Kasus Gastro Siap Print
Kasus Gastro Siap Print
Diajukan Oleh:
Arief Kurniawan Siregar
10/306686/PKU/11643
Pembimbing:
DAFTAR ISI
BAB III Pembahasan: Hepatopati Kongestif dan Gagal Hati Akut ....................9
Epidemiologi Hepatopati Kongestif ........................................... 9
3.1.1. Frekuensi ......................................................................... 9
3.1.2. Mortalitas dan Morbiditas ............................................... 9
3.1.3. Jenis Kelamin ................................................................ 10
3.1.4. Usia ............................................................................... 10
Anatomi Hati dan Aliran Darah hepatik ................................... 10
Patofisiologi Hepatopati Kongestif........................................... 13
3.4. Gagal Hati Akut pada Hepatopati Kongestif ............................ 19
BABI
PENDAHULUAN
Pasokan vaskular hati yang kompleks dan aktivitas metabolik yang tinggi
dan karakteristik kerusakan hati tergantung pada pembuluh darah mana yang
terlibat dan derajat cedera yang kesemuanya berhubungan dengan kongesti pasif
bukti bahwa curah jantung yang rendah yang disertai dengan berkurangnya aliran
darah hati adalah faktor penyebab utama, bukan semata-mata hanya karena faktor
hipotensi. Pada keadaan gagal hati akut karena gagal jantung kongestif, tanda-tanda
klinis yang khas bisa saja tidak tampak, dan ini tentunya membutuhkan pendekatan
Pasien dengan kongesti hati biasanya tanpa gejala. Kongesti hati mungkin
ditemukan melalui tes biokimia hati yang abnormal saat evaluasi rutin. Pasien yang
jantung akut dapat mengalami jaundice dan peningkatan yang signifikan pada
serum aminotransferase, persis seperti hepatitis virus akut (Cohen et al., 1978;
peregangan dari kapsul hati) dan asites juga dapat dijumpai. Pada banyak kasus
gagal hati fulminan dengan koma, yang sebagiannya menyebabkan kematian, telah
dilaporkan pada pasien dengan gagal jantung kongestif (Moussavian et al., 1982;
Nouel et al., 1980; Kisloff et al., 1976). Sebagian besar kasus tersebut tumpang
tindih dengan syok dan iskemia hati, bukan hanya karena kongesti pasif saja.
Meskipun tidak ada pola kelainan yang khas, profil biokimia kolestatik
umum dijumpai, dengan elevasi ringan bilirubin total (biasanya 3 g / dl), elevasi
ringan alkali fosfatase dan hanya sesekali peningkatan transaminase. Hal lain yang
umum ditemukan adalah peningkatan INR. Namun profil laboratorium yang khas
untuk kegagalan hati juga sering ditemukan pada beberapa kasus secara terbatas.
Ini menandakan bahwa tampilan klinis gagal hati dapat bervariasi pada setiap
individu.
dengan kongesti di hati akibat obstruksi aliran vena porta yang menyebabkan
hipertensi portal dan penurunan pengiriman oksigen dari jantung (Naschitz et al.,
2000). Hal ini bisa terjadi karena aliran darah hati merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari cardiac output yang memasok sejumlah besar vascular bed hepatik
merupakan ungkapan yang cocok untuk menggambarkan situasi gagal hati akut
3
klinisi untuk lebih teliti dalam hal penegakan diagnosis dan penilaian tingkat
keparahan penyakit, agar tata laksana dapat diarahkan sesuai dengan kondisi klinis
Pada laporan kasus berikut akan dipaparkan seorang penderita gagal jantung
dengan hepatopati kongestif yang mengalami gagal hati akut dengan kadar serum
transaminase sampai menembus angka 4000, suatu kasus yang jarang ditemui di
dalam literatur.
4
BABII
KASUS
01.62.55.68, datang ke IRD RSUP dr. Sardjito Yogyakarta pada tanggal 9 Maret
2013 pukul 14.00, dirujuk dari RSUD Wirosaban Yogyakarta, dengan keluhan
utama nyeri dada kiri yang dirasakan sekitar 2 hari sebelumnya. Nyeri dada kiri
seperti ditekan, dirasakan saat penderita sedang istirahat hendak tidur malam,
berdurasi sekitar 20 menit, disertai keringat dingin, mual, dan muntah. Tidak
didapatkan sesak napas maupun riwayat sesak napas. Penderita selama ini diketahui
mempunyai penyakit darah tinggi, tidak merokok, tidak meminum alkohol, tidak
ada riwayat penyakit gula dan kolesterol tinggi. Keluarga dengan riwayat penyakit
jantung disangkal. Penderita juga tidak punya riwayat penyakit kuning, belum
pernah menjalani transfusi darah, dan tidak ada riwayat penyalahgunaan obat.
Setelah 2 hari dalam perawatan, penderita dirujuk ke RSUP dr. Sardjito untuk
mengalami STEMI inferior yang disertai dengan syok kardiogenik, dan telah
5
Saat masuk IRD RSUP dr. Sardjito, penderita tidak lagi mengeluh nyeri
dada, tidak ada sesak napas, mual, maupun muntah, namun didapatkan pusing dan
lemas. Penderita tampak sadar penuh, dengan kesan sakit: sedang. Tekanan darah
96/60 mmHg, nadi 56 x/menit, frekuensi napas 20 x/menit, dan temperatur 36,5 C.
Penderita tidak tampak ikterik maupun anemis. Pemeriksaan paru dalam batas
Abdomen dalam batas normal. Ekstremitas teraba hangat, tidak ditemukan edema.
Terpasang kateter urine pada orifice urethra externae, tampak urine berwarna
dengan ST-elevasi (in evolusi) di lead II, III, aVF. Pemeriksaan laboratorium
= 15.870, dan INR = 1,3, HBsAg negatif, anti HAV dan anti HCV juga negatif,
dilakukan PCI pada pukul 18.00, dengan hasil ditemukannya stenosis 80 % di left
coronary artery (LCX) proksimal sampai dengan mid. Sementara right coronary
tindakan intervensi dengan culprit lesion di RCA dengan stent Titan 3.0/22 mm.
gelisah, tekanan darah 100/50, nadi 82x/menit, frekuensi napas 26x/menit, dan
temperatur 36,6 C. Diagnosis kerja di ICCU yaitu coronary artery disease (CAD)
3 vessel disease, hepatopati kongestif, dan acute kidney injury. Terapi utama
furosemid, dan nitrat, sementara statin ditunda pemberiannya karena fungsi hati
yang buruk.
Pada perawatan hari ke-2, kondisi umum masih tampak gelisah, tekanan
darah 120/80, nadi 82x/menit, frekuensi napas 20 x/menit, dan temperatur 36,6 C,
tak tampak ikterik. Pemeriksaan fisik ditemukan adanya suara tambahan berupa
ronchi basah kasar pada lapangan bawah paru kanan. Ekokardiografi menunjukkan
perburukan fungsi hati dan ginjal, dengan AST = 5825, ALT = 4115, pH = 7,399,
pCO2 = 24,8, HCO3 = 15,7, BUN = 119, kreatinin = 4,54, asam urat = 18,0, Hb =
10,0, leukosit 14.050, C-reactive protein (CRP) = 82, trombosit 36.000, fibrinogen
= 150, d-dimer = 5400, DIC score = 5. Diagnosis gagal hati akut dan sepsis
(DIC). Diputuskan untuk meningkatkan dosis obat inotropik agar tercapai sirkulasi
yang lebih baik, disertai dengan penambahan SNMC dan curcuma sebagai
sepsis.
Pada perawatan hari ke-4, kondisi umum delirium, tekanan darah 120/60,
nadi 70x/menit (dengan temporary pace maker), frekuensi napas 20x/menit, dan
leukosit 10.280, INR = 1,59, trombosit 27.000, fibrinogen = 195, d-dimer = 10.900,
dan asam amino rantai cabang (BCAA) untuk mengatasi delirium akut yang diduga
berkaitan dengan ensefalopati hepatik karena gagal hati akut. Optimalisasi tata
laksana gagal jantung dan pneumonia dilakukan dengan monitor ketat balance
antibiotik ceftriaxone.
darah 137/85, nadi 62x/menit (tanpa temporary pace maker), frekuensi napas
20x/menit, dan temperatur 36,5 C. Penderita sudah dalam terapi captopril sebagai
lainnya diteruskan. Hanya saja trombosit masih rendah (15.000), dengan DIC score
5, walaupun tanpa tanda perdarahan. Hal ini menunjukkan bahwa penderita harus
mendapatkan transfusi trombosit atau fresh frozen plasma. Pada titik ini, fungsi hati
sudah mulai membaik, ditandai dengan kadar ALT = 63, AST = 574, dan INR =
8
1,14, diikuti dengan membaiknya fungsi ginjal yang ditunjukkan dengan kadar
BUN = 35,5, kreatinin = 1,33, asam urat = 5,1. Terapi sebelumnya secara
keseluruhan dilanjutkan.
evaluasi dan penyesuaian terhadap regimen dan dosis sesuai kondisi klinis.
kongesti hati kronis, konsisten dengan kondisi yang ditemukan pada penderita.
Fokus utama perawatan di bangsal adalah pada penanganan infeksi paru, stabilisasi
hari ke-16 perawatan dan dijadwalkan untuk kontrol rutin selanjutnya ke poliklinik
BABIII
PEMBAHASAN:
HEPATOPATI KONGESTIF
DAN GAGAL HATI AKUT
2.1.1. Frekuensi
rendah.
tidak ada. Namun, karena CHF lebih sering terjadi pada pria daripada
wanita di Amerika Serikat, hal yang sama juga mungkin terjadi untuk
2.1.4. Usia
pertambahan usia.
hanya sekitar 2 sampai 3 persen dari total berat badan (Lautt et al., 1987;
Myers et al., 1948). Vena portal menyediakan sekitar dua per tiga dari
melalui hati dialirkan melalui vena hepatika kanan, kiri, dan tengah ke vena
Sementara darah vena porta kaya akan nutrisi dasar (seperti glukosa, asam
darah arteri hepatika kaya akan oksigen (terhitung lebih dari 50 persen dari
11
oksigen yang dikirim ke hati dan 100 persen untuk saluran-saluran empedu
oklusi arteri hepatik pada manusia dapat ditoleransi tanpa konsekuensi yang
dengan aliran darah portal sudah dapat memberikan sirkulasi yang cukup
(Myes, 1972). Pada pasien yang jarang, gangguan aliran arteri hepatik dapat
persen dari massa hati. Hati dapat dibagi lagi menjadi delapan segmen
parenkim hati. Vena portal terminal dan venula hati menjembatani antara
Sebuah fitur menarik dari model asinar adalah bahwa suplai darah ke
area parenkim hati dan saluran empedu semuanya terletak di dalam satu
yang dikelompokkan di sekitar cabang terminal dari arteri hepatik dan venula
12
porta (gambar 1). Darah dari cabang vena porta dan arteri hepatik yang
Gambar 1. Diagram yang menggambarkan asinus hati dan lobulus. Model "lobulus"
menganggap venula hati terminal menjadi pusat mikrosirkulasi hati sementara model
"asinar" (juga dikenal sebagai klasifikasi Rappaport) menganggap venula hati
terminal merupakan mikrosirkulasi perifer.
gradien di mana isi nutrisi dan oksigen dari mikrosirkulasi hati berbeda satu
sama lain. Bagian tengah asinus (periportal) dikenal sebagai zona 1, pinggiran
dan permintaan oksigen di hati (Ross et al., 1981). Faktor yang bertanggung
jawab pada sebagian besar pasien tidak berdiri sendiri melainkan multipel
adekuat. Proses yang lebih tepat untuk menjelaskan hal ini tidak sepenuhnya
aktivitas sel-sel otot polos yang mengelilingi arteriol hati. Aliran arteri
hepatika diatur secara ketat untuk mempertahankan jumlah aliran darah hati
agar relatif konstan. Sebaliknya, aliran vena porta tidak memiliki kontrol
autoregulasi.
dalam jaringan ikat yang mengelilingi arteriol hati. Konsentrasi adenosin ini
sebagian ditentukan oleh sejauh mana alirannya hilang pada peredaran darah
sinusoidal (Lautt et al., 1987). Zona 3 dari asinus hati sangat rentan terhadap
kekurangan aliran darah karena berada paling jauh dari suplai darah yang
kaya oksigen, sedangkan ekstraksi oksigen yang meningkat dalam zona 1 dan
aliran darah perifer dan splanknik (Ceppa et al., 2003). Penurunan yang
terjadi pada aliran darah hati dapat melebihi kapasitas hati untuk
faktor transkripsi heat shock factor dan nuclear factor B (Tacchini et al.,
pada suhu fisiologis dibandingkan jenis sel hati lain, seperti sel-sel endotel
sinusoidal, sel Kupffer, dan sel-sel epitel empedu (Rosser et al., 1995). Status
Ada dua kondisi klinis yang relatif umum dapat meningkatkan risiko
iskemia hati. Pertama, pasien yang memiliki penyakit hati sebelumnya dan
pasien dengan hipertensi portal, sangat rentan untuk mengalami iskemia hati,
Selain itu, penurunan massa fungsional hati pada pasien dengan penyakit hati
pasif hati yang sebelumnya sudah ada juga memiliki peningkatan risiko untuk
cedera iskemik. Peningkatan tekanan vena sentral (seperti yang terjadi dengan
protein ke dalam ruang Disse karena kongesti sinusoidal (Lautt et al., 1987;
fibrosis, yang paling menonjol terjadi pada zona 3 dan ruang Disse. Fibrosis
satu wilayah hati ke yang lainnya mungkin karena efek fibrogenik dari fokus
17
trombi dalam sinusoid, venula hati, dan vena portal yang disebabkan stasis
hati. Selain itu, tidak ada hubungan yang jelas antara tingkat kongesti
(sebagaimana dinilai oleh tekanan atrium kanan) dan nekrosis zona 3 pada
zona 3 yang disebabkan oleh gagal jantung kiri akut (tanpa gagal jantung
kongesti saja terhadap terjadinya nekrosis hati (Cohen et al., 1978)). Namun
dengan iskemia hepatik yang jelas. Pengamatan ini didukung oleh sebuah
dengan hepatitis iskemik mempunyai bukti bahwa penyakit jantung lah yang
jantung kanan. Temuan ini menunjukkan bahwa kongesti pasif hati dapat
peristiwa hipotensi.
memiliki hepatitis iskemik memiliki tekanan vena sentral lebih besar dari 10
kondisi klinis (Henrion et al., 2003). Pada pasien dengan gagal napas kronis,
hati tidak menurun tetapi kebutuhan oksigen hati meningkat. Kondisi syok
dengan apnea tidur obstruktif, dan pada beberapa kasus dengan eksaserbasi
19
kegagalan pernafasan akut, terutama pada mereka yang juga memiliki gagal
Gagal hati akut didefinisikan sebagai suatu kondisi penyakit hati akut
sebelumnya, dengan durasi < 26 minggu (Trey et al., 1970; Lee et al., 2011).
Gagal hati akut yang disebabkan oleh gagal jantung kongestif jarang
ditemui, dan hanya beberapa kasus saja yang dilaporkan. Saner et al. (2009)
melaporkan hanya terdapat 13 kasus gagal hati akut oleh karena gagal jantung
marker AST meningkat lebih dari 2000 kali lipat saat awal masuk rumah sakit.
Mekanisme pasti gagal hati akut pada gagal jantung kongestif masih
hipotensi sistemik atau syok sendiri tidak mengakibatkan kegagalan hati pada
gagal hati dengan penyakit jantung yang berat dan hal ini sering
Hal yang paling mungkin menyebabkan gagal hati akut pada penyakit gagal
jantung adalah kongesti hati dan menurunnya Oxygen Delivery (DO) yang
terkait penurunan Cardiac Index (CI). Sekali DO melewati nilai ambang kritis,
enzim laktat dehidrogenase (indikasi nekrosis sel, bukan apoptosis) dan akan
fungsi hati sering terjadi tetapi hasil jangka panjang tergantung pada penyakit
BABIV
DISKUSI KASUS
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, gagal hati akut yang disebabkan
oleh gagal jantung kongestif jarang ditemui, dan hanya beberapa kasus saja yang
dilaporkan. Kasus ini termasuk di dalamnya, dengan diagnosis gagal hati akut
Penderita tampil dengan kondisi klinis ensefalopati dan profil laboratorium fungsi
karena dari anamnesis tidak ditemukan riwayat penyakit kuning, tidak adanya
stigmata penyakit hati kronis pada pemeriksaan fisik, serta analisis hasil
laboratorium dengan penanda infeksi virus hepatitis hasilnya negatif. Hal ini
menunjukkan bahwa diagnosis gagal hati akut pada pasien ini sangat sugestif untuk
ditegakkan.
Hal lain yang dapat mendukung diagnosis bahwa gagal hati akut pada
penderita ini disebabkan oleh hepatopati kongestif karena ACS adalah bahwa
bahwa kondisi iskemik seperti pada syok, akibat penurunan curah jantung, akan
mengakibatkan penurunan fungsi pada ginjal, karena ginjal dan hati adalah organ
Namun demikian, faktor etiologis lain sebagai penyebab gagal hati akut
seperti misalnya hepatitis viral perlu juga dipertimbangkan. Tetapi pada penderita
ini, semua biomarker infeksi hepatitis negatif, menandakan tidak adanya proses
Onset terjadinya gagal hati akut sejak penderita mengalami ACS pada kasus
ini adalah sekitar 5 hari semenjak gejala nyeri dada (angina) dikeluhkan oleh
penderita. Dan yang menjadi awal dari penyebab gagal hati akut pada penderita ini
adalah terjadinya syok kardiogenik pada perawatan di rumah sakit sebelumnya. Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian dari Saner et al. (2009), bahwa dari 13 pasien
yang mengalami gagal hati akut akibat gagal jantung yang diteliti, semuanya
mempunyai riwayat syok kardiogenik. Ejeksi fraksi ventrikel kiri pada penderita ini
hanya turun sedikit, yaitu sekitar 48 %, sedangkan rata-rata ejeksi fraksi ventrikel
mencapai 54 %. Jika ejeksi fraksi ventrikel kiri merupakan salah satu faktor risiko
Hampir semua penderita dengan gagal hati akut pada hepatopati kongestif
menunjukkan peningkatan yang bermakna ada kadar AST dan ALT (Ware, 1978;
Naschitz et al., 2000). Peneliti seperti Saner et al. (2009), Wiesen et al. (1995), dan
Fussell et al. (2005), melaporkan bahwa kadar AST bisa meningkat sampai dengan
2000 kali lipat. Pada kasus ini ditemukan peningkatan AST sampai dengan angka
hati disertai pelebaran vena porta dan hepatika yang segera membaik seiring dengan
perbaikan fungsi jantung (Saner et al., 2009). Sayangnya pada kasus ini,
ultrasonografi baru dilakukan saat penderita dirawat di bangsal biasa, 7 hari setelah
diagnosis gagal hati akut ditegakkan, sehingga gambaran awal hati pada saat terjadi
menyimpulkan adanya kongesti hati di hari ke-7 setelah gagal hati akut, padahal
kongesti dapat bertahan lebih lama dibandingkan nekrosis akut yang terjadi, dan
bukan tidak mungkin hal ini bisa menjadi kronis jika kelainan jantung yang
hati akut atau bisa juga berasal dari infeksi paru (pneumonia), dan berkembang ke
arah DIC yang tampak saling tumpang tindih dengan profil gagal hati. Sebagaimana
peningkatan INR, dan peningkatan d-dimer. Namun, profil laboratorium yang mirip
DIC ini sebenarnya banyak terdapat pada penderita penyakit hati, tanpa ada bukti
deposisi fibrin dan klinis DIC yang jelas (Carr, 1989), suatu hal yang menunjukkan
bahwa hal tersebut adalah bukan DIC, melainkan pseudo-DIC. Berlawanan dengan
hal ini, DIC justru sering dilaporkan pada penderita gagal hati akut (Rake et al,
1970). Pada penelitian dengan menggunakan hewan coba, DIC juga diamati pada
mengalami DIC atau tidak, sebenarnya ada cara yang mudah untuk
dan V dapat menjadi cara yang efektif untuk membantu membedakan antara DIC
dan penyakit hati. Produksi faktor VIII tidak hanya tergantung pada fungsi hepatosit,
tetapi dapat juga diproduksi oleh sel endotel. Faktor V dan VII akan dikonsumsi
dan menurun kadarnya pada kondisi DIC, namun pada penyakit hati, faktor V akan
menurun dan faktor VIII akan tetap normal atau tinggi (Castellone, 2010). Namun
karena pada kasus ini faktor V dan faktor VIII tidak diperiksa, maka sulit untuk
menentukan apakah DIC benar-benar telah terjadi. Lagi pula pada kondisi sepsis
seperti yang dialami oleh penderita, kejadian DIC juga dapat muncul sebagai
pertanda sepsis berat. Dengan demikian, DIC pada penderita ini masih merupakan
tanda tanya apakah disebabkan oleh gagal hati akut atau sepsis, atau tumpang tindih,
atau bahkan hanya merupakan pseudo-DIC yang merupakan bagian dari penyakit
Sementara itu, sepsis pada penderita ini dapat juga disebabkan oleh gagal
hati akut. Sebagaimana diketahui, infeksi akut pada kelompok pasien ini semakin
didokumentasikan secara klinis pada pasien dengan gagal hati akut. Penelitian
menunjukkan bahwa neutrofil dari pasien dengan gagal hati akut memiliki kapasitas
reaktif (ROS) yang terganggu, di mana kedua hal ini merupakan fungsi dasar yang
dibutuhkan untuk menghancurkan bakteri yang menyerang. Selain itu, neutrofil ini
juga rentan terhadap aktivasi spontan dan melepaskan mediator inflamasi secara
sekitarnya. Pada akhirnya, hal ini dapat memfasilitasi perkembangan penyakit dan
juga diamati pada pasien dengan hepatitis alkoholik akut dan gagal hati acute-on-
chronic tetapi mekanisme yang tepat yang terlibat belum dapat ditentukan
(Foundation for Liver Research, 2014). Dengan demikian, pada kasus ini dapat
disimpulkan bahwa DIC, infeksi paru, dan sepsis sangat berkaitan erat dengan gagal
Dalam hal terapi, American Association for the Study of Liver Diseases (Lee
et al., 2012) merekomendasikan bahwa pada kasus-kasus dengan gagal hati akut
memiliki bukti yang kuat dalam memperbaiki fungsi hati pada penderita dengan
gagal hati akut. SNMC terbukti memiliki efek perlindungan yang jelas pada pasien
gagal hati akut melalui penghambatan terhadap mediator inflamasi (Yu Zhong-
Qing et al., 2006). Kesimpulan yang sama dilaporkan oleh Liu Xiao-Cong et al.
hepatitis berat.
26
mencegah hiperammonemia sangat penting untuk dilakukan. Salah satu yang sering
diketahui, ornithine dan aspartat adalah asam amino yang penting dalam jalur
biokimia hati yaitu detoksifikasi amonia. Pada sirosis, gangguan metabolisme hati,
dan gangguan aliran darah akan menyebabkan konsentrasi amonia pada serum dan
sistem saraf pusat meningkat. Metabolisme yang abnormal dari amonia dan
akumulasi toksik amonia adalah salah satu dari beberapa kemungkinan mekanisme
amonia dengan meningkatkan sintesis urea dalam siklus urea. Selain itu, LOLA
Pada penderita, LOLA diberikan dalam bentuk infus 10 gram per hari. Pada saat
pindah dari ICCU ke ruang rawat bangsal biasa, kondisi ensefalopati telah
penderita ini. Alasan untuk rekomendasi pemberian asam amino rantai cabang
(valin, leusin, dan isoleusin) dalam pengobatan gagal hati berdasarkan pada sifat
BCAA pada penyakit hati adalah konsumsi otot rangka untuk sintesis glutamat,
yang bertindak sebagai substrat untuk detoksifikasi amonia menjadi GLN dan
bahwa pemberian BCAA untuk pasien dengan gagal hati dapat menghasilkan
27
sejumlah efek positif yang mungkin lebih jelas pada pasien dengan penurunan kadar
BCAA. Di sisi lain, karena efek stimulasi dari BCAA pada sintesis GLN,
pemecahan GLN di dalam usus dan ginjal sehingga memberi efek yang merugikan
pada ensefalopati hepatik. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas terapi
dari BCAA pada pasien dengan kerusakan hati, efek yang merugikan terhadap
produksi amonia (yang diabaikan pada orang sehat dan/atau pasien dengan
Namun, pada kasus ini, pemberian BCAA tidak disertai dengan pemberian
ensefalopati hepatik masih mungkin terjadi, dan ini mungkin bisa menjelaskan
mengapa ensefalopati yang terjadi berlangsung lama, walaupun fungsi hati telah
Pemberian curcuma pada penderita gagal hati akut seperti yang dilakukan
pada penderita pada kasus ini masih belum memiliki bukti yang jelas. Hanya ada
beberapa studi pada hewan coba yang mendukung bahwa curcuma mempunyai efek
hepatoprotektor dan mungkin bermanfaat untuk terapi gagal hati akut, salah satunya
28
kadar ALT dan AST menunjukkan khasiat hepatoprotektor dari obat ini terhadap
efektivitasnya pada gagal hati akut oleh karena hepatitis iskemik masih belum
diketahui.
Secara keseluruhan, kondisi gagal hati akut pada penderita dalam kasus ini
kelainan kardiovaskular yang mendasarinya yang dalam hal ini berupa ACS serta
kondisi komorbid lainnya. Jika perbaikan ACS telah dicapai, maka fungsi hati akan
berangsur membaik, dan ini merupakan ciri khas gagal hati akut karena hepatopati
kongestif.
karena pada kenyataannya kematian jarang terjadi karena gagal hati, dan
transplantasi hati jarang diperlukan. Gagal jantung yang mendasari proses iskemik
yang terjadi lebih berperan sebagai faktor prognosis, sehingga menempati posisi
BABV
KESIMPULAN
Telah dilaporkan kasus seorang pria, 59 tahun dengan gagal hati akut pada
secara maksimal, dengan demikian diharapkan gagal hati akut akan membaik
(SNMC dan curcuma) disertai pemberian LOLA dan BCAA untuk memperbaiki
melalui poliklinik.
tata laksana gagal hati akut pada hepatopati kongestif. Dengan demikian,
BABVI
KEPUSTAKAAN
Burns RB, McCarthy EP, Moskowitz MA. Outcomes for older men and women
with congestive heart failure. J Am Geriatr Soc. Mar 1997;45(3):276-80.
Giallourakis CC, Rosenberg PM, Friedman LS. The liver in heart failure. Clin
Liver Dis 2002; 6:947.
Kanel GC, Ucci AA, Kaplan MM, Wolfe HJ. A distinctive perivenular hepatic
lesion associated with heart failure. Am J Clin Pathol 1980; 73 (2): 235-9.
Lautt WW, Greenway CV. Conceptual review of the hepatic vascular bed.
Hepatology 1987; 7:952.
Lee WM, Stravitz RT, Larson AM. Introduction to the Revised American
Association for the Study of Liver Diseases Position Paper on Acute Liver
Failure 2011. Hepatology 2012. Available at: Hyperlink: www.aasld.org/
practiceguidelines/Documents/AcuteLiverFailureUpdate2011.pdf.
Logan RG, Mowry FM, Judge RD. Cardiac failure simulating viral hepatitis.
Three cases with serum transaminase levels above 1,000. Ann Intern Med
1962; 56:784.
32
Myers JD, Hickam JB. An estimation of the hepatic blood flow and splanchnic
oxygen consumption in heart failure. J Clin Invest 1948; 27:620.
Rappaport AM. The microcirculatory hepatic unit. Microvasc Res 1973; 6:212.
Rosser BG, Gores GJ. Liver cell necrosis: cellular mechanisms and clinical
implications. Gastroenterology 1995; 108:252.
Safran AP, Schaffner F. Chronic passive congestion of the liver in man. Electron
microscopic study of cell atrophy and intralobular fibrosis. Am J Pathol 1967;
50:447.
Saner FH, Heuer M, Meyer M et al. When the heart kills the liver: Acute liver
failure in congestive heart failure. Eur J Med Res (2009) 14: 541-546.
Seeto RK, Fenn B, Rockey DC. Ischemic hepatitis: clinical presentation and
pathogenesis. Am J Med 2000; 109:109.
Trey C, Davidson CS. The management of fulminant hepatic failure. In: Popper
H, Schaffner F, eds. Progress in Liver Diseases. New York: Grune & Stratton,
1970:282-298.
33
Ware AJ. The liver when the heart fails. Gastroenterology 1978; 74 (3): 627-8.