KAJIAN PUSTAKA
limfoid ditandai oleh proliferasi sel limfoid yang menimbulkan massa pada
kelenjar getah bening atau jaringan lainnya. Manifestasi kelainan ini selain pada
kelenjar getah bening juga dapat menyebar ke jaringan seluruh tubuh terutama
hati, limpa, sumsum tulang dan darah tepi. Limfoma maligna ini menyerang
kelenjar getah bening yang ditandai dengan terjadinya proliferasi sel limfoid atau
tahun 1832, oleh karena itu penyakit ini disebut sebagai limfoma Hodgkin yang
memiliki karakteristik berupa gambaran khas sel datia Reed-Stenberg. Sel datia
homogen serta memiliki dua nukleus yang eosinofil. Dorothy Reed Mendenhall
5
dan Carl Sternberg adalah dua orang ahli patologi yang berhasil mendeskripsikan
2.2 Diagnosis
untuk menyebar ke kelenjar getah bening dan berbagai jaringan dalam tubuh.
Kelenjar getah bening adalah salah satu organ yang memiliki aksesibilitas dalam
memanfaatkan teknik imunologi dan biologi molekular (Kumar dan Abbas, 2015)
menimbulkan suatu massa pada kelenjar getah bening. Massa atau pembesaran
kelenjar getah bening ini tidak nyeri apabila ditekan, dapat digerakkan, dan
bersifat elastis. Pembesaran kelenjar getah bening ini sering dibarengi dengan
terhadap infeksi. Gangguan pada sistem saraf pusat seperti parestesia dan nyeri
saraf. Pertanda khas lainnya adalah terjadinya pembesaran mediastinal yang dapat
6
dapat meyebabkan disfagia, anoreksi, muntah dan konstipasi. Organ padat seperti
paru-paru atau hati bisa juga mengalami implikasi akibat penyakit ini yang
akibat pembesaran massa jaringan limfa secara langsung. Secara umum gejala
yang dapat ditunjukkan dari penyakit ini sangat sedikit untuk bisa diamati. Gejala
yang paling sering muncul adalah demam ringan yang kadang-kadang disertai
dengan keringat malam. Beberapa pasien menunjukkan gejala demam naik turun
yang disertai dengan keringat malam atau disebut demam Pel-Epstein. Demam ini
terjadi selama beberapa minggu yang biasanya sering ditemukan pada pasien usia
lanjut .Gejala awal lainnya yang dapat diamati adalah terjadinya penurunan berat
badan lebih dari 10 persen dalam kurun waktu 6 bulan atau kurang tanpa adanya
2.2.2.1 Histopatologi
yang akurat dari sampel jaringan yang diambil dari pasien. Menginterpretasikan
namun bersifat subjektif. Dalam membuat laporan histopatologi dari suatu sampel
digunakan dalam mengamati struktur histologi dari jaringan yang diamati untuk
pemahaman dan cara mendiagnosis suatu limfoma. Banyak upaya yang telah
aspiration, upaya tersebut sampai saat ini baru berhasil sebagian. Hal tersebut
sehingga sulit untuk dibedakan dengan sel neoplastik jinak. Apabila sampel dari
fine needle aspiration yang dilihat di mikroskop tersusun dari satu jenis sel maka
dibedakan dengan adanya sel datia Reed-Sterberg yang khas dengan disertai sel
radang non neoplastik yang sangat banyak. Beberapa limfoma terdiri dari
beberapa jenis sel neoplastik, sementara yang lain mengandung campuran sel
limfoid jinak dan sel neoplastik yang sulit untuk dibedakan (Evans dan Robinson,
2012).
2.2.2.2 Imunohistokimia
imunofenotip yang terintegrasi dengan pola morfologi dari suatu jaringan. Untuk
mendeteksi kelainan yang terjadi pada kelenjar getah bening dengan pola histologi
gangguan kelenjar getah bening dengan pola histologis yang bersifat nodular
seperti folikular limfoma, mantle cell limfoma atau sejumlah kecil sel neoplastik
8
seperti limfoma Hodgkin, T-cell limfoma dan B-cell limfoma. Metode diagnosis
didalam sel normal ataupun sel yang bersifat neoplastik. Dasar dari teknik
pemeriksaan ini adalah interaksi antara antigen yang terdapat dalam sel dengan
sedangkan reaksi kimiawi ditandai dengan terjadinya reaksi antara enzim dengan
limfoma maligna terutama berbasis pada tes laboratorium. Berbeda seperti metode
mendefinisikan entitas limfoma yang relevan secara klinis. Dalam hal terjadinya
2000).
Dalam beberapa kasus, analisis kariotipe sedikit dilakukan karena sulit untuk
mendapatkan pertumbuhan sel limfoma tingkat rendah yang memadai dan tidak
Prosedur analisis ini membutuhkan jaringan segar dalam jumlah cukup besar
dengan memakan waktu pengerjaan yang cukup lama. Terlepas dari keterbatasan
ini, analisis Southern blot tetap menjadi metodologi yang berguna untuk beberapa
sejumlah kecil DNA atau RNA, relatif cepat, dan dapat mendeteksi kelainan pada
tingkat yang sangat rendah. PCR secara langsung dapat mengamplifikasi DNA
genom, dan metode ini dapat digunakan untuk berbagai jenis translokasi
yang lebih banyak untuk diamplifikasi dan PCR reverse transcriptase juga dapat
dihasilkan dari produk fusi RNA yang tidak mengandung DNA genom asli. Tes
PCR langsung biasanya dapat dilakukan pada jaringan tertanam dalam parafin,
serta jaringan segar dan beku. Karena degradasi RNA, sebagian besar tes RT-PCR
tidak bekerja pada jaringan tertanam dalam parafin (Ioachim dan Ratech, 2002).
dilakukan pada slide kaca atau suspensi sel sehingga sel secara utuh dapat
adanya keterlibatan virus dengan jenis sel tertentu. Fluoresensi in situ hibridisasi
(FISH) juga memungkinkan untuk visualisasi secara langsung terhadap kelainan
berbasis PCR, tetapi dapat mendeteksi kelainan seperti monosomi dan trisomi
yang tidak dapat diketahui dengan analisis PCR (Ioachim dan Ratech, 2002).
berantai polimerase pada sel yang produknya dapat divisualisasikan dengan cara
yang sama seperti pada hibridisasi in situ. Metodologi secara teknis sulit
yang memungkinkan sejumlah besar kelainan genetik dipilah pada suatu chip
analisis ini masih tetap menjadialatpenelitian. Metode molekuler yang tepat dalam
10
pertanyaan yang diajukan dan kelainan yang akan diuji (Ioachim dan Ratech,
2002).
2.3 Klasifikasi
Dalam dua dekade terakhir, kemajuan pesat dalam bidang imunologi dan
fungsi dari limfosit. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan konseptual dalam
secara umum dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu limfoma Hodgkin dan
Pada tahun 1966 dipublikasikan klasifikasi Rappaport yang telah diterima secara
11
morfologi, dan imunologis. Klasifikasi Kiel banyak digunakan di Eropa namun
yang terpadu, klasifikasi ini disebut dengan formulasi kerja untuk penggunaan
yang ada untuk memfasilitasi perbandingan klinis. Usaha yang dilakukan dalam
yang terperinci terhadap 1.175 kasus limfoma non-Hodgkin oleh para ahli
dengan formulasi kerja untuk penggunaan klinis atau Working Formulation for
Clinical Usage.
menerbitkan sebuah proposal untuk klasifikasi baru limfoma dengan judul berikut
genetiknya.
12
Tabel 2.1 Klasifikasi International Lymphoma Study Group
B-cell neolasms
I. Precursor B-cell neoplasm: precursor B-lymphoblastic leukemia/lymphoma
II. Peripheral B-cell neoplasms
13
Tabel 2.2 Beberapa klasifikasi limfoma
diagnostik yang cukup tinggi terhadap limfoma yaitu masing-masing sekitar 85%
maka klasifikasi REAL dengan beberapa perubahan yang disarankan oleh studi
klinis, diadopsi oleh WHO menjadi klasifikasi limfoma yang baru. Klasifikasi
WHO membagi limfoma non-Hodgkin atas tipe sel-B dan sel-T. Klasifikasi yang
14
Tabel 2.3 Klasifikasi limfoma berdasarkan WHO.
B-cell neoplasms
Precursor B-cell neoplasm
````Precursor B-lymphoblastic leukemia/lymphoma (precursor B-cell acute lymphoblastic)
Mature (peripheral) B-cell neoplasms
````B-cell chronic lymphocytic leukemia/small lymphocytic lymphoma
````B-cell prolymphocytic leukemia
````Lymphoplasmacytic lymphoma
````Splenic marginal zone B-cell lymphoma ( villous lymphocytes)
````Hairy cell leukemia
````Plasma cell myeloma/plasmacytoma
````Extranodal marginal zone B-cell lymphoma of MALT type
````Nodal marginal zone B-cell lymphoma ( monocytoid B cells)
````Follicular lymphoma
````Mantle cell lymphoma
````Diffuse large B-cell lymphoma
``````` Mediastinal large B-cell lymphoma
Primary effusion lymphoma
````Burkitt lymphoma/ Burkitt cell leukemia
15
2.5 Epidemiologi
salah satu dari sepuluh penyakit kanker terbanyak di dunia pada tahun 2012.
Secara umum persentase dari kasus baru dan kematian akibat limfoma pada anak
hodgkin diderita lebih banyak oleh penduduk laki-laki dan perempuan, yaitu
1,1% pada penduduk laki-laki dan 0.7% pada penduduk perempuan. Berdasarkan
data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 diperoleh prevalensi individu yang
dokter. Riset ini menyatakan bahwa prevalensi individu yang menderita limfoma
di Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar 0,06%, atau diperkirakan sebanyak
14.905 orang.
Gambar 2.3 Estimasi persentase kasus baru dan kematian akibat limfoma pada
penduduk laki-laki dan perempuan di dunia tahun 2012
(GLOBOCAN, 2012)
16
Provinsi DI Yogyakarta memiliki persentase prevalensi limfoma tertinggi,
yaitu sebesar 0,25% atau sekitar 890 orang. Berdasarkan estimasi jumlah
17