Anda di halaman 1dari 35

GAGAL HATI AKUT PADA HEPATOPATI KONGESTIF

Laporan Kasus Sub Bagian Gastroenterohepatologi

Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran

Diajukan Oleh:
Arief Kurniawan Siregar
10/306686/PKU/11643

Pembimbing:

dr. Sutanto Maduseno, Sp.PD-KGEH

disetujui tgl ......................

dipresentasikan tgl ......................

SEKOLAH PASCA SARJANA


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014

DAFTAR ISI

Daftar Isi .................................................................................................................. i

BAB I Pendahuluan ..........................................................................................1

BAB II Kasus .....................................................................................................4

BAB III Pembahasan: Hepatopati Kongestif dan Gagal Hati Akut ....................9
Epidemiologi Hepatopati Kongestif ........................................... 9
3.1.1. Frekuensi ......................................................................... 9
3.1.2. Mortalitas dan Morbiditas ............................................... 9
3.1.3. Jenis Kelamin ................................................................ 10
3.1.4. Usia ............................................................................... 10
Anatomi Hati dan Aliran Darah hepatik ................................... 10
Patofisiologi Hepatopati Kongestif........................................... 13
3.4. Gagal Hati Akut pada Hepatopati Kongestif ............................ 19

BAB IV Diskusi Kasus ......................................................................................21

BAB V Kesimpulan .........................................................................................29

BAB VI Kepustakaan ........................................................................................30

BABI
PENDAHULUAN

Pasokan vaskular hati yang kompleks dan aktivitas metabolik yang tinggi

membuatnya sangat rentan terhadap gangguan peredaran darah. Tingkat keparahan

dan karakteristik kerusakan hati tergantung pada pembuluh darah mana yang

terlibat dan derajat cedera yang kesemuanya berhubungan dengan kongesti pasif

atau berkurangnya perfusi (Giallourakis et al., 2002).

Meskipun patofisiologinya belum begitu jelas, terdapat semakin banyak

bukti bahwa curah jantung yang rendah yang disertai dengan berkurangnya aliran

darah hati adalah faktor penyebab utama, bukan semata-mata hanya karena faktor

hipotensi. Pada keadaan gagal hati akut karena gagal jantung kongestif, tanda-tanda

klinis yang khas bisa saja tidak tampak, dan ini tentunya membutuhkan pendekatan

diagnostik yang lebih teliti.

Pasien dengan kongesti hati biasanya tanpa gejala. Kongesti hati mungkin

ditemukan melalui tes biokimia hati yang abnormal saat evaluasi rutin. Pasien yang

akhirnya bergejala mungkin tampil dengan jaundice, yang sering dikelirukan

sebagai obstruksi bilier (Moussavian et al., 1982). Pasien dengan dekompensasi

jantung akut dapat mengalami jaundice dan peningkatan yang signifikan pada

serum aminotransferase, persis seperti hepatitis virus akut (Cohen et al., 1978;

Logan et al., 1962). Ketidaknyamanan abdomen kuadran kanan atas (karena


2

peregangan dari kapsul hati) dan asites juga dapat dijumpai. Pada banyak kasus

gagal hati fulminan dengan koma, yang sebagiannya menyebabkan kematian, telah

dilaporkan pada pasien dengan gagal jantung kongestif (Moussavian et al., 1982;

Nouel et al., 1980; Kisloff et al., 1976). Sebagian besar kasus tersebut tumpang

tindih dengan syok dan iskemia hati, bukan hanya karena kongesti pasif saja.

Meskipun tidak ada pola kelainan yang khas, profil biokimia kolestatik

umum dijumpai, dengan elevasi ringan bilirubin total (biasanya 3 g / dl), elevasi

ringan alkali fosfatase dan hanya sesekali peningkatan transaminase. Hal lain yang

umum ditemukan adalah peningkatan INR. Namun profil laboratorium yang khas

untuk kegagalan hati juga sering ditemukan pada beberapa kasus secara terbatas.

Ini menandakan bahwa tampilan klinis gagal hati dapat bervariasi pada setiap

individu.

Penyebab disfungsi hati pada gagal jantung kongestif diduga berhubungan

dengan kongesti di hati akibat obstruksi aliran vena porta yang menyebabkan

hipertensi portal dan penurunan pengiriman oksigen dari jantung (Naschitz et al.,

2000). Hal ini bisa terjadi karena aliran darah hati merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari cardiac output yang memasok sejumlah besar vascular bed hepatik

(sekitar 25%). Setelah penurunan pengiriman oksigen ke hati melampaui ambang

kritis, serangkaian peristiwa dimulai, yang akhirnya akan menyebabkan nekrosis

hemoragik sentrilobular hati (Arcidi et al., 1981; Naschitz et al., 2000).

Apapun mekanismenya, istilah the herat kills the liver tampaknya

merupakan ungkapan yang cocok untuk menggambarkan situasi gagal hati akut
3

pada hepatopati kongestif. Tampilan klinis yang bervariasi mengingatkan para

klinisi untuk lebih teliti dalam hal penegakan diagnosis dan penilaian tingkat

keparahan penyakit, agar tata laksana dapat diarahkan sesuai dengan kondisi klinis

dan menghasilkan keluaran klinis yang optimal.

Pada laporan kasus berikut akan dipaparkan seorang penderita gagal jantung

dengan hepatopati kongestif yang mengalami gagal hati akut dengan kadar serum

transaminase sampai menembus angka 4000, suatu kasus yang jarang ditemui di

dalam literatur.
4

BABII
KASUS

Seorang pria berinisial MRA, umur 59 tahun, No. Rekam Medis

01.62.55.68, datang ke IRD RSUP dr. Sardjito Yogyakarta pada tanggal 9 Maret

2013 pukul 14.00, dirujuk dari RSUD Wirosaban Yogyakarta, dengan keluhan

utama nyeri dada kiri yang dirasakan sekitar 2 hari sebelumnya. Nyeri dada kiri

seperti ditekan, dirasakan saat penderita sedang istirahat hendak tidur malam,

berdurasi sekitar 20 menit, disertai keringat dingin, mual, dan muntah. Tidak

didapatkan sesak napas maupun riwayat sesak napas. Penderita selama ini diketahui

mempunyai penyakit darah tinggi, tidak merokok, tidak meminum alkohol, tidak

ada riwayat penyakit gula dan kolesterol tinggi. Keluarga dengan riwayat penyakit

jantung disangkal. Penderita juga tidak punya riwayat penyakit kuning, belum

pernah menjalani transfusi darah, dan tidak ada riwayat penyalahgunaan obat.

Karena dirasakan keluhannya memberat, penderita memutuskan untuk

langsung periksa ke rumah sakit terdekat, yaitu RSUD Wirosaban Yogyakarta.

Penderita langsung di rawat di ICCU dan dikatakan terkena serangan jantung.

Setelah 2 hari dalam perawatan, penderita dirujuk ke RSUP dr. Sardjito untuk

menjalani perawatan selanjutnya.

Dari surat rujukan RSUD Wirosaban, disebutkan bahwa penderita

mengalami STEMI inferior yang disertai dengan syok kardiogenik, dan telah
5

mendapat pengobatan dengan dopamin, nitrat, salbutamol, clopidogrel, asam folat,

statin, dan clobazam. Penderita dirujuk untuk kemungkinan dilakukannya tindakan

Percutaneus Coronary Intervention.

Saat masuk IRD RSUP dr. Sardjito, penderita tidak lagi mengeluh nyeri

dada, tidak ada sesak napas, mual, maupun muntah, namun didapatkan pusing dan

lemas. Penderita tampak sadar penuh, dengan kesan sakit: sedang. Tekanan darah

96/60 mmHg, nadi 56 x/menit, frekuensi napas 20 x/menit, dan temperatur 36,5 C.

Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan peningkatan tekanan vena jugularis.

Penderita tidak tampak ikterik maupun anemis. Pemeriksaan paru dalam batas

normal. Didapatkan pembesaran jantung, namun tidak didapatkan murmur.

Abdomen dalam batas normal. Ekstremitas teraba hangat, tidak ditemukan edema.

Terpasang kateter urine pada orifice urethra externae, tampak urine berwarna

kuning dengan volume 200cc.

Pemeriksaan EKG awal ditemukan sinus bradikardia, heart rate 56x/menit,

dengan ST-elevasi (in evolusi) di lead II, III, aVF. Pemeriksaan laboratorium

menunjukkan kelainan pada aspartat aminotransferase (AST) = 984 dan alanin

aminotransferase (ALT) = 596, serum kreatinin = 2,06, troponin I = 28,32, leukosit

= 15.870, dan INR = 1,3, HBsAg negatif, anti HAV dan anti HCV juga negatif,

Kolesterol total = 135, HDL = 46, LDL = 81.

Penderita dirujuk ke bagian kardiovaskular intervensi, untuk kemudian

dilakukan PCI pada pukul 18.00, dengan hasil ditemukannya stenosis 80 % di left

anterior descendence coronary artery (LAD) proksimal dan 90 % di left circumflex


6

coronary artery (LCX) proksimal sampai dengan mid. Sementara right coronary

artery (RCA) mengalami total oklusi di proksimal. Diputuskan untuk dilakukan

tindakan intervensi dengan culprit lesion di RCA dengan stent Titan 3.0/22 mm.

Pasca PCI, penderita dirawat di ICCU, dengan kondisi umum tampak

gelisah, tekanan darah 100/50, nadi 82x/menit, frekuensi napas 26x/menit, dan

temperatur 36,6 C. Diagnosis kerja di ICCU yaitu coronary artery disease (CAD)

3 vessel disease, hepatopati kongestif, dan acute kidney injury. Terapi utama

ditujukan untuk perbaikan hemodinamik dan kondisi jantungnya dengan obat-

obatan seperti dobutamin, dopamin, integrilin, clopidogrel, asam asetil salisilat,

furosemid, dan nitrat, sementara statin ditunda pemberiannya karena fungsi hati

yang buruk.

Pada perawatan hari ke-2, kondisi umum masih tampak gelisah, tekanan

darah 120/80, nadi 82x/menit, frekuensi napas 20 x/menit, dan temperatur 36,6 C,

tak tampak ikterik. Pemeriksaan fisik ditemukan adanya suara tambahan berupa

ronchi basah kasar pada lapangan bawah paru kanan. Ekokardiografi menunjukkan

penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri menjadi 48 % dan hipokinetik segmental

dengan remodelling konsentrik. Dilakukan evaluasi laboratorium dan didapatkan

perburukan fungsi hati dan ginjal, dengan AST = 5825, ALT = 4115, pH = 7,399,

pCO2 = 24,8, HCO3 = 15,7, BUN = 119, kreatinin = 4,54, asam urat = 18,0, Hb =

10,0, leukosit 14.050, C-reactive protein (CRP) = 82, trombosit 36.000, fibrinogen

= 150, d-dimer = 5400, DIC score = 5. Diagnosis gagal hati akut dan sepsis

ditegakkan, dengan kecurigaan ke arah disseminated intravascular coagulation


7

(DIC). Diputuskan untuk meningkatkan dosis obat inotropik agar tercapai sirkulasi

yang lebih baik, disertai dengan penambahan SNMC dan curcuma sebagai

hepatoprotektor, serta antibiotik cefoperazone untuk menangani pneumonia dan

sepsis.

Pada perawatan hari ke-4, kondisi umum delirium, tekanan darah 120/60,

nadi 70x/menit (dengan temporary pace maker), frekuensi napas 20x/menit, dan

temperatur 36,0 C. Tidak ada tanda perdarahan. Hasil laboratorium Hb = 10,4,

leukosit 10.280, INR = 1,59, trombosit 27.000, fibrinogen = 195, d-dimer = 10.900,

DIC score = 5. Terapi di tambah dengan pemberian L-ornithine L-aspartate (LOLA)

dan asam amino rantai cabang (BCAA) untuk mengatasi delirium akut yang diduga

berkaitan dengan ensefalopati hepatik karena gagal hati akut. Optimalisasi tata

laksana gagal jantung dan pneumonia dilakukan dengan monitor ketat balance

cairan, meneruskan pemberian obat-obatan suportif jantung, dan penambahan

antibiotik ceftriaxone.

Perawatan hari ke-8, penderita tidak lagi menunjukkan delirium. Tekanan

darah 137/85, nadi 62x/menit (tanpa temporary pace maker), frekuensi napas

20x/menit, dan temperatur 36,5 C. Penderita sudah dalam terapi captopril sebagai

anti-remodelling untuk penyakit jantungnya sejak hari ke-6, sementara obat-obatan

lainnya diteruskan. Hanya saja trombosit masih rendah (15.000), dengan DIC score

5, walaupun tanpa tanda perdarahan. Hal ini menunjukkan bahwa penderita harus

mendapatkan transfusi trombosit atau fresh frozen plasma. Pada titik ini, fungsi hati

sudah mulai membaik, ditandai dengan kadar ALT = 63, AST = 574, dan INR =
8

1,14, diikuti dengan membaiknya fungsi ginjal yang ditunjukkan dengan kadar

BUN = 35,5, kreatinin = 1,33, asam urat = 5,1. Terapi sebelumnya secara

keseluruhan dilanjutkan.

Tiga hari kemudian penderita diperbolehkan untuk pindah rawat ke bangsal

biasa, dengan melanjutkan obat-obatan yang sudah diberikan serta melakukan

evaluasi dan penyesuaian terhadap regimen dan dosis sesuai kondisi klinis.

Penderita dirawat selama 14 hari di bangsal biasa. Perbaikan dan

perburukan kondisi terjadi secara bergantian selama masa perawatan di bangsal

tersebut. Dilakukan pemeriksaan USG hati yang menunjukkan adanya gambaran

kongesti hati kronis, konsisten dengan kondisi yang ditemukan pada penderita.

Fokus utama perawatan di bangsal adalah pada penanganan infeksi paru, stabilisasi

kardial, serta kelainan koagulasi. Penderita akhirnya diperbolehkan pulang pada

hari ke-16 perawatan dan dijadwalkan untuk kontrol rutin selanjutnya ke poliklinik

jantung dan penyakit dalam.


9

BABIII
PEMBAHASAN:
HEPATOPATI KONGESTIF
DAN GAGAL HATI AKUT

Epidemiologi Hepatopati Kongestif

2.1.1. Frekuensi

Tidak ada data prevalensi hepatopati kongestif di Indonesia.

Di Amerika Serikat, hepatopati kongestif jarang terjadi. Prevalensi

sebenarnya sulit untuk diperkirakan, karena penyakit ini biasanya

tetap subklinis dan tidak terdiagnosis. Temuan hepatopati kongestif

pada otopsi telah menurun secara signifikan selama beberapa dekade

terakhir. Hal ini mungkin karena penyakit jantung rematik dan

penyakit konstriktif perikardial telah menurun ke tingkat yang lebih

rendah.

2.1.2. Mortalitas dan Morbiditas

Pengaruh hepatopati kongestif pada tingkat kematian dan

morbiditas tidak diketahui. Tingkat keparahan penyakit jantung yang

mendasari pasien, yang biasanya bersifat progresif dan kronis, adalah

penentu utama keluaran klinis.


10

2.1.3. Jenis Kelamin

Data perbandingan seks pada penderita hepatopati kongestif

tidak ada. Namun, karena CHF lebih sering terjadi pada pria daripada

wanita di Amerika Serikat, hal yang sama juga mungkin terjadi untuk

hepatopati kongestif (Burns et al., 1997)

2.1.4. Usia

Tidak ada data yang dipublikasikan terkait usia pada penderita

hepatopati kongestif. Namun, hepatopati kongestif di Amerika Serikat,

seperti pada CHF, hampir pasti meningkat seiring dengan

pertambahan usia.

Anatomi Hati dan Aliran Darah Hepatik

Hati menerima sekitar 25 % dari curah jantung, meskipun jumlah ini

hanya sekitar 2 sampai 3 persen dari total berat badan (Lautt et al., 1987;

Myers et al., 1948). Vena portal menyediakan sekitar dua per tiga dari

pasokan darah sedangkan arteri hepatik memberikan sisanya. Darah mengalir

melalui hati dialirkan melalui vena hepatika kanan, kiri, dan tengah ke vena

cava inferior dan kemudian ke bilik kanan jantung.

Komposisi suplai darah vena porta dan arteri hepatika berbeda.

Sementara darah vena porta kaya akan nutrisi dasar (seperti glukosa, asam

amino, dan trigliserida) dan relatif kekurangan oksigen, sebaliknya, pasokan

darah arteri hepatika kaya akan oksigen (terhitung lebih dari 50 persen dari
11

oksigen yang dikirim ke hati dan 100 persen untuk saluran-saluran empedu

utama) namun mengandung nutrisi dasar yang lebih sedikit.

Meskipun penting dalam menyediakan darah beroksigen, ligasi atau

oklusi arteri hepatik pada manusia dapat ditoleransi tanpa konsekuensi yang

merugikan. Pada kebanyakan pasien, aliran arteri kolateral dikombinasikan

dengan aliran darah portal sudah dapat memberikan sirkulasi yang cukup

(Myes, 1972). Pada pasien yang jarang, gangguan aliran arteri hepatik dapat

menyebabkan infark hati fokal.

Hati dapat dibagi menjadi lobus kanan dan kiri, masing-masing

memiliki suplai darah sendiri. Masing-masing lobus terdiri dari 50 sampai 70

persen dari massa hati. Hati dapat dibagi lagi menjadi delapan segmen

berdasarkan pembuluh darah atau distribusi saluran empedu.

Dua model konseptual telah diajukan berkaitan dengan arsitektur

parenkim hati. Vena portal terminal dan venula hati menjembatani antara

sinusoid-sinusoid hati. Model "lobulus" menganggap venula hati terminal

menjadi pusat mikrosirkulasi hati sementara model "asinar" (juga dikenal

sebagai klasifikasi Rappaport) menganggap venula hati terminal merupakan

mikrosirkulasi perifer (gambar 1).

Sebuah fitur menarik dari model asinar adalah bahwa suplai darah ke

area parenkim hati dan saluran empedu semuanya terletak di dalam satu

"segitiga portal". Asinus terdiri dari sekelompok hepatosit (sekitar 2 mm)

yang dikelompokkan di sekitar cabang terminal dari arteri hepatik dan venula
12

porta (gambar 1). Darah dari cabang vena porta dan arteri hepatik yang

mengarah ke asinus di daerah portal dan periportal, mengalir melalui sinusoid

hati, menuju ke venula hati terminal.

Gambar 1. Diagram yang menggambarkan asinus hati dan lobulus. Model "lobulus"
menganggap venula hati terminal menjadi pusat mikrosirkulasi hati sementara model
"asinar" (juga dikenal sebagai klasifikasi Rappaport) menganggap venula hati
terminal merupakan mikrosirkulasi perifer.

Model asinar juga mendefinisikan daerah atau "zona" yang mewakili

gradien di mana isi nutrisi dan oksigen dari mikrosirkulasi hati berbeda satu

sama lain. Bagian tengah asinus (periportal) dikenal sebagai zona 1, pinggiran

(perivenular) sebagai zona 3, dan daerah di antaranya sebagai zona 2


13

(Rappaport, 1973). Zona 1 menerima darah dengan tingkat oksigen dan

nutrisi tertinggi, dibandingkan dengan zona 3. Dengan demikian, zona 3

sangat rentan terhadap kekurangan aliran darah.

Hepatosit dalam zona ini disesuaikan dengan mikrosirkulasi yang

mengelilinginya. Hepatosit di zona 1 memiliki kegiatan oksidatif yang tinggi

dan mengandung banyak mitokondria besar. Proses dominan yang terjadi

termasuk glukoneogenesis, oksidasi asam lemak beta, katabolisme asam

amino, ureagenesis, sintesis kolesterol, dan sekresi asam empedu. Sebaliknya,

hepatosit zona 3 lebih terlibat dalam glikolisis dan lipogenesis.

Patofisiologi Hepatopati Kongestif

Iskemia hepatik terjadi ketika ada ketidakseimbangan antara suplai

dan permintaan oksigen di hati (Ross et al., 1981). Faktor yang bertanggung

jawab pada sebagian besar pasien tidak berdiri sendiri melainkan multipel

(Fuhrmann et al., 2009).

Pengiriman oksigen hepatik terkait dengan kandungan oksigen darah

dan jumlah aliran darah ke hati. Setelah pengiriman oksigen menurun,

mekanisme kompensasi memungkinkan untuk peningkatan ekstraksi oksigen

oleh hepatosit, sehingga membantu untuk mempertahankan oksigenasi yang

adekuat. Proses yang lebih tepat untuk menjelaskan hal ini tidak sepenuhnya

dipahami, meskipun autoregulasi dari aliran darah tampaknya memiliki peran

penting. Aliran darah melalui microvasculature hati diatur terutama oleh


14

aktivitas sel-sel otot polos yang mengelilingi arteriol hati. Aliran arteri

hepatika diatur secara ketat untuk mempertahankan jumlah aliran darah hati

agar relatif konstan. Sebaliknya, aliran vena porta tidak memiliki kontrol

autoregulasi.

Ketika terjadi penurunan aliran arteri, sel-sel otot polos di sekitar

arteriol hati akan mengalami relaksasi, mengakibatkan peningkatan aliran

arteri, sebuah proses yang dimediasi oleh perubahan konsentrasi adenosin

dalam jaringan ikat yang mengelilingi arteriol hati. Konsentrasi adenosin ini

sebagian ditentukan oleh sejauh mana alirannya hilang pada peredaran darah

sinusoidal (Lautt et al., 1987). Zona 3 dari asinus hati sangat rentan terhadap

kekurangan aliran darah karena berada paling jauh dari suplai darah yang

kaya oksigen, sedangkan ekstraksi oksigen yang meningkat dalam zona 1 dan

2 lebih menguras tekanan oksigen lokal.

Dalam situasi stres sistemik (misalnya sepsis), cardiac output tidak

dapat meningkatkan aliran darah yang cukup untuk memasok kebutuhan

organ penting seperti otak. Akibatnya, terjadi penurunan kompensasi dalam

aliran darah perifer dan splanknik (Ceppa et al., 2003). Penurunan yang

terjadi pada aliran darah hati dapat melebihi kapasitas hati untuk

meningkatkan ekstraksi oksigen, sehingga menyebabkan hipoksia

hepatoseluler, terutama di zona 3 (Dunn et al., 2003).

Cedera reperfusi berkontribusi lebih lanjut terhadap kerusakan hati

dan dianggap sebagai mekanisme yang dapat menjelaskan sebagian besar


15

kerusakan histologis. Hal ini dimediasi oleh pembentukan spesies oksigen

reaktif saat hepatosit yang iskemik kembali terekspos dengan oksigen,

menyebabkan cedera sel melalui mekanisme peroksidasi lipid (Rosser et al.,

1995). Selain itu, sel-sel Kupffer bereaksi terhadap iskemia dengan

memproduksi sitokin, termasuk tumor necrosis factor alpha (TNF-), yang

memicu perekrutan dan aktivasi leukosit polimorfonuklear.

Iskemia juga mempromosikan konversi sitosol xanthine

dehidrogenase ke xanthine oksidase, yang mengarah kepada produksi

superoksida dan hidrogen peroksida (Jones et al., 1996). Iskemia dan

reperfusi menginduksi transkripsi dari beberapa gen dalam hepatosit melalui

faktor transkripsi heat shock factor dan nuclear factor B (Tacchini et al.,

1997). Sel endotel sinusoidal sangat peka terhadap cedera reperfusi,

sedangkan hepatosit menjadi rentan menyusul peristiwa iskemik yang

signifikan (Rosser et al., 1995).

Penelitian in vitro dan model hewan menunjukkan bahwa, karena

tingkat metabolisme yang tinggi, hepatosit lebih rentan terhadap hipoksia

pada suhu fisiologis dibandingkan jenis sel hati lain, seperti sel-sel endotel

sinusoidal, sel Kupffer, dan sel-sel epitel empedu (Rosser et al., 1995). Status

gizi juga mungkin memiliki pengaruh penting pada sensitivitas hipoksia

hepatoseluler. Mekanisme seluler cedera iskemik tampaknya terkait dengan

gangguan respirasi mitokondria, dengan penurunan adenosin trifosfat,

kenaikan kadar kalsium sitosol, dan aktivasi protease selular (Gasbarrini et

al., 1992; Lemasters et al., 1981).


16

Ada dua kondisi klinis yang relatif umum dapat meningkatkan risiko

iskemia hati. Pertama, pasien yang memiliki penyakit hati sebelumnya dan

pasien dengan hipertensi portal, sangat rentan untuk mengalami iskemia hati,

karena jumlah aliran darah ke hati mungkin sudah berkurang. Darah

splanknik yang biasanya memasuki hati dapat didorong melalui sirkulasi

kolateral, sehingga melewati hati (dan berpotensi mengakibatkan varises).

Selain itu, penurunan massa fungsional hati pada pasien dengan penyakit hati

kronis membuat mereka rentan terhadap perkembangan dekompensasi ketika

terdapat tambahan cedera akibat iskemia. Kedua, pasien dengan kongesti

pasif hati yang sebelumnya sudah ada juga memiliki peningkatan risiko untuk

cedera iskemik. Peningkatan tekanan vena sentral (seperti yang terjadi dengan

gagal jantung kongestif) ditransmisikan ke vena hepatika dan venula hati

kecil yang mengalir ke asinus hati. Peningkatan tekanan tersebut dikaitkan

dengan atrofi hepatosit di zona 3 dari asinus hati. Mekanisme yang

menyebabkan atrofi adalah sebagian terkait dengan eksudasi cairan kaya

protein ke dalam ruang Disse karena kongesti sinusoidal (Lautt et al., 1987;

Safran et al., 1967), mengakibatkan edema perisinusoidal dan mengganggu

difusi oksigen serta aliran nutrisi ke hepatosit (Safran et al., 1967).

Selain atrofi hepatosit, kongesti hati kronis juga dapat menyebabkan

fibrosis, yang paling menonjol terjadi pada zona 3 dan ruang Disse. Fibrosis

juga mengganggu difusi nutrisi ke hepatosit. Tingkat fibrosis bervariasi dari

satu wilayah hati ke yang lainnya mungkin karena efek fibrogenik dari fokus
17

trombi dalam sinusoid, venula hati, dan vena portal yang disebabkan stasis

vaskular kronis (Wanless et al., 1995).

Dengan semakin beratnya kongesti, kelebihan cairan dalam ruang

Disse melampaui kapasitas drainase limfatik hati. Akibatnya, cairan tinggi

protein mengalir dari permukaan hati ke dalam ruang peritoneal, yang

menyebabkan akumulasi cairan tinggi protein intraperitoneal, yang

merupakan karakteristik dari asites yang disebabkan oleh gagal jantung

kongestif (Dun et al., 1973).

Kongesti pasif dengan sendirinya tampaknya tidak cukup untuk

menyebabkan nekrosis hati yang signifikan tanpa mengurangi aliran darah

hati. Selain itu, tidak ada hubungan yang jelas antara tingkat kongesti

(sebagaimana dinilai oleh tekanan atrium kanan) dan nekrosis zona 3 pada

pasien dengan gagal jantung kongestif (Sherlock, 1951)). Nekrosis signifikan

zona 3 yang disebabkan oleh gagal jantung kiri akut (tanpa gagal jantung

kanan), menunjukkan bahwa curah jantung lebih berpengaruh daripada

kongesti saja terhadap terjadinya nekrosis hati (Cohen et al., 1978)). Namun

demikian, kongesti pasif biasanya berdampingan pada kebanyakan pasien

dengan iskemia hepatik yang jelas. Pengamatan ini didukung oleh sebuah

studi yang difokuskan pada 31 pasien yang dianggap memiliki hepatitis

iskemik dan dibandingkan dengan 31 pasien yang sebelumnya sehat yang

menderita trauma non-hepatik (Seeto et al., 2000). Pada kedua kelompok

didapatkan tekanan darah sistolik <75 mmHg minimal selama 15 menit.

Tidak ada pasien dalam kelompok kontrol yang berkembang menjadi


18

hepatitis iskemik meskipun tekanan darahnya rendah. Semua dari 31 pasien

dengan hepatitis iskemik mempunyai bukti bahwa penyakit jantung lah yang

mendasarinya, termasuk di dalamnya 29 orang (94 persen) dengan gangguan

jantung kanan. Temuan ini menunjukkan bahwa kongesti pasif hati dapat

berpengaruh pada terjadinya hepatitis iskemik yang disebabkan oleh

peristiwa hipotensi.

Kesimpulan serupa dicapai dalam penelitian lain pada pasien dengan

hepatitis iskemik dan penyakit pernapasan kronis. Semua pasien yang

memiliki hepatitis iskemik memiliki tekanan vena sentral lebih besar dari 10

cm H2O (Henrion et al., 1999).

Studi lain dari 142 pasien yang memiliki hepatitis iskemik

menunjukkan bahwa penyebab cedera iskemik bervariasi sesuai dengan

kondisi klinis (Henrion et al., 2003). Pada pasien dengan gagal napas kronis,

hipoksia hati dianggap sebagian besar merupakan hasil dari hipoksemia

sistemik berat, sedangkan pada syok septik/toksik, oksigen yang dikirim ke

hati tidak menurun tetapi kebutuhan oksigen hati meningkat. Kondisi syok

diamati hanya pada 50 persen kasus, membuat peneliti menyarankan untuk

meninggalkan istilah "syok hati" atau "hepatitis iskemik" dan menggantinya

dengan "hepatitis hipoksia". Sebaliknya, dalam laporan lain, kerusakan hati

yang signifikan jarang terjadi hanya dengan hipoksemia sistemik saja,

meskipun diketahui hal tersebut pernah dilaporkan pada beberapa pasien

dengan apnea tidur obstruktif, dan pada beberapa kasus dengan eksaserbasi
19

kegagalan pernafasan akut, terutama pada mereka yang juga memiliki gagal

jantung kanan (Henrion et al., 1997; Whelan et al., 1969).

Gagal Hati Akut pada Hepatopati Kongestif

Gagal hati akut didefinisikan sebagai suatu kondisi penyakit hati akut

dengan karakteristik terdapatnya bukti kelainan koagulasi, yaitu nilai

International Normalized Ratio (INR) 1.5, disertai dengan setiap tingkat

perubahan mental (ensefalopati) pada pasien tanpa riwayat sirosis

sebelumnya, dengan durasi < 26 minggu (Trey et al., 1970; Lee et al., 2011).

Gagal hati akut yang disebabkan oleh gagal jantung kongestif jarang

ditemui, dan hanya beberapa kasus saja yang dilaporkan. Saner et al. (2009)

melaporkan hanya terdapat 13 kasus gagal hati akut oleh karena gagal jantung

kongestif selama periode 5 tahun. Mortalitasnya mencapai 54 %, dengan

marker AST meningkat lebih dari 2000 kali lipat saat awal masuk rumah sakit.

Mekanisme pasti gagal hati akut pada gagal jantung kongestif masih

belum diketahui dengan jelas. Seeto et al. (2000) menyatakan bahwa

hipotensi sistemik atau syok sendiri tidak mengakibatkan kegagalan hati pada

setiap pasien. Mayoritas pasien dalam penelitian mereka merupakan pasien

gagal hati dengan penyakit jantung yang berat dan hal ini sering

menyebabkan kongesti pasif di hati. Mereka menyimpulkan bahwa gagal

jantung kanan yang mengakibatkan kongesti vena hati, mungkin

mempengaruhi hati untuk mengalami cedera yang disebabkan oleh hipotensi.


20

Hal yang paling mungkin menyebabkan gagal hati akut pada penyakit gagal

jantung adalah kongesti hati dan menurunnya Oxygen Delivery (DO) yang

terkait penurunan Cardiac Index (CI). Sekali DO melewati nilai ambang kritis,

proses hipoksia hati akan dimulai yang kemudian menyebabkan nekrosis

sentrilobular dan perdarahan (Arcidi et al., 1981). Hipertensi vena porta

menyebabkan kongesti pada sinusoid periventrikular, cedera endotel,

penggantian hepatosit dengan eritrosit, dan pada akhirnya, nekrosis

sentrilobular (Arcidi et al., 1981; Kanel et al., 1980).

Kadar aminotransferase akan nyata meningkat begitu juga dengan

enzim laktat dehidrogenase (indikasi nekrosis sel, bukan apoptosis) dan akan

membaik dengan cepat seiring stabilisasi dari kondisi kardiovaskular.

Ditemukannya secara simultan disfungsi ginjal dan nekrosis otot umum

terjadi. Keberhasilan pengelolaan gagal jantung menentukan hasil akhir

pengobatan, dan transplantasi jarang diperlukan. Pemulihan yang cepat dari

fungsi hati sering terjadi tetapi hasil jangka panjang tergantung pada penyakit

jantung yang mendasari (Fuhrmann et al., 2010).


21

BABIV
DISKUSI KASUS

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, gagal hati akut yang disebabkan

oleh gagal jantung kongestif jarang ditemui, dan hanya beberapa kasus saja yang

dilaporkan. Kasus ini termasuk di dalamnya, dengan diagnosis gagal hati akut

ditegakkan bersamaan dengan terjadinya acute coronary syndrome (ACS).

Penderita tampil dengan kondisi klinis ensefalopati dan profil laboratorium fungsi

hati yang sangat buruk (peningkatan transaminase dan kelainan koagulasi).

Penderita kemungkinan besar tidak mempunyai riwayat penyakit hati kronis,

karena dari anamnesis tidak ditemukan riwayat penyakit kuning, tidak adanya

stigmata penyakit hati kronis pada pemeriksaan fisik, serta analisis hasil

laboratorium dengan penanda infeksi virus hepatitis hasilnya negatif. Hal ini

menunjukkan bahwa diagnosis gagal hati akut pada pasien ini sangat sugestif untuk

ditegakkan.

Hal lain yang dapat mendukung diagnosis bahwa gagal hati akut pada

penderita ini disebabkan oleh hepatopati kongestif karena ACS adalah bahwa

didapatkannya secara bersamaan perburukan fungsi ginjal. Sebagaimana diketahui

bahwa kondisi iskemik seperti pada syok, akibat penurunan curah jantung, akan

mengakibatkan penurunan fungsi pada ginjal, karena ginjal dan hati adalah organ

yang paling banyak mendapat suplai curah jantung.


22

Namun demikian, faktor etiologis lain sebagai penyebab gagal hati akut

seperti misalnya hepatitis viral perlu juga dipertimbangkan. Tetapi pada penderita

ini, semua biomarker infeksi hepatitis negatif, menandakan tidak adanya proses

infeksi viral sebagai penyebab gagal hati akut.

Onset terjadinya gagal hati akut sejak penderita mengalami ACS pada kasus

ini adalah sekitar 5 hari semenjak gejala nyeri dada (angina) dikeluhkan oleh

penderita. Dan yang menjadi awal dari penyebab gagal hati akut pada penderita ini

adalah terjadinya syok kardiogenik pada perawatan di rumah sakit sebelumnya. Hal

ini sesuai dengan hasil penelitian dari Saner et al. (2009), bahwa dari 13 pasien

yang mengalami gagal hati akut akibat gagal jantung yang diteliti, semuanya

mempunyai riwayat syok kardiogenik. Ejeksi fraksi ventrikel kiri pada penderita ini

hanya turun sedikit, yaitu sekitar 48 %, sedangkan rata-rata ejeksi fraksi ventrikel

kiri pada penelitian Saner et al.(2009) adalah 20 %, dan angka mortalitasnya

mencapai 54 %. Jika ejeksi fraksi ventrikel kiri merupakan salah satu faktor risiko

independen terhadap kematian, maka penderita dalam kasus ini diharapkan

mempunyai risiko kematian yang lebih rendah.

Hampir semua penderita dengan gagal hati akut pada hepatopati kongestif

menunjukkan peningkatan yang bermakna ada kadar AST dan ALT (Ware, 1978;

Naschitz et al., 2000). Peneliti seperti Saner et al. (2009), Wiesen et al. (1995), dan

Fussell et al. (2005), melaporkan bahwa kadar AST bisa meningkat sampai dengan

2000 kali lipat. Pada kasus ini ditemukan peningkatan AST sampai dengan angka

4000, sesuai dengan yang dilaporkan oleh para peneliti tersebut.


23

Pada pemeriksaan ultrasonografi hati dapat ditemukan kelainan kongesti

hati disertai pelebaran vena porta dan hepatika yang segera membaik seiring dengan

perbaikan fungsi jantung (Saner et al., 2009). Sayangnya pada kasus ini,

ultrasonografi baru dilakukan saat penderita dirawat di bangsal biasa, 7 hari setelah

diagnosis gagal hati akut ditegakkan, sehingga gambaran awal hati pada saat terjadi

kegagalan akut tidak terdokumentasi. Namun demikian, hasil ultrasonografi yang

menyimpulkan adanya kongesti hati di hari ke-7 setelah gagal hati akut, padahal

fungsi hati secara biokimia menunjukkan perbaikan, menandakan bahwa proses

kongesti dapat bertahan lebih lama dibandingkan nekrosis akut yang terjadi, dan

bukan tidak mungkin hal ini bisa menjadi kronis jika kelainan jantung yang

mendasarinya tidak segera diperbaiki.

Penderita juga mengalami sepsis yang diduga berhubungan dengan gagal

hati akut atau bisa juga berasal dari infeksi paru (pneumonia), dan berkembang ke

arah DIC yang tampak saling tumpang tindih dengan profil gagal hati. Sebagaimana

diketahui, gagal hati dapat tampil dengan trombositopenia, penurunan fibrinogen,

peningkatan INR, dan peningkatan d-dimer. Namun, profil laboratorium yang mirip

DIC ini sebenarnya banyak terdapat pada penderita penyakit hati, tanpa ada bukti

deposisi fibrin dan klinis DIC yang jelas (Carr, 1989), suatu hal yang menunjukkan

bahwa hal tersebut adalah bukan DIC, melainkan pseudo-DIC. Berlawanan dengan

hal ini, DIC justru sering dilaporkan pada penderita gagal hati akut (Rake et al,

1970). Pada penelitian dengan menggunakan hewan coba, DIC juga diamati pada

kondisi gagal hati akut (Fujiwara K et al., 1988).


24

Untuk mengatasi kesulitan apakah seorang penderita gagal hati akut

mengalami DIC atau tidak, sebenarnya ada cara yang mudah untuk

membedakannya, yaitu dengan memeriksa faktor koagulasi. Perilaku faktor VIII

dan V dapat menjadi cara yang efektif untuk membantu membedakan antara DIC

dan penyakit hati. Produksi faktor VIII tidak hanya tergantung pada fungsi hepatosit,

tetapi dapat juga diproduksi oleh sel endotel. Faktor V dan VII akan dikonsumsi

dan menurun kadarnya pada kondisi DIC, namun pada penyakit hati, faktor V akan

menurun dan faktor VIII akan tetap normal atau tinggi (Castellone, 2010). Namun

karena pada kasus ini faktor V dan faktor VIII tidak diperiksa, maka sulit untuk

menentukan apakah DIC benar-benar telah terjadi. Lagi pula pada kondisi sepsis

seperti yang dialami oleh penderita, kejadian DIC juga dapat muncul sebagai

pertanda sepsis berat. Dengan demikian, DIC pada penderita ini masih merupakan

tanda tanya apakah disebabkan oleh gagal hati akut atau sepsis, atau tumpang tindih,

atau bahkan hanya merupakan pseudo-DIC yang merupakan bagian dari penyakit

hati itu sendiri.

Sementara itu, sepsis pada penderita ini dapat juga disebabkan oleh gagal

hati akut. Sebagaimana diketahui, infeksi akut pada kelompok pasien ini semakin

umum didapatkan dan pada akhirnya bertanggung jawab untuk terjadinya

kegagalan organ multipel. Kerentanan penderita penyakit hati terhadap sepsis

dianggap sebagai konsekuensi dari disfungsi neutrofil dan ini telah

didokumentasikan secara klinis pada pasien dengan gagal hati akut. Penelitian

menunjukkan bahwa neutrofil dari pasien dengan gagal hati akut memiliki kapasitas

fagositik yang menurun dan kemampuan untuk menghasilkan spesies oksigen


25

reaktif (ROS) yang terganggu, di mana kedua hal ini merupakan fungsi dasar yang

dibutuhkan untuk menghancurkan bakteri yang menyerang. Selain itu, neutrofil ini

juga rentan terhadap aktivasi spontan dan melepaskan mediator inflamasi secara

tidak terkendali, sehingga menyebabkan cedera luas di jaringan dan organ

sekitarnya. Pada akhirnya, hal ini dapat memfasilitasi perkembangan penyakit dan

mengakibatkan kegagalan organ multipel dan kematian. Disfungsi neutrofil serupa

juga diamati pada pasien dengan hepatitis alkoholik akut dan gagal hati acute-on-

chronic tetapi mekanisme yang tepat yang terlibat belum dapat ditentukan

(Foundation for Liver Research, 2014). Dengan demikian, pada kasus ini dapat

disimpulkan bahwa DIC, infeksi paru, dan sepsis sangat berkaitan erat dengan gagal

hati akut yang dialami penderita.

Dalam hal terapi, American Association for the Study of Liver Diseases (Lee

et al., 2012) merekomendasikan bahwa pada kasus-kasus dengan gagal hati akut

pada penderita hepatopati kongestif, terapi pilihan bersifat suportif untuk

memperbaiki kondisi kardiovaskular. Namun, obat-obatan baru yang digunakan

pada penderita dalam kasus ini seperti SNMC (Stronger Neo-Minophagen C)

memiliki bukti yang kuat dalam memperbaiki fungsi hati pada penderita dengan

gagal hati akut. SNMC terbukti memiliki efek perlindungan yang jelas pada pasien

gagal hati akut melalui penghambatan terhadap mediator inflamasi (Yu Zhong-

Qing et al., 2006). Kesimpulan yang sama dilaporkan oleh Liu Xiao-Cong et al.

(2009) bahwa SNMC dapat memperbaiki parameter biokimia pasien dengan

hepatitis serius, dan mungkin, meningkatkan kelangsungan hidup pasien dengan

hepatitis berat.
26

Untuk kondisi ensefalopati pada penderita, pemberian terapi suportif untuk

mencegah hiperammonemia sangat penting untuk dilakukan. Salah satu yang sering

adalah pemberian preparat L-ornithine L-aspartate (LOLA). Sebagaimana

diketahui, ornithine dan aspartat adalah asam amino yang penting dalam jalur

biokimia hati yaitu detoksifikasi amonia. Pada sirosis, gangguan metabolisme hati,

dan gangguan aliran darah akan menyebabkan konsentrasi amonia pada serum dan

sistem saraf pusat meningkat. Metabolisme yang abnormal dari amonia dan

akumulasi toksik amonia adalah salah satu dari beberapa kemungkinan mekanisme

untuk terjadinya ensefalopati. Pemberian LOLA dapat menstimulasi detoksifikasi

amonia dengan meningkatkan sintesis urea dalam siklus urea. Selain itu, LOLA

juga dapat menghilangkan amonia ekstrahepatik dari jaringan. Dengan demikian,

bersama dengan menurunnya kadar amonia, diharapkan ensefalopati akan membaik.

Pada penderita, LOLA diberikan dalam bentuk infus 10 gram per hari. Pada saat

pindah dari ICCU ke ruang rawat bangsal biasa, kondisi ensefalopati telah

mengalami perbaikan, terapi LOLA dengan demikian dihentikan.

Pemberian asam amino rantai cabang (BCAA) juga bermanfaat pada

penderita ini. Alasan untuk rekomendasi pemberian asam amino rantai cabang

(valin, leusin, dan isoleusin) dalam pengobatan gagal hati berdasarkan pada sifat

farmakologis uniknya, yaitu efek stimulasi detoksifikasi amonia menjadi glutamin

(GLN). Beberapa bukti menunjukkan bahwa penyebab utama dari kekurangan

BCAA pada penyakit hati adalah konsumsi otot rangka untuk sintesis glutamat,

yang bertindak sebagai substrat untuk detoksifikasi amonia menjadi GLN dan

bahwa pemberian BCAA untuk pasien dengan gagal hati dapat menghasilkan
27

sejumlah efek positif yang mungkin lebih jelas pada pasien dengan penurunan kadar

BCAA. Di sisi lain, karena efek stimulasi dari BCAA pada sintesis GLN,

suplementasi BCAA dapat menyebabkan meningkatnya produksi amonia dari

pemecahan GLN di dalam usus dan ginjal sehingga memberi efek yang merugikan

pada ensefalopati hepatik. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas terapi

dari BCAA pada pasien dengan kerusakan hati, efek yang merugikan terhadap

produksi amonia (yang diabaikan pada orang sehat dan/atau pasien dengan

gangguan lain) harus dihindari. Dalam pengobatan ensefalopati, pemberian secara

simultan BCAA (untuk memperbaiki ketidakseimbangan asam amino dan

mempromosikan detoksifikasi amonia menjadi GLN) dan -ketoglutarat (untuk

menghambat pemecahan GLN ke amonia di dalam enterosit) dan/atau

phenylbutyrate (untuk meningkatkan ekskresi GLN oleh ginjal ) disarankan.

Perhatian harus diberikan untuk jenis kerusakan hati, perdarahan gastrointestinal,

dan tanda-tanda peradangan, dengan penyesuaian dosis BCAA (Holecek, 2013).

Namun, pada kasus ini, pemberian BCAA tidak disertai dengan pemberian

-ketoglutarat ataupun phenylbutyrate, sehingga efek yang merugikan terhadap

ensefalopati hepatik masih mungkin terjadi, dan ini mungkin bisa menjelaskan

mengapa ensefalopati yang terjadi berlangsung lama, walaupun fungsi hati telah

mengalami perbaikan jika dilihat dari profil biokimia.

Pemberian curcuma pada penderita gagal hati akut seperti yang dilakukan

pada penderita pada kasus ini masih belum memiliki bukti yang jelas. Hanya ada

beberapa studi pada hewan coba yang mendukung bahwa curcuma mempunyai efek

hepatoprotektor dan mungkin bermanfaat untuk terapi gagal hati akut, salah satunya
28

oleh Devaraj et al. (2010). Efektivitas Curcuma xanthorrhiza dalam menurunkan

kadar ALT dan AST menunjukkan khasiat hepatoprotektor dari obat ini terhadap

hepatotoksisitas yang diinduksi cisplastin (Seong et al., 2004). Namun

efektivitasnya pada gagal hati akut oleh karena hepatitis iskemik masih belum

diketahui.

Secara keseluruhan, kondisi gagal hati akut pada penderita dalam kasus ini

perlu mendapat penanganan khusus, di samping terus memaksimalkan tata laksana

kelainan kardiovaskular yang mendasarinya yang dalam hal ini berupa ACS serta

kondisi komorbid lainnya. Jika perbaikan ACS telah dicapai, maka fungsi hati akan

berangsur membaik, dan ini merupakan ciri khas gagal hati akut karena hepatopati

kongestif.

Prognosis tidak sepenuhnya bergantung pada tingkat keparahan gagal hati,

karena pada kenyataannya kematian jarang terjadi karena gagal hati, dan

transplantasi hati jarang diperlukan. Gagal jantung yang mendasari proses iskemik

yang terjadi lebih berperan sebagai faktor prognosis, sehingga menempati posisi

pertama untuk mendapat penanganan yang adekuat.


29

BABV
KESIMPULAN

Telah dilaporkan kasus seorang pria, 59 tahun dengan gagal hati akut pada

hepatopati kongestif yang berhubungan dengan acute coronary syndrome (ACS).

Penegakan diagnosis dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Dilakukan manajemen terhadap ACS dengan percutaneus

coronary intervention (PCI) dan obat-obatan anti-remodelling serta inotropik

secara maksimal, dengan demikian diharapkan gagal hati akut akan membaik

dengan sendirinya. Pada penderita juga diberikan terapi suportif hepatoprotektor

(SNMC dan curcuma) disertai pemberian LOLA dan BCAA untuk memperbaiki

ensefalopati hepatik yang terjadi. Setelah 16 hari menjalani perawatan, penderita

mengalami perbaikan, dan diperbolehkan pulang untuk kemudian rawat jalan

melalui poliklinik.

Laporan kasus ini memberikan gambaran tentang diagnosis sampai dengan

tata laksana gagal hati akut pada hepatopati kongestif. Dengan demikian,

diharapkan dapat menambah pengalaman klinis serta pembelajaran untuk

manajemen pasien yang lebih baik.


30

BABVI
KEPUSTAKAAN

Arcidi JM Jr, Moore GW, Hutchins GM. Hepatic morphology in cardiac


dysfunction: a clinicopathologic study of 1000 subjects at autopsy. Am J
Pathol 1981; 104 (2): 159-66.

Burns RB, McCarthy EP, Moskowitz MA. Outcomes for older men and women
with congestive heart failure. J Am Geriatr Soc. Mar 1997;45(3):276-80.

Carr JM. Disseminated intravascular coagulation in cirrhosis. Hepatology 1989;


10: 103-110

Castellone D. Liver disease and coagulation outcomes. 2010. Avalaible at:


Hyperlink: http://www.aniara.com/Blog/Coagulation-
Corner/archives/2010/11/LIVER-DISEASE-AND-COAGULATION-
OUTCOMES.aspx

Ceppa EP, Fuh KC, Bulkley GB. Mesenteric hemodynamic response to


circulatory shock. Curr Opin Crit Care 2003; 9:127.

Cohen JA, Kaplan MM. Left-sided heart failure presenting as hepatitis.


Gastroenterology 1978; 74:583.

Devaraj S, Ismail s, Ramanathan S et al. Evaluation of the hepatoprotective


activity of standardized ethanolic extract of Curcuma xanthorrhiza Roxb.
Journal of Medicinal Plants Research 2010; 4(23): 2512-17.

Foundation for Liver Research. Susceptibility to Infection in Liver Failure. Cited


2014. Available from: Hyperlink: http://www.liver-research.org.uk/liver-
research-projects/sepsis.html.

Fuhrmann V, Jager B, Zubkova A, Drolz A. Hypoxic hepatitis epidemiology,


pathophysiology and clinical management. Wien Klin Wochenschr
2010;122:129-139

Fuhrmann V, Kneidinger N, Herkner H, et al. Hypoxic hepatitis: underlying


conditions and risk factors for mortality in critically ill patients. Intensive
Care Med 2009; 35:1397.

Fujiwara K, Ogata I, Ohta Y et al. Intravascular coagulation in acute liver failure


in rats and its treatment with antithrombin III. Gut 1988;29:1103-1108.
31

Gasbarrini A, Borle AB, Farghali H, et al. Effect of anoxia on intracellular ATP,


Na+i, Ca2+i, Mg2+i, and cytotoxicity in rat hepatocytes. J Biol Chem 1992;
267:6654.

Giallourakis CC, Rosenberg PM, Friedman LS. The liver in heart failure. Clin
Liver Dis 2002; 6:947.

Henrion J, Colin L, Schapira M, Heller FR. Hypoxic hepatitis caused by severe


hypoxemia from obstructive sleep apnea. J Clin Gastroenterol 1997; 24:245.

Henrion J, Minette P, Colin L, et al. Hypoxic hepatitis caused by acute


exacerbation of chronic respiratory failure: a case-controlled, hemodynamic
study of 17 consecutive cases. Hepatology 1999; 29:427.

Henrion J, Schapira M, Luwaert R, et al. Hypoxic hepatitis: clinical and


hemodynamic study in 142 consecutive cases. Medicine (Baltimore) 2003;
82:392.

Holecek M. Branched-chain amino acids and ammonia metabolism in liver


disease: Therapeutic implications. Nutrition 2013; 29 (10): 118691.

Jones SM, Thurman RG. L-arginine minimizes reperfusion injury in a low-flow,


reflow model of liver perfusion. Hepatology 1996; 24:163.

Kanel GC, Ucci AA, Kaplan MM, Wolfe HJ. A distinctive perivenular hepatic
lesion associated with heart failure. Am J Clin Pathol 1980; 73 (2): 235-9.

Kisloff B, Schaffer G. Fulminant hepatic failure secondary to congestive heart


failure. Am J Dig Dis 1976; 21:895.

Lautt WW, Greenway CV. Conceptual review of the hepatic vascular bed.
Hepatology 1987; 7:952.

Lee WM, Stravitz RT, Larson AM. Introduction to the Revised American
Association for the Study of Liver Diseases Position Paper on Acute Liver
Failure 2011. Hepatology 2012. Available at: Hyperlink: www.aasld.org/
practiceguidelines/Documents/AcuteLiverFailureUpdate2011.pdf.

Lemasters JJ, Ji S, Thurman RG. Centrilobular injury following hypoxia in


isolated, perfused rat liver. Science 1981; 213:661.

Liu Xiao-Cong, Chen Yao-Kai, Li Hui et al. Efficacy and mechanism of


compound glycyrrhizin on serious hepatitis: report of 30 patients. Acta
Academiae Medicinae Militaris Tertiae 2009:18.

Logan RG, Mowry FM, Judge RD. Cardiac failure simulating viral hepatitis.
Three cases with serum transaminase levels above 1,000. Ann Intern Med
1962; 56:784.
32

Mays ET. Lobar dearterialization for exsanguinating wounds of the liver. J


Trauma 1972; 12:397.

Moussavian SN, Dincsoy HP, Goodman S, et al. Severe hyperbilirubinemia and


coma in chronic congestive heart failure. Dig Dis Sci 1982; 27:175.

Myers JD, Hickam JB. An estimation of the hepatic blood flow and splanchnic
oxygen consumption in heart failure. J Clin Invest 1948; 27:620.

Naschitz JE, Slobodin G, Lewis RJ, Zuckerman E, Yeshurun D. Heart diseases


affecting the liver and liver diseases affecting the heart. Am Heart J 2000;
140 (1): 111-20.

Nouel O, Henrion J, Bernuau J, et al. Fulminant hepatic failure due to transient


circulatory failure in patients with chronic heart disease. Dig Dis Sci 1980;
25:49.

Rake MO, Flutep T, Pannellg & Williams R. (1970) Intravascular coagulation in


acute hepatic necrosis. Lancet, i, 533.

Rappaport AM. The microcirculatory hepatic unit. Microvasc Res 1973; 6:212.

Ross RM. Hepatic dysfunction secondary to heart failure. Am J Gastroenterol


1981; 76:511.

Rosser BG, Gores GJ. Liver cell necrosis: cellular mechanisms and clinical
implications. Gastroenterology 1995; 108:252.

Safran AP, Schaffner F. Chronic passive congestion of the liver in man. Electron
microscopic study of cell atrophy and intralobular fibrosis. Am J Pathol 1967;
50:447.

Saner FH, Heuer M, Meyer M et al. When the heart kills the liver: Acute liver
failure in congestive heart failure. Eur J Med Res (2009) 14: 541-546.

Seeto RK, Fenn B, Rockey DC. Ischemic hepatitis: clinical presentation and
pathogenesis. Am J Med 2000; 109:109.

Sherlock S. The liver in heart failure; relation of anatomical, functional, and


circulatory changes. Br Heart J 1951; 13:273.

Tacchini L, Radice L, Pogliaghi G, Bernelli-Zazzera A. Differential activation of


heat shock and nuclear factor kappa B transcription factors in postischemic
reperfused rat liver. Hepatology 1997; 26:186.

Trey C, Davidson CS. The management of fulminant hepatic failure. In: Popper
H, Schaffner F, eds. Progress in Liver Diseases. New York: Grune & Stratton,
1970:282-298.
33

Wanless IR, Liu JJ, Butany J. Role of thrombosis in the pathogenesis of


congestive hepatic fibrosis (cardiac cirrhosis). Hepatology 1995; 21:1232.

Ware AJ. The liver when the heart fails. Gastroenterology 1978; 74 (3): 627-8.

Whelan G, Pierce AK, Schenker S, Combes B. Hepatic function in patients with


hypoxaemia due to chronic pulmonary disease. Australas Ann Med 1969;
18:243.

Yu Zhong-Qing, Yang Bao-Shan, Wang Y. Protective effect of Stronger Neo-


Minophagen C on patients with fulminant liver failure. World Chinese
Journal of Digestology 2006: 13.

Anda mungkin juga menyukai