Anda di halaman 1dari 15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Limfoma Maligna

Limfoma maligna merupakan neoplasma ganas yang berasal dari jaringan

limfoid ditandai oleh proliferasi sel limfoid yang menimbulkan massa pada

kelenjar getah bening atau jaringan lainnya. Manifestasi kelainan ini selain pada

kelenjar getah bening juga dapat menyebar ke jaringan seluruh tubuh terutama

hati, limpa, sumsum tulang dan darah tepi. Limfoma maligna ini menyerang

kelenjar getah bening yang ditandai dengan terjadinya proliferasi sel limfoid atau

perkusornya sehingga mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar getah

bening dan sering meluas ke daerah di dekatnya (Perdana, 2008). Berdasarkan

sejarahnya, limfoma pertama kali dipublikasikan oleh Thomas Hodgkin pada

tahun 1832, oleh karena itu penyakit ini disebut sebagai limfoma Hodgkin yang

memiliki karakteristik berupa gambaran khas sel datia Reed-Stenberg. Sel datia

Reed-Stenberg berukuran 20-50 mikron dengan sitoplasma yang amphofilik dan

homogen serta memiliki dua nukleus yang eosinofil. Dorothy Reed Mendenhall
5

Gambar 2.1 Sel Reed Sternberg dalam limfoma hodgkin

(Farlex Partner Medical Dictionary, 2012)

dan Carl Sternberg adalah dua orang ahli patologi yang berhasil mendeskripsikan

sel tersebut sehingga sel tersebut dinamai sel datia Reed-Stenberg.

2.2 Diagnosis

Limfoma maligna merupakan bagian neoplasma limfoid yang berpotensi

untuk menyebar ke kelenjar getah bening dan berbagai jaringan dalam tubuh.

Kelenjar getah bening adalah salah satu organ yang memiliki aksesibilitas dalam

operasi pengangkatan untuk tujuan diagnostik. Kelenjar getah bening memiliki

peran dalam pertahanan dengan bereaksi terhadap antigen asing, setiap

perubahannya mencerminkan gangguan lokal dan sistemik. Dengan adanya

kemajuan yang pesat dalam ilmu pengetahuan, pemeriksaan patologis yang

sebelumnya terbatas pada pemeriksaan mikroskopis, sekarang sudah dapat

memanfaatkan teknik imunologi dan biologi molekular (Kumar dan Abbas, 2015)

2.2.1 Pemeriksaan Klinis

Gambaran klinis yang ditimbulkan limfoma maligna akibat keganasannya

menimbulkan suatu massa pada kelenjar getah bening. Massa atau pembesaran

kelenjar getah bening ini tidak nyeri apabila ditekan, dapat digerakkan, dan

bersifat elastis. Pembesaran kelenjar getah bening ini sering dibarengi dengan

kelelahan yang berlebihan, malaise, peningkatan suhu tubuh dan kerentanan

terhadap infeksi. Gangguan pada sistem saraf pusat seperti parestesia dan nyeri

saraf. Pertanda khas lainnya adalah terjadinya pembesaran mediastinal yang dapat
6

menyebabkan dyspnea, kelenjar getah bening abdominal dan limpa dapat

mengalami pembesaran menyebabkan penekanan pada daerah abdomen yang

dapat meyebabkan disfagia, anoreksi, muntah dan konstipasi. Organ padat seperti

paru-paru atau hati bisa juga mengalami implikasi akibat penyakit ini yang

mengindikasikan terjadinya penyebaran dari penyakit tersebut tetapi bisa juga

akibat pembesaran massa jaringan limfa secara langsung. Secara umum gejala

yang dapat ditunjukkan dari penyakit ini sangat sedikit untuk bisa diamati. Gejala

yang paling sering muncul adalah demam ringan yang kadang-kadang disertai

dengan keringat malam. Beberapa pasien menunjukkan gejala demam naik turun

yang disertai dengan keringat malam atau disebut demam Pel-Epstein. Demam ini

terjadi selama beberapa minggu yang biasanya sering ditemukan pada pasien usia

lanjut .Gejala awal lainnya yang dapat diamati adalah terjadinya penurunan berat

badan lebih dari 10 persen dalam kurun waktu 6 bulan atau kurang tanpa adanya

penyebab yang jelas (Tambayong, 1999).

2.2.2 Pemeriksaan Gold Standard

2.2.2.1 Histopatologi

Histopatologi merupakan studi mikroskopis terhadap jaringan yang

mengalami gangguan dan dilaksanakan untuk menghasilkan informasi diagnostik

yang akurat dari sampel jaringan yang diambil dari pasien. Menginterpretasikan

perubahan mikroskopis pada jaringan merupakan proses yang sangat terampil

namun bersifat subjektif. Dalam membuat laporan histopatologi dari suatu sampel

jaringan dibutuhkan proses yang kompleks dengan melibatkan beberapa langkah.

Haematoxylin dan eosin merupakan pengecatan yang paling umum digunakan

dalam mewarnai preparat dalam pemeriksaan histopatologi. Mikroskop cahaya


7

digunakan dalam mengamati struktur histologi dari jaringan yang diamati untuk

memperoleh diagnosis. Studi histopatologi yang terkait dengan kelainan kelenjar

getah bening khususnya limfoma memberikan banyak kontribusi dalam

pemahaman dan cara mendiagnosis suatu limfoma. Banyak upaya yang telah

dilakukan untuk mendiagnosis limfoma maligna terutama dengan fine needle

aspiration, upaya tersebut sampai saat ini baru berhasil sebagian. Hal tersebut

terjadi akibat sel limfoid neoplastik kekurangan ciri sitologis keganasannya

sehingga sulit untuk dibedakan dengan sel neoplastik jinak. Apabila sampel dari

fine needle aspiration yang dilihat di mikroskop tersusun dari satu jenis sel maka

didiagnosis sebagai limfoma non-Hodgkin sedangkan pada limfoma Hodgkin

dibedakan dengan adanya sel datia Reed-Sterberg yang khas dengan disertai sel

radang non neoplastik yang sangat banyak. Beberapa limfoma terdiri dari

beberapa jenis sel neoplastik, sementara yang lain mengandung campuran sel

limfoid jinak dan sel neoplastik yang sulit untuk dibedakan (Evans dan Robinson,

2012).

2.2.2.2 Imunohistokimia

Dalam menerapkan klasifikasi Revised European American Lymphoma

(REAL) atau skema klasifikasi limfoma dari WHO memerlukan data

imunofenotip yang terintegrasi dengan pola morfologi dari suatu jaringan. Untuk

mendeteksi kelainan yang terjadi pada kelenjar getah bening dengan pola histologi

diffuse atau menyebar digunakan metode diagnosis imunohistokimia. Pewarnaan

imunohistokimia dari suatu jaringan memiliki nilai tambah dalam mendiagnosis

gangguan kelenjar getah bening dengan pola histologis yang bersifat nodular

seperti folikular limfoma, mantle cell limfoma atau sejumlah kecil sel neoplastik
8

seperti limfoma Hodgkin, T-cell limfoma dan B-cell limfoma. Metode diagnosis

imunohistokimia memberikan informasi mengenai berbagai unsur molekul

didalam sel normal ataupun sel yang bersifat neoplastik. Dasar dari teknik

pemeriksaan ini adalah interaksi antara antigen yang terdapat dalam sel dengan

antibodi spesifiknya. Pemeriksaan dimulai dengan melaksanakan prosedur

histoteknik yang merupakan prosedur pembuatan irisan jaringan secara histologi

yang akan diamati di bawah mikroskop. Setelah irisan jaringan didapat

dilanjutkan dengan prosedur imunohistokimia. Prinsip dari metode diagnosis

imunohistokimia merupakan gabungan dari reaksi imunologi dan kimiawi, reaksi

imunologi ditunjukkan dengan adanya reaksi antara antigen dengan antibodi,

sedangkan reaksi kimiawi ditandai dengan terjadinya reaksi antara enzim dengan

substrat (Sudiana, 2005).

2.2.2.3 Diagnosis molekuler

Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi

terutama di bidang molekular telah meningkatkan pemahaman genetik terhadap

limfoma maligna terutama berbasis pada tes laboratorium. Berbeda seperti metode

flow cytometry atau imunohistokimia yang bergantung pada ekspresi protein,

diagnosis molekular secara langsung menganalisis DNA yang mengodekan

immunoglobulin(Igs), reseptor sel T(TCRs), dan onkogen. Pendeteksian secara

spesifik terhadap translokasi kromosom memiliki peran penting dalam

mendefinisikan entitas limfoma yang relevan secara klinis. Dalam hal terjadinya

proliferasi jaringan limfoid, tes diagnostik molekuler mempunyai dua kegunaan

penting yaitu untuk menunjukkan terjadinya kelainan klonal ketika terdapat

diagnosis banding antara proliferasi reaktif atau neoplastik, dan melakukan


9

identifikasi terhadap penyakit terkait penyebabnya virus atau translokasi

kromosom spesifik yang berguna dalam subklasifikasi limfoma maligna (Arber,

2000).
Dalam beberapa kasus, analisis kariotipe sedikit dilakukan karena sulit untuk

mendapatkan pertumbuhan sel limfoma tingkat rendah yang memadai dan tidak

terdeteksinya rantai imunoglobulin berat dan ringan serta rangkaian penanda

genreseptor sel T limfoma oleh analisis kariotipe. Analisis Southern blot

merupakan gold standar untuk kebanyakan pengujian diagnostik molekuler.

Prosedur analisis ini membutuhkan jaringan segar dalam jumlah cukup besar

dengan memakan waktu pengerjaan yang cukup lama. Terlepas dari keterbatasan

ini, analisis Southern blot tetap menjadi metodologi yang berguna untuk beberapa

pengujian. Prosedur yang menerapkan prinsip polymerase chain reaction (PCR)

telah menggeser penggunaan analisis Southern blot. Metode ini membutuhkan

sejumlah kecil DNA atau RNA, relatif cepat, dan dapat mendeteksi kelainan pada

tingkat yang sangat rendah. PCR secara langsung dapat mengamplifikasi DNA

genom, dan metode ini dapat digunakan untuk berbagai jenis translokasi

lymphoma. Apabila tempat translokasi bervariasi, maka diperlukan bagian DNA

yang lebih banyak untuk diamplifikasi dan PCR reverse transcriptase juga dapat

digunakan. RT-PCR mengamplifikasi DNA komplementer (cDNA), biasanya

dihasilkan dari produk fusi RNA yang tidak mengandung DNA genom asli. Tes

PCR langsung biasanya dapat dilakukan pada jaringan tertanam dalam parafin,

serta jaringan segar dan beku. Karena degradasi RNA, sebagian besar tes RT-PCR

tidak bekerja pada jaringan tertanam dalam parafin (Ioachim dan Ratech, 2002).

Studi hibridisasi in situ memungkinkan pemeriksaan jaringan yang dapat

dilakukan pada slide kaca atau suspensi sel sehingga sel secara utuh dapat

langsung divisualisasikan. Metodologi ini sangat berperan dalam menentukan

adanya keterlibatan virus dengan jenis sel tertentu. Fluoresensi in situ hibridisasi
(FISH) juga memungkinkan untuk visualisasi secara langsung terhadap kelainan

kromosom tertentu. Penelitian FISH kurang sensitif dibandingkan metode

berbasis PCR, tetapi dapat mendeteksi kelainan seperti monosomi dan trisomi

yang tidak dapat diketahui dengan analisis PCR (Ioachim dan Ratech, 2002).

Gambar 2.2 Analisis FISH untuk limfoma Burkitt memberikan informasi


translokasi (panah) dengan penyebaran metafase (kiri) atau di dalam inti utuh
(kanan).
(Journal of Molecular Diagnostics, 2000)
In situ PCR merupakan metode pemeriksaan dengan terjadinya reaksi

berantai polimerase pada sel yang produknya dapat divisualisasikan dengan cara

yang sama seperti pada hibridisasi in situ. Metodologi secara teknis sulit

dilaksanakan seringkali tidak konsisten sehingga tidak diterapkan di sebagian

besar laboratorium diagnostik. Teknologi microarray merupakan metode diagnosis

yang memungkinkan sejumlah besar kelainan genetik dipilah pada suatu chip

yang kemudian dipindai dan dianalisis oleh komputer. Meskipun penelitian

terbaru telah menunjukkan metodologi ini memiliki kecenderungan yang baik

dalam menentukan prognosis yang signifikan pada limfoma, namun metode

analisis ini masih tetap menjadialatpenelitian. Metode molekuler yang tepat dalam

pengujian untuk menegakkan diagnosis suatu limfoma tergantung pada

10
pertanyaan yang diajukan dan kelainan yang akan diuji (Ioachim dan Ratech,

2002).

2.3 Klasifikasi

Dalam dua dekade terakhir, kemajuan pesat dalam bidang imunologi dan

biologi molekuler telah menghasilkan penemuan penting mengenai asal dan

fungsi dari limfosit. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan konseptual dalam

nomenklatur dan klasifikasi terhadap limfoma maligna. Limfoma malignant

secara umum dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu limfoma Hodgkin dan

limfoma non-Hodgkin. Klasifikasi limfoma maligna dengan kategori limfoma

Hodgkin mempergunakan klasifikasi WHO, sedangkan untuk limfoma non-

Hodgkin terdapat beberapa klasifikasi yaitu Rappaport, Kiel, Working

Formulation dan WHO (Kumar dan Abbas, 2015).

2.3.1 Klasifikasi Rappaport

Pada tahun 1966 dipublikasikan klasifikasi Rappaport yang telah diterima secara

internasional dengann memiliki kelebihan dalam reproduktifitas dan korelasi

klinikopatologis yang baik.

2.3.2 Klasifikasi Lukess and Collins

Lukes, Collins dan Lennert serta rekannya berhasil dalam

mengembangkan klasifikasi berdasarkan bukti tranformasi limfosit dan adanya

sistem sel T dan B.

2.3.3 Klasifikasi Kiel

Klasifikasi Kiel berdasarkan konsep yang diperkenalkan oleh Lennert,

telah diperbarui untuk menggabungkan data baru tentang fungsi histogenesis,

11
morfologi, dan imunologis. Klasifikasi Kiel banyak digunakan di Eropa namun

sebagian besar masih belum terkenal di Amerika Serikat.

2.3.4 Klasifikasi International Formulation

Usaha yang dilakukan dalam menyamakan persepsi dalam klasifikasi

limfoma dilakukan dengan penelitian yang terperinci terhadap 1.175 kasus

limfoma non-Hodgkin oleh para ahli internasional untuk menghasilkan klasifikasi

yang terpadu, klasifikasi ini disebut dengan formulasi kerja untuk penggunaan

klinis atau Working Formulation for Clinical Usage. Tujuan dari

dipublikasikannya klasifikasi ini tidak dimaksudkan sebagai sistem klasifikasi

baru melainkan sebagai sarana dalam menyatukan berbagai sistem klasifikasi

yang ada untuk memfasilitasi perbandingan klinis. Usaha yang dilakukan dalam

menyamakan persepsi dalam klasifikasi limfoma dilakukan dengan penelitian

yang terperinci terhadap 1.175 kasus limfoma non-Hodgkin oleh para ahli

internasional untuk menghasilkan klasifikasi yang terpadu, klasifikasi ini disebut

dengan formulasi kerja untuk penggunaan klinis atau Working Formulation for

Clinical Usage.

2.3.5 Klasifikasi REAL

Pada tahun 1994, sekelompok ahli hematopatologi dengan keahlian khusus

dalam limfoma yang bergabung dalam Kelompok Studi Limfoma Internasional

menerbitkan sebuah proposal untuk klasifikasi baru limfoma dengan judul berikut

''A Revised European-American Classification of Lymphoid Neoplasms" yang

dikenal dengan sebutan klasifikasi REAL. Klasifikasi REAL tidak didasarkan

pada histogenesis sel limfoma melainkan mengambil pendekatan dengan

mengkategorikan limfoma berdasarkan ciri morfologi, imunologis, dan

genetiknya.

12
Tabel 2.1 Klasifikasi International Lymphoma Study Group

LYMPHOID NEOPLASMS RECOGNIZED BY THE INTERNATIONAL LYMPHOMA STUDY


GROUP

B-cell neolasms
I. Precursor B-cell neoplasm: precursor B-lymphoblastic leukemia/lymphoma
II. Peripheral B-cell neoplasms

1. B-cell chronic lymphocytic leukemia/prolymphocytic leukemia/small lymphocytic lymphoma


2. Lymphoplasmacytoid lymphoma/immunocytoma
3. Mantle cell lymphoma
4. Follicle center lymphoma, follicular
Provisional cytologic grades: I (small cell), II (mixed small and large cell), III (large cell)
Provisional subtype: diffuse, predominantly small cell type
5. Marginal zona B-cell lymphoma
Extranodal (MALT type monocytoid B cells
Provisional subtype: nodal ( monocytoid B cells)
6. Provisional entity: splenic marginal zone lymphoma ( villous lymphocytes)
7. Hairy cell leukemia
8. Plasmacytoma/plasma cell myeloma
9. Diffuse large B-cell lymphoma*
Subtype: primary mediastinal (thymic) B-cell lymphoma
10. Burkitt lymphoma
11. Provisional entity: high-grade B-cell lymphoma, Burkittlike*

T-cell and putative NK-cell neoplasms


I. Precursor T-cell neoplasm: precursor T-lymphoblastic lymphoma/leukemia
II. Peripheral T-cell and NK-cell neoplasms
1. T-cell chronic lymphocytic leukemia/prolymphocytic leukemia
2. Large granular lymphocyte (LGL)
T-cell type
NK-cell type
3. Mycosis fungoides/Szary syndrome
4. Peripheral T-cell lymphomas, unspecified*
Provisional cytologic categories: medium-sized cell, mixed medium and large cell, large cell,
lymphoepithelioid cell
Provisional subtype: hepatosplenic T-cell lymphoma
Provisional subtype: subcutaneous panniculitic T-cell lymphoma
5. Angioimmunoblastic T-cell lymphoma (AILD)
6. Angiocentric lymphoma
7. Intestinal T-cell lymphoma ( enteropathy-associated)
8. Adult T-cell lymphoma /leukemia (ATL/L)
9. Anaplastic large cell lymphoma (ALCL), CD30-, T- and null-cell types
10. Provisional entity: anaplastic large-cell lymphoma, Hodgkin-like

Hodgkin disease (HD)


I.Lymphocyte predominance
II.Nodular sclerosis
III.Mixed cellularity
IV.Lymphocyte depletion
V.Provisional entity: lymphocyte-rich classic HD
These categories are thought likely to include more than one disease entity.
MALT, mucosa-associated lymphoid tissue; NK, natural killer.
From the Non-Hodgkins Lymphoma Classification Project. A clinical evaluation of the International
Lymphoma Study Group.
Classification of non-Hodgkin lymphoma. Blood 1997;89;3909-3918, with permission.

(Ioachim dan Ratech, 2002)

13
Tabel 2.2 Beberapa klasifikasi limfoma

(Rosai and Ackerman, 2004)

2.3.6 Klasifikasi WHO

Karena klasifikasi REAL memiliki akurasi diagnostik dan reproduktifitas

diagnostik yang cukup tinggi terhadap limfoma yaitu masing-masing sekitar 85%

maka klasifikasi REAL dengan beberapa perubahan yang disarankan oleh studi

klinis, diadopsi oleh WHO menjadi klasifikasi limfoma yang baru. Klasifikasi

WHO membagi limfoma non-Hodgkin atas tipe sel-B dan sel-T. Klasifikasi yang

diterbitkan oleh WHO ini mendapat kritikan karena memperkenalkan kembali

istilah histogenetik yang sebelumnya telah ditinggalkan.

14
Tabel 2.3 Klasifikasi limfoma berdasarkan WHO.

WORLD HEALTH ORGANIZATION CLASSIFICATION OF LYMPHOID NEOPLASMS

B-cell neoplasms
Precursor B-cell neoplasm
````Precursor B-lymphoblastic leukemia/lymphoma (precursor B-cell acute lymphoblastic)
Mature (peripheral) B-cell neoplasms
````B-cell chronic lymphocytic leukemia/small lymphocytic lymphoma
````B-cell prolymphocytic leukemia
````Lymphoplasmacytic lymphoma
````Splenic marginal zone B-cell lymphoma ( villous lymphocytes)
````Hairy cell leukemia
````Plasma cell myeloma/plasmacytoma
````Extranodal marginal zone B-cell lymphoma of MALT type
````Nodal marginal zone B-cell lymphoma ( monocytoid B cells)
````Follicular lymphoma
````Mantle cell lymphoma
````Diffuse large B-cell lymphoma
``````` Mediastinal large B-cell lymphoma
Primary effusion lymphoma
````Burkitt lymphoma/ Burkitt cell leukemia

T-and NK-cell neoplasm


````Precursor T-cell neoplasm
````````Precursor T-lymphoblastic lymphoma/leukemia (precursor T-cell acute lymphoblastic ````````leukemia)
```` ````Mature (peripheral) T-
cell neoplasms ``````` T-cell
prolymphocytic leukemia ````````T-cell
granular lymphocytic leukemia
````````Aggressive NK-cell leukemia
````````Adult T-cell lymphoma/leukemia (HTLV-T+)
````````Extranodal NK/T-cell lymphoma, nasa type
````````Enteropathy-type T-cell lymphoma
```````Hepatosplenic T cell lymphoma
````````Subcutaneous panniculitis-like T-cell lymphoma
````````Mycosis fungoides/Szary syndrome
````````Anaplastic large cell lymphoma. T/null-cell, primary cutaneous type.
````````Peripheral T-cell lymphoma, not otherwise characterized
````````Angioimmunoblastic T-cell lymphomaAnaplastic large cell lymphoma, T/null-cell, primary
````````systemic type

Hodgkin lymphoma (Hodgkin disease)


Nodular lymphocyte predominance Hodgkin lymphoma
Classic Hodgkin Lymphoma
````Nodular sclerosis Hodgkin lymphoma (grade1 and 2)
````Lymphocyte-rich classic Hodgkin lymphoma
````Mixed cellularity Hodgkin lymphoma
````Lymphocyte depletion Hodgkin lymphoma

MALT, mucosa-associated lymphoid tissue; NK, natural killer; HTLV,


Human T-cell lymphotropic virus.
From Harris NL, Jaffe ES, Diebold J, et al. The World Health Organization classification of hematological
malignancies: report of the clinical advisory meeting, Airlie House, VA, November 1997. Mod Pathol
2000;13:193-207, with permission.

(Ioachim dan Ratech, 2002)

15
2.5 Epidemiologi

Menurut data GLOBOCAN (IARC) tahun 2012, limfoma merupakan

salah satu dari sepuluh penyakit kanker terbanyak di dunia pada tahun 2012.

Secara umum persentase dari kasus baru dan kematian akibat limfoma pada anak

laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan. Limfoma non

hodgkin diderita lebih banyak oleh penduduk laki-laki dan perempuan, yaitu

sebesar 6% pada penduduk laki-laki dan 4,1% pada penduduk perempuan

sedangkan limfoma hodgkin lebih sedikit kasusnya yang ditunjukkan sebesar

1,1% pada penduduk laki-laki dan 0.7% pada penduduk perempuan. Berdasarkan

data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 diperoleh prevalensi individu yang

menderita limfoma dari hasil wawancara mengenai diagnosis limfoma oleh

dokter. Riset ini menyatakan bahwa prevalensi individu yang menderita limfoma

di Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar 0,06%, atau diperkirakan sebanyak

14.905 orang.

Gambar 2.3 Estimasi persentase kasus baru dan kematian akibat limfoma pada
penduduk laki-laki dan perempuan di dunia tahun 2012

(GLOBOCAN, 2012)

16
Provinsi DI Yogyakarta memiliki persentase prevalensi limfoma tertinggi,

yaitu sebesar 0,25% atau sekitar 890 orang. Berdasarkan estimasi jumlah

penderita terbanyak, provinsi Jawa Barat memiliki estimasi jumlah penderita

tertinggi yaitu 2.728 orang.

17

Anda mungkin juga menyukai