
( Floyd, 1998 ).
6.2.2. Presplit Blasting
Presplit menggunakan bahan peledak ringan, spasi lubang bor yang rapat dan
diledakan sebelum peledakan produksi untuk membentuk bidang rekahan dimana
rekahan radialnya dapat menahan pergerakan dari peledakan produksi ( Konya , 1995 ).
Sebagai keuntungan keduanya adalah rekahan bidangnya dapat terbentuk dengan rata.
Kegiatan presplit dilakukan sebelum penyalaan peledakan produksi dan untuk semua
tujuan pelatihan jarak dari burden adalah tanpa batas. Meskipun dalam aturannya baris
dari presplit biasanya terletak sekitar 0,5 0,8 B di belakang baris peledakan produksi,
dimana B adalah burden dari peledakan produksi.
Perkiraan muatan bahan peledak per meter dari tiap kedalaman lubang bor
presplit yang tidak akan menyebabkan kerusakan pada dinding penggalian tetapi akan
akan menghasilkan tekanan yang cukup untuk menyebabkan terjadinya splitting ,. Untuk
menentukan besarnya muatan bahan peledak dapat digunakan persamaan berikut
(Konya, 1995) :
Dh2
Dec =
12,14
Gb. 6.3. Pola yang khas dari line drilling yang telah digunakan hubungannya dengan
peledakan produksi
Gb.6.4. Gambaran mengenai lubang line drilling: ( A ) Detonasi pada lubang bor
produksi yang berdekatan dengan lubang line drilling; ( B ) Tegangan pada lubang
line drilling akibat detonasi dari lubang ledak
6.3. Batasan pendekatan perencanaan kontrol
Bahaya akibat peledakan terhadap struktur permukaan ataupun bawah tanah
berhubungan dengan kecepatan partikel yang dihasilkan oleh peledakan. Teknik
rancangan telah didiskusikan untuk menghasilkan pendekatan yang sama terhadap
bahaya yang ditimbulkan terhadap massa batuan. Teknik tersebut dihasilkan untuk
memperhitungkan kecepatan partikel yang dihasilkan oleh titik-titik di sekitar isian
bahan peledak ( Charge ). Untuk membandingkan kecepatan partikel yang didasarkan
atas kriteria bahaya akan menghasilka luas bahaya yang ditimbulkan. Pendekatan yang
dilakukan diantaranya adalah :
Pendekatan yang digunakan di Swedia
Langkah pertama dalam proses mengevaluasi luas bahaya batuan adalah untuk
menghitung kecepatan partikel. Gambar 6.5. merupakan diagram yang menjelaskan
bench dengan orientasi sistem koordinat ( R,Z ) seperti yang terlihat. Panjang dari
charge keseluruhan adalah ( L ) yang dibagi kedalam bagian yang lebih kecil dengan
panjang z ( Gb. 6.6. ). Charge memiliki berat per panjang ( q ), Setiap panjang
zmenghasilakan berat sebesar W
W = q . z . ( 10 . 1 )
Dimana : q = konsentrasi charge ( Kg/m )
z = Pembagian tiap panjang isian ( m )
Persamaan umum dari kecepatan partikel sebagai fungsi dari berat ( W ) dan jarak ( R )
dari pusat lingkaran charge dapat dijelaskan sebagai berikut :
W
V=K ( 10 . 2 )
R
Dimana : K, , , = onstanta yang diberikan untuk bahan peledak
R = Jarak dari titik amat ( ro , zo ) ke pusat ( r , z ) charge
R = r r0 2 z z 0 2
1/ 2
.. ( 10 . 3 )
Persamaan ini digunakan untuk tiap-tiap konsentrasi panjang charge (z) dibandingkan
terhadap jarak R. Bentuk lain dari persamaan (10.2) menjadi :
K ( qdz )
dV = ... ( 10 . 4 )
R
Dengan mensubtitusika persamaan (10.3) ke dalam persamaan (10.4 ) maka diperoleh :
(qdz )
dV = K
(r r )
0
2
(z z0 ) 2 /2
qdz
dV = K . ( 10 . 5 )
(r r0 ) ( z z 0 )
2 2
/ 2
Untuk memperoleh pengaruh keseluruhan dari titik amat (ro,zo), kita harus
menjumlahkan pengaruh tiap-tiap titik sepanjang isian ( charge ). Hal tersebut dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu :
Pertama : untuk menghitung kontribusi dari tiap titik yang berdekatan dari tiap-tiap
increment. Kontribusi tersebut tidak datang pada saat yang bersamaan dan
oleh karenanya hal tersebut akan diperlukan dalam perhitungan. Lagipula
karena kontribusi tersebut datang dari arah yang berbeda , kita perlu untuk
menyelesaikan kontribusi total dari increment kedalam vektor kemudian
menjumlahkannya.
Kedua : Penyederhanaan diperlukan untuk :
- Mengabaikan pebedaan waktu kedatangan dari tiap incremen charge yang
berbeda untuk tiap titik yang berdekatan.
- Menggunakan amplitudo maksimum yang datang dari tiap-tiap increment
tanpa memperhatikan arah kedatangan.
Dengan cara ini kita akan menghitung kemungkinan aplitudo maksimum pada titik
tersebut. Di bawah ini merupaka pendekatan yang dilakukan oleh Holmberg&Persson
(1978). Dengan melakukan pendekatan ini kontribusi total dari charge increment dapat
diperoleh dengan penggabunga persamaan yang sederhana ( 10 . 5 ) dari keseluruhan
panjang isian ( charge ).
Gb.6.5. Penamaan yang digunakan untuk rancangan di swedia ( Holmberg & Prsson)
Seperti yang terlihat dari gambar 6.5. puncak dari charge adalah :
z1 = T ( ujung dari steamming )
dan ujungnya adalah
z2 = H + J ( ujung dari subdrilling )
Dengan menggabungkan persamaan (10.5) diperoleh :
H j dz
V = K q ( 10 . 6 )
T (r r0 ) 2 ( z z 0 ) 2 / 2
Hal tersebut dapat diselesaikan secara numerik untuk beberapa nilai dan yang
diberikan.Untuk kondisi khusus persamaan (10.2) adalah
R
V=K 1/ 2
( 10 . 7 )
W
Dengan membandingkan persamaan (10.2) dan (10.7) terlihat bahwa kedua persamaan
tersebut hampir sama untuk kondisi khusus ketika = /2 , maka persamaan (10.6 )
menjadi :
H J dz
V= K q
T ( r r0 ) 2
( z z 0 ) 2
. ( 10 . 8 )
q 1 H J _ z0 1 T z0
V=K
tan tan . ( 10 . 9 )
r0 r0 r r0
Sudut yang sesuai dengan fungsi arc tan dihasilkan dalam bentuk radian. Hal tersebut
akan diasumsikan bahwa charge terletak sepanjang sumbu z, dan r = 0 , maka persamaan
(10.9) menjadi :
q 1 H J _ z0 1 T z0
V=K
tan tan .( 10 . 10 )
r0 r0 r0
Untuk melakukan perhitungan, dengan geometri bench yang khas dapat digunakan
persamaan :
1 H J z 0 T z 0
F = tan tan 1 .( 10 . 11 )
r0 r
0
f p
For siliding
Keterangan :
f = Kemiringan lereng
p = Kemiringan bidang luncur
= Sudut geser dalam
Gambar 1
Longsoran Bidang
Dalam menganalisa, maka suatu lereng ditinjau dalam dua dimensi dengan anggapan
sebagai berikut :
a. Semua syarat untuk terjadinya longsoran bidang terpenuhi
b. Terdapat regangan tarik tegak yang terisi air sampai kedalaman tertentu (Zw),
regangan tarik ini dapat terjadi pada muka lereng maupun di atas lereng.
c. Tekanan air pori pada regangan tarik sepanjang bidang luncur tersebar secara
linier
d. Semua gaya yang bekerja pada lereng melalui titik pusat massa batuan yang akan
longsor, sehingga tidak terjadi rotasi.
Faktor keamanan lereng dapat dihitung dengan persamaan :
Gaya-gaya penahan
F = ----------------------------------
Gaya-gaya penggerak
Bidang I Bidang II
Muka lereng
Slope
face
fm
f p
(tampak samping tegak lurus perpotongan bidang lemah)
Keterangan :
f = kemiringan lereng
p = kemiringan garis perpotongan bidang lemah
= sudut geser dalam
Gambar 2
Longsoran baji
Gambar 3
Longsoran busur
Analisa khusus untuk longsoran ini tidak ditampilkan disini, karena batuan yang
akan dianalisa diharapkan dalam keadaan segar.
Gambar 4
Longsoran guling
Dengan metode Hoek and Bray terjadinya longsoran guling dapat dianalisa dengan
menggunakan model yang sederhana. Dengan menggunakan model ini digunakan untuk
menganalisa kasus-kasus yang sederhana. Sedangkan untuk menganalisa lereng yang
sebenarnya dilakukan analogi dengan mempertimbangkan variabel-variabel yang ada di
lapangan
X. Rencana Kegiatan
BULAN Pertama Kedua Ketiga
2004 2004 2004
MINGGU
Studi Literatur
Observasi Lapangan
Pengambilan data
Pengolahan data
Penyusunan draft
VI. PEMBAHASAN
5.1. Kekuatan batuan
5.2. Struktur Geologi
5.3. Geometri Lereng
5.4. Air tanah
5.5. Pengaruh getaran
5.6. Usaha untuk menstabilkan lereng
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
6.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
2. Made Astawa Rai, Dr. Ir .Analisa Kemantapan Lereng : Proyeksi Stereografis dan
Metode Grafis, Kursus Geoteknik dan Perencanaan Tambang Terbuka,
1993.
3. Made Astawa Rai, Dr. Ir. dan Anung Dri Prasetya, Ir Kemantapan Lereng Batuan,
Kursus Pengawas Tambang, 1993.
4. Gian Paolo Giani, Rock Slope Stability Analysis, A.A Balkema, Rotterdam,
Brookfield, 1992.
5. Charles A. Kliche, Rock Slope Stability , Society for Mining, Metallurgy, and
Eksploration, Inc. 1999.
6. William Hustrulid, Blasting Principles for Open Pit Mining 1 rd Ed, A.A.
Balkema, Rotterdam, Brookfield,1999
Oleh
RAMADHANU RACHMAN
112000022 / TA
Oleh
RAMADHANU RACHMAN
112000022
Mengetahui :
Dosen Wali