Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

Perkembangan Nilai, Moral Dan Sikap

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 8

Adriyan Mutmayani (E1M012001)

Elsa Junistisa Pratiwi (E1M012015)

Fadliylatum Mardliyah (E1M012019)

Muhamad Mahakam (E1M012041)

Rena Iswari (E1M012054)

Ria Novita Sari (E1M012055)

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MATARAM

2013

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,atas nikmat kesehatan dan
Kesempatan yang telah diberikan sehingga makalah yang berjudul Perkembangan Nilai,Moral
dan Sikap dapat selesai tepat waktunya.

Makalah ini kami susun berdasarkan buku-buku yang pernah kami baca,makalah ini dapat
dijadikan acuan bagi teman-teman khususnya kelompok kami dan umummnya bagi kita semua
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan,oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang
tentunya bersifat membangun demi kelengkapan makalah yang kami susun.

Akhir kata kami ucapkan banyak-banyak terimakasih kepada semua pihak yang menyempatkan
diri membuka dan membaca makalah ini semoga dapat bermanfaat.

Mataram, 3 Maret 2013

Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL..

KATA PENGANTAR. i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN.

1. Latar Belakang. 1
2. Rumusan Masalah 1
3. Tujuan .. 2
BAB II PEMBAHASAN..

1. Pengertian Nilai, Moral, dan Sikap. 3


2. Perkembangan Nilai, Moral dan Sikap. 11
3. Hubungan antara Nilai, Moral, dan Sikap.. 15
4. Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja.. 16
5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan

Nilai, Moral, dan Sikap. 17

1. Perbedaan Individu dalam Nilai, Moral, dan sikap... 20


2. Upaya Pengembangan Nilai, Moral, dan Sikap

Seperti Implikasinya bagi Pendidikan.. 21

BAB III PENUTUP..

1. Kesimpulan.
24
2. Saran..
25

Daftar Pustaka

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang.

Ada tiga konsep yang masing-masing mempuyai makna, pengaruh, dan konsekuensi yang besar
terhadap perkembangan perilaku individu, termasuk juga perilaku remaja, yaitu nilai, moral dan
sikap.
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap individu
mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam
lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.

Kehidupan modern sebagai dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menghasilkan
berbagai perubahan,pilihan dan kesempatan,tetapi mengandung berbagai resiko akibat
kompleksitas kehidupan yang ditimbulkan adalah munculnya nilai-nilai modern yang tidak jelas
dan membingungkan anak. Upaya pengembangan nilai, moral, dan sikap juga diharapkan dapat
dikembangkan secara efektif di lingkungan sekolah.

Oleh karena itu, sebagai mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, kita harus bisa
memahami pola-pola prilaku masyarakat terutama remaja yang akan kita didik nanti agar dapat
menjadi pribadi teladan yang akan mengajar, mendidik dan memahami kondisi remaja yang akan
kita hadapi.

1. Rumusan Masalah
1. Apa hakikat nilai, moral dan sikap dalam kehidupan manusia?
2. Apa hubungan antara nilai, moral dan sikap dalam kehidupan manusia?
3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi nilai, moral dan sikap manusia?
4. Bagaimanakah karakteristik remaja berdasarkan nilai, moral dan sikap?
5. Apa saja upaya dari problematika remaja yang berkaitan dengan nilai, moral dan
sikap?

1. Tujuan
1. Mengetahui hakikat nilai, moral dan sikap dalam kehidupan manusia.
2. Memahami hubungan antara nilai, moral dan sikap dalam kehidupan manusia.
3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi nilai, moral dan sikap manusia.
4. Mengetahui karakteristik remaja berdasarkan nilai, moral dan sikap.
5. Mengetahui dan menyikapi problematika remaja yang berkaitan dengan nilai,
moral dan sikap.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Nilai, Moral, dan Sikap

Ada tiga konsep yang masing-masing mempuyai makna, pengaruh, dan konsekuensi yang
besar terhadap perkembangan perilaku individu, termasuk juga perilaku remaja.

1. Nilai

Dalam kamus bahasa Indonesia, nilai adalah harga, angka kepandaian. Adapun menurut
Spranger, nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk
menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu.

Dalam perspektif Spranger, kepribadian manusia terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai
dan kesejahteraan. Meskipun menempatkan konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam
kepribadian manusia, tetapi spranger tetap mengakui kekuatan individual yang dikenal dengan
istilah roh subjektif (subjective spirit) dan kekuatan nilai-nilai budaya merupakan roh
objektif (objevtive spirit). Roh objektif akan berkembang manakala didukung oleh roh subjektif,
sebaliknya roh subjektif terbentuk dan berkembang dengan berpedoman kepada roh objektif
yang diposisikan sebagai cita-cita yang harus dicapai.

Menurut Harrocks, Nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial
membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai.

Dalam buku psikologi perkembangan peserta didik oleh Prof. Sinolungan mengatakan nilai
adalah suatu yang diyakini kebenarannya, dipercayai dan dirasakan kegunaannya, serta
diwujudkan dalam sikap atau perilakunya. Jadi, nilai bersifat normatif, suatu keharusan yang
menuntut diwujudkan dalam tingkah laku, misalnya nilai kesopanan dan kesederhanaan.
Misalnya, seseorang yang selalu bersikap sopan santun akan selalu berusaha menjaga tutur kata
dan sikap sehingga dapat membedakan tindakan yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain,
nilai-nilai perlu dikenal terlebih dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru
kemudian akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut.

Secara dinamis, nilai dipelajari dari produk sosial dan secara perlahan diinternalisasikan oleh
individu serta diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya. Nilai merupakan standar
konseptual yang relatif stabil dan emplisit membimbing individu dalam menentukan tujuan yang
ingin dicapai serta aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.

Spranger menggolongkan nilai itu kedalam enam jenis, yaitu:

1. Nilai teori atau nilai keilmuan (I)

Mendasari perbuatan seseorang atau kelompok orang yang bekerja terutama atas dasar
pertimbangan rasional.

1. Nilai ekonomi (E)

Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau kelompok orang atas dasar pertimbangan
ada tidaknya keuntungan finansial sebagai akibat dari perbuatannya.

1. Nilai sosial atau nilai solidaritas (Sd)

Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang terhadap orang lain tanpa menghiraukan akibat
yang mungkin timbul terhadap dirinya sendiri, baik berupa keberuntungan atau
ketidakberuntungan.

1. Nilai agama (A)

Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atas dasar pertimbangan kepercayaan bahwa
sesuatu itu dipandang benar menurrut ajaran agama.

1. Nilai seni (S)


Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau kelompok atas dasar pertimbangan rasa
keindahan atau rasa seni yang terlepas dari berbagai pertimbangan material.

1. Nilai politik atau nilai kuasa (K)

Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau kelompok orang atas dasar pertimbangan
baik buruknya untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya.

1. Moral

Istilah moral berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat,
atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang
tindakan manusia mana yang baik dan wajar. Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang
mengatur perilaku individu dalam kehidupannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral
merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu sebagai anggota sosial. Moralitas
merupakan aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan
sosial secara harmonis, adil, dan seimbang. Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya
kehidupan yang damai penuh keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan.

Perubahan pokok dalam moralitas selama masa remaja terdiri dari mengganti konsep-konsep
moral khusus dengan konsep-konsep moral tentang benar dan salah yang bersifat umum,
membangun kode moral berdasarkan pada prinsip-prinsip moral individual, dan mengendalikan
perilaku melalui perkembangan hati nurani.

Tokoh yang paling terkenal dalam kaitannya dengan pengkajian perkembangan perkembangan
moral adalah Lawrence E. Kohlbert (1995). Berdasarkan penelitiannya, Kohlbert (1995) menarik
sejumlah kesimpulan sebagai berikut:

1. penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional.


2. Terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan formal
harus diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk mempertanggungjawabkan
perbuatan moralnya.
3. Membenarkan gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun telah
mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral.

Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:

1. Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.


2. Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai
kodeprilaku.
3. Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.

Tahap-tahap perkembangan moral yang sangat dikenal diseluruh dunia adalah yang
dikemukakan oleh Lawrence E. Kohlbert (1995), yaitu sebagai berikut:
1. Tingkat Prakonvensional

Tingkat prakonvensional adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral masih


ditafsirkan oleh individu/anak berdasarkan akibat fisik yang akan diterimanya baik berupa
sesuatu yang menyakitkan atau kenikmatan.

Tingkat prakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:

Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan

Pada tahap ini, akibat-akibat fisik pada perubahan menentukan baik buruknya tanpa
menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghidari
hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya.

Tahap 2: Orientasi relativis-instrumental

Pada tahap ini, perbuatan dianggap benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk
memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan
antarmanusia diipandang seperti huubungan di pasar yang berorientasi pada untung-rugi.

1. Tingkat Konvensional

Tingkat konvensional atau konvensional awal adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan


moral dipatuhi atas dasar menuruti harapan keluarga, kelompok, atau masyarakat.

Tingkat konvensional memiliki dua tahap, yaitu:

Tahap 3: Orientasi kesepakatan antara pribadi atau desebut orientasi Anak Manis

Pada tahap ini, perilaku yang dipandang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang
lain serta yang disetujui oleh mereka.

Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban

Pada tahap ini, terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap, penjagaan tata tertib sosial.
Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menhormati otoritas,
aturan yang tetap, dan penjagaan tata tertib sosial yang ada. Semua ini dipandang sebagai sesuatu
yang bernilai dalam dirinya.

1. Tingkat Pascakonvensional, Otonom, atau Berdasarkan Prinsip


Tingkat pascakonvensional adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dirumuskan
secara jelas berdasarkan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat
diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip tersebut dan
terlepas pula dari identifikasi diri dengan kelompok tersebut.

Tingkat pascakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:

Tahap 5: Orientasi kontrak sosial legalitas

Pada tahap ini, individu pada umumnya sangat bernada utilitarian. Artinya perbuatan yang baik
cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara
kritis dan telah disepakati oleh masyarakat. Pada tahap ini terdapat kesadaran yang jelas
mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi sesuai dengan relativisme nilai tersebut.
Terdapat penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan, terlepas dari apa yang
telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, dan hak adalah masalah nilai dan pendapat
pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandang legal, tetapi dengan penekanan pada
kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat
sosial. Di luar bidang hukum, persetujuan bebas, dan kontrak merupakan unsur pengikat
kewajiban .

Tahap 6: Orientasi prinsip dan etika universal

Pada tahap ini, hak ditentukan oleh suara batin sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih
sendiri dan yang mengacu kepada komprehensivitas logis, universalitas, dan konsestensi logis.
Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis, bukan merupakan peraturan moral konkret. Pada
dasarnya inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas, persamaan hak asasi manusia,
serta rasa hormat kepada manusia sebagai pribadi.

Berdasarkan tingkatan dan tahapan perkembangan moral, kohlberg (1995) menerjemahkannya ke


dalam motif-motif individu dalam melakukan perbuatan moral. Sesuai dengan harapan
perkembangan moral, motif-motif perilaku moral manusia adalah sebagai berikut:

Tahap 1: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh penghindaran terhadap hukuman dan suara
hati yang pada dasarnya merupakan ketakutan irasional terhadap hukuman.

Tahap 2:Perbuatan moral individu dimotivasikan oleh keinginan untuk mendapat ganjaran dan
keuntungan. Sangat boleh jadi reaksi rasa bersalah diabaikan dan hukuman dipandang secara
pragmatis (membedakan rasa takut, rasa nikmat, atau rasa sakit dari akibat hukuman).

Tahap 3: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan orang lain, baik
yang nyata atau yang dibayangkan secara hipotesis.

Tahap 4: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan yang mendalam
karena kegagalan dalam melaksanakan kewajiban dan rasa bersalah diri atas kerugian yang
dilakukan terhadap orang lain.
Tahap 5:Perbuatan moral individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap upaya mempertahankan
rasa hormat terhadap orang lain dan masyarakat yang didasarkan atas akal budi dan bukan
berdasarkan emosi , keprihatinan terhadap rasa hormat bagi diri sendiri (misalnya, untuk
menghindari sikap menghakimi diri sendiri sebagai makhluk yang tidak rasional, tidak konsisten,
dan tanpa tujuan).

Tahap 6:Perbuatan moral individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap sikap mempersalahkan
diri karena melanggar prinsip-prinsipnya sendiri. Individu cenderung membedakan rasa hormat
dari diri sendiri. Selain itu juga dibedakan antara rasa hormat terhadap diri karena mencapai
rasionalitas dan rasa hormat terhadap diri sendiri karena mampu mempertahankan prinsip-prinsip
moral.

1. Sikap

Fishbein (1975) mendefenisikan sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk
merespon secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel laten yang
mendasari, mengarahkan dan mempengaruhi perilaku. Sikap tidak identik dengan respons dalam
bentuk perilaku, tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat disimpulkan dari konsistensi
perilaku yang dapat diamati. Secara operasional, sikap dapat diekspresikan dalam bentuk kata-
kata atau tindakan yang merupakan respons reaksi dari sikapnya terhadap objek, baik berupa
orang, peristiwa, atau situasi.

Menurut Chaplin (1981) dalam Dictionary of Psychology menyamakan sikap dengan pendirian.
Chaptin menegaskan bahwa sumber dari sikap tersebut bersifat kultural, familiar, dan personal.
Artinya, kita cenderung beranggapan bahwa sikap-sikap itu akan berlaku dalam suatu
kebudayaan tertentu, selaku tempat individu dibesarkan. Jadi, ada semacam sikap kolektif
(collective attitude) yang menjadi stereotipe sikap kelompok budaya masyarakat tertentu.
Sebagian besar dari sikap itu berlangsung dari generasi ke generasi di dalam struktur keluarga.
Akan tetapi, beberapa darin tingkah laku individu juga berkembang selaku orang dewasa
berdasarkan pengalaman individu itu sendiri. Para ahli psikologi sosial bahkan percaya bahwa
sumber-sumber penting dari sikap individu adalah propaganda dan sugesti dari penguasa-
penguasa, lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga lainnya yang secara sengaja diprogram
untuk mempengaruhi sikap dan perilaku individu.

Stephen R. Covey mengemukakan tiga teori determinisme yang diterima secara luas, baik
sendiri-sendiri maupun kombinasi, untuk menjelaskan sikap manusia, yaitu:

1. Determinisme genetis (genetic determinism): berpandangan bahwa sikap individu


diturunkan oleh sikap kakek-neneknya. Itulah sebabnya, seseorang memiliki sikap dan
tabiat seperti sikap dan tabiat nenek moyangnya.
2. Determinisme psikis (psychic determinism): berpandangan bahwa sikap individu
merupakan hasil pelakuan, pola asuh, atau pendidikan orang tua yang diberikan kepada
anaknya.
3. Determinism lingkungan (environmental determinism): berpandangan bahwa
perkembangan sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan individu itu tinggal
dan bagaimana lingkungan memperlakukan individu tersebut. Bagaimana
atasan/pimpinan memperlakukan kita, bagaimana pasangankita memperlakukan kita,
situasi ekonomi, atau kebijakan-kebijakan pemerintah, semuanya membentuk
perkembangan sikap individu.

Sikap merupakan salah satu aspek psikologi individu yang sangat penting karena sikap
merupakan kecenderungan untuk berperilaku sehingga akan banyak mewarnai perilaku
seseorang. Sikap setiap orang berbeda atau bervariasi, baik kualitas maupun jenisnya sehingga
perilaku individu menjadi bervariasi. Pentingnya aspek sikap dalam kehidupan individu,
mendorong para psikolog untuk mengembangkan teknik dan instrumen untuk mengukur sikap
manusia. Beberapa tipe skala sikap telah dikembangkan untuk mengukur sikap individu,
kelompok, maupun massa untuk mengukur pendapat umum sebagai dasar penafsiran dan
penilaian sikap.

Dari beberapa teknik atau skala sikap yang dapat digunakan, ada dua skala sikap yang utama dan
dikenal sangat luas, yaitu:

1. Skala Likert

Dalam skala ini disajikan satu seri pertanyaan-pertanyaan sederhana. Kemudian


responden diukur sikapnya untuk menjawab dengan cara memilih salah satu pilihan jawaban
yang telah disediakan. Yaitu:

1. Sangat setuju
2. Setuju
3. Ragu-ragu/netral
4. Tidak setuju, dan
5. Sangat tidak setuju.
6. Skala Thurstone

Dalam skala ini terdapat sejumlah pernyataan derajat-derajat kekuatan yang berbeda-beda dan
responden/subjek yang bersangkutan dapat menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap
pernyataan-pernyataan tersebut. Butir-butir pernyataannya dipilih sedemikian rupa sehingga
tersusun sepanjang satu skala interval-sama, dari yang sangat menyenangi sampai yang sangat
tidak menyenangkan.

1. Perkembangan Nilai, Moral dan Sikap

Menurut Danel Susanto, pertumbuhan ataupun perkembangan pada masa remaja biasanya
ditandai oleh beberapa perubahan-perubahan, seperti dibawah ini:

1. Perubahan fisik
Pada masa remaja terjadi pertumbuhan fisik yang cepat dan proses kematangan seksual.
Beberapa kelenjar yang mengatur fungsi seksualitas pada masa ini telah mulai matang dan
berfungsi. Disamping itu tanda-tanda seksualitas sekunder juga mulai nampak pada diri remaja.

1. Perubahan intelek

Menurut perkembangan kognitif yang dibuat oleh Jean Piaget, seorang remaja telah beralih dari
masa konkrit-operasional ke masa formal-operasional. Pada masa konkrit-operasional, seseorang
mampu berpikir sistematis terhadap hal-hal atau obyek-obyek yang bersifat konkrit, sedang pada
masa formal operasional ia sudah mampu berpikir se-cara sistematis terhadap hal-hal yang
bersifat abstrak dan hipotetis. Pada masa remaja, seseorang juga sudah dapat berpikir secara
kritis.

1. Perubahan emosi

Pada umumnya remaja bersifat emosional. Emosinya berubah menjadi labil. Menurut aliran
tradisionil yang dipelopori oleh G. Stanley Hall, perubahan ini terutama disebabkan oleh
perubahan yang terjadi pada kelenjar-kelenjar hor-monal. Namun penelitian-penelitian ilmiah
selanjutnya menolak pendapat ini. Sebagai contoh, Elizabeth B. Hurlock menyatakan bahwa
pengaruh lingkungan sosial terhadap per-ubahan emosi pada masa remaja lebih besar artinya bila
dibandingkan dengan pengaruh hormonal.

1. Perubahan sosial

Pada masa remaja, seseorang memasuki status sosial yang baru. Ia dianggap bukan lagi anak-
anak. Karena pada masa remaja terjadi perubahan fisik yang sangat cepat sehingga menyerupai
orang dewasa, maka seorang remaja juga sering diharapkan bersikap dan bertingkahlaku seperti
orang dewasa. Pada masa remaja, seseorang cenderung untuk meng-gabungkan diri dalam
kelompok teman sebaya. Kelompok so-sial yang baru ini merupakan tempat yang aman bagi
remaja. Pengaruh kelompok ini bagi kehidupan mereka juga sangat kuat, bahkan seringkali
melebihi pengaruh keluarga. Menu-rut Y. Singgih D. Gunarsa & Singgih D. Gunarsa, kelompok
remaja bersifat positif dalam hal memberikan kesempatan yang luas bagi remaja untuk melatih
cara mereka bersikap, bertingkahlaku dan melakukan hubungan sosial. Namun kelompok ini
juga dapat bersifat negatif bila ikatan antar mereka menjadi sangat kuat sehingga kelakuan
mereka menjadi overacting dan energi mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat merusak.

1. Perubahan moral

Pada masa remaja terjadi perubahan kontrol tingkahlaku moral: dari luar menjadi dari dalam.
Pada masa ini terjadi juga perubahan dari konsep moral khusus menjadi prinsip moral umum
pada remaja. Karena itu pada masa ini seorang remaja sudah dapat diharapkan untuk mempunyai
nilai-nilai moral yang dapat melandasi tingkahlaku moralnya. Walaupun demikian, pada masa
remaja, seseorang juga mengalami kegoyahan tingkah laku moral. Hal ini dapat dikatakan wajar,
sejauh kegoyahan ini tidak terlalu menyimpang dari moraliatas yang berlaku, tidak terlalu
merugikan masyarakat, serta tidak berkelanjutan setelah masa remaja berakhir.
Ada lima pendekatan dalam penanaman nilai yakni:

1. Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach),

Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi
penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Pendekatan ini sebenarnya
merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang ditujukan
kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan
demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976). Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk
memilih nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths et al. (1978) kehidupan manusia berbeda
karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk
generasi yang akan datang. Menurut beliau, setiap generasi mempunyai hak untuk menentukan
nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu diajarkan kepada generasi muda bukannya nilai,
melainkan proses, supaya mereka dapat menemukan nilai-nilai mereka sendiri, sesuai dengan
tempat dan zamannya.

1. Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach),

Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam
membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat
sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat
yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1989).

Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu
siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang
lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih
nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al., 1976; Banks, 1985).

Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971,
1977). Selanjutkan dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al.
1980). Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut:

1. Tahap premoral atau preconventional. Dalam tahap ini tingkah laku seseorang
didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial;
2. Tahap conventional. Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit
kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.
3. Tahap autonomous. Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai
dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima
kriteria kelompoknya.

Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui


pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak
ketika bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan,
Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak
mempengaruhi pertimbangan moral mereka

1. Pendekatan analisis nilai (values analysis approach),

Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan
kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan
dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah
satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada
pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan
perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilemma moral yang bersifat perseorangan.

1. Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach),

Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha
membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan
kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Pendekatan ini memberi penekanan pada
nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang. Bagi penganut pendekatan ini, nilai bersifat
subjektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada berbagai latar belakang pengalamannya
sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya. Oleh
karena itu, bagi penganut pendekatan ini isi nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat
dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam
melakukan proses menilai.

1. Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) (Superka, et. al. 1976).

Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha
memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara
perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok.

Menurut Elias (1989), walaupun pendekatan ini berusaha juga untuk meningkatkan keterampilan
moral reasoning dan dimensi afektif, namun tujuan yang paling penting adalah memberikan
pengajaran kepada siswa, supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum
sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis.

1. Hubungan antara Nilai, Moral, dan Sikap

Nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk sesuatu, moral merupakan
perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan predikposisi atau
kecenderungan individu untuk merespon terhadap suatu objek atau sekumpulan objek bebagai
perwujudan dari sistem nilai dan moral yang ada di dalam dirinya. Sistem nilai mengarahkan
pada pembentukan nilai-nilai moral tertentu yang selanjutnya akan menentukan sikap individu
sehubungan dengan objek nilai dan moral tersebut. Dengan sistem nilai yan dimiliki individu
akan menentukan perilaku mana yang harus dilakukan dan yang harus dihindarkan, ini akan
tampak dalam sikap dan perilaku nyata sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang
mendasarinya.

Bagi Sigmund Freud (Gerald Corey, 1989), yang telah menjelaskan melalui teori
Psikoanalisisnya, antara nilai, moral, dan sikap adalah satu kesatuan dan tidak dibeda-bedakan.
Dalam konsep Sigmund Freud, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari tiga, yaitu:

1. Id atau Das Es
2. Ego atau Das Ich
3. Super Ego atau Da Uber Ich.

Id berisi dorongan naluriah, tidak rasional, tidak logis, tak sadar, amoral, dan bersifat
memenuhi dorongan kesenangan yang diarahkan untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan
dan menghindari kesakitan. Ego merupakan eksekutif dari kepribadian yang memerintah,
mengendalikan dan mengatur kepribadian individu. Tugs utama Ego adalah mengantar
dorongan-dorongan naluriah dengan kenyataan yang ada di dunia sekitar. Superego adalah
sumber moral dalam kepribadian. Superego adalah kode moral individu yang tugas utamanya
adalah mempertimbangkan apakah suatu tindakan baik atau buruk, benar atau salah. Superego
memprestasikan hal-hal yang ideal bukan hal-hal yang riil, serta mendorong ke arah
kesempurnaan bukan ke arah kesenangan.

Dalam konteksnya hubungan antara nilai, moral, dan sikap adalah jika ketiganya sudah
menyatu dalam superego dan seseorang yang telah mampu mengembangkan superegonya
dengan baik, sikapnya akan cenderung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan aturan moral tertentu
sehingga akan terwujud dalam perilaku yang bermoral. Ini dapat terjadi karena superego yang
sudah berkembang dengan baik dapat mengontrol dorongan-dorongan naluriah dari id yang
bertujuan untuk memenuhi kesenangan dan kepuasan. Berkembangnya superego dengan baik,
juga akan mendorong berkembang kekuatan ego untuk mengatur dinamika kepribadian antara id
dan superego, sehingga perbuatannya selaras dengan kenyataannya di dunia sekelilingnya.

1. Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja.

Karena masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri dari
lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya maka masa remaja menjadi suatu periode
penting dalam pembentukan nilai. Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol
berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat diperlukan sebagai pedoman,
pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri
menuju kepribadian yang semakin matang.

Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai dengan
tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional formal, yaitu
mulai mampu berfikir abstrak dan mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotesis
maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak hanya lagi terikat pada waktu, tempat,
dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka. Perkembangan
pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan kewajiban
mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggap sebagai suatu yang bernilai,
walau belum mampu mempertanggujawabkan secara pribadi.

Tingkat perkembangan fisik psikis yang dicapai remaja berpengaruh pada perubahan sikap dan
perilakunya. Perubahan sikap yang cukup menyolok dan ditempatkan sebagai salah satu karakter
remaja adalah sikap menentang nilai-nilai dasar hidup orang tua atau orang dewasa lainnya.
Apabila kalau orang tua dan orang dewasa berusaha memaksakan nilai-nilai yang dianutnya
kepada remaja. Sikap menentang pranata adat kebiasaan yang ditunjukkan oleh para remaja
merupakan gejala wajar yang terjadi sebagai untuk kemampuan berfikir kritis terhadap segala
sesuatu yang dihadapi dalam realitas. Gejala sikap menentang pada remaja hanya bersifat
sementara dan akan berubah serta berkembang ke arah moralitas yang lebih matang dan mandiri.

1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap individu
mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam
lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Kondisi psikologis, pola interaksi, pola
kehidupan beragama, berbagai sarana rekreasi yang tersedia dalam lingkungan keluarga, sekolah,
dan masyarakat akan mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap individu yang tumbuh
dan berkembang di dalam dirinya.

1. Lingkungan Keluarga

Keluarga sebagai lingkungan pertama yang mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap
seseorang. Biasanya tingkah laku seseorang berasal dari bawaan ajaran orang tuanya. Orang-
orang yang tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di masa kecil,
kemungkinan besar mereka tidak mampu mengembangkan superegonya sehingga mereka bias
menjadi orang yang sering melakukan pelanggaran norma.

1. Lingkungan Sekolah

Di sekolah, anak-anak mempelajari nilai-nilai norma yang berlaku di masyarakat sehingga


mereka juga dapat menentukan mana tindakan yang baik dan boleh dilakukan. Tentunya dengan
bimbingan guru. Anak-anak cenderung menjadikan guru sebagai model dalam bertingkah laku,
oleh karena itu seorang guru harus memiliki moral yang baik.

1. Lingkungan Pergaulan
Dalam pengembangan kepribadian, factor lingkungan pergaulan juga turut mempengaruhi nilai,
moral dan sikap seseorang. Pada masa remaja, biasanya seseorang selalu ingin mencoba suatu
hal yang baru. Dan selalu ada rasa tidak enak apabila menolak ajakan teman. Bahkan terkadang
seorang teman juga bisa dijadikan panutan baginya.

1. Lingkungan Masyarakat

Masyarakat sendiri juga memiliki pengaruh yang penting terhadap pembentukan moral. Tingkah
laku yang terkendali disebabkan oleh adanya control dari masyarakat itu sendiri yang
mempunyai sanksi-sanksi tersendiri untuk pelanggar-pelanggarnya.

1. Teknologi

Pengaruh dari kecanggihan teknologi juga memiliki pengaruh kuat terhadap terwujudnya suatu
nilai. Di era sekarang, remaja banyak menggunakan teknologi untuk belajar maupun hiburan.
Contoh: internet memiliki fasilitas yang menwarkan berbagai informasi yang dapat diakses
secara langsung.

Nilai positifnya, ketika remaja atau siswa mencari bahan pelajaran yang mereka butuhkan
mereka dapat mengaksesnya dari internet. Namun internet juga memiliki nilai negative seperti
tersedianya situs porno yang dapat merusak moral remaja. Apalagi pada masa remaja memiliki
rasa keingintahuan yang besar dan sangat rentan terhadap informs seperti itu. Mereka belum bisa
mengolah pikiran secara matang yang akhirnya akan menimbulkan berbagai tindak kejahatan
seperti pemerkosaan dan hamil di luar nikah/hamil usia dini.

Remaja yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang
penuh rasa aman secara psikologis, pola interaksi yang demokratis, pola asuh bina kasih, dan
religius dapat diharapkan berkembang menjadi remaja yang memiliki budi luhur, moralitas
tinggi, serta sikap dan perilaku terpuji. Sebaliknya individu yang tumbuh dan berkembang
dengan kondisi psikologis yang penuh dengan konflik, pola interaksi yang tidak jelas, pola asuh
yang tidak berimbang dan kurang religius maka harapan agar anak dan remaja tumbuh dan
berkembang menjadi individu yang memiliki nilai-nilai luhur, moralitas tinggi, dan sikap
perilaku terpuji menjadi diragukan.

Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak memperoleh
nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal
nlai-nilai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan nilai moral
anak, peranan orangtua sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Menurut
Adamm dan Gullotta, terdapat beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orang tua
mempengaruhi nilai remaja, yaitu sebagai berikut :

1. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat moral remaja dengan tingkat moral
orangtua.
2. Ibu-ibu remaja yang tidak nakal mempunyai skor yang lebih tinggi dalam tahapan nalar
moralnya daripada ibu-ibu yang anaknya nakal, dan remaja yang tidak nakal mempunyai
skor lebih tinggi dalam kemampuan nalar moralnya daripada remaja yang nakal.
3. Terdapat dua faktor yang dapat meningkatkan perkembangan moral anak atau remaja,
yaitu: orangtua yang mendorong anak untuk berdiskusi secara demokratik dan terbuka
mengenai berbagai isu, dan orangtua yang menerapkan disiplin terhadap anak dengan
teknik berpikir induktif.

Beberapa sikap orangtua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral anak,
diantaranya sebagai berikut :

1. Konsisten dalam mendidik anak

Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan
tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada
suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan pada waktu lain.

1. Sikap orangtua dalam keluarga

Secara tidak langsung, sikap orang tua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu, atau sebaliknya,
dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi) Sikap
orangtua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan
sikap yang acuh tak acuh atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang
bertanggungjawab dan kurang memperdulikan norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya
dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah (dialogis).

1. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut

Orangtua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk disini panutan dalam mengamalkan
ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religious (agamis), dengan cara
memberikan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan
mengalami perkembangan moral yang baik.

1. Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma

Orangtua yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka mereka
harus menjauhkan dirinya dari prilaku berbohong atau tidak jujur. Apabila orangtua mengajarkan
kepada anak, agar berprilaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggungjawab atau taat
beragama, tetapi orangtua sendiri menampilkan perilaku sebaliknya, maka anak akan mengalami
konflik pada dirinya, dan akan menggunakan ketidakkonsistenan orangtua itu sebagai alas an
untuk tidak melakukan apa yang diinginkan orangtuanya, bahkan mungkin dia akan berprilaku
seperti orangtuanya.

1. Perbedaan Individu dalam Nilai, Moral, dan sikap.


Sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu kelompok
masyarakat sosial tertentu belum tentu dinilai positif oleh kelompok masyarakat lain. Sama
halnya, sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu keluarga
tertentu belum tentu dinilai positif oleh keluarga lain. Ada suatu keluarga yang mengharuskan
para anggota berpakaian muslimah dan sopan karena cara berpakaian seperti itulah dipandang
bernilai dan bermoral. Akan tetapi, ada keluarga lain yang lebih senang dan memandang lebih
bernilai jika anggotanya berpakaian modis, trendi, dan mengikuti tren mode yang sedang merak
dikalangan selebritis.

Setiap individu mempunyai perbedaan dalam menyikapi nilai, moral dan sikap, tergantung
dimana individu tersebut berada. Pada anak-anak terdapat anggapan bahwa aturan-aturan adalah
pasti dan mutlak oleh karena diberikan oleh orang dewasa atau Tuhan yang tidak bisa diubah lagi
(Kohlberg, 1963). Sedangkan pada anak-anak yang berusia lebih tua, mereka bisa menawar
aturan-aturan tersebut kalau disetujui oleh semua orang.

Pada sebagian remaja dan orang dewasa yang penalarannya terhambat, pedoman mereka
hanyalah menghindari hukuman. Sedangkan untuk tingkat kedua sudah ada pengertian bahwa
untuk memenuhi kebutuhan sendiri seseorang juga harus memikirkan kepentingan orang lain.
Perbedaan perseorangan juga dapat dilihat pada latar belakang kebudayaannya. Jadi, ada
kemungkinan terdapat individu atau remaja yang tidak mencapai perkembangan nilai, moral dan
sikap serta tingkah laku yang diharapkan padanya.

Oleh sebab itu, hal yang wajar jika terjadi perbedaan individual dalam suatu keluarga atau
kelompok masyarakat tentang sistem nilai, moral, maupun sikap yang dianutnya. Perbedaan
individual didukung oleh fase, tempo, dan irama perkembangan masing-masing individu. Dalam
teori perkembangan pemikiran moral dari Kohlberg juga dikatakan bahwa setiap individu dapat
mencapai tingkat perkembangan moral yang paling tinggi, tetapi kecepatan pencapaiannya juga
ada perbedaan antara individu satu dengan lainnya meskipun dalam suatu kelompok sosial
tertentu. Dengan demikian, sangat dimungkinkan individu yang lahir pada waktu yang relatif
bersamaan, sudah lebih tinggi dan lebih maju tingkat pemikirannya.

1. Upaya Pengembangan Nilai, Moral, dan Sikap Seperti Implikasinya bagi Pendidikan

Suatu sistem sosial yang paling awal beruasaha menumbuhkembangkan sistem nilai, moral, dan
sikap kepada anak adalah keluarga. Ini didorong oleh keinginan dan harapan orang tua yang
cukup kuat agar anaknya tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki dan
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar
dan yang salah, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, serta memiliki sikap dan perilaku
yang terpuji sesuai dengan harapan orang tua, masyarakat sekitar, dan agama. Melalui proses
pendidikan, pengasuhan, pendampingan, pemerintah, larangan, hadiah, hukuman, dan intervensi
edukatif lainnya, para orang tua menanamkan nilai-nilai luhur, moral, dan sikap yang baik bagi
anak-anaknya agar dapat berkembang menjadi generasi penerus yang diharapkan.
Perwujudan nilai, moral, dan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Tidak semua individu
mencapai pengembangan nilai-nilai hidup, perkembangan moraldan tingkah laku seperti yang
diharapkan. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai,moral dan
sikap remaja adalah berikut:

1. Menciptakan komunikasi.

Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang nilai-nilai dan moral. Tidak
hanya memberikan evaluasi, tetapi juga merangsang anak tersebut supaya lebih aktif dalam
beberapa pembicaraan dan pengambilan keputusan. Di lingkungan keluarga, teman sepergaulan,
serta organisasi atau kelompok. Sedangkan disekolah misalnya anak diberi kesempatan untuk
kerja atau diskusi kelompok. Sehingga anak berperan secara aktif dalam tanggung jawab dan
pengambilan keputusan. Anak tidak hanya harus mendengarkan tetapi juga harus dirangsang
agar lebih aktif. Misalnya mengikutsertakan ia dalam pengambilan keputusan di keluarga dan
pemberian tanggung jawab dalam kelompok sebayanya. Karena nilai-nilai kehidupan yang
dipelajari barulah betul-betul berkembang apabila telah dikaitkan dalam konteks kehidupan
bersama.

1. Menciptakan iklim lingkungan yang serasi.

Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu, dan moral dan kemudian berhasil memiliki
sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup itu umumnya adalah seseorang yang
hidup dalam lingkungan secara positif,jujur dan konsekuen dalam tingkah laku yang merupakan
pencerminan nilai hidup tersebut.

Untuk remaja, moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri oleh karena mereka sedang dalam
keadaan membutuhkan suatu pedoman atau petunjuk dalam rangka mencari jalannya sendiri.
Pedoman ini untuk menumbuhkan identitas diri,kepribadian yang matang dan menghindarkan
diri dari konflik-konflik yang selalu terjadi di masa ini. Nilai nilai keagamaan perlu mendapat
perhatian, karena agama juga mengatur tingkah laku baik buruk. Sehingga dapat dikatakan
bahwa suatu lingkungan yang lebih bersifat mengajak, mengundang, atau member kesempatan
akan lebih efektif daripada lingkungan yang ditandai dengan adanya larangan- larangan yang
bersifat serba membatasi.
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan

Ada tiga konsep yang masing-masing mempuyai makna, pengaruh, dan konsekuensi yang besar
terhadap perkembangan perilaku individu, termasuk juga perilaku remaja, yaitu nilai merupakan
sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat keputusan mengenai apa
yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai, kedua moral yang berasal dari kata Latin
Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral
adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan
wajar, ketiga adalah sikap.Fishbein (1975) mendefenisikan sikap adalah predisposisi emosional
yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap suatu objek.

Dalam konteksnya hubungan antara nilai, moral, dan sikap adalah jika ketiganya sudah menyatu
dalam superego dan seseorang yang telah mampu mengembangkan superegonya dengan baik,
sikapnya akan cenderung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan aturan moral tertentu sehingga
akan terwujud dalam perilaku yang bermoral.

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap individu
mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam
lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.

Suatu sistem sosial yang paling awal beruasaha menumbuhkembangkan sistem nilai, moral, dan
sikap kepada anak adalah keluarga. Melalui proses pendidikan, pengasuhan, pendampingan,
pemerintah, larangan, hadiah, hukuman, dan intervensi edukatif lainnya, para orang tua
menanamkan nilai-nilai luhur, moral, dan sikap yang baik bagi anak-anaknya agar dapat
berkembang menjadi generasi penerus yang diharapkan.

1. Saran

Adapun saran yang dapat kami sampaikan, setelah kami mengkaji tentang perkembangan nilai
moral dan sikap pada masa remaja adalah:

1. orang tua di dalam rumah harus bertanggung jawab untuk mendidika moral anaknya
2. guru di sekolah juga bertanggungjawab untuk mendidik moral anak didiknya, tidak hanya
sekedar pintar dalam keilmuan tetapi harius pentar dalam bertindak dan bersikap
(berakhlak).
3. masyarakat harus ikut serta mencegah anak yang amoral dan mendukung anak yang
bermoral.
Upaya pengembangan nilai, moral dan sikap diharapkan dapat menjadikan seseorang menjadi
individu yang diharapkan yakni melalui penciptaan komunikasi serta penciptaan iklim
lingkungan yang serasi.
Di susun untuk memenuhi mata kuliah
Perkembangan Peserta Didik
Yang dibina oleh Dra. Sutji Rahaju, M. Si.

Disusun Oleh :
Binti Sulistiorini (100153405967)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN KEPENDIDIKAN SEKOLAH DASAR DAN PRASEKOLAH
PROGRAM STUDI S1 PAUD
APRIL 2011

KATA PENGANTAR

Alahamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT, atas segala
limpahan kerunia serta limpahan Rahmat dan Hidayahnya sehingga Makalah yang berjudul
Perkembangan Moral Anak Usia Dini ini dapat diselesaikan dengan baik.
Meskipun segala upaya dan pikiran telah penulis tuangkan, tetapi penulis menyadari adanya
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penyusunan selanjutnya.
Semoga bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis akan mendapatkan imbalan
yang sesuai dengan ridho ALLAH SWT. Penulis berharap semoga penyusunan makalah ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak, terutama untuk meningkatkan mutu pendidikan di TK.

Blitar, April 2011

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Judul.i
Daftar Isi.ii
Kata Pengantariii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah1
B. Rumusan Masalah1
C. Tujuan Penulisan..2
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan dan Saran..6
DAFTAR
PUSTAKA7

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Karya tulis ilmiah merupakan karya tulis yang di susun oleh ilmuan atau masyarakat akademis
sebagai karya puncak atau karya monumental yang menandai kapakarannya.
Karya ilmiah pada dasarnya merupakan sarana penyampaian informasi baru yang berbentuk
gagasan, kajian, atau temuan hasil penelitian yang berkaitan dengan bidang-bidang keilmuan
yang digelutinya.
Karya tulis ilmiah dirancang dengan tujuan dan maksud tertentu. Oleh karena itu, maka kita
melihat beberapa karya tulis ilmiah dalam beberapa bentuk, seperti makalah, artikel, proposal,
skripsi, tesis atau disertasi. Masing-masing bentuk karya tulis tersebut memiliki format yang
berbeda sesuai dengan tujuan dan maksud penulisannya.
Ada berbagai manfaat akademis yang dapat diperoleh bila menekuni kegiatan karya ilmiah,
misalnya terpacu membaca secara selektif, terlatih menggabungkan hasil bacaan, menyarikan,
dan mengembangkannya, terbiasa melacak atau mencari informasi di perpustakaan, terbiasa
menemukan fakta, mengorganisasikan, dan menyajikan fakta secara jelas dan sistematis, terbiasa
berpikir ilmiah, baik secara induktif, dedukatif, maupun penggabungan keduanya, mendapatkan
kepuasan intelektual, dan turut andil dalam membuka cakrawala iptek bagi masyarakat.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka terdapat rumusan masalah sebagai berikut:

C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka terdapat beberapa tujuan al:
1. menjelaskan tentang pengertian karyta ilmiah.
2. menjelaskan tentang sikap ilmiah.
3. menjelaskan jenis-jenis karya ilmiah.
4. menjelaskan langkah-langkah penulisan karya ilmiah.
5. menjelaskan pengertian kerangka dan langkah-langkah penyusunan kerangka.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Moral, Sikap dan Nilai


Moral berasal dari kata latin mores yang berarti tata cara , kebiasaan, dan adat. Perilaku sikap
moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial, yang dikembangakan
oleh konsep moral. Yang dimaksud dengan konsep moral ialah peraturan perilaku yang telah
menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya. Konsep moral inilah yang menentukan pola
perilaku yang diharapakan dari seluruh anggota kelompok.
Menurut piaget (sinilungan, 1997), hakikat moralitas adalah kecenderungan menerima dan
menaati sistem peraturan. Selanjutnya, kohlberg (gnarsa, 1985) mengemukakan bahwa aspek
moral adalah sesuatu yang tidak dibawa dari lahir, tapisesuatu yang berkembang dan dapat
diperkembangkan/dipelajari. Perkembangan moral merupakan proses internalisasi nilai/norma
masyarakat sesuai dengan kematangan dan kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri
terhadap aturan yang berlaku dalam kehidupannya. Jadi, perkembangan moral mencangkupaspek
kognitif yaitu pengetahuan tentang baik/buruk atau benar/salah, dan aspek afektif yaitu sikap
perilaku moral itu dipraktekkan. piaget mengajukan perkembangan moral, yang digambarkan
pada aturan permainan. Menurut beliau hakekat moralitas adalah kecenderungan menerima dan
menaati sistem peraturan.Piaget membagi perkembangan menjadi 3 fase yaitu:
a. fase absolut
anak menghayati peraturan sebagai suatu hal yang dapat diubah, karena berasal dari otoritas yang
dihormatinya. Disini peraturan sebagai moral adalah obyek eksternal yang tidak boleh diubah.
b. fase realitas
anak menyesuaikan diri untuk menghindari penolakan orang lain. Peraturan dianggap dapat
diubah, karena berasal dari perumusan bersama. Mereka menyetujui perubahan yang jujur dan
disetujui bersama, serta merasa bertanggung jawab menaatinya.
c. fase subyektif
anak memperhatikan motif/kesengajaan dalam penilaian perilaku. Perkembangan moral
dipengaruhi upaya membebaskan diri dari ketergantungan pada orang tua, meningkatkan
interaksi dengan sesama dan berkontak dengan pandangan lain. Dengan interaksi yang
bertambah luas anak makin mampu memahami pandangan orang lain dan berbagi aturan untuk
kehidupan bermoral dalam kebersamaan.
Disamping perilaku moral ada juga perilaku tak bermoral yaitu perilaku yang tidak sesuai
dengan harapan sosial karena sikap tidak setuju dengan standar sosial yang berlaku atau kurang
adanya perasaan wajib menyesuaikan diri, serta perilaku amoral atau nonmoral yaitu perilaku
yang tidak sesuai dengan harapan sosial karena ketidakacuhan atau pelanggaran terhadap standar
kelompok sosial.
Sikap adalah perilaku yang berisi pendapat tentang sesuatu. Dalam sikap positif tersirat sistem
nilai yang dipercayai atau diyakini kebenarannya. Nilai adalah suatu yang diyakini, dipercaya,
dan dirasakan serta diwujudkan dalam sikap atau perilak. Biasanya, nilai bermuatan pegalaman
emosional masa lalu yang mewarnai cita-cita seseorang, kelompok atau masyarakat. Moral
merupakan wujud abstrak dari nilai-nilai, dan tampila secara nyata/kongkret dalam perilaku
terbuka yang dapat diamati. Sikap moral muncul dalam praktek moral dengan kategori
positif/menerim, netral, atau negatif/menolak.
Anak yang bersikap positif atau menerima nilai-nilai mora, diekspresiakan dalam perilaku yang
bersimpati dalam berinteraksi dengan nilai dan orang disekitarnya, seperti mau menerima,
mendukung, peduli, dan berpartisipasi dalam kegiatan kelompok. Sikap moral yang netral
diekspresikan dalam perilaku sikap tidak memihak (mendukung atau menolak) terhadap nilai
yang ada di masyarakat. Siakp moral yang negatif diekspresikan dalam perilaku menolak yang
diwarnai emosi dan sikap negatif seperti kecewa, kesal, marah, benci, bermusuhan, dan
menentang, perhadap nilai moral yang ada di masyarakat.
Pada sikap dan perilaku moral tersirat nilai-nilai yang dianit berkaitan dengan nilai mengenai
sesuatu yang dikatakan baik dan benar, patut, dan seharusnya terjadi. Sikap moral sebagian besar
diteruskan dari generasi ke generasi melalui proses pendidiakan seumur hidup. Ada nilai-nilai
yang perlu dipertahankan, ada yangdiasimilasikan ke arah kemajuan atau perubahan progresif,
tetapi ada juga yang berubah atau bergeser karena berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Sebagai guru, anda perlu memahami perkembangan sikap moral agar dapat membantu peserta
didik mengembangkan sikap moral yang dikendaki, mendidik peserta didik menjadi anak yang
baik, dan bersikap moral secara baik dan benar.
Nilai adalah suatu yang diyakini, dipercayai, dirasakan dan diwujudkan dalam sikap/perilaku.
1. Dotrin dan dogma
Nilai-nilai moral yang dihormati masyarakat menjadi pandangan hidup/pedoman umum untuk
perilaku tiap warga. Pedoman umum muncul sebagai doktrin/dogma suatu kelompok. Doktrin
dari suati ideologi adalah nilai-nilai berupa pendapat yang lama dikaji, dialami, deterima suatu
kelompok serta diperjuangkan untuk diwujudkan dalam masyarakat.
Dogma adalah patokan nilai-nilai agama yang dipercaya/diyakini dan diupayakan
perwujudannya oleh warganya dalam masyarakat.
2. Sikap dan kategori moral
Sikap warga terhadap suatu hal muncul dalam praktek moral dengan kategori positif/menerima,
netral, negatif/menolak.
Manusia bersikap positif terhadap hal yang memberi kepuasan pada pemenuhan kebutuhan juga
pencapaian cita-cita sesuai tujuan hidup, sikap positf muncul dalam perilaku asosiatif,
akomodatif,integratif dan konstruktif. Juga mungkin bersikap netral yaitu tak mendukung juga
tidak menolak.
Hal-hal yang mengecewakan menumbuhkan emosi dan sikap negatif. Sikap negatif terwujud
dalam perilaku yang mewarnai rasa jengkel, kecewa, benci, marah, atau bermusuhan.
3. Perilaku bermoral dan perubahan
Dalam perilaku bermoral didalamnya terdapat nilai-nilai yang dianut. Ini menunjukkan apa yang
baik, benar, patut serta seharusnya terjadi. Jika terjadi peringatan, pembuatan janji, memulai
serta maksud membela diri menyatakan penyesalan/menggambarkan suatu harapan.
Sikap moral sebagian besarditeruskan dari generasi ke generasi, penampilan sikap dapat
mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan kepribadian yang mewarnai perilaku
seseorang. Ia aktif dan selektif membentuk sikap untuk berperilaku bermoral dalam
lingkungannya.
Dalam perkembangan kepribadian seseorang mungkin bersikap mempertahankan nilai-nilai lama
(konservatif) / mengasimilasai perubahan kearah kemajuan (progresif). Hal-hal ini menjadi
prinsip moral selaku pedoman yang mewarnai/mendominasai perilakunya.

B. Pola Perkembangan Moral


Dalam mempelajari perkembangan sikap moral peserta didik usia sekolah, piaget (sinolungun,
1997) mengemukakan tiga tahap perkembangan moral sesuai dengan kajian pada aturan dalam
permainan anak.
1. Fase absolut, dimana anak menghayati peraturan sebagai sesuatu hal yang mutlak, tidak dapat
diubah, karena berasal dari otoritas yang dihormati (orang tua, guru, anak yang lebih berkuasa)
2. Fase realitas, dimana anak menyesuaikan diri untuk menghindari penolakan orang lain. Dalam
permainan, anak menaati aturan yang disepakati bersama sebagai suatu kenyataan/realitas yang
dapat diubah asal disetujui bersama.
3. Fase subjektif, dimana anak memperhatikan motif atau kesengajaandalam memahami aturan
dan gembira mengembangakan sertamenerapkan.

Dalam kategori perkembangan moralnya, kohlberg (gunarsa, 1985) mengemukakan tiga tingkat
dengan enam tahap perkembangan moral.
1. Tingkat 1: prakonvensional. Pada tingkat ini aturan berisi aturan moral yang dibuat
berdasarkan otoritas. Anak tidak melanggar aturan moral karana takut ancaman atau hukuman
dari otoritas. Tingkat ini dibagi menjadi empat tahap: (1) tahap orientasi terhadap kepatuhan dan
hukuman pada tahap ini anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan ini ditentukan oleh adanya
kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Anak harus menurut, atau kalau tidak, akan mendapat
hukuman. (2) tahap relativistik hedonosme pada tahap ini anak tidak lagi secara mutlak
tergantung pada aturan yang berada di luar dirinya yang ditentukan orang lain yang memiliki
otoritas. Anak mulai sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi yang bergantung
pada kebutuhan (relativisme) dan kesenangan seseorang (hedonisme).
2. Tingkat 2: konvensional. Pada tingkatan ini anak mematuhi aturan yang dibuat bersama agar
diterima dalam kelompoknya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap. (1) tahap orientasi
mengenai anak yang baik. Pada tahap ini anak mulai memperlihatkan orientasi perbuatan yang
dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain atau masyarakat. Sesuatu dikatakan baik dan
benar apabila sikap dan perilakunya dapat diterima oleh orang lain atau masyarakat. (2) tahap
mempertahankan norma sosial dan otoritas. Pada tahap ini anak menunjukkan perbuatan baik
dan benar bukan hanya agar dapat diterima oleh lingkungan masyarakat di sekitarnya, tetapi juga
bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan dan norma/ nilai sosial yang ada sebagai
kewajiban dan tanggung jawab moral untuk melaksanakan aturan yang ada.
3. Tingkat 3: pasca konvensional. Pada tingkat ini anak mematuhi aturan untuk menghindari
hukuman kata hatinya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap. (1) tahap orientasi terhadap
perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Pada tahap ini ada hubungan timbal balik
antara dirinya dengan lingkungan sosial dan masyarakat. Seseorang menaati aturan sebagai
kewajiban dan tanggung jawab dirinya dalam menjaga keserasian hidup masyarakat. (2) tahap
universal. Pada tahap ini selain ada norma pribadi yang bersifat subyektif ada juga norma etik
(baik/ buruk, benar/ salah) yang bersifat universal sebagai sumber menentukan sesuatu perbuatan
yang berhubungan dengan moralitas.

Teori perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg seperti halnya Piaget menunjukkan
bahwa sikap dan perilaku moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari
kebiasaan yang berhubungan dengan nilai kebudayaan semata-mata. Tetapi juga terjadi sebagai
akibat dari aktivitas spontan yang dipelajari dan berkembang melalui interaksi sosial anak
dengan lingkungannya.
Selain teori perkembangan moral, dalam mempelajari pola perkembangan moral yang berkaitan
dengan ketaatan akan suatu aturan yang berlaku universal, perlu dibahas mengenai disiplin.
Disiplin berasal dari kata disciple yang berarti seseorang yang belajar dari atau secara sukarela
mengikuti seorang pemimpin. Disiplin diperlukan untuk membentuk perilaku yang sesuai
dengan aturan dan peran yang ditetapkan dalam kelompok budaya tempat orang tersebut
menjalani kehidupan. Melalui disiplin, anak belajar untuk bersikap dan berperilaku yang baik
seperti yang diharapkan oleh masyarakat lingkungan. Disiplin dapat ditanamkan secara otoriter
melalui pengendalian perilaku dengan menggunakan hubungan. Secara permisif/ laissezfaire
melalui kebebbasan yang diberikan kepada anak tanpa adanya hukuman atau secara demokratis
melalui penjelasan, diskusi, dan penalaran mengani peraturan yang berlaku.
Unsur yang berkaitan dengan disiplin adalah sebagai berikut:
1. Peraturan sebagai pola yang ditetapkan untuk perilaku dimana anak hidup. Mempunyai nilai
pendidikan tentang arah yang harus diikuti dan ditaati anak dan juga membantu mengekang
perilaku yang tidak diinginkan.
2. Hukuman diberlakukan apabila anak melakukan kesalahan ataupun bertindak yang tidak
sesuai dengan nilai/ norma yang berlaku dalam masyarakat. Hukuman yang menghalangi anak
untuk tidak mengulangi perbuatan yang tidak diinginkan, mendidik anak untuk belajar dari
pengalaman dan memotivasi anak untuk menghindari perilaku yang tidak diterima oleh
masyarakat.
3. Penghargaan diberikan apabila anak melakukan sesuatu dengan nilai atau norma yang berlaku,
mendidik anak dan memotivasi anak mengulangi perilaku yang baik dan benar sesuai harapan
masyarakat.
4. Konsistensi atau keajegan dalam melaksanakan aturan dan disiplin sehingga tidak
membingungkan anak dalam memperlajari sesuatu yang benar/ salah, baik/ buruk. Disiplin
bermanfaat apabila ada pengaruh disiplin terhadap perilaku, menimbulkan kepekaan akan sikap
perilaku yang baik, benar, dan adil serta mempengaruhi kepribadian anak dimana sikap perilaku
disiplin merupakan bagian yang terinternalisasi pada anak secara keseluruhan.

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral


Anak dilahirkan tanpa moral (imoral) sikap moral untuk berperilaku sesuai nilai-nilai luhur
dalam masyarakat belum dikenalnya. Intervensi terprogram melalui pendidikan, serta lingkungan
sosial budaya, mempengaruhi perkembangan struktur kepribadian bermuatan moral. Ini dialami
dalam keluarga bersama teman sebaya dan rekan-rekan sependidikan, kawan sekerja/kegiatan
ditengah lingkungan.
a. Perubahan dalam lingkungan
Perubahan dan kemajuan dalam berbagai bidang membawa pergeseran nilai moral serta sikap
warga masyarakat ditengah perubahan dapat terjadi kemajuan/kemrosotan moral. Perbedaan
perilaku moral individu sebagian adalah dampak pengalaman dan pelajaran dari lingkungan nilai
masyarakatnya. Lingkungan memberi ganjaran dan hukuman. Ini memacu proses belajar dan
perkembangan moral secara berkondisi.
b. Struktur kepribadian
Psiko analisa (freud) menggambarkan perkembangan kepribadian termasuk moral. Dimulai
dengan sistem ID, selaku aspek biologis yang irasional dan tak disadari. Diikuti aspek psikologis
yaitu subsistemego yang rasional dan sadar. Kemudian pembentukan superego sebagai aspek
sosial yang berisi sistem nilai dan moral masyarakat.
Ketiga subsistem kepribadian tersebut mempengaruhi perkembangan moral dan perilaku
individu. Ketidakserasian antara subsistem kepribadian, berakibat seseorang sukar menyesuaikan
diri, merasa tak puas dan cemas serta bersikap/berperilaku menyimpang. Sedang keserasian
antara subsistem kepribadian dalam perkembangan moral akan berpuncak pada efektifnya kata
hati (superego) menampilakan watak/perilaku bermoral seseorang.
Ada sejumlah faktor penting yang mempengaruhi perkembangan moral anak (Hurlock, 1990).
1. Peran hati nurani atau kemampuan untuk mengetahui apa yang benar dan salah apabila anak
dihadapkan pada situasi yang memerlukan pengambilan keputusan atas tindakan yang harus
dilakukan.
2. Peran rasa bersalah dan rasa malu apabila bersikap dan berperilaku tidak seperti yang
diharapkan dan melanggar aturan.
3. Peran interaksi sosial dalam memberik kesepakatan pada anak untuk mempelajari dan
menerapkan standart perilaku yang disetujui masyarakat, keluarga, sekolah, dan dalam pergaulan
dengan orang lain.

D. Tahap-Tahap Perkembangan Moral


menurut kohlberg ada 3 tahap perkembangan moral yaitu:
a. tahap prokonvensional
dimana aturan berisi ukuran moral yang dibuat otoritas pada tahap perkembangan ini anak tidak
akan melanggar aturan karena takut ancaman hukuman dari otoritas.
b. tahap konvensional
anak mematuhi aturan yang dibuat bersama, agar ia diterima dalam kelompok sebaya/oleh
otoritasnya.
c. Tahap pascakonvensional
Anak menaati aturan untuk menghindari hukuman kata hatinya.
menurut J. Bull perkembangan moral dibagi menjadi 3 yaitu:
a. tahap anomi
ketidakmampuan moral bayi. Moral bayi barulah suatu potensi yang siap dikembangkan dalam
lingkungan.
b. tahap heteronomi
dimana morral yang berpotensial dipacu berkembang orang lai/otoritas melalui aturan dan
kedisiplinan.
c. tahap sosionomi
dimana moral berkembang ditengah sebaya/dalam masyarakat, mereka lebih menaati aturan
kelompok dari pada aturan otoritas.
d. tahap otonomi
moral yang mengisi dan mengendalikan kata hati serta kemampuan bebasnya untuk berperilaku
tanpa tekanan lingkungan.
E. Cara Mempelajari Sikap Moral
Sikap dan perilaku moral dapat dipelajari dengan cara berikut.
1. Belajar melalui cob/ ralat (tryal and error). Anak mencoba belajar mengatahui apakah
perilakunya sudah memenuhi standart sosial dan persetujuan sosial atau belum. Bila belum,
maka anak dapat mencoba lagi sampai suatu ketika secara kebetulan dapat berperilaku sesuai
dengan yang diharapkan.
2. Pendidikan langsung yang dilakukan dengan cara anak belajar memberi reaksi tertentu secara
tepat dalam situasi tertentu, serta dilakukan dengan cara memenuhi peraturan yang berlaku
dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat sekitar.
3. Identifikasi dengan orang yang dikaguminya. Cara ini biasanya dilakukan secara tidak sadar
dan tanpa tekanan dari orang lain. Yang penting ada teladan dari orang yang diidentifikasikan
untuk ditiru perilakunya.

Pendidikan saat ini umunya mempersiapkan peserta didik memilki banyak pengetahuan, tetapi
tidak tahu cara memecahkan masalah tertentu yang dihadapai dalam kehidupan bermasyarakat
sehari-hari. Pendidikan lebih mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anak yang pandai dan
cerdas, tetapi kurang mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anak yang baik. Masalah
berkenaan dengan baik dan buruk menjadi kajian bidang moral. Demikian juga dalam
mengembangkan aspek moral peserta didik berarti bagaimana cara membantu peserta didik
untuk menjadi anak yang baik, yang mengetahui dan berperilaku atau bersikap berbuat baik dan
benar. Sikap dan perilaku moral dapat dikembangkan melalui pendidikan dan penanaman nilai/
norma yang dilakukan secara terintegrasi dalam pelajaran maupun kegiatan yang dilakukan anak
di keluarga dan sekolah. Pendidikan bukan hanya mempersiapkan anak menjadi manusia cerdas,
tetapi juga menjadi manusia yang baik, berbudi luhur, dan berguna bagi orang lain.

F. implikasinya bagi pendidikan


pengembangan moral melalui pendidikan mestinya bukan hanya mengajarkan nilai-nilai sebagai
slogan saja. Hal ini tampak pada moral yang diyakini penganut dan moral budaya yang diterima
wargamasyarakat.
Proses pendidikan dan pembelajaran moral diteladankan orang tua dan dilakukan secara terpadu
(integrated) pada tiap peluang dalam semua kegiatan sekolah.disana pendidik mengajarkan
keteraturan hidup, disiplin serta melatih dan membiasakan peserta didik bermoral dalam perilaku
dan kegiatannya. Otoritasmendukung berbagai kegiatan pengembangan moral warga masyarakat
sebagai bagian upaya membangun karekter manusia indonesia seutuhnya. Cara yang ideal adalah
dengan memantapkan pancasila melalui keteladanan pendidik pada umumnya kepada warga
bangsa sebagai peserta didik sepanjang hayat. Disini berproses pembangunan watak bangsa.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut penjelasan yang ada di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap anak perlu
mempunyai sikap moral yang positif. Terdapat beberapa fase dalam perkembangan moral yakni;
fase absolut, fase realistis, fase subyektif.
Secara umum ada beberapa tahap perkembangan moral menurut kohlberg yakni, tahap
prokonvensional, tahap konvensional, Tahap pascakonvensional dan menurut J. Bull
perkembangan moral dibagi menjadi 3 yaitu: tahap anomi, tahap heteronomi, tahap sosionomi,
tahap otonomi

B. Saran
Penulis menyadari sepenuhnya atas segala kekurangan pada makalah ini dan penulis dengan
senang hati dan akan menerima saran serta kritik demi kesempurnaan makalah ini. Atas segala
saran dan bantuan, penulis sampaikan terima kasih.
KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN MORAL ANAK USIA SD

A. Pengertian moral
Istilah moral berasal dari kata Latin mos (moris) yang berarti adat istiadat, kebiasaan,
peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk
menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral.
Nilai-nilai moral itu, seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban
dan
keamanan, memelihara kebersihan, dan memelihara hak orang lain, serta larangan mencuri,
berzina, membunuh, meminum minuman keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-
nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
B. Perkembangan Moral
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi
mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain
(Santrock, 1995). Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam
dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, dalam
pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara, teman sebaya, atau
guru), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan
tingkah laku yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
1. Teori Psikoanalisa tentang Perkembangan Moral
Dalam menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa dengan pembagiaan struktur
kepribadian manusia atas tiga, yaitu id, ego, dan superego. Id adalah struktur kepribadian yang
terdiri atas aspek biologis yang irasional dan tidak disadari. Ego adalah struktur kepribadian yang
terdiri dari aspek psikologis, yaitu sub sistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak
memiliki moralitas. Sedangkan superego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek
sosial yang berisikan sistem nilai dan moral, yang benar-benar memperhitungkan benar dan
salahya sesuatu.
2. Teori Belajar- Sosial tentang Perkembangan Moral
Teori belajar sosial melihat tingkah laku moral sebagai respons atas stimulus. Dalam hal ini,
proses-proses penguatan, penghukuman dan peniruan digunakan untuk menjelaskan perilaku
moral anak-anak.
3. Teori Kognitif Piaget tentang Perkembangan Moral
Teori kognitif piaget mengenai perkembangan moral melibatkan prinsip-prinsip dan proses-
proses yang sama dengan pertumbuhan kognitif yang ditemui dalam teorinya tentang
perkembangan intelektual. Bagi Piaget perkembangan moral digambarkan melalui aturan
permainan. Berdasarkan hasil observasinya tahapan aturan-aturan permainan yang digunakan
anak-anak, piaget menyimpulkan bahwa pemikiran anak-anak tentang moralitas dapat dibedakan
atas dua tahap, yaitu:
a. Tahap Heterononous Morality
Tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak usia kira-kira 6 hingga 9 tahun. Anak-anak
pada masa ini yakin akan keadilan immanen, yaitu konsep bahwa bila suatu aturan yang
dilanggar, hukuman akan segera dijatuhkan.
b. Tahap Autonomous Morality
Tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak usia kira-kira 9 hingga 12 tahun. Anak mulai
sadar bahwa aturan-aturan dan hukuman-hukuman merupakan ciptaan manusia dan dalam
penerapan suatu hukuman atau suatu tindakan harus mempertimbangkan maksud pelaku serta
akibat-akibatnya.
4. Teori Kohlberg tentang Perkembangan Moral
Teori kohlberg tentang perkembangan moral merupakan pelumas, modifikasi, dan redefeni atas
teori piaget. Teori ini didasarkan atas analisisnya terhadap hasil wawancara dengan anak laki-
laki usia 10 hingga 16 tahun yang dihadapkan dengan suatu dilema moral, di mana mereka harus
memilih antara tindakan menaati peraturan atau memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang
bertentangan dengan beraturan. Hal penting dari teori perkembangan moral Kohlberg adalah
orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang dibedakan
dengan tingkah laku moral dalam arti perbuatan nyata.
Moral merupakan suatu kebutuhan yang penting bagi remaja, terutama sebagai pedoman untuk
menentukan identitas dirinya, mengembangkan hubungan personal yang harmonis, dan
menghindari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi. Moralitas pada
hakitatnya adalah penyelesaian konflik antara dirinya dan orang lain, antara hak dan kewajiban
(Setiono, 1994).
C. Tahapan Perkembangan Moral
Lawrence Kohlberg mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang dimunculkan kedalam
enam tahap perkembangan moral yang berbeda. Keenam tahapan tersebut dibagi kedalam tiga
tingkatan: prakonfensional, konvensional, dan pascakonvensional. Karakteristik untuk masing-
masing tahapan perkembangan moral yang dimaksud disajikan dalam tabel berikut ini.
No Tingkat Umur Nama Karakteristik
1 Tingkat 1 0-9 thn Prakonvensional
Tahap 1 Moralitas heteronomi (orientasi kepatuhan dan hukuman) Melekat pada aturan
Tahap 2 Individualisme/
instrumentalisme
(orientasi minat pribadi) Kepentingan nyata individu. Menghargai kepentingan oranglain
2 Tingkat 2 9-15 thn Konvensional
Tahap 3 Reksa interpersonal
(orientasi keserasian interpersonal dan konformitas (sikap anak baik). Mengharapkan hidup
yang terlihat baik oleh orang lain dan kemudian telah menganggap dirinya baik.
Tahap 4 Sistem sosial dan hati nurani (orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial
(moralitas hukum dan aturan). Memenuhi tugas sosial untuk menjaga sistem sosial yang
berlangsung.
3. Tingkat 3 Diatas 15 thn Pascakonvensional
Tahap 5 Kontrak sosial Relatif menjungjung tinggi aturan dalam memihak kepantingan
dan kesejahteraan untuk semua.
Tahap 6 Prinsip etika universal Prinsip etis yang dipilih sendiri, bahkan ketika ia
bertentangan dengan hukum

Perkembangan moral menurut Piaget terjadi dalam dua tahapan yang jelas. Tahap pertama
disebut tahap realisme moral atau moralitas oleh pembatasan dan tahap kedua disebut
tahap moralitas otonomi atau moralitas oleh kerjasama atau hubungan timbal balik.
Pada tahap pertama, perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa
penalaran atau penilaian. Mereka menganggap orang tua dan semua orang dewasa yang
berwenang sebagai maha kuasa dan anak mengikuti peraturan yang diberikan oleh mereka tanpa
mempertanyakan kebenarannya.
Pada tahap kedua, anaka menilai perilaku atas dasar tujuan yang mendasarinya. Tahap ini
biasanya dimulai antara usia 7 atau 8 tahun dan berlanjut hingga usia 12 tahun atau lebuh. Anak
mulai mempertimbangkan keadaan tertentu yang berkaitan dengan suatu pelanggaran moral.
D. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak memperoleh
nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal
nlai-nilai dan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan nilai moral
anak, peranan orangtua sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Beberapa
sikap orangtua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral anak,
diantaranya sebagai berikut :
1. Konsisten dalam mendidik anak
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan
tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada
suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan pada waktu lain.
2. Sikap orangtua dalam keluarga
Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu, atau sebaliknya,
dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi). Sikap
orangtua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu oada anak, sedangkan
sikap yang acuh tak acuh atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang
bertanggungjawab dan kurang mempedulikan norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya
dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih saying, keterbukaan, musyawarah (dialogis).Interaksi
dalam keluarga turut mempengaruhi perkembangan moral anak
3. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut
Orangtua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk disini panutan dalam mengamalkan
ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religious (agamis), dengan cara
memberikan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan
mengalami perkembangan moral yang baik.
4. Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma
Orangtua yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka mereka
harus menjauhkan dirinya dari prilaku berbohong atau tidak jujur. Apabila orangtua mengajarkan
kepada anak, agar berprilaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggungjawab atau taat
beragama, tetapi orangtua sendiri menampilkan perilaku sebaliknya, maka anak akan mengalami
konflik pada dirinya, dan akan menggunakan ketidakkonsistenan orangtua itu sebagai alas an
untuk tidak melakukan apa yang diinginkan orangtuanya, bahkan mungkin dia akan berprilaku
seperti orangtuanya.
Dalam usaha membentuk tingkah laku sebagai pencerminan nilai-nilai hidup terterntu, Banyak
faktor yang mempengaruhi perkembangan moral peserta didik, diantaranya yaitu:
1. Faktor tingkat harmonisasi hubungan antara orang tua dan anak.
2. Faktor seberapa banyak model (orang-orang dewasa yang simpatik, teman-teman, orang-
orang yang terkenal dan hal-hal lain) yang diidentifikasi oleh anak sebagai gambaran-gambaran
ideal.
3. Faktor lingkungan memegang peranan penting. Diantara segala segala unsur lingkungan
social yang berpengaruh, yang tampaknya sangat penting adalah unsure lingkungan berbentuk
manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai
tertentu.
4. Faktor selanjutnya yang memengaruhi perkembangan moral adalah tingkat penalaran.
Perkembangan moral yang sifatnya penalaran menurut Kohlberg, dipengaruhi oleh
perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh piaget. Makin tinggi tingkat penalaran
seseorang menrut tahap-tahap perkembangan piaget, makin tinggi pula tingkat moral seseorang.
5. Faktor Interaksi sosial dalam memberik kesepakatan pada anak untuk mempelajari dan
menerapkan standart perilaku yang disetujui masyarakat, keluarga, sekolah, dan dalam pergaulan
dengan orang lain.
E. Karakteristik Perkembangan Moral
Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai dengan
tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional formal, yaitu
mulai mampu berpikir abstrak dan mampu memecahkan masala-masalah yang bersifat hipotetis
maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terikat pada waktu, tempat,
dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka (Gunarsa,1988).
Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan
kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggap sebagai suatu
yang bernilai, walau belum mampu mempertanggung jawabkannya secara pribadi (Monks,
1988). Perkembangan moral remaja yang demikian, jika meminjam teori perkembangan moral
dari Kohlberg berarti sudah mencapai tahap konvensioanl. Pada akhir masa remaja seseorang
akan memasuki tahap perkembangan pemikiran moral yang disebut tahap pascakonvensional
ketika orisinilitas pemikiran moral remaja sudah semakin jelas. Pemikiran moral remaja
berkembang sebagai pendirian pribadi yang tidak tergantung lagi pada pendapat atau pranata
yang bersifat konvensional.
Melalui pengalaman atau berinteraksi social dengan orang tua, guru, teman sebaya atau orang
dewasa lainnya, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang jika dibandingkan dengan usia
anak. Mereka sudah lebih mengenal tentang nilai-nilai moral atau konsep-konsep moralitas,
seperti kejujuran, keadilan, kesopanan, dan kedisiplinan.
Pada masa ini muncul dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik
oleh orang lain. Remaja berprilaku bukan hanya untuk memenuhi kepuasan fisiknya, tetapi
psikologis (rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian positif dari orang lain tentang
perbuatannya).
Dengan masih adanya siswa SMU (remaja) pada tingkat pra-konvensional atau konvensional,
maka tidaklah heran apabila diantara remaja masih banyak yang melakukan dekadensi moral
atau pelecehan nilai-nilai seperti tawuran, tindakcriminal, meminum minuman keras, dan
hubungan seks di luar nikah.
Keragaman tingkat moral remaja disebabkan oleh factor penentunya yang beragam juga. Salah
satu factor penentu atau yang mempengaruhi perkembangan moral remaja itu adalah orangtua.
Manurut Adamm dan Gullotta (183: 172-173) terdapat beberapa hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa orangtua mempengaruhi nilai remaja, yaitu sebagai berikut :
1. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat moral remaja dengan tingkat moral
orangtua (Haan, Langer & Kohlberg, 1976).
2. Ibu-ibu remaja yang tidak nakal mempunyai skor yang lebih tinggi dalam tahapan nalar
moralnya daripada ibu-ibu yang anaknya nakal, dan remaja yang tidak nakal mempunyai skor
lebih tinggi dalam kemampuan nalar moralnya daripada remaja yang nakal (Hudgins & Prentice,
1973).
3. Terdapat dua factor yang dapat meningkatkan perkembangan moral anak atau remaja ,
yaitu:
a. Orangtua yang mendorong anak untuk berdiskusi secara demokratik dan terbuka mengenai
berbagai isu,
b. Orangtua yang menerapkan disiplin terhadap anak dengan teknik berpikir induktif (Parikh,
1980).
F. Upaya Optimalisasi Perkembangan Moral
Hurlock mengemukakan ada empat pokok utama yang perlu dipelajari oleh anak dalam
mengoptimalkan perkembangan moralnya, yaitu:
1. Mempelajari apa yang diharapkan kelompok sosial dari anggotanya sebagaimana
dicantumkan dalam hukum. Harapan tersebut terperinci dalam bentuk hukum, kebiasaan dan
peraturan. Tindakan tertentu yang dianggap benar atau salah karena tindakan itu menunjang,
atau dianggap tidak menunjang, atau menghalangi kesejahteraan anggota kelompok. Kebiasaan
yang paling penting dibakukan menjadi peraturan hukum dengan hukuman tertentu bagi yang
melanggarnya. Yang lainnya, bertahan sebagai kebiasaan tanpa hukuman tertentu bagi yang
melanggarnya.
2. Pengambangan hati nurani sebagai kendali internal bagi perliaku individu. Hati nurani
merupakan tanggapan terkondisikan terhadap kecemasan mengenai beberapa situasi dan
tindakan tertentu, yang telah dikembangkan dengan mengasosiasikan tindakan agresif dengan
hukum.
3. Pengembangan perasaan bersalah dan rasa malu. Setelah mengembangkan hati nurani, hati
nurani mereka dibawa dan digunakan sebagai pedoman perilaku. Rasa bersalah adalah sejenis
evaluasi diri, khusus terjadi bila seorang individu mengakui perilakunya berbeda dengan nilai
moral yang dirasakannya wajib untuk dipenuhi. Rasa malu adalah reaksi emosional yang tidak
menyenangkan yang timbul pada seseorang akibat adanya penilaian negatif terhadap dirinya.
Penilaian ini belum tentu benar-benar ada, namun mengakibatkan rasa rendah diri terhadap
kelompoknya.
4. Mencontohkan, memberikan contoh berarti menjadi model perilaku yang diinginkan muncul
dari anak, karena cara ini bisa menjadi cara yang paling efektif untuk membentuk moral anak.
5. Latihan dan Pembiasaan, menurut Robert Coles (Wantah, 2005) latihan dan pembiasaan
merupakan strategi penting dalam pembentukan perilaku moral pada anak usia dini. Sikap orang
tua dapat dijadikan latihan dan pembiasaan bagi anak. Sejak kecil orang tua selalu merawat,
memelihara, menjaga kesehatan dan lain sebagainya untuk anak. Hal ini akan mengajarkan moral
yang positif bagi anak
6. Kesempatan melakukan interaksi dengan anggota kelompok sosial. Interaksi sosial
memegang peranan penting dalam perkembangan moral. Tanpa interaksi dengan orang lain, anak
tidak akan mengetahui perilaku yang disetujui secara social, maupun memiliki sumber motivasi
yang mendorongnya untuk tidak berbuat sesuka hati.
Interaksi sosial awal terjadi didalam kelompok keluarga. Anak belajar dari orang tua, saudara
kandung, dan anggota keluarga lain tentang apa yang dianggap benar dan salah oleh kelompok
sosial tersebut. Disini anak memperoleh motivasi yanjg diperlukan untuk mengikuti standar
perilaku yang ditetapkan anggota keluarga.
Melalui interaksi sosial, anak tidak saja mempunyai kesempatan untuk belajar kode moral, tetap
mereka juga mendapat kesempatan untuk belajar bagaimana orang lain mengevaluasi perilaku
mereka. Karena pengaruh yang kuat dari kelompok sosial pada perkembangan moral anak,
penting sekali jika kelompok sosial, tempat anak mengidentifikasikan dirinya mempunyai
standar moral yang sesuai dengan kelompok sosial yang lebih besar dalam masyarakat.
G. Upaya Sekolah Dalam Rangka Mengembangkannya
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematik melaksanakan program
bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu siswa agar mampu mengembangkan
potensinya, baik yang menyangkut aspek moral-spiritual, intelektual, emosional, maupun social.
Upaya sekolah dalam memfasilitasi tugas-tugas perkembangan siswa akan berjalan baik apabila
di sekolah tersebut telah tercipta iklim atau atmosfir yang sehat atau efektif, baik menyangkut
aspek menejemennya maupun profesionalisme para personelnya.
Masa remaja akhir sudah mampu memahami dan mengarahkan diri untuk mengemnbangkan dan
memelihara identitas dirinya. Dalam proses perkembangan independensi sebagai antisipasi
mendekati masa dewasa yang matang, remaja:
1. Berusaha untuk bersikap hati-hati dalam berprilaku, memahami kemampuan dan kelemahan
dirinya.
2. Meneliti dan mengkaji makna, tujuan, dan keputusan tentang jenis manusia seperti apa yang
dia inginkan.
3. Memperhatikan etika masyarakat, keinginan orangtua dan sikap teman-temannya.
4. Mengembangkan sifat-sifat pribadi yang diinginkannya.

Anda mungkin juga menyukai