Latar Belakang
Dalam sejarah umat manusia, baik manusia primitif maupun manusia modern
mengakui adanya institusi perkawinan, meskipun dengan cara berbeda-beda. Manusia primitif
mengakui adanya prosesi perkawinan adat atau suku. Dan manusia modern mengakui sebuah
perkawinan yang sah ketika dilakukan sesuai kepercayaan dan prosesi agama yang ada juga
tercatat dalam hukum sipil. Penyimpangan terhadap ketentuan ini seperti prostitusi dianggap
sebagai penyakit masyarakat yang harus dihilangkan. Memang dalam kenyataannya terdapat
sejumlah komunitas yang walaupun mengakui institusi perkawinan, tetapi memiliki persepsi
yang spesipik tentang hubungan seksual diluar perkawinan.
Rumusan Masalah
Dasar Teori
Dalam Perjanjian Lama1 dijelaskan bahwa Perkawinan merupakan bagian dari maksud
Allah menciptakan manusia. Bukan peristiwa aksidental. Bukan penemuan manusia. tetapi
rencana baik Allah bagian dari cara dunia diciptakan. Bahkan perkawinan merupakan tugas
mulia dari Allah agar manusia beranak cucu dan memelihara dunia dalam artian
keberlangsungan kehidupan di bumi. Perkawinan secara hakiki adalah sesuatu yang bersifat
kemasyarakatan, tapi juga mempunyai aspek kekudusan. Perkawinan dilihat sebagai suatu
persekutuan badaniah dan rohaniah antara seorang laki-laki dan perempuan untuk membentuk
suatu lembaga. Dengan pemahaman seperti ini, perkawinan sebagai lembaga kemasyarakatan
adalah tugas pemerintah. Pemerintah, dalam hal ini kantor catatan sipil, berkompeten untuk
mengesahkannya. Dalam pandangan Kristen Protestan, kompetensi pemerintah untuk
mengesahkan suatu perkawinan secara teologis didasarkan pula pada keyakinan bahwa
pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikan manusia (Roma 13: 1,4).
Perkawinan Menurut Islam Perkawinan dalam agama Islam merupakan kewajiban yang
harus dijalankan sebagai peningkatan dalam penyempurnaan ibadah kepada Allah S.W.T, yang
di wujudkan dalam hubungan antara dua orang insan manusia yang berbeda yang di takdirkan
satu sama lain saling memerlukan dalam kelangsungan hidup kemanusiaan untuk memenuhi
nalurinya dalam hubungan seksual. Pengertian perkawinan dalam agama Islam, adalah
1
Salah bagian dalam kitab suci agama Kristen atau Alkitab
2
UU Perkawinan no 1 Tahun 1974
Suatu akad atau perjanjian mengikat antara seorang laki-laki dan perempuan untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan sukarela dan kerelaan
kedua belah pihak merupakan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang di liputi rasa kasih
sayang dan ketentraman (sakinah) dengan cara-cara yang di ridoi Allah SWT
BAB II
PEMBAHASAN
Maka 2 hak yang bersifat nonderogable memeluk agama kepercayaan sesuai dengan
keinginannya. Dalam hak ini Negara tidak boleh ikut campur membuat ketentuan-ketentuan
yang berkaitan dengan agama seseorang termasuk melarang seseorang beragama tertentu,
mengatur masalah-masalah teknis keagamaan termasuk tidak boleh terlalu ikut campu dalam
mengatur pelarangan perkawinan beda agama. Sekali lagi hak ini sifanya nonderogable yang
pemenuhannya oleh Negara tidak boleh ditunda-tunda.
Hak yang kedua adalah untuk membentuk keluarga atau melakukan perkawinan . Hak
ini juga merupakan hak asasi manusia yang bersifat nonderogable yaitu pemenuhannya harus
dilakukan oleh Negara tidak boleh menunda-nunda Dalam ketentuan ICCPR yang sudah
diratifikasi oleh Indonesia dan berlaku sebagai sumber hukum di Indonesia, masalah
perkawinan antara laki-laki dan perempuan harus diakui tanpa persyaratan yang rumit,
ketentuan perkawinan hanya dititik beratkan pada persetujuan yang bebas dan penuh dari para
pihak yang hendak menikah.
Berdasarkan hal di atas Kovenan HAM ICCPR yang telah berlaku di Indonesia melalui
UU No 12 Tahun 2005 meminta untuk mengakui perkawinan antara lelaki dan perempuan yang
telah ada persetujuan yang bebas dan penuh dari para pihak.
Atas nama Hak Asasi Manusia Pemerintah harus melakukan upaya regulasi yang
mengakomodasi hak-hak dasar termasuk hak untuk menikah karena hak tersebut termasuk
dalam kategori Non Derogable Right yang pemenuhannya tidak boleh ditunda-tunda. Atau
masyarakat bisa melakukan judicial riview ke Mahkamah Kontitusi terhadap undang-undang
yang menghambat hak-hak masyarakat tersebut.
Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan sebagai
yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan antar agama dapat
menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di
Indonesia.
Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan
antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas
dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan
tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan
permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga
pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan
perkawinan, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam.
Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut
bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama,
tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon pasangannya. Bentuk lain
untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan cara melakukan perkawinan
bagi pasangan yang berbeda agama tersebut di luar negeri. Berdasarkan pada pasal 56 UU
perkawinan.
Pengaturan (bunyi ayat tersebut) ini menyebabkan ketidakpastian hukum bagi orang-
orang yang hendak melangsungkan perkawinan di Indonesia, karena penerapan hukum agama
dan kepercayaan sangatlah bergantung pada interpretasi baik secara individual maupun secara
institusional. Pro dan kontra pun terus merebak di ruang public. Yang pro terhadap pernikahan
beda agama tentu mendukung langkah judicial review . Sementara yang kontra meluapkan
tentangannya melalui berbagai arus.
BAB III
KESIMPULAN
2. Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas
mengatur tentang perkawinan antar agama, Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal
20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar
agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor
Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan
yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan
perkawinan antar agama.
3. Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan
perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam
ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk
melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa
dengan mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status
agamanya. Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk
dilangsungkan perkawian, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi
beragama Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima
permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang
berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon
pasangannya.
4. Perkawinan antar agama dapat juga dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia yang
berbeda agama dengan cara melakukan perkawinan tersebut di luar negeri.