Anda di halaman 1dari 7

BAB I

Latar Belakang

Dalam sejarah umat manusia, baik manusia primitif maupun manusia modern
mengakui adanya institusi perkawinan, meskipun dengan cara berbeda-beda. Manusia primitif
mengakui adanya prosesi perkawinan adat atau suku. Dan manusia modern mengakui sebuah
perkawinan yang sah ketika dilakukan sesuai kepercayaan dan prosesi agama yang ada juga
tercatat dalam hukum sipil. Penyimpangan terhadap ketentuan ini seperti prostitusi dianggap
sebagai penyakit masyarakat yang harus dihilangkan. Memang dalam kenyataannya terdapat
sejumlah komunitas yang walaupun mengakui institusi perkawinan, tetapi memiliki persepsi
yang spesipik tentang hubungan seksual diluar perkawinan.

Dewasa ini kerap menjadi perdebatan mengenai pengakuan institusi terhadap


perkawinan yang dilakukan antara dua individu yang berasal dari kepercayaan atau agama yang
berbeda. Ketika banyak anak muda yang terjebak dalam cinta LDR (long distance religion)
dan mencari keabsahan atas hubungan yang dijalaninya. Kasus ini khususnya terjadi di
Indonesia.

Rumusan Masalah

1. Adakah hukum yang mengatur pernikahan beda agama di Indonesia?


2. Bagaimana perkawinan beda agama dari perspektif agama dan kepercayaan di
Indonesia?
3. Bagaimana persoalan pernikahan beda agama di pandang Oleh masyarakat Indonesia,
khususnya Budaya Batak Agama Kristen?

Dasar Teori

Perkawinan menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah membentuk keluarga


dengan lawan jenis; bersuami atau beristri. Dari pengertian ini dijelaskan bahwa komponen
yang harus dilengkapi dari sebuah perkawinan adalah lawan jenis yakni laki-laki dan
perempuan. Alami jika seorang anak manusia yang tumbuh dewasa lalu menginginkan sebuah
perkawinan. Dan hampir setiap orang mengalami hal tersebut dalam hidupnya meskipun ada
orang yang memilih untuk tidak melakukan perkawinan. Semua agama resmi di Indonesia
memangdang perkawinan sebagai sesuatu yang sakral, harus dihormati, dan harus dijaga
kelanggengannya. Oleh karena itu, setiap orangtua merasa tugasnya sebagai orangtua telah
selesai bila anaknya telah memasuki jenjang perkawinan.

Dalam Perjanjian Lama1 dijelaskan bahwa Perkawinan merupakan bagian dari maksud
Allah menciptakan manusia. Bukan peristiwa aksidental. Bukan penemuan manusia. tetapi
rencana baik Allah bagian dari cara dunia diciptakan. Bahkan perkawinan merupakan tugas
mulia dari Allah agar manusia beranak cucu dan memelihara dunia dalam artian
keberlangsungan kehidupan di bumi. Perkawinan secara hakiki adalah sesuatu yang bersifat
kemasyarakatan, tapi juga mempunyai aspek kekudusan. Perkawinan dilihat sebagai suatu
persekutuan badaniah dan rohaniah antara seorang laki-laki dan perempuan untuk membentuk
suatu lembaga. Dengan pemahaman seperti ini, perkawinan sebagai lembaga kemasyarakatan
adalah tugas pemerintah. Pemerintah, dalam hal ini kantor catatan sipil, berkompeten untuk
mengesahkannya. Dalam pandangan Kristen Protestan, kompetensi pemerintah untuk
mengesahkan suatu perkawinan secara teologis didasarkan pula pada keyakinan bahwa
pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikan manusia (Roma 13: 1,4).

Lalu pandangan hukum yang berlaku di Indonesia terhadap perkawinan adalah UU


perkawinan no 1 tahun 1974 pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun bunyi Pasal 2 ayat 1
yang mengatakan bahwa, Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu.2 Menjadi sebuah pengartian yang ambigu terhadap
perkawinan beda agama.

Perkawinan Menurut Agama Islam

Perkawinan Menurut Islam Perkawinan dalam agama Islam merupakan kewajiban yang
harus dijalankan sebagai peningkatan dalam penyempurnaan ibadah kepada Allah S.W.T, yang
di wujudkan dalam hubungan antara dua orang insan manusia yang berbeda yang di takdirkan
satu sama lain saling memerlukan dalam kelangsungan hidup kemanusiaan untuk memenuhi
nalurinya dalam hubungan seksual. Pengertian perkawinan dalam agama Islam, adalah

1
Salah bagian dalam kitab suci agama Kristen atau Alkitab
2
UU Perkawinan no 1 Tahun 1974
Suatu akad atau perjanjian mengikat antara seorang laki-laki dan perempuan untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan sukarela dan kerelaan
kedua belah pihak merupakan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang di liputi rasa kasih
sayang dan ketentraman (sakinah) dengan cara-cara yang di ridoi Allah SWT

Perkawinan Menurut Protestan Pengertian


Perkawinan menurut agama protestan adalah suatu persekutuan hidup dan percaya
total, eksklusif dan kontinyu antara seorang pria dan seorang wanita yang dikuduskan dan
diberkati oleh oleh Kristus Yesus. Pernikahan sebagai soal agama, hukum tuhan, agar
pernikahan tersebut sesuai dengan kehendak tuhan yang menciptakan pernikahan itu.
Syaratsyarat perkawinan menurut agama Kristen Protestan adalah :
1. Masing - masing calon mempelai tidak terikat tali perkawinan dengan pihak lain;
2. Kedua mempelai beragama Kristen Protestan (agar perkawinan tersebut dapat
diteguhkan dan diberkati);
3. Kedua calon mempelai harus sudah sidi/Katekisasi (sudah dewasa);
4. Harus dihadiri dua orang saksi;
5. Harus disaksikan oleh jemaat.

Perkawinan Menurut Katolik


Pengertian perkawinan menurut Soekoto Leo (1991:13) dari keUskupan Agung Jakarta
mengatakan bahwa, Pernikahan adalah sepasang pria dan wanita yang menikah bukan hanya
sekedar hidup bersama, melainkan bersatu jiwa dan raganya. Untuk itu dalam agama Khatolik
mereka menerima sakramen. Mereka mau hidup bersatu dalam Tuhan artinya hidup kesatuan
mereka, akan mereka selenggarakan dengan rahmat pertolongan Tuhan. Dan mereka atur
sesuai dengan perintah- perintah Tuhan.
Perkawinan Menurut Hindu
Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan. Pengertian
Pawiwahan itu sendiri dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal
dari kata dasar wiwaha . Wiwaha atau perkawinan dalam masyarakat hindu memiliki
kedudukan dan arti yang sangat penting, dalam catur asrama wiwaha termasuk kedalam
Grenhastha Asrama. Disamping itu dalam agama Hindu, wiwaha dipandang sebagai sesuatu
yang maha mulia, seperti dijelaskan dalam kitab Manawa Dharmasastra bahwa wiwaha
tersebut bersifat sakral yang hukumnya wajib, dalam artian harus dilakukan oleh seseorang
yang normal sebagai suatu kewajiban dalam hidupnya.
Perkawinan Menurut Budha Agama Buddha
Mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan suci yang harus dijalani dengan cinta dan
kasih sayang seperti yang diajarkan Budha. Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin dua orang
yang berbeda kelamin, yang hidup bersama untuk selamanaya dan bersama-sama
melaksanakan Dharma Vinaya untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan sekarang ini
dan kehidupan yang akan datang.

Perkawinan Menurut Kong Hu Chu


Dalam ajaran agama Khonghucu perkawinan adalah, ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga yang
bahagia), dan melangsungkan keturunan berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa. Tujuan
perkawinan dalam agama Konghucu di Indonesia ialah memungkinkan manusia
melangsungkan sejarahnya dan mengembangkan benih-benih Thian (Tuhan Yang Maha Esa),
berwujud kebajikan yang bersemayam di dalam dirinya, dan memungkinkan manusia
membimbing putra-putrinya. Pengertian perkawinan Menurut Konghucu dapat ditemukan
dalam Kitab LI JI buku XLI : 1 & 3 tentang Hun Yi (kebenaran makna upacara pernikahan),
dinyatakan bahwa upacara pernikahan bermaksud akan menyatu-padukan benih kebaikan/
kasih antara dua manusia yang berlainan keluarga; keatas mewujudkan pengabdian kepada
Tuhan dan leluhur (zong Miao),dan ke bawah meneruskan generasi.

BAB II

PEMBAHASAN

Pandangan Agama Terhadap Perkawinan Beda Agama


Perkawinan Beda Agama dalam Protestan Dalam perjanjian baru adalah hubungan lahir
dan batin yang syah antara seorang pria dan seorang wanita, seperti dijelaskan dalam kitab Injil
yang berbunyi
: Allah merencakan kawin untuk mengadakan hubungan sehingga pria
dan wanita menjadi satu daging. Dimana dalam satu hubungan antara pria dan wanita, seorang
Kristen diartikan suatu ikatan cinta kasih dan taat, yang
mengambarkan perwujudan hubungan Kristus dengan Gereja. Jadi perkawinan
menurut Kristen Protestan adalah suatu ikatan atau hubungan lahir batin yang
Sebelumnya perlu diketahui jenis hak-hak dan kebebasan dasar yang tercantum dalam
ICCPR itu. Klasifikasi pertama adalah hak-hak dalam jenis non-derogable, yaitu hak-hak yang
bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh Negara-yang telah meratifikasi
ICCPR ini (termasuk Indonesia). Walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak-hak yang
termasuk ke dalam jenis ini adalah : (i) hak atas hidup (rights to life); (ii) hak bebas dari
penyiksaan (rights to be free from torture); (iii) hak bebas dari perbudakan (rights to be free
from slavery); (iv) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (v)
hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; (vi) hak sebagai subjek hukum; dan (vii) hak
atas kebebasan berpikir, kenyakinan dan agama. Negara-negara Pihak yang melakukan
pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, seringkali akan mendapat kecaman sebagai
negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia (gross violation of human
rights).

Maka 2 hak yang bersifat nonderogable memeluk agama kepercayaan sesuai dengan
keinginannya. Dalam hak ini Negara tidak boleh ikut campur membuat ketentuan-ketentuan
yang berkaitan dengan agama seseorang termasuk melarang seseorang beragama tertentu,
mengatur masalah-masalah teknis keagamaan termasuk tidak boleh terlalu ikut campu dalam
mengatur pelarangan perkawinan beda agama. Sekali lagi hak ini sifanya nonderogable yang
pemenuhannya oleh Negara tidak boleh ditunda-tunda.

Hak yang kedua adalah untuk membentuk keluarga atau melakukan perkawinan . Hak
ini juga merupakan hak asasi manusia yang bersifat nonderogable yaitu pemenuhannya harus
dilakukan oleh Negara tidak boleh menunda-nunda Dalam ketentuan ICCPR yang sudah
diratifikasi oleh Indonesia dan berlaku sebagai sumber hukum di Indonesia, masalah
perkawinan antara laki-laki dan perempuan harus diakui tanpa persyaratan yang rumit,
ketentuan perkawinan hanya dititik beratkan pada persetujuan yang bebas dan penuh dari para
pihak yang hendak menikah.

Berdasarkan hal di atas Kovenan HAM ICCPR yang telah berlaku di Indonesia melalui
UU No 12 Tahun 2005 meminta untuk mengakui perkawinan antara lelaki dan perempuan yang
telah ada persetujuan yang bebas dan penuh dari para pihak.
Atas nama Hak Asasi Manusia Pemerintah harus melakukan upaya regulasi yang
mengakomodasi hak-hak dasar termasuk hak untuk menikah karena hak tersebut termasuk
dalam kategori Non Derogable Right yang pemenuhannya tidak boleh ditunda-tunda. Atau
masyarakat bisa melakukan judicial riview ke Mahkamah Kontitusi terhadap undang-undang
yang menghambat hak-hak masyarakat tersebut.

Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan sebagai
yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan antar agama dapat
menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di
Indonesia.

Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan
antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas
dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan
tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan
permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga
pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan
perkawinan, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam.
Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut
bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama,
tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon pasangannya. Bentuk lain
untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan cara melakukan perkawinan
bagi pasangan yang berbeda agama tersebut di luar negeri. Berdasarkan pada pasal 56 UU
perkawinan.
Pengaturan (bunyi ayat tersebut) ini menyebabkan ketidakpastian hukum bagi orang-
orang yang hendak melangsungkan perkawinan di Indonesia, karena penerapan hukum agama
dan kepercayaan sangatlah bergantung pada interpretasi baik secara individual maupun secara
institusional. Pro dan kontra pun terus merebak di ruang public. Yang pro terhadap pernikahan
beda agama tentu mendukung langkah judicial review . Sementara yang kontra meluapkan
tentangannya melalui berbagai arus.
BAB III

KESIMPULAN

1. Undang-Undang No.1/1974 tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, tidak mengatur


tentang perkawinan beda agama. Oleh karena itu perkawinan antar agama tidak dapat
dilakukan berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 UU No.1/1974, bahwa perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan pada
pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan
pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut
hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.

2. Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas
mengatur tentang perkawinan antar agama, Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal
20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar
agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor
Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan
yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan
perkawinan antar agama.
3. Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan
perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam
ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk
melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa
dengan mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status
agamanya. Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk
dilangsungkan perkawian, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi
beragama Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima
permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang
berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon
pasangannya.
4. Perkawinan antar agama dapat juga dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia yang
berbeda agama dengan cara melakukan perkawinan tersebut di luar negeri.

Anda mungkin juga menyukai