Anda di halaman 1dari 126

HASIL PENELITIAN

PERBANDINGAN PERUBAHAN HIGHER ORDER ABERRATIONS


PASCA LASIK ANTARA FLAP 110 m DAN 160 m
(Studi Observasional Longitudinal di RS Mata Undaan Surabaya)

Oleh:
DIAN ARUMDINI

DEPARTEMEN/SMF ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RSUD dr. SOETOMO SURABAYA

1
2015

HASIL PENELITIAN

PERBANDINGAN PERUBAHAN HIGHER ORDER ABERRATIONS


PASCA LASIK ANTARA FLAP 110 m DAN 160 m
(Studi Observasional Longitudinal di RS Mata Undaan Surabaya)

Oleh:
DIAN ARUMDINI

DEPARTEMEN/SMF ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RSUD dr. SOETOMO SURABAYA
2015

2
PERBANDINGAN PERUBAHAN HIGHER ORDER ABERRATIONS
PASCA LASIK ANTARA FLAP 110 m DAN 160 m
(Studi Observasional Longitudinal di RS Mata Undaan Surabaya)

LAPORAN PENELITIAN

Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Mata (SpM)


Program Studi Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Oleh:
DIAN ARUMDINI

DEPARTEMEN/SMF ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RSUD dr. SOETOMO SURABAYA
2015

LEMBAR PENGESAHAN

Mengesahkan laporan hasil penelitian yang berjudul :


PERBANDINGAN PERUBAHAN HIGHER ORDER ABERRATIONS
PASCA LASIK ANTARA FLAP 110 m DAN 160 m
(Studi Observasional Longitudinal di RS Mata Undaan Surabaya)

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Mata (SpM)
Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

3
Hasil Penelitian ini telah disetujui:
Surabaya, 16 April 2015

Pembimbing

Harijo Wahjudi, dr., SpM(K)


NIP. 19541008 198403 1 002

Konsultan Statistik Konsultan Ahli

Dr. Windhu Purnomo, dr., MS Sudjarno, dr. SpM(KVR)


NIP. 19540625 198303 1 002

Mengetahui,
Koordinator Program Studi PPDS IImu Kesehatan Mata

Evelyn Komaratih, dr., SpM(K)


NIP. 19680110 199703 2 003

4
PERNYATAAN TENTANG ORISINALITAS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : Dian Arumdini
NIM : 010980127
Program Studi : Ilmu Kesehatan Mata
Angkatan : Januari 2010
Jenjang : PPDS-I
Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan
laporan penelitian saya berjudul:

PERBANDINGAN PERUBAHAN HIGHER ORDER ABERRATIONS


PASCA LASIK ANTARA FLAP 110 m DAN 160 m
(Studi Observasional Longitudinal di RS Mata Undaan Surabaya)
Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan tindakan plagiat, maka saya

akan menerima sanksi yang telah ditetapkan. Demikian surat pernyataan ini saya

buat dengan sebenar-benarnya.

Surabaya, 16 April 2015

(Dian Arumdini)

5
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah S.W.T. atas terselesaikannya


usulan penelitian ini. Kami ucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada berbagai pihak yang telah memberi banyak bantuan, bimbingan serta
dorongan sehingga usulan penelitian ini dapat kami selesaikan. Ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kami haturkan kepada yang terhormat:
1. Harijo Wahjudi, dr., SpM(K), sebagai pembimbing yang telah memberikan
pengarahan, bimbingan dan dorongan, serta referensi dan koreksi dalam
penyusunan usulan penelitian ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
2. Sudjarno, dr., SpM(KVR), sebagai konsultan ahli yang telah banyak
memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan usulan penelitian ini.
3. Dr. Windhu Purnomo, dr., MS., sebagai konsultan penelitian dan statistika
yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan
usulan penelitian ini.
4. Eddyanto, dr., SpM(K), sebagai koordinator penelitian yang telah
memberikan dorongan, bimbingan dan saran dalam penyelesaian usulan
penelitian ini.
5. Djiwatmo, dr., SpM(K), sebagai Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD dr. Soetomo Surabaya,
yang telah memberikan kesempatan untuk ditampilkannya usulan penelitian
ini.
6. Evelyn Komaratih, dr., SpM(K), sebagai Koordinator Program Studi
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga / RSUD dr. Soetomo Surabaya, yang telah menjadwalkan
pementasan usulan penelitian ini.
7. Herminiati, dr., MARS dan Bambang Samudra, dr., MKes, sebagai
Direktur Rumah Sakit Mata Undaan Surabaya yang telah memberikan
kesempatan dan kemudahan kepada kami untuk melakukan penelitian di
Rumah Sakit Mata Undaan Surabaya.
8. Staf dan karyawan RS Mata Undaan Surabaya, yang telah membantu
kelancaran penelitian kami.
9. Para Guru Besar dan Seluruh Staf Pengajar Departemen Ilmu
Kesehatan Mata FK Unair / RSUD dr. Soetomo Surabaya, yang telah
banyak membimbing dan memberikan masukan dalam penyusunan usulan
penelitian ini.
10. Para teman sejawat PPDS I Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK
Unair / RSUD dr. Soetomo Surabaya, yang telah memberikan dorongan
semangat dan bantuan dalam penyusunan usulan penelitian ini.
11. Bapak / Ibu Moderator dan Sekretaris Sidang, yang telah memimpin
jalannya pementasan usulan penelitian ini.
12. Tim Audio-Visual, yang membantu kelancaran pementasan usulan
penelitian ini.

6
RINGKASAN

PERBANDINGAN PERUBAHAN HIGHER ORDER ABERRATIONS


PASCA LASIK ANTARA FLAP 110 m DAN 160 m
(Studi Observasional Longitudinal di RS Mata Undaan Surabaya)
Dian Arumdini, Harijo Wahjudi, Sudjarno

Laser assissted in situ keratomileusis (LASIK) adalah metode bedah


refraktif yang diterima secara luas di seluruh dunia untuk mengkoreksi kelainan
refraksi. Excimer laser yang digunakan pada LASIK mengkoreksi lower order
aberrations atau kelainan sferis dan silindris seperti miopia, hiperopia, dan
astigmatisme. LASIK dapat mengkoreksi lower order aberrations. Lower order
aberrations merupakan 90% dari seluruh aberasi yang ada, sisanya adalah higher
order aberrations, yang tidak dapat dikoreksi dengan kacamata. Higher order
aberrations ini termasuk salah satu komplikasi late postoperative dari LASIK.
Pembentukan flap kornea adalah salah satu langkah penting pada prosedur
LASIK. Setelah pembentukan flap dapat terjadi perubahan aberasi pada kornea
yang bervariasi.
Penelitian yang kami lakukan adalah penelitian observasional longitudinal
yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan perubahan higher order aberrations
pasca LASIK antara flap 110 m dan 160 m dan mengetahui adanya perubahan
higher order aberrations antara pra dan pasca LASIK. Higher order aberrations
yang kami ukur adalah coma, trefoil, dan spherical aberration.
Dua puluh empat mata dari 12 pasien miopia dan astigmat miopia yang akan
menjalani LASIK kami ukur higher order aberations pra, pasca LASIK hari ke 7,
dan pasca LASIK hari ke 30 dengan menggunakan Wavescan VISX Customvue.
Pasien menjalani wavefront-guided LASIK menggunakan VISX Star S4
Customvue. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan
analisis kovarians dan uji t-sampel berpasangan.
Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perubahan bermakna pada coma
dan spherical aberration antara pra dan pasca LASIK, namun tidak pada trefoil.
Serta tidak didapatkan perbedaan perubahan coma, trefoil, maupun spherical
aberration pasca LASIK antara kelompok flap 110 m dan kelompok flap 160
m.

7
SUMMARY

COMPARATIVE STUDY OF HIGHER ORDER ABERRATIONS AFTER


LASIK BETWEEN FLAP 110 m AND 160 m
(Longitudinal Observational Study at Undaan Eye Hospital Surabaya)
Dian Arumdini, Harijo Wahjudi, Sudjarno

Laser-assisted in situ keratomileusis (LASIK) is a refractive surgical


methods that are widely accepted around the world to correct refractive errors.
Excimer laser used in LASIK corrects the lower order aberration or
spherocyllindrical errors such as myopia, hyperopia, and astigmatism. LASIK can
correct the lower order aberrations. Lower order aberrations is 90% of the
aberration that is, the rest is a higher order aberrations, which can not be corrected
with glasses. Higher order aberrations is one of LASIK late postoperative
complications. The creation of the corneal flap is one important step in the LASIK
procedure. After flap creation in LASIK procedure may occur varies changes in
corneal aberration.
Our research is a longitudinal observational study aimed to determine
differences in higher order aberrations change after LASIK between flap 110 m
and 160 m and determine of any changes in higher order aberrations after
LASIK. Higher order aberrations that we measure is the coma, trefoil and
spherical aberration.
Twenty-four eyes of 12 patients with myopia and myopic astigmatism
underwent LASIK. Higher order aberations were measure before, day 7, and day
30 after LASIK using Wavescan VISX CustomVue. Patients underwent
wavefront-guided LASIK using VISX Star S4 CustomVue. The collected data
was analyzed using analysis of covariance and paired t-test.
Statistical analysis showed a significant change in coma and spherical
aberration after LASIK, but not on trefoil. And there were no significance
difference in changes in the coma, trefoil, and spherical aberration after LASIK
between 110 m and 160 m flap group.

8
ABSTRACT

COMPARATIVE STUDY OF HIGHER ORDER ABERRATIONS AFTER


LASIK BETWEEN FLAP 110 m AND 160 m
(Longitudinal Observational Study at Undaan Eye Hospital Surabaya)
Dian Arumdini, Harijo Wahjudi, Sudjarno

Purpose: To compare higher order aberrations change after LASIK between flap
110 m and 160 m and determine of any changes in higher order aberrations
after LASIK.
Methods: This study involved 24 eyes of 12 myopia or myopic astigmatism
patients who underwent LASIK. Each patient underwent a routine examination
pre-LASIK and determination of flap thickness as determined by the residual
stromal bed thickness. Sixteen patients underwent LASIK with flap thickness 110
m and 8 patients with flap thickness of 160 m. Flap creation using automated
microkeratome Moria M2. Higher order aberations were measure before, day 7,
and day 30 after LASIK using Wavescan VISX CustomVue.
Results: There were no difference in coma, trefoil, and spherical aberration after
LASIK between flap group 110 m and 160 m. Coma significantly increased by
1 month after LASIK (p<0.05). Spherical aberration significantly increased by 7
days after LASIK (p<0.05) and remained increased through 30 days (p<0.05).
Conclusion: Different flap thickness created by microkeratome did not offer any
differences in changes of higher order aberrations through 30 days after LASIK.

Keywords: higher order aberrations, flap thickness, LASIK.

9
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL.......................................................................................................... i
PRASYARAT GELAR..................................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN
..........................................................................................................................................iii
PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................................................. iv
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................................. v
RINGKASAN ................................................................................................................. vi
SUMMARY ................................................................................................................... vii
ABSTRACT ..................................................................................................................viii
DAFTAR ISI .................................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ........................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................................xiii
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 4
1.3.1 Tujuan umum ................................................................................................. 4
1.3.2 Tujuan khusus ................................................................................................ 4
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 5
1.4.1 Manfaat teoritis .............................................................................................. 5
1.4.2 Manfaat praktis .............................................................................................. 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 6
2.1 Kelainan Refraksi.............................................................................................. 6
2.1.1 Miopia
............................................................................................................ 6
2.1.2 Astigmatisme
................................................................................................. 7
2.2 Analisis Wavefront ............................................................................................ 9
2.2.1 Lower order aberration
.............................................................................. .13
2.2.2 Higher order aberration
........................................................................... ...14
2.2.2.1 Spherical aberration
................................................................................. 15

10
2.2.2.2 Coma dan trefoil .......................................................................................17
2.3 Anatomi dan Fisiologi Kornea ........................................................................ 19
2.3.1 Anatomi kornea ............................................................................................19
2.3.2 Histologi kornea ...........................................................................................19
2.3.2.1 Lapisan epitel ............................................................................................20
2.3.2.2 Membran Bowman ....................................................................................20
2.3.2.3 Lapisan stroma ..........................................................................................21
2.3.2.4 Membran descemet ...................................................................................22
2.3.2.5 Lapisan endotel .........................................................................................22
2.3.3 Fisiologi kornea ...........................................................................................23
2.3.4 Penyembuhan luka kornea pada LASIK ......................................................23
2.4 LASIK ............................................................................................................. 24
2.4.1 Excimer laser ............................................................................................... 25
2.4.2 Pembentukan flap kornea dengan mikrokeratom ........................................ 27
2.4.3 Indikasi dan kontraindikasi LASIK ............................................................ 29
2.4.3.1 Indikasi LASIK .........................................................................................29
2.4.3.2 Kontraindikasi LASIK ..............................................................................30
2.4.4 Teknik bedah LASIK .................................................................................. 32
2.4.5 Komplikasi LASIK ..................................................................................... 33
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN .................... 35
3.1 Kerangka Konseptual Penelitian ..................................................................... 35
3.2 Hipotesis Penelitian......................................................................................... 36
BAB 4 METODE PENELITIAN.................................................................................... 38
4.1 Jenis Penelitian................................................................................................ 38
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................................... 38
4.3 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Tehnik Pengambilan Sampel .............. 38
4.3.1 Populasi Penelitian ....................................................................................... 38
4.3.2 Sampel Penelitian......................................................................................... 38
4.3.3 Besar Sampel................................................................................................ 38
4.3.4 Tehnik Pengambilan Sampel........................................................................ 39
4.4 Kriteria Sampel ............................................................................................... 39
4.4.1 Kriteria Inklusi ............................................................................................. 39
4.4.2 Kriteria Drop Out ......................................................................................... 40
4.5 Variabel Penelitian .......................................................................................... 40
4.5.1 Variabel bebas ..............................................................................................40
4.5.2 Variabel tergantung ......................................................................................40
4.5.3 Variabel perancu
.......................................................................................... 40
4.6 Definisi Operasional ....................................................................................... 41
4.7 Sarana Penelitian ............................................................................................. 41

11
4.8 Protokol Penelitian ......................................................................................... 42
4.9 Cara Kerja Penelitian ...................................................................................... 43
4.10 Analisis Data Penelitian ................................................................................ 43
4.10.1 Analisis deskriptif ......................................................................................43
4.10.2 Analisis inferensial ....................................................................................44
4.11 Etika Penelitian .............................................................................................44
BAB 5 HASIL
PENELITIAN......................................................................................... 45
5.1 Karakteristik
Sampel................................................................................... .....45
5.1.1 Usia sampel
penelitian................................................................................. .45
5.1.2 Jenis kelamin sampel penelitian....................................................................46
5.2 Kedalaman Ablasi dan Diameter Scotopic
Pupil.......................................... ...46
5.2.1 Kedalaman ablasi..........................................................................................46
5.2.2 Diameter scotopic pupil ................................................................................47
5.3 Perubahan Coma Pasca LASIK Hari ke 7 dan Hari ke 30 ..............................47
5.4 Perubahan Trefoil Pasca LASIK Hari ke 7 dan Hari ke 30 .............................48
5.5 Perubahan Spherical Aberration Pasca LASIK Hari ke 7 dan Hari ke 30 ......49
5.6 Analisis Perubahan Higher Order Aberrations antara Pra dan Pasca
LASIK 49
5.6.1 Analisis perubahan coma antara pra dan pasca LASIK................................49
5.6.2 Analisis perubahan trefoil antara pra dan pasca LASIK ..............................50
5.6.3 Analisis perubahan spherical aberration antara pra dan pasca LASIK .......51
5.7 Perbandingan Perubahan Higher Order Aberrations Antar Kelompok
Flap ..51
BAB 6 PEMBAHASAN..................................................................................................54
6.1 Karakteristik Sampel Penelitian ......................................................................56
6.2 Kedalaman Ablasi dan Diameter Scotopic Pupil.............................................57
6.2.1 Kedalaman ablasi .........................................................................................57
6.2.2 Diameter scotopic pupil ................................................................................58
6.3 Perubahan Higher Order Aberrations antara Pra dan Pasca LASIK...............59
6.4 Perbandingan Perubahan Higher Order Aberrations Pasca LASIK
antara Flap 110 m dan Flap 160 m.................................................................................60
6.5 Keterbatasan Penelitian ...................................................................................63
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................................64
BAB 8 PENUTUP ..........................................................................................................65
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 66
LAMPIRAN .................................................................................................................... 71

12
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Kriteria pasien yang ideal untuk dilakukan LASIK ........................................30
Tabel 4.1 Definisi operasional variabel ..........................................................................41
Tabel 5.1 Distribusi kelompok sampel ...........................................................................45
Tabel 5.2 Distribusi sampel penelitian berdasarkan usia ...............................................46
Tabel 5.3 Distribusi sampel penelitian berdasarkan jenis kelamin .................................46
Tabel 5.4 Distribusi kedalaman ablasi
.............................................................................. 47
Tabel 5.5 Distribusi diameter scotopic pupil ..................................................................47
Tabel 5.6 Distribusi perubahan coma pasca LASIK hari ke 7 dan hari ke 30 berdasarkan ketebalan
fl
Tabel 5.7 Distribusi perubahan trefoil pasca LASIK hari ke 7 dan hari ke 30 berdasarkan ketebalan
f
Tabel 5.8 Distribusi perubahan spherical aberration pasca LASIK hari ke 7 dan
hari ke 30 berdasarkan ketebalan flap ..........................................................................49
Tabel 5.9 Perubahan coma antara pra dan pasca LASIK hari ke 7, dan antara pra
dan pasca LASIK hari ke 30 ...................................................................................50
Tabel 5.10 Perubahan trefoil antara pra dan pasca LASIK hari ke 7, dan antara pra
dan pasca LASIK hari ke 30 ....................................................................................50
Tabel 5.11 Perubahan spherical aberration antara pra dan pasca LASIK hari ke 7,
dan antara pra dan pasca LASIK hari ke 30 ............................................................51
Tabel 5.12 Analisis perbandingan perubahan coma ..........................................................52
Tabel 5.13 Analisis perbandingan perubahan trefoil ........................................................52
Tabel 5.14 Analisis perbandingan perubahan spherical aberration .................................53

13
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Mata miopia tanpa akomodasi ......................................................................7
Gambar 2.2 Tipe astigmatisme .........................................................................................9
Gambar 2.3 Reference sphere ..........................................................................................10
Gambar 2.4 Bentuk wavefront yang mempresentasikan piston ......................................11
Gambar 2.5 Gambar skematis dari Hartman-Shack wavefront sensor............................12
Gambar 2.6 WavescanVISX Customvue.........................................................................13
Gambar 2.7 Bentuk wavefront yang merepresentasikan defocus ....................................13
Gambar 2.8 Bentuk wavefront yang merepresentasikan astigmatisme ...........................14
Gambar 2.9 Spherical aberration ...................................................................................15
Gambar 2.10 Bentuk wavefront yang merepresentasikan spherical aberration ............16
Gambar 2.11 Bentuk wavefront yang merepresentasikan coma .....................................18
Gambar 2.12 Bentuk wavefront yang merepresentasikan trefoil ....................................18
Gambar 2.13 Gambar skematis lapisan kornea ..............................................................20
Gambar 2.14 Gambar skematis efek excimer laser terhadap jaringan kornea ................26
Gambar 2.15 VISX Star S4 Customvue ..........................................................................26
Gambar 2.16 Gambar skematis prinsip kerja mikrokeratom ..........................................28
Gambar 2.17 Mikrokeratom Moria M2 ...........................................................................29
Gambar 3.1 Kerangka konseptual....................................................................................35
Gambar 4.1 Protokol penelitian .......................................................................................42
Gambar 6.1 Spherical aberration menyebabkan titik cahaya seperti starbursts.............55
Gambar 6.2 Coma menyebabkan titik cahaya seperti komet ..........................................55
Gambar 6.3 Trefoil menyebabkan suatu titik cahaya menyebar ke 3 arah .....................56
Gambar 6.4 Contoh ultrasonic pachymetry ....................................................................62
Gambar 6.5 Visante, contoh AS-OCT ............................................................................62

14
DAFTAR SINGKATAN

ARK Auto Refractor Keratometer


AS-OCT Anterior Segment Optical Coherence Tomography
BSS Balanced Salt Solution
CCT Central Corneal Thickness
DLK Diffuse Lamellar Keratitis
D Dioptri
et al. et alia
K Keratometri
LASIK Laser Assissted In Situ Keratomileusis
LME Lensmaker Equation
mm milimeter
mmHg milimeter merkuri
nm nanometer
NSAID Nonsteroidal Anti Inflamatory Drugs
PRK Photorefractive Keratectomy
RK Radial Keratotomy
RMS Root Mean Square
RS Rumah Sakit
RSBT Residual stromal bed thickness
SE Spherical equivalent
TIO Tekanan intraokuli
UV Ultraviolet
m mikrometer
derajat
delta

15
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Laser assissted in situ keratomileusis (LASIK) adalah metode bedah

refraktif yang diterima secara luas di seluruh dunia untuk mengkoreksi kelainan

refraksi. Pada LASIK, excimer laser yang digunakan akan mengikis jaringan

dengan akurasi submikron dan tidak merusak jaringan selama proses tersebut,

serta zona optik yang dapat dicapai lebih besar. Hal tersebut membuat excimer

laser pada LASIK menghasilkan hasil optik yang lebih baik. Flap kornea dengan

engsel kecil yang dibentuk memungkinkan reposisi flap yang lebih akurat dan

lebih mudah sehingga tidak diperlukan jahitan yang dapat mengakibatkan distorsi,

serta mengurangi terjadinya astigmatisme iregular (Rapuano, et al., 2011).

Excimer laser yang digunakan pada LASIK mengkoreksi lower order aberrations

atau kelainan sferis dan silindris seperti miopia, hiperopia, dan astigmatisme.

LASIK dapat mengkoreksi lower order aberrations. Lower order aberrations

merupakan 90% dari seluruh aberasi yang ada, sisanya adalah higher order

aberrations, yang tidak dapat dikoreksi dengan kacamata. Higher order

aberrations ini termasuk salah satu komplikasi late postoperative dari LASIK.

Beberapa higher order aberrations dapat menyebabkan gejala, seperti hilangnya

sensitivitas kontras dan munculnya lingkaran cahaya (halos) dan silau pada

malam hari, yang akan menurunkan kualitas penglihatan. Kelainan higher order

aberrations yang paling umum terkait dengan keluhan visual adalah spherical

aberration (Rapuano, et al., 2011).

16
17

Kelainan refraksi menempati peringkat pertama dari prevalensi 4 morbiditas

mata di Indonesia, dan merupakan penyebab kebutaan ke-3 sebesar 0,14% setelah

katarak (0,78%) dan glaukoma (0,20%). Berdasarkan survei kesehatan indera

penglihatan dan pendengaran Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun

1993-1996 kelainan refraksi memiliki prevalensi sebesar 22,1% (Andayani,

2008). Besarnya prevalensi kelainan refraksi menyebabkan perkembangan bedah

refraktif yang cukup pesat khususnya LASIK. Di Amerika Serikat terdapat rata-

rata 4 juta pasien per tahun yang telah menjalani prosedur LASIK sejak pertama

kali prosedur ini disetujui pada tahun 1995 (Neighmond, 2006). Di RS Mata

Undaan Surabaya jumlah penderita yang dilakukan operasi LASIK dari bulan

Januari 2014 sampai dengan Juli 2014 sebanyak 286 orang atau 547 mata, dengan

rincian 25 penderita dilakukan LASIK pada 1 mata dan 261 penderita dilakukan

LASIK pada kedua mata (RS Mata Undaan, 2014).

Analisis wavefront untuk evaluasi fungsi penglihatan kini secara rutin

diterapkan secara klinis dan untuk tujuan penelitian dalam bidang oftalmologi dan

optometri. Pemeriksaan ini sangat berguna dalam evaluasi pasca bedah refraktif

dengan excimer laser, dimana asimetri, desenterasi, dan ketidakteraturan

permukaan kornea akibat komplikasi ablasi laser dapat terjadi. Selain itu, analisis

wavefront juga dapat diterapkan sebelum operasi bedah refraktif dan digunakan

sebagai penuntun dalam mengkoreksi kelainan aberasi yang sudah ada

sebelumnya. Prosedur wavefront-guided LASIK menggunakan data wavefront

yang diprogram untuk menghasilkan pola ablasi yang telah disesuaikan. Konsep

analisis wavefront telah beralih dari bidang penilitian menjadi aplikasi klinis.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa prosedur bedah refraktif kornea seperti


18

LASIK dapat meningkatkan higher order aberrations dan astigmat iregular

sehingga menurunkan kualitan bayangan di retina. Pemahaman permasalahan

dimana aberasi optik dapat bervariasi setelah pembentukan flap pada LASIK

merupakan dasar dalam pengembangan ablasi laser yang bebas aberasi (Smolek,

2012).

Pembentukan flap kornea adalah salah satu langkah penting pada prosedur

LASIK. Komplikasi yang terkait dengan pembuatan flap terjadi pada 5% dari

kasus. Usia pasien, ketebalan kornea, kelengkungan kornea, dan saat proses

vaccum dapat mempengaruhi prosedur (Zhang, et al., 2012). Setelah pembentukan

flap dapat terjadi perubahan aberasi pada kornea yang bervariasi. Pembentukan

flap dapat dilakukan secara konvensional dengan menggunakan mikrokeratom

ataupun dengan femtosecond sebagai alternatif (Calvo, et al., 2009; Pallikaris, et

al., 2002).

Penelitian sehubungan dengan higher order aberrations pada pasien pasca

LASIK telah banyak dilakukan. Yamane dan kawan-kawan pada tahun 2004

menyebutkan bahwa total higher order aberrations meningkat pada pasien pasca

LASIK 1 bulan (Yamane, et al., 2004). Calvo dan kawan-kawan pada tahun 2009

juga menyebutkan bahwa terdapat peningkatan total higher order aberrations

pada pasien pasca LASIK 1 bulan, dan terus meningkat sampai 36 bulan pasca

LASIK. Namun tidak didapatkan perbedaan yang signifikan ketika

membandingkan antara total higher order aberrations pasien pasca LASIK

dimana flap dibuat dengan menggunakan mikrokeratom atau pun femtosecond

(Calvo, et al., 2009). Perez dan kawan-kawan pada tahun 2012 menyebutkan

bahwa tidak terdapat perbedaan higher order aberrations dan spherical


19

aberration yang signifikan antara pasien pasca LASIK dengan ketebalan flap

yang berbeda (Perez, et al., 2012).

Pada penelitian ini akan dipelajari perbandingan perubahan higher order

aberrations pada pasien pasca LASIK dengan flap tipis dan tebal di RS Mata

Undaan Surabaya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah terdapat perbedaan perubahan coma pada pasien pasca LASIK

antara flap 110 m dan 160 m?

2. Apakah terdapat perbedaan perubahan trefoil pada pasien pasca LASIK

antara flap 110 m dan 160 m?

3. Apakah terdapat perbedaan perubahan spherical aberration pada pasien

pasca LASIK antara flap 110 m dan 160 m?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui perbedaan perubahan higher order aberrations pasien pasca

LASIK antara flap 110 m dan 160 m.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui adanya perubahan higher order aberrations antara pra dan

pasca LASIK

2. Membandingkan perubahan coma pada pasien pasca LASIK antara flap

110 m dan 160 m.


20

3. Membandingkan perubahan trefoil pada pasien pasca LASIK antara flap

110 m dan 160 m.

4. Membandingkan perubahan spherical aberration pada pasien pasca

LASIK antara flap 110 m dan 160 m.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

1. Menambah pengetahuan mengenai distribusi subjek penelitian

berdasarkan usia, jenis kelamin, status refraksi pra LASIK di RS Mata

Undaan Surabaya.

2. Sebagai data penunjang bagi penelitian lebih lanjut di bidang bedah

refraktif.

1.4.2 Manfaat praktis

1. Memberikan pengetahuan bahwa higher order aberrations merupakan

salah satu faktor penting yang menentukan kualitas penglihatan pasien

pasca LASIK.

2. Memberikan pengetahuan bahwa terdapat berbagai macam ketebalan flap

dan pengaruhnya terhadap higher order aberrations pasca LASIK.

3. Memberikan informasi kepada pasien mengenai perubahan higher order

aberrations yang dapat terjadi pasca LASIK.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelainan Refraksi

Kelainan refraksi atau yang dapat disebut ametropia adalah keadaan refraksi

dimana sinar sejajar dari jarak tak hingga yang masuk mata tanpa akomodasi tidak

dapat difokuskan di retina. Ametropia dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi

menjadi aksial dan refraktif. Ametropia aksial dapat terjadi pada keadaan bola

mata yang lebih panjang atau disebut miopia aksial dan bola mata yang lebih

pendek atau disebut hiperopia aksial. Pada ametropia refraktif, panjang bola mata

biasanya normal secara statistik namun kekuatan refraktif mata (kornea/lensa)

tidak normal, daya refraktif mata dapat berlebihan seperti pada kondisi miopia,

atau kekurangan seperti pada hiperopia. Ametropia juga dapat diklasifikasikan

oleh karena ketidakcocokan antara kekuatan optik dan panjang bola mata

(Atebara, et al., 2011). Kondisi ametropia dimana sinar sejajar dari jarak tak

hingga yang masuk mata tanpa akomodasi tidak difokuskan pada satu titik oleh

karena kelengkungan kornea atau lensa yang beragam pada meridian yang

berbeda disebut astigmatisme.

2.1.1 Miopia

Miopia diklasifikasikan berdasarkan etiologi menjadi miopia aksial dan

miopia refraktif. Pada miopia aksial didapatkan diameter antero-posterior bola

mata yang memanjang, namun kekuatan refraktif mata, kelengkungan kornea,

lensa, dan posisi lensa dalam kondisi normal. Pada miopia refraktif dapat dibagi

menjadi miopia indeks yaitu terdapat kelainan indeks refraksi pada satu atau lebih

6
22

media refraksi, miopia kurvatura yaitu meningkatnya radius kelengkungan kornea

atau lensa atau keduanya, anterior chamber myopia yaitu kondisi dimana

kedalaman bilik mata depan berkurang misalnya pada lensa yang maju ke anterior

(Rosenfield, 2006). Berdasarkan derajatnya, miopia dibagi menjadi miopia rendah

dengan kelainan kurang dari dan sama dengan 3 dioptri, miopia sedang antara 3

hingga 6 dioptri, dan miopia tinggi lebih dari dan sama dengan 6 dioptri (Resan,

Vukosavljevi and Milivojevi, 2012).

Gambar 2.1 Mata miopia tanpa akomodasi. A. Sinar sejajar dari jarak tak hingga
difokuskan di depan retina, membentuk bayangan yang kabur pada retina. B. Sinar yang
berasal dari retina difokuskan di depan mata, antara kornea dan jarak optik tak hingga
(Atebara, et al., 2011).

2.1.2 Astigmatisme

Mata dengan astigmatisme dapat diklasifikasikan berdasarkan orientasi dan

orientasi relatif terhadap garis fokus. Jika satu garis fokus berada di depan retina

dan garis fokus yang lain berada di retina diklasifikasikan sebagai astigmat miopia

simpleks. Jika kedua garis fokus berada di depan retina maka diklasifikasikan

sebagai astigmat miopia kompositus. Jika satu garis fokus berada di belakang

retina dan garis fokus yang lain berada di retina diklasifikasikan sebagai astigmat

hiperopia simpleks. Jika kedua garis fokus berada di belakang retina maka

diklasifikasikan sebagai astigmat hiperopia kompositus. Jika satu garis fokus


23

berada didepan retina dan garis fokus yang lain berada di belakang retina

diklasifikasikan sebagai astigmat mikstus (Atebara, et al., 2011). Jika meridian-

meridian utama (aksis) memiliki orientasi yang konstan pada tiap titik pada pupil,

dan besarnya astigmatisme setara pada tiap titik, maka kondisi ini disebut

astigmat regular dan dapat dikoreksi dengan lensa silinder. Astigmat regular dapat

diklasifikasikan menjadi with the rule dan against the rule astigmatism. Pada with

the rule astigmatism meridian vertikal lebih cembung, dan koreksi dengan lensa

silinder positif diletakkan pada atau mendekati aksis 90. Pada against the rule

astigmatism meridian horisontal lebih cembung, dan koreksi dengan lensa silinder

positif diletakkan pada atau mendekati aksis 180. Istilah oblique astigmatism

digunakan pada astigmat regular dimana meridian-meridian utama tidak berada

pada atau mendekati 90 atau 180, namun berada pada atau mendekati 45 atau

135. Pada astigmat iregular, orientasi meridian-meridian utama atau besarnya

astigmatisme berubah dari titik ke titik pada pupil. Walaupun meridian-meridian

utama terpisah 90 pada masing-masing titik, namun terkadang pada pemeriksaan

retinoskopi atau keratometri tampak tidak tegak lurus antara satu dengan yang

lainnya. Setiap mata memiliki sejumlah kecil astigmat iregular, dan alat-alat

seperti topografi kornea dan wavefront aberrometer dapat digunakan untuk

mendeteksi kondisi ini secara klinis (Atebara, et al., 2011).


24

Gambar 2.2 Tipe astigmatisme. Lokasi garis fokus terhadap retina menunjukkan tipe
astigmatisme. (Atebara, et al., 2011)

2.2 Analisis Wavefront

Dalam memahami astigmat iregular dan analisis wavefront, harus dipahami

terlebih dahulu mengenai bayangan stigmatis. Sistem bayangan yang stigmatis

membawa semua sinar yang berasal dari satu titik objek ke satu titik fokus.

Berdasar kan prinsip Fermat, fokus yang stigmatis dapat terbentuk jika waktu

yang diperlukan cahaya untuk melalui satu titik objek ke titik bayangan adalah

sama untuk semua jalur cahaya yang terbentuk. Jika semua cahaya mencapai satu

titik bayangan secara bersamaan, maka bayangan yang terbentuk adalah stigmatis.

Dan jika cahaya-cahaya tersebut tidak bertemu pada satu titik maka bayangan

akan menjadi astigmatis. Analisis wavefront berdasar pada prinsip Fermat. Jika

dibuat sebuah busur lingkaran dengan radius kurang lebih sama dengan jarak

bayangan, busur ini disebut reference sphere (Gambar 2.3) (Atebara, et al., 2011).
25

Gambar 2.3 A). Reference sphere (garis merah) direpresentasikan dalam bentuk 2
dimensi sebagai busur lingkaran dengan pusat di titik B. Jika terbentuk bayangan yang
stigmatis maka semua cahaya dari titik A melewati reference sphere secara bersamaan.
B). Jika bayangan yang terbentuk astigmatis, cahaya yang berasal dari suatu objek akan
melalui wavefront (garis biru) bukan melalui reference sphere. (Atebara, et al., 2011).

Dalam optik paraksial, fokus yang dibentuk pada dasarnya stigmatis. Sinar

perifer atau nonparaksial tidak selalu difokuskan secara stigmatis. Penyimpangan

dari bayangan stigmatis disebut aberasi (aberrations) (Atebara, et al., 2011).

Geometric wavefront adalah gambaran seperti foto dari titik-titik akhir

bayangan. Wavefront aberration adalah perbedaan antara reference sphere dengan

wavefront. Jika fokus stigmatis maka reference sphere dan wavefront adalah

bertepatan, sehingga wavefront aberrationnya nol. Bentuk wavefront pada mata

yang secara teoritis sempurna tanpa aberasi adalah seperti bidang datar, yang

disebut piston (Atebara, et al., 2011; Resan, et al., 2012).


26

Gambar 2.4 Bentuk wavefront yang mempresentasikan piston (Resan, et al., 2012)

Salah satu aplikasi klinis dari teori gelombang pada cahaya adalah analisis

wavefront. Saat ini analisis wavefront dapat dilakukan secara klinis dengan 4

metode yaitu Hartmann-Shack, Tscherning, thin-beam single-ray tracing, dan

optical path difference yang mengkombinasikan retinoskopi dengan topografi

kornea. Masing-masing metode menghasilkan laporan yang detail dari lower

order aberration (sferis dan silidris) dan higher order aberrations (spherical

aberration, coma, dan trefoil). Informasi ini berguna untuk menghitung ablasi

kustom demi meningkatkan penglihatan atau mengkoreksi masalah optik, dan

menjelaskan gejala gangguan penglihatan yang terjadi (Rapuano, et al., 2011).

Terdapat beberapa teknik untuk mengukur wavefront aberration, yang

paling sering digunakan dalam klinis adalah pengukuran berdasarkan Hartmann-

Shack wavefront sensor. Dengan alat ini, tembakan laser daya rendah difokuskan

pada retina. Titik pada retina bertindak sebagai titik objek, dan cahaya yang

direfleksikan kemudian disebarkan ke elemen optik mata (Gambar 2.4). Pada

mata yang sempurna, semua sinar akan muncul sejajar, dan wavefront yang

terbentuk adalah seperti bidang datar, namun pada kenyataannya, wavefront

tidaklah datar. Sesusun lensa akan mefokuskan cahaya pada detektor sehingga

gambaran wavefront akan terlihat. Bentuk wavefront dapat ditentukan dari posisi

fokus pada masing-masing detektor. Optical aberrations dapat dilihat dari

berbagai macam bentuk dasar, kombinasi di antaranya menunjukkan total


27

aberration, seperti pada kelainan refraksi yang merupakan kombinasi dari

kelainan sferis dan silindris (Rapuano, et al., 2011).

Gambar 2.5 Gambar skematis dari Hartman-Shack wavefront sensor. (Rapuano, et al.,
2011).

Saat ini wavefront aberration sering ditampilkan dengan Zernike

polynomials, yaitu suatu rumus matematis yang digunakan untuk menggambarkan

suatu permukaan. Tiap-tiap aberasi dapat bernilai positif ataupun negatif dan akan

memprediksi perubahan kualitas bayangan. Besarnya aberasi ini dinyatakan

sebagai root mean square (RMS) error, yang merupakan wavefront aberration

rata-rata atas seluruh wavefront. Sebagian besar pasien memiliki nilai total RMS

kurang dari 0,3 m. Kebanyakan koefisien Zernike pada higher order aberrations

memiliki nilai rata-rata mendekati nol. Koefisien Zernike yang paling penting

dalam mempengaruhi kualitas penglihatan adalah coma, spherial aberration, dan

trefoil (Rapuano, et al., 2011). Adanya aplikasi klinis wavefront aberrometry

memungkinkan untuk mengukur higher order aberrration yang sebelumnya

dikelompokkan ke dalam astigmat iregular (Atebara, et al., 2011).


28

Gambar 2.6 Wavescan VISX Customvue, alat pengukur wavefront aberration yang
digunakan di RS Mata Undaan (RS Mata Undaan, 2014).

2.2.1 Lower order aberrations

Miopia, hiperopia, dan astigmatisme adalah termasuk lower order

aberration yang dapat dinyatakan dengan wavefront aberration. Miopia

menghasilkan positive defocus (Gambar 2.4) sedangkan hiperopia menghasilkan

negative defocus. Astigmat regular menghasilkan wavefront aberation yang

memiliki komponen oblique dan orthogonal (Gambar 2.5) (Rapuano, et al.,

2011).

Gambar 2.7 Bentuk wavefront yang merepresentasikan defocus. (Rapuano, et al., 2011).
29

Gambar 2.8 Bentuk wavefront yang merepresentasikan astigmatisme (Rapuano, et al.,


2011).

2.2.2 Higher order aberrations

Higher order aberrations sangat terpengaruh dengan ukuran pupil, dimana

peningkatan higher order aberrations dapat ditemukan saat pupil dilatasi. Higher

order aberrations juga meningkat seiring dengan pertambahan usia, walaupun

efek klinisnya diperkirakan seimbang dengan meningkatnya miosis pada pupil

karena usia. Walaupun lower order aberration menurun setelah bedah refraktif

kornea, namun higher order aberrations dapat meningkat setelahnya pada koreksi

miopia. Peningkatan ini berhubungan dengan derajat miopia sebelum operasi.

Higher order aberrations yang terjadi pasca LASIK disebabkan oleh karena

astigmatisme iregular, dimana jika zona optik lebih kecil dari ukuran pupil maka

akan menyebabkan keluhan halos oleh karena pembiasan cahaya pada zona

transisi. Pada bedah refrkatif kornea untuk koreksi hiperopia, higher order

aberrations juga meningkat bahkan lebih daripada koreksi miopia namun dalam

nilai yang berlawanan (Davis, et al, 2002; Rapuano, et al., 2011)..


30

2.2.2.1 Spherical aberration

Jika sinar sejajar perifer difokuskan di depan fokus sinar yang lebih sentral,

maka pola ini disebut spherical aberration (Gambar 2.8) (Rapuano, et al., 2011).

Gambar 2.9 Spherical aberration. A) Jika zona optik lebih besar dari celah pupil,
bayangan akan difokuskan secara stigmatis. B) Jika zona optik lebih kecil dari celah
pupil, maka cahaya yang dibiaskan melalui kornea bagian perifer yang tidak terkoreksi
oleh LASIK akan menyebabkan spherical aberration. Pasien yang melihat titik cahaya
pada jarak jauh akan melihat halo di sekitar sumber cahaya (Atebara, et al., 2011).
31

Gambar 2.10 Bentuk wavefront yang merepresentasikan spherical aberration. (Rapuano,


et al., 2011).

Secara klinis aberasi yang simetris secara radial ini adalah penyebab night

myopia dan yang sering meningkat setelah koreksi miopia dengan LASIK. Hal ini

akan menyebabkan halos di sekitar titik bayangan. Spherical aberration adalah

higher order aberrations yang paling berarti. Aberasi ini dapat meningkatkan

kedalaman lapang pandangan namun menurunkan sensitivitas kontras.

Spherical aberration memiliki 2 efek. Pertama, kualitas bayangan (atau

tajam penglihatan) menurun oleh karena fokus tidak stigmatis. Kedua, lokasi

bayangan berubah dari posisi yang diprediksi oleh Lensnmaker equation (LME)

dan vergence equations. Fokus terbaik dibentuk sinar yang terbatas pada area

terkecil. Pada mata manusia, spherical aberration menggeser fokus ke anterior

membuat pasien sedikit lebih miop daripada perhitungan vergence yang

diharapkan (Atebara, et al., 2011).

Spherical aberration memperburuk miopia pada cahaya yang kurang (night

myopia). Dalam kondisi pencahayaan yang lebih terang, pupil akan konstriksi

sehingga akan menghalangi sinar yang lebih perifer dan meminimalkan efek

spherical aberration. Saat pupil membesar, sinar yang lebih perifer akan masuk
32

mata dan akan difokuskan lebih ke anterior, sehingga membuat pasien lebih miop

dalam kondisi pencahayaan yang kurang. Biasanya, jumlah pergeseran miopianya

sekitar 0,5 D. Selain itu, karena adanya adaptasi gelap, maka sel batang

fotoreseptor retina menjadi lebih sensitif terhadap cahaya dengan panjang

gelombang pendek (biru), yang difokuskan lebih ke anterior, memberikan

kontribusi lebuh lanjut untuk night myopia (Atebara, et al., 2011).

Spherical aberrration berperan terhadap terjadinya fluktuasi penglihatan

pasca bedah refraktif kornea. Kornea normal lebih datar di perifer daripada

sentral, dimana hal ini akan menurunkan spherical aberration. Radial keratotomy

(RK) membuat kornea lebih sferis sehingga meningkatkan spherical aberration.

LASIK dan photorefractive keratectomy (PRK) membuat sentral kornea lebih

datar daripada perifer. Secara umum, efek dari spherical aberration meningkat

pangkat 4 dari diameter pupil. Jika diameter pupil lebih besar 2 kali lipat maka

spherical aberration akan meningkat 16 kali. Oleh karena itu, perubahan kecil

pada ukuran pupil dapat menyebabkan perubahan yang refraksi yang berarti.

Kemungkinan ini harus dipertimbangkan pada pasien dengan penglihatan yang

fluktuatif meskipun hasil keratometrinya (K reading) stabil dan telah terjadi

penyembuhan kornea pasca bedah refraktif kornea (Atebara, et al., 2011).

2.2.2.2 Coma dan trefoil

Pada coma (third order aberration), sinar pada salah satu tepi pupil

difokuskan sebelum sinar pada tepi pupil yang berlawanan. Bayangan yang

terbentuk menyerupai komet dengan komponen vertikal dan horisontal (Gambar

2.10). Coma sering terjadi pada pasien dengan desenterasi corneal graft,

keratokonus, dan desenterasi ablasi laser (Rapuano, et al., 2011).


33

Gambar 2.11 Bentuk wavefront yang merepresentasikan coma (Rapuano, et al., 2011).

Trefoil, yang juga merupakan third order aberration yang dapat ditemukan

pasca bedah refraktif kornea, namun menyebabkan penurunan kualitas bayangan

yang kurang daripada coma dengan besar RMS yang sama (Rapuano, et al.,

2011).

Gambar 2.12 Bentuk wavefront yang merepresentasikan trefoil (Rapuano, et al., 2011)
34

2.3 Anatomi dan Fisiologi Kornea

2.3.1 Anatomi kornea

Pada orang dewasa, kornea memiliki diameter horisontal sekitar 11-12 mm

dan diameter vertikal sekitar 9-11 mm. Ketebalan kornea di bagian tengah sekitar

0,52-0,55 mm dan di bagian tepi sekitar 0,7-0,8 mm. Daya refraksi dari kornea

adalah sekitar 40-44 dioptri, yang merupakan tiga perempat dari daya refraksi

total mata (Kanski, 2007; Khurana, 2007; Lang, 2000).

Kornea adalah jaringan yang avaskular. Terdapat sirkulasi kecil yang

berasal dari pembuluh darah siliaris anterior yang menginvasi daerah tepi kornea

sekitar 1 mm. Sebenarnya sirkulasi ini tidak berada di kornea namun di jaringan

subkonjungtiva yang tumpang tindih dengan kornea (Khurana, 2007).

Kornea adalah bagian dari tubuh manusia yang paling padat inervasinya.

Saraf sensoris dari kornea berasal dari saraf siliaris anterior cabang dari divisi

pertama (oftalmikus) saraf trigeminus. Setelah memasuki 2 mm di tepi kornea

saraf tersebut kehilangan selubung myelin dan membentuk 3 kumpulan (plexus)

serabut saraf yaitu pada stroma, intraepitel, dan subepitel. Jika terdapat

rangsangan langsung pada ujung saraf pada kornea maka akan menyebabkan rasa

nyeri, refleks lakrimasi, dan fotofobia (Kanski, 2007; Khurana, 2007; Reidy, et

al., 2011).

2.3.2 Histologi kornea

Secara histologi, kornea terdiri dari lima lapisan yaitu epitelium, membran

bowman, lapisan stroma, membran descemet, dan endotelium (Gambar 2.12).

Komponen-komponen kornea bekerjasama satu dengan lainnya untuk menjaga


35

integritas dan fungsi jaringan agar transparansi dan kekuatan kornea dapat

dipertahankan (Kanski, 2007; Khurana, 2007; Reidy, et al, 2011).

Gambar 2.13 Gambar skematis lapisan kornea (Kanski, 2007).

2.3.2.1 Lapisan epitel

Ketebalan lapisan ini adalah sekitar 50 m yaitu sekitar 10% dari total

ketebalan kornea. Lapisan ini adalah laipasan terluar kornea yang membentuk

permukaan mata. Lapisan ini terdiri dari 5-6 lapisan sel yang tersusun dari sel

kolumnar basal, sel sayap, dan sel batang. Sel kolumnar basal nantinya akan

berdiferensiasi menjadi sel sayap dan sel batang yang merupakan sel terluar dari

lapisan ini (Kanski, 2007; Khurana, 2007; Reidy, et al., 2011).

2.3.2.2 Membran Bowman

Lapisan ini memiliki ketebalan 12 m dan bersifat mengikat bagian anterior

stroma kornea dengan membran dasar epitelium. Lapisan ini merupakan daerah
36

aseluler yang tersusun dari serat kolagen tipe I dan tipe III (Kanski, 2007;

Khurana, 2007; Reidy, et al., 2011).

Membran Bowman juga memiliki sifat tahan terhadap infeksi,

menjadikannya hambatan terhadap kerusakan ke dalam kornea oleh

mikroorganisme. Namun bila terjadi kerusakan, lapisan ini tidak dapat

beregenerasi (Kanski, 2007; Khurana, 2007; Reidy, et al., 2011).

2.3.2.3 Lapisan stroma

Lapisan ini memiliki ketebalan sekitar 0,5 mm dan merupakan 90% dari

ketebalan total kornea. Stroma kornea terdiri dari matriks ekstraseluler yang

dibentuk oleh kolagen dan proteoglikan. Lapisan ini terdiri dari kolagen fibril tipe

1 dan tipe 4 dan diselingi oleh filamen kolagen tipe 4. Konsentrasi dan rasio

proteoglikan bervarisasi antara bagian anterior ke posterior. (Kanski, 2007;

Khurana, 2007; Reidy, et al., 2011).

Stroma tersusun dari banyak lapisan tipis (lamellae). Pada masing-masing

lapisan tidak hanya paralel satu sama lain tetapi juga dengan permukaan kornea

dan bersambung dengan sklera pada limbus. Diantara lapisan tersebut terdapat

keratosit, makrofag, histiosit, dan sedikit leukosit. Lamella stroma anterior adalah

lapisan yang pendek dan sempit yang diselingi oleh lapisan yang luas, sedangkan

pada stroma posterior adalah lapisan yang tebal, lebar dan panjang, yang

membentang dari limbus ke limbus dengan hubungan interlamelar minimal

(Kanski, 2007; Khurana, 2007; Reidy, et al., 2011).

Pada LASIK pemeriksaan pachymetry preoperatif untuk mengukur

ketebalan kornea wajib dilakukan karena harus terdapat residual stromal bed
37

thickness (RSBT) yang memadai untuk mengurangi kemungkinan corneal ectasia

pasca LASIK. RSBT dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

RSBT = central corneal thickness ketebalan flap kedalaman ablasi

Banyak praktisi menggunakan minimum RSBT 250 m sebagai pedoman dalam

melakukan LASIK (Rapuano, et al., 2011).

2.3.2.4 Membran descemet

Membran descemet adalah sebuah lapisan homogen kuat yang mengikat

stroma ke posterior dan merupakan lapisan dasar dari endotelium. Ketebalannya

bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Pada bayi baru lahir ketebalannya

sekitar 3 m dan saat dewasa sekitar 10-12 m. Membran descemet terdiri dari

kolagen dan glikoprotein. Membran ini sangat tahan terhadap zat kimia, trauma,

dan proses patologis. Tidak seperti membran bowman, lapisan ini dapat

mengalami regenerasi (Kanski, 2007; Khurana, 2007; Reidy, et al., 2011).

2.3.2.5 Lapisan endotel

Lapisan endotelium tersusun dari satu lapis sel-sel poligonal (kebanyakan

sel heksagonal) yang berdekatan yang membentuk pola mosaik. Lapisan ini

memiliki ketebalan 10 m saat kelahiran dan menjadi sekitar 5 m pada saat

dewasa. Densitas sel endotelium adalah sekitar 3000 sel/mm2 pada dewasa muda,

yang menurun dengan peningkatan usia. Kehilangan sel endotel berakibat pada

pembesaran sel dan penyebaran sel yang tersisa untuk menutupi luka tanpa

peningkatan jumlah sel endotel. Dekompensasi kornea terjadi hanya setelah lebih

dari 75% sel hilang (Kanski, 2007; Khurana, 2007; Reidy, et al., 2011).
38

2.3.3 Fisiologi kornea

Fungsi fisiologis kornea yang utama yaitu sebagai media refraksi dimana

dibutuhkan sifat transparan untuk menjalankan fungsi ini, dan sebagai pelindung

komponen-komponen intraokular. Sifat transparan pada kornea disebabkan oleh

karena kolagen fibril yang tertanam pada matriks ekstrasel tersusun menyerupai

kisi-kisi dengan ukuran yang lebih kecil dari panjang gelombang cahaya yang

terlihat oleh mata. Sifat transparan ini juga tergantung pada kandungan air di

stroma kornea dan kondisi kornea yang avaskular. Kornea memenuhi tugas ini

dengan mempertahankan sifat transparannya dan penggantian jaringannya

(Khurana, 2007; Reidy, et al, 2011).

Lapisan kornea yang paling aktif metabolismenya adalah epitelium dan

endotelium, dimana epitelium 10 kali lebih tebal dibandingkan endotelium dan

membutuhkan sebuah pasokan zat-zat metabolik yang lebih besar secara

proporsional. Seperti jaringan lainnya, lapisan epitelium dapat memetabolisme

glukosa baik secara aerob maupun anaerob menjadi karbondioksida, air, dan asam

laktat. Hidrasi pada kornea sebagian besar dikontrol oleh lapisan epitel yang intak

dan pertahanan (barriers) endotel dengan adanya pompa pada endotel. (Khurana,

2007; Reidy, et al., 2011).

2.3.4 Penyembuhan luka kornea pada LASIK

Semua bentuk bedak refraktif kornea sangat tergantung pada penyembuhan

luka kornea untuk mencapai hasil yang diinginkan. Untuk mendapatkan hasil

yang memuaskan dibutuhkan baik mengubah atau mengurangi penyembuhan luka

kornea normal untuk kepentingan pasien (Rapuano, et al., 2011).


39

Pada LASIK epitel kornea yang terluka akan diikuti perubahan pada stroma.

Luka pada epitel dan perubahan pada stroma akan menyebabkan hilangnya

keratosit karena proses apoptosis. Keratosit yang tersisa merespon dengan

menghasilkan glikosaminoglikan baru dan kolagen, responnya tergantung dari

durasi kerusakan epitel dan kedalaman kerusakan stroma (Dupps and Wilson,

2006; Rapuano, et al., 2011).

Kekeruhan kornea terlokalisasi di subepitelial stroma anterior dan dapat

berlangsung sampai beberapa tahun setelah ablasi permukaan kornea. Kekeruhan

kornea terjadi akibat dari perubahan sifat adhesi sel epitel baru yang berproliferasi

dan bermigrasi ke daerah luka. Pada LASIK, kekeruhan kornea tampaknya tidak

terjadi di flap bagian tengah. Hal ini dapat dihubungkan dengan sedikitnya

kerusakan epitel sehingga tetap terjadi hubungan subselular, dan terpeliharanya

serabut saraf permukaan kornea yang masih utuh. LASIK menunjukkan sedikit

penyembuhan luka kornea jangka panjang diantara lamellae stroma yang terpisah

dan hanya tampak penyembuhan stroma di bagian perifer dari luka. Lamellae

stroma kembali ke posisinya oleh tekanan negatif stroma yang dihasilkan oleh sel

endotel dibantu dengan epitel permukaan yang utuh. Bahkan beberapa tahun

pasca LASIK, hubungan antar lamelllae dapat terpisah dan flap dapat diangkat

kembali. Hal ini menandakan bahwa hanya terjadi proses penyembuhan luka yang

minimal (Dupps and Wilson, 2006; Rapuano, et al., 2011).

2.4 LASIK

Istilah keratomileusis berasal dari bahasa Yunani yang berarti kornea

(kerato) dan memahat (mileusis). LASIK yang mengkombinasi keratomileusis


40

dengan ablasi stroma menggunakan excimer laser, merupakan prosedur

keratorefraktif yang paling banyak dipakai saat ini oleh karena aman, memiliki

tingkat keberhasilan yang tinggi, pemulihan visus pasca operasi yang cepat, dan

ketidaknyamanan pada pasien yang minimal (Rapuano, et al., 2011).

2.4.1 Excimer laser

Excimer laser menggunakan muatan listrik tegangan tinggi untuk

menggabungkan atom argon dan fluor yang tereksitasi. Ketika molekul tersebut

kembali kedalam bentuk atom yang terpisah, foton yang bermuatan dipancarkan.

Kata excimer berasal dari excited dimer. Srinivasan, seorang insinyur yang

mempelajari far-UV (193 nm) argon-fluor excimer laser untuk photo etching pada

chip komputer. Dia dan Trokel, seorang dokter mata, menunjukkan bahwa

excimer laser tidak hanya mampu menghilangkan jaringan kornea secara tepat

dengan kerusakan minimal pada jaringan kornea yang berdekatan (photoablation),

namun juga menemukan manfaatnya untuk terapi bedah refraktif kornea

(Rapuano, et al., 2011).

Photoablation terjadi karena kornea memiliki koefisien absorpsi yang

sangat tinggi terhadap sinar dengan panjang gelombang 193 nm. Foton tunggal

dengan panjang gelombang 193 nm memiliki energi yang cukup untuk langsung

memecah ikatan karbon-karbon dan karbon-nitrogen yang membentuk rantai

peptida dari molekul kolagen kornea. Radiasi excimer laser memecah polimer

kolagen menjadi fragmen-fragmen kecil, mengurangi volume dan kedalaman

jaringan kornea tanpa kerusakan yang berarti pada jaringan yang berdekatan

(Rapuano, et al., 2011).


41

Gambar 2.14 Gambar skematis efek excimer laser terhadap jaringan kornea. Pada
LASIK, setelah flap diangkat, dilakukan ablasi dengan excimer laser pada lapisan stroma
yang terpapar, kemudian flap dikembalikan ke posisi semula. Kontur stroma kornea yang
berubah menyebabkan perubahan yang serupa pada permukaan flap (Rapuano, et al.,
2011).

Gambar 2.15 VISX Star S4 Customvue. Excimer laser yang digunakan di RS Mata Undaan (RS
Mata Undaan, 2014).
42

2.4.2 Pembentukan flap kornea dengan mikrokeratom

Pembentukan flap lamelar kornea dapat menggunakan mikrokeratom

maupun femtosecond laser. Pembentukan flap kornea dengan mikrokeratom

menggunakan suction ring dan mikrokeratom itu sendiri, prinsip dasarnya seperti

pada Gambar 2.15. Suction ring memiliki 2 fungsi yaitu melekat ke bola mata

sehingga terbentuk alas yang stabil untuk mikrokeratom dan meningkatkan

tekanan intraokular yang akan menstabilkan kornea. Ukuran suction ring ini

menentukan diameter flap dan lebarnya engsel flap. Semakin tebal ukuran vertikal

dari suction ring dan semakin kecil diameter bagian dalam ring maka protusi

kornea akan semakin kecil dan diameter flap yang dihaasilkan juga lebih kecil.

Sucton ring dihubungkan dengan pompa kedap udara yang biasanya dikendalikan

pada pedal kaki (Rapuano, et al., 2011).


43

Gambar 2.16 Gambar skematis prinsip kerja mikrokeratom. A) Suction ring berfungsi
sebagai alas bagi kepala mikrokeratom, mencengkeram perbatasan konjungtiva sklera
dengan limbus. B) Gambar skematis potongan melintang kepala mikrokeratom. C)
Pembentukan flap. Saat kepala mikrokeratom melewati seluruh permukaan kornea,
kepala mikrokeratom akan mendatarkan kornea sebelumnya pisau bergerak (Rapuano, et
al., 2011).

Mikrokeratom yang digunakan untuk LASIK di RS Mata Undaan adalah

Moria M2. Moria M2 adalah jenis mikrokeratom sekali pakai yang dikemas

otomatis tanpa perlu menyusun terlebih dahulu. Keuntungan menggunakan

mikrokeratom ini adalah pertama tidak diperlukan sterilisasi karena

didistribusikan dari pabrik dalam kondisi steril. Kedua, tidak akan terjadi keausan

oleh karena akan dipakai kepala pisau yang baru untuk tiap pasien. Ketiga, hanya

dibutuhkan manipulasi teknik dan penyusunan yang minimal oleh karena pisau

mikrokeratom telah disusun dari pabrik dalam bentuk sekali pakai, hal ini akan

mengurangi kemungkinan kesalahan manusia dalam menyusun pisau dalam


44

mikrokeratom. Yang terakhir, kepala mikrokeratom ini terbuat dari plastik yang

transparan yang akan memudahkan dalam pemasangan dan penguncian terhadap

suction ring (Kanellopoulos, et al., 2005).

Gambar 2.17 Mikrokeratom Moria M2 yang digunakan saat pembentukan flap kornea
pada LASIK di RS Mata Undaan (Cutarelli vision, 2014).

2.4.3 Indikasi dan kontraindikasi LASIK

Seleksi pasien yang tepat sangat penting dalam mencapai hasil yang

memuaskan. Seorang pasien yang dipilih untuk menjalani LASIK berdasarkan

pemeriksaan di bidang oftalmologi yang tepat dan kebutuhan pribadi.

Pemeriksaan pra operasi sangat penting untuk meminimalkan resiko pasca operasi

yang dapat terjadi (Step by step LASIK, p.7).

2.4.3.1 Indikasi LASIK

Indikasi yang umum dilakukan bedah LASIK saat ini adalah miopia.

Namun, LASIK juga dapat dilakukan pada hiperopia dan astigmatisme. Indikasi

yang lain adalah pada pasien dengan anisometropia, adanya kelainan refraksi yang

muncul setelah prosedur bedah seperti misalnya penetrating keratoplasty, radial

keratotomy, atau bedah katarak. Saat ini LASIK juga dapat dilakukan untuk
45

mengkoreksi presbiopia. Terlepas dari indikasinya, pasien yang akan menjalani

LASIK memiliki persyaratan dasar tertentu yang harus dipenuhi, seperti pada

tabel 2.1 (Titiyal, Ahuja and Sharma, 2006).

Tabel 2.1 Kriteria pasien yang ideal untuk dilakukan LASIK


Berusia 18 tahun atau lebih. Lebih disarankan usia 21 tahun ke atas.
Lebih memilih untuk dilakukan bedah refraksi daripada menggunakan kacamata atau
lensa kontak.
Memiliki kelainan refraksi yang telah stabil.
Bebas dari penyakit mata luar/kornea, kelopak mata, dan segmen posterior.
Tidak dalam kondisi hamil, menyusui, atau berencana hamil dalam 6 bulan hingga 1
tahun ke depan.
Tidak memiliki penyakit sistemik atau atauimun seperti lupus
Mampu memenuhi finansial.
Berkemauan untuk menjalankan instruksi pasca bedah dan rencana perawatan
selanjutnya.
Memiliki harapan yang realistis mengenai hasil bedah LASIK.
Telah dijelaskan tentang kemungkinan komplikasi bedah yang dapat terjadi dan mau
menerima risikonya.
(Titiyal, Ahuja and Sharma, 2006)

2.4.3.2 Kontraindikasi LASIK

Kontraindikasi pada bedah LASIK dapat berupa kontraindikasi absolut

maupun relatif. Pada beberapa kasus, LASIK merupakan kontraindikasi absolut

dan tidak boleh dilakukan. Yang merupakan kontraindikasi absolut yang pertama

adalah kondisi-kondisi penyakit kornea ektasi seperti keratokonus, Terriens and

pellucid marginal degeneration dapat diperburuk oleh LASIK yang akan

menyebabkan ektasia yang lebih parah dan penurunan tajam penglihatan. Kedua,

pasien dengan kornea yang tipis dengan ketebalan <490 m, oleh karena tidak

cukup tersedia kornea untuk dilakukan ablasi untuk mengkoreksi kelainan

refraksi. RSBT <300 m juga merupakan kontraindikasi LASIK, hal ini untuk

mencegah terjadinya ektasia posterior pada kornea. Ketiga, terdapat kelainan


46

patologi aktif pada kornea dan penyakit mata luar yang parah seperti Steven-

Johnsons syndrome dan ocular cicatrical pemphigoid. Keempat, adanya riwayat

glaukoma, karena pada tahap aplikasi suction ring tekanan intraokuli (TIO) dapat

meningkat sampai lebih dari 65 mmHg. Kelima, pada wanita hamil atau menyusui

atau yang merencanakan kehamilan pada 6 hingga 12 bulan ke depan, oleh karena

dapat terjadi perubahan hidrasi kornea dan status refraksi (Buratto, Brint and

Ferrari, 1998; Titiyal, Ahuja and Sharma, 2006).

Kontraindikasi relatif pada LASIK di antaranya yang pertama, pasien yang

mendapatkan obat-obatan seperti steroid topikal atau oral atau pasien yang

mengkonsumsi terapi hormonal, karena dapat terjadi proses penyembuhan yang

lebih lama. Kedua, pasien dengan penyakit diabetes, kelainan kolagen dan

vaskular, penyakit autoimun atau imunodefisiensi, pasien dengan riwayat keloid,

dimana hasil penyembuhan pasca LASIK lebih sukar diprediksi. Ketiga, pasien

dengan riwayat herpes simpleks atau herpes zoster pada mata. Keempat, pasien

dengan blefarofimosis atau yang memiliki celah palpebra yang sempit. Kelima,

terdapat infeksi atau keradangan yang aktif seperti konjungtivitis atau skleritis,

dan penyakit-penyakit yang menyebabkan ketidakstabilan lapisan air mata (tear

film) seperti blefaritis, meibomitis, dan atopi. Keenam, terdapat neovaskularisasi

di kornea yang berjarak sekitar 1,0 mm dari zona ablasi. Terakhir, LASIK harus

dihindari pada pasien monokular, sindroma mata kering, pupil yang lebar

melebihi zona ablasi, pasien dengan penyakit vaskular sistemik atau okular,

keadaan refraksi yang tidak stabil (Buratto, Brint and Ferrari, 1998; Titiyal, Ahuja

and Sharma, 2006).


47

2.4.4 Teknik bedah LASIK

Prosedur yang dilakukan meliputi pemberian obat-obatan pra operasi (tetes

mata antibiotik, anestesi topikal, dan tetes mata nonsteroidal anti inflamatory

drugs (NSAID). Kepala pasien diposisikan paralel terhadap lantai dan kornea

serta tegak lurus terhadap sinar laser. Lapangan operasi didesinfeksi dengan

povidon iodine dan dipersempit dengan steril eye drape. Pemasangan eyelid

speculum dan dilakukan irigasi bola mata untuk menghilangkan kotoran dan

debris. Marking kornea dengan gentian violet. Suction ring dipasang sedikit

superior sekitar 1 mm dan eyelid speculum ditekan agar bola mata sedikit

menonjol. Kemudian vacuum pump diaktifkan dan TIO diperiksa. Mikrokeratom

diposisikan dan dipastikan kedalaman platform sesuai agar aman. Keratektomi

dilakukan dengan cara menggerakkan mikrokeratom maju dan mundur untuk

melewati kornea. Vacuum pump dimatikan dan suction ring serta mikrokeratom

dilepas. Flap kornea kemudian diangkat dengan kanula atau spatula. Dasar kornea

dikeringkan dengan hati-hati, kemudian fokus laser ditempatkan tepat di tengah

pupil dan dilakukan foto ablasi pada stromal bed. Stromal bed diirigasi dengan

Balanced Salt Solution (BSS) dan flap kornea dikembalikan ke posisi semula.

Tepi dan permukaan flap diberi tekanan dengan spons. Inspeksi ulang untuk

melihat adanya kerutan atau ketepatan posisi flap. Kemudian dilakukan Slades

striae test untuk memeriksa apakah posisi flap sudah tepat. Eyelid speculum

dilepaskan dengan hati-hati dan penderita diminta berkedip dengan normal

(Martiz and Slade, 2002; Titze, et al., 2006).

Pasca LASIK diberikan obat-obatan tetes mata antibiotik dan steroid selama

kurang lebih 7 hingga 10 hari dan air mata buatan untuk menjaga keseimbangan
48

lapisan air mata, menghidrasi permukaan kornea, dan membersihkan sekret,

cairan, atau kotoran. Selanjutnya pemeriksaan berkala dilakukan pada hari

pertama dan 1 minggu pasca LASIK. Kemudian dilanjutkan pada bulan 1, 3, 6,

dan 12 pasca LASIK (Buratto, et al., 2012; Rapuano, et al., 2011).

2.4.5 Komplikasi LASIK

Kejadian komplikasi pada LASIK bergantung ada beberapa faktor. Faktor

operator, mikrokeratom, laser, dan pasien harus dievaluasi ketika mencari

penyebab terjadinya komplikasi. Komplikasi LASIK dapat diklasifikasikan

menjadi komplikasi intraoperative, early postoperative period (beberapa hari

sampai minggu), atau late postoperative (beberapa minggu sampai beberapa

bulan) (Haw and Manche, 2002).

Komplikasi intraoperative yang paling parah pada umumnya terjadi saat

pembentukan lamellar keratectomy. Pada beberapa kasus, prmeriksaan pra bedah

yang teliti mampu mengidentifikasi risiko terjadinya komplikasi tersebut.

Komplikasi yang sering ditemukan antara lain subconjunctival haemorrhage,

chemosis, decentered flap, incomplete flap, free cap, button hole flap, dan corneal

perforation (Agarwal & Jacob, 2009; Haw & Manche, 2002).

Komplikasi early postoperative dapat terjadi pada hari pertama hingga

beberapa minggu setelah LASIK. Sebagian besar komplikasi disini harus segera

diketahui dan dikelola dengan tepat agar dapat mengoptimalkan perbaikan tajam

penglihatan. Komplikasi yang mungkin didapatkan antara lain interface debris,

displaced flap, epithelial defect, diffuse lamellar keratitis (DLK), infectious

keratitis, flap microstriae atau macrostriae (Agarwal & Jacob, 2009; Haw &

Manche, 2002).
49

Komplikasi late postoperative merupakan komplikasi yang muncul setelah

beberapa minggu sampai beberapa bulan. Komplikasi ini meliputi

undercorrection atau overcorrection, regresi efek refraksi, glare atau halo,

penurunan contrast sensitivity, epithelial ingrowth, astigmatisme ireguler, corneal

ectasia, dan komplikasi vitreoretina seperti degenerasi retina perifer, retinal

breaks, retinal detachment, atau choroidal neovascularization (Agarwal & Jacob,

2009; Haw & Manche, 2002).


BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

LASIK

Pembentukan flap kornea Laser photoablation


dengan mikrokeratom

Diameter zona Diameter Kedalaman


optik ablasi scotopic pupil ablasi
Ketebalan flap

Perubahan higher order aberrations


(Coma, trefoil, spherical aberration)

Keterangan:
: diteliti
: tidak diteliti

Gambar 3.1 Kerangka konseptual

50
51

Pasien miopia dan astigmat miopia yang dilakukan koreksi dengan LASIK

akan mengalami beberapa perubahan terkait dengan prosedur yang dilakukan.

Tahap-tahap yang penting pada prosedur LASIK adalah pembuatan flap kornea

dengan mikrokeratom dan laser photoablation. Dalam pembuatan flap kornea

yang perlu diperhatikan adalah diameter flap dan ketebalan flap. Ketebalan flap

berpengaruh terhadap perubahan higher order aberrations pasca LASIK,

sedangkan diameter flap tidak berpengaruh terhadap perubahan higher order

aberrations namun berpengaruh terhadap penyembuhan luka kornea (Pallikaris, et

al., 2002; Zhang, et al., 2013).

Beberapa hal yang berpengaruh terhadap perubahan higher order

aberrations pada tahap laser photoablation adalah kedalaman ablasi, diameter

scotopic pupil, dan diameter zona optik ablasi. Kedalaman ablasi sangat

bervariasi, semakin besar derajat ametropia maka semakin dalam stromal

ablation. Diameter zona optik ablasi yang kecil akan meningkatkan kemungkinan

keluhan berupa halos dan silau. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya

keluhan-keluhan tersebut maka zona optik ablasi sebaiknya berdiameter 6 mm

atau lebih (Rapuano, et al., 2011).

3.2 Hipotesis Penelitian

1. Terdapat perbedaan perubahan coma pada pasien pasca LASIK antara flap

110 m dan 160 m.

2. Terdapat perbedaan perubahan trefoil pada pasien pasca LASIK antara

flap 110 m dan 160 m.


52

3. Terdapat perbedaan perubahan spherical aberration pada pasien pasca

LASIK antara flap 110 m dan 160 m.


BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan studi observasional longitudinal pada pasien

miopia dan astigmat miopia yang telah menjalani LASIK di RS Mata Undaan

Surabaya.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di RS Mata Undaan Surabaya pada bulan November

2014 sampai besar sampel penelitian terpenuhi.

4.3 Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel

4.3.1 Populasi penelitian

Populasi penelitian adalah pasien miopia dan astigmat miopia yang

menjalani LASIK di RS Mata Undaan Surabaya.

4.3.2 Sampel penelitian

Sampel penelitian adalah pasien miopia dan astigmat miopia yang menjalani

LASIK di RS Mata Undaan Surabaya yang memenuhi kriteria inklusi sampel

mulai bulan November 2014 sampai besar sampel penelitian terpenuhi.

4.3.3 Besar sampel

Besar sampel penelitian diperkirakan dengan rumus sebagai berikut:

2 (Z + Z)2.2
n=
(1 - 2)2

53
54

n total = 2 (1,96+0,84)2.(0,07)2
(0,32-0,52)2

= 1,9208 (untuk meningkatkan realibilitas jumlah sampel

diperbesar menjadi 20)

Keterangan:

n = besar sampel

= 0,05 Z 1/2 = 1,96

= 0,20 Z = 0,84

Z = simpangan baku

1 = rata-rata higher order aberrations pra LASIK = 0,32

= 1 = simpangan baku higher order aberrations pra LASIK =

0,07

2 = rata-rata higher order aberrations pasca LASIK = 0,52

2 = simpangan baku higher order aberrations pasca LASIK

(Perez, et al., 2012)

4.3.4 Teknik pengambilan sampel

Sampel penelitian akan diambil dengan teknik consecutive sampling.

4.4 Kriteria Sampel

4.4.1 Kriteria inklusi

Kriteria inklusi sampel penelitian ini adalah mata pasien miopia dan

astigmat miopia berusia 18 - 40 tahun yang akan menjalani wavefront-guided

LASIK. Pasien berkenan untuk mengikuti penelitian setelah menandatangani

informed consent serta berkenan mengikuti jadwal pemeriksaan pasca LASIK.


55

4.4.2 Kriteria drop out

Kriteria drop out sampel penelitian ini adalah pasien yang mengalami

komplikasi intraoperative di antaranya decentered flap, incomplete flap, free cap,

button hole flap, dan corneal perforation; komplikasi early postoperative di

antaranya interaface debris, displaced flap, epithelial defect, DLK, infectious

keratitis, flap microstriae atau macrostriae; dan komplikasi late postoperative di

antaranya epithelial ingrowth, corneal ectasia, komplikasi-komplikasi vitreoretin.

Pasien yang tidak datang pada pemeriksaan hari ke 7 dan ke 30 pasca LASIK juga

akan dikeluarkan dari sampel penelitian.

4.5 Variabel Penelitian

4.5.1 Variabel bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah ketebalan flap kornea.

4.5.2 Variabel tergantung

Variabel tergantung pada penelitian ini adalah perubahan higher order

aberrations (coma, trefoil, dan spherical aberration) pasca LASIK.

4.5.3 Variabel perancu

Variabel perancu pada penelitian ini adalah kedalaman ablasi dan diameter

scotopic pupil.
56

4.6 Definisi Operasional Penelitian

Tabel 4.1 Definisi operasional variabel


Variabel Definisi Cara Pengukuran Hasil Skala
Operasional Pengukuran
Ketebalan Ketebalan flap Berdasarkan Flap kornea 110 Nominal
flap kornea kornea yang ukuran m: jika
dibentuk oleh mikrokeratom menggunakan
mikrokeratom yang digunakan mikrokeratom
Moria M2 pada saat 110 m
saat pembentukan pembentukan Flap kornea 160
flap pada prosedur flap kornea m: jika
LASIK menggunakan
mikrokeratom
160 m
Perubahan Selisih dari higher Diukur Hasil Rasio
higher order order aberrations menggunakan pengukuran
aberrations (coma, trefoil, dan wavescan VISX dinyatakan
(coma, spherical Customvue dalam Zernike
trefoil, aberration) yang sebelum polynomial
spherical diukur pra dan dilakukan
aberration) pasca LASIK LASIK, serta
pasca LASIK
hari 7 dan 30
Kedalaman Perhitungan Diukur Hasil Rasio
ablasi kedalaman stroma berdasarkan pengukuran
yang akan diablasi pencatatan mesin dalam satuan m
(stromal ablation) excimer laser
VISX Star S4
Customvue saat
operasi
Diameter Ukuran diameter Diukur Hasil Rasio
scotopic pupil dalam menggunakan pengukuran
pupil keadaan wavescan VISX dalam satuan mm
pencahayaan Customvue
redup sebelum
dilakukan
LASIK

4.7 Sarana Penelitian

Sarana yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya lembar pengumpul

data, trial lens, proyektor Snellen, Auto Refractor Keratometer (ARK), lampu

celah biomikroskop, Auto Non-contact tonometry AT555 Reichert, Goldman tiga

cermin, tes schimmer, pachymetry, topografi kornea, wavescan VISX Customvue,


57

mikrokeratom Moria M2 disposable, mesin excimer laser VISX Star S4

Customvue.

4.8 Protokol Penelitian

Penderita miopia dan astigmat miopia yang akan dilakukan LASIK di RS Mata
Undaan Surabaya yang memenuhi kriteria inklusi sampel

Pencatatan data dasar dan surat persetujuan mengikuti penelitian

Pemeriksaan wavescan (termasuk higher order aberrations) pra LASIK

ketebalan flap 110 m ketebalan flap160 m

LASIK Drop Out LASIK

Drop out

Pemeriksaan higher order Pemeriksaan higher order


aberrations pasca LASIK hari ke-7 aberrations pasca LASIK hari ke-7

Drop out

Pemeriksaan higher order Pemeriksaan higher order


aberrations pasca LASIK hari ke- aberrations pasca LASIK hari ke-
30 30

Pengolahan dan analisis data

Gambar 4.1 Protokol penelitian


58

4.9 Cara Kerja Penelitian

Pasien miopia dan astigmat miopia yang akan dilakukan LASIK di RS Mata

Undaan Surabaya yang memenuhi kriteria inklusi sampel dicatat nama, umur,

jenis kelamin, alamat, pekerjaan. Pasien yang bersedia mengikuti penelitian

kemudian menandatangani surat persetujuan mengikuti penelitian, dan informasi

untuk pasien mengenai penelitian yang akan dilakukan. Sebelum dilakukan

LASIK terlebih dahulu pasien dilakukan pemeriksaan wavescan untuk mengukur

higher order aberrations, kedalaman ablasi dan diameter scotopic pupil.

Kemudian pasien LASIK dalam sampel ini dikelompokkan menjadi 2, yaitu

pasien dengan ketebalan flap 110 m dan 160 m, sesuai dengan perhitungan

RSBT dan CCT nya. Pasien dilakukan LASIK meliputi tahapan pembentukan flap

kornea dengan mikrokeratom Moria M2 disposable dan foto ablasi pada stromal

bed dengan excimer laser VISX Star S4 Customvue oleh operator yang

bersertifikasi mesin LASIK tersebut. Pasien yang mengalami komplikasi yang

termasuk kriteria drop out sampel penelitian akan dikeluarkan. Pasca LASIK hari

ke-7 dan ke-30, masing-masing kelompok sampel akan dilakukan pemeriksaan

higher order aberrations dengan menggunakan wavescan. Hasil pemeriksaan

yang diperoleh akan dicatat dan dianalisis.

4.10 Analisis Data Penelitian

4.10.1 Analisis deskriptif

Data hasil penelitian dikumpulkan dalam lembar pengumpul data khusus,

kemudian dikelompokkan, disajikan dalam bentuk tabulasi, dinyatakan dalam

rerata, simpangan baku, distribusi frekuensi dan persentase sesuai analisis


59

deskriptif.

4.10.2 Analisis inferensial

Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis kovarians dan

uji t sampel berpasangan (paired t-test). Analisis data dilakukan dengan bantuan

perangkat lunak komputer.

4.11 Etika Penelitian

Sebelum melakukan penelitian dimintakan ijin ethical clearance dari

Komisi Etik Penelitian Kedokteran Universitas Airlangga. Pengelolaan pasien

disesuaikan dengan prosedur tetap di RS Mata Undaan Surabaya.


BAB 5

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik yang dilakukan pada

24 mata pasien miopia dan astigmat miopia yang menjalani wavefront-guided

LASIK. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan perubahan higher

order aberrations pasien pasca LASIK antara flap 110 m dan flap 160 m.

Terdapat 2 kelompok sampel dalam penelitian ini yaitu kelompok sampel

pasien pasca LASIK dengan flap 110 m sebanyak 16 mata dari 8 pasien dan

kelompok sampel pasien pasca LASIK dengan flap 160 m sebanyak 8 mata dari

4 pasien. Pengambilan sampel dilakukan di RS Mata Undaan pada bulan

November 2014 hingga Januari 2015.

Tabel 5.1 Distribusi kelompok sampel


Jumlah Prosentase
Flap 110 m 16 66,67%
Flap 160 m 8 33,33%
Total 24 100

5.1 Karakteristik Sampel

5.1.1 Usia sampel penelitian

Jumlah sampel pada kelompok flap 110 m sebanyak 16 mata dari 8 pasien

dengan rerata usia 22,25 tahun 5,23 tahun. Usia termuda 18 tahun dan usia

tertua 33 tahun. Pada kelompok sampel flap 160 m berjumlah 8 mata dari 4

pasien dengan rerata usia 19 tahun 1,31 tahun. Usia termuda 18 tahun dan usia

tertua pada kelompok ini 21 tahun.

60
61

Tabel 5.2 Distribusi sampel penelitian berdasarkan usia (tahun)


Flap 110 m Flap 160 m
Rerata 22,25 19,00
Simpangan baku 5,23 1,31
Usia termuda 18 18
Usia tertua 33 21

5.1.2 Jenis kelamin sampel penelitian

Berdasarkan jenis kelamin, keseluruhan sampel penelitian sebanyak 24 mata

yang terdiri dari 16 mata berasal dari 8 pasien laki-laki (66,67%) dan 8 mata dari

4 pasien perempuan (33,33%).

Tabel 5.3 Distribusi sampel penelitian berdasarkan jenis kelamin


Jenis Kelamin Flap 110 m Flap 160 m Total
Laki-laki 8 (33,33%) 8 (33,33%) 16 (66,67%)
Perempuan 8 (33,33%) 0 8 (33,33%)
Total 16 (66,67%) 8 (33,33%) 24 (100%)

Pada kelompok flap 110 m didapatkan sampel 8 mata yang berasal dari 4

pasien laki-laki dan 8 mata dari 4 pasien perempuan. Pada kelompok flap 160 m

didapatkan sampel 8 mata yang berasal dari 4 pasien laki-laki.

5.2 Kedalaman Ablasi dan Diameter Scotopic Pupil

5.2.1 Kedalaman ablasi

Kedalaman ablasi adalah data objektif yang didapatkan dari pencatatan

mesin excimer laser VISX Star S4 Customvue pada saat dilakukan LASIK. Dari

24 sampel penelitian pada kedua kelompok didapatkan kedalaman ablasi

minimum sebesar 19,00 m dan maksimum sebesar 124,00 m. Pada kelompok

flap 110 m didapatkan rerata kedalaman ablasi sebesar 77,31 m 32,02 m,

dan sebesar 53,37 m 25,84 m pada kelompok flap 160 m.


62

Tabel 5.4 Distribusi kedalaman ablasi (m)


Flap 110 m Flap 160 m
Rerata 77,31 53,37
Simpangan baku 32,02 25,84
Nilai minimum 26,00 19,00
Nilai maksimum 124,00 82,00

5.2.2 Diameter scotopic pupil

Diameter scotopic pupil adalah data objektif yang didapatkan dari

pengukuran dengan alat wavescan VISX Customvue sebelum dilakukan LASIK.

Dari 24 sampel penelitian pada kedua kelompok didapatkan diameter scotopic

pupil minimum sebesar 5,60 mm dan maksimum sebesar 8,40 mm. Pada

kelompok flap 110 m didapatkan rerata diameter scotopic pupil sebesar 7,24 mm

0,82 mm, dan sebesar 7,17 mm 0,62 mm pada kelompok flap 160 m.

Tabel 5.5 Distribusi diamete r scotopic pupil (mm)


Flap 110 m Flap 160 m
Rerata 7,24 7,17
Simpangan baku 0,82 0,62
Nilai minimum 5,60 6,60
Nilai maksimum 8,40 8,10

5.3 Perubahan Coma Pasca LASIK Hari ke 7 dan Hari ke 30

Pada tabel 5.6 dapat dilihat distribusi perubahan coma antara pra dan pasca

LASIK hari ke 7. Pada kelompok flap 110 m dengan rerata sebesar 0,0843 m

0,1604 m dan pada kelompok flap 160 m sebesar 0,0340 m 0,1907 m.

Distribusi perubahan coma antara pra dan pasca LASIK hari ke 30 seperti

yang tercantum pada tabel 5.6. Pada kelompok flap 110 m didapatkan rerata

sebesar 0,0767 m 0,1768 m. Dan pada kelompok flap 160 m sebesar 0,1263

m 0,1249 m.
63

Tabel 5.6 Distribusi perubahan coma pasca LASIK hari ke 7 dan hari ke 30
berdasarkan ketebalan flap
Rerata Simpangan Minimum Maksimum
(m) Baku (m) (m) (m)
Flap 110 coma
m pasca hari 0,0843 0,1604 -0,1600 0,3500
ke 7
coma
pasca hari 0,0767 0,1768 -0,3100 0,4200
ke 30
Flap 160 coma
m pasca hari 0,0340 0,1907 -0,3500 0,2500
ke 7
coma
pasca hari 0,1263 0,1249 -0,1800 0,3200
ke 30

5.4 Perubahan Trefoil Pasca LASIK Hari ke 7 dan Hari ke 30

Tabel 5.7 menunjukkan distribusi perubahan trefoil antara pra dan pasca

LASIK hari ke 7. Pada kelompok flap 110 m didapatkan rerata sebesar 0,0001

0,1073 dan pada kelompok flap 160 m sebesar 0,0035 m 0,0886 m.

Distribusi perubahan trefoil antara pra dan pasca LASIK hari ke 30 pada

kelompok flap 110 m didapatkan rerata sebesar 0,0302 m 0,1310 m. Dan

pada kelompok flap 160 m sebesar -0,0437 m 0,0742 m.

Tabel 5.7 Distribusi perubahan trefoil pasca LASIK hari ke 7 dan hari ke 30
berdasarkan ketebalan flap
Rerata Simpangan Minimum Maksimum
(m) Baku (m) (m) (m)
Flap 110 trefoil
m pasca hari 0,0001 0,1073 -0,1800 0,1500
ke 7
trefoil
pasca hari 0,0302 0,1310 -0,1600 0,2200
ke 30
Flap 160 trefoil
m pasca hari 0,0035 0,0886 -0,1300 0,1400
ke 7
trefoil
pasca hari -0,0437 0,0742 -0,1400 0,1000
ke 30
64

5.5 Perubahan Spherical Aberration Pasca LASIK Hari ke 7 dan Hari ke 30

Distribusi perubahan spherical aberration antara pra dan pasca LASIK hari

ke 7 dapat dilihat pada tabel 5.8. Pada kelompok flap 110 m didapatkan rerata

sebesar 0,0560 m 0,0979 m. Dan pada kelompok flap 160 m sebesar 0,0589

m 0,1240 m.

Tabel 5.8 menunjukkan distribusi perubahan spherical aberration antara pra

dan pasca LASIK hari ke 30. Pada kelompok flap 110 m didapatkan rerata

sebesar 0,0773 m 0,1247 m. Dan pada kelompok flap 160 m sebesar 0,0898

m 0,1516 m.

Tabel 5.8 Distribusi perubahan spherical aberration pasca LASIK hari ke 7


dan hari ke 30 berdasarkan ketebalan flap
Rerata Simpangan Minimum Maksimum
(m) Baku (m) (m) (m)
Flap 110 spherical
m aberration pasca 0,0560 0,0979 -0,1500 0,2100
hari ke 7
spherical
aberration pasca 0,0773 0,1247 -0,1800 0,2800
hari ke 30
Flap 160 spherical
m aberration pasca 0,0589 0,1240 -0,1600 0,2000
hari ke 7
spherical
aberration pasca 0,0898 0,1516 -0,2400 0,2400
hari ke 30

5.6 Analisis Perubahan Higher Order Aberrations antara Pra dan Pasca

LASIK

5.6.1 Analisis perubahan coma antara pra dan pasca LASIK

Pada tabel 5.9 menunjukkan adanya perubahan coma antara pra dan pasca

LASIK hari ke 7. Perubahan yang terjadi sebagian besar berupa peningkatan, dan

dari hasil uji t berpasangan perubahan tersebut secara statistik tidak bermakna

dengan p=0,062 (p < 0,05).


65

Perubahan coma antara pra dan pasca LASIK hari ke 30 dapat dilihat juga

pada tabel 5.9. Terdapat perubahan yang sebagian besar berupa peningkatan, dan

dari hasil uji t berpasangan perubahan tersebut secara statistik bermakna dengan

p=0,009 (p < 0,05).

Tabel 5.9 Perubahan coma antara pra dan pasca LASIK hari ke 7, dan antara
pra dan pasca LASIK hari ke 30
Rerata Simpangan Minimum Maksimum
p
(m) Baku (m) (m) (m)
Pra 0,1568 0,0824 0,0339 0,3393
Pasca hari 0,2243 0,1584 -0,2108 0,4768 0,062
ke 7
Pasca hari 0,009*
0,2500 0,1317 0,0203 0,4641
ke 30
* tingkat kemaknaan p < 0,05.

5.6.2 Analisis perubahan trefoil antara pra dan pasca LASIK

Pada tabel 5.10 dapat dilihat adanya perubahan trefoil antara pra dan pasca

LASIK hari ke 7. Perubahan yang terjadi sebagian berupa penurunan dan sebagian

berupa peningkatan. Namun dari hasil uji t berpasangan perubahan tersebut secara

statistik tidak bermakna dengan p=0,952 (p < 0,05).

Perubahan trefoil antara pra dan pasca LASIK hari ke 30 dapat dilihat pada

tabel 5.10. Perubahan tersebut berupa peningkatan, namun secara statistik tidak

bermakna dengan p=0,821 (p < 0,05).

Tabel 5.10 Perubahan trefoil antara pra dan pasca LASIK hari ke 7, dan
antara pra dan pasca LASIK hari ke 30
Rerata Simpangan Minimum Maksimum
p
(m) Baku (m) (m) (m)
Pra 0,1694 0,0602 0,0384 0,2773
Pasca hari 0,1707 0,0808 0,0192 0,3307 0,952
ke 7
Pasca hari 0,821
0,1750 0,0978 0,0645 0,3853
ke 30
66

5.6.3 Analisis perubahan spherical aberration antara pra dan pasca LASIK

Pada tabel 5.11 dapat dilihat adanya perubahan spherical aberration antara

pra dan pasca LASIK hari ke 7. Perubahan yang terjadi sebagian besar berupa

peningkatan dan dari hasil uji t berpasangan didapatkan secara statistik bermakna

dengan p=0,024 (p < 0,05).

Perubahan spherical aberration antara pra dan pasca LASIK hari ke 30

dapat dilihat pada tabel 5.11. Perubahan tersebut sebagian besar berupa

peningkatan, dan secara statistik bermakna dengan p=0,006 (p < 0,05).

Tabel 5.11 Perubahan spherical aberration antara pra dan pasca LASIK hari
ke 7, dan antara pra dan pasca LASIK hari ke 30
Rerata Simpangan Minimum Maksimum
p
(m) Baku (m) (m) (m)
Pra 0,0772 0,1122 -0,1090 0,3272
Pasca hari 0,024*
0,1342 0,1553 -0,2036 0,3993
ke 7
Pasca hari 0,006*
0,1587 0,1537 -0,1150 0,4249
ke 30
* tingkat kemaknaan p < 0,05

5.7 Perbandingan Perubahan Higher Order Aberrations Antar Kelompok

Flap

Pada tabel 5.12 dapat dilihat perbandingan perubahan coma pra dan pasca

LASIK antara ketebalan flap yang berbeda dengan kedalaman ablasi dan diameter

scotopic pupil sebagai variabel perancu. Dari hasil analisis kovarians tidak

didapatkan perbedaan yang bermakna pada perubahan coma pra dan pasca LASIK

hari ke 7 antara flap 110 m dan flap 160 m, dengan p= 0,316 (p < 0,05). Begitu

halnya dengan perubahan coma pra dan pasca LASIK hari ke 30, tidak didapatkan

perbedaan yang bermakna secara statistik antara flap 110 m dan 160 m, dengan

p=0,911 (p < 0,05).


67

Tabel 5.12 Analisis perbandingan perubahan coma


coma pasca hari ke 7 coma pasca hari ke 30
p p
Kedalaman ablasi 0,347 0,304
Diameter scotopic pupil 0,567 0,108
Flap 0,316 0,911

Pada tabel 5.13 dapat dilihat perbandingan perubahan trefoil pra dan pasca

LASIK antara ketebalan flap yang berbeda dengan kedalaman ablasi dan diameter

scotopic pupil sebagai variabel perancu. Dari hasil analisis kovarians tidak

didapatkan perbedaan yang bermakna pada perubahan trefoil pra dan pasca

LASIK hari ke 7 antara flap 110 m dan flap 160 m, dengan p= 0,577 (p < 0,05).

Begitu halnya dengan perubahan trefoil pra dan pasca LASIK hari ke 30, tidak

didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik antara flap 110 m dan 160

m, dengan p=0,306 (p < 0,05).

Tabel 5.13 Analisis perbandingan perubahan trefoil


trefoil pasca hari ke 7 trefoil pasca hari ke 30
p p
Kedalaman ablasi 0,289 0,587
Diameter scotopic pupil 0,436 0,815
Flap 0,577 0,306

Pada tabel 5.14 dapat dilihat perbandingan perubahan sperical aberration

pra dan pasca LASIK antara ketebalan flap yang berbeda dengan kedalaman

ablasi dan diameter scotopic pupil sebagai variabel perancu. Dari hasil analisis

kovarians tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada perubahan spherical

aberration pra dan pasca LASIK hari ke 7 antara flap 110 m dan flap 160 m,

dengan p= 0,498 (p < 0,05). Begitu halnya dengan perubahan spherical

aberration pra dan pasca LASIK hari ke 30, tidak didapatkan perbedaan yang

bermakna secara statistik antara flap 110 m dan 160 m, dengan p=0,558 (p <

0,05).
68

Tabel 5.14 Analisis perbandingan perubahan spherical aberration


spherical aberration spherical aberration
pasca hari ke 7 pasca hari ke 30
p p
Kedalaman ablasi 0,106 0,088
Diameter scotopic pupil 0,527 0,489
Flap 0,498 0,558
BAB 6

PEMBAHASAN

Higher order aberrations adalah salah satu komplikasi late postoperative

LASIK. Yang termasuk higher order aberrations di antaranya adalah coma, trefoil,

dan spherical aberration. Di antara ketiga higher order aberrations tersebut

spherical aberration adalah yang paling menyebabkan keluhan penglihatan, yang

menyebabkan gejala seperti hilangnya sensitivitas kontras, munculnya halos di

sekitar sumber cahaya, starbursts, dan silau terutama pada malam hari. Gejala-

gejala tersebut akan menurunkan kualitas penglihatan. Pada coma akan terbentuk

bayangan yang menyerupai komet. Trefoil menyebabkan penurunan kualitas

bayangan yang kurang jika dibandingkan dengan coma (Atebara, et al, 2011;

Chalita, et al., 2003; Rapuano, et al., 2011; Villa, et al., 2007).

LASIK pada miopia dan astigmat miopia dilakukan pada kornea bagian

sentral dengan tujuan terjadi pendataran kornea sehingga kekuatan diopter kornea

menjadi berkurang. Di siang hari ketika terdapat banyak cahaya ukuran diameter

pupil akan mengecil sehingga menghalangi cahaya yang melewati daerah di

kornea yang tidak sepenuhnya dikoreksi dengan ablasi laser. Di malam hari

ukuran diameter pupil melebar untuk mengumpulkan lebih banyak cahaya untuk

membentuk bayangan di retina. Jika diameter pupil pasien lebih besar melebihi

diameter kornea yang sepenuhnya terkoreksi laser (zona optik), maka cahaya yang

masuk pupil akan melalui daerah yang tidak terkoreksi dan akan menurunkan

kualitas bayangan di retina. Cahaya yang tidak fokus yang masuk melalui mid-

periphery kornea akan menghasilkan aberasi. Komplikasi higher order

69
70

aberrations berupa spherical aberration sering terjadi seiring dengan

meningkatnya ukuran diameter pupil. oleh karena ketidaksesuaian antara diameter

pupil dengan zona optik. Sehingga pasien-pasien dengan diameter pupil yang

lebar akan lebih sering mengalami gangguan penglihatan pasca LASIK pada

malam hari (Atebara, et al., 2011; Salz, et al., 2006).

Gambar 6.1 Spherical aberration menyebabkan titik cahaya sepeerti starbursts


(www.lasikcomplication.com).

Ablasi laser yang tidak tepat di sentral yang disebut desenterasi ablasi akan

menyebabkan bayangan yang berlumur dan menyerupai komet. Higher order

aberrations pada desenterasi ablasi ini akan membentuk coma.

Gambar 6.2 Coma menyebabkan titik cahaya seperti komet


(www.lasikcomplication.com).
71

Gambar 6.3 Trefoil menyebabkan suatu titik cahaya menyebar ke 3 arah.


(www.lasikcomplication.com).

Terjadinya higher order aberrations pasca LASIK selain oleh karena proses

ablasi laser juga dapat disebabkan oleh karena pembentukan flap pada tahap awal

LASIK. Pallikaris, et al. pada tahun 2002 menyatakan bahwa setelah

pembentukan flap dapat terjadi perubahan aberasi pada kornea yang bervariasi.

Peneliti ingin mengetahui perubahan higher order aberrations antara pra dan

pasca LASIK, serta apakah terdapat perbedaan perubahan higher order

aberrations pasca LASIK antara ketebalan flap yang berbeda.

6.1 Karakteristik Sampel Penelitian

Pada penelitian ini usia sampel dibatasi 18-40 tahun. Dari 24 sampel pada

12 pasien didapatkan usia termuda adalah 18 tahun dan tertua 33 tahun.

Pembatasan usia ini kami lakukan berdasarkan kriteria ideal pasien LASIK yaitu

berusia 18 tahun ke atas, dan untuk mengeksklusi penderita presbiopia. Usia

sampel terbanyak adalah pada rentang 18-19 tahun sebanyak 12 sampel.

Berdasarkan jenis kelamin didapatkan lebih banyak laki-laki sebesar 16

sampel (66,67%) dan perempuan sebesar 8 sampel (33,33%). Rentang usia dan

jenis kelamin terbanyak pada sampel penelitian ini disebabkan banyaknya pasien
72

LASIK dengan latar belakang akan melanjutkan pendidikan di bidang militer pada

saat dilakukan pengambilan sampel.

6.2 Kedalaman Ablasi dan Diameter Scotopic Pupil

6.2.1 Kedalaman ablasi

Pada penelitian ini kedalaman ablasi kami anggap sebagai variabel perancu

oleh karena perubahan higher order aberrations antara pra dan pasca LASIK juga

dipengaruhi oleh kedalaman ablasi pada stroma kornea. Semakin besar koreksi

miopia yang dilakukan semakin besar pula banyaknya jaringan di kornea sentral

yang diablasi (Oshika, et al., 2002; Yamane, et al., 2004).

Pada penelitian yang kami lakukan didapatkan rerata kedalaman ablasi pada

kelompok 110 m (77,3125 m 32,02 m) lebih besar dari pada rerata

kedalaman ablasi pada kelompok flap 160 m (53,37 m 25,84 m). Hal ini

sesuai dengan syarat RSBT pada LASIK yaitu minimal 300 m. Pasien-pasien

miopia dan astigmat miopia dengan spherical equivalent (SE) yang tinggi

memerlukan kedalaman ablasi yang lebih besar maka umumnya menggunakan

flap yang lebih tipis (110 m). Dan sebaliknya pada pasien-pasien miopia dan

astigmat miopia dengan spherical equivalent yang lebih rendah memerlukan

kedalaman ablasi yang lebih kecil sehingga dapat menggunakan flap yang lebih

tebal (160 m) yang relatif lebih aman. Namun pada pasien-pasien dengan central

corneal thickness (CCT) yang tidak terlalu tebal dengan SE yang kecil pun lebih

dipilih menggunakan flap yang lebih tipis agar RSBT yang aman pasca LASIK

tetap terpenuhi.
73

6.2.2 Diameter scotopic pupil

Diameter scotopic pupil juga kami anggap sebagai variabel perancu dalam

penelitian ini. Oleh karena semakin besar diameter pupil maka higher order

aberrations akan semakin besar, terutama spherical aberration (Atebara, et al.,

2011). Begitu juga yang dinyatakan oleh Salz, et al., pada tahun 2006, bahwa

semakin besar diameter pupil maka semakin besar higher order aberrations. Hal

ini dapat menjadi pertimbangan akan potensi terjadinya keluhan penglihatan pada

malam hari pasca bedah refraktif.

Namun pada penelitian yang dilakukan Khalifa, et al., pada tahun 2012,

menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara diameter pupil yang besar dengan

peningkatan higher order aberrations pasca LASIK. Pada penelitian oleh Khalifa,

et al., digunakan teknologi iris registration pada wavefront-guided laser ablation,

yang belum digunakan pada penelitian Salz, et al., maupun pada penelitian yang

kami lakukan ini. Dikatakan bahwa dengan teknologi iris registration ini akan

mengkompensasi pergerakan mata dengan adanya registrasi iris peripheral

sebagai acuan sentrasi. Dan dengan adanya registrasi aksial dan torsional pada

teknologi ini maka sangat berguna untuk mata dengan diameter pupil yang besar.

Pada penelitian ini kami dapatkan diameter scotopic pupil minimum sebesar

5,60 mm dan maksimum sebesar 8,40 mm. Dimana didapatkan rentang data yang

cukup besar sehingga perlu diperhitungkan pengaruhnya terhadap perubahan

higher order aberrations pra dan pasca LASIK.


74

6.3 Perubahan Higher Order Aberrations antara Pra dan Pasca LASIK

Pada penelitian yang telah kami lakukan didapatkan perubahan yang

bermakna pada coma antara pra dan hari ke 30 pasca LASIK. Perubahan tersebut

berupa peningkatan. Dan kami dapatkan juga perubahan berupa peningkatan pada

spherical aberration baik pada hari ke 7 maupun hari ke 30 pasca LASIK. Namun

tidak kami dapatkan perubahan yang bermakna pada trefoil antara pra dan hari ke

7 maupun ke 30 pasca LASIK.

Hasil penelitian kami didukung oleh beberapa penelitian terdahulu yang

juga menyatakan bahwa terdapat peningkatan higher order aberrations pasca

LASIK pada pasien miopia dan astigmat miopia (Calvo, et al., 2010; Khalifa, et

al., 2012; Perez, et al., 2012; Yamane, et al., 2004; Zhang, et al., 2013). Yamane,

et al., pada tahun 2004 menyatakan bahwa total higher order aberrations,

spherical aberration, dan coma meningkat pada 1 bulan pasca LASIK, seperti

yang kami dapatkan dari penelitian kami. Namun pada penelitian tersebut

digunakan conventional LASIK dengan ablasi standar, dan pada penelitian kami

digunakan wavefront-guided LASIK. Dimana Zhang, et al., pada tahun 2013

menyebutkan bahwa wavefront-guided LASIK menyebabkan peningkatan higher

order aberrations yang lebih rendah dibandingkan dengan conventional LASIK

pada 12 bulan pasca LASIK.

Zhang, et al., pada tahun 2013 menyatakan bahwa total higher order

aberrations, coma, dan spherical aberration meningkat pada 3, 6, dan 12 bulan

pasca wavefront-guided LASIK dengan iris-registration. Pada penelitian yang

dilakukan oleh Zhang ini tidak didapatkan peningkatan dari trefoil pasca LASIK,

seperti yang juga kami dapatkan pada penelitian kami dengan pengamatan hingga
75

30 hari pasca LASIK. Khalifa, et al., pada tahun 2012 menyatakan bahwa terdapat

peningkatan spherical aberration pada 6 bulan pasca LASIK, namun tidak

didapatkan perubahan yang bermakna pada coma dan trefoil pasca LASIK.

Dari sejumlah penelitian terdahulu didapatkan spherical aberration adalah

higher order aberrations yang selalu terjadi peningkatan pasca LASIK pada

pasien miopia dan astigmat miopia, bahkan pada wavefront-guided LASIK. Hal

ini dikarenakan wavefront-guided ablation mampu mencegah induksi beberapa

higher order aberrations kecuali spherical aberration. Pada penelitian yang

dilakukan Khalifa, et al., pada tahun 2012 menunjukkan bahwa dari 71% mata

yang diteliti, dilakukan laser ablasi untuk mengkoreksi miopia 2 diopter atau

lebih, dan didapatkan hubungan antara perubahan SE miopia dengan perubahan

spherical aberration. Dimana secara spesifik didapatkan semakin berkurangnya

SE pada koreksi miopia maka semakin besar peningkatan spherical aberration.

Namun peningkatan spherical aberration pasca LASIK ini lebih rendah pada

wavefront-guided LASIK dibandingkan dengan conventional LASIK dengan

ablasi standar (Khalifa, et al., 2012; Yamane, et al., 2004; Zhang, et al., 2013).

6.4 Perbandingan Perubahan Higher Order Aberrations Pasca LASIK antara

Flap 110 m dan Flap 160 m

Pada penelitian yang telah kami lakukan tidak didapatkan perbedaan yang

bermakna pada perubahan higher order aberrations yang terjadi pasca LASIK

antara kelompok flap 110 m dan flap 160 m, baik pada perubahan coma,

trefoil, spherical aberration pasca LASIK hari ke 7 maupun hari ke 30.


76

Adanya perubahan higher order aberrations oleh karena pembentukan flap

pada LASIK telah diteliti oleh Pallikaris, et al., pada tahun 2002. Pada penelitian

tersebut disebutkan terjadi peningkatan coma dan spherical aberration pasca

pembentukan flap dengan automated microkeratome (Flapmaker disposable

microkeratome). Peningkatan terbesar terjadi pada spherical aberration dan coma

pada aksis horisontal. Peningkatan spherical aberration ini dapat disebabkan oleh

perubahan aspherity kornea yang terjadi setelah pembentukan flap. Faktor yang

mendukung atas hipotesis tersebut adalah adanya peningkatan yang bermakna

pada pengukuran pachymetry kornea pasca pembentukan flap. Peningkatan coma

pada aksis horisontal pasca pembentukan flap dapat disebabkan oleh proses

penyembuhan luka di sepanjang tepi flap. Perubahan coma ini juga dipengaruhi

oleh posisi hinge (pada penelitian Pallikaris, et al., posisi hinge berada di nasal)

sehingga kornea menjadi kurang simetris. Hal ini didukung bahwa posisi hinge di

nasal ini kurang menyebabkan peningkatan coma pada aksis vertikal. Namun

penelitian ini tidak menganalisis perubahan higher order aberrations pasca

pembentukan flap dengan ketebalan yang berbeda (Pallikaris, et al., 2002).

Penelitian lain menyatakan adanya perubahan higher order aberrations

yang bermakna pasca pembentukan flap dengan automated microkeratome

(Hansatome microkeratome). Namun tidak didapatkan perubahan yang bermakna

pasca pembentukan flap dengan menggunakan IntraLase femtosecond laser.

Dengan ketebalan flap yang dihasilkan oleh Hansatome maupun IntraLase

femtosecond laser sebesar 120 m (Tran, et al., 2005).

Manuel dan Perez pada tahun 2010 menyatakan bahwa tidak didapatkan

perbedaan higher order aberrations yang bermakna setelah pembentukan flap


77

dengan Ziemer LDV femtosecond laser maupun dengan mikrokeratom mekanik

Moria M2. Namun pada kedua kelompok didapatkan perubahan higher order

aberrations pasca pembentukan flap yang bermakna secara statistik (Manuel &

Perez, 2010)

Perez, et al., pada tahun 2012 menyebutkan bahwa tidak terdapat perbedaan

perubahan higher order aberrations pasca LASIK antara kelompok yang

menggunakan femtosecond laser dengan mikrokeratom mekanik pada pembuatan

flapnya. Ketebalan flap yang dibentuk oleh femtosecond laser dan mikrokeratom

mekanik diukur dengan menggunakan ultrasonic pachymetry saat intraoperative

dan menggunakan anterior segment optical coherence tomography (AS-OCT)

(Visante) pasca operasi. Dan didapatkan ketebalan flap aktual dengan simpangan

baku yang lebih besar terhadap ketebalan flap yang diharapkan pada kelompok

mikrokeratom dibandingkan dengan kelompok femtosecond (Perez, et al., 2012).

Gambar 6.4 Contoh ultrasonic pachymetry (carletonltd.com).

Gambar 6.5 Visante, contoh AS-OCT (c1-preview.prosites.com).


78

Penelitian yang kami lakukan menggunakan automated disposable

microkeratome Moria M2 untuk membentuk flap dengan ketebalan yang berbeda.

Ketebalan flap yang berbeda berdasarkan ukuran mikrokeratom yang digunakan

yaitu 110 m dan 160 m. Namun kami tidak mengukur ketebalan flap aktual,

intraoperative dengan menggunakan ultrasonic pachymetry maupun pasca operasi

dengan menggunakan AS-OCT, oleh karena keterbatasan alat. Dengan ketebalan

flap aktual yang memiliki simpangan relatif lebih besar dari ketebalan yang

diharapkan pada pembentukan flap dengan mikrokeratom maka kemungkinan

terjadinya bias sangat besar. Hal tersebut menjadi keterbatasan dalam penelitian

kami.

6.5 Keterbatasan Penelitian

Penelitian yang kami lakukan memiliki keterbatasan diantaranya (1)

ketebalan flap aktual yang tidak diukur oleh karena keterbatasan alat, (2) waktu

pengamatan yang relatif pendek yaitu 7 hari dan 30 hari pasca LASIK.
BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Pada penelitian yang membandingkan perubahan higher order aberrations

pasca LASIK antara flap 110 m dan flap 160 m di Rumah Sakit Mata Undaan

dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut (1) tidak didapatkan perubahan yang

bermakna pada trefoil antara pra dan pasca LASIK; (2) didapatkan perubahan

yang bermakna pada coma antara pra dan hari ke 30 pasca LASIK; (3) didapatkan

perubahan yang bermakna dari spherical aberrations baik antara pra dan hari ke 7

pasca LASIK, maupun antara pra dan hari ke 30 pasca LASIK; (4) tidak

didapatkan perbedaan perubahan coma, trefoil, maupun spherical aberration

pasca LASIK antara kelompok flap 110 m dan kelompok flap 160 m.

7.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan keterbatasan penelitian ini, maka untuk

hasil yang lebih baik dapat disarankan pada penelitian selanjutnya untuk (1)

mengukur ketebalan flap aktual pada saat operasi dengan menggunakan ultrasonic

pachymetry dan pasca operasi dengan AS-OCT; (2) menggunakan alat yang dapat

menghasilkan ketebalan flap aktual dengan simpangan yang lebih kecil,

contohnya menggunakan femtosecond laser; (3) memperpanjang waktu

pengamatan agar kondisi kornea yang diamati tidak terpengaruh proses

penyembuhan luka, (4) memperbanyak besar sampel untuk meningkatkan

reliabiltas.

79
BAB 8

PENUTUP

Demikian telah dilakukan dan dilaporkan penelitian mengenai perbandingan

perubahan higher order aberrations pasca LASIK antara kelompok flap 110 m

dan flap 160 m pada pasien miopia dan astigmat miopia yang menjalani LASIK

di Rumah Sakit Mata Undaan Surabaya.

Kritik dan saran yang membangun kami harapkan untuk perbaikan

penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

80
DAFTAR PUSTAKA

Agarwal A. & Jacob S., 2009. Complications. In: A. Agarwal, A. Agarwal, S.


Jacob, eds. LASIK Jaypee gold standard mini atlas series. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers Ltd., pp 101-70.

Andayani G., 2008. Introduction to eye problems in Indonesia. Available at:


<http://staff.ui.ac.id/system/files/users/gitalisa.andayani/material/intromasal
ahmata.pdf> [Accessed: 29 May 2014].

Atebara N.H., Asbell P.A., Azar D.T., Ellis F.J., Faye E.E., et al., 2011. In: G.L.
Skuta, L.B. Cantor, J.S. Weiss, eds. Basic and Clinical Science Course
Section 3: Clinical optics. San Fransisco,: American Academy of
Ophthalmology, pp. 93, 100-1, 113-5, 238-9.

Buratto L., Brint S., Ferrari M., 1998. LASIK: Preoperative considerations. In: L.
Buratto, S.F. Brint, eds. LASIK principles and techniques. New Jersey:
SLACK Incorporated, pp 23-33.

Burrato L., Slade S., Tavolato M., 2012. The femtosecond laser. In: L. Buratto, S.
Slade, M. Tovolato, eds. LASIK the evolution of refractive surgery. New
Jersey: SLACK Incorporated., pp 7-25, 37-40, 43-56.

Calvo R., McLaren J.W., Hodge D.O., Bourne W.M., Patel S.V., 2009. Corneal
Aberrations and Visual Acuity After LASIK: Femtosecond Laser versus
Mechanical Microkeratome. American Journal Ophthalmology 2010 [e-
journal] 149(5), pp.785-793, Published 15 March 2010. Available at:
<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2856792/> [Accessed: 19
May 2014].

Chalita M.R., Xu M., Krueger R.R., 2003. Correlation of aberrations with visual
symptoms using wavefront analysis in eyes after laser in situ keratomileusis.
J Refractive Surgery [e-journal], 19(6), pp.S682-6. Available at:
<http://www.doutorachalita.com.br/pdf/JRSAberrations2003.pdf >
[Accessed: 5 March 2015].

Cutarelli vision, 2014. LASIK technology. Cutarelli vision [online]. Available at:
<http://www.cutarellivision.com/lasik/lasik-technology/> [Accessed: 5
September 2014].

Davis E.A., Hardten D.R., Lindstrom R.L., 2002. Prevention and management of
LASIK complications. In: B.F. Boyd, S. Agarwal, A. Agarwal, A. Agarwal,
eds. LASIK and beyond LASIK wavefront analysis and customized ablation.
Panama: Highlights of Ophthalmology International, pp 315.

81
82

Dupps W. & Wilson S., 2006. Biomechanics and wound healing in the cornea.
Cleveland: National Institute of Health, pp 1-22.

Haw W.W. & Manche E.E., 2002. Prevention and management of LASIK
complications. In: B.F. Boyd, S. Agarwal, A. Agarwal, A. Agarwal, eds.
LASIK and beyond LASIK wavefront analysis and customized ablation.
Panama : Highlights of Ophthalmology International, pp 247-63.

Kanellopoulos A.J., Pe L.H., Kleiman L., 2005. Moria M2 single use


microkeratome head in 100 consecutive LASIK procedures. J Refractive
Surgery [e-journal] 21(5), pp.476-9. Available at:
<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16209445> [Accessed: 4 August
2014].

Kanski J.J., 2007. Cornea. Clinical ophthalmology, a systematic approach. 6th ed.
Philadelphia: Elsevier, pp. 249-312.

Khalifa M.A., Allam W.A., Shaheen M.S., 2012. Visual outcome after correcting
the refractive error of large pupil patients with wavefront guided ablation.
Clinical Ophthalmology [e-journal] 2012(6), pp.2001-11. Available at:
<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23271878> [Accessed: 5 March
2015].

Khurana A.K., 2007. Disease of the cornea. Comprehensive ophthalmology. 4th


ed. New Delhi: New Age International (P) Limited, pp. 89-126.

Lang G.K., 2000. Cornea. In: Lang G.K. Ophthalmology, a short textbook.
Stuttgart-New York: Thieme, pp. 117-56.

Manuel O.M. & Perez A.N., 2010. Wavefront aberrations induced by flap creation
with femtosecond laser and mechanical microkeratome. Institute de
Oftalmologia, Fundacin Conde de Valenciana, IAP. Available at:
<http://wccvi.abstractsnet.com/handouts/000240_poster_ldv_vs_moria.pptx
> [Accessed: 30 March 2015].

Martiz J.R. & Slade S.G., 2002. LASIK surgical technique. In: B.F. Boyd, S.
Agarwal, A. Agarwal, A. Agarwal, eds. LASIK and beyond LASIK
wavefront analysis and customized ablation. Panama: Highlights of
Ophthalmology International, pp 139-49.

Neighmond P., 2006. New Technology Adds Precision to LASIK Surgery.


Available at: <http://www.npr.org/s.php?sId=6249503&m=1> [Accessed:
29 August 2014].

Oshika T., Miyata K., Tokunaga T., Samejima T., Amano S., et al., 2002. Higher
order wavefront aberrations of cornea and magnitude of refractive
correction in laser in situ keratomileusis. Ophthalmology [e-journal] 109(6),
83

pp.1154-8. Available at: <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12045059>


[Accessed: 5 March 2015].

Pallikaris I.G,, Kymionis G.D., Panagopoulou S.I., Siganos C.S., Theodorakis


M.A., et al. 2002. Induced optical aberrations following formation of a laser
in situ keratomileusis flap. Journal Cataract Refractive Surgery [e-journal]
28(10); pp.1737-41. Available at:
<http://www.ivo.gr/files/items/2/257/induced_optical_aberrations_followin
g_formation_of_a_lasik_flap.pdf> [Accessed: 19 July 2014].

Perez R.C., Cruz E.M., Cruz A.G.D., Ang E.T., 2012. Comparison of flap
thickness, visual outcomes, and higher order aberrationss in eyes that
underwent LASIK flap creation using a femtosecond laser versus a
mechanical mikrokeratome. Philippine Journal of Ophthalmology [e-
journal] vol.37, pp.83-90. Available at:
<http://paojournal.com/xml/pjo2013_vol38no1/downloads/3_PEREZ%20-
%20Lasik%20flap%20pp.%2083-90.pdf> [Accessed: 4 August 2014].

Rapuano C.J., Wachler B.S.B., Davis E.A., Donnenfeld E.D, Hamill M.B., et al.,
2011. In: G.L. Skuta, L.B. Cantor, J.S. Weiss, eds. Basic and Clinical
Science Course Section 13: Refractive surgery. San Fransisco,: American
Academy of Ophthalmology, pp. 5- 9, 23-7, 65-9, 71-2, 77-8, 86-7.

Reidy J.J., Bouchard C.S., Florakis G.J., Goins K.M., et al, 2011. In: G.L. Skuta,
L.B. Cantor, J.S. Weiss, eds. Basic and Clinical Science Course Section 8:
Externa Disease and Cornea. San Francisco: American Academy of
Ophthalmology, pp. 6-9.

Resan M., Vukosavljevi M., Milivojevi M., 2012. Wavefront aberrations. In: S.
Rumelt, ed. Advances in ophthalmology [e-book]. Avalilable at:
<http://www.intechopen.com/books/advances-in-ophthalmology/wavefront-
aberrations> [Accessed: 4 August 2014].

Rosenfield M., 2006. Refractive status of the eye. In: W.J. Benjamin, ed. Borishs
clinical refraction. 2nd ed. Missouri: Butterworth-Heinemann Elsevier, pp.4.

RS Mata Undaan, 2014. Database LASIK RS Mata Undaan Surabaya. Surabaya:


RS Mata Undaan.

Salz J.J., Trattler W., 2006. Pupil size and corneal laser surgery. Curr Opin
Ophthalmology [e-journal], 17(4), pp.373-9. Available at:
<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16900031 > [Accessed: 5 March
2015].

Smolek M.K., 2012. Method for Expressing Clinical and Statistical Significance
of Ocular and Corneal Wavefront Error Aberrations. Cornea [e-journal]
31(3), pp. 212-221. Available at:
84

<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3276750/> [Accessed: 18
January 2014].

Titiyal J.S., Ahuja R., Sharma N., 2006. Indications and contraindications of
LASIK. In: R.B. Vajpayee, N. Sharma, S.A. Melki, eds. Step by step LASIK
surgery. New Delhi, India: Jaypee BrothersMedical Publishers (P) Ltd,
pp.8-9.

Titze P., Khoury A.N., Kymionis G.D., Kounis G.A., et al., 2006. Marking the
cornea and creation of cornal flap. In: R.B. Vajpayee, N. Sharma, S.A.
Melki, L. Sullivan, eds. Step by step LASIK surgery. New Delhi, India:
Jaypee BrothersMedical Publishers (P) Ltd, pp 92-100.

Tran D.B., Sarayba M.A., Bor Z., Garufis C., Duh Y., et al., 2005. Randomized
prospective clinical study comparing induced aberrations with IntraLase and
Hansatome flap creation in fellow eyes: potential impact on wavefront-
guided laser in situ keratomileusis. J Cataract Refractive Surgery [e-
journal] 31(1), pp.97-105. Available at:
<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15721701> [Accessed: 30 March
2015].

Villa C., Gutirrez R., Jimnez J.R., Gonzlez-Mijome J.M., 2007. Night vision
disturbances after successful LASIK surgery. Br J Ophthalmol [e-journal]
91(8), pp.1031-37. Available at:
<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1954826/> [Accessed: 5
March 2015].

Yamane N., Miyata K., Samejima T., Hiraoka T., Kiuchi T., et al., 2004. Ocular
higher-order aberrations and contrast sensitivity after conventional Laser In
Situ Keratomileusis. Investigation Ophthalmology & Visual Science [e-
journal], vol.45, no.11. Available at:
<http://www.iovs.org/content/45/11/3986.full.pdf+html> [Accessed: 19 july
2014].

Zhang Y., Liu L., Cui C., Hu M., Li Z., et al., 2013. Comparative Study of Visual
Acuity and Aberrations After Intralase Femtosecond LASIK: Small Corneal
Flap versus Big Corneal Flap. International Journal Ophthalmology [e-
journal] 6(5), pp.641-5. Available at:
<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3808912/> [Accessed: 18
January 2014].

Zhang J., Zhou Y., Li R., Tian L., 2013. Visual performance after conventional
LASIK and wavefront-guided LASIK with iris-registration: result at 1 year.
International Journal Ophthalmology [e-journal] 6(4), pp.498-504.
Available at: <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23991386> [Accessed:
5 March 2015].
85

http://www.lasikcomplications.com/images2/starbursts(425).jpg [Accessed: 6
November 2014].

http://www.lasikcomplications.com/images2/halos(425).jpg [Accessed: 6
November 2014].

http://www.lasikcomplications.com/images2/trefoil(425).jpg [Accessed: 6
November 2014].

http://carletonltd.com/admin/sites/default/files/products/thumbs/sonomed%20crop
%20jpeg2_448x398.jpg

http://c1-preview.prosites.com/34097/wy/images/Visante%20OCT%20e.jpg
86

Lampiran 1

ORGANISASI PENELITIAN

Pembimbing : Harijo Wahjudi, dr., SpM(K)

Konsultan Ahli : Sudjarno, dr., SpM(KVR)

Konsultan Penelitian & Statistika : Dr. Windhu Purnomo, dr., MS.

Koordinator Penelitian : Eddyanto, dr., SpM(K)

Peneliti : Dian Arumdini. dr.

Pembantu Penelitian : Heru Prasetiyono, dr.

Adisti Krisnamurti, dr.

Noviana Kurniasari, dr.

Haryo Bagus Trenggono, dr.

Staf dan karyawan RS Mata Undaan Surabaya


87

Lampiran 2

JADWAL PENELITIAN

Kegiatan 2014 2015


5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
Penelusuran
Kepustakaan
Penyusunan Usulan
Penelitian
Pengajuan Usulan
Penelitian
Pengumpulan Data

Pengolahan Data

Penyusunan
Laporan Penelitian
Penyajian Laporan
Penelitian
88

Lampiran 3
89
90

Lampiran 4
91

Lampiran 5

INFORMASI UNTUK PENDERITA

Peneliti : Adisti Krisnamurti, dr.; Heru Prasetiyono, dr.; Noviana


Kurniasari, dr.; Dian Arumdini. dr.; Haryo Bagus Trenggono, dr.
Alamat : RS Mata Undaan
Jl. Undaan Kulon no. 19 Surabaya

Pada formulir ini bila terdapat kata-kata yang tidak anda mengerti, silahkan
langsung menanyakan kepada peneliti untuk memperoleh kejelasan.

Pendahuluan
Formulir persetujuan ini memberi informasi tentang manfaat dan resiko bila anda
mengikuti penelitian ini. Bila anda bersedia ikut serta dalam penelitian ini, anda
diminta menandatangani formulir ini.

Tujuan dan manfaat penelitian


1. Mengetahui perubahan sensitivitas kontras yang terjadi setelah prosedur
LASIK serta menganalisis perubahan sensitivitas kontras pada ketebalan flap
kornea tipis dan flap kornea tebal. Manfaat yang diharapkan adalah hasil yang
diperoleh dapat sebagai dasar untuk memberikan informasi dan edukasi
kepada pasien perihal perubahan sensitivitas kontras pasca LASIK.
2. Mengetahui perbedaan dan menganalisis topografi kornea subyek penelitian
miopia dan astigmat miopia pasca LASIK. Manfaat yang diharapkan adalah
hasil yang diperoleh dapat sebagai dasar untuk mengetahui topografi kornea
pasca LASIK dan menentukan penatalaksanaan lebih lanjut apabila
didapatkan topografi kornea pasca LASIK yang tidak normal.
3. Mengetahui perbedaan tekanan intraokuler yang terjadi dalam prosedur
LASIK dengan membandingkan tekanan intraokuler sebelm dan sesudah
LASIK serta menganalisis ketebalan kornea sentra sebelum dan sesudah
LASIK. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah hasil yang
92

diperoleh dapat sebagai dasar untuk memprediksi tekanan intraokuler yang


sebenarnya dan menentukan penatalaksanaan lebih lanjut apabila tekanan
intraokuler lebih tinggi dari normal.
4. Mengetahui perbedaan hasil tes Schirmer I dan tear break up time yang
terjadi setelah prosedur LASIK dengan membandingkan hasilnya sebelum
dan sesudah LASIK pada 2 ketebalan flap yang berbeda. Manfaat yang
diharapkan dari penelitian ini adalah hasil yang diperoleh dapat sebagai dasar
untuk memprediksi perubahan hasil tes Schirmer I dan tear break up time
yang sebenarnya serta menentukan penatalaksanaan lebih lanjut.

Penjelasan penelitian dan prosedurnya


Anda akan memulai penelitian ini dengan proses seleksi yang dilakukan oleh
peneliti untuk menentukan apakah anda dapat mengikuti penelitian ini. Bila anda
terseleksi, anda dapat mengikuti penelitian dan akan dilakukan beberapa
pemeriksaan.

Pada kunjungan sebelum LASIK, akan dilakukan prosedur :


1. Anda akan menyatakan persetujuan Anda dengan menandatangani lembar
persetujuan untuk mengikuti penelitian.
2. Anda akan menjalani pemeriksaan tajam penglihatan menggunakan snellen
chart dan ARK serta sensitivitas kontras menggunakan grafik MARS
3. Anda akan menjalani pemeriksaan segmen anterior dengan lampu celah
biomikroskopis.
4. Anda akan menjalani pemeriksaan topografi kornea dengan menggunakan
Tomey corneal topography.
5. Anda akan menjalani pemeriksaan ketebalan kornea sentral dengan
menggunakan pakimetri.
6. Anda akan menjalani pemeriksaan tekanan intraokuli dengan menggunakan
non contact tonometry.
7. Anda akan menjalani pemeriksaan analisis wavefront dengan wavescan.
8. Anda akan menjalani pemeriksaan tes schirmer I dengan menggunakan
schirmer tear test strip.
93

9. Anda akan menjalani pemeriksaan Tear Break Up Time (TBUT) dengan


menggunakan fluorescein strip, aquadest, kapas, dan diperiksa menggunakan
lampu celah biomikroskop dengan cahaya cobalt blue.

Pada kunjungan hari ke 1 pasca LASIK, akan dilakukan prosedur :


1. Anda akan menjalani pemeriksaan tajam penglihatan menggunakan snellen
chart serta pemeriksaan sensitivitas kontras menggunakan grafik MARS.
2. Anda akan menjalani pemeriksaan segmen anterior dengan lampu celah
biomikroskopis.

Pada kunjungan hari ke 7 pasca LASIK, akan dilakukan prosedur :


1. Anda akan menjalani pemeriksaan tajam penglihatan menggunakan snellen
chart serta pemeriksaan sensitivitas kontras menggunakan grafik MARS.
2. Anda akan menjalani pemeriksaan segmen anterior dengan lampu celah
biomikroskopis.
3. Anda akan menjalani pemeriksaan topografi kornea dengan menggunakan
Tomey corneal topography.
4. Anda akan menjalani pemeriksaan analisis wavefront dengan wavescan.

Pada kunjungan hari ke 30 pasca LASIK, akan dilakukan prosedur :


1. Anda akan menjalani pemeriksaan tajam penglihatan menggunakan snellen
chart serta pemeriksaan sensitivitas kontras menggunakan grafik MARS.
2. Anda akan menjalani pemeriksaan segmen anterior dengan lampu celah
biomikroskopis.
3. Anda akan menjalani pemeriksaan topografi kornea dengan menggunakan
Tomey corneal topography.
4. Anda akan menjalani pemeriksaan ketebalan kornea sentral dengan
menggunakan pakimetri.
5. Anda akan menjalani pemeriksaan tekanan intraokuli dengan menggunakan
non contact tonometry.
6. Anda akan menjalani pemeriksaan analisis wavefront dengan wavescan.
7. Anda akan menjalani pemeriksaan tes schirmer I dengan menggunakan
schirmer tear test strip.
94

8. Anda akan menjalani pemeriksaan Tear Break Up Time (TBUT) dengan


menggunakan fluorescein strip, aquadest, kapas, dan diperiksa menggunakan
lampu celah biomikroskop dengan cahaya cobalt blue.

Biaya ikut serta


Seluruh pemeriksaan klinis sehubungan dengan penelitian akan diberikan tanpa
membebankan biaya kepada Anda.

Informasi mengenai kesehatan anda


Semua catatan kesehatan Anda yang diperoleh selama penelitian akan dijamin
kerahasiaannya. Informasi yang akan digunakan untuk kepentingan analisis data,
publikasi di jurnal, atau pertemuan ilmiah hanya boleh disampaikan dalam bentuk
inisial. Sedangkan nama asli hanya akan diketahui oleh peneliti.

Informasi perkembangan kesehatan mata selama penelitian


Anda berhak dan dianjurkan untuk bertanya tentang penelitian ini setiap saat. Jika
anda mempunyai pertanyaan mengenai penelitian atau mengalami gangguan yang
menurut anda berhubungan dengan penelitian, maka anda dapat menghubungi:
Adisti Krisnamurti-081330403330; Heru Prasetiyono-081329245524; Noviana
Kurniasari-08123026606; Dian Arumdini081330028585; Haryo Bagus
Trenggono-085646200900.

Penarikan kembali dalam penelitian


Partisipasi anda dalam penelitian ini adalah sukarela. Anda dapat memutuskan
untuk tidak melanjutkan keikutsertaan dalam penelitian tanpa memperoleh sanksi
apapun dari institusi peneliti maupun peneliti.
95

Surabaya, 2014

Peserta penelitian Saksi 1 Saksi 2

(.............................) (..................................) (.................................)

Peneliti:

(...............................) (...................................) (.................................)


96

Lampiran 6

SURAT PERSETUJUAN SUBYEK PENELITIAN


Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : ..................................................................................
Usia / Jenis Kelamin : ...................................... / Laki-laki Perempuan

Alamat : ..................................................................................
Hubungan kekerabatan: penderita sendiri/istri/suami/anak/ayah/ibu *)
1. Telah mempelajari dan mengerti tujuan penelitian ini, serta memahami metode
yang digunakan.
2. Menyadari bahwa saya dapat membatalkan pernyataan ini dan dapat menarik
diri dari penelitian ini setiap saat.
Dengan ini sesungguhnya saya menyatakan setuju berpartisipasi serta akan
mengikuti dan mematuhi ketentuan dalam penelitian ini atas penderita:

Nama : ..................................................................................
Usia / Jenis Kelamin : ...................................... / Laki-laki Perempuan

Alamat : ..................................................................................
Demikian pernyataan persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa
paksaan.

Surabaya, .....................2014
Saksi Yang membuat pernyataan

(.........................................) (..........................................)
Peneliti

(..................................) (.....................................) (...................................)


97

Lampiran 7

ANGGARAN PENELITIAN

Anggaran penelitian ini terdiri dari :

1. Fotokopi formulir lembar informasi tindakan medik, : Rp. 1.000.000,00

lembar persetujuan, lembar data penelitian, lembar

data peserta penelitian

2. Pemeriksaan wavescan : Rp. 3.600.000,00

@ Rp. 100.000,00 x 36

Total : : Rp. 4.600.000,00


Lampiran 8

Higher order aberrations pra LASIK

Ablation pupil
Nama/ Usia Flap Coma Trefoil Spherical
No depth (m) (mm)
No.Reg (th) (m)

OD OS OD OS OD OS OD OS OD OS
1 RA/L/4091 19 160 81 82 7.00 6.80 0.18088 0.07135 0.14539 0.23288 0.16933 0.27798
2 PP/L/ 4100 20 110 107 124 7.60 7.40 0.08846 0.13580 0.12802 0.16896 0.02233 0.11636
3 ADS/L/ 4096 18 160 32 49 8.10 6.60 0.03388 0.19255 0.27735 0.25162 0.14177 0.02287
4 S/L/4112 20 110 26 37 8.00 8.10 0.26606 0.32138 0.03844 0.08428 -0.08471 0.02352
5 ADS/L/ 4120 18 160 19 24 7.80 7.80 0.15577 0.21291 0.16949 0.14260 0.20368 0.21719
6 MY/P/ 4131 28 110 121 96 7.40 7.60 0.17456 0.07479 0.18930 0.15568 0.06163 0.05416
7 AT/L/4133 33 110 37 32 8.00 8.40 0.13173 0.29554 0.20154 0.21087 0.09156 0.00990
8 LSC/P/ 4109 22 110 89 91 5.60 6.10 0.04834 0.09202 0.19781 0.26507 0.05206 0.06745
9 ROP/P/4108 18 110 52 64 7.50 7.90 0.11953 0.11184 0.16182 0.19624 -0.05279 -0.02549
10 DR /P/4113 19 110 104 81 6.90 6.50 0.12877 0.09907 0.15188 0.06211 -0.10901 -0.08702
11 SAS /L/4127 21 160 73 67 6.70 6.60 0.17212 0.13806 0.18096 0.09948 0.10826 0.09185
12 SA/L/4125 18 110 84 92 6.10 6.80 0.17765 0.33929 0.14134 0.21352 0.15253 0.32716
98
Higher order aberrations Pasca LASIK Hari ke 7

Nama/ Coma Trefoil Spherical


No Usia Flap
No.Reg OD OS OD OS OD OS
1 RA/L/4091 19 160 0.13088 0.13732 0.14040 0.10222 0.00786 0.19053
2 PP/L/ 4100 20 110 0.30842 0.13095 0.26608 0.29954 -0.07747 0.24538
3 ADS/L/ 4096 18 160 0.15333 0.12953 0.23084 0.33066 0.28545 0.18363
4 S/L/4112 20 110 0.27006 0.16185 0.14641 0.10352 -0.02064 0.11602
5 ADS/L/ 4120 18 160 0.37597 0.46253 0.21831 0.17214 0.39929 0.30041
6 MY/P/ 4131 28 110 0.25178 0.07529 0.26558 0.13964 0.02823 0.16964
7 AT/L/4133 33 110 0.42101 0.47683 0.02324 0.09643 0.19012 0.22292
8 LSC/P/ 4109 22 110 0.39957 0.38894 0.01920 0.23178 0.21473 0.22248
9 ROP/P/4108 18 110 0.22730 0.03951 0.16970 0.15007 -0.20360 -0.01019
10 DR /P/4113 19 110 0.11049 0.34285 0.17986 0.21105 -0.02978 -0.10922
11 SAS /L/4127 21 160 0.25069 -0.21076 0.09568 0.23726 0.15996 0.17721
12 SA/L/4125 18 110 0.11909 0.22998 0.17331 0.09317 0.15989 0.39712
99
Higher order aberrations Pasca LASIK Hari ke 30

Nama/ Coma Trefoil Spherical


No Usia Flap
No.Reg OD OS OD OS OD OS
1 RA/L/4091 19 160 0.38856 0.06501 0.07863 0.15312 0.32614 0.03816
2 PP/L/ 4100 20 110 0.06656 0.07875 0.34883 0.38079 -0.06348 -0.06723
3 ADS/L/ 4096 18 160 0.35659 0.25749 0.13742 0.19788 0.38345 0.12859
4 S/L/4112 20 110 0.27381 0.22192 0.15366 0.06454 0.09295 0.06676
5 ADS/L/ 4120 18 160 0.31897 0.43547 0.18756 0.11217 0.42495 0.23899
6 MY/P/ 4131 28 110 0.36846 0.17540 0.15717 0.22561 0.16632 0.26213
7 AT/L/4133 33 110 0.19658 0.32186 0.09104 0.07983 03007 0.07653
8 LSC/P/ 4109 22 110 0.46415 0.37169 0.33775 0.10916 0.33039 0.16625
9 ROP/P/4108 18 110 0.35606 0.02030 0.38529 0.08917 -0.11496 0.19406
10 DR /P/4113 19 110 0.24098 0.31096 0.09914 0.16584 -0.00123 -0.06464
11 SAS /L/4127 21 160 0.12453 0.22131 0.08448 0.19904 0.24489 0.16634
12 SA/L/4125 18 110 0.33817 0.02594 0.21767 0.14388 0.17327 0.33891
100
101

Lampiran 9
102

Lampiran 10
103

Lampiran 11
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126

Anda mungkin juga menyukai